Sunday, December 30, 2007

[Pencerahan # 013 dari 365] Sebuah Kredo

"WAHAI, Penyair Guru, apakah sebuah kredo dibutuhkan dalam setiap puisi?" tanya Penyair Ragu.

"Tidak. Buat apa? Menulis sajak sajalah, buat apa lagi kita harus menulis sebuah kredo untuk setiap sebuah puisi yang kita tulis?" jawab Penyair Guru.

"Oh, jadi kapan saya perlu menuliskan kredo puisi saya?" tanya Penyair Ragu.

"Sudah berapa banyak kau tulis puisi? Adakah kau bisa dan perlu menyusun satu rumusan umum yang bisa memandu pembaca untuk masuk berpetualang ke dunia sajak-sajakmu? Dan dengan sajak-sajakmu itu bisakah kau menegaskan sikap menyairmu, pandanganmu terhadap kata dan bahasa yang unik yang berbeda yang bisa menuntun pembaca ke pintu memasuki sajak-sajakmu?" kata Penyair Guru.

[Pencerahan # 012 dari 365] Puisi Sedih

PENYAIR Galau bertanya, "Penyair Guru, apakah ada kata-kata yang bagus selain luka, duka, pedih, air mata, sepi, sendiri, sunyi, risau, galau untuk dijadikan puisi yang sedih?"

"ADA dan banyak, tidak terbatas. Semua kata yang kau tahu bisa dengan bagus untuk kau jadikan puisi bernada sedih. Juga bisa menjadi puisi bernada lain: riang, marah, gembira, pasrah. Itulah tugasmu dan sekaligus sumber kegembiraanmu sebagai penyair. Nah, bergembiralah!" []

Saturday, December 29, 2007

Tren Puisi 2008

BAGAIMANA kecenderungan perpuisian kita di tahun 2008? Saya mengirim pertanyaan itu lewat pesan pendek ke beberapa orang. Inilah jawaban mereka:

1. Zen Hae (Jakarta): Wah, kiranya itu bisa juga ditanyakan kepada Mama Laurent, tapi menurut hemat kami bayang-bayang Goenawan Mohamad dan Sapardi masih kuat juga, hanya penyair yang menengok dunia luarlah yang bisa selamat dari itu semua.

2. Sitok Srengenge (Jakarta): Sedikit penyair 'mapan' bertahan dan lebih matang, beberapa nama yang terlanjur terkenal terbukti lesu darah, beberapa nama baru membawa kesegaran.

3. T.S. Pinang (Yogyakarta): Kata Mbah Mardjuki tahun 2008 akan bermunculan generasi penyair angkatan baru. Penyair-penyair non-jakarta akan bersinar. Terutama dari Makassar dan Batam. He he he...

4. Wayan Sunarta (Denpasar): Tahun depan dikuasai penyair genit. Ha ha ha.

5. Sapardi Djoko Damono (Jakarta): Kok nomornya ganti? Puisi kita akan baik-baik saja. Akan semakin banyak yang menulis puisi.

6. Acep Zam-zam Noor (Ciamis): Aku gak tahu juga soal tren. He he he.

7. Iyut Fitra (Padang): Bagaimana kalau coba tanya ke Permadi?

8. Gus tf (Payakumbuh): Itulah, Hasan. Aku kan cuma penyair, bukan peramal.

9. Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta): Harapan saya, semoga puisi tak punya tren, yang membuatnya niscaya berbeda dengan busana atau gaya rambut. Jika Mama Laurent tak tahu puisi, saya tak mau tahu tren puisi. Begitu, he he he...

10. Joko Pinurbo (Yogyakarta): Ha ha... Gimana ya? Mungkin puisi berpola narasi akan berkembang, puisi lirik yang romantis-sentimentil untuk sementara akan surut. Yang jelas karya para penyair generasi baru/muda akan tambah semarak dan menggairahkan. Tapi, para penyair terdahulu juga akan meramaikan gelanggang. Dan puisi akan makin digemari. Seru deh. Kita cukup memiliki cukup banyak penyair perempuan berbakat. Ini belum pernah terjadi di era-era sebelumnya. Mereka akan makin "menggila". Karya mereka justru jauh dari warna sentimental-cengeng-lembek. Ha ha...

11. Binhad Nurohmat (Jakarta): Kayaknya yang tren masih rata kanan. Mereka mabuk sajakku. Aku sedang garap sajak-sajak yang lebih dahsyat. Tunggulah tayangnya. Mereka bakal kepayang.

Friday, December 28, 2007

Selepas Orgasmaya; Show of Force Pertama HAH

Oleh Wawan Eko Yulianto

    Dari kecenderungan yang tampak pada bagian ketiga dan kedua, saya sok-simpulkan bahwa bang Hasan memiliki semacam hasrat untuk memberikan kebaruan gaya ungkap dalam puisinya (mungkin ketika menulis puisi-puisi di kedua bagian tersebut bang Hasan sudah lama menceburi puisi dan ingin sesuatu yang tidak begitu-begitu saja. Dan muncullah gaya-gaya ungkap sedemikian rupa.

.: Selengkapnya baca BERBAGI MIMPI

[Pencerahan # 011 dari 365] Layak Penyair

SEORANG Murid Jauh, bertanya "Wahai, Penyair Guru, saya baru mempublikasikan puisi-puisi saya di beberapa media lokal. Apakah saya sudah layak disebut 'penyair'?"

"Seperti orang yang menebang pohon disebut penebang, maka ketika engkau menulis puisi engkau boleh disebut atau menyebut diri sebagai penyair. Tapi, kenapa kau ingin disebut penyair? Engkau tahu, sebutan itu seringkali disebut dengan sinis oleh orang yang bukan penyair dan oleh para penyair sendiri, dan banyak sekali beban yang harus disandang kalau engkau disebut penyair. Seharusnya memang tidak begitu, Murid Jauhku."

"Jadi layakkah saya disebut penyair, Guru?"

"Menulis puisi sajalah. Penyair yang sejati, tidak akan pernah bertanya seperti itu, wahai Murid Jauhku!"

[Pencerahan # 010 dari 365] Guru dan Murid

TAK ada penyair murid yang bertanya hari itu. Maka Penyair Guru pun berkata, "Sesungguhnya yang jauh lebih penting daripada hubungan antara Guru dan Murid itu adalah peristiwa belajar."

"...dan mengajar, Guru?" Akhirnya ada juga Penyair Murid yang bertanya.

"Tidak. Bagi saya tidak!"

"Kenapa, Guru?"

"Tidak ada Guru dan Murid apabila tidak ada peristiwa belajar. Dan belajar tidak perlu harus bergantung pada seorang guru, apalagi Guru yang tak jelas Keguruannya seperti saya ini. Engkau bisa belajar dari diam dan marahnya alam. Engkau bisa belajar dari pasang dan surut air laut. Engkau bisa belajar dari ketakukan dan kesalahanmu sendiri. Engkau bisa berguru pada apa saja juga pada dirimu sendiri."

"Tapi guru itu kan tugasnya memang mengajar, Guru?"

"Tidak. Bagi saya tidak. Ketika saya mengajar, saya sesungguhnya sedang belajar, saya sesungguhnya lebih banyak mengajari diri saya sendiri, atau mengulangi pelajaran yang sudah saya pelajari lebih dahulu."

[Pencerahan # 009] Nasihat Hari Ini

"WAHAI, Penyair Guru, apa nasihatmu hari ini?"

"Ada baiknya, sesekali tahanlah pertanyaanmu, simpan dan jangan ajukan dulu. Ada baiknya sesekali tundalah keinginanmu meminta nasihat dari siapapun..."

[Pencerahan # 008] Jalan Puisi

SEORANG Penyair Pemula bertanya kepada Penyair Guru, "beri jalan saya untuk mulai menapak di jalan puisi."

"Engkau bisa mulai dengan berpantun."

"Pantun? Maksud Guru apa?"

"Jurus-jurus pantun sebenarnya bagus sekali untuk mempermahir jurus-jurus puitikmu. Ketika berpantun dan engkau ingin menciptakan pantun yang baik, maka engkau harus punya bekal kosa kata yang cukup, engkau harus menentukan apa yang hendak engkau sampaikan dalam dua larik isi, dan kemudian menyusun dua larik pembayang, engkau harus mengatur rima, engkau harus mencari diksi yang pas, engkau harus menyusun logika kalimat di dua pasang larik itu..."

"Puisi kan tidak begitu, Guru?"

"Puisi pada hakikatnya adalah seperti pantun juga, tapi Engkau tidak berpikir untuk membagi apa yang engkau sampaikan ke dalam sampiran dan isi. Tiap bait adalah sampiran sekaligus juga isi."

Thursday, December 27, 2007

[Pencerahan # 006] Baik dan Buruk

"GURU, saya kira sajak itu seperti manusia. Semuanya hadir dengan keistimewaan dan manfaat masing-masing."

"Betul."

"Jadi, Guru. Tidak relevan lagi membicarakan sajak baik atau buruk. Sebagaimana juga tidak ada manusia yang sepenuhnya buruk atau sepenuhnya baik, bukan?"

"Tidak betul."

"Lho, kok begitu?"

"Sajak yang buruk adalah orang yang tak punya apa-apa tetapi angkuh. Dia pamer menyombongkan apa yang sebenarnya tidak ada pada dirinya. Sajak yang baik adalah orang memiliki banyak hal tetapi ia memilih tampil rendah hati, atau kalaupun ia sedikit bergaya, maka ia memilih gaya yang pas yang tetap mengesankan kerendahhatian: dia tak menyorong-nyorongkan, juga tidak sengaja menutup-nutupi apa-apa yang ia punya itu. "

(Hampir) Haiku

Nokia 2310 silver
19 misscall itu darimu
15.34 angka waktu

Kutekan *888#
active until 30/01/08
Rp176 sisa pulsa







[Pencerahan # 005] Menyuramkan?

SEORANG penyair murid kesal kepada Penyair Guru, karena jawaban atas pertanyaannya tidak memuaskan. "Guru, nasihatmu tidak mencerahkan. Komentarmu menyesatkan. Kata-katamu nonsens."

Penyair Guru tersenyum. "Betul. Betul sekali. Saya hanya mengembalikan apa yang saya dapat darimu."


 

Wednesday, December 26, 2007

[Pencerahan # 004] Meragukan Keyakinan

KEPADA penyair yang sering gamang dan ragu-ragu, Penyair Guru berkata, "sajak yang baik memang kadang selalu menghadirkan sikap yang ragu-ragu, ambigu, sikap yang abu-abu.

"Tetapi seorang penyair, bukanlah seorang yang selalu dirundung ragu-ragu. Ia orang yang yakin akan segala hal, tetapi ia selalu mempertanyakan keyakinannya itu, agarbisa menapak ke tingkat keyakinan yang lebih tinggi dan ia kemudian mempertanyakan lagi dengan tanda tanya yang lebih besar ."



[Pencerahan # 003] Pertemuan Rindu

ADA penyair yang banyak sekali menulis sajak. Setiap hari dia menulis sajak. Apa saja ia sajakkan. Ia seperti berkejaran dengan sajak. Ia dikejar sajak, ia mengejar sajak.

Kepadanya Penyair Guru berkata, "pertemuan yang indah adalah pertemuan yang digerakkan oleh rindu. Bahkan kadang-kadang rindu itu sendiri jauh lebih indah daripada pertemuan yang dirindukan itu."

Penyair Guru melanjutkan, "Apa yang lebih penting untuk kau capai, Penyair, keindahan itukah? Atau pertemuan itukah?"

[Pencerahan # 002] Dekat dan Jauh

KEPADA seorang penyair muda yang suka menyajakkan hal-hal yang jauh - benda angkasa luar, planet-planet, galaksi - Penyair Guru berkata , "Sajakkanlah apa yang dekat denganmu."

Penyair muda itu berkilah, "kalau yang dekat itu tidak menggerakkan saya untuk menulis puisi, apa yang harus saya lakukan, Guru?"

Penyair Guru berkata, "Engkaulah yang harus bergerak, dekati mereka, akrabi mereka, jangan menunggu mereka menggerakkanmu."

Penyair Guru itu berkata lagi, "Ingatkah engkau, tentang seorang penyair mahir yang bergerak menyajakkan hal-hal yang amat dekat dengannya dan tentu saja dengan kita semua - seperti celana, kamar mandi, ranjang? Dan dengan benda-benda itu ia justru dapat meraih keluasan yang melampaui angkasa luar, planet-planet dan semua galaksi."

[Pencerahan # 001] Dukungan bagi Kepenyairan

ADA penyair yang ingin meninggalkan rumah karena dia bilang rumahnya tak mendukung kepenyairannya.

Ada penyair yang ingin menanggalkan pakaiannya karena dia bilang pakaiannya tak mendukung kepenyairannya.

Penyair Guru berkata, "bilang padanya, jangan-jangan yang harus ia tinggalkan adalah puisi-puisinya sendiri, karena jangan-jangan puisi-puisnya itu yang justu tak mendukung kepenyairannya."

Tuesday, December 25, 2007

ADA saya di YOUTUBE!
Juga ada di GUEBANGET!

* Terima kasih, Dobby! :-)

Sunday, December 23, 2007

Kisah Sepasang Terompet

SUDAH lama kami tidak bersapaan. Sebagai sepasang
kekasih, hubungan kami sudah di ambang perpisahan.

Di penghujung Desember, aku singgah di rumahnya.
Dia sedang menerawang tenang di beranda depan.

"Hai, honey, boleh aku temui terompet lamamu itu?
Terompet yang tahun lalu pet-pet-petnya berhasil
mengganti tahun kita yang lama menjadi tahun baru?"

Dia masih menerawang, matanya menatap ke dalam
matanya sendiri, saat dia berkata, "Mungkin saja
dia ada di teras samping. Tadi kulihat dia masih
di sana. Kesepian. Aku sudah bosan meniupnya.
Aku disiksa kenangan kalau mendengar suaranya."

Aku pun bergegas menuju ke arah yang ditunjuknya.
Kutemukan terompet itu rontok rumbai-rumbainya,
peyot corongnya, dan aduh nyaris koyak mulutnya.

"Keterlaluan, terompet kenangan kok disia-siakan."
Aku teringat terompetku yang kutinggalkan di rumah.

*

TANPA pamit dan minta izin padanya, sang terompet itu
kuajak pulang, untuk kupertemukan dengan terompetku.

Mereka berdua langsung saja berpelukan erat sekali.
Dua mulut itu berpagutan seakan tak mau dilepaskan.

"Wah, sedang apa kalian?" tanya saya. Mereka bilang,
"kami sedang belajar saling tiup, saling membunyikan."

*

DI malam tahun baru ini, ingin sekali aku singgah di
rumahnya. Ingin sekali aku sampaikan kisah perdamaian
sepasang terompet: terompetku dan terompetnya itu.



Friday, December 21, 2007

Ada Lomba di Jambi

ADA sebuah lomba di Jambi. Panitia menunggu kiriman naskah puisi dan cerita pendek  selambat-lambatnya pada 31 Maret 2008.
     Karya harus Berbasis Cerita Rakyat Jambi. Peserta diperkenankan mengirimkan 3 (judul) puisi yang belum pernah dipublikasikan di media massa baik lokal maupun nasional, ataupun dalam bentuk buku maupun melalui internet.
     Karya cipta harus asli, bukan terjemahan maupun saduran, jiplakan atau dibuatkan oleh orang lain (bukan hasil plagiat), dan bukan hasil klaim terhadap hak cipta orang lain.
     Apabila pada karyanya terdapat ungkapan, istilah, kata frase, kalimat dan bahasa setempat (bahasa Melayu Jambi dan dialeknya) harus dibuat penjelasannya yang ditulis pada lembar tersendiri.
     Diketik rangkap 4 pada kertas ukuran kuarto, huruf Times New Roman, font 12 pt, spasi 1,5. Naskah puisi, bio data, surat pernyataan, tanda pengenal yang masih berlaku, lembar penjelasan dikirimkan dalam amplop tertutup disertai disket atau cakram padat ke alamat (Pada kiri atas amplop ditulis jenis lomba yang diikuti) :

Panitia Lomba Penulisan Puisi dan Cerita Pendek
Berbasis Cerita Rakyat Jambi
Jambi Writing Program
Jln. Prof. HMO. Bafadhal RT. 07 RW. 03 No. 04
Cempaka Putih, Jambi 36134,

Atau dapat pula dikirim via e-mail ke: newwacana@yahoo. com

***
SAYA mempersiapkan puisi untuk lomba tersebut. Lewat Pakde Gugel saya dapat ini:
           Menurut cerita lisan yang saya dengar dari beberapa Orang Rimba di TNBD, mereka mengatakan bahwa nenek moyang  mereka adalah orang Padang (Minangkabau) di Sumatera Barat. Pada awalnya mereka semua berkampung sampai kedatangan  orang Belanda. Karena enggan dikuasai oleh orang asing, mereka melakukan perlawanan. Namun karena tidak kuat  melawan maka mereka lari. Sebagian dari mereka lari ke hilir (ke arah laut) dan sebagian ke arah hulu (ke gunung).
          Mereka yang menyingkir ke hilir menjadi Orang Minangkabau, sedangkan mereka yang menyingkir ke gunung dan hutan  menjadi Orang Rimba. Lama kelamaan, karena ingin menghindari orang asing mereka sampai di jambi.
          Versi lain mitos asal usul Orang Rimba berkaitan dengan sebuah cerita mengenai Putri Pinang Masak. Konon kabarnya,  pada zaman dahulu kala Jambi dipimpin oleh Ratu Putri Selaras Pinang Masak yang berasal dari kerajaan Pagaruyung  dari wilayah Sumatera Barat kini. Pada suatu masa, terjadilah pertentangan dengan raja Kayo Hitam yang berkuasa di  lautan sampai dengan Muara Sabak (daerah Kuala Tungkal saat ini). Sang ratu merasa kewalahan sehingga ia meminta  bantuan ke Pagaruyung. Maka dikirimkanlah serombongan pasukan oleh raja Pagaruyung. Namun belum sampai di Jambi,  rombongan pasukan tersebut kehabisan bekal di sekitar wilayah TNBD sekarang. Akhirnya mereka memutuskan untuk  menetap di dalam rimba karena apabila kembali ke Pagaruyung akan dihukum, sedangkan bila meneruskan perjalanan  sudah tidak memiliki bekal lagi. Mereka juga bersepakat untuk tidak tunduk kepada siapapun, baik kepada raja  Pagaruyung maupun ratu Jambi. Merekalah yang kemudian menurunkan Orang Rimba.
           Dari salah seorang Orang Rimba Makekal, didapat cerita mengenai Bujang Perantau sebagai nenek moyang Orang Rimba.  Diceritakan bahwa Bujang Perantau berasal dari Pagaruyung. Ia tinggal sendiri di dalam sebuah rumah di dalam hutan.  Pada suatu hari ia memperoleh buah gelumpang. Pada malam hari ia bermimpi agar membungkus buah gelumpang dengan  kain putih. Oleh bujang perantau mimpi tersebut dilaksanakan. Lalu muncullah putri cantik dari buah gelumpang yang  dibungkus. Mereka berdua lalu kawin. Namun karena tidak ada yang mengawinkan maka mereka meniti batang kayu yang  melintang diatas sungai. Pada saat kening mereka beradu, maka berarti perkawinan mereka sah.
             Dari hasil perkawinan  mereka lahirlah empat orang anak, yakni Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, dan Putri Pinang masak. Anak pertama dan terakhir, yakni Bujang Malapangi dan Putri Pinang Masak keluar dari hutan dan kemudian menjadi  Orang Terang. Bujang Malapangi berkampung di desa Tana Garo. Putri Pinang Masak berkampung di Tembesi. Sedangkan  Dewo Tunggal dan Putri Gading tetap tinggal di dalam hutan, yakni di wilayah hutan bukit Duabelas. Kedua anak dari  Bujang Perantau yang tinggal di dalam hutan yang kemudian menurunkan Orang Rimba.


       Saya akan mengolah cerita itu jadi puisi untuk saya ikutkan di lomba tersebut di atas. Karena salah satu syaratnya adalah tidak boleh disiarkan termasuk di blog, maka saya tidak akan tampilkan puisinya di sini, kecuali nanti setelah puisi tersebut menang. :-)
       Anda mau ikut kirim puisi juga? Kirimlah, kita bertanding di sana!

DOA

doa ku beri kepak pada harap agar bisa hinggap pada sayap-Mu
doa ku beri kaki pada taubat agar bisa pijak pada jejak-Mu
doa ku beri tangan pada tadah agar bisa usap pada wajah-Mu

doa ku beri diam pada sesakisak agar kabul sampai pada amin-Mu

Semacam Haiku?

kalender lama
bergambar titi kamal
bulan oktober

majalah tempo
terbuka halamannya
catatan pinggir

Wednesday, December 19, 2007

HITUNG

batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor bilangan mu domba
batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor gembala mu domba
batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor usia mu domba
batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor padangrumput mu domba
batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor matahari mu domba
batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor kandang mu domba

batu tambah batu
batu kali batu
batu kurang batu
batu bagi batu

domba

ber a pa
ekor
leher mu

ber a pa
ekor
sembelih mu

ber a pa
ekor
darah mu

Saturday, December 15, 2007

Mikuatrinael: Karena Sajak Ada di....

kuulurkan tangan padanya: mari kita ngembara
Ke mana saja. Karena sajak ada di sepanjang benua

("Percakapan dengan Zaini", Taufiq Ismail)


DI kamar itu, Rendra, onggok jagungmu tak ada
hanya halaman-halaman suratkabar minggu
sisa Heineken berbuih di kepala
Pada Chairil ia teringat, dan ia menggerutu.

Kenapa ia menggerutu? Ia lalu
menyusun sesindir sestina, sejumput bait berhantu
"...jemu pada sajak yang begitu melulu,
kata-kata yang hanya-dari-itu-hanya-ke-itu."

Bukankah bunga-adalah-kata? Di kebun rahasia
jejari cantik bertulang lembut memetik
setangkai kata, sepatah bunga. Dia berkata,
"Chairil, mati-mudamu memang lebih baik!"

Di kamar itu, Taofiq, teks-teks pidato tak ada lagi
pun tak ada: Sajak 2 September 1965, Pagi.
Siapa yang melarang, ia berkata, pada hari ini,
siapa yang melarang cinta pada kebebasan seperti kami?

Di kebun rahasia, siapa saja bisa memetik apa saja ,
karena itu bukankah sesungguhnya tidak-ada-lagi-rahasia?
Tetapi siapa kini perlu rahasia? Di weblog ia tertawa,
tetapi apakah kini masih ada yang rahasia?

Thursday, December 13, 2007

Tawa




                                 : untuk Almarhum pelawak Basuki

DI pojok taman
yang kelak dikenang
sebagai surga,
Adam dan Hawa
tertawa.

"Mereka sedang apa?"
tanya Tuhan
kepada Malaikatnya.

"Tertawa," kata Malaikat.

Tuhan tak tahu bagaimana
dua manusia pertama itu
bisa tertawa. "Tertawa?

Seingatku, kobra dan
pohon di taman itu
tak pernah kuciptakan
untuk bisa tertawa?"

"Adam dan Hawa itu
manusia.
Mereka berbeda.
Mereka istimewa"

"Ya, mereka berbeda.
Mereka berbeda.
Berbeda."

*

"HEI, dia
menceritakan dusta,
dan sekelompok
orang di depannya
tertawa..."

"Biarkan, saja.
Jangan catat itu
sebagai dosa," kata Tuhan
kepada Malaikatnya.

"Dia sedang membuat
saudaranya tertawa.
Kau tahu,
karena kutahu
Adam dan Hawa
bisa tertawa
maka yakin dan lekas
kuputuskan
hukuman."

Tawa, kata Tuhan,
akan bisa membuat
mereka bertahan
di sana.
Di dunia.

Tawa,
akan bisa membuat
mereka melupakan
dan pada saat yang
sama serasa
berada
di surga.

Seakan-akan.

*
Tawa itu juga,
yang dengan fasih
ditiru oleh iblis
sang penyaru di lidah
dan mata kobra.

Suara tawa
yang mematuk
matahati
Adam dan Hawa.


Sajak Zawawi
Hatimu Puisi

                                               : HAH

kujelajahi kamar mayamu, Pengrajin!
hampirhampir tanpa jeda
dan tanpa pertanda

lalu, kupunguti saja
serakan telor emas katakata
menetas dari anus imajimu yang kembara

ku bersejingkat menatap
dinding sketsa dan lantai imaji kamarmu
ku temui juga
potret dan suarasuara
lelaki bertampang garang

bermata nyalang
berdeklamasi lantang

orangorangan sawah, kah?
perangkap penangkap, kah?
suara penghalau burung, kah?

HAH, bukan
kerna sekelibat kutatap
dadamu memancar puisi

Tuesday, December 11, 2007

Gurindamikael: Hakikat Lidah

di bawah pikulan yang kaku itu
adalah pundakku
sejarah berjalan ke saujana
dengan lagu berduri


("Beban", D Zawawi Imron)

LIDAH, lelahkah pundak memikul beban bicara?
Dari ucap ke ucap, bawa sepasang keranjang.

O lebat sekali kata-kata tertampung telinga
O licinnya serapah menggelincir di kakilidah

Lidah, pergilah ke sunyi, pergilah ke senyap
Sebentarkan punggung, nyandar ke rahasia suara.

Lelahkah menelusuri jalan penyebutan, lidah?
Bibir hanya secelah, betapa gegap gema nama.

O kenapa muaramulut luka mengucap-ucap darah?
O kenapa duri-dusta tertikam pada tubuhlidah?

O lidah Ali Haji, Zawawi, Abdul Hadi, Tardji
Lidah yang terang, mengucap niscaya cahaya.

Lidah, kemanakah pundak kaki punggung mulut
bersama memanggul sepasang keranjang kata?





Sajak Ashar Junandar (Blalang Kupukupu)
BADIK BIJAK

                         :HAH

Badik bijak?
Tambah kerut dijitak
Sorot mata. Setajam sajak
Katak lompat di Tapak-tapak semak
Di buangnya. Lumpur retak
Sebab kaki-kaki sungai di kelok-kelok
Berjingkrak- jingkrak

Akh, badik bijak
Tambah banyak.
Kembara yang terbajak
Terbajak. Terbajak

Monday, December 10, 2007

Perilaku Seksual Bahasa Mikael

... dan sebuah mulut berahi kudengar memaki:
'Bangsat, kenapa aku di sini!"


("Potret Taman untuk Allen Ginsberg", Goenawan Mohamad)


BAHASAKU dan aku lahir dari dua ibu yang tak menikah,
(di bait akhir sajak ini kau akan tahu apa alasannya).
Mereka berdua tak bisa berpaling dari pertanyaan itu,
"Hei, lidah kalian, sepasang lidah lesbian, bukan?"

Mereka bertemu di sebuah mal besar. Ibuku tak bisa
menghindar. Seperti sekudap donat dan pizza bundar,
juga tak bisa mengelak dari janji di lidah mereka.

Bahasaku lahir setelah ibuku memesan benih di bank
sperma - mungkin - dari Australia. Dua ibuku sedang
menikmati posisi 6:9 ketika aku lahir bersama bahasaku.

Di rahim siapakah aku dijaninkan? Kedua ibuku pun tak
tahu. Aku tiba-tiba saja sudah ada ada di lidah mereka.
Aku dan bahasaku dipertemukan jilatan dua lidah itu.

Lidah ibuku adalah lidah yang biasa saling berdusta.
Tapi, mereka pasangan yang jujur. Ada masanya mereka
saling membuka semua yang sembunyi di balik kata.

Mereka sedih ketika menyadari betapa banyak yang tak lagi
bisa lahir dari lidah mereka, dan kelak di lidahku juga.
(bait ini bisa juga kau baca begini: Kadang bahasaku
harus juga berkali-kali menggugurkan kandungan maknanya)


Kata-kata dalam bahasaku adalah tempat aku sembunyi.

Lidahku tak bisa lagi menyetubuhi bahasa dengan posisi
misionaris saja. Kami suka, gaya yang menganjing juga.

Kalau lidahku menyetubuhi bahasa lain selain bahasa
yang lahir bersamaku, maka aku bukannya ingin menolak
perkawinan sedarah. Bagiku, bagi lidah ibuku, memang
tidak ada lagi lembaga perkawinan itu. Tidak ada lagi!
(pengulangan 3 kata - "tidak ada lagi!" disengaja agar
larik terakhir itu seimbang dengan larik sebelumnya).

Aku & bahasaku bahagia berperilaku seksual seperti itu?
(Ah, bait ini seharusnya tidak ada. Coba meneliti lagi
ke bait pertama, di bait mana ia janjikan alasan itu?)


 

Diselisihkan oleh Angin, Mikael

ketika berhenti di sini ia mengerti
ada yang telah musnah. Beberapa patah kata
yang segera dijemput angin
begitu diucapkan, dan tak sampai ke siapa pun

("Ketika Berhenti di Sini", Sapardi Djoko Damono)

KETIKA engkau sampai, aku tak tahu, apakah
engkau adalah engkau yang dulu berangkat dan
mengabarkan padaku, "hei, aku sedang menujumu!"

Mungkin aku juga sedang pergi menujumu, menemuimu.
Mungkin kita pernah bertemu di sebuah perhentian,
sebelum menyebut sampai, dan kita saling menyebut nama,
namaku, namamu, dan nama siapa yang hendak kita tuju.

Kata itu cuma getar pita-suara, yang digerakkan angin
dari paru-parumu. "Tidak. Dia tidak musnah setelah
jemputan itu." Angin yang menggetarkan pita suaramu,
yang membunyi namaku, ia menyembunyi di udara itu.

Ketika engkau sampai, aku tak tahu, apakah
aku yang kau dapati adalah aku yang menunggu
dan dulu menjawabmu, "datanglah, temui aku.."

Adakah yang tidak sekedar mungkin di udara itu?
Hujan hanya turun, tak pernah menyebut siapa namanya,
tak juga basah, angin yang berkelit di antara lebatnya.
Dan kita memilih kata, mengucap dingin yang sama.

Engkau mungkin tak pernah akan sampai padaku,
kita berjalan di antara hujan itu, sesekali berhenti,
dan diselisihkan oleh angin, saat merendahkan topi.




Sunday, December 9, 2007

Aku Bawakan Mikaelstik Padamu!

jangan diam
nanti aku marah
kalau kulahap kau
aku enak
sekejap
aku sedih
kau jadi taik


("DAGING", Sutardji Calzoum Bachri)

BOSAN engkau stikatavistik yang itu-itu saja? Nah,
mari sini, aku bawakan Mikaelstik padamu. Cobalah!

Bagaimana caranya? Nah, mari sini aku ajarkan
resep Mikaelstik padamu. Cobalah. Nah. Cobalah!

1. Pastikanlah kau mendapatkan daging terbaik.
Bagaimanakah cara mendapatkan daging terbaik?
Kau dengar apa jawabnya ketika kau tanya dia,
"Daging, bagaimana cara nyawa keluar dari badan?"

2. Yakinkanlah pada daging itu ada luka yang
paling luka. Luka di semua seratnya. Luka di
semua sayatnya. Luka terbaik yang diciptakan
oleh pisau yang paling pisau yang paling luka.

3. Dapatkan tetes darah segar pada luka dari
daging itu. Tampung perihnya. Tabung jeritnya.
Timbang sakitnya. Tetak diamnya. Tombak lubang
nganganya. Lalu tebar ha ha ha ha ha-nya!

4. Siapkan arwahapi lantas kau berdukalah.
Asin airmatamu, biarlah mengucur ke nyala
daging, ke kobar daging, ke bara daging.

5. Tunggulah lalat-lalat dari surga, lalat
yang dulu kena tempeleng daging karena mencicip
lezat zat luka, lantas kau santaplah. Jangan
sedih, karena lidahmu luka. Luka di lidahmu
adalah cara terbaik untuk mengucapkan lukamu.
Lidah-lukamu adalah lidah terbaik yang bisa
mencerna luka dari daging stik-presentik, luka
dari daging stik-futuristik: Daging Mikaeltik.

Nah, aku bawakan Mikaelstik padamu! cobalah!

Saturday, December 8, 2007

Kawankau dan Engkau, Mikael!

Saya tak bersalah lahir dalam rumah itu. Ayah
dan ibu sedang makan kacang di dapur. Kamera
telah disiapkan, sejak 300 tahun lalu. Dialog
terakhir telah dihafal: "hidup dengan satu bahasa".

... sebuah bahasa yang datang dengan mobil ambulans.

("Keluarga Indonesia Dalam Ambulans", Afrfizal Malna)



SAYA kehilangan lidah ibu saya. Tapi, bahasa saya penuh ludah,
bahasa saya selalu basah. Bahasa seperti sebuah banjir besar.
Saya berenang dengan sirip yang tumbuh di lidah saya. Jangan,
jangan potong sirip di lidah saya. I'm not stupid. Ada sayap
juga di lidah saya. Saya tidak ingin terbang. Saya hanya ingin
berenang dalam satu-satunya bahasa saya. That is the language
of my life
. Saya hanya punya satu lidah. Lidah dengan sayap
dan sirip. Boleh saya lihat lidahmu, Ariel? Sepertinya ada
sayap juga di sana, ada sirip juga, ya? Sayap yang seperti
sayap di lidah saya, mengepak mencari lidah ibu. Sirip yang
membuat saya tetap bisa berenang dalam bahasa yang basah.


*

LIDAH siapa yang beterbangan itu? Hei, banyak sekali sayap
hinggap di lidah saya. Lihat, saya semakin jauh dari lidah
ibu saya. Kenapa saya tidak boleh terbang, Ariel? Saya harus
berlari juga di udara bahasa itu. Saya masih fasih berenang.
Lidah saya masih basah dengan bahasa yang penuh ludah. Ada
sirip yang lepas dari lidah saya. Tapi, jangan potong sayap
di lidah saya, Ariel. Saya harus berenang dalam genangan
bahasa yang basah dan saya harus terbang dalam udara bahasa
yang penuh hujan. Lidah saya selalu basah. It's all just
a natural language I speak everyday, Ariel.
Apakah ada lidah
ibu saya di lidahmu, Ariel? Adakah lidah saya juga di sana?

*

IBU saya ternyata sedang mengunyah kacang di basah lidahnya.
Suara mulutnya seperti sirine ambulans. Saya tak melihat
ada sayap di lidahnya. Ada sayap-sayap beterbangan tapi tak
mau hinggap di lidah ibu saya. Saya tak mengenali lagi
lidah ibu saya itu. Saya disuapi kacang yang tumbuh dari
lidah yang bukan lidah ibu saya. Saya telah berenang jauh
dari suara mulut yang seperti sirine itu. Saya sekarang juga
bisa terbang. Saya tidak ingin terbang. Tapi, this is the
only language I speak!
Bahasa yang selalu basah dan saya
harus terus berenang, bahasa yang udaranya berhujan dan
saya harus terbang dengan sayap-sayap di lidah saya, Ariel!

Friday, December 7, 2007

Paragraf Pernikahan, 5

               BUKU itu berlampiran lembar kosong, tanpa nomor halaman. Kita menuliskan satu per satu kata, membubuhkan bilangan dari lembar ke lembar, tanpa membayangkan kelak jadi kalimat seperti apa, akan menjadi paragraf seperti apa, dan menjadi buku setebal apa. Sesekali, terpandang juga halaman pertama. Di sana, ada potret kita, seperti sedang mengingat-ingat, memastikan, kata-kata yang nanti akan sering kita ucapkan bersama. Di sana, ada sepasang nama kita, dengan huruf-huruf yang kita bayangkan bisa kita susun lagi menjadi kata-kata lebih sempurna melemakan kita.

Kau Masih di Danau Itu, Mikael?

Penyairpun bukan
Aku hanya penyelam
Menukiki samudera
Pulang ke
permukaan
Membawa batu purba
Untuk melempari cakrawala

("Penyairpun Bukan", Emha Ainun Najib)




ENGKAU masih di tepi danau itu, Mikael?

Menunggu bulan menjatuhkan hantu Li Po, atau
menjaga Sapardi lewat menyeberangkan perahu?

"Danau yang dangkal, huh, aku mau samudera
yang kekal." Kau dengar itu gerutu? Lelaki
dengan kumis basah itu? "Aku? penyairpun
bukan," katanya, lalu lekas lalu.

*

DAN kau masih di tepi danau itu, Mikael?

Memancing puisi dengan batang rumput panjang,
bagai mencari padanan kata di kamus tesaurus.

"Ah, aku tak percaya. Ah, aku tak percaya!"

Aku juga, tak percaya, Mikael. Tadi seperti
kulihat seseorang masuk ke sebuah resto,
mendorong pintu dengan bahu, lalu di sana
berbincang dan menulis puisi tergesa-gesa.

Lantas ia mengutip nama penyair asing untuk
dapat pembenaran atau sekadar permakluman.

*

TAPI kau masih di tepi danau itu, Mikael?

Sedang menghindari kehidupan yang so urban?

Atau mau menyelam cari batu untuk melempari
kebosanan? Menjebol buntu sajak koran-koran?

Ah, tadi seperti kudengar seru di resto itu,
"Tolong, pindah kanal tivi. Aku ogah nonton
Virnie Ismail dalam celebrity on vacation."

Akademi Jakarta Beri Penghargaan Bang Ali dan Bang Tardji

         Tahun ini Akademi Jakarta, melalui serangkaian pemilihan atas sejumlah nama yang patut diperhitungkan, menetapkan sosok SutardjiCalzoum Bachri (SCB) sebagai penerima Penghargaan Akademi Jakarta Tahun 2007. SCB dipandang telah memperlihatkan capaian estetik yang reputasional, integritas dan pengabdiannya yang luar biasa dalam bidang kesusastraan Indonesia (life achievement). Ia juga telah berhasil menancapkan corak tersendiri bagi perkembangan kesusastraan, khususnya perpuisian Indonesia sesudah Chairil Anwar.

.:. Selengkapnya baca siaran pers Akademi Jakarta




Thursday, December 6, 2007

Masuklah, Mikael!

                                             Jiwa satu teman lucu
                                             dalam hidup, dalam tuju


                                             ("Cerita", Chairil Anwar)



RUMAHKU dari timbun kata-kata mati
kaca buram di matamu segala suram.

Tapi, mari masuklah, Mikael
ambil duduk, dan mulailah mengutuk

Bukankah tadi di pintuku engkau yang mengetuk-ngetuk?

-- Kau bawa sajak?
-- Mungkin tidak...
-- Atau mau baca kisah porno
       dari Mitologi Yunani Kuno
       (dengan bahasa mestizo, dan kau tak perlu
       menerjemahkan desah oh yes oh no!)

Rumahku dari timbun kata-kata mati
kaca suram di matamu segala buram

Tak ada gambar perempuan dari iklan Marie France Bodyline

Tapi, dia yang di dinding itu bukan hantu
hanya pose posterik penyair atavistik
seorang tua berpipi volumik,
berpet, dan mantel
Engkau, mari masuklah, Mikael!

Bukankah tadi engkau yang menggerutu jengkel ?


Wednesday, December 5, 2007

Seberapa Mikaelkah Anda?

                           Kau harus tertawa, sedih tak sampai
                           dan yang kutulis ini bukan puisi.
                                             (Meditasi 15, Abdul Hadi, W.M.)

1. Manakah adegan berikut ini yang membuat
    Anda ingin segera berlari sejauh-jauhnya?
   a. Melihat Chairil meninju Jassin, di belakang
       panggung Sandiwara Maya.
   b. Melihat Ayu Utami memainkan PDA, di
       Kedai Tempo sambil menjentikkan abu
       rokok si sela jari tengah dan jari telunjuknya.
   c. Melihat Leda disetubuhi Zeus yang menyamar
        jadi angsa.

2. Manakah petikan larik sajak berikut ini yang 
    bukan berasal dari Chairil Anwar?
    a. rambutku ikal menyinar, kau senapsu dulu
        kuhela.
    b. Ajal yang menarik kita, 'kan merasa angkasa
        sepi.
    c. di senja hari menjelma ribuan koran dan
        sapu tangan.

3. Manakah benda berikut ini yang tidak pernah
    menjadi objek ode Neruda?
    a. Gadis manis dalam lukisan telanjang.
    b. Naskah novel yang tak selesai diterjemahkan.
    c. Tumpukan baju yang belum disetrika.

4. Manakah fantasi seksual yang paling menggairahkan
    Anda?
    a. Dibacakan dongeng ranjang oleh Laksmi.
    b. Mewujudkan adegan muskil dalam novel Nukila.
    c. Menciptakan suara kecipak saat menyesap
        dada bunga citra lestari.

5. Apakah sapaan yang paling meluluhkan hati
     Happy Salma?
     a.  Hi, are you happy, Salma? Boleh kuantar pulang?
     b.  Hei, tubuhmu seperti cerita, boleh kuterjemahkan
          ke dalam bahasa tubuhku?
     c.  Hei, saya punya bagian novel Pram yang  hilang
          saat diterjemahkan. Mau baca di kamarku?

Paragraf Pernikahan, 4

        KETIKA bersama memulai, kita bayangkan kalimat-kalimat sempurna dengan kata-kata dasar seadanya yang kita punya. Tetapi, kini, lihatlah, kita harus menuliskan beranak-anak kalimat majemuk, keterangan tambahan, dan catatan kaki yang lebih panjang dari paragraf sederhana ini. "Kita masih bisa berbahagia?" Kita tahu apa jawabnya, karena itulah kita akan terus melengkapi kalimat-kalimat yang terutang, dengan kata yang kita ciptakan dari sepasang kata yang semakin fasih kita ucapkan, bersendirian, bergantian, bersamaan.

Tuesday, December 4, 2007

Paragraf Pernikahan, 3

          SEPERTI halaman, kecil, teduh, dan terang, kita memberi sepasang paraf pada awal kalimat sebuah paragraf. Aku berkata, "Seperti sepasang tanaman, kau melati yang bertangkai lebat, aku rumput air berdaun tinggi." Kau berkata, "seperti sepatah kata seru yang cemas, yang kupersiapkan di pucuk lidah, di balik pagar, ketika kau pulang dan hari berhujan."

Paragraf Pernikahan, 2

            KETIKA mulai menuliskan paragraf ini, kita hanya punya beberapa patah kata yang memang telah nyaris patah. Maka, tak ada perbincangan di malam pertama. Kita hanya bergantian menyebut nama, sambil diam-diam saling bertanya, "yang kudengar menyebut namaku, itukah kata yang menyuara dari bibir, mulut, lidah dan hembus udara dari paru-parumu?"

Paragraf Pernikahan, 1

.:. 5 Desember 1997-5 Desember 2007

          DULU aku bilang, aku sedang belajar menulis kalimat untuk sebuah paragraf dengan namamu dan namaku serta kata Cinta di antara keduanya. Kau bertanya, "Cinta? Itu kata kerja atau kata benda?" Lalu kususun sebuah kalimat, begini: Cintaku yang cinta mencintai cintamu yang cinta. Kau bilang,"ternyata cinta itu juga kata sifat, ya?" Lalu kita berdua belajar mengucapkan kalimat itu sefasih-fasihnya. Menjadikan cinta itu menyifat pada kita.

Monday, December 3, 2007

World Premiere of
Cantata "Ars Amatoria" by Ananda Sukarlan
based on poems by
Sapardi Djoko Damono

with Fitri Muliati (soprano), Rainier Revireino (baritone), Seven Chorale Children's Choir, Cavallero Male Singers & Jakarta Conservatory Vocal Ensemble

at
Jakarta New Year Concert 2008
Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki

1 January 2008 at 16.00 (4 p.m )

Read Ananda's blog at http://andystarblogger.blogspot.com !!
Tickets can already be reserved since the 1st of November through :
jakartanewyearconcert@yahoo.co.id
Rama Thaharani at rama.th@gmail.com
Chendra Panatan at ycep@yahoo.com atau 0818 891038

Shortlist Khatulistiwa Literary Award 2007 Kategori Puisi

Angsana, Soni Farid Maulana, Ultimus, Maret 2007
Dongeng untuk Poppy, M. Fadjroel Rahman, Bentang, April 2007
Kepada Cium, Joko Pinurbo, GPU, 2007
Menjadi Penyair Lagi, Acep Zamzam Noor, Pustaka Azan, April 2007
Paus Merah Jambu, Zen Hae, Akar, Mei 2007

Pemenang akan diumumkan pada Malam Penganugerahan tanggal 18 Januari 2008, jam 19.00 WIB, di Atrium Plaza Senayan. Kami harap seluruh finalis berkesempatan hadir.

Panitia Khatulistiwa Literary Award 2007
E-mail .:. khatulistiwa.literary.award@gmail.com
Weblog .:. khatulistiwaliteraryaward.wordpress.com

Sunday, December 2, 2007

Rindu yang Tak Santun: Dalam Sekurung Pantun

Sajak Kavi Matasukma


           Matahari tak muncul di hari yang buta
           Hujan tergantung, jatuh, aku tertimpa
           Kucari di Google, kucari di Altavista
           Aku tak beruntung, engkau tak kujumpa


[INI lebih perih dari kutukan bagi Ahasveros
Aku yang menunggu, dan kau menjauh: mengembara!

Kita yang tak sempat merayakan pesta wisuda.
Ah, perempuan, kenapa pula hatiku kau bawa?

Hari-hari, seperti hari terakhir bagi penyair
tak bisa mengelak memaki-jassin-mencaci-takdir

Kukenang hari ganjil, perpisahan yang amat buruk
kau bawa sejilid Chairil, kau tinggal Victorinox

kau bagai Che-(betina) ngembara dengan sajak Neruda

"Aku tak hendak ke Paris, Kavi. Aku hanya akan
bertemu banyak kisah tragedis! Tiap hari, aku
pasti akan merdu menangis," kalimat kelat yang
kau ucap dengan lidah basah, bibir yang manis.

*

HUJAN di luar bandara. Ruang tunggu menyekapku
udara padat-buntu meracunku sisa aroma tubuhmu.

Kursi restoran telah kosong, di depanku, tadi ada
engkau di situ. Aku mulai menghitung beban waktu
Aku kini adalah 'mereka yang sudah lupa bersuka'.

Kudengar ratap lagu KLa, samar Katon Bagaskara.

*

KAU bukan Miratku, tunanganku, aku bukan Chairilmu.
Aku masih di restoran ini, hujan masih di luar situ.

Senja bikin jingga jadi ranum, bagai biji Anthurium.

Di pesawat, kubayangkan kau terpana di halaman 43.
"Sajak Putih" yang dulu pernah kita baca bersama.

Aku mengingat di luar kepala, selarik sajak sempurna,
si binatang, yang jalang berkata, "kuberi jiwa segala
yang dikira orang mati di alam ini!"
Kau menyalinnya,
dan aku tak tahu itulah pangkal segala yang kini
kusebut bencana: tak ada yang bisa menahanmu pergi,
kau ingin menghidupkan Hidupmu yang kau bilang Mati.

*

AKU tak bisa menjawab petugas di Biro Akademik,
"Kenapa kau yang mengambil ijazah Shania Saphana,
gadis termanis yang lulus dengan nilai A sebaris?

Aku simpan yang tak sempat kita pakai: jubah sarjana.

Lantas, kujalani habis hari-hari menjadi jurnalis.
Dan kupajang rindu bagai poster besar Guns'n Roses]

           Deras musim menumbuk langit tak berangka
           Hujankah atau wajahkukah yang amat basah?
           Telah kukirim berjuta surat-elektronika
           Apakah Y!Mail mengantar ke alamat salah?

Friday, November 30, 2007

Tentang Seseorang yang Mendengar
Requiem Mozart di Sebuah Gramofon


                                                    : Janet E Steele

Dan apakah tubuh? Dan apakah rumah?

Tubuh adalah rumah bagi rasa sakit,
di sana ada mulut yang menahan jerit
ada luka yang menampilkan wajah darah

Tubuh adalah rumah bagi ruh singgah,
dan di sana ia betah, menyimak lagu
waktu, jam & jantung berbalas-detak

*

Dan apakah rumah? Dan apakah tubuh?

Rumah adalah wilayah di mana tak ada
bayang-bayang tubuh, di sebuah sudut
gramofon ditaruh & doa dikirim ke jauh.

Rumah adalah tempat engkau kembali
dari pertemuan kecil, dan di sana kau
berbahagia sebab sempat mengucap cinta.


Apa Kabar, Albar?

KERUBUNG
kabung

di punggung
panggung

genting ranting
digunting
malam-malam kering

di dingin semen
dinding apartemen

sesenyap sunyi
sembunyi
bunyi

seramah rumah
remah-remah
sepi

sentuh jari
yang tak berjanji
parah & perih
pada
jerat jeruji

kerubung
kabung
di patah
punggung

Albar,
apa kabar?



[Tadarus Puisi # 031] Soneta Tidur

Pakcik Ahmad menulis tiga serangkai sajak yang ia rangkum di bawah satu judul: Soneta Tentang Tidur. Sajak-sajaknya - saya tak peduli itu soneta atau bukan - entah dengan cara yang bagaimana, mengingatkan saya pada pertanyaan lama, apakah kata? Jawaban itu saya dapatkan juga dari sajaknya. Saya mungkin berlebihan, tapi kali ini ah saya tidak bisa tahan untuk tidak berlebihan.

Kata-kata - saya kira saya setuju saja - adalah metafora-metafora yang telah dibekukan. Metafora yang berhenti sebagai metafora. Puisi saya kira adalah upaya untuk menghadirkan metafora baru dari metafora yang absen akibat pembekuan-pembukan itu. Metafora baru itu diperlukan bukan untuk menggantikan atau menghidupkan metafora lama, tetapi untuk menyosokkan hal-hal yang terlupa atau tak terangkum oleh metafora lama yang telah baku itu.

Puisi memang tidak mengurusi hal-hal yang praktis. Puisi tidak harus menghamba pada perkara-perkara besar. Puisi ah betapa seringnya ini diucapkan -- dan kenapa harus terus-menerus diingatkan? -- bahwa penyair dengan puisinya harus dibebaskan untuk menyapa kita dengan soal-soal remeh, tentang perasaan yang mungkin segera saja bisa dituduh sebagai sebuah kecengengan atau kesia-siaan? Tentang kenangan pada ibu misalnya. Dan Pakcik menghadirkan kenangan itu dengan membangkitkan kenangan tentang tidur sang bunda. Seperti kolam teratai, katanya. Apa yang terbayang? Sebuah bentang tenang dan menenangkan. Ketenangan yang tak terusik oleh keramaian sekawanan katak yang berenang di antara rumbai akar.

Dengan keikhlasan dan kepekaan untuk melayani ketelatenan si penyair, kita akan menemukan kemewahan-kemewahan bahasa yang ah tanpa kepekaan dan keikhlasan itu pasti hanya akan berlalu sia-sia. Cobalah rasakan permainan bunyi di ujung larik, dan gambaran-gambaran angan yang jinak-jinak liar, minta ditangkap tapi tak mau terperangkap: dengkur yang ikat-mengikat bak deretan iga, rumpun belulang berwarna gundah (?), nikmati bagaimana kita harus menerima keadaan dimana suara dan warna tak ada beda? dan kita yang tetap mengejar angin dan tertawa, hijau sayap belalang, dan ah di dada ibu itu embun yang menimbun.

Tidak hanya gambar, sajak kadang juga menghadirkan pendapat dan keinginan si penyair. Ini sebenarnya adalah musuh besar penyair Imajis yang menyair dengan tujuan menghadirkan gambar-gambar konkret, dan mengharamkan kata-kata dekoratif. Pendapat, perasaan, keinginan tidak membantu menghadirkan imaji. Malah bisa membantu. Sajak imajis, mencapai kualitasnya apabila gambar nyata yang dihadirkan itu lantas melahirkan sebuah ruh yang bangkit tak mati-mati. Sajak-sajak terbaik penyair Imajis membuktikan hal itu, dan karena itulah sejarah perpuisian dunia mencatat keberhasilan, pengaruh dan betapa meluasnya jejak-jekak gerakan ini pada penyair dan sajak-sajak yang datang kemudian.

Tapi, Pakcik tidak sedang ingin menjadi penyair imajis. Toh, saya kira dia tidak menjejalkan pendapatnya itu. Tidurlah, tanpa gusarnya almanak, katanya, karena telah kutafsirkan mimpimu. Segalanya akhirnya menghadirkan sosok ibu yang bagaimanakah yang dikenang oleh Pakcik, si penyair kita ini, dengan sajak-dan-rangkaian-sajak -nya ini. Tahniah! Untuk kita, dan untuk penyair kita!

tidurmu adalah kolam teratai
tujuh ekor katak berenang di antara akarnya yang merumbai

aku menyenangi bunyi dengkur bunda
ikat mengikat layaknya deretan iga
rumpun belulang tua berwarna gundah
dan otot liat yang menutup celah

kuinginkan selimut ini abadi
tubuh-tubuh kita tanpa kain bersepi-sepi
di mana suara dan warna seperti tak ada beda
tapi kita tetap saja mengejar angin dan tertawa

tidurlah tanpa gusarnya almanak
karena telah kutafsirkan mimpimu
: hijau sayap belalang, dan rampak
sekoloni embun yang menimbun dada ibu




[Tadarus Puisi # 030] Menutup Malam, Membuka Keluasan Sajak

Sajak Dedy T Riyadi
Malam Telah Menutup Segala Pintu

Malam telah menutup segala pintu dan buka satu jendela
rahasia, yang kau tahu, dari sana kupandang wajahmu.

Tak ada lagi rasa terkungkung, layaknya anak domba,
lari aku di luasan pandang, menghidu segar rerumputan.

Bahtera ini terdampar oleh nyanyi Calypso bibirmu
di pantai-pantai abadi, cinta telah dilenakan waktu.

Dan jika ku tak kuasa berpaling dari pandangmu,
semata-mata oleh cinta belaka. O, cinta begitu berbahaya.

Hanya badai buat malam ini semakin galau,
tapi sepenuh cinta aku akan terus meracau.

Bondowoso mengutuk Jonggrang tersebab cinta,
kekasih jadi arca agar tak lagi tersimpan rahasia.

Dalam gelap suasana, kuteriakkan; “Kau kekasih.
Hanya kepadamu mataku tertuju.” Kau saja, kekasih.

Malam ini, kekasih. Tidurku akan sangat lelap,
tersebab namamu terdengar sepenuh senyap.

2007
Singkat saja: ini sajak yang bagus. Klise-klise ungkapan dihampiri sekaligus dielakkan dan tentu dia tidak menjadi klise lagi. Ungkapan-ungkapan baru ditawarkan dan ah betapa sayang kalau tawaran itu tak disambut oleh pembaca. Dedy makin menjanjikan. Sajak-sajaknya makin bisa diharapkan. Pertentangan antara menutup-buka, cinta kutukan, menghadirkan tekstur perasaan. Rima dihadirkan apa adanya, tidak dipaksakan ada. Saya bisa menebak siapa Penyair yang sedang menghantui Dedy di sajak ini, tapi, dia tidak melawan hantu itu tidak juga mentah-mentah menyembahnya.[]


Thursday, November 29, 2007

Edisi Nonkomersial ORGASMAYA



INILAH sampul buku kumpulan puisi pertama saya Orgasmaya. Ini edisi tak komersial. Yayasan Sagang, penerbitnya, hanya mencetak 1.000 eksemplar dan membagikannya ke sekolah-sekolah di Riau. Saya boleh mencetak lagi, mencari penerbit lain yang tertarik. Adakah? Penerbit yang berminat bisa melihat dulu bukunya.

Hasan Aspahani

Wednesday, November 28, 2007

[Imajinasi Wawancara 005] Membaca, Memanggungkan Sajak

Membaca sajak di depan hadirin atau penonton pada hakikatnya ialah menampilkan diri dalam situasi tertentu untuk mengucapkan sajak dengan tujuan menyampaikan penghayatan dan penafsiran terhadap sajak tersebut dalam intensitas yang maksimal kepada para penonton.

.:. Selengkapnya baca di sini.

Binhad, Kuda Ranjang, Bau Betina (2)

Binhad adalah penyair yang terobsesi pada tema-tema perkelaminan? Kata obsesi mungkin tidak tepat. Ada kesan ia tertarik ke sana tanpa daya untuk menghindarinya. Lebih tepat mungkin termotivasi. Ia dengan sadar memilih tema itu, dengan alasan-alasan yang bisa kita tebak, tetapi tentu hanya dia yang tahu persis apa dan kenapa ia memotivasi diri dengan pilihan itu.

.:. Selengkapnya baca di sini.

Binhad, Kuda Ranjang & Bau Betina (1)

Pertanyaan saya berikutnya kenapa panitia KAKUS-Listiwa memilih kategori puisi untuk diejek? Kenapa bukan prosa? Lantas kenapa Khatulistiwa Literary Award - ini nama lengkapnya - harus diejek? Apa salahnya KLA?

.:. Selengkapnya baca di sini.

Tuesday, November 27, 2007

Refrain Sebuah Lagu Pop

AKU iri padamu
   karena
   kau bisa
   membuatku jatuh cinta
   sehebat cintaku padamu.

AKU heran padaku
   karena
   aku tak tahu kenapa aku
   bisa mencintaimu
   sehebat cintaku padamu.



.:. Poster sampul buku "Orgasmaya", sesaat
setelah diluncurkan bersama empat buku lain
yang diterbitkan oleh Yayasan Sagang,
Pekanbaru, Senin malam, 26 November 2007,
di Hotel Mutiara Merdeka. 

Friday, November 23, 2007

[004] Imajinasi Wawancara

Santai di Dunia yang Keras

Oleh Hasan Aspahani

     Sutardji Calzoum Bachri, perlukah saya perkenalkan lagi? Namanya jauh lebih besar dari tubuhnya yang tergolong mungil untuk ukuran orang Indonesia. Ia berjaket. Nyaris selalu berjaket. Saya membayangkan tubuh di balik jaket itu adalah tubuh yang sewaktu ia muda suka tampil telanjang dada di panggung pembacaan puisi-puisinya.
     Penyair besar kita ini pernah menjadi redaktur puisi di majalah-majalah sastra penting di Indonesia, juga di berbagai surat kabar. Terakhir kali – sebelum mengundurkan diri – beliau menjadi redaktur puisi untuk halaman “Bentara” Kompas.
     Apa yang bisa kita petik bagi kepenyairan kita dari pengalamannya sebagai redaktur puisi? Saya mewawancarainya di sebuah tempat di suatu waktu yang seperti biasa tak perlu dipermanai di mana persisnya.

.:. Selengkapnya KLIK di sini!

Kabar dari Penerbit Koekoesan!



Buku Hasan Aspahani
MENAPAK KE PUNCAK SAJAK:
Jangan Menulis Puisi Sebelum Baca Buku Ini!
beredar 3 Desember 2007
Harga Rp19.000

Bisa dipesan online di website KOEKOESAN
Atau di website BUKABUKU

Daftar Isi

Bab I. Bukan Sekadar Pengantar
Bab II. Bersajak-sajak Dahulu
Bab III. Lebih Sajak Lebih Banyak
Bab IV. Asal Sajak, Sajak Buruk
Bab V. Baca Sajaknya, Elak Pengaruhnya
Bab VI. Yakini dan Ragukan Sajak
Bab VII. Berkasih-kasih dengan Sajak
Bab VIII. Setelah Menulis Sajak
Bab IX. Sebelum Menulis Sajak
Bab X. Saat Menulis Sajak
Bab XI. Yang Bukan Sajak Yang Menjebol Sumbat
Bab XII. Lalu Apakah Sajak
Bab XIII. Cinta dan Berahi Sajak
Bab XIV. Sajak Membebaskan Kata dan Kita
Bab XV. Kesamaran Penumpang Gelap <------ KLIK BAB INI!
Bab XVI. Memilih Kata, Membangun Makna
Bab XVII. Tapi Jangan Dibebani Makna
Bab XVIII. Bebas Mengenal Sajak Tak Bebas
Bab XIX. Melisankan Sajak Sendiri
Bab XX. Sajak Sebagai Latihan Intelektual
Bab XXI. Faktor Chairil, Faktor Sapardi
Bab XXII. Soto Gurih, Peta Perjalanan
Bab XXIII. Bikin Sajak, Bikin Jebak
Bab XXIV. Panjang Pendek Sajak
Bab XXV. Waktu Sajak & Menerjemahkan Keasingan
Bab XXVI. Melepas Sajak
Bab XXVII. Bab Ini Berjudul Judul Sajak
Bab XXVIII. Karena Harus Ada Penutup

Sesuatu Sapardi: Apakah Anda Bahagia Menulis Puisi
Joko Pinurbo: Urusan Saya dengan Puisi Belum Beres


Bermalam di Rumah Tukang Sepatu

AKU lihat engkau tidur bersama sepatu
Kata sepatu jalan ke mimpimu memang
masih berbatu-batu, dan berliku-liku

Aku ingat sepatu ajaib kita dulu itu
Sepatu yang mengajari kita berjalan
mendekat mimpi-mimpi dan kenyataan.

 

Di Macetmu Itu

DI macetmu itu, Jakarta, aku belajar nyetir
engkau seperti bis besar yang tak bersupir

Seharian berputar-putar, aku masih di pinggir
mana halte, stasiun, terminal, & tempat parkir?

Di macetmu, Jakarta, aku belum bisa mengerti
ngebutmu itu ah kenapa kok lambat sekali?





Pelangi di Rambutmu


 
.:. Bersama Danarto di Kedai Tempo, Kompleks Utan Kayu.

                                                    : Oom Danarto

TUJUH lingkar pelangi menyatu di rambutmu
Kulihat rimbun kebun, rumpun-rumpun bambu

Siapakah sufi melayang-menari bersamamu?
Siapakah sufi menyanyi irama asmaramu?

Setangkai mawar dipetik hujan di taman awan,
Setangkai mawar bersilancar di tangkai hujan

Tujuh lingkar pelangi menyatu di rambutmu
Di rimbun kebunmu, naung sayap malaikat

Kakimu dan kakiku tak sampai dirayapi rayap.

 

Monday, November 19, 2007

Reportase Shania Saphana tentang
Sisa-sisa Perang di Teluk Persia



/1/
MATAKU terbuka
sukmaku terluka,
aduhai, Kekasih kukasih,
Kavi Matasukma!

Kau benar-benar benar,
ketika terakhir kali menahanku di bandara
(ikhtiar sisa, kataku ketika itu, yang sia-sia)


Kuingat kalimat
yang sendat di bibirmu yang mengeras-rapat
dari lidahmu yang tiba-tiba menebal-berat:

"Kau bisa lari dari aku, Shania,
tapi kau tak bisa menghindar
dari cintaku.
Ia punya sejuta kaki
seperti ingin kugubah sejuta puisi.

Ia akan mengejarmu
walau kau mengucil-memencil
ke hulu waktu.

Ke hilirku ia akan mengalirkanmu
menderas-melaju
di gemuruh arus rindu."

Terlalu, sungguh,
aku merindukan engkau.

/2/
KEKASIH kukasih,
Kavi Matasukma

Kita pernah bersama-sama
menjadi peserta Kursus Dasar Jurnalisme,
aku masih ingat kaidah berita 5W 1H.

Kau yang mengajak-merayuku,
"Nanti bila kau jauh dariku,
kau bisa dengan sempurna
mereportasekan rindu,"
kau bilang begitu.

Kau membeli dua jilid buku,
"Andai Aku Wartawan Tempo",
sejilid untukku,
sejilid untukmu.

"Lumayan,
bisa buat minta tanda tangan,
kalau nanti aku sempat
bertemu Goenawan Mohamad,"
dan kuterima juga ajakanmu.

"Dengan satu syarat," kataku,
"kau harus menemaniku di kelas Insekta,
agar kau kenal betapa lucu dan berjasa
serangga-serangga itu
menyambungkan rantai hidup dunia."


/3/
AKU sungguh ingin melaporkan
rinduku kepadamu, Kekasihku.

Sebab,
di antara arus Eftrat dan Tigris
kulihat sekawanan lebah
mengumpulkan nektar darah
amis madu
bangkai-bangkai sejarah serdadu

Dendam yang merecup subur
di ladang-ladang
hitam Mesopotamia.

Kau tahu, siapa yang menuainya?
Eh, ada kupu-kupu bersayap besi dan peluru.

Mendengung capung,
sisa evolusi berabad-abad
kusinggahi sudah
Samarra,
Ur,
Niniveh,
Baghdad
Ada yang terlupa
pada piktograf dan babad-babad.

Lalu datanglah melayat
berjuta-juta lalat
Taman Babilonia terkubur unggun mayat

Aduhai Kitab Suci,
bisakah ayatmu diralat?

Maka kukabarkan
lewat dongeng semut-semut
penaklukan yang luput
di padang-padang rumput
meninggalkan remah racun
dan mesiu tak tersulut

Dalam bahasa serangga,
Aduhai kekasihku,
salahkah bila kusimpulkan
di rumah manusia
perang adalah
rayap
yang riuh
menggeriap
meruntuhkan?

/4/
PAGI tadi, Kekasih kukasih,
ada selongsong peluru
di depan pintu penginapanku.

Ia bercerita padaku:
malam tadi, telah kutembus jantung
seorang serdadu, tepat di detaknya!

Seperti masih sempat kudengar, jeritan
terakhir itu (Tuhan juga yang diseru..)

Adakah yang menangisi
cerita sia-sia ini?

Namaku peluru.
Kukutuk senapan otomatis,
tapi siapa
yang menarik pelatuk picu?


/5/
SIANG tadi, Kekasih kukasih,
selapis liat di sepatuku
berkeluh kisah padaku:

Ada yang berlari,
jejak-jejak tank lapis baja
dan sepatu lars tentara.

Ada badai yang mengajakku menari
di gurun-gurun berbatu letih ini
ada cadangan minyak
di tubuhku
(fosil darah sejarah diragi waktu).

Ada petani tergesa memanen tomat
yang berakar lebat di humusku
ada yang tak sempat dikubur,
kering genang merah,
pecahan peluru.

Tak ada yang bertanya padaku,
bagaimana harus melaporkan semua
itu di depan mata hatimu,
di siaran prime time,
langsung di layar TV-mu.

/6/
DAN petang ini, Kekasih kukasih,
pada yang kesekalian kalinya
aku menangis di sini,
kau benar-benar benar.

Aku bisa menangis
sebab perang yang panjang
atau rindu padamu
yang mengeras-menderas-membeku-membatu

Dan airmata apakah bisa habis?

Maka,
Kekasih kukasih,
Bolehkah kulaporkan padamu
kabar ini dengan air mata saja?

Sebab akulah air mata itu,
menetes dari tangis letih
anak-anak yang terusir
dari peluk buai ibu-bapa.

Bolehkah kulaporkan
peristiwa ini dengan diam saja?

Sebab akulah diam,
satu-satunya daya yang tersisa
di bawah hunus senjata
berpeluru darah berbisa.

Bolehkah kulaporkan fakta
ini dengan rintih saja?

Sebab akulah sakit luka
yang menyimpan lirih rintih
suara yang ditindih
iklan rokok
jin,
dan jins Amerika.

/7/
MATAKU terbuka
sukmaku terluka,
aduhai, Kekasih kukasih,
Kavi Matasukma!

Kau benar-benar benar,
ketika terakhir kali menahanku di bandara
(ikhtiar sisa, yang kini kutahu, tidak sia-sia)

Friday, November 16, 2007

[003] Keterpencilan, Komunikasi, dan Manfaat Puisi Bagi Kehidupan

     Karya sastra terpencil dari kehidupan masyarakat? Sastra tidak lagi mendominasi kehidupan manusia? Kalah dengan musik pop? Kalah dengan iklan? Saya menemui Subagio Sastrowardoyo dan Goenawan Mohamad, pada suatu sempat (yang tidak penting bilamanakah itu) pada suatu tempat (yang juga tidak penting dimanakah itu). Goenawan jelas sekali ketuaannya – ia tidak menyembunyikan itu - tapi dia masih menebarkan semangat berkarya yang luar biasa dan suara bicaranya segar.

.:. Selengkapnya baca DI SINI

Thursday, November 15, 2007

[Ruang Renung # 232] Godot di Utan Kayu

TAK usah curiga, sejak awal saya sudah mengakuinya. Sajak saya "Daun Berjari Enam Belas, dan Pelepah Pisang Kipas" memang terinspirasi dari sajak Joko Pinurbo "Utan Kayu" (Pacarkecilku, IndonesiaTera, 2002). Sejak menerima undangan untuk baca puisi di Utan Kayu saya sudah teringat pada sajak itu. Saya perlu membaca lagi sajak itu. Sajak yang dipersembahkan oleh penyairnya kepada Godot. Anda kenal siapa Godot?

Suatu malam di Utan Kayu tak kujumpai engkau
tak kujumpai siapa-siapa
selain kursi-kursi berjungkiran di atas meja.

Kedai sudah tutup. Malam tinggal sisa.
Kudengar tikus-tikur bermain musik bersama piring,
gelas, sendok. "Kusaksikan tadi pertunjukan besar,"
saudara kucing melaporkan.

Di mana engkau? Biasanya engkau duduk manis
di pojok, minum angin, merokok.
Engkau terlonjak girang bila aku datang.
"Hai, dari mana saja engkau?"

Ternyata engkau sedang termenung di ruang pertunjukan.
Engkau sedang mengumpulkan kembali kata-kata
yang berceceran. Engkau sedang menangis,
mencopot wajah di ruang ganti pakaian.

Malam berikutnya tak kulihat lagi engkau
di bangku penonton. Engkau tak muncul lagi
di panggung permainan. "Hai, kemana saja engkau?"
Kupanggil engkau berulang-ulang.

(2001)
Sejak semula, saya ingin memetik sajak di Utan Kayu. Saya memandangi bangku, pohon kemboja, bunganya jatuh bertebaran, poster lukisan Botero di dinding tangga ke Wisma TUK, lukisan S. Teddy yang saya tebak semula miliknya Ugo Untoro dan lukisan pelukis kelompok Taring Padi, yang saya kenal garisnya tapi saya lupa namanya. Lukisan dengan langgam garis yang sama pernah saya lihat di sampul majalah Pantau lama. Saya menghayati pemandangan itu, pelepah pisang kipas, pohon dengan daun berjari enambelas - ya saya menghitungnya - karena saya tak tahu nama pohon itu, Kedai Tempo, Toko Buku Kalam. Tidak semua gambar itu terpakai. Saya buang? Tidak, mungkin kelak akan terpakai dalam sajak lainnya.

Sajak saya, jadinya seperti kolase dari rekaman-rekaman gambar itu. Ketika menempelkan gambar-gambar itu, ketika menyusun mereka, ketika menata mereka ke dalam bait-bait, tentu saja saya harus mempertimbangkan kemungkinan gambar utuh apa yang kelak hadir dari sana. Saya harus membentangkan kanvas bagi lekatnya gambar-gambar yang sudah saya rekam tadi.

Saya terus-terang saja meminjam sajak Joko Pinurbo itu. Kepada sang penyair, saya kirim pesan pendek, betapa sajak itu saya ingat selama saya berada di utan Kayu, dan saya bilang ada sajak yang saya tulis dengan kenangan pada sajak itu.

Atau katakanlah saya mencontek. Saya memaafkan diri saya atas kelancangan itu. "Kok berani-beraninya kamu mencontek Joko Pinurbo?" kata satu suara kecil di sudut hati saya. "Ah biar saja, toh akhirnya saya akan menghasilkan sajak yang lain, sajak yang berbeda," kata suara kecil lain di sudut lain hati saya.

Ah, di Utan Kayu, kau dan aku menemui banyak orang. Tapi, di Utan Kayu, sesungguhnya, kau dan aku lebih banyak menemui diri kita sendiri. Di sana Godot kita tunggu, tapi Godot tak datang. Adakah Godot? Ah, mungkin Godot ada di dalam dirikau dan diriku.

Perahu Buku

: Sitok Srengenge

RUMAHMU danau yang tenang, perahuku tertidur
ditimang ombak mungil yang mahir menembang

Aku dan perahuku berpelukan, bulan menyaksikan,
ia cemas bertanya, "kau tak mabuk-arak, bukan?"

Ada gubuk rahasia di tepian danau tenang rumahmu,
Di situ kau memeram kata, mematangkan buah puisi

Gubuk itu dikelilingi bunga berbatang tinggi,
tak sampai memetik, aku hanya menghirup wangi

Ada sekawanan lebah dan kupu-kupu bersayap buku
hinggap di bulumataku, mengira airmataku madu

Menjelang pagi, ada cahaya dari dasar danaumu,
aku bertanya, kenapa matahari terbit dari situ?

Ada perahu muncul dari guha-kabut itu, penuh buku,
aku menduga kau mengirimnya untuk menjemputku

Rumahmu danau yang tenang, airnya tembus pandang
juntai jemariku dikecupi ikan bersisik terang

Tuesday, November 13, 2007

Sehujan-hujannya November Hujan

                (terjemahan bebas atas lagu "November Rain",
                Axl Rose, Pistol-pistol dan Mawar-mawar :-),
                dalam album "Manfaatkan Khayalanmu! I", 1991)


KETIKA aku menujukan tatap ke dalam matamu
kutemukan cinta tertahan, terbendung-buntu
tetapi, kekasihku, ketika kugenggam engkau
takkah kau tahu, padaku ada rasa yang satu?

Karena tak akan pernah ada yang tak berubah
dan kita sama kita tahu, hati pun mudah guyah
dan o betapa susah-payah menjaga lilin nyala
dalam dingin November hujan selebat-lebatnya

Kita telah diterpa ini peristiwa, telah lama,
hanya bisa mencoba, mencoba, membunuh derita
tetapi kekasih senantiasa tersambut dan luput
tak ada yang tahu, hari ini siapa nama tersebut

Jika kita ada sempat, ambil tempat, membentang
waktu di garis tepat, aku bisa merebah kepala
hanya untuk tahu: kau milikku, seutuhnya milikku

Maka bila kau ingin juga mencintai aku, kekasih,
kumohon sungguh, o jangan berjeda mencintai aku,
Atau akukah yang harus mengakhiri perjalanan
dalam lebat November hujan sedingin-dinginnya

*

Kau perlu sedikit saja waktu, menyendiri sendiri,
Kau perlu sedikit saja waktu, sepenuhnya sendiri
O setiap siapa saja memang perlu menyepi sendiri
Tak tahukah kau? Kau perlu sendiri. Hanya sendiri.

Aku tahu betapa payah menjaga hati yang membuka
ketika bahkan seorang sahabat seakan hendak menuba
Tetapi ketika kau dapat mengatur hati yang hancur
Takkah waktu itu akan menyeruak memanterai umur?

Kadang aku ingin sedikit waktu, menyendiri sendiri
Kadang aku ingin sedikit waktu, sepenuhnya sendiri
O setiap siapa saja memang perlu menyepi sendiri
Tak tahukah kau? Kau perlu sendiri. Hanya sendiri.

Dan ketika sepasukan ketakutanmu telah reda
Dan ketika sebarisan bayangan masih berjaga
Aku tahu itulah saatnya engkau bisa mencinta
Ketika tak ada orang yang perlu kita persalahkan

Jadi, jangan cemas pada tembok tebal kegelapan
Kita masih bisa menemukan sebentang jalan
Karena tak akan pernah ada yang tak berubah
dalam lebat dingin November sehujan-hujannya.

Takkah kau tahu, kau perlu bersama seorang kawan
Takkah kau tahu, kau perlu bersama seorang kawan
O setiap siapa saja memang perlu seorang kawan
Kau tidak sendirian, kau sungguh tidak sendirian.

Monday, November 12, 2007



HAH di BAF 2007 (Foto oleh Firdaus Fadil)


------------

Dipantau di Pantai,
di Rantau Dirantai


: Damhuri Muhamad

MEMANG, tak ada tempat
kecuali sekat-sekat
ruang
di samping surau

menampung para lelaki
terusir
dari pintu rumah ibu
dari kamar bekas istri

atau
jauh terdesak
ke jarak

terhalau
ke rantau

*

KAU bilang,
"Memang,
Kami telah amat mahir
menanak riang dan risau
menyantapnya di lepau."

*

JARAK
pantai
ke pelantar pelabuhan
hanya ada sejangkau
di seberang surau.

Ketika kabut kalap
laut gelap
itulah saat tepat
untuk melepas tali tambat.

Tak akan ada yang mengantar
ketika lelaki berangkat.

Tak ada.

Pun bekal
mungkin hanya kain sebungkal
dan sebakal
sesal.

*

"JANGAN
bertanya
inginkah aku pulang,"
kau bilang,
"karena aku
terbayang pada
mata mata-mata
yang memantau
di rumah
pantai."

Mata para perempuan
yang meningkap
di tingkap.

*

"JANGAN
bertanya juga,
bagaimana aku
melangkah
di jalan
yang tak terarah
ke rumah,"
kau bilang,
"sebab kaki kami
bagai dirantai
di rantau."
Daun Berjari Enam Belas,
dan Pelepah Pisang Kipas

                   : di Utan Kayu, sambil mengenang sajak Joko Pinurbo


AKU datang di sini
bertandang
bertanding
dengan sempit waktu

          Engkau tak ada menungguku

Aku masih seperti bocah sekolah
tak beres-beres juga membereskan rindu

Kursi-kursi besi kecil
mengecil
ditempa dingin dini hari
kami menggigil

          Engkau tak ada menemaniku

Meja kosong
di depanku
menunggu engkau yang kurus
dan lelaki gempal yang datang berkuda
dari poster lukisan Botero

Aku tadi memesan perasan jeruk panas
pas
saat Kedai Tempo dibredel jam malam

Tinggal ampas
tandas ke dasar gelas

          Engkau tak ada menjawab pertanyaanku

Kemboja
membiusku dan udara Utan Kayu
menebar kembangnya ke lekat lumut
ke bata batu
dan bangku kayu

          Engkau tak ada menyahut sunyiku

Aku sudah di sini
menghayati kalender fana ini
mengatur sekongkol
menyelinapkan hari gaib
di antara Minggu dan Senin
dan menamainya
dengan sebuah kata rahasia

           Engkau tak ada mendengar bisik-bisikku

Pelepah-pelepah pisang kipas
tak ingin mengibas
dingin embun Jakarta belum ingin lepas

Dan pohon
yang tak kukenal namanya itu
mengulur daun berjari enam belas

         Engkau tak ada bersamaku, menyambut salam itu.


HAH di Teater Utan Kayu (foto oleh Perca)

Sunday, November 11, 2007

Kolam, Kursi Rotan, Kura-kura,
Katak, dan Kucing di Kukusan


                                                 : singgah di rumah Rieke dan Donny

HANGAT hari hujan, merendam sekolam kalam
          tegak tangkai teratai, menjadi pena Li Bai

Sesusun kursi rotan, mengejar ke kejauhan
          kenangan, ke kesepian toples tua kue lama

Rieke berteriak, "Kura-kuranya makan katak, Don!"
           Kubayangkan, ia dijawab dengan filsafat terapan.

Di hijau halaman, di sejangkauan tangan angan
           kucing memeluki sisa sunyi, ia mimpi menulis puisi

Di Kukusan, rumah itu membuka pintu bersunduk kayu
          seperti kitab kisah yang berakhir bahagia, selalu.

Lima Benih Sajak

ADA Teater Utan Kayu di Jakarta. Mereka mengundang saya bersama 7 penyair muda lainnya. Dua hari saya berada di sana, dua kali tampil membaca puisi. Ada beberapa orang kawan yang saya temui. Ada beberapa puisi yang membenih di kepala:

1. Dipantau di Pantai, Dibantai di Rantau
Ini sajak saya persembahkan untuk Damhuri Muhamad.

2. Daun Berjari Enambelas dan Pelepah Pisang Kipas
Dari wisma TUK di lantai 3, saya melihat taman . Di sana ada, bangku besi, meja berkanopi, musala dengan selembar sajadah, bangku kayu, dan poster lukisan Botero.

3. Kolam, Kura-kura, Katak, di Kukusan
"Don, kura-kuranya menggigit katak!" Ini teriakan Rieke Dyah Pitaloka kepada Donny Gahral Adian, suaminya. Bersama Damhuri saya singgah di rumah mereka yang indah di Kukusan, Depok.

4. Lukisan Murni di Sebuah Buku Puisi
Ini semacam resensi dalam bentuk puisi atas buku "Pelacur Para Dewa", bukunya Pranita Dewi.

5. Perahu Buku
Saya bermalam di rumah penyair Sitok Srengenge. Ada dua perahu kayu di rumah itu. Ini bukan perahu hiasan, ini perahu betulan. Perahu itu dimanfaatkan sebagai perabot menyimpan buku. Unik sekali.

Wednesday, November 7, 2007

Pengantar 1.065 Kata

Enam Petunjuk (yang Harus
Anda Abaikan) Bagaimana
Menikmati Sajak M Aan Mansyur


Oleh Hasan Aspahani

SAYA ingin mengusulkan kepada penata wajah buku ini agar di tepi dalam halaman pengantar ini diberi tanda garis putus-putus, dan di ujungnya ada gunting kecil menganga. Saya ingin mengisyaratkan bahwa kata pengantar ini boleh disobek setelah (atau bahkan sebelum) dibaca. Kalau Anda masih membaca pengantar ini, maka itu berarti usulan saya ditolak. Mohon maaf, saya tetap salah karena menerima pekerjaan memberi kata pengantar ini, tapi setidaknya, rasa bersalah saya terkurangi, toh saya sudah mengusulkan sesuatu agar Anda terhindar dari pengantar ini.

Saya mungkin terlalu banyak membaca puisi. Karena itulah, saya sering menemukan puisi yang ditulis oleh penyair yang lupa bahwa puisi itu adalah seni. Ya, seni puisi. Memang ada penyair yang sombong yang pernah bilang bahwa puisi itu melampaui seni dan melampaui bahasa, tapi saya tak maulah percaya sama penyair sombong itu. Saya merasa aman dan nyaman pada keyakinan saya – sampai kelak saya murtad dan mendirikan aliran sesat sendiri – bahwa puisi adalah seni, dan seni itu menawarkan keindahan. Ya, karena itulah saya amat menyukai sajak-sajak M Aan Mansyur (MAM) dalam buku ini.

Karena itulah saya beranikan diri menyusun pengantar yang kira-kira berisi semacam petunjuk bagaimana cara menikmati sajak-sajak MAM. Sebelum Anda meneruskan membaca, dan ah semoga Anda tidak langsung percaya dengan petunjuk ini, maka saya sarankan untuk membaca lagi frasa dalam parantesis di judul pengantar ini. Ya, Anda harus mengabaikan. Kenapa? Karena, saya yakin sajak MAM ini bisa dinikmati dengan banyak cara lain, selain dengan cara yang petunjuknya saya buat ini.

Baiklah, sebelum pengantar ini berkepanjangan, dan memakan jatah kertas yang seharusnya ditempati oleh puisi yang justru harus dinikmati saya mulai saja menuliskan pedoman itu satu per satu.

1. Anda harus percaya bahwa keindahan itu ada. Ya, bagaimana pun seorang Arif Budiman, misalnya, pernah mengatakan bahwa ia tidak percaya lagi pada keindahan (baca “Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan”, Wacana Bangsa, 2007), karena kekaburan arti dari keindahan itu sendiri, maka saya menyarankan, atau bila bisa bahkan memaksa agar Anda meyakini bahwa keindahan – terlebih dalam puisi – itu ada dan tetap akan ada. Anda akan menemukannya di dalam bait-bait sajak di buku ini. Keindahan memang tidak harus dirumuskan, bukan. Keindahan itu lahir dari penghayatan, dari ihtiar merasakan. Pada sajak yang mana keindahan itu ada? Ah, saya sudah terlampau-lampau dengan petunjuk ini apatah saya pun harus menunjuk pula pada sajaknya? Tidak, tidak.

2. Penyair kita ini sudah melampaui sekatan perhatiannya pada diri sendiri. Ya, betul. Ini peringatan Subagio Sastrowardoyo (“Dan Kematian Makin Akrab”, Grasindo, 1995). MAM tetap sajak menyair di sekutat diri sendiri, tapi ia tidak terkungkung di situ lagi. Dia memang menyajakkan pengalaman batinnya sendiri. Tetapi dia tidak menghasilkan sekadar keluh-kesah dan sedu-sedan. Ia tidak menyajikan serasah mentah peristiwa. Ia diam-diam mampu mengerahkan sepasukan besar bakteri pengurai yang entah dari mana begitu banyak terdapat di kepalanya. Bakteri inilah yang dengan lekas menghumuskan peristiwa-peristiwa yang tersaji dalam sajaknya.

3. Anda harus percaya bahwa Bahasa Indonesia itu kaya. Ya, kaya dengan segala kemungkinan pengucapan. Kaya dengan berbagai tawaran penjelajahan. Kaya dengan peluang untuk memainkan musik dengan kata-kata, seraya tetap bersetia pada ketertiban makna. Bahasa Indonesia, di lidah dan di ujung jari penyair kita ini, seakan lepas dari ancaman pemiskinan, sebagaimana pernah – dan mungkin masih - dikuatirkan bahkan oleh penyair sekaliber Goenawan Mohamad (“Kesusasteraan dan Kekuasaan”, Pustaka Firdaus, 1993).

4. Penyair kita ini terus melakukan eksperimen bahasa. Kelihatannya memang dia telah nyaman pada suatu bentuk ucap sajak-sajaknya yang terbukti “berhasil” dan “diterima”. Padahal sesungguhnya, sebagai penyair yang baik, dan akan bernafas panjang, dia sesekali risau. Dia sesungguhnya diam-diam selalu bertanya, “Adakah yang baru pada bahasa sajak saya?” Anda, bisa merasakan jawaban pertanyaan itu pada beberapa sajaknya di buku ini, yang mohon maaf, saya sekali lagi tak mau menunjuk ke sajak yang mana. Ada permainan-permainan bentuk baru, dan ada tawaran padanan-padanan kata baru yang terasa segarnya. Mungkin terburu-buru kalau saya mengatakan bahwa dia telah menemukan bahasa sajaknya. Tetapi, pada sajak-sajaknya di buku ini saya tahu dia telah menyambut tantangan penyair besar Sutardji Calzoum Bachri. Ya, MAM telah melakukan pencarian-pencarian dan bila pun belum dia pasti kelak menemukan bahasanya.

5. Penyair kita ini adalah penyair produktif dan tak pernah terikat pada suatu tempat. Ia menetap di Makassar, kota yang saya yakin telah menjadi rumah yang nyaman bagi jiwa kreatifnya. Tapi dia bisa memetik sajaknya di mana-mana. Saat terkurung dalam kantor, dalam perjalanan ke kota-kota kecil yang kerap ia lakukan, saat menjenguk ibunya di kota lain di pulau lain, saat menyendiri, saat bersama dengan kawan-kawan karibnya. Ia bisa memetik sajak dari sepi saat ia merenung, ia juga bisa menawarkan sajak sebagai jawaban dari pertanyaan kawan atau orang lain, dan ah dia pun kadang-kadang menulis sajak sebagai bentuk permainan dengan kawan-kawannya. Ketika ada seorang kawan berulang tahun, maka beberapa kawan lain ia minta menyumbang masing-masing satu kata. Lalu, berdasarkan kata yang terkumpul itu, masing-masing menggubah sajak. Begitulah, mereka menghadirkan bahkan melakoni sajak itu dalam keseharian mereka.

6. Penyair kita ini telah kuat dan ia mulai meluaskan tema sajak-sajaknya. Saya tidak ingin bilang bahwa sajak cinta adalah tema cemen dan karena itu harus dihindari dan sebaliknya tema-tema sosial adalah tema berat dan karena itu membuat penyair tampak gagah ketika menuliskannya. Rainer Maria Rilke, ah nama itu lagi, pernah menyarankan agar tema cinta dihindari saja karena sudah terlalu sering digarap. Saya yakin, MAM tahu benar nasihat itu. Dia tidak menghindar. Apakah harus dibuang bahan sajak yang begitu berlimpah dalam hatinya yang bersumber dari hal ihwal cinta itu? MAM pada sajak-sajak awal di buku pertamanya (“Hujan Rintih-rintih”, Inninnawa, 2005) berhasil mengelak dari kecengengan – meski sesekali terpleset juga dan di buku ini saya kira tepatlah saatnya bila dia telah pula masuk ke tema-tema sosial yang sesungguhnya amat fasih pula terucap oleh lidahnya, sambil tetap berhasil mempertontonkan kedewasaan yang baru dalam sajak-sajak bertema kasih sayang.

Ah, kenapa tidak ada yang mengingatkan saya untuk tidak berpanjang-panjang dan segera berhenti menulis pengantar ini? Baiklah saya harus tahu diri. Sekali lagi, pengantar ini, juga rumah-rumah dan pintu-pintu sajak yang dibangun di dalam buku, sesungguhnya hanyalah kegenitan saya sebagai seorang editor yang terlalu gembira karena dipercaya dan diberi kebebasan sebebas-bebasnya oleh penyair kita untuk berbuat sesuatu pada sajak-sajaknya sebelum dibukukan. Saya bilang padanya, di depan sajak-sajak yang hebat, saya bisa menjadi editor yang hebat. Anda tentu saja boleh menemui sajak-sajak di buku ini lewat pintu belakang, menyelindap lewat jendela atau membongkar dinding, atau lewat kemungkinan apa saja yang kreatif. Karena, mengingat jawaban Sapardi Djoko Damono atas sebuah pertanyaan saya, dia bilang, “tafsir akan memperkaya sajak”. Saya dengan sok tahu bilang padanya, “ya, sajak yang baik, mengundang tafsir yang kaya”.

Batam, November 2007

Catatan:
Pengantar ini saya buat atas permintaan (beserta rayuan)  M Aan Mansyur. Bukunya berjudul "Aku Hendak Pindah Rumah". Ini buku kedua Aan, setelah "Hujan Rintih-rintih". 




Tuesday, November 6, 2007

Lebaran Malam*

Kuburan di atas bulan


-----
* mohon maaf untuk penyair Sitor Situmorang


[Majas # 012] Hiperbola

HIPERBOLA. Pengungkapan yang dilebih-lebihkan sehingga kenyataan yang diungkapkan itu menjadi terasa tidak masuk akal.

Di dalam puisi, sebenarnya, tidak ada yang tidak masuk akal. Ketika menyair, penyair justru seringkali melawan batas-batas akal itu untuk membuka kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa dicapai oleh bahasa.

Gaya bahasa hiperbola kadang dekat, berhimpit, atau bertumpangan dengan gaya bahasa metafora, simile, atau metonimia. Ya, seringkali, untuk mencapai bahasa yang bertenaga dan membetot perhatian, metafora dibuat dengan berlebih-lebihan, meloncati kenyataan, dengan hiperbola juga.

Bila dalam percakapan bisa, gaya bahasa hiperbola berkesan negatif, karena yang dilebih-lebihkan itu dekat kepada yang didusta-dustakan, maka dalam puisi sebuah hiperbola justru bisa menjadi kekuatan. Asalkan gaya bahasa itu memang dipakai pada saat yang pas.

Contoh:

a. Sony Farid Maulana

aku dengar kegaduhan badai
seperti reruntuhan dadamu yang remuk
dihantam gada kehidupan kota besar:

....

("Darah Hitam"; dalam buku "Secangkir Teh"; Grasindo: Jakarta, 2005)


sorot matamu
walau tampak berkabut
terasa api mencairkan alir darahku
yang nyaris beku di kulkas kesepian

....

("Prosa Hitam"; ibid)

.... Sungai bukan lagi
tempatku bercengkerama dengan ikan-ikan. Alirannya,
mengaduh pedih disilet limbah industri

....

("Sebuah Potret Dunia Ketiga", ibid)


b. Toety Heraty

isyarat sesat tak mewujudkan manfaat
disodorkan olehnya asbak penuh meluap

....

("Pengertian", dalam buku "Mimpi dan Pretensi"; Balai Pustaka: Jakarta, Cet. ke-3, 2000)


sekali tegak racun dan duka membuat
syaraf menyala-nyala


("Jembatan", ibid)


c. Gus tf


dan di suatu tempat pada suatu ketika, kubur-kubur
dibongkar
rangka-rangka dibakar
: tegakkan!....

("Isme Kejadian", dalam buku "Sangkar Daging", Grasindo: Jakarta, 1997)


siapa mengirimku ke sini, dalam amplop terbuka begini
bisingnya! kudengar
beribu-ribu suara, dari beribu-ribu
berhala
beribu-ribu dunia, beribu-ribu kamera
: tapi tak ada
orang yang kaukatakan telah menunggu sejak lama
mengulang manusia


("Pemandangan", ibid)






Kabel 8

- metafora kenangan

AKU ingin temukan sepotong kabel bekas, mungkin
ia dalam sajak ini bisa kau anggap sebagai
metafora dari kenangan yang bisa mempertemukan
tanganku yang kusembunyikan dan bukit pipimu
yang lembut dan lembab oleh hujan tetangisan:
nanti, matamu-mataku menyala terang, bergantian
bersamaan, bersahutan, bertukar-tanya-jawaban.





Monday, November 5, 2007

Simile Senyummu

SENYUMMU seperti rekah seludang pertama
                  mayang kelapa, seperti aku sendiri
                  dulu yang menanam, menjaga tumbuhnya.

Senyummu seperti gelepar akhir ikan & udang
                  di perahu nelayan, seperti aku sendiri
                  dulu yang merajut benang jaringnya.
 



Sunday, November 4, 2007



Kami bertiga: Raja Ali Haji, Aku, Sitok Srengenge (foto oleh Muhamad Badri)

-----------

Kata yang Bugil, Kita yang Degil
: Sitok Srengenge

SIAPA mengayuh perahu ke gemetar pelatar
      Kita gamang digayung goyang gelombang

Siapa memahat nomor dan alamat di pintu tua
     Kita sampai di tapak rumah dan sepah sejarah

Siapa raja menyulut api membakar istana
     Kita memungut bara, merendam dalam geram

Siapa pujangga dikubur di luar kubah istana
     Kita faham, syair tak bisa memindah letak makam

Siapa yang mengajar berahi pada bugil kata
     Kita lelaki yang bengal, pecinta yang degil

Siapa yang memberi nama pada setiap sia-sia
     Kita mengecupkan puisi pada rekah bibir  kata

Bibirku Bersujud di Bibirmu LIVE in TIM!

Saya baca puisi di TIM. Faisal merekamnya. Dobby mengubah filenya jadi mp3. Saya  kirim file itu ke Wawan. Wawan memajangnya di multiply. Anda mau mendengarnya? KLIK INI!

Semacam Rayuan dari M Aan Mansyur

      Di blognya M Aan Mansyur menulis tentang saya dan tentang blog ini dia bilang: ... Dan yang paling dahsyat adalah dia juga menulis puisi di sela-sela seluruh aktifitas belajar dan mengajarnya itu--juga pekerjaan lainnya sebagai wartawan, kartunis yang sedang belajar melukis, suami dan ayah. Sangat masuk akal jika ia menamai blognya sejuta-puisi, sebab tak bisa lagi saya hitung berapa jumlah puisi yang pernah saya baca di sana sejak pertama kali Hasan mengisinya tanggal 18 Desember 2002....

     Jangan percaya pada semua apa yang ditulis dia. :-). Maksud saya, percaya sebagian-sebagian saja. Soalnya tulisan itu bagian dari rayuannya menaklukkan hati saya agar mau menjadi editor buku puisi terbarunya. Sebenarnya tanpa dirayu pun saya dengan senang hari mengiyakan permintaan atau perintahnya. Soalnya saya sangat menyukai sajak-sajaknya.
     
      Tapi, sssst, jangan bilang-bilang dia soal ini ya, nanti dia tarik kembali tulisan itu.
Di Teater Utan Kayu,
Jumat-Sabtu 09 - 10 November 2007,
Mulai Pukul 20.00 WIB - Selesai
Ada Acara:

8 PENYAIR MUDA BACA KARYA

      Banyak penyair baru bermunculan dalam khazanah sastra Indonesia, dengan berbagai corak pengucapan dan tema. Kita dapat menyimak kehadiran karya mereka di berbagai media massa, merasakan gairah, kegagapan maupun kefasihan mereka, pun tak jarang menikmati kesegaran yang mereka tawarkan. Dan tak sedikit di antara mereka yang telah memasuki tingkat kematangan.
     Teater Utan Kayu mengundang beberapa nama yang barangkali bisa dibilang termasuk gelombang baru dalam kepenyairan Indonesia untuk membacakan karya-karya mereka: Hasan Aspahani (Batam), Inggit Putria Marga dan Lupita Lukman (Lampung), Fadjroel Rachman dan Binhad Nurrohmat (Jakarta), Dina Oktaviani (Yogyakarta), S. Yoga (Nganjuk), dan Pranita Dewi (Bali).

Anda diundang untuk menyimak dan menikmat bersama penampilan mereka!

Thursday, November 1, 2007

[Majas # 011] Litotes

LITOTES. Gaya ungkapan dengan mengecilkan kenyataan atau fakta yang sebenarnya yang bertujuan untuk merendahkan diri. Dalam sajak, jurus merendahkan atau mengecilkan hal yang hendak disampaikan itu, bisa jadi semacam jurus "gadungan", karena sebaliknya, bisa saja terasa upaya merendahkan diri itu malah seperti sengaja "meninggikan mutu".

Contoh:
a.

Lalu diambilnya pena, dicelupkannya pada luka
dan ditulisnya:
     
Saya ini apalah Tuhan.
     Saya ini cuma jejak-jejak kaki musafir
     pada serial catatan pinggir;
     sisa aroma pada seonggok beha;
     dan bau kecut pada sisa cinta.
     Saya ini cuma cuwilan cemas kok Tuhan
     Saya ini cuma seratus hektar halaman suratkabar
     yang habis terbakar;
     sekeping puisi yang terpental
     dilabrak batalion iklan.


("Tuhan Datang Malam Ini", Joko Pinurbo, "Di Bawah Kibaran Sarung, IndonesiaTera: Magelang, 2001)

Sajak Joko Pinurbo ini dipersembahkan untuk Goenawan Mohamad. Saya dalam sajak itu, bisalah kita anggap sebagai pendapat seorang Jokpin tentang seorang GM. Alih-alih mengumbarkan kata pujian, Jokpin malah memaparkan sejumlah kalimat merendah, yang justru terasa makin membesarkan siapa sosok GM itu.

b.

walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah

....

walau huruf habis
lah sudah
alifbataku belum sebatas allah


("WALAU", Sutardji Calzoum Bachri, "O AMUK KAPAK", Sinar Harapan: Jakarta, 1981)

Sutardji adalah penyair besar. Tapi, kebesarannya justru membuat dia merasa amat rendah di depan Tuhan. Hingga ia tidak menulis puisi lagi, dia sadar tidak akan mampu mencapai kebesaran Allah.

c.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya tiada

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


("Aku Ingin", Sapardi Djoko Damono, "Hujan Bulan Juni", Grasindo: Jakarta, 1994)

Cinta yang sederahana, justru terasa cinta itu luar biasa dahsyatnya. Cinta yang sejati memang seperti itulah harusnya. Si aku yang mencintai hanya mengobankan diri tanpa bicara, hingga ia habis dan jadi tiada seperti kayu terbakar demi kobar api yang ia cintai.

d.
Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian

Mari tegak merentak
Diri-sekeliling kita bentak
Ini malam purnama akan menembus awan.


("Kita Guyah Lemah", Chairil Anwar, "Aku Ini Binatang Jalang", Gramedia: Jakarta, Cet.8, 2000)

Kita lemah, tapi dari kesadaran akan keterbatasan itulah aku penyair mengajak agar kita pendam erang dan jeritan, agar orang tak tahu, dan kita bsia tegak membentak dan mengusir ancaman dari luar diri.