Friday, August 29, 2003

Berita Belum Diedit, Ditulis oleh Reporter Magang

----- ada fotonya, Bos!



     Kemarin ada dua mayat ditemukan warga. Satu tinggal kerangka. Satunya terbakar. Keduanya sepertinya tak ingin disebutkan namanya. Tak ada identitas apa-apa. Tidak ada. Hanya ada sisa pakaian yang tidak lapuk tidak ikut terbakar. Tengkoraknya terpisah dua meter dari tumpukan tulang lainnya. Kemungkinan besar kedua orang mati itu korban kekerasan alias dibunuh. Ditilik dari sisa pakaiannya, kedua korban berjenis kelamin pria.



     Mayat yang terbakar ditemukan mula-mula oleh petani yang gubuknya tak jauh dari lokasi mayat itu dibuang. Dibuang? Ya, mestinya kan dimakamkan. Diduga kuat pria yang diperkirakan berusia belum 17 tahun itu --- ini dugaan karena dia tertelungkup dan bulu kemaluannya yang tidak terbakar belum begitu tebal --- dibunuh lalu dibakar. "Mungkin si pembunuh-pembunuh ingin menghilangkan jejak," kata petani yang minta jangan disebutkan namanya.



     Sementara itu pria yang sudah jadi kerangka ditemukan oleh pemulung. Dia semula mengira kerangka itu adalah kerangka buatan yang biasa dipakai untuk praktek biologi. "Eh tak tahunya kerangka betulan," kata pria yang tak mau dituliskan namanya.



     Kepala polisi belum bisa dimintai keterangan karena dari pagi sampai siang dia menemani atasannya main golf. Sorenya dia kecapean dan beristirahat tak bisa diganggu dan malam harinya saat upaya konfirmasi terakhir dilakukan beliau sudah keluar rumah menemani wali kota makan malam. Maklum saja, kedua korban itu ditemukan pada hari Minggu, saat orang-orang bersantai ke tempat rekreasi.(HA)





Thursday, August 28, 2003

Aku Tak Suka Peluru

akulah masa kanakmu-----masuklah!

ada teman kecilmu yang tak pernah berhenti

mengajakmu bermain bersamaku



ada tentara plastik yang patah kaki

katanya dia itu engkau sendiri

yang tertembak waktu perang-perangan

di kuburan, lalu malamnya kita mengigau:

        aku tak suka peluru!

        aku tak suka peluru!





akulah masa kanakmu-----maafkan...

ada patahan kaki tentara plastik yang hingga kini

masih tersimpan yang suka berjalan sendiri

ke dalam mimpi kita yang tak pernah datang

karena kenangan yang letih melangkah pincang.



Agt 2003

Monday, August 25, 2003

Trawl Brigde Street

dari sajak Trawl Brigde Street sajak Octavio Paz



Matahari menembus hari, dingin menusuk matahari.

Di jalanan: tak ada siapa-siapa. Taman-taman kosong.

Sunyi, tak ada salju. Hanya angin. Hanya angin.

Tegak sendiri pohon, masih terbakar di beku udara.

Kusapa dia, aku menyapamu jua.

Aku di sebuah ruang, dibatalkan oleh bahasa.

Engkau di ruang lain, ruang yang serupa.

atau kita berdua di tengah jalan, tatapmu telah dikosongkan.

Dunia meruntuh tak tersaksikan mata.

Kenangan melapuk di bawah kaki kita.

Aku berhenti di tengah baris syair tak terulis ini.



Dimana tanpa Siapa

dari Where Without Whom Sajak Octavio Paz



Tak ada

jiwa yang tunggal di tengah jamak pohon

dan aku

tak tahu sudah kemanakah mengembara



Perjalanan

Dari Passage Sajak Octavio Paz



Melampaui udara

          Melewati batas air

Melebihi batas bibir

          cahaya, cahaya

Tubuhmu, jejak-jejak dari tubuhmu

Sunday, August 24, 2003

Fotografi Pembunuhan

Lensaku memotret tak fokus, piring sarapanmu terpotong pada sisi kiri jendela bidik. Jepret! Sepotong kaki masih menyisakan daging ada cipratan merah: saus tomat atau darah. Cetak ukuran 8R, 1000 lembar. Beri bingkai, beri judul: mari kita sarapan bangkai!



Aku masih menyimpan sisa film. Menunggu di dalam kamera dengan shutter siap diklik. Sudah lama tak kulihat senyum. Tolong, tersenyumlah. Aku suka senyum. Tapi cungkil dulu slilit di sela-sela gigi-gigimu. Aku pernah terselip di situ. Waktu aku pura-pura jadi korbanmu. Aku tak sempat memotret apa-apa. Kameraku SLR-ku habis baterai.



Sekarang aku suka memotret engkau sarapan. Ritual kerakusan. Di meja makan. Pagi hari. Memang saat yang tepat untuk merencanakan pembantaian. Tulang-tulang yang hancur kau kunyah. Ah, sudahkah kupotret pipimu yang penuh lubang? Sudah lama, kau tak lagi membaca doa sebelum makan. Sudah lama kau membuang kebiasaan mencuci tangan.



agustus 2003



Sajak di bawah ini memantik inspirasi sajak di atas. Thanks, Dob!



sketsa pembunuhan

sajak Dobby Fahrizal



mataku sejak itu melompat-lompat, tersesat di dalam saku celanamu.

lalu engkau berjalan melangkahi kepalaku yang petak.sepatumu menjulurkan lidah,

membangunkan tidur nyenyakku. pagi datang dengan marah-marah, rautnya memerah.

lalu melayanglah tamparannya ke atas sarapan pagiku hingga segelas teh menjadi semanis air mata.

dan kamarku di banjiri lahar-lahar anyir, entah dari mana, mungkin dari liang telingamu atau dari tumpahan sup iga sapimu.

lamunanku coba merapikan letak dasimu yang begitu sopan. namun kau tetap saja menyengir. dan aku paling benci bila kau menyengir. tolong, berhentilah menyengir.

maka kuruncingkan sikat gigiku dan bersembunyi dalam sebotol sampagne atau aku akan berpura-pura menjadi pembatas bukumu. kemudian kita rayakan pesta barbeque, jangan terkejut bila diam-diam kutusuk tengkukmu.



agustus 2003

Sesentuh Sentuhan

Dari Sajak Touch oleh Octavio Paz



Tangan-tanganku

menyibak tirai: engkau pun lalu ada

kusandangkan ketelanjangan yang lebih ke tubuhmu

membuka selubung di atas tubuh-tubuh: tubuhmu

Tangan-tanganku

menciptakan tubuh yang lain: bagi tubuhmu.








Puncak dan Gravitasi

Dari Summit & Gravity Sajak Octavio Paz



Tegak tanpa gerak: sebatang pohon

selainnya serentak bergerak, maju

               sesungai pohon-pohon

menggempur membentur dadaku

              warna hijau badai

mendamparkan keberuntungan





Engkau dalam pakaian merah

              Engkau

menandai tahun yang terbakar

tubuh yang masih membara

              berbuah bintang

kusantap matahari di dalam Engkau



              Waktu pun berhenti

di jurang terdalam retakan cahaya





Burung-burung: segenggam cahaya

paruhnya membangun kelam malam

sayapnya mempertahankan terang siang



Berakar di puncak cahaya

di antara ketenangan dan rasa gamang

              keseimbangan yang tipis batas





Friday, August 22, 2003

Tentang Air

dari sajak Water oleh Pablo Neruda



Ketika segala meremang, tegak berdiri di bumi,

semak mencakarkan duri, dan benang hijau

menjelujur jauh, petal pun luruh, gugur jatuh,

luruh dan jatuh, yang menjelma jadi sisa satu-satunya bunga.

Air pun menjadi ihwal lainnya.

Air yang tak berarah, tapi jernihnya yang tenang

mengarus menembus seluruh imajinasi warna-warna,

menyerap kearifan yang tegas ada pada batu

dan pada peranan yang ia mainkan

ada yang sangat diinginkan buih. Yang tak pernah terwujudkan.




Thursday, August 21, 2003

Ode Bagi Pakaian

dari Sajak Ode to Clothes oleh Pablo Neruda



Engkau, pakaian-pakaian yang

menanti setiap pagi, di atas kursi,

Engkau yang mengisi dirimu sendiri,

dengan kepongahanku, cinta kasihku,

harapanku, dan tentu dengan tubuhku.

Begitulah, setelah

bangkit dari lelap,

lalu kulepaskan air,

maka kumasuki lenganmu,

dan kakiku mencari di

lorong-lorong kakimu,

dan kemudian terangkul erat

dalam kesetiaan engkau yang tak berbatas

aku pun bangkit menjejaki rumput itu,

memasuki puisi,

meninjau ke saujana jendela,

ke semesta benda-benda,

para lelaki dan wanita-wanita,

seluruh tingkah dan segala pertarungan,

terus membentuk aku,

terus memaksaku menghadapi apapun

menggerakkan tanganku,

membelalakkan mataku,

mengangakan mulutku,

Dan wahai

pakaian-pakaian,

aku pun juga membentukmu,

memperlebar bagian sikumu,

merapikan benang jahitmu,

dan hidupmu pun mengembara,

hingga ke imaji hidupku.



Di angin

engkau kumal dan rantas

seperti engkaulah jiwaku,

di saat yang buruk,

engkau memagut erat

tulang-tulangku,

kosong, hingga malam,

kegelapan, kembali lelap

lalu datang mereka: hantu-hantu

sayapmu dan sayapku.



Kusangka,

kelak jika suatu hari

ada sebutir peluru

dari seorang musuh

akan membasahimu dengan darahku

lalu

engkau mati bersamaku.

Atau kelak di hari lainnya,

bukan dalam senyap

tapi begitu dramatik

dan sederhana,

engkau akan jatuh sakit,

wahai pakaian-pakaian,

sakit bersamaku,

menua bersamaku, bersama tubuhku

lalu kita menyatu

lalu kita memasuki

bumi.

Karena itu,

setiap hari

aku menyapamu

dengan sedalamnya hormatku, lalu

engkau erat memelukku, aku melupakanmu,

karena kita sesungguhnya satu

dan kita akan senantiasa

menantang angin, menantang malam,

di jalanan, dalam pertarungan,

tubuh yang tunggal,

hari yang tunggal, satu hari nanti, ketika hanya ada sunyi.

Tuesday, August 19, 2003

Ode bagi Buku

dari sajak Ode To The Book oleh Pablo Neruda



Ketika akhirnya sebuah buku kututup

aku membuka hidup.

Aku dengar juga

tangis yang ragu menghiba

di antara dermaga-dermaga

tiang-tiang tembaga

menggelincir turun ke lubang-lubang pasir

hingga ke Tocopilla.

Waktu telah malam

di antara pulau-pulau

samudera kita

berdebaran bersama ikan,

menyentuh kaki, menyentuh paha,

rusuk-rusuk rapuh

negeriku.

Seluruh malam

berpagut teguh sepanjang pasir, hingga fajar

bangkit menggugah nyanyi

seperti dia yang telah menggairahkan gitar.



Hempasan samudera mengelu-elu

Hembusan angin

menyeruku

dan Rodriguez memanggilku,

juga Jose Antonio --

Ada telegram tiba

dari negara -- "Negaraku"

dan dari seorang yang kuberi cinta

(yang tak kan kusebutkan siapa)

mengharapkan aku kini ada di Bucalemu.



Tak ada sebuah buku yang mampu

membungkusku dalam kertas

mengisi sekujurku

dengan tipografi,

dengan jejak cetak teramat riang

atau bisa mengikat mataku,

Aku beranjak keluar dari buku ke taman buah manusia

dengan parau lagu, kerabat lagu-laguku,

yang mengolah baja-baja pijar

atau menyantap daging bakar

di sisi perapian, di rumah pegunungan.

Aku cinta buku yang

penuh petualangan,

buku tentang salju atau hutan-hutan,

ke dalam bumi atau langit tinggi,

tapi aku membenci

buku tentang laba-laba

yang menyangka

telah ditebarnya jaring berbisa

menjebak lalat yang baru saja

melingkar belajar mengepak sayapnya.



Buku, biarkan aku pergi menjauhimu.

Aku bukan hendak mengenakan baju

dalam jilid-jilid,

aku tidak hendak beranjak keluar

untuk memunguti karya-karyaku,

karena sajak-sajakku

tak menyantap sajak-sajak --

mereka melahap takjub peristiwa-peristiwa

mereka hidup dalam kasar cuaca

mereka menggali sendiri umbi

dari bumi dan hidup lelaki.

Aku kini ada di jalanku.

Dengan debu di sepatu berdebu

terbebas dari kurung mitos-mitos:

Maka kembalikan saja buku ke dalam buku,

dan aku akan turun saja ke jalanan.

Aku telah pelajari hidup

langsung dari hidup itu sendiri.

Cinta mengajariku cukup dari satu kecupan

dan tak mengajarkan apapun pada orang lain,

kecuali bahwa aku telah hidup

dengan yang lazim ada di antara para lelaki,

ketika bergelut, beradu otot,

ketika mengatakan semua ucap mereka dalam lagu-laguku.










Monday, August 18, 2003

Ihwal Duduk, Ihwal Kursi

dari sajak To Sit Down/Pablo Neruda



Semua telah duduk

duduk di meja

duduk di singgasana

duduk di rapat-rapat pertemuan

duduk di kereta penumpang

duduk di kapel

di pesawat, di sekolah, di stadion

semua telah duduk atau bersiap hendak duduk

tapi tak ada yang mengenang

kursi-kursi

yang telah kubuat dengan tanganku.

Apa yang telah terjadi? Kenapa, ketika takdirku

membuat ku duduk, di antara hal ihwal lainnya,

kenapa mereka tak membiarkanku

merekatkan empat kaki

dari pohon mati

menjadi sebuah tempat duduk yang memangku

tetanggaku

kenapa harus menunggu di sana? menunggu kelahiran

dan kematian orang terkasihnya?

(Kursi yang tidak bisa kubuat, yang tak pernah kubuat

mengubah bentuk, mengubah gaya

setiap kayu yang semula sejati

menjadi benda yang dingin, datar, bersih

tak terlindung bayang, seremoni pohon-pohon)

Lingkaran gergaji

seperti planet

menjelang turun, ketika malam

ke bumi

lalu bergulung menerabas hutan-hutan

di negeriku ini

melintas saja tanpa sempat melihat menembus lubang cacingku

yang hilang dalam pekik sendiri

dan demikianlah, aku melangkah

dalam aroma sakral

hutan belantara

tanpa melakukan apa-apa

melawan tajuk-tajuk pohon

mesti ada sebatang kapak di tangan

meski ada ilmu yang membuat keputusan

meski aku tahu bagaimana menebang belukar

dan merakit kursi

imobilitas

dan terus mengulanginya lagi

sampai setiap orang di dunia

duduk, mendapat jatah kursi.










Sunday, August 17, 2003

Ode bagi Pakaian yang Belum Diseterika

dari an Ode for Ironing/Pablo Neruda



Putih puisi

datang menetes keluar dari air

kusut berkerut, menumpuk tinggi

Kita harus mengencangkan kulit planet ini

Kita harus menyeterika laut di bentang putihnya

Tangan-tangan yang terus dan terus saja bekerja

maka sesuatu yang punya harga tercipta

Tangan-tangan yang setiap hari mengolah dunia

api yang menyatu dengan lempeng baja

linen, kanvas, dan belacu datang kembali

dari pertempuran di dalam mesin cuci

dan dari cahaya seketika menjelma lahir seekor merpati

kesucian pun kembali pulang dari buih sabun cuci.







Friday, August 15, 2003

Bersaf-saf Bunga-bunga

The Tuft of Flowers
Robert Frost

Menyelinap ke balik rumput, setelah dia yang pergi
Menebas memangkas di embun sebelum terbit matahari.

Embun sudah berlalu, mengasah tajam mata sabit
Sebelum aku tiba, melihat lansekap yang bangkit.

Kucari dia di sebalik tajuk pohon-poon sepulau;
Kusimak suara batu asah pada sepoi angin galau.

Tapi dia tak terjumpai lagi, seluruh rumput tersiangi,
Dan aku pun mesti - seperti dia kini - musti sendiri.

'Semua yang mesti terjadi,' kuucap itu di hati,
'Ketika kita bersama, ketika kita kembali sendiri.

Dan ketika baru kusebut, melintas burung layang
Pada kepak sayap bisu kupu-kupu yang tercengang.

Dan ketika kudapati ia terbang berputar-putar,
Ketika itu bunga terhampar di tanah memudar.

Lalu ia terbang menjauh sejauh mata ditinjau,
Dan dengan gemetar di sayap menukik menujuku.

Aku menebaki pertanyaan yang tak punya jawab,
Kembali ke rumput, mengurai tumpukan lembab

Tapi dia lebih dahulu tiba, menuntut mata
ke sisian alur, ke saf tinggi bunga-bunga.

Wednesday, August 13, 2003

Kamus Bahasa Shiela dan Ikra

kalau kamu bilang , "acam," artinya ikan, tentu aku tahu

kalau kamu sebut, "cacapu," maksudmu tentu kupu-kupu.



tapi, Shiela, rahasiakan saja kata-kata kita itu dari Ikra, ya...



nanti dia akan mencipta kata-kata sendiri, nanti dia akan

menyusun kamus sendiri, nanti kita bikin puisi untuknya.

Saat yang Tidak Tepat untuk Menulis Puisi

kliping resep kue donat masih menyimpan aroma khamir mengolah karbohidrat: jadi kenangan kecil teradon, bangkit begitu kalis begitu lekat. "Ma, besok Shiela sekolah, mau bawa bekal yang pakai meses coklat..."



Malam sudah dekat. Subuh sudah dekat. Sungguh. Tak ada yang lewat dalam notes kecil yang giat mencatat. Dalam notes yang selalu menegurku, meralat niat: "Hei, untuk menulis puisi, ini bukan saat yang tepat."

Tuesday, August 12, 2003

Bukan Haiku: Tentang Sungai dan Sunyi

di sungai, diam telah memeluk erat arus

sunyi mengalir: mempertegas gigil batu!



Agt 2003

Bukan Haiku: Tentang Akar dan Batu

akar menggelitik batu

lupa menahan arus ke muara

lupa menyampaikan sapa,

"disini saja, Saudara,

temani kami saja."



Agt 2003







Lagu Cinta Malam Semalam

(dari sajak Rainer Maria Rilke

Evening Love Song)






Ornamentasi awan-awan

menggubah lagu cinta malam semalam;

dedaun jalanan menyibak menolak.

Rembulan baru dimulakan



sebabak baru malam-malam kita,

malam yang gelapnya masih temaram

kita meregang merentang dan terbancuh

pada bentang horisontal: warna hitam.

Monday, August 11, 2003

Formulir Kosong Puisi

(Dialog Puisi antara

aku Hasan Aspahani

dan dia Nanang Suryadi)






aku:



kukirim padamu formulir kosong puisi, pada bait yang lengang kau menanti sendiri mengisi titik-titik dengan sunyi bunyi.



dia:



secelah kekosongan tinggal di pinggir halaman dan jeda antara baris bait di mana singgah sunyi namun gaduh juga yang bertalu, setelah lembar terisi: takdir sepi.



aku:



beribu lembar sepi tak terisi, mana huruf yang menulis bunyi? beribu gambar sunyi tak terwarnai, mana harap yang melingkari hari?



dia:



biarlah sepi mencari bunyinya sendiri karena dimainkannya denting dalam bening hening dan diwarnainya malam dengan hitam lengang hingga kau rasa setusuk sepi menyeri...





aku:



sebelum disebutnya namamu sebelum disahutnya rindumu sebelum disambutnya cahayamu: gaduh bunyi lunas disucikan sunyi.



dia:



telah ditera namaku di situ juga waktu saat berjumpa saat terlunas segala rindu menatap wajahnya yang cahaya hingga lebur diri dalam cahaya lautan cintanya semata!



di jantung hati sepisau sepi menikam tikam hingga sampai di puncak ngeri merindui kekasih diri di kilau tajam sehunus sepi tak henti mengunjam ke dalamdadadiri.





aku:



di dadaku sepi telah dalam kutanam telah berulang tikam kuhunjam, di dadaku nyeri telah lama kubungkam telah bertulang dendam kupendam.



dia:



ingin kutemu sejati dimanakah engkau wahai kekasih diri hingga kutemu sejati cinta sejati lunaskan nyeri rindu di hati...



aku:



kekasih ada di sejati hati yang merindu kekasih ada di sejati rindu yang mencari kekasih sejati ada dalam nyeri abadi yang tak pernah terlunasi...





Jakarta-Batam, Agt 2003

Friday, August 8, 2003

MURAL MELUPAKAN*

nanang suryadi

* Judul dari Hasan Aspahani



mungkin aku telah melupakan warna-warna, mungkin rindu juga cinta, karena huruf-huruf berguguran dari ingatan



tentang puisi yang digugurkan dari rahim waktu, karena tiada kekal kata tiada abadi segala yang diingin selama



tapi masih kuingin seisak yang tersisa dari sobekan kenangan di lipatan yang tak terbaca, mungkin airmata...



kutulis diam-diam, selagi amnesia, selagi terlupa, hingga berdenyar segala puisi, mungkin tentang kesedihan yang teramat dalam



hingga berlinang dongeng puteri duyung, atau bintang yang teramat biru, di matamu, karena di rembang senja ditawarkan segala bimbang segala gamang





agt 2003

Thursday, August 7, 2003

Skets

di atas warna,



huruf membaca



apa yang ditulis

oleh lupa.





Agt 2003

5 Cara Mengisi Formulir Kosong

(1)



HATI-HATI, formulir itu sudah disodorkan

padamu. Dia diam-diam sedang merumuskan

kembali siapa dirimu. Dia mula-mula

akan meminta kau menyebutkan nama, bukan?

Dan kau akan dengan senang hati menyebutkan

satu dua kata yang mestinya kau rahasiakan saja.





(2)



TIBA-TIBA kau bertanya: dari mana saja datangnya

formulir-formulir itu? Bagaimana mereka tahu

menuju alamatmu? Kenapa setiap pagi ada saja

satu dua lembar yang menyapamu dari bawah pintu?



(3)



ADA sebuah formulir yang tiap saat datang ke

meja kantormu. Yang tak pernah kau jawab

pertanyaan-pertanyaannya. Yang akhirnya selalu

kau buang ke keranjang sampah bersama gumpalan

kertas gagal lainnya.



ADA sebuah formulir yang seolah menjanjikan

kemudahan apa saja, tapi kau tak pernah

terbujuk oleh buai rayunya: diskon belanja,

kartu yang katanya begitu sakti, kesempata

berwisata ke kota-kota indah... apa saja!



"HIDUP kok terlalu sederhana..." katamu

membantah seluruh skenario dalam formulir

yang tak pernah kau baca itu.



(4)



DI depan pintu itu nanti, akan ada yang

menyodorkan formulir padamu. Kau tabah saja

sebaiknya. Bukankah kita sudah terbiasa

dengan prosedur seperti itu? Isilah kolom-

kolomnya, sebagai formalitas. Terutama

pada pertanyaan siapa nama ibu kandungmu?

Selipkan saja beberapa dusta sebagai rutinitas.

Coret saja jawaban yang tak perlu dan

kosongkan beberapa pertanyaan yang tak relevan.



MEREKA tidak akan pernah membaca jawabanmu.

Mereka cuma mencoba patuh pada birokrasi.



BUKANKAH kau juga akan lupa dengan apa yang

kau tulis di formulir itu? Jadi lekaslah isi

dan kembalikan. Karena di belakangnya ada

antrean panjang, dan di depanmu ada pintu

lagi dan akan ada yang menyodorkan formulir

lagi...



(5)



TELAH kauisi formulir kosong ini yang

sama sekali tak pernah kau mengerti.

Setelah itu? Ya, tunggu saja, nasib kita

sedang diundi.





Agt 2003

Antara Beranjak dan Bertahan



dari sajak Between Going and Staying - Octavio Paz




Antara beranjak dan bertahan, hari gamang,

dalam cinta dengan batasnya yang bimbang.

Petang yang melingkar sampai ke teluk tenang,

di sana kata diam dalam senyap batu karang.



Semua tampak mata, semua tak terbaca,

semua tak beranjak jauh, semua tak tersentuh.



Lembar kertas, buku, pencil, kacamata,

istrirah teduh di bawah nama-nama mereka.



Debar waktu di kuil-kuilku mengulangkan

suku kata darah yang sama, tak terubahkan.



Sinar menukar sorot dari dinding yang sama,

ke panggung mencekam, teater permenungan.



Lalu kudapati diri sendiri di tengah bola mata,

yang mengawasi diri sendiri di kosong tatap.



Menghamburlah momentum. Tanpa gerak raga,

aku bertahan aku beranjak: aku sebuah jeda.





Wednesday, August 6, 2003

Sajak Paling Duka

dari SADDEST POEM, Pablo Neruda





Malam habis, inilah sajak paling duka yang bisa kutulis.



Maka kutulis saja: "Langit ditaburi bintang-bintang,

dan bintang-bintang, biru, bergetaran di jarak kejauhan.



Dan angin malam berpusaran melagukan nyanyi.



Malam habis, inilah sajak paling duka yang bisa kutulis.

Aku cinta padanya, dan sesekali dia pun cinta padaku.



Di malam seperti ini, kurengkuh dia di lenganku,

kukecup kuulang tak terbilang, di bawah langit lapang.



Dia mencintai aku, sesekali aku pun cinta pada dia.

Tidakkah cukup alasan untuk mencintanya? Secintanya?



Malam habis, inilah sajak paling duka yang bisa kutulis.

Dalam pikir dia tak tergapai, dalam rasa dia tak terpunya.



Menyimak malam yang berat, lebih berat karena tak ada dia.

Dan sajak meluruhi jiwa, seperi embun jatuh di daun rumput.



Sia-sia kutanya mengapa cinta tak mampu menjaganya.

Langit ditaburi bintang, dan dia tak bersamaku lagi.



Itulah segalanya. Jauh. Di entah jarak, seseorang menyanyi.

Jiwaku hilang tanpa dia, hilang bersama dia.



Seperi kuraih dia mendekati, mataku mencari,

hatiku mencari, karena dia tak lagi bersamaku kini.



Malam lain yang sama, yang memucatkan pepohonan yang sama,

kita, kita entah siapa, kita yang sama tak lagi ada.



Aku tak lagi mencinta dia, sungguh, tapi sungguh kucinta,

Suaraku mencari angin agar tersentuh dengar telinganya.



Seseorang asing. Dia akan jadi asing. Dia yang

sekali waktu pernah mengecap kecupan-kecupanku.

Suaranya, tubuh terapungnya. Tak berbatas matanya.



Aku tak lagi mencintainya, sungguh tapi mungkin aku cinta.

Cinta begitu sementara dan lupa sungguh panjang usia.



Karena di malam seperti ini kurengkuh dia di lenganku,

jiwaku hilang tanpa dia.



Meski ini mungkin sakit terakhir yang disebabkannya,

dan ini mungkin sajak terakhir yang kutulis untuknya.

arsitektur reruntuhan

kolaborasi puisi: Hasan Aspahani & Nanang Suryadi





seorang perakit bom, adalah dia

yang cemburu pada arsitektur hotel

maukah kau kuajak berburu foto

di ruang ruang reruntuhan itu?



ada yang meledak dalam dadaku

mungkin bom waktu yang kusimpan

telah sampai tiktaknya pada detik nadir

hingga puing puisi berserak menyerpih

menjadi abu

menjadi debu




siapa menjalin kabel di dalam dadaku,

siapa yang menghasut jam mendetakkan

waktu mengakhiri tiktok dengan gelegar itu?



di jalinan kabel dan amis amunisi

dalam dada hilang nyeri yang tak

henti menusuki hati jantung,

di dunia kehilangan nurani

kehilangan cinta

sejati diri

nyeri diri




o puing fotografi o jalinan kabel dan amunisi

o jam yang tak berdetak lagi o ledakan yang

menuntasi sunyi bunyi 0...





6 Agt 2003

Sunday, August 3, 2003

SAJAK

(dari Poetry oleh Pablo Neruda)



Dan tepat pada masanya... Sajak tiba

mencari aku jua. Aku tak tahu, tak pernah tahu

dari mana datangnya, musim salju atau sungai beku.

Aku pun tak tahu bagaimana dan bilamana,

tidak, karena sajak-sajak bukan suara, sajak-sajak

bukan kosa kata, juga bukan kesenyapan,

tapi dari jalanan, ada dia yang memanggilku,

dari rentang cabang-cabang malam,

dari seluruh arah, serentak, sekali sentak

di tengah kobar api kebengisan

atau saat kembali sendiri,

disana, aku ada tanpa raut muka,

lalu kurasa ada sentuhnya.





Aku tak tahu lagi apa hendak dikata, lidahku

tak tersebut, terkunci

oleh nama-nama

mataku pun telah membuta,

dan sesuatu telah dimulai dalam jiwa,

seperti geram demam atau kepak sayap terlupa,

dan kutemu jalan sendiri, cara sendiri

mengurai api

dari kobarnya.



dan kutulis baris pertama bangkit dari koma,

mati suri, tanpa substansi, murni,

nonsens,

kebijakan suci,

dari seseorang yang tak tahu apa-apa,

dan serentak kulihat

firdaus surga

menganga gerbangnya

membuka pintunya,

planet-planet

gemetar, rata menghampar

bayang-bayang tak genap gelap

koyak berkubang lubang

tikam panah, jilat api dan bunga-bunga,

bising malam, dan semesta alam raya.



Dan aku, ah betapa tak berartinya

meneguk kosong yang maha

kosong

menyerupa, imaji

dari misteri,

Akulah gelap yang menyempurnakan

kedalaman jurang

Aku memandu arah bintang-bintang,

di langit terbentang, hatiku mematah kekang.



Friday, August 1, 2003

Tuhan Memulai Permainan

re: atas sajak fati soewandi KURASA CINTA



di surga, waktu memang sudah disiapkan jadi

jeruji abadi: penjara bagi Adam dan Hawa.

tak ada cinta kecuali kisah yang hendak

dimulakan: Tuhan memulai permainan...



di dunia, waktu menjadi fana - tak pernah

tahu hendak jadi apa: ia tumbuhkan cinta,

lalu merecup cabang-cabangnya, lalu jatuh

daun-daunnya, semua terjadi begitu saja



cinta tidak pernah memperdaya, karena

Tuhan hanya membenihkannya sedikit saja

ke hati kita, seperti diajarkan waktu

kepada alam, kita, kepada Adam & Hawa