Friday, March 16, 2007

[Tadarus Puisi # 26] Obrolan Sepasang Sepatu Tua

sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang,
          berdebu
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat
          jalan berlumpur sehabis hujan --- keduanya telah
          jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu
yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat
          sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan
          mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu
          dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa
sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya
          bisa mereka pahami berdua

(Sepasang Sepatu Tua, Sapardi Djoko Damono, dalam buku Mata Pisau, hal. 58)



Sepasang sepatu tua, seberkas surat cinta, dan makanan sisa nasibnya bisa sama. Mereka akan dibakar atau membusuk bersama. Mereka dilupakan, meskipun mereka pernah teramat diinginkan oleh seseorang. Seseorang itu adalah pemilik telapak kaki, kepada siapa sepasang sepatu itu telah jatuh cinta.

Ini sajak yang kelihatannya ditata dengan sederhana. Dan karena itu dia menjadi sajak yang indah. Sajak ini hanya bercerita tentang sepasang sepatu tua yang saling membisikkan sesuatu. "...yang hanya mereka sendiri yang mengerti," kata penyair.

Lantas darimana penyair menyalin percakapan itu? Dari mana penyair tahu bahwa sepatu yang sebelah kiri terkenang akan aspal meleleh, dan yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan - dua baris sederhana yang sudah teramat cukup untuk menggambarkan naik turun kehidupan? Sepatu itu memang tidak digambarkan bercakap-cakap. Mereka hanya mengenang, mengingat, menerka dan mengira. Itu juga yang dilakukan oleh penyair atas kehidupannya. Ia mengenang, mengingat, ia menerka dan mengira jalan kehidupan yang telah ia tempuh, bersama sepasang sepatu, sepatunya.

Jalan masuk ke perenungan memang bisa datang dari mana saja. Juga lewat sepatu. Itulah tugas penyair yang harus ia tunaikan lewat sajak-sajaknya: mengajak sebanyak-banyaknya orang yang membaca puisinya untuk merenungi kehidupan masing-masing.

Penyair bukan orang memaksakan hasil comotan pengalaman hidupnya saja kepada pembaca untuk dijadikan bahan renungan. Penyair juga bukan orang yang sok hebat yang dengan bangga mendedahkan hasil rumusan pemikirannya atas masalah-masalah besar kehidupan di dalam sajak-sajaknya, lantas mempertahankannya mati-matian bahwa rumusannya itu benar belaka adanya.