Sunday, October 31, 2010

[ Dongeng Kopi #002 ] Lagu yang Hanya Kau yang Mendengar

DIA, Roy Croft namanya, adalah penyair misterius. Mungkin dia tidak pernah ada. Orang menebak-nebak saja bahwa ia pernah hidup antara 1905-1980. Bait-bait sajaknya selalu - ya, hampir selalu hadir - dalam khotbah pemberkatan pernikahan.

Kalau kau mendengar pendeta berkata: "Aku mencintaimu bukan karena siapa engkau, tapi karena siapa aku ketika aku bersama engkau!" - itu adalah petikan sajak Roy Croft.

Juga kalau kau mendengar kalimat: Kau tidak mencintai seseorang karena wajahnya, atau karena pakaiannya, atau karena mobil mewahnya, tapi karena dia menyanyikan lagu yang hanya kau yang bisa mendengarkannya."

Hmm, aku sedang mendengarkan lagu dari segelas kopi. Ah, ya, aku juga sedang bernyanyi, mengikuti lagu itu! Kau dengarkah? []

Saturday, October 30, 2010

[ Dongeng Kopi # 001] Bodoh Bersama Cinta

SAYA kira, penyair Prancis yang lahir pada 1871, itu benar-benar benar, Kawan. Cinta itu, kata Paul Valery, adalah semacam kesepakatan untuk menjadi bodoh bersama-sama. Bodoh? Mungkin yang ia maksud adalah menyingkirkan dulu logika. 

Bukankah memang itu yang terjadi ketika kita jatuh cinta? Bukankah ketika kita jatuh cinta, kita kerap jadi orang yang berakal pendek? Bukankah banyak tokoh -  kita bisa membacanya dalam berbagai kisah - terberanikan oleh tenaga cintanya? 

Saya mau buat kesimpulan sendiri, dan kau boleh tidak setuju, Kawan. Begini: Ketika kau jatuh cinta, kau mencintai seseorang, dan kau masih bisa memberdayakan logika akalmu, maka kukira kau belum benar-benar mencintai dia. Aku akan meragukan cintamu itu, Kawan. Ha ha ha. Ayo, tambah kopimu![]

Tuesday, October 26, 2010

Aku Belum Tua

: untuk H.M Sani


JIKA nanti 70 tahun umurku, aku belum tua.

Itu artinya ada dua orang lelaki di dalam
tubuhku, yang masing-masing 35 tahun usianya.

Ya, aku belum tua. Rasanya baru saja, melihat
anak muda tamat SMP, tak bisa sekolah ke SMA,
lalu jadi pemanjat dan pemikul buah pinang.
Rasanya baru saja, nasib baik menjemput dan
tangan yang baik mengulurkan bantuan. Rasanya,
ya, baru saja. Aku merasa, aku belum lagi tua.

Ya, aku belum tua, aku mau menghaturkan bakti
pada guru-guru yang besar jasanya, yang mengajari
kaki-kaki ini berjalan dan berlari, mengajari
hati teguh dan kukuh menuju ke jalan terang ini,
ke bentang waktu kini, yang mengajari tangan
melipat amplop dinas dari kertas bekas di kantor
kecamatan! Ya, aku merasa, aku belum lagi tua.

*

Jika nanti 80 tahun umurku, aku belum tua.

Itu artinya ada empat orang lelaki di dalam
tubuhku, yang masing-masing 20 tahun usianya.

Itu sebabnya, aku merasa, aku belum akan tua.

Empat orang lelaki muda, yang sudah ribuan kali
berenang menyeberangi sungai, menaklukkan teluk,
memanjat ratusan batang pinang, dan berlayar tanpa
tiket di kapal yang membawa ke kampus di seberang,
kucing-kucingan dengan petugas kelasi, seperti
hidup yang harus disiasati, tahu mana buritan
dan haluan, dan aku sudah tahu jawaban cerdik
atas setiap pertanyaan yang diajukan, "Kau mau
kemana? Kau akan sekuat dan sejauh apa berjalan?"

Dan aku melihat sabut kulit kelapa, hanyut dan
sampai juga akhirnya. Ini bukan kepasrahan, ini
adalah keselarasan, memahami arus sungai dan gerak
gelombang! Ah, akulah itu, empat orang muda, dengan
gairah nyala, dan aku merasa belum akan tua.

*

Jika nanti 90 tahun umurku, aku belum tua.

Itu artinya, ada sembilan anak usia 10 tahun,
di halaman sekolah kehidupan, riang bermain,
sepanjang hari, memutar gasing di bumi, dan
mengulur layang-layang ke langit yang tinggi. 

Monday, October 18, 2010

Di Dalam Tidur, di Dalam Angan

BANYAK sudah, alamat singgah, pada hidup dan waktuku. Aku menulis beribu baris, lirik yang cuma sajak buruk

Aku memura-murakan hidup di panggung murah, ribuan mata menangis atau tertawa. Tapi, kita sendiri kini, kubaca sepi, sajak untukmu ini


Aku kira yang kau bayangkan tentang aku adalah apa yang kuharap begitu, Sayang, tapi terlampau buruk sudah aku memperengkaukan engkau

Dan lihat, bisakah kau lihat? Tak ada yang kuinginkan ada seperti aku ingin engkau ada. Kekasih, lihat bait sajakku, bacalah aku

Lihatlah, kita kini sendiri, dengan diri sendiri, aku membaca sajak yang dulu pernah kutuliskan untuk engkau

Yang kutulis untukmu adalah rahasia kebenaran yang kau ajarkan padaku, kau yang datang telanjang, dan aku sembunyi di balik remang bayang

Cintaku, dan aku, ada di mana ruang dan waktu tak ada. Engkau cintaku, cinta yang mengadakan hidupku, cinta yang mengadakan aku

Kita pernah bersama, kita pernah ada, dan kelak kita akan memisahkan engkau dan aku, tapi, cinta itu, Sayang, akan senantiasa ada dalam bait sajakku

Tak Ada yang Tahu

TAK ada yang tahu, seperti aku kau
rendam dalam diam kopi, sepadam
mata malam, tak mengampas dinding
gelas, Tak ada. Tak ada yang tahu.

Tak ada, rahasia yang membayang, badai
di rusuh sendiri, di layar lingerie, aku
dalang mabuk, kau? Wayang yang memainkan
aku! Aku lupa pada cerita. Aku nakhoda,
tak berdiri pada kemudi, memaki sendiri

Tak ada yang tahu, akan termuat kita dalam
duka: maut yang melaut, atau terbit pada tanya
hidup yang melangit? Tak ada yang tahu

Wednesday, October 13, 2010

[KOLOM] …. And We Live Coffeely Ever After

Kolom Kamisan
Hasan Aspahani

SAYA sekarang nyaris menjadi seorang coff-a-holic. Pecandu kopi. Ini gara-gara Wasis Gunarto, kawan baru yang saya temui di media-sosial twitter. Secara langsung kami belum pernah bertemu. Dia adalah manajer pengelola Kopitiam Oey, restoran di Jakarta mililk tukang icip-icip makanan  paling top se-Indonesia: Pak Bondan “Maknyus” Winarno.



                Kami sungguh dipertemukan oleh twitter. Lewat kicauan masing-masing kami saling mengenal. Kopitiam Oey punya cara memikat pelanggan dengan cara unik. Pengunjung diberi hadiah kartu bertulisan petikan bait puisi.

Saya mengirim buku puisi dengan ikhlas ikut dicantumkan di kartu hadiah tersebut. Sebagai imbalan, saya dikirimi sekantong kopi dan buku wisata kuliner Yogyakarta. Sampul buku itu bisa ditebak: Pak Bondan dengan blankon dan surjan.

                Kopi kiriman Wasis itu sudah mencurigakan sejak berada dalam bungkusan paket Titipan Kilat. Aromanya “menyihir”. Bungkusnya kertas merang, dengan sablonan cap berejaan lama: Koffie Aroma Bandoeng.  Saya tahu ini kedai dan pabrik penggilingan kopi legendaris di Bandung. Sudah ada sejak zaman Belanda. Dan mempertahankan cara pengolahan lama.

                Sihir aroma dan reputasi kopi itu belum cukup menggoda saya untuk mencoba. Kala itu, kopi saya adalah kopi instan bermerek produksi perusahaan multinasional, atau sesekali kopi instan asal Singapura.

 Suatu hari, saya kehabisan kopi instan. Hasrat untuk menikmati kopi pagi itu membimbing saya menyeduh kopi Aroma. Terus terang saja ampas kopi seduhan pertama saya itu mengganggu saat diteguk.  Saya sama sekali tak tahu bagaimana cara membuat seduhan kopi yang baik. Tapi, sihir kafein mulai bekerja di tubuh saya. Sejak itu saya ketagihan.

 Lewat Pak Bondan, dalam satu serial tweet-nya, saya tahu trik rahasia yang sederhana bagaimana cara menyeduh kopi. Begini: seduh dengan air mendidih, bukan air termos (ini sering saya langgar demi alas an praktis), saring ampas (hasil saringan adalah kopi kental dengan buih coklat, persis seperti coffe-latte, atau espresso yang kerap saya coba di kafe), dan tambahkan gula belakangan saja jika memang ingin menambah nikmat dengan rasa manis dan tak takut sama kalorinya. Kopi saja, tanpa gula sama sekali tidak mengandung kalori, jadi tidak akan menggemukkan. Aha, saya merasa jadi seorang barista gadungan, setidaknya untuk diri saya sendiri.

Ini filsafat saya tentang kopi: tak ada minuman yang bisa dinikmati dengan cara kita menikmati kopi, misteri warna hitamnya, buaian aroma seduhannya (ini wajib dihidu sebelum, kopinya diteguk), dan tentu saja momentum saat kopi itu menyentuh ujung-ujung syaraf lidah, bahkan rasa yang tersisa sesuai cairan kopi berlalu dari mulut.  Ah!

***
           Saya membeli toples khusus yang desainnya mengingatkan saya pada toples milik nenek almarhum nenek saya dahulu di kampong. Nenek saya adalah pengolah kopi yang hebat. Dia punya warung kopi kecil. Kopi yang ia sajikan ia olah sendiri. Kakek saya punya kebun kopi. Tak terlalu luas. Perdu kopinya tumbuh di antara pohon kelapa. Boleh dikata, kopi adalah hasil sampingan kebun kelapa kami.

                 Nenek saya memetik sendiri kopi, menumbuk buah mentahnya dalam lesung kayu dengan campuran pasir agar kulitnya lekas terkupas dan menjemurnya. Kadang-kadang, nenek juga membawa kopi yang sudah terkupas terpisah dari bakul kopinya.  “Ini kopi musang,” kata Nenek. Kelak saya tahu itu adalah kopi luwak, kopi yang mahalnya minta ampun.

Keping biji kopi yang sudah kering – diuji dengan mendengarkan gemerincing suaranya saat sejumlah bijinya  diguncang dalam genggaman tangan – lalu disangrai dan terakhir ditumbuk dalam lesung besi hingga jadi bubuk kopi. Saya ingat, dulu suka ikut menumbuk kopi di lesung besi itu, saya suka suaranya, seperti menabuh lonceng bertalu-talu.   Tung, tung, tung, nyaring tapi diredam oleh bubuk kopi. Dari lesung besi itu aroma kopi pun menyeruak!

 Kakek saya, Bapak saya, paman-paman saya adalah para peminum kopi. Saya masih ingat gerakan mulut Bapak saya sesudah meneguk kopi, berputar beberapa kali dengan gigi rapat dan bagian dalam bibir menekan ke permukaan gigi. Itulah cara praktis membersihkan larutan kopi di permukaan gigi.  Ketika masih kanak-kanak, kala itu, saya tak tahu apa nikmatnya kopi. Bagi kami, tentu saja sari tebu yang kami gigit langsung dari batangnya jauh lebih nikmat!

 ***

Ya, saya sekarang nyaris menjadi seorang coff-a-holic. Penikmat kopi, tapi saya belum lagi menjadi penongkrong kedai kopi.  Dan saya ingin berterima kasih kepada gembala dan kambing. Konon, khasiat kopi dikenali manusia dulu di sebuah petang, di Afrika.

Kambing-kambing yang digembalakan oleh seorang anak gembala tampak amat riang, bergairah, dan tidak tampak lelah. Rupanya mereka baru saja menyantap biji-biji kopi yang terbakar. Si gembala pun mencoba mengunyah biji itu dan merasakan efek yang sama: tersegarkan.  Kelak kita tahu biji kopi yang terbakar itu mengandung kafein,  kombinasi 800 jenis bahan kimia yang punya efek bikin mata tahan melek, pikiran tidak capek, dan badan tersegarkan.

 ***
  Kopi, kedai kopi, politik dan sastra sebenarnya adalah kombinasi yang berbahaya.  Raja Inggris pernah melarang kedai kopi di seluruh negeri itu, karena dianggap di kedai kopilah berkumpul para pembangkang, dan di kedai kopilah pembangkangan terhadap raja direncanakan. Tentu saja itu kini bisa kita lihat sebagai sebuah pamer kekuasaan yang jenaka dan ketakutan yang tak punya alasan.

Di Lisbon, Portugal ada sebuah kedai kopi, A Brasileira, namanya yang memajang patung perunggu penyair Fernando Pessoa.  Kedai kopi ini dibuka pertama kali oleh Adriano Telles, 19 November 1905, menjual kopi asli asal Brazil. Kedai ini juga menjual kopi bijian. Setiap beli sekilo dapat gratis segelas kopi. Inilah juga kedai kopi pertama yang menjual bica, sejenis espresso, kopi kental disajikan dalam gelas kecil.

Di kedai kopi yang sudah berdiri sejak 1905 itulah  si penyair terbesar Portugal itu kerap cari ilham, dan membual tentu saja. Mungkin karena pengaruh kopilah, Pessoa bisa dikenal dengan sebagai penyair dengan empat nama yang berbeda yang sama terkenalnya. Ah, dasar kopi!

Di Kairo Mesir, ada Restoran Khan Khalili. Kelak restoran ini lebih terkenal dengan nama Naguib Mahfouz CafĂ©. Mahfouz adalah sastrawan besar Mesir, peraih hadiah Nobel Sastra tahun 1988 yang semasa hidupnya setiap hari makan dan minum – apalagi kalau bukan – kopi di kafe itu. Konon, meja dan kursi yang kerap diduduki Mahfouz masih dipertahankan ada di tempatnya semula.

 Perlu juga dipikirkan suatu tempat di Tanjungpinang, entah di kedai kopi mana, ada patung (atau minimal fotolah) Sutardji Calzoum Bachri , Rida K Liamsi (saya pernah menyampaikan ide ini pada beliau saat makan di akau Potong Lembu),  Ibrahim Sattah, Machzumi Dawood, dan nama-nama lain. Tentu kedai yang dipilih adalah kedai di mana mereka kerap nongkrong.

 ***

Beberapa waktu lalu, saya pernah punya rencana belajar menjadi barista. Rencana itu gagal, karena Pak Mardawa, teman dari PLN Batam itu pindah tugas ke PLN pusat. Rencana itu memang rencana beliau. Saya tertarik ikut.

“Belajarnya di Singapura,” kata Pak Mardawa. Dia sudah mengatur jadwal agar bisa belajar hanya pada akhir pekan saja. Sekolah barista itu ia temukan lewat internet.

 Saya bertemu Pak Mardawa beberapa waktu lalu dalam resepsi ulang tahun  PT PLN Batam. Kami sempat cerita tentang kopi lagi, tapi saya lupa bilang bahwa lewat belahar secara otodidak, saya sudah merasa menjadi barista amatir.  Saya berimajinasi – ini mungkin efek kopi juga – punya sebuah kafe, di mana di situ puisi dibacakan tiap hari, dan sastra diperbincangkan sambil menikmati segelas kopi racikan saya sendiri, si barista amatiran ini.

 Apa nama kafenya? Saya punya beberapa alternatif.  Tapi, rasanya yang paling pas adalah Coffe Tale. Ini nama kafenya. Tagline-nya: …. and we live coffeely ever after! Nah, sekarang adakah yang mau kasih saya modal? ***

Saturday, October 9, 2010

Keraguan

Sajak Rupert Brooke

KETIKA tertidur ia, jiwanya, aku tahu,
Pergi mengelanai luas udara
Sayap-sayap, yang tak pernah menerbangkanku,
meninggalkan ia rebah, diam dan tenang,
menunggu, kosong, berbaring menyamping,
Seperti gaun tersampir di bangku...
Aku tahu ini, dan belum juga aku tahu
Keraguan yang tak akan tertolak itu

Selama jiwanya ada di entah di mana,
Apa yang membentangkan murka di wajahnya?
Tak ada apa-apa, yang menimbang berjaga
di balik rentangan tirai matanya,
Apakah itu dia, gerhana diri sendiri,
Bayangan, ringan dan tak terhentikan,
Di sekira sudut bibirnya,
Senyum yang sejatikah itu dia?

Dan ketika jiwa tak ada di sana,
Kenapa wangi ada pada rambutnya?

Cinta

Sajak Rupert Brooke

CINTA itu koyak pada tembok, gerbang tumbang,
yang datang bertandang tak akan pernah lagi ia pergi;
Cinta mengikhlaskan gua perlindungan ke Takdirnya.
Tiba sudah segan, dia yang mencinta yang tak tercintai.
Lalu, dua mulut yang sama hausnya, saling menemukan,
sakit terlupa, terbungkamlah tangis hati yang rapuh,
di surga -- seperti itu saja, tapi terbawa jua
nestapa mimpi sendiri pada rengkuh lengan, dan berbaringan
sendiri di malam kesunyian, dengan sebayangan hantu.
Ada yang membagi malam. Tapi mereka tahu cinta mendingin,
Jadi palsu dan jemu, apa yang dulu semanis-dusta.
Tak ada lagi pukau di tangan dan bidang bahu,
Hanya gelap, kian gelap, mati dari kecup ke kecup.
Semua ini adalah cinta; dan semua adalah cinta kecuali ini.


Rupert Brooke

Friday, October 8, 2010

 Mario Vargas Llosa

The Nobel Prize in Literature 2010 was awarded to Mario Vargas Llosa "for his cartography of structures of power and his trenchant images of the individual's resistance, revolt, and defeat".

Wednesday, October 6, 2010

Amor Amatoria

BULAN matang, bulan datang, aku memetik Engkau, dengan tangan
gamang dan setimbang bimbang. Malam matang, malam datang

Bulan lapar, bulan liar. Engkau mengelelawarkan aku, mengeluarkan
aku dari buta gua batu, memburu Engkau. Malam lapar, malam liar

Bulan tajam, bulan dalam. Aku nelayan penyelam, lama mengasah
sula, pada Engkau kupejamkan mata-luka. Malam tajam, malam dalam

Tuesday, October 5, 2010

Sekenang Panjang Jalanan

WAKTU itu gula-gula getah, lelah kukunyah, lengket di langit-langit. Aku lupa, semanis apa dulu ia, saat ke lidahku kau mengecupkannya

WAKTU itu lebah madu, mengira mataku bunga, ia hisap airmata di situ. Airmata itu? Masihkah ia manis dan kau menyimpannya di tangismu?

WAKTU itu selusin pensil kelir. Kau memberiku sebuku buku gambar. Kau minta aku menggambar pelangi, panjang, hingga halaman akhir

WAKTU itu sekantong kata yang labil, kita seperti sedang main skrabel. Berbincang dengan kalimat acak, ingin yang tak terlacak

Aku Tahu pada Siapa Ini Kutanya

KAUKAH itu, perempuan daun pisang? 
Yang tertebas dari pelepah lepas, yang hijaunya 
sendiri, seperti dicarik dari larik pelangi?

Kaukah itu, perempuan kerang? Kerang yang 
mengatup diam cangkang, yang menutup bisu bayang 
bimbang? Aku lelaki penyelusur hangat lumpur

Kaukah itu, perempuan kuntum rosela? Seperti
senyuman yang padam, selingkar kurva, bibir 
yang tak sampai-hati, menyebut lunglai hati

Pencuri Harta Karun

KAU cahaya, mengabur, terkubur tahun-tahun

Aku pencuri harta karun, menggali di tubuhmu,
mencari dari timbun-unggun, waktu yang rabun.  

Kau cahaya, menyimpang dari lengkung kuwung

Aku bergayut pada langitku, langit yang rapuh,
Di horison itu nanti kita saling menautkan ujung



Friday, October 1, 2010

Penyair, Buah Apel, dan Dokter yang Cantik

: M Aan Mansyur

PADA suatu pagi, dia menjelma jadi burung kecil
Lalu ia terbang dan hinggap di dahan pohon apel

Di situ dia berkicau: tentang cinta yang kacau,

Dia tahu Si Dokter Cantik itu menyimak lagunya, risau,
dari tingkap kamar, hati yang baru saja menguak mata

Ada sebuah apel jatuh, berbekas pagutan kelelawar!

Kelelawar itu terkapar, kematian menjadi sangkar
Seringai taringnya berkata: aku mati tak sia-sia!

*

PADA lain pagi, dia menjelma jadi burung biru,
Dan terbang lalu hinggap ragu di jendela itu...

"Aku mau jadi pasienmu. Beri aku nasihat medis,
untuk derita-hati dan kelainan-jantungku," kata
si burung biru, Si Dokter Cantik tak mendengar

Ia terkurung hingar, pengering rambut menari, di
rambutnya basah, mimpi lebat hujan malam tadi...

Ada lagi buah apel jatuh, menimpa kodok hijau!
Keduanya: apel dan kodok itu, membusuk bersama

*

PADA suatu waktu, ia tak peduli apakah itu pagi
Ia menjadi burung kecil, dengan ekstemporanea,
140 lambang bunyi, menyambung galau jadi medley,
lalu hinggap dari ranting ke ranting pohon apel

Ia mendengar Si Dokter Cantik itu beriang beria

Menyanyikan: biar cinta, biar cinta... Dia lupa,
itu lagu Kahitna atau lirik Katon Bagaskara?

Ketika itu tak ada buah apel yang jatuh lagi...