Wednesday, March 31, 2004

Kamus Empat Kata Berhuruf Awal J

jeramah: serupa inikah rasa enggan itu? telapak tanganmu

      di punggungku. aku menduga cinta itu merasuk

      lewat jemarimu. dua dada telanjang. dua mulut

      bercengkeraman. ada kata yang belum tuntas

      dibicarakan. "Sudah malam, sudah malam,"

      aku masih ragu, engkau pun tak kunjung faham.



jerabak: ada pelabuhan, dua berjauhan. aku di tepi danau

      ini, kau di seberang sana. tak ada yang ingin

      jadi perahu. lalu waktu melapukkan tiang-tiang.

      kita terbengkalai, dalam penungguan yang lalai.



jerau: bulan merah tua. warna yang dikirim api dan asap,

      padang yang terbakar di sana: hati lapang kita.

      jangan berharap pada hujan. ini kemarau bukan?

      jangan menunggu malam berubah warna, sayang,

      (merah ini kelak semakin menua).



jerah: lalu kita saling mengembara, saling menghindari.

      aku menemukan dia di mana-mana. (engkau jugakah?)

      tapi dia tak menunjukkan jalanku menemukanmu.

      aku menemukannya di setiap singgah. (engkau jugakah?)

      dia menawarkan lelah, dan merayuku agar menyerah.



April 2004







Catatan:



   Maaf, catatan ini akan mengganggu pembacaan siapapun atas sajak di atas. Ini benar-benar hanya sebuah catatan. Ini bisa dibaca lepas dari puisi yang hendak diberinya catatan. Puisi Kamus Empat Kata Berhuruf Awal J sebagai mana semua puisi yang saya tulis, adalah hasil dari eksperimen berbahasa. Saya tidak menyombong hendak menghasilkan sesuatu yang luar biasa dari eksperimen-eksperimen ini. Ini cuma sebuah percobaan kecil-kecilan. Saya hanya menikmati prosesnya. Menikmati gelisahnya. Menikmati rasa mengganjal yang terus menerus membuat saya seperi sedang dikejar sesuatu dan harus terus berlari, terus mencari tempat sembunyi.

   Sudah lama saya menyalin dari kamus penjelasan empat kata itu: jeramah, jerabak, jerau dan jerah. Saya menyalinnya ke dalam buku notes kecil yang selalu saya bawa ke mana-mana. Saya kira suatu saat kata itu akan punya tempat dalam puisi yang kelak akan saya tulis. Pada pertemuan terakhir dengan kata-kata salinan itu, terlintaslah rasa bersalah. Aku ternyata belum datang juga rasa yang meminta dipuisikan dan bisa melibatkan kata-kata tadi. Lalu saya fikir kenapa tidak empat kata itu saja yang jadi puisi? Rasa dan fikir itulah yang mendorong lahirnya sebuah eksperimen dan hasilnya adalah puisi di atas.

   Maaf, ini cuma catatan tak penting yang tak perlu diambil hati.

Monday, March 29, 2004

The Art of Poetry

Jorge Luis Borges



Menatap sungai, dicipta waktu dan arus air

kau ingat? Waktu adalah sungai yang lain.

Kita, kau tahu, berliku bagai sungai yang lain

wajah kita kelak menghilang, bagai arus air.



Terjaga, kau rasakan, adalah juga mimpi,

mimpi yang bukan bermimpi, dan maut

yang mencekam di tulang kita adalah maut,

setiap malam kita pinta datangnya; itu mimpi.



Setiap hari segenap tahun menemu: simbol.

Seluruh hari lelaki, juga sepanjang tahun,

dan menukar kekejaman seluruh tahun-tahun

menjadi musik, suara, dan sebuah simbol.



Mimpi terlihat pada maut, matahari senja hari.

kesedihan yang sungguh -- selayaknya puisi,

apa adanya, abadi adanya, seperti puisi,

bertukar ganti, seperti fajar dan senja hari.



Sekali waktu, malam hari, ada seraut wajah

menatapi kita dari kedalaman di balik cermin.

Seni itu mustilah menjadi seperti cermin,

yang menyingkapkan bagi kita: seraut wajah.



Kata mereka Ulysses, mengenakan keajaiban,

menangis dengan cinta menatap Ithaca,

lembut dan hijau. Seni adalah dia: Ithaca,

takdir yang berwarna hijau, bukan keajaiban.



Seni tak berakhir, seperti arus sungai itu,

berlalu, juga tetap tinggal, cermin pun sama

Heraclitus yang teguh, dia orang yang sama

juga seperti lainnya, seperti arus sungai itu.

Bukit Pinus

Haiku Matsuo "Basho" Munefusa



di dekat pintu berpagar perdu

geram dedaun teh tak lagi sempat

badai lewat, tak ada yang tercatat



kembang sepatu berbunga,

tumbuh di sisi jalanan,

dimakan oleh kudaku



kesunyian itu —

meresap ke dalam batu-batu

seekor jengkerik menangis



puncak-puncak kabut

berguguran, betapa banyak

gunung rembulan



dari Gunung Atsumi

hingga ke Fuku-ura

mendingin senja hari



merah memerah

matahari terhentikan

angin musim luruh



sepanjang malam hari

simak desau angin gugur

di belakangan tegak gunung



bulan musim panen

iklim baik di Hokkuku

jangan tergantung pada cuaca



berkaca di wajah mekar bunga

merasa malukah engkau,

duhai bulan berbalut kabut?



sepanjang apa pun hari

tak juga cukup untuk berlagu-

burung kecil itu!



sambar halilintar:

jerit tangis bangau

menikam kegelapan



jalan kecil di pegunungan--

terbit cahaya matahari

menembus aroma prem



semak bersisian jalan

semakin dekat kau tampak

bunga-bunga bermekaran



bulan masih ada di sana

mempertegas betapa jauh rumah

musim panas di Suma



di cabang yang telanjang

hinggap seekor gagak

remang petang musim gugur



krisan berbunga putih

terperangkap di mata

tak satu ada: bercak debu



kampung itu betapa tua

tak ada satu rumah pun

tanpa sepohon kesemak.



Sunday, March 28, 2004

Anak-anak Malaikat

Syair Rabindranath Tagore



Mereka berteriakan dan bergelut; mereka gamang dan

putus asa, mereka tahu tak habis pertengkaran itu.



Tapi, biarkan hidupmu hidup di tengah mereka seperti

kobar cahaya, anakku, cahaya murni tanpa kerdip,

membawa kegirangan mereka pada kesenyapan.



Mereka lalim dalam ketamakan dan rasa cemburu,

Kata-kata mereka pedang mengintai, haus darah.



Tapi, kau pergilah ke sana dan berdiri tegak di antara

hati mereka yang memberengut, anakku, dan tebarkan

lembut tatapmu, seperti damai senja yang memaafkan

pertelegahan meletihkan, sepanjang hari itu.



Biarkan mereka memandangai wajahmu, anakku,

Biarkan mereka mengerti makna segala-galanya;

Biarkan mereka mencintamu, lalu saling mencinta.



Datang dan duduklah di tak terhingga dada,

anakku. Ketika matahari terbit bangkit membuka

hatimu, anakku, bagi kelopak bunga bermekaran,

dan ketika matahari terbenam menekurkan wajahmu

senyap sunyi: sembahyang yang melengkapi hari.









Gambar dari ANGEL IMAGE by G TROVATO





THE CHILD-ANGEL



They clamour and fight, they doubt and despair, they know no end

to their wranglings.



Let your life come amongst them like a flame of light, my child,

unflickering and pure, and delight them into silence.



They are cruel in their greed and their envy, their words are

like hidden knives thirsting for blood.



Go and stand amidst their scowling hearts, my child, and let your

gentle eyes fall upon them like the forgiving peace of the

evening over the strife of the day.



Let them see your face, my child, and thus know the meaning of

all things; let them love you and thus love each other.



Come and take your seat in the bosom of the limitless, my child.

At sunrise open and raise your heart like a blossoming flower,

and at sunset bend your head and in silence complete the worship

of the day.


Thursday, March 25, 2004

Ke Tepian Sungai Seberang

Syair Rabindranath Tagore



Aku rindu tiba-tiba, pergi ke sana,

pergi lebih jauh ke tepian sungai,



ada perahu di sana berbaris segaris,

bertambatan di galah-galah bambu;



ada mereka menyeberang pagi hari

memanggul mata bacak di pundaknya,

menuju sawah, ada nun jauh di sana;



ada sekawanan sapi membuka kandang

pergi juga ke tepian yang di seberang

ke sana datang, rumput seluas padang;



Lalu senja datang, ketika semua pulang,

tertinggal seekor jakal, melolong jalang,

padang bersemak panjang, d pulau seberang.



Ibu, kuharapkan engkau tidak keberatan,

kelak aku ingin jadi pengemudi perahu itu.



Dan kata mereka, ada danau yang asing

tersembunyi di sebalik tebing sungai itu.



ada sekawanan burung dan bebek liar

datang ketika cuaca reda, hujan berlalu,

alang-alang tumbuh di sekeliling danau,

burung air mengerami telurnya di situ;



ada burung berkik, ekornya menari-nari,

langkah kakinya ringan menjejak di lumpur;



senja tiba, rumput tinggi bermahkota bunga,

putih warnanya, mengundang bulan datang,

berenang mengambang di tari-tari riaknya.



Ibu, kuharapkan engkau tidak keberatan,

kelak aku ingin jadi pengemudi perahu itu.



Kelak aku menyeberang dari tepian ke tepian,

dan lihatlah, Ibu, bocah-bocah itu bermandian,

sambil memandangiku penuh kekaguman.



Ketika matahari memanjat puncak langit,

dan waktu pagi bertukar ke petang hari,

aku kembali pulang ke padamu, Ibu,

seraya berseru, "Ibu, betapa laparnya aku!"



Ketika hari tuntas dan bayangan gemetaran

di bawah pohon, aku kembali di petang hari.



Aku tak akan pernah pergi jauh darimu, Ibu,

pergi jauh ke kota, seperti Ayahku bekerja.



Ibu, kuharapkan engkau tidak keberatan,

kelak aku ingin jadi pengemudi perahu itu.









THE FURTHER BANK





I long to go over there to the further bank of the river,



Where those boats are tied to the bamboo poles in a line;



Where men cross over in their boats in the morning with ploughs

on their shoulders to till their far-away fields;



Where the cowherds make their lowing cattle swim across to the

riverside pasture;



Whence they all come back home in the evening, leaving the

jackals to howl in the island overgrown with weeds,



Mother, if you don't mind, I should like to become the boatman of

the ferry when I am grown up.



They say there are strange pools hidden behind that high bank,



Where flocks of wild ducks come when the rains are over, and

thick reeds grow round the margins where waterbirds lay their

eggs;

'



Where snipes with their dancing tails stamp their tiny footprints

upon the clean soft mud;



Where in the evening the tall grasses crested with white flowers

invite the moonbeam to float upon their waves.





Mother, if you don't mind, I should like to become the boatman of

the ferryboat when I am grown up.



I shall cross and cross back from bank to bank, and all the boys

and girls of the village will wonder at me while they are

bathing.



When the sun climbs the mid sky and morning wears on to noon, I

shall come running to you, saying, "Mother, I am hungry!"



When the day is done and the shadows cower under the trees, I

shall come back in the dusk.



I shall never go away from you into the town to work like father.



Mother, if you don't mind, I should like to become the boatman of

the ferryboat when I am grown up.


Kenangan Setengah Jalan

yang paling basah dalam kenangan,

pulang lagi kepada musim penghujan

: tetesan tangismu, menggelincirkan.



Maret 2004

[Ruang Renung # 70] Duduk, Membentang Peta, Membaca....

   SEORANG kawan penyair, tiba-tiba menghilang. Dia tidak menulis puisi lagi. Dia mengaku tak bisa lagi menulis puisi. Dia mungkin terpesona dengan puisi-puisinya sendiri yang dulu dia tuliskan. Dia mengenang bagaimana dulu puisi itu berlahiran. Mengalir dari penanya. Tapi, saat ini, dia mungkin tak terdorong lagi menulis puisi. Puisi menjauhinya? Puisi pergi meninggalkannya?



old map



   MENYAIR adalah kerja kreatif. Perlu lagikah kita ulangi kalimat ini? Ada yang wajib kita elakkan dalam kerja ini, yakni pengulangan. Mengulang apa yang sudah dituliskan orang lain, atau mengulang apa yang sudah pernah kita ciptakan sebelumnya, selayaknya memang bukanlah sesuatu yang menggairahkan. Kemana kita menuju? Padahal kita toh tak bisa berhenti setelah melangkah sejauh ini? Buka lagi peta, rancang lagi sebuah penjelajahan baru. Eksplorasi tak boleh berhenti. Di peta yang terbentang, bisa terpampang gamplang: wilayah mana yang belum kita kunjungi. Daerah mana yang paling menantang untuk segera ditaklukkan.



   TENTU saja, kita harus merancang dulu peta kepenyairan kita sendiri. Ah, repot amat, kata sebagian pencinta puisi. Kita toh menulis puisi tidak selalu harus jadi penyair. Ya, bagi yang menjawab seperti ini, tentu baginya tak perlu peta. Dia adalah pejalan kaki yang hanya lewat sambil sesekali tergoda untuk membuat catatan. Kebetulan catatan itu puisi bentuknya. Biarkan saja, itu bukan sebuah kesalahan.



   MAKA, mari. Menilik lagi semua puisi, sudah sejauh apa kita dalam pengembaraan ini. Mari melihat lagi sahabat-sahabat yang dulu seiring, yang dulu sempat berpapasan di beberapa persimpangan, yang sempat bertemu sekejab di persinggahan terakhir. Mari, duduk sebentar. Meluruskan kaki. Melihat seluruh jejak yang tertinggal di telapak sepatu. Mengepaskan letak topi. Mari melihat lagi peta, memberi tanda pada setiap jalan yang pantas kita beri tanda. Sebagai catatan. Sebagai petunjuk. Sudah seberapa banyak kita menaklukkan puncak-puncak dalam peta diri kita sendiri?[hah]

Sunday, March 21, 2004

Lansekap di Sebuah Mimpi

untuk Engkau: Salvador Dali




Dan, kuas itu meneruskan imajinasi, tak bisa kuikuti.



Tulang iga langit berkaki pada delapan penjuru angin,

ada putih yang sabar bertahan dari godaan hitam,

air mata mengeras, membatu di sudut matahari itu.

Waktu, waktu meleleh, jarum jam tersangkut di sela gigi:

bumi yang terus mengunyah batu pijar. "Haus, haus!"



Dan, kuas itu meneruskan imajinasi, tak bisa kuikuti.



Masih ada tempat untuk tempat tidur lain? Mimpi lain?

Bantal-bantal melayah, warna langit merah, hujan darah.

Ada pisau memotong-motong sepiring daging kuda,

siapa yang hendak menyantap bersama ringkiknya?

Pelangi putus, sebelum selesai lagu dari piano besar.

Ada yang bermain kelamin sendiri, tengkorak sendiri.



Dan, kuas itu meneruskan imajinasi, tak bisa kuikuti.



Salvador, adakah boneka membusuk di kabin taksi?

Kuulangi, adakah boneka membusuk di kabin taksi?

Kau tak menjawab, dan baiklah aku setuju saja, katamu,

kau dan si gila bedanya cuma satu: kau tidak gila!
Night at The Hotel



Salvador Dali , Night in the Hotel (Abstract in Black and White), 1965

Saturday, March 20, 2004

Penyair kepada Kekasihnya

Maxwell Bodenheim



Gereja sewarna perak, menua di tepi hutan,

serupa itulah cintaku kepadamu, Kekasih.

Pepohonan menjaga di sekelilingnya

adalah kata-kata yang kucuri dari hatimu.

Lonceng tua sewarna perak juga

  adalah senyum terakhir darimu

menggantung tinggi di puncak gerejaku.

Lonceng yang berdentang, hanya bila

  engkau datang dari hutan itu,

lalu berdiri bersama di sisiku.

Tapi, tak perlu lagi ada lonceng itu,

karena suaramu jauh lebih merdu.







Poet to His Love



AN old silver church in a forest

Is my love for you.

The trees around it

Are words that I have stolen from your heart.

An old silver bell, the last smile you gave,

Hangs at the top of my church.

It rings only when you come through the forest

And stand beside it.

And then, it has no need for ringing,

For your voice takes its place.

Manuskrip Tua

Alfred Kreymborg



LANGIT adalah

buku indah, halamannya kulit tua,

matahari dan bulan menuliskan

buku hariannya di situ.



Bila kau hendak membacanya

kau mesti jadi ahli bahasa

lebih bijak dari Bapak Kebijakan;

kau mesti jadi peramal

lebih khayal dari Ibunda Impian.



Tapi, jika kau hendak merasakannya,

jadilah orang yang amat bersahaja:

Orang yang senantiasa

rela menerima, curahan keluh ---

bagai sang bumi

atau laut itu.





Old Manuscript



THE sky

is that beautiful old parchment

in which the sun

and the moon

keep their diary.

To read it all,

one must be a linguist

more learned than Father Wisdom;

and a visionary

more clairvoyant than Mother Dream.

But to feel it,

one must be an apostle:

one who is more than intimate

In having been, always,

the only confidant—

like the earth

or the sea.




Friday, March 19, 2004

Elegi

Jorge Luis Borges


Ah nasibmu, Borges,
berlayar menempuhi segala samudera dunia
berlayar mengarungi laut satu berbagai nama
berbagi ada dengan berbagai kota: Edinburg,
Zurich, dan dua Kordoba, Texas, juga Kolombia,
terpulang kembali ke akhir generasi yang berganti
ke negeri nenek moyang, tanah-tanah yang purba
ke Andalusia, ke Portugal dan negeri-negeri lainnya
dimana orang Inggris bertempur dengan Denmark
dan mereka membancuhkan darah mereka,
mengembara menembus senyap
labirin merah Kota London,
lalu menua di pantulan setiap cermin,
sia-sia mencari, pada tatapan beku patung,
bertanya pada litograf, ensiklopedi, dan atlas,
melihat apa saja yang juga dilihat manusia lainnya,
kematian, fajar yang enggan, tanah lapang,
dan bintang-bintang cemerlang,
dan aku juga tak melihat apa-apa, nyaris tak ada,
kecuali wajah gadis dari Buenos Aires,
wajah yang tak akan pernah ingin kau ingat.

Ah nasibmu, Borges,
mungkin tak lebih asing dari engkau sendiri.



Elegy

Oh destiny of Borges
to have sailed across the diverse seas of the world
or across that single and solitary sea of diverse
names,
to have been a part of Edinburgh, of Zurich, of the
two Cordobas,
of Colombia and of Texas,
to have returned at the end of changing generations
to the ancient lands of his forebears,
to Andalucia, to Portugal and to those counties
where the Saxon warred with the Dane and they
mixed their blood,
to have wandered through the red and tranquil
labyrinth of London,
to have grown old in so many mirrors,
to have sought in vain the marble gaze of the statues,
to have questioned lithographs, encyclopedias,
atlases,
to have seen the things that men see,
death, the sluggish dawn, the plains,
and the delicate stars,
and to have seen nothing, or almost nothing
except the face of a girl from Buenos Aires
a face that does not want you to remember it.
Oh destiny of Borges,
perhaps no stranger than your own.

[Kata Pujangga] Bakat = Listrik, Maya Angelou





Saya percaya bakat itu seperti listrik, kita tidak mengerti soal listrik tapi kita memakainya.



* Penyair

Serenata, Sepotong Lagu Cinta

Federico García Lorca



Malam basah membenam diri

pada sepanjang gigir sungai

juga pada buah dada Lolita

cinta, cabangnya mati di sana.



Cinta, cabangnya mati di sana.



Malam yang telanjang bernyanyi

di anjungan jembatan bulan Maret.

Lolita memandikan tubuhnya,

menyiram air garam, kembang mawar.



Cinta, cabangnya mati di sana.



Malam warna perak aroma adas

berkilauan di puncak bubungan.

Perak juga cermin dan arus sungai

aroma adas pada paha putihmu.



Cinta, cabangnya mati di sana.







Serenata





The night soaks itself

along the shore of the river

and in Lolita's breasts

the branches die of love.



The branches die of love.



Naked the night sings

above the bridges of March.

Lolita bathes her body

with salt water and roses.



The branches die of love.



The night of anise and silver

shines over the rooftops.

Silver of streams and mirrors

Anise of your white thighs.



The branches die of love.










Wednesday, March 17, 2004

Randu Rini

Title : Tak ada yang lebih baik dari ini

Duration : 60"

Client : Heart Inc.




SFX : pintu berderit terbuka



SFX : suara langkah kaki di atas lantai kayu



SFX : Music, "Home" by Sheryl Crow



Female Announcer :



tak ada yang lebih baik dari ini, di sini, berayun tepat di sebelah

nafasmu. langit berdenyut dalam semesta kita. kurapatkan jemari,

mendengarkan matahari membaca puisi dan cemburu bulan nanti.

kurapatkan diri, merindu sabit di bawah dahimu. melepaskan lelah

panjang pencarian.



SFX : Music, "I Shall Believe" by Sheryl Crow



Female Announcer :



tak ada yang lebih buruk dari ini, di sini, saat langit tergenang dan

meninggalkanmu bersama laknat sepi. berapa lembar surat telah kutulis

hanya untuk melekatkan percaya pada dada, membawanya ke sudut-sudut

dunia. tapi mencintaimu saja tak pernah lebih buruk dari ini, di

sini, nafasmu sudah kuhafali.



SFX : langkah kaki di atas lantai kayu



SFX : suara desah nafas



SFX : pintu berderit tertutup









Hasan Aspahani

Title: Tak Ada yang Lebih Sempurna dari Dendam Ini

Duration: 60 tarikan nafas....

Client: Kita, Kau dan Aku!




SFX : Suara pisau diasah



SFX : Suara jari disayat, suara desis....





Male announcer:



Dingin tajam inikah yang kau nantikan? Pisau telah kuruncingkan, di setiap lekuknya aku bayangkan tubuhmu: tikamhunjamku menari, bersama riang sakit dan jerit luka hatimu.



Lalu kutelan sendiri pisau, menyempurnakan rindu: kau dan aku.



Female announcer:



Lakukan, lakukan, lekas lakukan.....



SFX : suara tetesan darah



SFX : suara dua tubuh rubuh





Dobby Fachrizal

Title: Tak ada yang lebih nikmat dari ini

Duration: 60 degup jantung

Client: Sin Inc.




SFX: Debur darah bangkit dari ujung-ujung syaraf



SFX: Dua butir kancing berurai ke lantai



SFX: Music, "I Could Die For You" by RHCP



Body Announcer :



Tak ada yang lebih nikmat dari ini, kuselimuti malam ke telanjang tubuhmu.

menelan racun yang terkirim lewat matamu.

merobekkan seluruh lubuk kesunyianku.

seketika lilin layu di puncak dada.

aku menyusuri penawar yang tumbuh di ubun-ubunmu.

jeritku meringkuk ke sudut ranjang. malam kian memanjang.



SFX: Music,"Tear" by RHCP



Body Announcer:



Tak ada yang lebih sakit dari ini, setiap pengkhianat pasti akan gugur.

kata terakhir jatuh. namamu mengabu di asbak rokokku.

dari ekor matamu luka pun menguak. rahasia demi rahasia pun terbahak.

maut telah siap-siap mengayunkan kampak.

kenikmatan tuntas. tubuhku hangus, dan ruh bergegas.



SFX: desir daun-daun akasia di luar kamar



SFX: rokok kretek yang dihisap dalam-dalam



SFX: kerikil jatuh ke bening kolam

[Tentang Puisi] Antara Penyair dan Idiot, Salvador Dali





Orang pertama yang mengibaratkan pipi seorang gadis belia sebagai setangkai mawar pasti seorang penyair, orang pertama yang mengulang lagi pengandaian itu mungkin seorang idiot.



* Salvador Dali (1904-1089), penghulu aliran lukisan surealis.

Tuesday, March 16, 2004

Kota yang Tak Pernah Tidur

Federico Garcia Lorca



Di cakrawala, tak seorang tertidur.

Tak seorang pun, tak seorang pun.

Tak seorang pun tertidur.

Binatang malam mengendus bulan,

mengincar mangsa di kandangnya.

Ada iguana yang kelak menjelma

dan mengerkah engkau yang tak bermimpi,

dan sia-sia engkau yang menghambur kabur

dengan jiwa hancur, di sudut jalan itu

    diam-diam sudah menunggu: aligator

di langit, bintang-bintang menggerutu.



Di bumi, tak seorang tertidur.

Tak seorang pun, tak seorang pun.

Tak seorang pun tertidur.

Di lapangan kuburan, ada jerangkong

tiga tahun sudah: merintih meraung

tersebab negeri yang kering di lututnya;

dan arwah bocah yang dikubur tadi sore

keras menangis, sejadi-jadinya tangis.

Lekas panggil anjing datang, biar lolongnya

mengembalikan mereka kepada sunyi.



Hidup bukanlah mimpi. Awaslah! Awaslah!

Kita jatuh dari itu tangga, menyantap basah tanah.

Kita memanjati mata pisau itu salju dengan

suara kelopak mati bunga-bunga dahlia.

Tapi, tak ada khilaf, tak ada mimpi-mimpi;

kecuali aroma daging!

Ciuman menambatkan mulut kita

pada belukar urat-urat darah,

dan siapa pun yang mengekalkan duka

    kelak merasai itu duka selamanya.

dan siapa pun yang takutkan kematian

    ancaman itu terus ada di pundaknya.



Suatu hari nanti

kuda-kuda terikat kekangnya di depan salun.

Dan semut-semut yang meradang

melemparkan diri sendiri ke langit kuning

sebelum mengungsi di mata sapi-sapi.



Lain hari

Kita saksikan, bangkit bangkai kupu-kupu

lalu terbang di atas bunga karang kelabu

dan perahu-perahu mengapung bisu.

Kita saksikan cincin berkilat dan mawar

bersemi di lidah-lidah kita.

Awaslah! Awaslah! Berhati-hatilah!

Dia yang masih mencagar tanda cakar

dan masih menabung bagai bertarung,

dan bocah lelaki yang menangis meraung

tersebab tak pernah tahu siapa

yang lebih dahulu menemukan jembatan,

atau orang mati itu yang kini tinggal kepala

dan sepasang sepatu,

kita harus menghalau mereka ke tembok

di sana iguana dan ular menunggu sabar,

di sana gigi-gigi beruang menunggu tenang,

di sana potongan tangan bocah menunggu resah,

dan bulu-bulu unta tegak meremang,

sebelum akhirnya cekam lagu biola biru.



Di cakrawala, tak seorang tertidur.

Tak seorang pun, tak seorang pun.

Tak seorang tertidur.

Bila ada yang memejamkan mata,

ada cemeti, ah bocah, ada cemeti!

Biarkan terbentang pandang mata nyalang

dan pedih luka-luka di api nyala.

Tak seorang tertidur di dunia.

Tak seorang pun, tak seorang pun.

Sudah kusebut itu sebelum bait ini.



Tak seorang tertidur.

Tapi bila ada yang membiarkan tumbuh lumut

di kuil-kuilnya sepanjang malam buta,

buka saja pintu rahasia, agar dilihatnya purnama,

gelas piala, dan peracun nyawa, dan

di panggung itu: tengkorak kepala.



--------



City That Does Not Sleep



In the sky there is nobody asleep. Nobody, nobody.

Nobody is asleep.

The creatures of the moon sniff and prowl about their cabins.

The living iguanas will come and bite the men who do not dream,

and the man who rushes out with his spirit broken will meet on the

    street corner

the unbelievable alligator quiet beneath the tender protest of the

    stars.



Nobody is asleep on earth. Nobody, nobody.

Nobody is asleep.

In a graveyard far off there is a corpse

who has moaned for three years

because of a dry countryside on his knee;

and that boy they buried this morning cried so much

it was necessary to call out the dogs to keep him quiet.



Life is not a dream. Careful! Careful! Careful!

We fall down the stairs in order to eat the moist earth

or we climb to the knife edge of the snow with the voices of the dead

    dahlias.

But forgetfulness does not exist, dreams do not exist;

flesh exists. Kisses tie our mouths

in a thicket of new veins,

and whoever his pain pains will feel that pain forever

and whoever is afraid of death will carry it on his shoulders.



One day

the horses will live in the saloons

and the enraged ants

will throw themselves on the yellow skies that take refuge in the

    eyes of cows.



Another day

we will watch the preserved butterflies rise from the dead

and still walking through a country of gray sponges and silent boats

we will watch our ring flash and roses spring from our tongue.

Careful! Be careful! Be careful!

The men who still have marks of the claw and the thunderstorm,

and that boy who cries because he has never heard of the invention

    of the bridge,

or that dead man who possesses now only his head and a shoe,

we must carry them to the wall where the iguanas and the snakes

    are waiting,

where the bear's teeth are waiting,

where the mummified hand of the boy is waiting,

and the hair of the camel stands on end with a violent blue shudder.



Nobody is sleeping in the sky. Nobody, nobody.

Nobody is sleeping.

If someone does close his eyes,

a whip, boys, a whip!

Let there be a landscape of open eyes

and bitter wounds on fire.

No one is sleeping in this world. No one, no one.

I have said it before.



No one is sleeping.

But if someone grows too much moss on his temples during the

    night,

open the stage trapdoors so he can see in the moonlight

the lying goblets, and the poison, and the skull of the theaters.



Translated by Robert Bly


Monday, March 15, 2004

Mitos-mitos Diri Sendiri

/1/



aku rumahmu, aku rumahmu

menunggu bimbang datang,

mengetuk pintu: Kau pulang!



/2/



dadaku terbuka, tak ada pintumu di sana

dadaku terluka, jejak darahmu mengada



/3/



sehabis sebait tangis

begitu berat bulu mata

mengerdip adalah siksa

memejam: yang tampak

hanya rasa sakitnya...



/4/



jari ini pernah menyentuh bibirmu

menulis nama yang kerap kau sebut



jari ini pernah menyentuh telingamu

membisik nama yang kerap kau dengar



jari ini pernah menyentuh diriku sendiri

tubuh yang tak sepenuhnya kukenali



/5/



kukira jantung ini segalanya:

detak yang tak pernah kuminta



/6/



yang paling jauh adalah

perjalanan dari kaki ke kaki



yang paling letih adalah

perjalanan dari kaki ke kaki



yang paling sampai adalah

perjalanan dari kaki ke kaki



yang paling jarak adalah

perjalanan dari kaki ke kaki



yang paling tempuh adalah

perjalanan dari kaki ke kaki



yang paling ingin kujelajahi:

penaklukan dari kaki ke hati



Maret 2004

Hanya Ketukan di Pintu

Di bilikku, suara detak itu bersahutan, Edgar.

Jam, jantung, dan seorang di seberang pagar.



Dentang itu sampai ke pintu, dadaku mencari.

"Pintu tak pernah kukunci," aku mau sendiri.



Maret 2004








HURUF TUBUH dari Situs Petardas

Friday, March 12, 2004

[Tentang Puisi] Jangan Teriakkan Puisi, Dana Giaio





Pada puisi yang baik tak ada pemisahan antara bentuk dan perasaan. Bentuk memberi wadah bagi perasaan, sebaliknya emosi memberi gerak kepada bentuk. Bentuk puisi yang paling murni adalah abstrak dan tidak hidup. Emosi saja, akan jadi subjektif dan kacau....Sebuah puisi, tak perlu diteriakkan supaya dia bisa didengarkan.



* Dana Giaio, penyair & kritikus Amerika.



Tuesday, March 9, 2004

Melintasi Jagad Luas*

Deras arus kata mengalir, bagaikan

hujan berkekalan, ke gelas kertas

laju tak tertahankan, lalu berlarian

ia terlepas, melintas jagad luas.

Sedanau nestapa melambai suka cita

menetes jatuh ke benak pintu pikirku

merampasku jadi milikmu, memagutku.



"Terberkati engkau Deva, Sang Guru!"



Karena duniaku, karena duniaku

tak akan ada yang merusaknya

tak akan ada yang mengusiknya

tak akan ada yang mengubahnya



Cahaya pecah jadi bayang berdansa

bersamaku, bagai sejuta tatap mata

terus menyeruku, melintas jagad luas.

Berliku pikir bagai angin tak tahu letih,

mengaduk sekotak huruf, acak terhambur

menemu jalan, melintas jagad luas.



"Terberkati engkau Deva, Sang Guru!"



Karena duniaku, karena duniaku

tak akan ada yang merusaknya

tak akan ada yang mengusiknya

tak akan ada yang mengubahnya.



Suara gelak meneduhi bayang bumi

berderingan merasuki telingaku terbuka

menghasutku, memikat datangku.

Tak lagi berbatas cinta yang kekal

memendarkan cahaya mengepungku

bagai sejuta matahari, terang yang

terus menyeruku, melintas jagad luas.



* Terjemahan untuk Sam Haidy oleh Hasan Aspahani

secara bebas dari lirik lagu Beatles Across The Universe

pada album Let It Be karya Lennon & McCartney.

Monday, March 8, 2004

Suara Sisifus Tertawa

Kata-kataku diperanakkan tanpa ibu,

menguji janji, berkelana bersamaku.



: memburu kehendak nasib terburuk,

murka yang mengundang badai kutuk.



"Sebenarnya sia-sia saja, Saudara,"

kau dengar? Suara Sisifus tertawa!



Kita toh tidak pernah punya rumah,

kepada siapa durhaka tersembah.



Maret 2004

Tahun yang Kau Seret Hingga Maret

telah jauh gema: menjerit terompet

tahun yang kau seret hingga Maret

di antara jemari, sebatang arang grafit

kertas kosong belum juga ada tercoret



Maret 2004