Monday, December 25, 2006

"Aku" Sajak yang Ganjil

Sajak "AKU" dikelilingi oleh angka-angka ganjil. Judulnya terdiri 3 huruf, ditulis pada saat Chairil Anwar berusia 21 tahun, terdiri dari 7 bait, 13 baris, ditulis pada bulan 3, tahun 1943, dan isi sajak itu berjumlah 283 huruf. Dalam buku "Aku Ini Binatang Jalang" (GPU, Jakarta) sajak itu merupakan sajak ke-11 dan berada di halaman 13.

* Dari Rubrik Trivia di situs PUISINET (www.puisi.net)

Sunday, December 24, 2006

Upacara Penurunan Kalender

SETELAH berkibar setahun lamanya, sudah saatnya
Kalender diturunkan. Maka digelarlah upacara. Dia
sendiri bertindak sebagai Komandannya.

"Siap, gerak!" teriaknya lantang, memberi aba-aba.

Maka segera saja bulan-bulannya yang kocar-kacir,
nama-nama harinya yang belum juga becus menyusun
diri sendiri, dan angka-angka tanggalnya yang kacau
merah dan hitamnya mengatur barisan masing-masing.

"Tumben, ternyata bisa juga pasukan kalender
saya dirapikan," katanya, sambil melangkah tegap
ke depan, hendak memberi laporan, bahwa upacara
penurunan Kalender siap dilaksanakan.

"Laksanakan!" kata Waktu, sang Inspektur Upacara.
"Siap, laksanakan!" ujarnya, sambil memberi hormat
lalu balik kanan hendak kembali ke barisan pasukan.

Tapi, betapa kagetnya sang Komandan, karena dia
seperti sedang upacara sendirian saja. Tak ada lagi
bekas pasukan, tak ada tanda-tanda sebelumnya
di sana ada barisan. Dia menggerutu, "Brengsek, belum
dibubarkan, kok lapangan upacara sudah ditinggalkan."

Lebih kaget lagi dia ketika melihat Kalender baru
sudah berkibar di dinding rumahnya, sebelum dia
memberi penghormatan terakhir pada Kalender lama.
Sementara perintah sang Waktu, inspektur upacara
tadi, terus saja terngiang-ngiang di telinganya.



Catatan:
Kalender memang menarik untuk dijadikan bahan renungan dalam berpuisi. Saya pun terpukau oleh benda penanda waktu yang sangat imajinatif ini. Sajak di atas saya tulis malam hari. Sebelum menulis sajak ini saya membaca beberapa artikel menarik di beberapa surat kabar edisi Minggu, dan buku baru Bakdi Soemanto "Sapardi Djoko Damono, Karya dan Dunianya", Grasindo, 2006. Sapardi sendiri ketika saya wawancarai lewat sms pernah mengabarkan ihwal buku itu. Ikra dan Shiela sudah tidur. Yana, tidur-tidur ayam. Laptop saya boyong ke tempat tidur. Seperti biasa.

Berhari-hari saya teringat sajak Joko Pinurbo yang juga menggarap kalender sebagai bahan renungan. Saya termasuk dalam daftar beberapa orang yang menerima sajak itu lewat sur-el yang dikirim oleh penyairnya. Sajaknya mantap sekali. Bercerita soal anak dan ibu yang pergi ke keramaian untuk merayakan tahun baru, sementara ayah memilih tinggal di rumah saya menemani kalender lama pada saat-saat terakhirnya. Si anak menemukan trompet ungu di tepi jalan, tetapi trompet itu bisu ketika ditiup oleh si anak. "Mungkin karena dia terbuat dari kertas kalender," jawab si ibu ketika si anak bertanya kenapa trompetnya tidak berbunyi. Saya ingin membalas kiriman sajak itu.

Tadinya, saya membuat sajak tentang orang yang pergi keluar negeri dan dititipi oleh-oleh kalender oleh temannya yang tidak kemana-mana saat tahun baru menjelang. Lalu apa? Saya tak tahu dan ide itu berhenti sampai di situ. Saya menyerah, tak bisa melanjutkannya.

Lalu saya kembangkan lagi ide baru, yaitu tentang keluarga yang berpencar kemana-mana, pergi berlibur merayakan tahun baru, masing-masing ke beberapa tempat yang berbeda. Lalu apa? Bagaimana mengaitkannya dengan kalender? Putus lagi. Lagi-lagi saya tak bisa mendapatkan ide untuk melanjutkannya.

Sampai akhirnya saya bertemu judul sekaligus tema yang menurut saya sangat unik dan bakal membangkitkan imajinasi menyair saya. Maka jadilah: Upacara Penurunan Kalender. Lucu juga, saya pikir. Sambil menulis saya senyum-senyum sendiri. Saya keasyikan sekali menuliskannya. Saya bayangkan sebuah upacara. Siapa yang jadi komandan. Siapa yang jadi pasukan peserta upacara, siapa yang jadi inspektur upacara dan bagaimana prosesi upacara itu saya selewengkan di sana sini, sehingga saya rasakan penyelewengan itu tidak sia-sia dan membangkitkan lapisan-lapisan yang bisa dikupas kelak atau ditambah lapisan baru: lapisan-lapisan pemaknaan. Sampai selesai, lancar sekali proses persalinannya. Semoga Anda juga lancar membacanya, lancar memaknainya, dan bisa ikut tersenyum-senyum membacanya. Dan, akhirnya, saya ucapkan selamat menurunkan kalender lama, di rumah Anda.

Friday, December 22, 2006

Skenario Persetubuhan Terindah di Dunia: Orgasmaya

/1/

"SURGA itu mungkin trampolin!"

Dengan riang yang telanjang
kita adalah dua tubuh yang berlompatan.
Sekali terlambung tinggi,
lalu terbebas dari gravitasi.

"Suara tawa pecah jadi bunga.
Menaburkan wangi tubuh kita."

Bunga itu juga yang memercikkan cahaya,
Terang yang juga menyala dari tubuh kita.

"Dan kita tak bisa membedakan lagi
Tubuhkukah di atas tubuhmu,
atau tubuhmu di dalam tubuhku
ketika mereka-reka adegan sempurna:
persetubuhan terindah di dunia."

Persesukmaan Pertama kita.

"Aku menamainya: Orgasmaya...."

/2/
LALU kau berkisah tentang dongeng indung telur
Dan kau menantangku menelusuri lorong rahasia.

SEBENARNYA tak lagi ada yang rahasia, bukankah
telah kau buka segalanya? Dan aku berbisik padamu,
"kalau pun surga itu bukan trampolin seperti kita duga,
maka sekarang trampolin itu sedang melambungkan
kita ke sana: ke surga." Kau menganggukkan mata dan
menyentak tanganku, mengajak bergegas ke sana.

LALU kau meminta padaku dongeng tentang Adam dan
Hawa. Dongeng tentang persetubuhan pertama di dunia.

"KETIKA dilambungkan dari surga, Adam memeluk
Hawa, dekap yang semakin erat hingga 1.000 planet
meminta mereka singgah, tapi Adam terlalu dalam
mendekap Hawa, dan Hawa begitu erat menggenggam
Adam. Saat itulah, ada putik matang di rahim Hawa,
dan Adam menaburkan serbuknya. Tiba-tiba saja,
keduanya telah berpijak di tempat yang bukan surga."

KAU bilang aku berdusta, tapi kau minta jangan beritahu
bahwa kita tidak sedang di surga. "Taburkan saja
serbukmu di seluruh tubuhku. Agar terang ini mekar lebih
lama. Agar wangi ini lebih tercium, lebih mengharum."

DIAM-DIAM kucuri sebuah sel telur dari indung telurmu.

/3/
KITA masih bisa bermungkin
pada surga, pada trampolin.

"Sebab pada kita, mereka-reka kita:
Persetubuhan Terindah di dunia."

Persesukmaan pertama kita
di bentang ranjang maya, lengang angkasa raya.


/4/
KAU memelukku seperti Hawa pada Adamnya
Lelaki yang tak beribu, yang tak tahu bagaimana
melelakikan tubuhnya pada perempuan Hawanya.

"Ke dadaku saja. Ke dadaku saja. Ke dadaku saja."

Wednesday, December 20, 2006

Emily Dickinson (1830–86). Complete Poems. 1924.
Part Four: Time and Eternity

XXVII


SUNGGUH aku tak bisa datang menjemput maut,
Maka dialah yang dengan ramah singgah;
Siaga berangkat kereta, membawa
Kami dan sang Kekekalan Abadi.

Perlahan memacu, dia tahu tak perlu
terburu-buru, dan kutinggal saja
seluruh sibuk dan senggangku,
Aku tahu itupun tak lagi perlu.

Melintas murid yang bermain di halaman,
Murid yang nyaris melupakan pelajaran;
Melintas juga hamparan ladang padi
Melintas juga matahari membenam diri.

Hanya segenap jeda, sebelum tiba di rumah
Yang kulihat seperti raksasa timbunan tanah;
Bubung yang nyaris tak sampai penglihatan,
Bukan hiasan pilar, tapi cuma gundukan.

Lalu senja itu berabad-abad waktu; tapi
seratus tahun itu terasa sesingkat sehari lalu.
Ah, semula kusangka pacu kuda-kuda itu
menuju keabadian yang nyaris dihampiri.
Emily Dickinson (1830–86). Complete Poems. 1924.
Part Four: Time and Eternity

XXIII

BUMI yang singkat, bisa ku pahami,
Dan mahaduka itu meraja.
Dan membilang-bilang luka.
Tapi untuk apa ia ada?

Kita kelak mati, aku bisa tahu jua,
dan hidup yang paling hidup
pun hanya takluk membusuk,
Tapi untuk apa ia ada?

Di surga nanti, aku bisa mengerti,
akan ada tempat sama tinggi,
dan kesetaraan baru terberkati,
Tapi untuk apa ia ada?

 

Tuesday, December 19, 2006

Emily Dickinson (1830–86). Complete Poems. 1924.
Part One: Life

XCIX

KAPAL perang pun tak seperti buku
      membawa kita berlayar jauh,
Anjing pemburu pun tak seliar
      sehalaman buku puisi.

Ini mungkin petualangan tak berbekal
     tak risau pada tarif perjalanan;
Betapa mudah dan sederhana kereta
      yang membawa jiwa manusia!

 

Monday, December 18, 2006

Emily Dickinson (1830–86). Complete Poems. 1924.
Part One: Life

CXXXIII

KAU tak bisa memantikkan api;
Apa yang bisa dinyalakan
ia berapi sendiri, tanpa kibas kipas
walau malam perlahan melintas.

Kau tak bisa melipatkan genangan
dan meletakkan di laci lemari, -
sebab angin akan menemukannya
dan memberi tahu pada lantai cedarmu.



Emily Dickinson (1830–86). Complete Poems. 1924.
Part One: Life

XXII

TAK ada waktu untuk membenci,
sebab makam kelak ketat mengekang,
dan hidup memang tak lapang
aku bisa sudahkan permusuhan.
 
Tapi tak juga ada waktu untuk cinta, karena
sejak pabrik-pabrik itu tak tertolak,
ada setitik cinta saja yang keras kepala, kukira
telah teramat bisa mencukupiku.
 

Dada Ibu

SUDAH hangatkah airmatamu untuk menyeduh lagi
     segelas rindu pada putih hujan susu dari dada ibu?

Sudah cukupkah airmatamu untuk menyiram lagi
     benih yang dulu kau petik dari bunga di dada ibu?

Sudah mendungkah airmatamu untuk kembali pulang
     menangis di dada ibu, bersama tangismu yang dulu?

 

Sunday, December 17, 2006

Emily Dickinson (1830–86). Complete Poems. 1924.
Part One: Life

LXXXIX

KATA pun tak lagi bernyawa
ketika ia lepas terkatakan
      Kata mereka.

Aku berkata, justru
kata memulai kehidupannya
       Pada hari ia dikatakan.

 

Proyek Buku 2: Dalam Pukau Pesona Sajak

 Bab 1. Ketika Terpikat Sajak

        Kenapa orang menyukai sajak? Kenapa orang membaca dan menulis sajak? Mestinya ini pertanyaan yang aneh. Karena kritikus sastra Prancis Charles Augustin Sainte-Beuve (1804 – 1869) pernah mengatakan bahwa dalam diri setiap manusia ada jiwa penyair, yang keburu mati muda. Artinya, ketika kita mulai menyukai sajak lagi, ketika kita ingin bisa menulis sajak, ketika kita ingin tahu banyak tentang sajak, sebenarnya yang terjadi adalah si penyair yang mati muda dalam diri kita itu sedang bereinkarnasi, sedang bangkit kembali. Saya lebih percaya, bahwa penyair dalam diri itu tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya mati suri. Ia seperti putri molek yang tengah tertidur dan menanti kecupan seorang pangeran tampan untuk bisa bangkit sadar lagi. Saya percaya, anak kecil adalah penyair yang luar biasa. Sambil mengumpulkan kata-kata yang pertama, anak kecil belajar mengucapkan sajak-sajaknya yang pertama.
       Kematian penyair dalam diri kita itu bisa jadi terbunuh oleh kemalasan kita untuk mencari pengucapan baru.  Memang kita bukan anak kecil lagi. Anak kecil selalu mencari dan belajar mengucapkan apa saja: lapar, haus, panas, dingin, sepi, bosan dan bayi mengucapkan dengan berbagai cara yang bisa ia temukan.  Keinginan untuk mencari dan menemukan pengucapan itulah yang mestinya dipertahankan dari bayi kita dalam tubuh dewasa kita.
       Kebangkitan sang penyair mati suri dalam diri manusia penyair bisa terjadi dalam beragam peristiwa. Sang pangeran pencium itu bisa datang karena kejadian sepele, atau lewat sentuhan sajak penyair lain. 
      Pada tahun 1922, Wystan Hugh (W.H.) Auden (lahir di Birmingham, 1907 - meninggal di Wina 1973) sedang berjalan kaki bersama seorang kawan sekolahnya yang kelak menjadi pelukis. Sang teman tiba-tiba bertanya, "Kamu pernah menulis puisi?" Auden menjawab, "tidak." Temannya kembali bertanya, "Kenapa tidak?" --- sejak itu Auden memutuskan untuk menulis puisi. Sebelumnya penyair yang teguh menyajak dalam bentuk tetap itu, cuma punya satu keinginan: menjadi ahli pertambangan atau geologis. Semasa kanak, permainannya pun main tambang-tambangan. "Menengok lagi ke masa lalu, saya merunut bagaimana dasar dari keputusan itu sudah tertata sebelumnya," kata Auden dalam wawancara di rubrik The Art of Poetry, majalah Paris Review.
      Keterpikatan pada puisi kadang terjadi bagai berasal dari alam bawah sadar. Menyesap seperti virus ke dalam tubuh lalu berkembang biak. Itulah yang sepertinya terjadi pada penyair Joko Pinurbo (lahir di Sukabumi, 1962). "Lupa persisnya. Mungkin terjadi di bawah sadar. Tapi antara lain karena tergetar oleh baris sajak Sapardi: "masih terdengar sampai di sini/dukaMu abadi". Gila betul itu kekuatan bahasa puisi," kata Jokpin, nama akrab penyair yang kini menetap di Yogyakarta itu. Jokpin membaca sajak daari buku pertama Sapardi Djoko Damono itu semasa SMA. "Saya baru baca DukaMu Abadi waktu SMA, baca di sekolah, lalu cari bukunya," kenang Jokpin.
      Keterpikatan pada puisi bisa juga datang dari rasa kecewa. Sapardi Djoko Damono (lahir di Solo, 1940), yang sajaknya memikat Jokpin tadi menceritakan adanya sebuah kekecewaan itu sebelum rasa lunas terbayar oleh sajak. Dalam buku "Sihir Rendra, Permainan Makna" cerita itu ia paparkan. Waktu SMP, Sapardi pertama kali mengirim karangan berupa cerita ke majalah kanak-kanak berbahasa Jawa. Cerita itu ditolak, dengan penjelasan: cerita itu tidak masuk akal. Itulah kekecewaan Sapardi kala itu. Cerita yang ia kirim adalah kejadian yang nyata ia alami. Meski kecewa, Sapardi tetap membaca, meminjam dari persewaan buku dan dari perpustakaan di sekolah. Membaca apa saja. Novel yang mengharukan, dan cerita pendek. Sapardi pun kala itu mulai membaca sajak modern yang membuat dia merasa seperti ada yang mengganjal di tenggorokan.
       "Saya tidak pernah merasa bisa menangkap makna sajak-sajak itu sepenuhnya, namun terasa bahwa apa yang pernah gagal saya tulis menjadi cerita dulu itu membayang dalam beberapa di antaranya," tulis Sapardi. Keinginan untuk mengungkapkan apa yang dialaminya di masa kecil yang dianggap oleh redaktur majalah anak-anak itu sebagai yang "tidak masuk akal" muncul kembali.
      Dari situlah bermula kepenyairan Sapardi. Puisi membuat apa yang tidak masuk akal itu menjadi bisa diterima. Pada umur belasan tahun ia menulis puisi seperti tak pernah henti, seperti ingin lekas melunasi semua kecewa dulu, sambil menikmati keasyikan sendiri. Apa yang dicap sebagai "tidak masuk akal" bermunculan dalam kata-kata puisinya.
      Cobalah mengenang lagi, bagaimanakah caranya hingga sajak sampai pada kita? Bagaimana ceritanya, hingga sajak memikat kita? Bagaimana caranya kita "terperangkap" dalam jerat pesona sajak?
      Ceritakanlah.
      Berbagilah.

Saturday, December 16, 2006

Kitab Pertanyaan 41-50
Sajak Pablo Neruda


41

Berapa lamakah seekor badak bertahan
setelah ia diharu biru rasa belas kasihan?

Sekarang, buat apakah daun-daun
musim semi itu?

Di musim dingin, apakah dedaunan itu
bertahan hidup di persembunyian akar?

Apa yang dipelajari oleh pepohonan dari bumi
agar bisa bercakap-cakap dengan langit?


42

Apakah dia yang selalu menunggu lebih menderita
daripada dia yang tidak menunggu siapapun?

Di manakah berakhirnya lengkung pelangi,
di hatimu atau di batas cakrawala?

Mungkinkah surga itu ada, tempat bunuh diri,
bintang-bintang yang tak kasat mata?

Di manakah letak ladanganggur baja
dari mana meteor mulai berjatuhan?



43

Siapakah dia, dia yang mencumbutubuhmu
di dalam mimpimu, ketika engkau tertidur?

Kemanakah segala yang ada dalam mimpi berlalu?
Apakah ia melintasi mimpi-mimpi orang lain lagi?

Dan apakah ayah yang hidup dalam mimpimu
kemudian mati lagi ketika engkau terbangun?

Di dalam mimpi, apakah tanaman-tanaman berbunga
dan buah-buah sejatinya menjadi matang?



44
Dimanakah kini aku yang kanakku dulu?
masih ada di dalam tubuhku atau ia sudah pergi?

Tahukah dia bawha aku tak pernah mencintanya
dan dia pun tak pernah mencitai aku?

Kenapa kita menghabiskan banyak waktu
untuk tumbuh besar hanya untuk berpisah?

Kenapa kita berdua tidak meninggal
ketika masa kecil kita telah meninggalkan kita?

Dan kenapa kerangka tubuh saya mengejar saya
ketika ruh saya telah jatuh pergi?



45

Apakah warna kuning pada hutan itu
sama dengan kuning di tahun-tahun kemarin?

Apakah kepakan hitam burung camar
yang kejam menceritakan dirinya sendiri?

Dan apakah akhir dari ruang angaksa itu
disebut kemtian atau ketakterhinggaan?

Mankaah beban yang lebih berat menghantam
duka atau kenangan?



46

Dan apakah nama bulan
di antara Desember dan Januari?

Dengan kewenangan apa mereka menentukan
dua belas anggur sebagai satu kesatuan?

Kenapa mereka tidak memberi kita bulan
yang lebih panjang di sisa tahun-tahun?

Apalah musim semi tidak pernah menipumu
dengan kecupan-kecupan yang tidak pernah mekar?



47

Di pertengahan musim gugur
kau dengarkah ada ledakan-ledakan kuning?

Apa alasannya atau karena kelalimano
apakah yang bikin hujan mengucurkan sukacitanya?

Burung mana yang menuntun jalan
ketika sekawanan burung terbang bersamaan?

Di manakah seekor kolibri menggantungkan
simetrinya yang mempesona itu?



48

Apakah payudara hantu laut itu
cangkang spiral kerang?

Ataukah itu gelombang yang membatu
ataukah buih yang berdiam diri?


Tidakkah padang rumput itu terbakar
bersama kunang-kunang liar?

Apakah penata rambut musim gugur
itu tidak menyisir bunga krisan ini?



49

Ketika sekali lagi saya lihat laut
akanlah laut itu melihat atau tidak melihat saya?

Kenapa gelombang itu bertanya padaku
bertanya yang sama dengan tanyaku?

Dan kenapa mereka menghantam karang
dengan begitu banyak gairah terbuang?

Tidakkah mereka lelah mengulang-ulang
pernyataan mereka kepada pasir?



50

Siapa yang bisa meyakinkan laut
agar bisa jadi masuk akal?

Apa yang di dapat dari amber biru
yang dihancurkan, granit hijau?

Dan kenapa banyak sekali kerutan
dan lubang pada batu karang?

Aku datang dari laut, kemana kini
aku pergi bila laut memutuskan aku?

Kenapa aku menutup jalanan
jatuh ke dalam jebakan lautan?
Kitab Pertanyaan 31-40
Sajak Pablo Neruda


31

Kepada siapa saya bisa bertanya apa yang
bisa saya lakukan untuk membuat surga di dunia ini?

Kenapa saya beranjak tanpa menginginkannya,
kenapa saya tidak bisa duduk diam saja?

Kenapa saya menggelinding tanpa roda,
terbang tanpa saya atau bulu-bulu?

dan kenapa saya memutuskan pindah
kalau tulang-tulang saya hidup di Cile?


32

Adakah yang lebih memalukan dalam hidup
selain dipanggil dengan nama Pablo Neruda?

Adakah seorang kolektor awan-awan
do langit Kolombia?

Kenapa payung-payung itu selalu
dirakit di London?

Apakah Ratu Sheba punya darah
berwarna amaretto?

Kalau Baudelaire pernah menangis
apakah airmatanya berwarna hitam?


33

Dan kapankah matahari menjadi seperti
teman jahat bagi petualang di padang pasir?

Dan kenapa matahari begitu menyenangkan
di taman-taman rumah sakit?

Apakah itu burung atau ikan yang
terjerat di jejaring cahaya bulan?


34

Dengan kebaikan yang telah aku lupakan
dapatkan saya melihat setelan baru?

Kenapa sungai-sungai terbaik
mengalir di Prancis?

Kenapa tidak mengalir ke Bolivia
setelah malamnya Guevara?

Dan apakah hati yang terbunuh itu
mencari pembunuhnya ke sana?

Apkaah anggur hitam padang pasir
punya inti haus untuk airmata?


35

Tidakkah kehidupan kita akan jadi lorong
antara dua kejelasan yang samar?

Ataukah akan jadi kejelasan
antara dua segitiga kelam?

Atau tidakkah kehidupan ini akan jadi ikan
yang dipersiapkan akan jadi seekor burung?

Akankah maut terdiri dari apa yang tak ada
atau subtansi yang berbahaya?


36

Akhirnya, tidakkah maut itu
jadi dapur yang takberkesudahan?

Apakah yang akan dilakukan serakan tulangmu,
mencari sekali lagi untuk menyusun tubuhmu?

Apakah tubuhmu yang hancur akan menyatu
dengan suara lain dan cahaya lain?

Apakah ulat-ulat dari tubuhmu akan
menjadi bagian anjing atau kupu-kupu?


37

Apakah orang Cekoslowakia atau kura-kura
lahir dari abu tubuhmu?

Akankah mulutmu akan mengecup anyelir
dengan lain, bibir yang dekat?

Tapi tahukah engkau dari mana maut
itu datang, daru atas atau dari bawah?

Dari mikroba atau dari dinding,
dari perang atau dari musim dingin?


38

Apakah kau tidak percaya bahwa maut itu
hidup di dalam matahari buah ceri?

Tidak sebuah kecupan musim semi
juga dapat membunuhmu?

Percayakah di depanmu ada duka
yang mengibarkan bendera takdirmu?

Dan pada tengkorak apakah kau temukan
leluhurmu menyalahkan tulang-tulang?


39

Apakah kau juga tidak merasa terancam
oleh gelak tawa lautan?

Apakah kau tak melihat ancaman
pada sutra berdarah bunga apiun?

Apakah kau tidak melihat bunga pohon apel
hanya mati kering di pohon apel?

Apakah kau tidak menangis di sela tawa
bersama botol untuk melupakan?


40

Kepada siapakah burung kondor
melaporkan setelah menyelesaikan tugasnya?

Apakah sebutan mereka untuk kesedihan
domba yang tinggal sendirian?

Dan apa yang akan terjadi di pagupon
kalau merpati belajar berkicau?


Kalau lalat bisa menghasilkan madu
apakah mereka akan menyakiti hati lebah-lebah?

Friday, December 15, 2006

Tawa Ibu

"WAKTU kecil kau lucu sekali," kata ibu padaku
sambil memandang foto bayi sehat di dinding itu.

Aku nyaris lupa siapa aku yang sedang tertawa
sebagai bayi di foto yang selalu dikenang ibu itu.

"Kenapa sekarang kau jarang mengajak ibu tertawa?"

Aku diam-diam pergi tak tahan ditodong dengan
pertanyaannya. Di jalanan aku ketemu lelaki tua,
tukang foto keliling yang dulu memotret bayi saya.

"Masih ada bayi sembunyi di dalam tubuhmu,"
katanya sambil meminjamkan foto-foto lamaku
yang masih tersimpan di tasnya yang kedap waktu.

Dari foto-foto itu aku belajar lagi jadi bayi lucu,
menghadap ibu yang sedang mendekap fotoku.

Ibu memang tertawa tapi dia tak mengenaliku.
"Siapa kamu?" katanya terkekeh-kekeh jenaka,
"saya punya anak lelaki yang sekarang gagah
sekali. Dia tak pernah tertawa lagi, tapi aku ingin
menghiburnya. Mengajaknya tertawa, seperti
dulu waktu masih bayi, dia membuatku tertawa."

"Nah, akhirnya ibu dan mantan bayi itu bisa juga
tertawa bersama. Ayo, abadikan dalam foto," kata
tukang foto tua yang kebetulan lewat di depan
rumah kami. Ibu pun terus tertawa, aku cuma
berlagak bahagia. "Jangan pura-pura, dong," kata
bayi jenaka dalam bingkai foto itu, menyindirku.

Rambut Ibu

/1/
RAMBUT paling permadani adalah rambut ibu.

Ujungnya selalu menyentuh pundakku ketika ia
menyisir rambutku. Aku selalu ingin bertanya,
"Ibu, bolehkah nanti sekali saja dalam hidupku,
aku kau izinkan menyusur panjang rambutmu?"

Tapi pagi ibu dan pagiku senantiasa buru-buru,
dan aku tahu ibu tak akan sempat menjawabku.

"Cepat, berangkatlah ke sekolah, siapkan buku,"
kata ibu sambil memasangkan topi di kepalaku.

/2/
RAMBUT yang paling cahaya adalah rambut ibu.

Matahari pagiku dan matahari pagi ibu senang
beterbangan dan hinggap di rambut ibu. Tiap hari
aku takjub menyaksikan pemandangan indah itu.

Di sekolah aku suka menggambar perempuan
berambut permadani yang dicahayai matahari,
di sampingnya seorang anak kecil bertanya:
"Ibu, siapa yang tiap hari menyisir rambutmu?"

Wednesday, December 13, 2006

Kaki Ibu

IBU belum tidur, waktu aku sudah hampir tertidur.
Aku menyimak suara jejak kakinya melangkah hati-hati.
Ia tak mau berisik, ia tak mau jenak tidurku terusik.

AKU sudah hampir bermimpi, ketika kudengar langkah
kaki ibu mendekat jendela, dan ia meningkap di sana
Aku mengira ibu asyik bercakap-cakap. Teramat akrab.

BEBERAPA kali kudengar ia sebut namaku dan nama
kota-kota yang aku hanya tahu betapa jauh jaraknya.

AKU terbangun ketika kurasakan ibu memijat-mijat
kakiku. Aku pun malu pada kaki ibu: tempatku nanti
bersimpuh dan sungkem setelah rindu yang aduh.

AKU melihat kakiku, aku merasa harus bergegas
untuk sebuah perjalanan jauh. Ke kota-kota jauh.

Tuesday, December 12, 2006

Tangan Ibu

/1/
YANG menyala di fajar itu adalah tangan ibu.

AKU terbangun ketika ia menyilaukan tidurku.
Merapikan mimpi yang ia selimutkan semalam.

"IBU mau mendengar suara azanmu. Ayahmu
belum juga pulang. Kita sembahyang berjamaah.
Kau sudah besar. Kau pantas jadi imam dan ibu
makmummu." Sejak itu, aku makin tampak sajak
bijak di matanya, dan mengerti sejuk air wudhu.

/2/
YANG mengalirkan hangat itu adalah tangan ibu.

AKU terbangun ketika ia menyentuh pipi dan
dahiku: meyakinkan lagi, aku masih mengenang
kecupannya di sana, sebelum terlelap semalam.

"IBU mau kau menemukan wangi pada sajadah,
yang sudah ibu hamparkan bagi sembahyangmu."
Sejak itu, aku suka memperpanjang sujud dan tahu
harus menyebut nama siapa pada doa yang kubaca.

Monday, December 11, 2006

Kitab Pertanyaan
Sajak Pablo Neruda


11

Berapa lama orang lain boleh bicara
kalau kita sudah bicara sebelumnya?

Apa yang akan dikatakan oleh Jose Marti
tentang pedagogi Marinello?

Apa yang hendak ditebus oleh musim gugur
dengan uang kuning sebanyak-banyak itu?

Apa nama koktail
yang mencampurkan vodka dan sambaran kilat?

12

Kepada siapakah padi tersenyum
dengan gigi-gigi putihnya yang tak terhingga?

Kenapa di zaman kegelapan
mereka menulis dengan tinta yang taktampak mata?

Apakah kecantikan dari Caracas tahu
mawar itu punya berapa banyak rok?

Kenapa kutu-kutu anjing
dan sersan-sersan sastra itu menggigitku?

13

Benarkah buaya-buaya voluptuous
hidup hanya di Australia?

Bagaimana caranya pohon oranye itu
membagi sinar matahari di dalam tubuhnya?

Apakah gigi garam itu berasal
dari mulut yang pahit?

Apakah benar burung kondor hitam
itu terbang pada malam hari di atas negeriku?

14

Dan apa yang dikatakan oleh permata delima
ketika bersisian dengan jus buah delima?

Kenapa hari Kamis tidak datang sendiri
setelah hari Jumat?

Siapa yang berteriak riang gembira
ketika warna biru lahir?

Kenapa bumi berduka
ketika warna ungu datang?

15

Tapi apakah benar bahwa rompi-rompi
bersiap diri untuk pemberontakan?

Kenapa musim semi sekali lagi
menawarkan pakaian hijaunya?

Kenapa agrikultur tertawa
pada airmata langit yang pucat?

Bagaimana sepeda yang dibuang
memenangkan kemerdekaannya?

16

Apakah garam dan gula bekerja
membangun menara putih?

Benarkah pada sebuah sarang semut
bermimpi adalah sebuah tugas?

Apa kau tahu apa yang direnungkan bumi
dalam meditasinya sepanjang musim gugur?

(Kenapa tidak diberikan medali
untuk daun emas yang pertama?)

17

Apakah tak kau perhatikan bahwa
musim gugur itu seperti lembu kuning?

Dan kenapa hantu musim gugur
itu berwujud jerangkong hitam?

Dan bagaimana musim dingin
mengumpulkan banyak selimut biru?

Dan siapa yang meminta musim semi
pada kerajaan udara cerah?

18

Bagaimana pohon anggur datang untuk
tahu ada pesta bagi kalangan terbatas?

Dan apakah kau tahu mana yang lebih susah,
menumbuhkan benih atau memetik buah?

Apakah memang buruk hidup tanpa neraka:
tak dapatkah merombaknya?

Dan pada kedudukan malang Nixon
bokongnya yang mana ada di atas kompor?

Memanggangnya rendah
dengan bensin kental Amerika Utara?

19

Sudahkah mereka menghitung berapa emas
yang ada di ladang jagung?

Tahukah kau bahwa di Patagonia
tengah hari, kabut itu berwarna hijau?

Siapa yang bertanda tangan di air terdalam
di sebuah laguna yang luas terbuka?

Pada apakakah semangka tertawa
ketika ia dibelah?

20

Benarkah bahwa warna kuning itu terdiri
dari air mata wanita perayu?

Mereka sebut apakah bunga yang
terbang dari burung ke burung?

Betulkah lebih baik tidak daripada terlambat?

Dan kenapa keju memutuskan
untuk tampil dengan heroik di Prancis?

[Tadarus Puisi # 015] Bentuk dan Isi: Tidak Berlawanan!

DALAM sebuah wawancara, penyair Winstan Hugh Auden menyebutkan, baginya ada dua hal untuk melahirkan sebuah puisi yaitu tema dan pengucapan. Tema mencari pengucapan. Pengucapan mencari tema. Ketika keduanya datang berbarengan, itulah saatnya dia melahirkan puisi. Jadi keduanya tidak saling mengalahkan. Keduanya tidak saling menelikung. Keduanya penting. Keduanya tidak saling membebani.

DENGAN kalimat lain, penyair WS Rendra berucap nyaris dengan isi yang sama. Bentuk dan isi sama pentingnya. Bentuk adalah jembatan bagi isi. Pembaca pertama tertarik pada bentuk. Lalu lewat bentuk itu pembaca masuk pada isi. Pembaca yang terpesona pada isi, maka dia tidak akan hanya peduli pada bentuk lagi. Tema Auden mungkin sama dengan isi bagi Rendra. Pengucapan Auden sama dengan bentuk bagi Rendra.

BEGITULAH. Jangan terlalu mengutupkan kedua hal itu. Jangan terlalu berindah-indah pada bentuk tetapi isi sajak kita kopong. Jangan terlalu memuja isi tetapi bentuk sajak kita kacau dan tak bisa jadi jembatan bagi pembaca untuk sampai pada isi yang kita puja itu. Menulislah. Dengan meniti pada sebuah tali bertongkat panjang dengan kedua hal itu pada kedua ujungnya, kita barangkali bisa menghasilkan sajak seperti Wiji Thukul (semoga ditemukan di mana mayatnya) "Peringatan'. Sajak yang isinya tentang perlawanan amat populer dengan baris akhir yang bertenaga: Hanya ada satu kata: lawan!

Peringatan
Sajak Wiji Thukul

jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

[Aku Ingin Jadi Peluru, Wiji Thukul, IndonesiaTera, Cetakan Kedua, 2004]

Friday, December 8, 2006

[Sajakanak 013] Saya Bermain Melipat Kertas

ADA Ibu Guru baru di sekolah. Ibu Guru baru
yang berkerudung. Ibu Guru yang baru yang
bicaranya seperti senandung. Dia mengajari
kami membuat mainan sendiri, melipat-lipat
kertas: origami. Tapi, kami kehabisan kertas.

IBU Guru mengambil surat kabar dari tasnya.

IBU Guru memotong surat kabar itu lalu
membagi-bagkannya kepada kami. "Saya ingin
bikin pesawat terbang, Bu Guru," kata saya
bangga ketika ia bertanya, saya mau bikin apa.
Kami belum bisa membaca. Di kertas bekas surat
kabar itu ada potongan berita soal anak yang
mati karena meniru adegan gulat amerika, wakil
rakyat yang beradegan mesum dengan biduanita,
ulama yang menikah lagi, suami penyanyi yang
melarang istrinya sibuk menyanyi, dan mereka
tak sempat lagi bernyanyi bersama anak-anaknya.

"SAYA ingin membuat kapal kertas, Bu," kata
teman saya. Ibu Guru baru itu tersenyum manis
sekali. Saya jadi ingat ibu saya tak pernah
lagi tersenyum semanis itu. Ibu saya tak
pernah lagi mengajari saya melipat kertas.

Thursday, December 7, 2006

[Tadarus Puisi] Frasa-frasa Berkilauan

Fragmen
Sajak Chairil Anwar

Tiada lagi yang akan diperikan? Kuburlah semua ihwal,
Duduklah diri beristirahat, tahanlah dada yang menyesak
Lihat ke luar, hitung-pisah warna yang bermain di jendela
Atau nikmatkan lagi lukisan-lukisan di dinding pemberian
teman-teman kita,
atau kita omongkan Ivy yang ditinggalkan suaminya,
jatuhnya pulau Okinawa. Atau berdiam saja
Kita saksikan hari jadi cerah, jadi mendung,
Mega dikemudikan angin
-----Tidak, tidak, tidak sama dengan angin ikutan kita ....
Melupakan dan mengenang -----
                                                            Kau asing, aku asing,
Dipertemukan oleh jalan yang tidak pernah bersilang
                                                           Kau menatap, aku menatap
Kebuntuan rahasia yang kita bawa masing-masing
Kau pernah melihat pantai, melihat laut, melihat gunung?
Lupa diri terlambung tinggi?
Dan juga
diangkat dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain
mengungsi dari kota satu ke kota lain? Aku
sekarang jalan dengan 11/12 rabu.
Dan
pernah percaya pada kemutlakan soal....
Tapi adakah ini kata-kata untuk mengangkat tabir pertemuan
memperlekas datang siang? Adakah ----

                                                                        Mari cintaku

Demi Allah, kita jejakkan kaki di bumi pedat,
Bercerita tentang raja-raja yang mati dibunuh rakyat;
Papar-jemur kalbu, terangkan jalan darah kita
Hitung dengan teliti kekalahan, hitung dengan teliti kemenangan.
Aku sudah saksikan
Senja kekecawaan dan putus asa yang bikin Tuhan juga turut tersedu
membekukan berpuluh nabi, hilang mimpi dalam kuburnya.
Sekali kukegenggam Waktu, Keluasan di tangan lain
Tapi kucampurbaurkan hingga hilang tuju.
Aku bisa nikmatkan perempuan luar batasnya, cuma matanya,
kuyup rambutnya,
isap dadanya jadi gersang.

                                                                               Kau cintaku -----

Melenggang diselubungi kabut dan caya, benda yang tidak menyata,
Tukang tadah segala yang kurampas, kaki tangan tuhan ----
Berceritalah cintaku bukakan tubuhmu di atas sofa ini
Mengapa kau selalu berangkat dari kelam ke kelam
dari kecemasan sampai ke-istirahat-dalam-kecemasan;
cerita surya berhawa pahit. Kita bercerai begini -----
Tapi sudah tiba waktu pergi, dan aku akan pergi
Dan apa yang kita pikirkan, lupakan, kenangkan, rahsiakan
Yang bukan-penyair tidak ambil bagian.


                                                                                       Siasat, 26 April 1953


* Dari buku Surat-Surat Kepercayaan, Asrul Sani, Pustaka Jaya, Jakarta.

Catatan:
Saya sedang sangat sangat suka dengan sajak di atas. Baris terakhir itu terkenal sekali. Yang bukan-penyair tidak ambil bagian.Dipertemukan oleh jalan yang tidak pernah bersilang. Mega dikemudikan angin. Tuhan juga turut tersedu. Surya berhawa pahit.

Saya sedang sangat suka dengan sajak ini. Dan akan tetap suka. []

[Kutipan] Segalanya dan Bukan Segalanya

1. DENGAN puisi saya belajar menyelami jiwa kemanusiaan dan ayat-ayat Tuhan. Dengan puisi saya belajar menjadi manusia. Dengan sajak saya menemukan kembali kesegeran jiwa remaja saya.

2 ....puisi bukan segala-galanya. Puisi hanya salah satu jendela untuk melihat kehidupan dan mengakrabi semangat hidup.

* D Zawawi Imron

[Kutipan] Menguasai tapi Tak Yakin

1. PENYAIR menguasai kata, sekaligus menyadari bahwa kata tidak mau begitu saja diperlakukan semena-mena. Kata kita ciptakan dan hanya bisa hidup sehat jika kita terus-menerus menciptakannya kembali, antara lain dalam puisi.


2. MENULIS puisi, memang, tidak pernah akan membuat kita yakin akan apapun.


* Sapardi Djoko Damono
Malam Jalang! Malam Jalang!
Sajak Emily Dickinson

Malam jalang! Malam jalang!
Karena aku bersama Engkau
malam jalang menjulang
jadi nikmat takterbilang

Menyia-nyiakan angin
ke satu jantung di dermaga, --
letak saja kompas,
lipat saja peta!

Mengayuh kayuh di Surga!
Ah! Samudera!
Perkenan saja, tapi jangan jangkarkan
aku malam ini pada Engkau!


Wild Nights! Wild Nights!

Wild Nights! Wild Nights!
Were I with thee,
Wild Nights should be
Our luxury!

Futile the winds
To a heart in port, --
Done with the compass,
Done with the chart!

Rowing in Eden!
Ah! the sea!
Might I but moor
To-night in Thee!

Wednesday, December 6, 2006

Kalimat Pertama Sepuluh Cerita yang Belum Kutulis

1. Aku masih mengambang dari kalut ke kabut,
memungut apa yang oleh angin lewat tercerabut.

2. Sedang diri masih juga tak bisa menyebut,
nama, sekadar membalas panggil dengan sahut.

3. Ada kain buruk terjemur di halaman, hari bercuaca
kacau, sebentar gelap sebentar jadi meremang maut.

4. Sepi melenggang, di hati dia bikin mata rambang,
hendak memegang luput, hendak melepas pun takut.

5. Aku masih juga terkejut, jendela dihempas, lampu
padam, lalu entah dari dinding entah dari langit-langit
ada sesuatu yang lama bertaut yang dipaksa direnggut.

6. Jarum jam lunglai, jauh diseret waktu, ke sudut
: selasar, sepasang kasut menunggu pembawa kabar.

7. Bagaimana aku bisa tidak bercerita tentang laut?

8. Segalanya bersentuhan, segalanya berpegangan,
angin-ombak-kelam-kabut dan riuh camar bersahut
lalu hinggap di tiang tambat yang tak lagi bisa dicabut.

9. Aku akan lama melaut, hingga lepas apa yang terikut.

10. Ini cerita juga tentang maut, pemanah jantung
yang tak pernah luput: setebal apapun halang kabut.

[Kutipan] Berlatihlah, Berlatihlah

Akhirnya tidak akan jemu-jemunya kita memperingatkan: berlatihlah dan berlatihlah; bila ilham datang, dalam saat itu pun kita harus sudah siap untuk mengguriskannya.

* Aoh K Hadimadja, dalam buku Seni Mengarang, Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, 1978.

Monday, December 4, 2006

[Sajakanak # 012] Istri Ayah yang Bukan Ibu Saya

       : .....

IBU melepas kami pergi bersama ayah. Ayah mengajak
kami ke rumah istrinya yang lain. Kami naik sepeda.

ISTRI ayah yang lain menyambut kami. Saya digendong.
Dia bertanya kabar ibu. Ayah tidak menjawab. Saya
ingin menjawab. Tapi saya tidak punya jawaban. Saya
tidak tahu apakah ibu baik-baik saja atau tidak.

SAYA bermain-main di halaman rumah yang dibangun
ayah untuk istrinya yang bukan ibu saya. Ayah dan
istrinya yang bukan ibu saya itu berbicara di
dalam rumah. Saya bermain-main saja. Saya disuruh
bermain-main saja. Saya tidak ingin mengganggu
pembicaraan ayah dan istrinya yang bukan ibu saya.

LALU ayah mengajak saya pulang ke rumah kami. Ibu
menyambut kami. Ibu menggendong saya turun dari
boncengan sepeda ayah. Ibu bertanya apa kabar istri
ayah yang bukan ibu saya itu. Ayah tidak menjawab.

Untuk Sebabak Dosa

PEREMPUAN yang tertawa
dengan seluruh tubuhnya.
Terbuka.

Siapa menggoda?
Untuk sebabak dosa...

[Tadarus Puisi # 014] Joko Berdang Pinurbo Berdut

Dangdut
Sajak Joko Pinurbo

(1)

Sesungguhnya kita ini penggemar dangdut.
Kita suka menggoyang-goyang memabuk-mabukkan kata
memburu dang dang dang dan ah susah benar mencapai dut.

(2)

Pada pejoget dangdut sudah tumbang dan terkulai satu demi satu,
kemudian tertidur di baris-baris sajakmu.
Malam sudah lunglai, pagi sebentar lagi sampai, tapi kau tahan
menyanyi dan bergoyang terus di celah-celah sajakmu.
Kau tampak sempoyongan, tapi kau bilang, "Aku tidak mabuk."
Mungkin aku harus lebih tabah menemanimu.

(2001)

(Pacarkecilku, Indonesiatera, Magelang, Cetakan Pertama, Mei 2002)



DANGDUT. Kata itu, kata yang mewakili salah satu jenis irama musik itu, jika dilacak ke akarnya, adalah nama yang mengandung niat olok-olok. Konon ia dicuplik dari lagu "Terajana" milik Rhoma Irama. Ada bagian baitnya yang berbunyi "....dangdut suara gendang, rasa ingin berdendang." Dari situlah dangdut, maksudnya kata dangdut, kemudian popular bahkan menggantikan sebutan Irama Melayu yang sebelumnya disandang oleh musik yang sama. Dulu lazim dipakai singakatan Orket Melayu (O.M) untuk grup musik pengusung musik berirama melayu yang kemudian jadi dangdut itu. sebutan O.M. kini tak lagi pernah dipakai.

YA, dangdut memang diambil dari penyederhanaan suara gendang itu. Dang dut dang dut dang dut. Dangdut akhirnya bukan sekadar musik. Musik dangdut adalah musik yang hidup dan mendapat tempat untuk berkembang dari daerah pinggiran. Masyarakat yang terpinggirkan. Tapi keberadaannya tak tertahankan. Dangdut adalah ekstasi. Adalah bius yang paling mudah didapat. Bius untuk melupakan sejenak beratnya tantangan kehidupan. Dangdut adalah manifestasi sikap ignoransi. Ketidakpedulian. Riang, duka, gembira, lara semua dibawakan dengan bergoyang. Goyang yang tak perlu aturan. Goyang yang perlu tatatari yang rumit. Lirik tidak penting. Penyanyi tidak penting. Grup musik tidak penting. Yang penting goyang itu sendiri. Goyang adalah ritual pembiusan. Goyang adalah laku sembahyang dari iman ignoransi.

SAMPAI sekarang dangdut masih kerap jadi bahan olok-olok. Sengaja atau tidak. Dan Joko Pinurbo mengingatkan bahwa olok-olok itu tidak perlu karena kita sesungguhnya kita ini adalah penggemar dangdut. Kita ini adalah dangdut. Mau atau tidak. Malu-malu atau terang-terangan. Kenapa kita ini sesungguhnya adalah penggemar dangdut? Karena, kita suka menggoyang-goyang dan memabuk-mabukkan kata. Kata yang jujur, kata yang tetap maknanya, digoyang. Digeser, agar maknanya menurut pada kita. Kita suka memabuk-mabukkan kata, sehingga kata yang sadar itu ngelantur, berkata ngelantur mengikuti kebohongan kita.

DALAM bahasa yang cerdas, Joko Pinurbo meringkas "kejahatan" atau "kejahilan" kita atas kata itu dengan bait sederhana, jenius, yang sangat efektif "...memburu dang dang dang dan ah susah benar mencapai dut." Kata dangdut itu diuraikan, dimanfaatkan, diberi arti yang lebih luas. Memburu dang dang dang dang dan ah susah benar mencapai dut. Dut adalah pemuncak. Dut adalah pelengkap. Dut adalah pemungkas dari bunyi. Sementara dang adalah pengantar. Dang adalah anak tangga menuju dut. Tapi, setelah berdang dang dang dang ah hidup sebagai orang pinggiran memang susah. Dut susah benar dicapai. Itulah kehidupan, bukan?

BAIT kedua masih menjanjikan penafsiran yang tak kalah dutnya. Maaf, saya masih dialun oleh gelombang dang pada bait pertama yang belum juga reda. Izinkan saya untuk menunda dulu sampai pada dut itu. Kalian capailah dut kalian sendiri. Dang. Dang. Dang.......

Sunday, December 3, 2006

Mendadak Puisi

ADUH, teganya. Aduh, tegasnya. Aduh, tegarnya.

JANGAN bicara dosa. Saya sedang belajar berdoa.
Dengan tadah tangan. Dua. Dan tengadah dada. Dua.

AKU cuma tubuh. Dan suara. Bila aku merintihkan
nyeri-nyeri dari nyanyi hati, please, pejamlah mata.

BILA aku mengigalkan parah perih dari tabah tubuh ini,
come on, menarilah jua. Menariklah ke ceruk kelam:
mata letih pada wajah malam dunia yang semakin renta.

The Poet on The Stage



Ada foto-foto lain di ----> RESITAL

INI penampilan "resmi" saya yang kesekian. Kenduri Seni Melayu adalah ajang tahunan yang tahun ini masuk kali yang ke-8. Tiga tahun terakhir saya langganan tampil baca puisi di KSM. Dua tahun terakhir juga tampil di Bintan Arts Festival, yang tahun ini sedang dipersiapkan penyelenggaraannya. Penampilan terbaik saya, menurut saya, sejauh ini adalah ketika tampil bersama lima penyair dari Kepri di Taman Ismail Marzuki awal 2006.

Saturday, December 2, 2006

[Sajakanak # 011] Sarung Pertama Saya Telah Sempurna Robeknya

SEBELUM mengenal berbagai jenis pakaian, saya sudah
hidup dengan sarung. Sarung ayahlah yang membedong
saya waktu saya masih jabang bayi. Kata ibu, "Sarung
ayahmu, satu-satunya sarungnya waktu itu, digunting jadi
empat lembar kain bedong. "

SARUNG pertama saya menjadi selimut saya waktu mulai
beranjak besar dan sering tidur di surau. Sarung yang sama
saya pakai untuk sembahyang dan mengaji. Sarung yang
sama saya pakai untuk mandi di kali. Sarung yang sama
saya pakai bermain topeng-topengan, ayun-ayunan dan
gendong-gendongan bersama teman-teman. Sarung yang
sama saya pakai untuk mengambil madu lebah. Sarung
yang sama saya pakai waktu belum bisa pakai celana
sehabis disunat. Sarung yang sama saya pakai untuk
membalut luka. Sarung yang sama kami gunakan untuk
menandu seorang kawan yang patah kaki tertimpa pohon.

"SARUNG pertamamu itu dulu ditenun olehnya," kata ibu
menunjuk ke makam nenek saya, ketika kami berziarah
sebelum bulan puasa. Waktu itu, saya memakai sarung
baru. Sarung pertama saya telah sempurna robeknya.

[Sajakanak # 010] Belajar Puisi dengan Salah Letak dan Salah Cetak

SAYA sedang belajar mengolah Puisi sendiri. Di sekolah
tak ada pelajaran khusus mengakrabi Puisi. Di rumah
banyak puisi tapi ayah tak tahu. Ayah tak tahu ada Puisi
pada kesabaran ibu. Ibu tak tahu ada Puisi pada kediaman
ayah. Ibu juga tak tahu bahwa di rumah kami banyak Puisi.
Hanya saya yang suka mencatat Puisi dengan segala
salah cetaknya dan salah letaknya.

SAYA belajar Puisi sendiri. Saya pernah dengar Pak Tardji
bilang gembirakanlah dirimu dengan salah cetak. Saya
pernah dengar Pak Jokpin bilang hidup ini adalah salah
cetak, dan dengan berpuisilah maka kita memperbaiki
salah cetak kehidupan kita itu.

SAYA tak tahu bagian mana dari kehidupan saya yang
tercetak dengan cetakan yang salah. Saya bahkan belum
lancar membaca kehidupan saya yang memang belum
banyak saya tuliskan. Saya baru saja bisa membaca.
Saya baru saja belajar mengolah Puisi sendiri. Puisi saya
masih banyak salah cetaknya.

HIDUP yang baru dilewatkan, dan Puisi yang baru diketik,
harus ditinjau agar bisa ditemukan segera salah cetak
dan salah letak untuk segera diletakkan kembali di tempat
yang benar dan diketik kembali dengan ketikan yang benar.

AYAH dan ibu pun hidup dalam baris-baris yang hendak
mereka satukan setiap hari menjadi bait-bait Puisi. Ayah
dan ibu diam-diam saling memperbaiki salah cetak
dan salah letak dalam Puisi yang mereka ketik setiap
hari itu, meskipun mereka tak tahu bahwa apa yang
diam-diam mereka perbaiki salah cetak dan salah letaknya
itu adalah Puisi. Hanya saya yang suka mencatat
Puisi dengan segala salah cetaknya dan salah letaknya,
dan diam-diam belajar juga dari ayah dan ibu bagaimana
bisa menghindari salah cetak dan salah letak sehingga nanti
bisa menulis Puisi tanpa salah cetak dan salah letak lagi.