Thursday, July 28, 2005

Dongeng Koral Laut dan Pari Hantu

di dasar dada, jantung laut berdetak,
menghitung saat maut, gemetar ombak

mengukur pantai yang semakin jarak,
juga permukaan yang tak tertebak

"kau koral di palung laut," kataku.

"Ya, seberapa dalam kau berani menyelam,
menemukan aku sebagai kekal cahaya?" katamu.

padahal akulah pari hantu. mengibas sirip,
mendekap, dalam dengus gelap, berburu waktu:

liar birahi laut, kutemukan dalam tubuhmu.

Wednesday, July 27, 2005

[Ruang Renung # 121] Keharuan Puisi: Rumah Bertangga Lumut

BAGAIMANA membuat puisi yang ketika dibaca membangkitkan rasa haru? Itu pertanyaanmu. Pertanyaan saya: Kenapa keharuan bisa bangkit? Ya, kenapa sebuah peristiwa - bukan hanya puisi - bisa membuat orang yang menyaksikannya menjadi haru? Pasti karena ada sesuatu yang mengena, menyentuh atah bahkan 'nendang' pada peristiwa itu. Saya cukupkan nonsens ini sampai di sini, karena saya yakin penjelasan saja tidak akan mengena, tidak menyentuh dan tidak menendang.

PAKAI contoh saja agar tulisan ini lebih me... semua itu tadi. Saya bisa menjelaskan kenapa saya terharu ketika membaca sajak Lirisme Buah Apel yang Jatuh ke Bumi (Aslan Abidin), Pada Sebuah Panti: Interlude (Goenawan Mohamad), Dalam Doaku (Sapardi Djoko Damono), atau Rumah Bertangga Lumut.

SAJAK yang terakhir itu bahkan saya lupa siapa penyair yang menggubahnya. Saya juga tidak hapal bait-baitnya. Keharuan yang timbul dalam diri saya ketika pertama kali membacanya dan ketika terus mengulang-ulang membacanya masih terasa sampai saat ini. Saya membaca sajak itu di Majalah Horison lebih dari sepuluh tahun lalu. Sajak itu berkisah --- ah, ini istilah yang salah, sajak sebenarnya bukan sekadar sebuah kisah, kan? --- tentang seorang 'aku' yang mengibaratkan 'kau' sebagai rumah. 'Aku' ingin pulang setelah sekian lama pergi. Tapi 'kau' adalah rumah yang bertangga lumut. Licin, dan membuat si 'aku' gamang menjejak. Karena pasti tergelincir jatuh.

KISAH yang biasa saja, bukan? Tapi karena saya yakin puisi itu ditulis berdasarkan "peristiwa rasa" dan dengan mengerahkan seluruh perasaan maka yang tersentuh juga adalah perasaan saya. Saya terharu. Keharuan yang panjang. Rasa haru itu yang justru terus bertahan, meskipun sajaknya sendiri detailnya saya tak bisa mempertahankan dalam ingatan.[hah]

NB: Siapa yang bisa mencarikan sajak Rumah Bertangga Lumut itu? Kira-kira terbit di Horison ketika majalah itu berkonflik dan sempat ganti pengelola. Mohon maaf untuk si penyair yang tak bisa saya ingat namanya dengan pantas.

Monday, July 25, 2005

[Ruang Renung # 120] Puisi, Lirik Lagu, Musik Tanpa Lirik, Sajak Berbunyi

Samakah lirik lagu dengan puisi? Maksudnya apa lirik adalah puisi yang di lantunkan dengan irama? Bagaimana caranya bikin puisi yang kalau dibaca terasa haru?

SAYA tidak pernah bikin lagu. Tapi bisa membayangkan kerepotan seorang penggubah lagu ketika membuat lirik untuk lagunya. Saya tidak tahu apa yang lebih dahulu ditulis: irama atau liriknya. Kalau iramanya lebih dahulu, maka lirik yang harus 'mengalah'. Pilihan kata jadi terbatas sekali. Panjang pendek kalimat harus pas dengan jumlah nada. Tema juga jadi terbatas. Saya kira tidak akan cocok irama mendayu-dayu manis ala Yovie Widianto diberi lirik dengan tema dan pilihan kata seenaknya a la Slank.

SAYA penulis puisi. Kerepotan-kerepotan di atas tidak saya alami.

TETAPI ada puisi-puisi yang dinyanyikan. Seperti yang dilakukan oleh kelompok Dua Ibu. Itu pun khusus puisi Sapardai Djoko Damono. Kerepotan di alinea pertama tulisan ini di balik. Irama yang mencocokkan diri dengan syair. Swami juga menyanyikan beberapa sajak Rendra. Bimbo menyanyikan beberapa sajak Taufik Ismail.

JADI apakah lirik lagu itu puisi yang dinyanyikan? Tidak semua lirik lagu adalah puisi. Tidak semua puisi bisa dinyanyikan. Tetapi, ya alangkah berdayanya sebuah puisi apabila dia bisa menjelma jadi sebuah lagu yang indah. Saya membayangkan suatu saat puisi saya ada yang menjadi lirik lagu.

EBIET G Ade, dalam sampul kaset Camellia I mengaku tidak mau disebut penyanyi. "Saya punya cita-cita untuk sukses sebagai Penyair yang senang musik dan nyanyi," katanya. Kalimat itu bertahun-tahun, setelah beralbum-album berlalu diralat sendiri olehnya. Ebiet menerima saja sebutan penyanyi, karena bagaimana pun dia kan memang menyanyi, katanya. Jadi, dia penyanyi atau penyair? Bagi Taufik Ismail Ebiet adalah penyair. Saya menikmati syair-syair Ebiet yang dinyanyikan itu, lebih nikmat rasanya dibandingkan dengan kalau hanya membacanya saja. Tapi saya tidak pernah membayangkan ingin menikmat sajak-sajak Goenawan Mohammad lewat lagu.

SEPERTI halnya juga saya tidak pernah ingin membayangkan ada lirik untuk komposisi simponi-simponinya Beethoven atau lagu-lagunya Kenny G. Biarlah dia utuh sebagai sebuah lagu yang sampai kepada saya tanpa harus ada lirik yang terikut di sana. Dari Goenawan Mohammad saya belajar tentang sajak yang kaya bunyi. Saya lagi belajar masih segan membagi apa yang saya dapat dari pelajaran itu. :-)

SEMOGA tambah bingung, Wahai kau yang bertanya. :-) Bob Dylan bilang, apa yang bisa dilagukan oleh dia, maka disebutnya lagu, apa yang tidak bisa dinyanyikan dia sebut saja puisi. Mau setuju dengan dia? Terserah. Saya tidak.[hah]

NB: Pertanyaan terakhir masih jadi PR buat saya, Ryan. Sabar, ya.

Sunday, July 24, 2005

[pernikAN] Aku Gemuk Lagi!

JAM kerja yang berubah membuat saya tak bisa mengontrol lemak. Dari rumah berangkat jam 15.00 WIB. Makan siang dulu. Di kantor, jam 6 lewat makan lagi. Ini makan diplomatis. Soalnya reporter dan redaktur pesan nasi sama-sama dan makan sama-sama pula. Kesempatan untuk mendengarkan keluhan dan cerita seru mereka saat meliput. Pulang ke rumah pukul 01.00, lapar tak bisa ditahan. Makan lagi. Alhasil, seluruh lemak tak ada semiligram pun yang terbakar jadi energi.

DUA celana tiba-tiba bulan ini sesak. Waktu Ikra sakit semalam, di klinik saya sempat naik ke timbangan. "76!" kata Shiela. Wow. Ini rekor sekaligus ancaman. Saya sekarang merasa sangat lamban. Perut sesak tak dapat menolak lemak dan itu, "Jelek banget," kata Yana. "Abah hamil, ya?" tanya Shiela. Kalau bukan dia yang bertanya, pasti itu sebuah ledekan.

TADI siang saya kepikir beli sepeda. Bersepeda ke kantor bisa membuang alasan tidak ada waktu berolahraga. Kantor tak terlalu jauh, tapi ya tak terlalu dekat. Secara mental saya siap saja kalau di lampu merah ketemu dengan siapa pun. Tapi, Yana meragukan niat ini. Soalnya di belakang rumah ada satu sepeda loakan yang tak sempat dipakai kemana-mana.

WAKTU menulis ini saya teriakkan lagu BIP ketika vokalisnya masih Irang. "Aaaaaku gemuk lagi!"

Saturday, July 23, 2005

[Ruang Renung # 119] Penumpang Gelap dalam Puisi

KADANG-KADANG ada penumpang gelap dalam puisi kita. Namanya juga penumpang gelap, kita tidak tahu kapan dia naik ke perahu puisi kita. Kita juga tidak tahu bahwa dia ada, sejak kita mulai menulis, menyelesaikan, lalu menyimpannya. Kita tidak kenal dia. Mungkin nanti ada pembaca yang memberi tahu kita ihwal keberadaan penumpang gelap itu. Biarkan saja. Malah lebih baik kalau kita bisa membangun banyak ruang gelap dalam puisi kita, agar para penumpang gelap itu semakin banyak menyelinap.

SAYA sering bertemu si penumpang gelap itu setelah membaca kembali puisi-puisi yang sudah saya tuliskan. Itulah justru yang membuat puisi itu jadi asyik untuk dibaca kembali. Saya juga banyak bertemu beberapa penumpang gelap pada puisi-puisi lain yang saya sukai.

SIAPAKAH penumpang gelap itu? Ssst, dia bahkan dalam tulisan ini pun sang penumpang gelap adalah penumpang gelap. Saya juga tidak kenal dia. Saya tak punya alasan untuk bertanya apakah dia punya tiket atau tidak.[hah]

Wednesday, July 20, 2005

Tips: 3 Langkah Mudah Memahami Maut

1. Kita adalah burung-burung terbang,
hinggap di nasib cabang ke cabang.

2. Dunia & hidup adalah pohon rindang,
di teduhnya malaikat kecil bermain riang.

3. Ada yang iseng mengokang senapang,
lalu, beberapa lembar bulu melayang.

Tuesday, July 19, 2005

SAYA datang ke sini untuk berbicara tentang puisi. Puisi yang akan selalu ada di rumput. Penting untuk berlutut mendengarkannya, mendengarkan puisi itu. Dan juga terlalu sederhana untuk didiskusikan dalam sebuah pertemuan.

Boris Pasternak

Monday, July 18, 2005

[Ruang Renung # 118] Memberi Sesuatu pada Sebuah Peristiwa Kecil

PUISI, kadang hadir dalam sebuah peristiwa. Peristiwa itu harus istimewa. Tapi, tak harus dramatis. Bisa saja hanya sebuah peristiwa kecil, sebuah peristiwa yang biasa saja dalam penglihatan mata yang bukan mata penyair. Penyair harus menangkap keistimewaan itu. Dialah yang kadang harus membuatnya menjadi istimewa. Tanpa mengubah peristiwa itu. Hanya menambahkan sesuatu. Ya, menambahkan sesuatu tanpa merusak keutuhan peristiwa kecil itu. Makin banyak 'sesuatu' yang bisa kita tambahkan, makin bagus sajak yang tercipta dari peristiwa kecil tadi.

PERISTIWA kecil? Ya. Misalnya? Banyak. Sebagian sudah menjadi puisi di tangan penyair. Daun jatuh, gemericik air, detak detik jam, saat nyala korek menuju ujung rokok, coretan pada kartu nama, duduk di resotan cepat saji menyantap ayam goreng, memasang kancing baju yang copot, sehelai rambut yang tertinggal di kancing baju, aliran air di selokan, bunga layu gugur mahkota, burung hinggap di sebatang bunga di pot, hembus angin di spanduk, suara klakson mobil di pagi hari, kaus kaki, suara mikropon, gemerisik televisi yang tak dimatikan setelah habis jam siaran, suara gelombang, seprei yang kusut, kabut pada jendela kaca, onggokan sepasang sepatu.

[Renung # 115] Imajinasi Wawancara dengan Subagio Sastrowardoyo

TANYA: Bagaimana Anda melayani ketika ilham puisi datang dan bagaimana Anda mencari kata yang pas untuk memuisikan ilham itu?

JAWAB: Ketika saya mendapat ilham kata-kata dengan sendirinya menetes dari batin saya dan menyusun sendiri menjadi sajak. Kerap kali saya merasa seperti mabuk kata-kata, dan pedoman yang saya pakai dalam menguasai desakan aliran kata-kata itu adalah irama yang melekat padanya.

TANYA: Anda mempedulikan pembaca puisi Anda?
JAWAB: Ketika menerima luapan ilham saya tidak amat peduli adakah apa yang saya katakan di dalam sajak dapat dimengerti oleh pembaca ataupun dapat diterima oleh ukuran, aturan atau teori-teori sastra yang ada. Saya hanya percaya dan yakin akan kejernihan dan kesetian bayangan batin saya dan menyatakannya dalam sajak, Acapkali sajak-sajak saya, saya rasa sebagai monolog, bicaca sendiri, yang tercatat dalam tulisan pada saat kecerahan dan keheningan jiwa. Bayangan-bayangan batin timbul hanya selama sekilas-sekilas, maka harus ditangkap dengan cepat dan dikekalkan dalam tulisan sebelum terlepas dan hilang dari ingatan.

TANYA: Lalu bagaimana makna bisa mengisi ke dalam sajak jika bayangan itu hanya timbul sekilas?

JAWAB: Sajak tercipta pada saat-saat estetis atau saat-saat puitis yang sekilas-sekilas, dan pada saat itulah berkilat bayangan-bayangan batin. Pada saat-saat puitis itu juga segala sesuatu memperjelas pertaliannya yang asasi dengan tugas-tugas serta makna-makna yang pokok. Pertalian-pertalian itu tertangkap dengan sekaligus secara intutitif dan dengan itu imagery atau gatra, yang merupakan unsur yang inti pada bangunan sajak, menjelma dalam batin.

[Jawaban Subagio dalam imajinasi wawancara di atas dipetik dari buku Keroncong Motinggo, Dua Kumpulan Sajak, Balai Pustaka, 1992]

[Ruang Renung # 116] Melawan Lahapan Waktu

BEGITU mudahkah menulis puisi? Ya, menulis saja mudah. Menyebut sembarang puisi sebagai Puisi juga tak pernah bisa dipersalah. Tetapi ada baiknya kita menyimak Subagio Sastrowardoyo. Dalam tulisan "Mengapa Saya Harus Menulis Sajak" (Keroncong Motinggo, Balai Pustaka, cetakan kedua, 1992) yang ia sebut sebagai sebuah striptease batin, ia mengingatkan bahwa seorang seniman adalah dia yang hendak menciptakan nilai-nilai seni yang kekal yang sanggup bertahan menghadapi pertimbangan-pertimbangan estetik yang berubah-ubah menurut perbedaan waktu.

SAYA menilai itu sebuah perumusan yang jitu, telak dan tepat. Kenapa karya Bethoven, Van Gogh, Davinci, Hemingway, Mark Twain, Chairil Anwar masih terus dikaji, dibaca, disimak dan dibicarakan hingga sekarang? Karena mereka telah berhasil menciptakan nilai-nilai seni yang kekal, seperti kata Subagio, yang sanggup menghadapi pertimbangan-pertimbangan estetik, masih menurut kata Subagio tadi, yang berubah-ubah menurut perbedaan waktu, pas tuntas seperti dirumuskan Subagio.

KITA bisa bilang, ah peduli amat dengan keabadian. Pokoknya saya menulis puisi untuk menuntaskan kegelisahan saya saat ini. Besok apakah dia basi atau jadi kata-kata mati, saya tak peduli. Itu juga sebuah sikap yang tidak salah. Mencapai keabadian dan kekekalan memang tidak mudah. Melawan lahapan waktu memang tidak mudah. Tak semua bisa segagah Chairil Anwar yang berani bilang: "Aku mau hidup seribu tahun lagi".

Thursday, July 14, 2005

[perniKAN] Format Halaman Koran dan Liburan

MINGGU lalu berakhir dengan terkaparnya saya, kompromi dengan sakit. Saya tidak ke dokter karena sok percaya bahwa tubuh manusia punya mekanisme penyembuhan sendiri. Kalau sakit, artinya tubuh minta istrirahat. Yana mengajak ke dokter, saya menolak. Dia menyerah.

KENAPA sakit? Saya terlalu menguras pikiran. Format halaman koran tiga kali berubah. Satu format (8-8-8-8-8, maksudnya delapan halaman lima kali cetak) hanya untuk dipakai dua hari. Percetakan pindah, itu pangkal pasalnya. Mesin yang terpasang hanya bisa mencetak 8 halaman sekali jalan. Mesin lama makan waktu dua hari untuk pembongkaran dan pasang ulang. Format satunya (16-16-8) tidak terpakai sama sekali. Soalnya mengurangi dua halaman warna. Dan, hanya disusunkebut dalam hitungan jam, format terakhir (16-12-12) Insya Allah jadi format masa depan (ehm kayak album keduanya Dewa saja). Sebelumnya yang dipakai adalah 12-12-12. Ya, sekarang Batam Pos lebih tebal 4 halaman dari 36 sebelumnya.

AKIBAT format-reformat-rereformat itu, jadwal libur Shiela tertunda. Baru Jumat (15/7) hari ini kami bisa ke Balai, tempat neneknya setiap hari menelepon. Sepupu Shiela sudah menjanjikan acara jalan-jalan ke pantai. Akibat lain ya, saya sakit tadi.

Peringatan

Sajak Sylvia Plath


Jika kau bedah seekor burung
untuk mendiagram lidahnya
Kau akan memenggal pandunada
Nyanyi yang dilagukan nyaring

Jika kau kuliti binatang liar
merampas kegagahan kibar misainya
Kau tak akan mendapatkan apa-apa
tak dari pangkal bulu itu tumbuh

Bila kau menyentak lepas jantung
agar kau tahu sebab denyutnya,
Kau akan membunuh detakan
yang lembut menyebut cinta kita

Pulang Jalan Kaki, Telanjang tanpa Mimpi

/1/

Demi mengirit energi, dia suka pulang kerja berjalan kaki,
penjaranya eh rumahnya tak jauh dari tempat kotor eh kantor.

"Paling-paling dini hari kita sudah sampai," katanya kepada
lelah yang selalu numpang di punggungnya yang lunglai.

Bosan juga suka ikut-ikutan di matanya yang kusut masai.

Dalam perjalanan pulang dia suka digoda ojek, angkot,
bis dan kereta listrik. "Awas! Di depan ada jalan becek!"
kata ojek berteriak mengejek.

(Kantor jauh lebih lecek, penuh persekongkolan licik...)

"Hati-hati, ada begundal kampret mengintai kau punya dompet!"
kata angkot yang sudah pengalaman kerjasama dengan pencopet.

("Di kantor juga banyak rekan sejawat yang sejatinya tukang serobot.")

Kalau kepergok bis, dia suka kaget karena sengaja dipepet-pepet.
"Selamat berhemat, Pegawai Kere. Semoga lekas kaya sejahtera!


/2/

Tapi, tak ada yang lebih damai daripada rumah yang permai.
Letih ditanggalkannya di pintu. Lelah ditumpuknya di jendela.

Lampu yang remang dinyalakannya. Satu-satunya lampu di hati.
Lalu dia pun terkapar nyaman sekali. Telanjang tanpa mimpi.

Tuesday, July 12, 2005

Ini Juga Bukan Sajak Cinta

hinggap juga di mataku
kunang yang membawa kenang
: cahaya dari tubuhmu

aku hanyut mengaliri arus air mata
tangis yang kita iringkan
bersama tiap langkah kanan.

luka-luka tak akan pernah tersembuhkan
"Tapi aku kini telah pandai membalutnya."

Aku mengenang cadangan kain kafan.
Yang kita robek pelan-pelan. Pelan-pelan.

Monday, July 11, 2005

[perniKAN] Andai Kami di Australia

KADANG terpikir andai saja kami hidup di Australia. Kabarnya disana, keluarga boleh tidak menyekolahkan anak-anaknya asal bisa mendidiknya sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan negara. Untuk itu negara memberi dana kepada keluarga tersebut. Rasanya aku dan Yana bisa mendidik sendiri Shiela.

TAPI kami tidak di Australia. Maka serangkaian kerepotan pendaftaran itupun harus kami - aku dan Shiela, juga Yana - jalani. Yana menjadi tempat bertanya tetangga-tetangga yang juga berburu sekolah. Aku dan Shiela mendaftar ke dua sekolah dasar. Satu swasta dan satunya lagi negeri. Harapan untuk bisa diterima di sekolah negeri kecil sekali. Soalnya daya tampung terbatas sementara calon murid melebihi daya tampung itu. Di SD Negeri 2 tempat Shiela mendaftar, pada hari kelima, ada 126 lebih pendaftar. Shiela nomor 106. Padahal besoknya pendaftaran baru ditutup.

AKU pun lakukan trik itu. Mungkin salah, tapi paling tidak itulah yang paling elegan. Yang penting saya tidak menyuap - sesuatu yang amat pantang aku lakukan sejak aku hrrus jadi orang dewasa yang berurusan dengan birokrasi apapun. Trik apa? Tak perlu aku ceritakan.

HARI ini pengumuman. Tak ada nomor 106 di papan pengumuman itu. Tapi, Shiela diterima, seperti yang dijanjikan ibu guru yang mengetes Shiela.

"KENAPA shiela diterima, Mak?" tanya Shiela.
Yana tak bisa menjawab. Dia terbayang apa yang sudah saya lakukan untuk mengupayakan agar dia diterima di sekolah itu.
"Karena Shiela bisa menjawab pertanyaan ibu guru. Gitu, Mak. Gimana sih Mamak ni..."

Friday, July 8, 2005

Punya Naskah Buku?

Q-Press adalah lini produk penerbit Pustaka Hidayah, yang khusus menerbitkan buku-buku psikologi populer, How to book, dan juga sastra yakni novel (lebih diutamakan) dan sampai batas tertentu dimungkinkan pula berupa kumpulan cerpen. Tema isi tidak terikat.Target pembaca Q-Press adalah remaja dan orang dewasa.
Kami menawarkan kesempatan kepada siapa saja yang berminat, untuk mengajukan penawaran naskah, dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Mengirimkan sinopsis buku berikut daftar isi. Penawaran bisa tertulis, atau melalui email.
2. Jika dianggap menarik, penerbit akan meminta copy materi buku, untuk dipelajari.
3. Jika dipandang layak, maka penerbit akan menyampaikan persetujuan untuk diterbitkan.
4. Selanjutnya, akan dibuat kontrak antara penulis dan penerbit.
5. Untuk buku yang diterbitkan, penulis akan mendapat royalty, yang besarnya (untuk setiap eksemplar yang terjual) adalah 7% dari harga jual eceran.
6. Laporan penjualan akan di sampaikan setiap 3 bulan, sekaligus dibayarkan.
7. Secara detail, semua hal tersebut diatur dalam sebuah Perjanjian Kerja sama.
8. Penawaran disampaikan ke:

Penerbit Q-Press/Pustaka Hidayah
Jalan Rereng Adumanis N0.31
Sukaluyu
Bandung (40123)

telp: (022) 250 7582; Fax: (022) 251 7757
email: pustakahidayah@bdg.centrin.net.id.

Wednesday, July 6, 2005

[Ruang Renung # 114] Angin Sapardi, Tafsir Saja Sendiri!

Angin, 2
Sajak Sapardi Djoko Damono

Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar
semalaman. Seekor ulat lewat, menghindar. Lelaki itu masih
tidur. Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.

[Perahu Kertas, 1991]


1. Angin pagi, seekor ulat dan lelaki itu dalam sajak ini saya lihat tempatnya sejajar. Angin adalah pelaku yang menerbangkan sisa-sisa unggun api. Ulat yang lewat itu tidak sekadar lewat. Dia juga tokoh yang punya peristiwa sendiri, yang dalam sajak ini hadir setara dengan lelaki yang masih tidur itu. Peristiwa-peristiwa dan perbuatan kecil yang dialami dan dilakoni oleh si angin dan si ulat bisa dilihat sejajar dengan mimpi si lelaki tentang perigi. Bisa juga jadi semacam pengantar sebelum sampai pada bait mimpi itu.

2. Semua peristiwa dalam sajak itu berlangsung di sebuah pagi. Frasa "angin pagi" sudah cukup mengabarkan itu. Tanpa kata "pagi" itu pun, kepagiannya sudah terasa. Soalnya ada ulat yang baru memulai geliat, juga lelaki yang masih belum bangun dari tidur.

3. Di manakah biasanya api unggun dinyalakan? Pasti bukan di taman kota. Pasti bukan di kamar hotel. Di manakah ulat bisa leluasa lewat-lewatan? Pasti bukan di jalanan kota besar. Jadi, tanpa harus disuratkan, tempat kejadian peristiwa sajak ini tersirat begitu kuatnya. Dimana? Ah, saya juga tidak ingin menyebutkannya.

4. Lelaki yang tertidur itu sedang mengembara. Ia jauh dari rumah. Ia bahkan kita bisa tahu sengaja meninggalkan rumah. Ada yang membuatnya tidak bisa bertahan di rumah yang ia tinggalkan. Apa? Entahlah, kita hanya bisa menebak itu dari perigi di belakang rumah yang tidak terurus, yang tidak berair lagi. Yang kering.

5. Lelaki itu sedang sangat rindu dengan rumah. Puisi itu tak perlu menyebutkan kata rindu. Tak perlu menghadirkan kata kangen. Cukup dengan mimpi bahwa sumur itu berair lagi. Air itu lambang kehidupan. Rumah tanpa air adalah rumah yang mati. Lihat, betapa semua kata dalam sajak ini bisa menjadi lambang. Menjadi bahan pemaknaan kita.

6. Begitulah. Tafsiran ini tentu saja bisa salah. Tapi saya bahagia bisa menafsirkan demikian. Saya merasa menemukan sesuatu yang bermakna buat batin saya. Kamu bisa saja punya penafsiran lain. Tafsiran yang membuat hidupmu bermakna. Silakan saja. Bagikan juga ke saya, ya... [hah]

Tuesday, July 5, 2005

Bukan Kali Ini

kabut tingkap, tirai tak tersingkap,
dingin sesak kapal enggan bertolak

di pintu tak kunjung tiba ketuk itu
dia menunggu, lekas memasang sepatu

Monday, July 4, 2005

Q # 1

tangis diciptakan di hari pertama,
kenapa kita harus diajari tertawa

bila cucuran hujan adalah air mata,
kita simpan dimana sengguk isaknya

Sunday, July 3, 2005

[Ruang Renung # 114] Puisi yang Ingin Ditulis Rendra

RENDRA menjadi tamu di program perbincangan di sebuah stasiun televisi. Sudah lewat dini hari. Ini mungkin siaran ulang. Pembawa acara kerap mengajukan pertanyaan yang kurang cerdas. Tapi, ah biarlah. Tema pembicaraan soal pementasan lakon Sobrat oleh Bengkel Teater.

Satu-satunya pertanyaan yang saya kira sangat baik adalah ketika si pemandu acara bertanya untuk yang terakhir kali. "Anda ingin mengakhiri hidup berkesenian Anda seperti apa?"

Rendra menjawab: "Saya ingin mengakhiri hidup saya sebagai penyair. Saya ingin menulis puisi tentang ketatanegaraan. Ronggowarsito juga menulis itu. Puisi sebaiknya jangan dibatas-batasi soal cinta, keindahan alam atau puisi tentang puisi. Saya muak sekali dengan itu."

Muak? Ya, penyair juga boleh muak. Malah harus sering muak dengan yang monoton, berulang, yang tidak lagi memberahikan nafsu kreatif.

Jadi sekarang kita ingin menulis puisi tentang apa? Sudah muakkah juga kita dengan sesuatu? Ayolah, cari tema hidup yang menggairahkan kita untuk terus menulis puisi, dengan atau tanpa niat untuk mengakhiri hidup sebagai penyair.[hah]

Saturday, July 2, 2005

[pernikan] CintArsenik

TADI pagi aku merayu istriku yang sedang sibuk memasak. Kami di dapur. Shiela dan Ikra sedang bertugas mengacau balau rumah, wilayahnya kamar tidur dan kamar tamu yang baru saja dibereskan.

Kubilang: "Cintaku padamu ternyata seperti kau racuni aku dengan arsenik. Sedikit demi sedikit..."

Dia cuma bilang (sambil kuat menahan agar tidak tersenyum) : "Hmmm"

Aku bilang: "Aku tidak pernah sadar racun itu ada di tubuhku. Dalam dosis kecil, cintamu tidak pernah kucerna, tetapi langsung mengambil tempat merata pada setiap sel darahku..."

Istriku bilang: "Habis baca National Geographic ya? Mandi sana cepat...."

Tiba-tiba Shiela sudah ada di pintu dapur: "Ha ha ha ha.. Mama sama Abah pacaran!"

Ikra yang pasti belum mengerti apa-apa paling keras ha ha ha ha-nya.***

Friday, July 1, 2005

Percakapan Sepasang Suami Istri

di rumah kecil ini
aku adalah meja belajar
dan kau adalah lampu di atasnya
anak-anak kita menggambar
dan memberi nama sendiri
pada warna dan bentuk-bentuk
yang mereka reka-reka

"Ini gambar kursi roda untuk mama," kata si sulung,
"Aku membuat kruk penyangga untuk ayah," sahut bungsu adiknya.

Aku melihat ada yang basah
di mata lampu yang menyala,

basah yang lekas menguap
sebelum sempat hendak kuusap

Aku merasa semakin rapuh
digerus rayap usia tua.