Wednesday, March 4, 2009

Kalau Aku Kehilangan Judul Sajak Ini, Aku Tahu Kaulah yang Mencuri

LIHAT, betapa lihainya kami saling mencuri.

Sajak ini tadinya kutulis karena aku ingin
memakai kata "maling". Aku tak ingin membuka
kamus (besar atau kecil, lengkap atau tak
lengkap) untuk memastikan apa arti kata itu.

Di folder PUISI di laptopku, kucari sajak-sajak
lama di mana kata itu hadir. Hei, aku bertemu
kamu di beberapa sajakku itu. Aku kira kau
sedang mencuri beberapa kata dari sana. Aku
menemukan kata-kata yang kau curi itu di sajakmu,
tapi, aku tak pernah punya bukti bahwa kau memang
telah mencurinya dari sajakku. Aku tak kehilangan
apa-apa. Aku tak rugi, meski aku tahu pasti kau
mencuri beberapa kata dari beberapa sajakku.

Diam-diam, aku berharap kau juga telah tahu
bahwa, aku juga sering menyelinap ke sajakmu
dan mencuri beberapa kata untuk sajak-sajakku.

Sajak ini, tadinya ingin kuberi judul dengan
kata "maling", misalnya Betapa Malingnya
Penyair Besar, Betapa Malangnya Penyair Kecil
,
tapi ah, anggap saja aku kehilangan judul sajakku
ini, dan aku tahu kaulah yang mencuri.





Kau Beri Judulnya, Aku Tulis Sajaknya

KITA tak pernah peduli pada surat Penyair Besar
kepada Penyair Muda itu. Maka, kita pun terus
bertukar sajak cinta (dan akhirnya demikianlah:
sajak menjadi alasan dan jalan kita bercinta)

"Maukah kau menyajakkan (lagi) Mataku?" katamu.

Aku pun masuk ke matamu, dan di sebuah tempat
(seperti teluk pantai teduhnya), aku direbut
ombak. Mungkin saat itu kau sedang memejam
(aku seperti melayari malam), ketika itulah
kutemukan sebait yang kuyakini sebagai sajak:

Matamu lampu mercu, menyuar lelaki pelayar,
kau tak melihatku, aku menatapi dengan rindu.

"Hmmm, sekarang, sajakkanlah dadaku," pintamu.

Ah, betapa ingin dan alangkah takut aku menulis
sajak tentang bagian tubuh dari mana kelak kau
dipanggil Mama oleh anak-anak kita itu.

Banyak penyair di luar percintaan kita, menulis
dadadara kekasih mereka itu dengan berbagai
metafora, tapi aku (dalam bait sajak yang kutulis
setelah kau pinta itu) menjadikannya metafora,
(sebenarnya itu sajak paling gairah yang tak
pernah ingin kuselesaikan, selamanya...)

"Inilah sajak yang paling dada. Biar aku saja
yang menyimpannya, dan biar kuberitahu judul
apa yang aku ingin kau berikan pada sajak itu.
Judul sajak cinta ini paling tepat diletakkan di
dada bukan di kepala
," katamu, mendekap sajakku.

Demikianlah, kita punya alasan yang kuat dan jalan
yang panjang untuk bercinta. Setiap kali menulis
sajak, aku seperti membaca dadamu, aku seperti
sedang menambahkan bait-bait baru pada sajak
tentang dadamu di dadadaramu itu.



Semua Kata di Sajak Ini Ingin Kuanggap Sebagai
Judul dan Sekalian Juga Isi, sebab Judul dan
Isi Sejak Kapan Mereka dengan Kejam Dipisahkan?



"HUJAN itu puisi kita, bukan?" katamu pada suatu
hujan. "Ya," kataku, "dan kita tak pernah peduli
apa judulnya." Kita baca sehuruf-sehuruf rintik
hingga basah bait terakhir habis dibasuhkan....

Aku mau kelak anak-anak kita, dan anak-anak anak
kita, mengenang kita sebagai sepasang puisi juga.

Aku mau mereka membaca betapa basah kita berdua,
sebab hujan cinta tak pernah reda di hari-hari
hidup kita. Hujan kita, cinta kita seperti juga
kita, adalah Sajak yang Tak Lagi Peduli Mana
Judul dan Mana Isi
, seperti judul dan isi sajak ini.




FIKSIMINI - Jam dan Kalender

KALENDER itu berusaha merontok-rontokkan angka-angka tanggal dan nama-nama hari pada bulan-bulannya. Tapi, tak ada yang terlepas. Semua tetap terbaca, berurutan, satu hingga 28, 30 atau 31. "Ha ha ha. Sia-sia saja, Kawan," kata Jam di dinding itu.

Sejak itu, Kalender itu tak mau berusaha melepaskan diri dari angka tanggal dan nama hari yang melekat padanya (Sia-sia saja, kawan....). Abadi, seakan.

Jam itu pun tak pernah bicara apa-apa lagi. Ia seakan menyesali kata-katanya kepada Kalender itu (Sia-sia saja, Kawan....). Jam itu kini sadar, dengan atau tanpa angka padanya, ia tak pernah bisa mempercepat atau memperlambat tik tak tik taknya sendiri. Suara detik itu dengan seksama disimak oleh si Kalender itu. Kalender itu merasa seperti ada yang ikut berdetak pada angka-angka tanggal dan nama-nama hari bersama detak detik itu.



Nanti Aku akan Singgah di Kafemu

: Solopuccino


DAN lekas memohon untuk segelas kopi
yang segera kubayangkan jadi puisi:
hitam matang serbuk keping-keping biji,
manis yang tak bisa dicicipi oleh
serat batang tebu - yakinkan di ujung
syaraf lidah kita - dan hangat kepul uap
pada ketel itu (siapa yang larut pada
apa, sebenarnya?)

Aku akan bayangkan, kopi yang kau sajikan
mengambil hitamnya dari langit malam,
menciptakan kepul uap dari hangat igauan

dan manis itu? Ia kristal yang tak berdaya
pada takaran, bahkan pun bila ditiadakan!

Ya, nanti aku akan singgah di kafemu itu
dan lekas meminta hangat perbincangan:
Mungkin tentang kaos yang kau kenakan,
Semar dan Mister Bean (siapa bicara
dalam bahasa apa, sebenarnya?)