Tuesday, December 30, 2008

9 Pertanyaan untuk Richard Oh: Menggenggam Dunia lewat Buku




dari Jurnal Nasional

DEMI kecintaannya pada buku, Richard Oh rela meninggalkan bisnis periklanan yang sudah ia tekuni selama belasan tahun. Kemudian lelaki kelahiran Tebingtinggi, 30 Oktober 1959, ini mendirikan sebuah toko buku. Sebuah impian lama yang masih tersimpan rapi di dalam benaknya.



Tak hanya itu, sebagai bukti kecintaannya pada dunia kesusasteraan, pemilik toko buku Quality Buyers (QB) World ini menyelenggarakan Khatulistiwa Literary Award (KLA). Sebuah ajang yang bertujuan mendukung proses kreatif para penulis. Sayangnya langkah Richard tersebut tidak hanya menuai pujian, sejumlah kecaman terhadap KLA juga dialamatkan kepada ayah tiga orang anak ini. Berikut petikan obrolan Richard dengan Jurnal Nasional di Galeri Cemara, Jakarta, beberapa waktu lalu.

1. Apa yang menarik Anda ke dunia sastra, bukankah Anda sudah punya bisnis yang mapan?

Sejak kecil saya gemar membaca. Bagi seorang anak yang hidup di kota kecil seperti saya, buku menjadi sebuah jendela untuk melihat dunia luar. Saya selalu menyisihkan uang jajan supaya dapat membeli buku.

Saya memiliki pengalaman berkesan ketika masih kecil. Waktu itu saya menyukai buku Tuanku Rao. Buku itu termasuk langka, diterbitkan tahun 1965 dan bercerita mengenai masuknya Islam ke Tanah Batak. Suatu saat di sebuah bazar buku, saya melihat buku tersebut. Kemudian saya masuk dan bertanya pada penjaganya berapa harga buku itu. Kemudian ia memberikan buku itu pada saya dan berkata, "Aku kenal kau, kau amat mencintai buku. Ini adalah dari aku untukmu."

2. Apa keluarga Anda waktu itu mendukung minat Anda akan kesusasteraan?

Seperti orang keturunan pada umumnya, keluarga tidak terlalu mendukung saya untuk aktif di dunia kesenian. Mereka lebih senang jika saya menggeluti bisnis dan mencari kesuksesan secara materi.

Kemudian setelah menikah, saya melanjutkan pendidikan saya di Sastra Inggris dan Pengarangan dari Universitas Wisconsin, Madison, Amerika Serikat. Ketika itu keluarga saya setuju-setuju saja, meski pasti ada kompleksitas yang harus dihadapi.

3. Sepulangnya Anda dari Amerika, Anda langsung berkecimpung di dunia sastra?

Tidak. Pulang dari Amerika saya bekerja di beberapa perusahaan periklanan. Beberapa tahun kemudian saya mendirikan perusahaan sendiri. Cukup sukses, kami memiliki ge-dung sendiri dan berhasil memenangkan beberapa penghargaan.

Dunia periklanan cukup menarik karena di sana saya dituntut untuk kreatif dan bermain-main dengan imajinasi. Tetapi, entah kenapa, setelah menjalaninya selama 15 tahun saya mulai merasa jenuh.

Puncaknya pada kerusuhan 1998, saya berpikir untuk mengubah hidup saya. Saya ingin mengisi hidup dengan hal-hal yang saya senangi, yaitu buku. Kemudian saya membuka Quality Buyers (QB) World dan memilih untuk menghabiskan waktu dengan teman-teman sastrawan dan film maker.

4. Apa pasar QB World cukup menjanjikan?

Tidak juga. Pasar buku-buku impor kecil, saya sudah buktikan, sebesar apa pun toko yang didirikan penghasilannya tetap sama. Meski secara ekonomi tidak menghasilkan banyak uang, saya cukup senang karena bisa memuaskan obsesi lama saya.

Saat ini banyak pemodal besar seperti Gajah Tunggal (Kinokuniya), Aksara dan nggak lama lagi grupnya Lippo bermain di ranah yang sama. Saya senang karena pencinta buku akan memiliki banyak pilihan. Tetapi, saya sedikit kecewa dengan pemilihan buku mereka yang kurang selektif dan hanya memenuhi kebutuhan kalangan itu-itu saja.

5. Apa yang melatarbelakangi Anda membuat Khatulistiwa Literary Award (KLA)?

Konsep awal yang saya bicarakan bersama Sutardji Calzoum Bahri, Danarto, dan seorang teman dari Jepang adalah membuat penghargaan sastra yang diberikan oleh kalangan sastrawan itu sendiri. Tujuannya mendorong para penulis untuk tetap berkarya.

Hadiah yang kami berikan juga cukup besar yaitu Rp100 juta untuk kategori puisi dan prosa, serta hadiah Rp25 juta untuk penulis pemula. Hadiah tersebut cukup bagi teman-teman agar setidaknya dapat berkonsentrasi selama setahun untuk menghasilkan karya.

Saya sering mendengar dari teman-teman tentang award ini dan award itu yang seringkali hadiahnya dipotong. Umpamanya hadiahnya Rp50 juta, tapi ternyata yang turun cuma Rp5 juta.

6. Bagaimana mekanisme penilaiannya?

KLA memiliki mekanisme penilaian sendiri. Karya-karya dinilai secara bertahap oleh beberapa dewan juri yang berasal dari kalangan sastrawan yang karyanya tidak menjadi peserta, akademisi serta wartawan yang medianya memiliki rubrik budaya.

Kalau panitia sudah memilih ketua juri, ketua terpilih bertanggung jawab untuk memilih anggota juri. Kemudian ada tiga tahap pemilihan, tahap pertama sekian orang juri memilih sekian buku yang telah diterbitkan dalam kurun waktu 12 bulan, mulai dari Juni tahun lalu sampai Juni tahun sekarang.

Semua karya harus orisinal belum pernah diterbitkan di mana-mana, dalam bentuk sastra, kategori sastra dan tidak merupakan terjemahan, atau perkembangan dari cerita lain. Setelah tahap pertama sepuluh karya dipilih, tahap kedua penilaian dilakukan oleh kelompok juri yang berbeda lagi dan mereka akan memilih lima dari sepuluh karya di tahap pertama. Pada tahap ketiga akan ditentukan siapa pemenangnya, juga oleh juri berbeda dan diumumkan pada akhir tahun.

7. Bagaimana tanggapan Anda terhadap pihak-pihak yang mengecam diselenggara-kannya KLA?

Saya pikir pihak-pihak yang mengecam penyelenggaraan KLA tidak mengerti mengenai apa yang ingin kita ciptakan. Tetapi, saya sadar tidak ada penghargaan yang pemenangnya disepakati oleh semua pihak.

Banyak yang mengkritik macam-macam, komentar macam-macam tetapi itu semua saya anggap seperti animo yang belum tersalurkan. Kami hanya ingin memberikan hadiah yang cukup besar pada penulis, sehingga dengan hadiah itu mereka bisa berkonsentrasi pada karyanya.

8. Apakah kritikan itu berpengaruh pada Anda?

Iyalah. Capek juga delapan tahun bikin penghargaan nggak dihargain. Dikritik ini itu, yang menang juga sama komentarnya nyinyir. Padahal, saya sudah berusaha untuk terbu-ka.

Tahun depan saya mau mengubah sistem penilaian. Saya mau meniru penghargaan Goncourt yang ada di Prancis, di mana saya mengundang beberapa seniman yang capable untuk menilai sejumlah karya. Lalu mereka menentukan pemenangnya. Anggota dewan juri tidak dipublikasikan, yang dipublikasikan hanya ketuanya.

9. Apakah Anda sendiri seorang penulis sejati?

Apa yang saya lakukan selalu berkaitan dengan kreativitas terutama di bidang kepenu-lisan. Karena, sejak dulu saat sekolah di Amerika saya belajar sastra dan kepengarangan. Saya sendiri menulis tiga novel dalam bahasa Inggris. Kecenderungan saya selalu mengarah kepada kreasi yang menggunakan kata-kata, menciptakan sesuatu dengan medium penulisan.

Sajak yang Ingin Saya Baca di Tahun 2009

1. Saya ingin membaca sajakmu, sajaknya, sajakku, sajak siapa saja, yang bukan penyair pun boleh turut. Artinya, kamu, dia, saya, dan siapa saja harus terus menulis sajak di tahun 2009. Jangan berhenti menulis sajak. Sajak tidak akan ada kalau kita tidak menuliskannya. Tulislah sajak yang banyak dan syukur-syukur sajak banyak itu baik.

2. Saya ingin membaca sajak yang peduli pada bahasa. Bukan sajak yang diperalat oleh penyairnya. Banyak penyair yang menunggangi bahasa lewat sajak, seolah itu ia lakukan untuk sajak, padahal dia melakukan itu untuk dirinya sendiri. Dari sajak-sajak yang demikian itu sajak dan bahasa tak dapat apa-apa. Hanya tertimpa beban saja.

3. Saya ingin membaca sajak yang lahir dari keasyikan penyairnya mencari bagaimana sesuatu diucapkan dalam sajaknya. Saya ingin penyair tidak hanya asyik pada apa yang dia ucapkan lewat sajaknya. Segala sesuatu di luar sajak sudah menyediakan bahan untuk diucapkan lewat sajak. Tugas penyair adalah mengucapkan hal itu dengan caranya sendiri, maka dia harus mencari cara yang khas, cara yang unik, cara yang asyik, cara yang Sajak.

4. Saya ingin membaca sajak yang membangkitkan gairah para kritikus. Saya percaya bahwa selama ini ketika kita merisaukan ketiadaan kritikus, maka yang pertama harus disalahkan adalah penyair sendiri. Penyair harus bertanya kenapa dia tidak bisa melahirkan karya yang menggoda kritikus, yang menggairahkan kerja-kerja kritik sastra.

5. Saya ingin membaca sajak yang memperkaya batin saya, bukan sajak yang membuat batin saya bangkrut. Saya ingin membaca sajak yang membuat saya pandai memaknainya, bukan membuat saya menyerah karena saya dibikin merasa bodoh.




Sajak Khrisna Pabichara
belajar menapak sajak

       —untuk hasan aspahani

sebagai janin, aku enggan kembali ke rahim kata. aku ingin menjadi bayi. belajar duduk, belajar bersila. belajar berdiri, belajar berlari. belajar menapak sajak

sebagai bayi, aku enggan kembali ke masa kanak. aku ingin menjadi dewasa. bisa duduk, bisa bersila. bisa berdiri, bisa berlari. bisa menapak sajak

sebagai dewasa, aku enggan kembali ke dunia remaja. aku ingin menjadi renta. belajar duduk, belajar bersila. belajar berdiri, belajar berlari. menanggalkan jejak sajak

jakarta, desember 2008



Monday, December 29, 2008

Sajak Steven Kurniawan
Dalam Komik

       untuk Hasan Aspahani

entah mengapa ketika
ingin ucapkan sayang
tulus dari sanubari
namun hanya terucap
kata-kata tertera di
dalam balon percakapan

entah mengapa sebelum
sempat ucapkan sayang
kau sudah terlanjur
membacanya lebih dulu
kata-kata tertera di
dalam balon percakapan


30 Desember 2008






Saturday, December 27, 2008

NASIB SANG PENEBUS KATA

DI tiang salibnya sendiri Sang Puisi berkata,
"Penyair, penyair kenapa kau tinggalkan aku?"





Thursday, December 25, 2008

Pangram Berbahasa Indonesia

Saya memperkenalkan pangram berbahasa Indonesia:

Keledai bodoh tak bisa mencongak berapa v + w = z x q? Kata babi, "fyuh, pakai komputer saja, beres!

Pangram adalah frasa yang mengandung semua huruf dalam deret alfabet. Dalam Bahasa Inggris pangram yang paling tersohor adalah ini: A quick brown fox jumps over the lazy dog.

Di Wikipedia ada sederet contoh lagi. Misalnya ini:

Big fjords vex quick waltz nymph.
Junk MTV quiz graced by fox whelps.
Bawds jog, flick quartz, vex nymphs.
Waltz, bad nymph, for quick jigs vex!
Fox nymphs grab quick-jived waltz.
Brick quiz whangs jumpy veldt fox.
Glib jocks quiz nymph to vex dwarf.
Bright vixens jump; dozy fowl quack
Quick wafting zephyrs vex bold Jim.
Quick zephyrs blow, vexing daft Jim.
Sphinx of black quartz, judge my vow.
Sex-charged fop blew my junk TV quiz


Nah, Anda berminat menyusun versi Anda juga? Berbagilah!



Wednesday, December 24, 2008

Acep Tersesat di Hamparan Estetika Nirwan

Oleh Hasan Aspahani

Acep Iwan Saidi pasti bukan sembarang orang. Dia pasti bukan juru peta gadungan, dan pasti bukan tukang sulap pinggir jalan. Ia dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Ia juga anggota Forum Studi Kebudayaan ITB. Itulah keterangan di bawah namanya, tercantum di tulisannya.



Tetapi, lihatlah, orang sekualifikasi dia pun tak sanggup memahami sajak-sajak Nirwan Dewanto. Bacalah tulisannya di Kompas, Minggu, 14 Desemper 2008 "Mitos Bara Biru Nirwan Dewanto". Acep menutup tulisannya dengan kalimat begini: ...Kapankah pembaca seperti saya bisa memahami hamparan estetika tersebut? Barangkali kelak (HAH: Artinya sekarang belum!), setelah ujaran ND itu menjadi penanda yang menancap di sebuah anak tangga (HAH: Kapankah itu?).

Acep melanjutkan kesimpulannya, ... melalui Jantung Lebah Ratu ND tampak tengah mencipta mitos lain pada bahasa. Karena itu, dibutuhkan pengujaran yang terus-menerus (HAH: Oleh siapa? Dan bagaimana caranya, serta untuk apa?) sehingga menjadi seperangkat linguistik yang socialized. Dengannya kemudian kita tidak perlu lagi bertanya, mengapa bara itu biru, tak lagi merah menyala api!

Kalaulah itu syarat untuk sampai pada pemahaman atas sajak Nirwan, maka menurut saya, siapapun tidak akan pernah sampai, artinya sajak Nirwan "yang polos itu" tidak akan pernah terpahami. Kenapa?

Sebentar saya akan jelaskan, setelah saya lari sebentar ke hal lain. Cara Acep menyimpulkan bacaannya atas sajak Nirwan mengingatkan saya kesimpulan A. Teeuw atas sajak mantera Sutardji Calzoum Bachri ("Tergantung pada Kata", Pustaka Jaya, 1980). Bila Nirwan di mata Acep sedang menawarkan mitos lain pada bahasa, Sutardji kata Teeuw sedang merombak konvensi bahasa. Sampai akhirnya, Teeuw pun pasrah, baginya konvensi pribadi Sutardji akan sampai pada dua kemungkinan: diterima dan diwajarkan menjadi unsur bahasa, atau akan hilang sebagai angin lalu, setelah memberi kesegaran sebentar sebagai apa yang ia sebut fashion sastra!

Apa yang terjadi kini atas sajak-sajak Sutardji setelah 28 tahun "ramalan" Teeuw itu? Kedua kemungkinan yang ia sebutkan tidak terjadi. Bak pakaian, sajak Sutardji tidak menjadi pakaian kita sehari-hari, karena memang bukan untuk itu ia dirancang oleh si penyair. Sutardji menurut saya merancang dan membuat pakaian penobatannya sendiri, pakaian kebesaran.

Tetapi sajak Sutardji juga tidak berlalu sebagai fashion sastra, hanya sedap dipandang saat dilenggak-lenggokkan di panggung, lalu berlalu begitu saja. Sutardji tidak hendak bikin tren sesaat untuk ramai-ramai diekori, tetapi dengan amat sadar - baca kredonya yang jelas tegas itu - ia telah menawarkan sebuah karya puncak.

Saya tak dapat membayangkan bagaimana caranya "mitos-mitos" (seperti ditemukan Acep) yang ditawarkan Nirwan dalam sajak-sajaknya dipakai terus-menerus lalu menjadi sebuah kewajaran.

Apa yang ditawarkan Nirwan sejak awal sudah ditolak. Ia tidak percaya pada kemampuan pembaca sajak-sajaknya (baca tulisan saya 13 Cara Membaca Sajak Nirwan). Lagi pula siapa dan bagaimana caranya "mewajarkan" bahwa "bara itu biru"? Dengan cara menyebutnya terus-menerus? Aneh, sungguh aneh. Kita kelak mungkin tidak akan bertanya lagi tentangnya, bukan karena kita menerima, tapi karena kita sudah lupa. Artinya, sajak Nirwan tidak akan pernah dipahami. Untuk itu saya berani mempertaruhkan reputasi saya sebagai Juru Peta Gadungan, Tukang Sulap Tepi Jalan, dan (Aha! Ada satu lagi gelar kebanggaan saya) Penyebar Kebodohan di Milis-milis!

Dalam tulisannya di halaman Facebook-nya, Nirwan menegur orang yang entah siapa yang berkecenderungan melakukan - apa yang baru saya dengar dari dia - "name dropping", yakni mengutip sejumlah pendapat dari sejumlah nama untuk menguliti sajak-sajak - atau apapun namanya - di buku Nirwan.

Tapi apa daya, dengan tujuan yang beda, Acep, di tulisannya, pun melakukan hal yang sama. Baiklah, kita hargai upayanya untuk menempuh jalan berliku agar bisa memahami sajak Nirwan. Di enam alinea pertama Acep sudah mengutip Barthes, Berg, dan Louis Althusser. Dan di ujung tulisan Umberto Eco pun hadir. Itulah jalan yang disebut Acep ia pakai untuk mendekati sajak-sajak Nirwan. Meskipun hasilnya, Acep akhirnya sadar ia tak kunjung bisa mendekat. Ia sadar ia telah gagal. Satu-satunya hal yang bisa saya simpulkan dari tulisan Acep adalah betapa beban bayang-bayang Nirwan akan semakin panjang dan berat.

Gemar Mengumbar Gambar



Gambar Bagus yang Tak Sempat Dikirim ke Acara Gemar Menggambar di TVRI Asuhan Pak Tino Sidin


Tulis Akhir Postingan Anda

Tuesday, December 23, 2008

Bagaimana Mengukur Hidup dengan Mati?

Aku hitung nyawa, hidup, waktu, tubuh
dan yang kelak lunas dengan harga mati



Nyoman Masriadi, "Kena Gigi Uang Kembali" (2006), acrylic on canvas, 140 x 190 cm.



Monday, December 22, 2008

Kepada Dino Pati Djalal

Apa bisa? Selalu termulai dengan bertanya,
buat Tuan, yang sejengkal selalu dari dia.

Apa bisa? Ini negeri anak-anak mengemiskan
apa saja, sebab kemiskinan cuma angka-angka
di rapat kabinet kita, dan serakan notes,
yang kau rapikan di laci meja Istana Negara.

Semalam di Jakarta, aku tak tahu apa lagu,
seperti sama saja syair dan nada: luka, luka,
luka. Perban tak pernah sampai membalut,
darah netes, darah netes, ah negeri cedera!

Apa bisa? Tuan, aku belum jauh jalan, sebab
pincang ini sudah lama, sejak langkah pertama.







Cerita Buat Johani Mikaela

(Maaf, Chairil, Aku tak Kenal Dien Tamaela-mu itu)


Beta Heraldrawungwaraney
Mengusik tapa dewa datu di nirwana itu
cuma mau satu: kau tahu apa kami mau.

Beta Heraldrawungwaraney
Perangkap aku di facebook-ku
Tangkap aku di multiply-ku

Beta Heraldrawungwaraney
Lepas dari kampus, kerja as a consultant,
gadget pertama beli, laptop paten ini.

Beta Heraldrawungwaraney
Jaga mailing-list, terang bunga,
mekar matahari, di mana-mana
memantik nyala puisi.

Beta online di kafe-kafe
buzz beta punya Y!M ID...

Bangun teramat pagi, di kantor
hingga 12 nanti, beta menari ikut
irama Jakarta tabuh tifa, petikan raggae
Tony Q di BB's Kafe,
buntu jalan raya,
suara tawa entah siapa: hantu
atau manusia-manusia!

Mari ikut tawa!
Mari bikin fun hari kita!
Mari berlepas-berlupa!

Beta suka bikin dewa datu marah
beta bilang: go to your own surga with your own poetry!
Datu yang terpenjara di balai-balai tua,
di pustaka-pustaka lama,
Datu tak bisa ikut beta punya tawa!

Beta online kapan beta suka
Siang, OK! Malam, that's the time.
Beta bawa puisi ke Stasiun Gambir,
ke Blizt Megaplex, ke kedai Wetiga.

Beta Heraldrawungwaraney
yang mengusik tapa dewa datu di nirwana itu
cuma tahu satu: kau tak tahu apa kami mau.



Di Luar Dada Kereta

KAU kereta, tidak bawa siapa-siapa,
mengejar waktu yang makin berjarak

Segalanya menjauh, nama-nama kota,
kilometer yang tak terangka angka

Di jendela kau cuma bisa kenali senja,
malam masam, sinar bulan yang enggan,
singsing pagi, matahari tak lagi berarti.

Aku, cuma penumpang amat gelap, tak
berkarcis tak bertuju: tak tahu sejak
bila, telah buta mulut, telah bisu mata

Menyanyat diri, duga kini: Ini kereta
apa di sini juga sekubur sehidup umur?




Rumahku dan Kuburku

Rumahku dan kuburku, dari
unggun-kobar nyala sajak

Aku terbakar dan mengabu,
hidup dan mati di panas itu

Dari hutan-Mu aku tebang
pohon kata: Kayu yang amat
tahu betapa tajam kapakku.

Nyala yang kujaga, kupercikkan
dari jemariku yang api-batu

Tak ada Waktu, di rumahku,
segalanya adalah ini yang sekarang,
itu yang kemarin, dan yang mau datang,

Segalanya fana, segalanya baka

Rumahku dan kuburku, dari
unggun-kobar nyala sajak

Aku mengasap dan menguap,
melangit menuju panas-Mu



Sunday, December 14, 2008

Nirwan, Nirwan Jangan Menangis....

Salam sejahtera, Tuan Nirwan. Jangan terkejut atas surat ini. Saya merasa perlu membalas surat kertas hijau lumut yang Tuan tulis itu. Meskipun saya tahu itu tidak ditujukan pada saya. Saya merasa ada beberapa bagian yang ada kena mengena dengan saya, dan karena itu saya harus membalasnya. Anggap saja saya ini kegeeran saja. Besar kepala.


Di surat itu Tuan bilang agar diri Tuan dan tulisan-tulisan Tuan jangan dilebih-lebihkan. Tuan tampaknya jengkel diberi julukan macam-macam. Tuan merasa aneh sebab Tuan mengaku Tuan sendiri suka meremehkan diri-sendiri, tetapi orang lain menganggap diri Tuan begitu penting. Saya termasuk orang yang menganggap Tuan adalah orang penting. Nama Tuan dulu melejit bak komet, dan saya membaca kabar Tuan dengan kagum campur bangga. Intelektual muda, itulah dulu yang kami bayangkan tentang Tuan. Dan itulah kenyataannya bukan? Baru-baru ini Majalah Tempo mendaftar makalah Tuan sebagai salah satu dari 100 naskah penting dalam sejarah negeri ini. Wah, itu luar biasa, lo, TUan. Cemerlang, dan saya yang masih amat muda kala itu jadi punya harapan dan semangat untuk menggosok diri juga agar bisa secemerlang Tuan.

Tuan kok mengelak dari sebuan kritikus sastra? Saya termasuk orang yang menganggap Tuan begitu. Saya mengikuti analisa-analisa tuan di surat kabar dan majalah. Seringkali Tuan menulis di edisi akhir tahun Kompas atau majalah Tempo. Saya menjadikan analisa Tuan itu sebagai rujukan. Apakah kini sebutan itu jadi beban? Kenapa Tuan menolak sebutan itu sekarang?

Nama Tuan memang menjulang tinggi. Dan karena tuan berada di pentas utama sastra di negeri ini, lalu disorot oleh puluhan lampu, maka bayang-bayang Tuan pun menjadi panjang, amat panjang, bahkan bercabang-cabang, membayang ke berbagai arah. Ini risiko Tuan. Saya kira Kompas dan Tempo tidak sedang mengejek Tuan ketika mereka meminta Tuan menulis tinjauan untuk diterbitkan, kan?

Tuan, bahkan di surat Tuan itu saya masih menemukan banyak hal untuk saya jadikan pedoman. Misalnya di situ Tuan bilang., "...Sebab puisi itu kerap menjadi topeng belaka bagi ketidakmampuan menulis." Nah, bagaimana Tuan mau mengelak dari kenyataan bahwa Tuan adalah nama penting, menjulang dan berbayang-bayang panjang di negeri ini? Tapi, baiklah, saya menunggu saja bila Tuan jelaskan kenapa Tuan mengelak dari sebutan kritikus.


Saya, hakkulyakin, adalah dua jenis pembaca yang Tuan sebut itu. Saya adalah juru peta gadungan sekaligus tukang sulap pinggir jalan. Maka, kitab sajak Tuan yang Tuan bilang polos itu pun tak sanggup saya baca. Nyatanya, kitab itu kita tahu nasibnya cemerlang, dan saya jadi belajar membacanya lagi. Jangan-jangan ada yang tak betul dalam proses belajar saya mendalami puisi selama ini. Jangan-jangan saya cuma sok tahu, dan Tuan, saya bahkan sedang berusaha menolkan pengetahuan saya lalu mulai belajar ladi. Sungguh. Sebelumnya entah kenapa dengan serta-merta saya teringat dengan apa-apa yang Tuan tuliskan dulu di tulisan-tulisan penting itu, saat membaca sajak di buku Tuan yang polos itu.

Saya menemukan petuah penting lagi di surat Tuan. Tuan bilang, "Jangan meliuk-liuk, kalau Tuan belum bisa nulis kalimat yang biasa-biasa saja." Nah, bagaimana saya tidak menganggap Tuan penting?

Sesungguhnya saya sedih membaca surat Tuan. Tuan tampak sedih di surat itu. Tuan seperti menyandang beban berat dan ingin lepas dari beban itu. Saya jadi seperti membaca sambil diiringi lagu Slank "Bimbim, Bimbim Jangan Menangis". Dengan maaf pada mereka saya ingin juga mengutip judul itu seraya menggantikan dengan nama Tuan: "Nirwan, Nirwan Jangan Menangis". Jangan menangis, ya, Tuan...


Salam dari Batam,
Hasan Aspahani

Ajalmu Jauh di Pulau

Angin, air, pulau, kau dan jauh pacarmu
Terang, laut, bulan, kau dan manis cintamu
Perahu, jalan, ole-ole, kau dan leher gadismu
Waktu, sampai, iseng, kau dan rapuh tahunmu

Dia, peluk, pangku. Aku, kau, dan sendiri ajalmu



Sajak yang Tak Putih

Kenapa jua kita mesti teringat pada mati?
Langit menari, tujuh warna dibelah pelangi
Basah rambut wangi tubuh dibasuh hujan tadi
Aku minta pandangmu saja, mata nyatu hati

Kenapa masih kita mesti menyanyi berdoa?
Tanganmu tanganku menutup luka menganga
Pelangi tak sempat tanya: itu merah apa?
Langit tiba-tiba telah pula menutup mata

Tadi senja mau tiraikan kelambu telus sutra
Belum kita rebahkan lelah sepasang koyak ia
Kau tarik aku, aku tarik kau, kita telah sama:
Ini seperti tarian akhir, sebelum Mati tiba...



Keris Berkarat

Di ranjang, di ranjang, ini pergumulan panjang
aku sudah terlempar dari mimpi dibanting bayang

Bulan kacau, terang kerontang, bantal koyak,
tadi kutikam keris, kukira dadamu yang kuiris!

Bulan kacau, cahaya bertukar redup ke kerlip,
ini di sepuluh jariku darah siapa melumuri?

Keris tak ada lagi, cuma serbuk karat menyeri di
enam, tujuh, sembilan luka di punggung di dada...





Sudah Setajam Pedang

Kami masuk ke malam, duduk di gardu,
menjaga daerah mati, samakan saja
bersamamu atau tidak bersamamu

Bukan mau bilang: aku berani hidup,
pandang terasah, sudah setajam pedang

Tak susah impikan merdeka, tetapi
kepastian itu bintang redup cuma!

Ya, sejak itu, waktu jalan. Tapi
jangankan nasib waktu, nasib sendiri
pun kami kini tak ada yang bisa tahu.




Lain Kabar dari Lain Laut

Empat belas baris sesal dalam sesoneta
Tentang ketololan penyair dan pacarnya
Padahal apakah ada yang bisa dipercaya,
kelasi kapal bersauh pembenci dermaga?

Ia ngaku luka, pada bekas kecup tubuhnya,
tahukah pula, ia pun tinggal luka di situ,
Di tubuh pacarnya? Sama luka, darah sewarna
Ke laut dan langit biru, menujukan segala tuju

Kaukenang ia kemudi, kemudian bujur buritan,
Berbuih nafasmu di antara ombak berdustaan
Ini pelayaran menyatukan waktu dan pertanyaan
Yang tinggal di pelabuhan jiwa tak berjawaban



Tak Ada yang Berhenti di Sini

Mana mereka yang mau tuak berkendi-kendi?
Cuma seregu pengecut dan badut lalu tadi...

Pemeta gadungan dan tukang sirkus tepi jalan

Para pelayan perempuan minta lekas pulang,
Menghapus gumpal gincu di sudut-sudut bibir...

Tak tahu ada Mati mengulur tangan ke leher,
Tak singgah di ruang berbaris botol tuak,
Cuma penyair pinggir, sembunyi di larik sajak!

Mana mereka yang mau tuak berkendi-kendi?


Sajak yang juga Sia-sia

Sajak yang sia-sia, tak kan kutuliskan lagi
Tentang kau yang datang pada penghabisan kali
Tak bermetafora warna kembang: mawar dan melati

Sajak yang sia-sia, yaitu padanya kita saling
Menimbang cinta, dan akhirnya membimbangkannya,

Pada sajak yang sia-sia, hati berjeruji besi
Dikurung dan mengurung sepi, 'nunggu vonis mati



Wednesday, December 10, 2008

Linda, Linda, Linda: Kau Tahu Siapa Juaranya?

(Tanggapan atas Linda Christanty "Pembunuhan Sultan dan Sisir George Bush dalam Sastra Kita" di Kompas, Minggu, 7 Desember 2008)

Oleh Hasan Aspahani

PELAJARAN penting kartografi: dalam sebuah peta wajib ada tanda utara dan skala. Tanpa tanda arah utara, secarik peta tak ada gunanya, tak bisa menunjuk ke arah lain-lainnya. Tanpa skala, maka jarak tak tertebak.



Saya suka bilang, tulisan-tulisan akhir tahun tentang sastra, pada beberapa tahun belakangan yang saya ikuti seperti peta yang tak lengkap. Selalu begitu. Padahal, orang seperti saya amat memerlukan peta itu. Orang lain - di negeri sastra ini - mungkin saja tak peduli, tapi saya tidak. Bila peta yang saya dapatkan mengecewakan, maka saya pintar-pintar sendiri membuat peta sendiri. Tentu itu untuk perjalanan saya saja. Saya bukanlah seorang juru peta itu.

Bagaimana dengan tulisan Linda Christanty "Pembunuhan Sultan dan Sisir George Bush dalam Sastra Kita" di Kompas, Minggu, 7 Desember 2008? Buat saya sama saja, peta itu tidak lengkap, skalanya terlalu kecil, bahkan ini kali sepertinya tanpa arah utara, terutama ketika ia membahas puisi - ini ranah yang paling menggairahkan saya. Saya tidak perlu minta maaf pada siapa-siapa bukan bila tak terlalu mengikuti perkembangan prosa.

Linda menulis begini: Bagaimana dengan puisi? Penyair Joko Pinurbo, dalam sebuah perbincangan kami, berujar bahwa masa depan puisi kita suram. Penyair bagai kehabisan ide kreatif. Pola berulang. Epigonisme masih terjadi.

Dari mana konteks ini dan hendak dibawa kemana? Kenapa Linda meminjam mulut Joko Pinurbo? Saya kira, sebagai pemeta dia kurang survei lapangan. Sebagai sarjana sastra mungkin dia sudah punya bekal peta dasar yang baik. Tapi, untuk menghasilkan sebuah peta baru yang lebih baik survei lapangan adalah mutlak. Sebab bentang alam itu dinamis. Ada lembah yang dikeruk, sungai yang berubah belokan, bukit yang runtuh, hutan yang jadi sawah, sawah jadi jalan tol, perumahan, pabrik. Dan semua perubahan itu harus dipetakan.

Saya meng-SMS Joko Pinurbo dan mengajak diskusi soal kesuraman itu. Dia bilang, konteks ucapannya itu adalah untuk sajak-sajak yang dia nilai sebagai juri Anugerah Pena Kencana. Bersama Linda, dan Sitok Srengenge, Joko Pinurbo tahun ini menjadi juri (lagi). Juri, katanya dan juga kata Sitok kesulitan mendapatkan 100 puisi terbaik sebagai mana ditargetkan panitia. "Mungkin hanya 66 sajak saja yang pantas hingga akhir penjurian," kata Joko Pinurbo.

Nah, kenapa Linda tidak memaparkan saja secara baik hasil penjurian itu? Kenapa dia mengutip Joko Pinurbo? Setujukah dia dengan Pinurbo? Lalu kenapa pula di akhir tulisannya ia bilang: kesusasteraan kita justru mengyisaratkan masa depan yang lebih baik, unik, segar dan bermutu? Saya sampai di sini mulai menyimpulkan peta Linda kehilangan arah utara.

Saya mencoba melupakan hal itu, dan ingin mendapatkan pelajaran dari hasil bacaannya atas Afrizal, satu dari empat nama yang ia bilang bersinar sepanjang tahun ini. Tentang sajak Afrizal Linda mengatakan: ... Dulu saya tak berminat pada sajak-sajaknya. Seperti ada lubang gelap di situ. Barangkali disengaja. Barangkali akibat kegagalan berbahasa.

Lantas dia bilang, "belum lama ini saya membaca buku puisinya, "Teman-temanku dari Atap Bahasa". Lihat kalimat itu, "belum lama ini...." Dia surveyor yang sambil lalu rupanya. Jangan-jangan dia membaca Afrizal cuma karena dia menjadi juri Khatulistiwa Literary Award 2008 di tahap kedua. Artinya dia hanya membaca lima buku puisi yang masuk short list.

Bila di matanya tahun ini sajak Afrizal bersinar, dan dia bisa memahami (tidak lagi gelap, atau gagal berbahasa) maka Linda percaya bahwa itu bukan karena sajak-sajak Afrizal kini semakin mudah. "... tetapi karena pengalaman hidup saya kini berdekatan dengan sajak-sajak itu" Aha, Linda, Linda, Linda (Eros Chandra, saya pinjam plesetkan judul lagumu, ya), kenapa kekuatan struktur teks tidak menjadi faktor utama penilaianmu? Kenapa justru perubahan dalam dirimu yang menjadikan karya seorang penyair berubah menjadi bermutu?

Bila Linda membaca buku M Aan Mansyur "Aku Hendak Pindah Rumah" (maaf, ini bukan karena saya editornya) maka masihkah Linda bertahan pada empat nama itu? Aan, sayangnya tertahan di sepuluh besar, dan besar curiga saya Linda belum membaca buku itu. Padahal menurut saya dia amat berhasil menyederhanakan pengucapan seraya memerdalam pemaknaan. Ini kerja menyair yang luar biasa menurut saya, di tengah kecenderungan lama yang masih dilanjutkan banyak penyair yakni merumit-rumitkan pengucapan dan menggelapkan makna.

Atau sudahkah Linda membaca sajak-sajak TS Pinang? Beberapa sajaknya yang di Horison, Kompas, dan Jurnal Nasional (ah, semuanya ada di "tempat sampah" bernama situs www.titiknol.com, sebelum terbit di koran-koran itu) menunjukkan sebuah perkembangan baru: subyek sajak adalah kami - dua orang yang baru saja menikah - dan karena itu caranya merenungi dunia dan menghayati hidup menjadi amat unik.

Saya kira saya belum pernah melihat ada tendensi semacam itu di peta kepenyairan Indonesia sebelumnya. Hmm, jangan-jangan pengalaman hidup Linda belum mendekat ke sana. Entahlah. Jadi, (meminjam judul lagu Dee) tak seperti malaikat, Linda saya kira tidak tahu persis siapa juaranya. Maaf. Tentu saja, dia berhak menawarkan peta seperti itu. Dia juga bisa bilang, kertas gambar yang disediakan Kompas ya cuma sesobek itu. Dan, tak apalah kalau begitu, saya tidak bisa ambil manfaat banyak dari peta karyanya tersebut.

Permisi, saya ditunggu Chairil Anwar. Kami mau berpetualang lagi.[]

Amsal Lain Penghidupan

Memang, Bung, tak setimbang tak berimbang
gelung gelombang dari maha lautan datang,
tak terhadang ladang dibentang pagi tenang.

Memang, Bung, hidup cuma pematang, kaki
petani telanjang, meniti petang pulang,
telah ia beri pupuk pada harap dan bujuk.

Tapi, Bung, tak ada yang sia-sia ketika
di sumur yang tak berpantun dengan umur,
petani mandi sendiri membasuh lumur lumpur.


Nisan yang Lain

Benar, Bung, benar! Kematian kan
datang sendiri, ia asah belati lalu
tikam ke kalbu. Pedih memadu perih.

Apabila menangkis, itu belati sudah
sampai di leher, tersembelihlah kau!

Apabila meronta, itu belati sudah pun
datang ke jantung ruang jantung!

Apa yang kita tahu, Bung? Bubuk debu,
terembus ke muka, mengotorkan mata,
mengelabukan airmata, dan kita cuma
raja atas duka, mahaduka, pada rapuh
tahta, usia tak jua menabalkan kita.



Penangkapan Diponegoro

Kuda yang habis ringkik, menerjang ke kosong,
terperangkap senyap cuma ada di kulit kanvas.

Tuan, kuburmu kenapa lagi musti kami gali?

Bila hidupmu kembali di masa kacau balau ini
hanya membuat sesal telah kau selempangkan
semangat: gamang di kanan, tangis di kiri.

Barisan kini tak tentu tuju. Kepercayaan tumpas,
mengabu, mendebu. MAJU. Tapi, kemanakah MAJU?

Umur pun tak lunas, tak terbayar seharga ajal.

Kami telah mati, berkali-mati, sebelum berarti.
Nyala enggan negeri, antara padam dan habis api.



Kita: Aku dan Kamu!

Tak. Tak akan pernah sampai,
mungkin telah lama itu berlalu.

Tak waktuku, tak juga waktumu.

Aku mau kita ada yang merayu,
dia yang bilang, Tuan-tuan,
jeratkan aku di haluan hatimu.

Diakah itu? Tak. Aku tak tahu.

Aku makin rindu sedu sedan itu.

Walau lama, walau jauh terbuang,
kita tak sejalang, tak sebinatang.

Takluk bahaya bisa dan cuka luka.

Makin berlari, makin nyebar perih,
tapi sepori terbiar tak memedih.

Waktu kau minta waktu pada waktu
kau bilang mau hidup seribu dan seribu
dan seribu tahun lagi...

ha ha, aku yang waktu itu tak peduli.



Ajalmu Jauh di Pulau

Angin, air, pulau, kau dan jauh pacarmu
Terang, laut, bulan, kau dan manis cintamu
Perahu, jalan, ole-ole, kau dan leher gadismu
Waktu, sampai, iseng, kau dan rapuh tahunmu

Dia, peluk, pangku. Aku, kau, dan sendiri ajalmu


Dengar Itu Gadis Menyanyi

Sambil jejaki tapak di pasir ia menyanyi
Ikut apa mau angin dan suara laut padu
Bagai ia memanggil lelaki pembajak hati
Ia tunda sampai ke nada akhir sendu lagu

Para pelaut menunggu, meninggikan cemas,
Si gadis kini berpeluk dengan pantai gelap
Malam mendesak senja, kelam teramat lekas
bergandeng dengan bayang, lagu belum senyap

Siapa meluk pelabuhan? Gandeng tambatan?
Perahu singgah, tak pedulikan camar berpekikan
Itu lagu kini untuk gelap saja dinyanyikan
Para pelaut karam dalam kedalaman kecemasan

Di pantai itu nanti pagi tak ada jejak lagi
Nyanyi dan sisa lagu disapu ombak habis
Tapi, jangan kira surya tak pernah kembali
Ia hanya buta tuli dari lambai segala tangis



Wednesday, December 3, 2008

Proyek Poster



Poster # 09 - Menjadi Asbak di Nasib Sendiri atawa Biar Miskin Asal Merokok



Poster # 10 - The Real Unreallity Show!



Poster # 11 - Kata Kaki Kiri Mana Bisa Kaki Kanan Memaksimalkan Otak Kanan.


Tulis Akhir Postingan Anda

Friday, November 28, 2008

Wasiat Khatib

Lihat aku, lihat,
diseret-seret bayang sendiri,
ke pucuk bukit.

Seperti digiring
menyalin nyali
mengaji dan menguji
rasa sakit lagi

Telah tajam sepi
terasah Sepi.

Tali besar di leher

bila kutentang
makin menggenting
bila kusentak
makin mencekik

O, betapa pengecut ini
tak setabah Ismail,
masih saja
sia-sia kuharap
lenguh tolol
seekor domba.

Wednesday, November 26, 2008

Sajak Cinta Sederhana tentang Cinta yang Tak Sederhana

: Na, istriku

SEPERTI sepasang pengarang
kau dan aku masih juga suka mencitra cerita
dan setia pada nama
yang saling kita persebutkan
kau menyapaku sebagai Lelaki Pemuja Hujan
aku memanggilmu Perempuan Peneduh Beranda


Seperti kita
dua nama itu diperikatkan oleh cinta
yang bahkan mautpun enggan memisahkan

Syahdan, mereka pun amat mencintai hujan
Si Lelaki, berambut tak pernah tak basah
bermata sepeka pawang penujum cuaca
berkaki jantan dan menyimpan gaib taji

Ia telah masuki beribu kejadian hujan
Ia telah jelajah jejak hujan
dari kota-kota ke kota-kota
Ia telah petakan di langitnya: awan,
angin, dan mendung, dan kehendak hujan
yang tak tertebak.

Tetapi, yang ia tak pernah bosan
hanya melintas di depan beranda,
seperti berandamu itu, ketika itu
Si Perempuan seakan dipercemas oleh hujan
yang sebenarnya hanya gerimis
yang amat manis.

Dia Si Lelaki mungkin menunggu
tawaran untuk singgah
dari dia Si Perempuan
yang tiap kali berjalin pandang
terasa seperti jatuh kembang kamboja,
seperti patah cabang cempaka,
dan Si Lelaki tahu harus berbuat
apa: ia punguti kamboja itu,
agar basah tak singgah
di tubuh Si Perempuan,
agar dingin tak tempias ke hangat beranda
lalu dia gali dengan tangan sendiri
lubang di sudut halaman
dan ia tawarkan kebaikan, "mari kutanam
luka cempaka itu agar ia bertunasan
dan makin kurindukan wangi beranda ini."

*

DAN, seperti kita
dua nama itu diperikatkan oleh cinta
yang bahkan mautpun enggan memisahkan

Lalu, aku pun menyimak
cerita lain yang kali ini kau yang mereka-reka.

Si Lelaki dan Si Perempuan, bersama hujan
bertiga di beranda.

Hujan yang tanak bangkit dari keliaran langit
Hujan yang lunak lari dari keganasan cuaca
Hujan yang jinak ramah pada kelembutan
kuncup kamboja, pada putik cempaka.

Mereka bertiga berambut basah.
Meruah warna di kanvas meriah,
kuas menari menarik garis arkilik yang lincah.

Hujan itu ingin sekali
Si Lelaki segera memindahkannya
ke langit di bidang gambar itu.

Atau bila tidak pun,
hujan itu ingin sekali menajamkan diri lagi
di punggung Si Lelaki
Lalu menikam dan menanamkan diri
di luka-luka segaib pori-pori.


*

SEPERTI sepasang pengarang
kau dan aku seringkali juga terbawa dalam cerita
yang tak kita reka-reka.

Saat panas menyambar dari jantung api
di beranda hujan tepersia-sia sendiri,
mungkin ia iri, atau cemas
lalu gemas ia rontokkan
kamboja dan cempaka.

Ya, ia memang iri dan cemas
pada kita yang tiba-tiba beringas nakal
seperti kena demam yang seakan mau kekal
mana lagi mau peduli pada suhu
yang diterakan teriak termometer digital
pun tak mau takluk pada dosis tinggi
parasetamol, sirup teramat kental!

[sebagai hadiah ulang tahunmu, di 25 November-mu)

Monday, November 24, 2008

Proyek Poster

Poster # 05 - Bulan-bulanan di Kepala Sendiri




Friday, November 21, 2008

Proyek Poster

Poster # 04 - Terapi Cuci Otak bagi Pasien Generik



Tulis Ringkasan Postingan Anda



Mendung yang Kotor

: benz

mari singgah, sedakar lepas penat helm, dan
letakkan letih koper, pertahunan di jalur umur,

lalu kita tegakkan pandang pada tinggi menara,
"itu," kataku, "mendung yang kotor, bakal
ada hujan lumpur," kau menggeleng dan menatap
pada kunci motor. "Chevolusi, chevolusi," kudengar
seperti kata itu yang kau desiskan berkali-kali.

kau raih lagi setang motor, membanting ke arah
yang jauh menolak nyaman sangkar dan teduh sumur.

aku memetik ranting beringin, untuk bilah mengaji
lagi, kitab yang tak pernah bisa kita tamatkan...

udara tertinggal selepas kau tancap habis gas,
melaju ke arah yang jauh, aku kenal itu parfum,
lelaki yang tak meninggalkan jejak, kecuali
tumpah kopi di taplak, dan kering kembang tanjung.




Thursday, November 20, 2008

Mengeja Orgasmaya,Sebuah Tadarus Dari Orang Tak Saleh

Oleh: Abu Salman

Sebagai seorang penyuka dan penikmat puisi yang tak saleh alias seorang awam puisi. Yang tentu tak bisa kusuk dalam tadarus dan menafsir kitab puisi, maka bagi saya menikmati karya puisi itu seperti menempuh suatu perjalanan. Perjalanan dari kota ke kota. Perjalanan menelusur dari kata ke kata. Dari frasa ke frasa. Kadang seperti melaju di jalanan yang lempeng-lempeng saja tanpa kesan dan tanpa hambatan, terkadang dapat nemu berbagai menu rasa dari tangkapan indra yang terangsang oleh berbagai pemandangan dan peristiwa.

Selengkapnya baca di SINI


Tuesday, November 18, 2008

Siklus Sirkus

: Benz, TSP

TAK ada lagi misteri itu sebenarnya
bila kau artikan dia sebagai rahasia

aku sudah berkali-kali datang jadi saksi
duduk di kursi majelis ini, di hadapan
mahkamah hakim yang lupa mengetuk palu

bisakah mereka buktikan bercak darah
di jemariku itu memercik dari lukamu?

bisakah mereka usut kemana ulur tambang
itu berujung? ke sumur di halaman penjaraku?
atau ke ujung tiang gantungan?

nasib seperti siklus pertunjukan sirkus,
hore, ada yang terampil memainkan nasib,
hore, ada yang ikhlas bertepuk tangan

nasib, pun seperti kepiting capit perisai
dia menggali hanya satu lubang di pantai
yang teramat lapang teramat jauh melandai

bukankah, telah runtuh tembok di kota kita
yang dulu begitu kukuh memisahkan aku yang
rindu dan engkau yang angkuh

ada pintu di sana, dijaga sepasukan tentara
yang menyodorkan formulir yang harus kau isi
dengan sedikit dusta dan selebihnya karanglah
cerita, tentang apa saja: buah semangka,
daun cincau, padang kerangka, jalan ranjau....


Monday, November 17, 2008

Proyek Poster

Saya sedang menggarap sebuah proyek nonpuisi, yakni membuat poster. Rasanya kok ada yang tak bisa disalurkan lewat puisi. Poster lebih tepat. Saya muak melihat banyak sekali poster-poster calon anggota legislatif di Batam. Ah, di kota Anda juga pasti demikian.

Tema poster berangkaian ini berangkat dari situ: MEREKA BIKIN SAYA MALU MELIHAT WAJAH SAYA SENDIRI.

Beberapa poster sudah beres:

POSTER # 01 - Saya Ingin Melihat Bagian Diri Saya Sendiri tapi Saya Tak Bisa Membuka Pintu Ini.





POSTER # 02 - Saya hanya Bisa Membeli Diri Saya Sendiri, Itupun karena Harganya Sangat Murah.




POSTER # 03 - Beginilah Nasibku: Recycle Body, Reuse Mind, Replace Soul.





Diskusi Buku Puisi Afrizal "Teman-temanku dari Atap Bahasa"

Diskusi sastra
Jumat November 21, 2008,
Pukul 3:00pm - 6:00pm
di Cemara 6 Galeri,
Jl. HOS. Cokroaminoto No. 9-11
Menteng, Indonesia
Info Phone: 08561286005
Email: geger255@gmail.com

DescriptionTelah lewat dua dekade semenjak buku puisi pertama—penanda pemikiran Afrizal Malna memperkaya khazanah sastra di negeri ini. selama itu, puisi-puisi beserta karya-karya lain Afrizal memberikan kepada kita sebuah strategi untuk memandang dunia secara berbeda.

Pembaca dapat menemukan hadirnya obyek dan pengalaman menyehari yang ditata dengan strategi instalasi pada puisi Afrizal. Puisi Afrizal mengemban sebutan mesra puisi instalasi. Tetapi, instalasi Afrizal yang terkadang sukar dipecahkan itu, memberikan kesempatan untuk susastera yang tidak menyangkal pengalaman keseharian dan setia kepada diri.

Menyambut penerbitan kumpulan puisi yang terbaru berjudul “Teman-temanku dari Atap Bahasa”, Bale Sastra Kecapi berkeinginan membahas lebih lanjut karya-karya Afrizal, melihat bagaimana perkembangannya serta posisinya dalam kesusasteraan mutakhir Indonesia.

Pembicara:
Iwan Pirous (antropolog)
Nirwan Ahmad Arsuka (pengamat sastra)
Wicaksono Adi (pemerhati seni)
Moderator : Damhuri Muhammad

Demikianlah pemberitahuan ini kami buat. Atas perhatian Anda kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam,

Geger Riyanto, Koordinator Bale Sastra Kecapi


Siapakah Sebenarnya Kamu, Benz?

Penyair muda dari Yogya itu mengajak saya bermain. Dia kirim sepuluh kata dan kami menyajakkannya. Di blognya ia lebih dahulu menampilkan sajaknya. Padahal sudah kubilang, jangan buru-buru, kita ini pemburu. Baiklah, Benz. Ini sajakku.


Siapakah Sebenarnya Kamu

:Benz

AKU dan malam, kami saling menjaketkan,
aku lihat kamu ada di redup sebuah musala,
memang kami tak buru-buru, tapi kami
tak menyinggahimu, aku dan malam sedang
menelusuri kabel panjang: berisi arus
waktu dan alir kehidupan, tak kemana
berujung, tapi kemana-mana menyambung,
dan aku tahu, pasti juga ke alamat mu.

aku pernah juga melihatmu, hinggap di
bentang kabel itu. Letih sekali tampakmu.

seperti pelanggan tak taat pada rekening,
tagihan yang kau abaikan, takut pada
peringatan, nyaris sambungan diputuskan.


*

AKU dan malam, kami gelar karpet besar
aku berbaring dan kulihat kamu amat sibuk
di langit itu memalu paku, tempat nanti
aku mengantung lipatan kertas permintaan.


*

AKU suka bikin mangkuk dari tangan
lalu malam menumpahi dengan sisa cahaya
kalau aku tertidur, malam diam-diam
meninggalkan aku, tapi kami nanti bertemu
di banyak tempat, di lantai diskotik, di
karpet futsal, di tilam pasien gawat
darurat, di gelang nama bayi neonatus,
dan kulihat juga kau selalu ada di
mana-mana itu. Aku tak mau terlalu jauh
bertanya, siapakah sebenarnya kamu?



Sunday, November 16, 2008

[Kuis # 003] Tuhan, Kau Buta Huruf ya?

Kau bertemu Tuhan, dan kamu bertanya dengan amat yakin, "Tuhan, Engkau buta huruf kan? Sebab, buat apa juga Kau tahu huruf-huruf yang cuma lambang itu, toh Kau sudah bisa membaca apa saja yang bahkan ketika masih ada dalam hati dan kepala, kau bisa membaca apa saja bahkan yang tak terlambangkan itu."

Pertanyaan:
Kira-kira, Tuhan akan menjawab apa, ya?

Silakan berimajinasi. Ada hadiah dua buku "ORGASMAYA" plus tanda tangan asli penyairnya, yaitu saya.


Tulis Akhir Postingan Anda

Komentar Lain untuk Naskah TELIMPUH

Sajak-sajak Hasan Aspahani ibarat sebuah gerbong kereta yang mengangkut arwah penumpang yang telah lama mati. Arwah penumpang itu ditangisi oleh banyak orang karena ia merupakan nenek moyang, pemangku segala tradisi dan kearifan. Dengan tertatih-tatih, gerbong sajak HAH mengangkut kenangan itu untuk dijelmakan lagi dalam sajak Indonesia terkini. Sebagian arwah hidup kembali, sebagian yang lain sekarat, dan ada yang mati terlindas gerigi kereta. Akan tetapi, arwah yang hidup itu, menyita perhatian karena penampakannya yang unik dan segar.

Syaifuddin Gani


Saturday, November 15, 2008

Klinik Sakit Hati

AKU dan kamu
sama terbaring

getah darah belum kering
pada sepasang mataluka yang juling

Kalau ada pembezuk datang
kita usir dengan maki hamuk
dan kutuk,
"Enyah kamu, busuk!

Berseberang ranjang,
cuma sepelemparan parang jalang,
sesekali kita saling tebas,
putus selang infus!

Lalu,
entah kamu
entah aku
yang lebih dahulu
menjeritkan nama siapa saja
sebab yang datang pasti dia juga
perawat tua
berlidah belah,
tak bosan-bosannya dia
mengucap nasihat bercabang arah!

Di klinik tak bersubsidi ini
hanya ada dia, untuk kita sepasang
pasien sakit hati nyaris mati

Perawat tua,
hitam-hitam-hitam seragamnya
ia suntikkan
ekstsrak sariluka
dari seekor hewan besar
dan lapar
yang akhirnya takluk
pada perburuan
mereka
yang kabur dari penjara negara
setelah mencuri senjata
dan selembar atlas rahasia

Setiap malam, kita bertaruh:

Kau bilang,
perawat tua itu adalah
malaikat sabar
yang masih betah menyamar,
kalau tiba waktunya
diam-diam ia gunting putus
kabel nafas kita.

Aku bilang, tidak,
nyawa kita itu,
Tuhan sendiri yang akan
datang mencabut,
sekaligus
ia mengajari kita
hakikatulmaut!




Komentar untuk "Lelaki yang Dicintai Bidadari"

Oleh Dony P Herwanto

Satu hal yang perlu digaris bawahi, yakni kumpulan puisi Lelaki yang Dicintai Bidadari sangat nikmat dibaca sambil minum kopi di sore hari dan sesekali mendengarkan cericit burung dan desau angin, dan sesekali pula memejamkan mata serta menguatkan indera pendengaran untuk mendengarkan bebisik kata yang disampaikan kata kepada angin yang menjadikannya senja.


Aku tak bilang: Tidak Juga Kau!

INILAH hasil polling itu:

a. Setuju sekali. Kapan, dong? 74 (70%)
b. Memangnya milis begitu itu manjur buat belajar puisi? 7 (6%)
c. Hmm, boleh. Tapi jangan seperti milis lain yang sudah ada. 20 (19%)
d. Buat apa? Tak ada gunanya. 4 (3%)

Dengan 105 voter, selama sebulan voting, akhirnya 70 persen (74 voter) mendukung rencana saya menghidupkan lagi milis SEJUTA-PUISI. Saya kira itu alasan yang sangat cukup untuk segera memulai lagi.

Mari, kita belajar lagi, kita mulai lagi! Bergabunglah, lewat pintu di sidebar blog ini.


Friday, November 14, 2008

Huruf Itu Bilang

AKU bertemu Huruf yang tidak pernah
ada dalam abjad yang diajarkan guruku
dulu di sekolah dasar kelas satu.

Huruf itu bilang, "Apa kau mau cari
guru untuk mengenalkan aku padamu?

Aku terkenang putih kapur tulis dan
hitam papan tulis, lalu seperti ada
tangan menulis Huruf itu di situ.

Aku seperti tahu tangan siapakah itu.

Huruf itu bilang, "Mau kau menulis aku?
Agar kau bisa sendiri membaca dirimu?"



Thursday, November 13, 2008

Komentar Lain untuk Naskah Telimpuh

Produktivitas menulis puisi tergantung dari seberapa rajin menjumuti fenomena di sekitar kita --Apapun dan kapanpun. Tergantung dari sebarapa besar energi yang dihimpun untuk meruang dalam waktu. Hasan Aspahani adalah pemulung. Dia rajin memunguti apa saja yang ada di sekitarnya. Tapi, karena dia juga insinyur bahasa, maka fakta yang dipulung setiap hari (mungkin juga setiap detik) dia daur ulang menjadi kata yang kemudian dirangkainya menjadi kalimat puitis. Jadi, Telimpuh ini lahir dari laboratorium seorang pemulung fenomena yang fenomenal.

Samsudin Adlawi
Jurnalis dan Penggubah Syair
Banyuwangi, Jawa Timur



Puisi yang bagus adalah puisi yang hidup.Penuturan bahasa indah yang membuat pembaca larut di setiap bait-baitnya,ikut terlibat dalam setiap perasaan yang ditulis penulis. Penulis pun kaya akan imajinasi cerdas dan sumber inspirasi. Komik menjadi inspirasi rangkaian bait puisi yang indah dan penuh makna, penuturan istilah-istilah terasa lebih hidup dalam kamus empat kata, dan pelajaran arti kehidupan dapat kita dapatkan pada malaikat gawangnya.

Taurina Mulyati


Resitasi: Sungai yang Mengaliri Negeri Kami



Apa? "Malam ke Kelekatu" Malam Baca Puisi Rida K Liamsi
Dimana? Gedung Aisyah Sulaiman, Tanjungpinang
Bilamana? Sabtu, 8 November 2008

Saya membacakan sajak INI . Selamat menikmati.


[Tadarus Puisi # 34] Elegi Tichborne, Sajak Menjelang Eksekusi Mati

Elegi Tichborne
Chidiock Tichborne (1558–1586)

Kobar masa mudaku tak ada hanya beku salju
Pesta gembiraku tak ada hanya sesaji nestapa,
Huma jagungku tak ada hanya padang gulma
Dan segala pahalaku tak ada hanya harap sia-sia;
Hari berganti, dan tak jua kulihat matahari,
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.

Kisahku kau dengar tapi tak kemana kau ceritakan,
Buahku jatuh, tapi masih menghijau daun-daunku,
Usia mudaku habis tapi tak jua aku menua,
Aku lihat dunia tapi tak sesiapa ada melihatku;
Benangku putus tapi belum juga ia tergulungkan
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.

Aku cari mautku dan kutemukan di rahimku
aku cari kehidupan dan ternyata itu keteduhan ,
Kutapaki anak tangga dunia dan aku tahu itu kuburku,
Dan kini aku mati, dan kini aku tak lagi apa-apa;
Gelasku penuh, dan kini gelasku jauh berlari,
Dan saat kutahu hidup, tuntaslah kehidupanku.




Tiga stanza di atas adalah sajak terakhir Chidiock (Charles) Tichborne (1558–1586) yang ia tulis di malam dalam tahanan di Tower of London, sebelum ia dihukum mati. Sajak itu ia ia kirimkan sebagai surat tujukan kepada istrinya, Agnes. Sajak di atas selain termahsyur dengan judul "On The Eve of His Execution" juga dikenal dengan judul "Tichborne's Elegy", atau "My Prime of Youth is but a Frost of Cares".

Tichborne yang lahir di Southampton, dari orangtua beragama Katolik Roma, adalah penyair dan konspirator. Kata terakhir disandangkan padanya karena ia merancang pembunuhan atas Ratu Elizabeth I.

Sang Ratu semula memperbolehkan pemeluk Katolisisme menjalankan keyakinannya. Tetapi ketika ada komunikasi yang putus dengan Keuskupan akibat dukungan Sang Ratu terhadap ajaran Kristen Protestan, maka sekali lagi ajaran Katolik dilarang di Inggris. Tichborne dan ayahnya ditangkap.

Tichborne kemudian ditahan-lepaskan tanpa pengadilan. Tapi, penjara jadi langganannya. Masa itu, di Inggris, sekularisme memang belum lagi datang memisahkan urusan negara dan agama. Tak heran bila pada bulan Juni tahun 1586, Tichborne bersepakat dengan sebuah plot rencana pembubuhan atas Ratu Elizabeth dan menggantikannya dengan Ratu Mary dari Scotlandia yang beragama Katolik yang memang menunggu giliran berikutnya untuk naik tahta.


Pada tanggal 20 September 1586, Tichborne dieksekusi bersama kerabat perencana pembunuhan atas Ratu: Anthony Babington, John Ballard, dan empat konsspirator lainnya. Isi perut mereka dikeluarkan saat mereka masih lagi bernafas, lalu mereka dipertontonkan di St Giles Field, London. Begitulah cara penguasa kala itu menyebarkan teror dan membangkitkan efek jera. Tujuh konspirator menyusul dihukum serupa, meski kemudian Ratu sedikit melunak: perutnya dibelah dan diburaikan setelah sang terhukum nyaris mati di tiang gantungan. ***

Wednesday, November 12, 2008

Juru Tembak di Negeri Kami

dan di negeri kami para juru tembak adalah prajurit buta,
dan si terhukum adalah lelaki takut hidup pun takut mati

dan penyair adalah orang yang membacakan sajak terakhir
tentang peluru yang mahir melacak arah ke detak jantung

para penyair itu, kelak akan jadi bisu, tak ada peluru
dalam sajaknya, tak ada mesiu dalam selongsong penanya.




Tuesday, November 11, 2008

Lewat Mata Kamera Yuli Seferi




Tulis Akhir Postingan Anda

Permohonan

kecupkan saja lagi pada pedih lidahku
serat sari dari daging mangga bibirmu

agar tak sesaat aku sesati sepi mimpi,
ragi pagi, sisa sayat ragu semalam tadi




Kenduri Seni Melayu X, Gedung Promosi Sumatera, Batam, Minggu 9 November 2008




Foto Mirza


Tulis Akhir Postingan Anda

Tuesday, November 4, 2008

Yang Bergetar dan yang Melingkar

: Dari Sebuah Sex Shop di Bugis Junction


LEKAS kamu catat saja harga kelamin palsu di
kedai perkakas seks itu, lalu cepat berlalu,
(sebab dilarang menyentuh, dilarang ambil foto)

Vagina 500 dolar - (bonus alat penggetar)
Penis 450 dolar - (bisa bergerak melingkar)
mata uang Singapura, kurs sedang menggila.

Kamu mau iseng bertanya: kenapa yang berpenggetar
lebih berharga daripada yang bergerak melingkar?

Tak ada kaulihat birahi di mata sempit gadis
berpaha bengkoang, tak juga di dada ringannya,
pun tak ada di sepupu perutnya. "Mungkin itulah
satu-satunya yang tak dijual di kedai seks ini,"
katamu (dengan bibir bergetar, lidah melingkar).

Tapi, apa kamu mau belanja? Kurs sedang menggila!



\

Ook Nugroho Menimbang "Orgasmaya"

Oleh Ook Nugroho

Tentulah butuh kearifan khusus bagaimana menggabungkan dua jenis dunia yang bergerak bertolak belakang itu—jurnalisme yang mensyaratkan “kesegeraan” dan dunia puisi yang meminta kedalaman, dan itu tentunya antara lain berarti adanya “perlambatan” tempo—menjadi sebuah sintesa yang padu. Penjelajahan ke banyak ihwal itu membawa HAH ke banyak eksperimen bentuk dan gaya pengucapan sajak, yang tidak selamanya bisa ia menangkan.


Yang Mengapung dan Tenggelam di Matamu

: Pada peta bundar Singapore Flyer


KAMU tidak bergegas, ini kali, agar kamera
sempat buka mata lensa, mempermainkan rana,
menangkap lekas dan lengkap, lingkar lanskap.

Tunggu, apa yang mengapung di matamu itu?

Dari tinggian yang sebentar yang sementara,
semua dapat kaubaca: apa ada yang tak bisa?

Republik ini sebuah plaza, tempat pedagang
menggelar sembarang barang dan jual jasa,
seperti dulu dirancang lelaki Inggris Raya,
namanya tertinggal di jalan dan pusat kota.

Kamu siapa nama? Kamu tanya dua lelaki muda,
sepasang gay melancong jauh dari Polandia.

Kauarahkan zoom ke telungkup tempurung raksasa,
itukah taman pesiar terbuka? Beretalase talam
talas, mempertunjukkan suara sara sandiwara?

Ini bukan disney-dream-land atau lakon bangsawan.

Lagi pula buat apa juga dibedakan? Ini panggung
permainan tak akan bisa lagi dihentikan. Lari.
Lari. Kejar. Kejar. Beli. Beli. Bayar. Bayar.

Tunggu, apa itu yang tenggelam di matamu?


Sunday, November 2, 2008

90 Kata dan Sejarah Kota Talak Tiga

: Sebelum Meninggalkan Harbourfront, Singapura


DI kutubkhanah itu, aku tak singgah memetik buahbuku,
kau kitab telanjang, halaman sejengkal, huruf julang.

Datang sejak Senin, di pucuk bulan, aku duduk berdebar
di kursi bis turis, panjang hari pesiar, setir diputar
lelaki malaya tua yang separo pasrah, setengah sabar.

Aku lekas-lekas membaca, bekas getar dan getah mata.

Ah, makin lebat sangka, berjuntai berat batang nangka,
sebelum tiba, pada kisah 90 kata, sejarah talak tiga.



Friday, October 31, 2008

Tak Tahu Apa Perlu Kautanya

: Swisotel Stamford, 2569, Singapura, 31 Oktober 2008

BERSAMA waktu, di sini, kita cuma bisa bergegas
terseret seperti bagasi beroda pramugari Qantas

Jauh kau terasing dari siaran berita di televisi

Ada yang menangis di depan seorang anggota parlemen,
di ruang sekolah, lorong bangunan tinggi apartemen,
"Suami tak kerja, tak bisa kubayar kedai yang kusewa."

Tak tahu apa perlu kautanya, "bila Singapura merdeka?"

*

BERSAMA ragu, di sini, kita masih bisa buat tertawa,
tak perlu ajak serta supir bis tua, 60 tahun umurnya,
kita para juruwarta, datang dari negeri arah jam lima.

Seperti ada dengungan, sisa laju kendaraan, Formula One,
bertindihan suara lirih perempuan, anak di gendongan,
suami di kanan, mengadu di depan relawan sebelum bertemu
seorang anggota parlemen, "Saya perlu pekerjaan. Saya
baru pulang dari Amerika, dulu guru di Kindergarten..."

Tak tahu apa perlu kau tanya, "Bila negeriku merdeka?"




Thursday, October 30, 2008

Haiku

: bangwin

stasiun MRT
dari ransel ke ransel
langkah lelaki

ke kedai kopi
mengaduk sisa malam
hangat kalimat




Sunday, October 26, 2008

TELIMPUH: Interpretasi Haris Firdaus

Telimpuh adalah sebuah “kitab-percakapan” yang kaya. Kumpulan itu terdiri dari tiga bab: “Kitab Komik”, “Kamus Empat Kata”, dan “Malaikat Penjaga Gawang”. Sejumlah sajak yang ada dalam tiap bagian memiliki satu nafas dominan yang sama. Pada “Kitab Komik”, semua sajak berkait dengan komik; pada “Malaikat Penjaga Gawang”, sajak-sajaknya berkait dengan sepakbola. Sedangkan pada “Kamus Empat Kata”, HAH membuat eksperimen unik: pada masing-masing sajak, ia memilih empat kata dengan huruf depan sama, kemudian menuliskan beberapa larik kalimat sebagai “penjelas” kata-kata tersebut.

Haris Firdaus meninjau naskah buku TELIMPUH dengan amat cermat. Baca di BLOG-nya!



Saturday, October 25, 2008

Hot from Voice of Jakarta

- kuikuti Alfred Ticoalu memutar tiga komposisi Johnny Griffin main saksofon -


/1/

HEI, kau tak
akan menemukan namaku
dengan cara itu
cepat sekali kau
membuka halaman-halamanku.

Aku ini ada di dalam kamusmu,
tak ada yang kita sembunyikan,
bukan?

/2/

YA, lebih baik begitu
kita kan tidak terburu-buru?

Coba telusurkan telunjukmu
dari kata ke kata
sampai menemukan namaku.

Ada juga di situ, kutuliskan
bagaimana cara mengucapkannya
ketika kau ragu atau ketika rindu...

/3/

YA, sebentar lagi.
Sekata lagi.

Ada yang menyaru seperti namaku?
Ah, kubiarkan saja itu,
aku tahu kau tahu itu adalah bukan aku.

Cobalah,
         sebutkan perlahan
         lafalkan perlahan
         bunyikan perlahan
bukan, kan?

Aku tak akan pernah
menghapusnya dari halaman-halamanku.

Ya, sebentar lagi,
Setelusur lagi.








Tulis Akhir Postingan Anda




Hasan Aspahani di BAF 2008 (Foto: Yuli Seferi)


Tulis Akhir Postingan Anda

Wednesday, October 22, 2008

"Orgasmaya" ke Short List KLA 2008

Lima finalis Khatulistiwa Literary Award 2008.

Prosa:
Bilangan Fu - Ayu Utami
Rahasia Meede - ES Ito
Kaca Piring - Danarto
Hubbu - Mashuri
Glonggong - Junaedi Setiono

Puisi:
Teman-temanku dari Atap Bahasa - Afrizal Malna
Pandora - Oka Rusmini
Sajak-sajak Menjelang Tidur - Wendoko
Jantung Lebah Ratu - Nirwan Dewanto
Orgasmaya - Hasan Aspahani

Malam Penganugerahan akan diadakan pada tanggal 13 November 2008 di Atrium Plaza Senayan.

(Sumber SMS dari Kurnia Effendi)


Monday, October 20, 2008

Variasi Atas Lagu Bu Kasur

Kakak Mia, Kakak Mia,
             minta anak barang seorang


hanya lumpur yang kini mengalir di sungai kami
melenyau bahkan sebelum sampai ke muram muara

di sana berkumpul kami,
             anak yang tak punya mimpi
mengais apa saja: sisa alasan untuk bergembira

sebelah duka berjalin dengan sebelah putus asa
melengkungkan gerbang mengucap selamat sia-sia

kami anak-anak merunduk bergantian memasukinya
pasrah atau menyerah pada nasib buruk sendiri

kalau dapat, kalau dapat
             hendak saya bawa berperang


lalu kami rindukan kecamuk pertempuran sendiri
antre panjang di depan meja si pencatat harapan
dia yang memberi nomor pada para prajurit bayaran

mati di perang-tak-beralasan
             atau dibantai kemiskinan
keduanya bukan pilihan:
             keduanya tak menjadikan pahlawan

tapi setidak-tidaknya,
         bagi kami sejak itu musuh sudah ditentukan

itu yang kurus yang saya ringkus,
             boleh dia menyandang karabin



Sunday, October 19, 2008

Gunyam Malam Semalam

PELURU sejak ini malam akan sangat matang
kau telah datang sejak petang, bukan prajurit,
cuma penyandang senapan, jari berkait pada bimbang

perjalanan melacak alamat, musafir tak bermaskat,
menyuntuk pasir ke sehingga, menakluk gurur gurun-gurun

kau dengar? hingar lenguh seribu himar,
degup jantungmu itu, memetik matang peluru

kau dengar? hingar lenguh seribu himar
dirapus penyembelih yang tak tahu berburu.




Saturday, October 18, 2008

Rumah Lebah Terbitkan Berkala RUANG PUISI

RUMAH Lebah, sebuah komunitas yang digerakkan oleh pasangan suami istri Raudal Tanjung Banua dan Nur Wahida Idris - menerbitkan jurnal puisi bernama RUMAH LEBAH - Ruang Puisi. Penyair kawakan Umbu Landu Paranggi masuk dalam jajaran redaktur, selain Ida, Raudal, Faisal Kamandobat dan Frans Nadjira.

Edisi pertama direncakan akan beredar November 2008 bersamaan dengan Jurnal Cerpen - yang sudah lama mereka kelola. Berkala ini berisi puisi, puisi terjemahan, esai, wawancara, info buku dan salah satu buku akan diresensi secara mendalam.

Tak ada target berapa kali akan terbit berkala ini dalam setahun. "Idealnya empat kali setahun. Tapi, dari pengalaman mengelola jurnal cerpen kendalanya selalu ada, naskah tak ada, atau ada naskah dana tak ada," kata Raudal.

Anda ingin meramaikan berkala ini di edisi berikutnya? Kirim ke e-mail ini: bukupuisiindonesia [@] gmail.com.


Friday, October 17, 2008

Lirik Lagu untuk BERGERAK!



Bergerak Indonesiaku

*

Tanganku Indonesia
Tubuhku Indonesia

Kuberanikan tanganku
Mengepal Indonesiaku

Kutegarkan tubuhku
Bergerak Indonesiaku


Reff:
Jangan diam Indonesiaku
Jangan padam Indonesia

Kami bergerak bersamamu
Menyalakan api terangmu

*

Nadiku Indonesia
Darahku Indonesia

Kugairahkan nadiku
Bangkit Indonesiaku

Kusemangatkan darahku
Berjaya Indonesiaku


Lirik ini kusumbangkan untuk INDONESIA BERGERAK!


Tulis Akhir Postingan Anda

Java New Year Concerts 2009 presents: 'PIANISSISSIMO’

Featuring:
Bernadeta Astari, soprano & Joseph Kristanto, baritone will sing new songs by Ananda Sukarlan (based on poems by Eka Budianta, Hasan Aspahani & Walt Whitman), as well as "DALAM DOAKU" (duet from Ars Amatoria) Elizabeth Ashford, flute Chendra Panatan, choreographer

The winners and finalists of Ananda Sukarlan Award 2008: Inge Melania Buniardi (1st winner), Randy Ryan & Handy Suroyo (3rd winners) and other finalists.

Spectacular music and choreography for piano left hand alone, duo piano, up to the World Premiere of the first ever musical piece for 3 pianos 12 hands : SCHUMANN'S PSYCHOSIS (music by Ananda Sukarlan, choreography by Chendra Panatan).

Jogjakarta, Thursday - 1st January 2009, 19.30 wib
Taman Budaya Rp. 50.000

Jakarta, Sunday - 4th January 2009, 19.30 wib
Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki
Rp. 200.000 (VVIP), Rp. 100.000 (regular) , Rp. 50.000 (balcony)

Reservation: Chendra Panatan (0818.8910.38 and ycep@yahoo.com), Evi Widya (wid_dee@yahoo.com)

Tickets reserved until the 1st of November gets 20% discount .



[Proyek 100 Soneta Cinta Neruda # 024] Soneta ke-1

Matilda. Memang padanyalah seratus sajak ini dipersembahkan oleh Pablo Neruda. Nama itu disebutnya sebagai kata pertama, di bait pertama, di larik pertama, di sajak pertama dari rangkaian 100 soneta berikutnya.

Neruda memuja nama itu, dan di akhir larik sajak yang pertama ini dia minta perkenan untuk beristirahat, berlabuh, dan sebagai kapal kayu, ia ibaratkan, ia akan menghabiskan sisa hidupnya. Nyatalah, memang itulah yang ia lakukan.



A. Hasil terjemahan saya

Matilde, nama tumbuhan atau anggur atau batu,
apa saja yang bermula di bumi, dan bertahan,
kata pada siapa tumbuh merekah fajar pertama
pada siapa musim panas memancarkan sinar limau

Pada kelok nama itu menjelajah kapal kayu
dan gelombang api-biru mengepung mereka:
huruf-huruf itu adalah air dari sungai,
mengucur dari hatiku, hati yang terbakar

O nama terhampar telanjang di sesulur liana
seperti pintu menuju sebuah lorong rahasia
yang mengabarkan, menyebarkan wangi dunia!

O masuki aku dengan mulut panas menyala,
telusuri, bila itu maumu, dengan mata malammu,
tapi biarkan kulayari namamu, lalu lelap di situ.


B. Versi Asli Neruda (Bahasa Spanyol)

Matilde, nombre de planta o piedra o vino,
de lo que nace de la tierra y dura
palabra en cuyo crecimiento amanee,
en suyo estio estalla la luz de los limones.

En ese nombre corren navios de madera
rodeados por enjambres de fuego azul marino,
y esas letras son el agua de un rio
que desemboca en mi corazon calcinado

Oh nombre descubierto bako una enredadera
como la puerta de un tunel desconocido
que comunica con la fragancia del mundo!

Oh invademe con tu boca abrasadora,
indagame, si quieres, con tus ojos nocturnos,
pero un tu nombre dejame navegar y dormir.

Invade me with your hot mouth; interogate me
with your night-eyes, if you want-only let me
steer like a ship through your name; let me rest there.


C. Versi Stephen Tapscott (Bahasa Inggris)

Matilde: the name of a plant, or a rock, o a wine,
of things that begin in the earth, and last:
word in whose growth the dawn first opens,
in whose summer the light of the lemons bursts.

Wooden ships sail thought that name,
and the fire-blue waves sorround them:
its letters are the waters of a river
that pours through my parched heart.

O name that lies uncovered among tangling vines
like the door to a secret tunnel
toward the fragrance of the world!

Invade me with your hot mouth; interogate me
with your night-eyes, if you want-only let me
steer like a ship through your name; let me rest there.


Wednesday, October 15, 2008

[Proyek 100 Soneta Cinta Neruda # 023] Soneta ke-2

Saya memulai lagi proyek terjemahan "100 Soneta Cinta Neruda". Saya memulai lagi dengan sajak ke-2 pada bagian pertama "Morning/Manana". Ini sebenarnya versi revisi dari terjemahan yang sudah pernah saya buat dari versi Inggris yang bukan dari Stephen Tapscott. Tapscott saya nilai lebih setia pada versi aslinya.

catatan:

'confused' dan 'mixed up' sebenarnya nggak masalah bang dipakai bergantian, artinya sama-sama 'bingung' (bisa dicek di kamus wordweb yang gratis wal-afiat itu, :D). beda rasanya (kalau dianggap penting lho ya?:D) kalau pakai phrasal verb 'mixed up' rasanya lebih terasa nyantai. kira-kira begitu. (Wawan Eko Yulianto)



Bandingkan larik ke-13 ini:

- contodos confundidos, con hombres je mujeres (Neruda)
- with all the confusions, the men and the women (Tapscott)
- with everyone mixed up, with men and women (versi lain)

"confundidos" tetap dipertahankan sebagai "confusions". Sementara versi lain itu mengganti dengan "mixed up" yang saya kira terlalu jauh maknanya.

Versi saya?

- dengan kalut-keluh, sebagai lelaki dan wanita,

Ya, saya memilih "kalut-kesah". Saya menerjemahkan "confundidos" itu tetap sebagai "kebingungan" dan saya memilih dan menggabung "kalut" dengan "keluh" mewakili "kebingungan" itu. Cinta antara lelaki dan perempuan memang tidak mudah, tapi toh itu tak perlu dihindari. Kekalutan dan keluh kesah itulah yang saling dibagikan dan jadi alasan untuk saling mempersatukan diri. Seperti disimpulkan dalam larik terakhir "seperti bumi merawat-tumbuh anyelir".

Saya "memberi" tambahan pada larik-larik Neruda dengan mengupayakan rima di ujung larik per bait. Itu tidak dengan ketat dijaga olehnya, apatah lagi pada versi Tapscott. Rasakanlah. Maka, demikiankah. Maafkan saya, Senor Pablo....


A. Versi terjemahan oleh Hasan Aspahani

Kekasih, betapa jauh jalan hingga kuraih sekecupan
Betapa sepinya ngembara sebelum engkau kudapatkan!
Gerbong kereta kini - sendiri - menembus hujan
Di Taltal, tak ada fajar, musim semi pun enggan

Tapi engkau-aku, kekasihku, adalah kita yang sama
bersama dari baju tersandang hingga akar-kerangka,
bersama di musim gugur, di air kita, di pinggang kita
hingga hanya engkau, hanya aku - hanya kita bersama.

Renungkan, jerih arus pada batu yang terbawa,
mengalir jauh hingga ke muara sungai Boroa;
Renungkan, kita dipisah kereta dan batas negara.

Engkau dan aku hanya mesti saling mencinta,
dengan kalut-keluh, sebagai lelaki dan wanita,
seperti bumi mengasuh-tumbuh anyelir berbunga.



B. Versi asli Bahasa Spanyol oleh Pablo Neruda:

Amor, cuantos caminos hasta llegar a un beso
que soledad errante hasta tu compania!
Siguen los trenes solos rodando con la lluvia
En taltal no amanece aun la primavera

Pero tu y a tu, amor mio, estamos juntos,
juntos desde la ropa a las raices,
juntos de otono, de agua, de caderas,
hasta her solo tu, solo yo juntos.

Pensar que costo tantas piedras que lleva el rio,
la desembocadura del agua de Boroa,
0pensar que separados por trenes ya naciones.

tu ye yo teniamos que simplemente amarnos,
contodos confundidos, con hombres je mujeres,
con la tierra que implanta y educa los claveles.


C. Versi Bahasa Inggris oleh Stephen Tapscott

Love, what a long way to arrive at a kiss,
what longlines-in-motion, toward your company!
Rolling with the rain we follow the tracks alone
In Taltal there is neither daybreak nor spring.

But you and I, love, we are together
from our clothes down to our roots:
together in the autumn, in water, in hips, until
we can be alone together--only you, only me.


To think of the effort, that current carried
so many stones, the delta of borrow water;
to think that you and I, divided by train and nations,

we had only love one another,
with all the confusions, the men and the women,
the earth that make carnations rise, and make them bloom.



Tuesday, October 14, 2008

Percobaan Pengucapan Berikutnya....

Kalau Kau Buku

kalau Kau Buku, kenapa hanya sampul yang terbuka di rehalkajiku?
kalau Kau Buku, kenapa hanya judul yang tersebut di mejabacaku?

kalau Kau Buku, kapankah saat Kau buka rahasia meng-iqra’ untukku?



Kalau Kau Buku

kalau Kau Buku, kenapa hanya sampul yang terbuka di rehalkajiku?
kalau Kau Buku, kenapa hanya judul yang tersebut di mejabacaku?

kalau Kau Buku, kapankah saat Kau buka rahasia meng-iqra’ untukku?



Doa

beri kepak pada harapku agar bisa hinggap pada sayap-Mu
beri kaki pada taubatku agar bisa pijak pada jejak-Mu
beri tangan pada tadahku agar bisa usap pada wajah-Mu

beri diam pada sesakisakku agar kabul sampai pada amin-Mu



Yang Menyebut Segalanya

sungai mencari muara ia dapat deras dan arus
laut mencari tenang ia beri hempas dan gerus

langit mencari terang lepas jatuh bintang mati
bumi mencari waktu ia terbelit di tali matahari

hei, kau manusia mencari apa? sebuah kata? Mahakata?
yang menyebut segalanya? yang membungkam segalanya?



Hei!

hei burung, mari hinggap di nasibku, mau kau tukar sayapmu dengan tanganku?
hei ikan, mari berenang di nasibku, mau kau tukar insangmu dengan paruparuku?
hei hujan, mari mendung di nasibku, mau kau tukar luruhmu dengan dukatangisku?
hei angin, mari hembus di nasibku, mau kau tukar bebasmu dengan imajinasiku?

hei Kata, mari sebutkan takdirku, mau kau tukar maknamu dengan maharahasiaku?



Jam

kau putar sendiri pisau jamkau
berputar semuakau semua maukau!

kau tak jumpa subuh pada jamkau
kau tak jumpa zuhur asar magrib isya
pada jamkau yang kau putar semaukau!

kau tak jumpa sapi lenggang ke lengang
ia selempang selendang kulit pada bekas luka di lehernya
kau lengah tak dengar
ia melenguh moooaaahh awas kau kena sembelih
tajam jamkau terlampau melangkau pisau



Dongeng Gravitasi

matahari kau main yoyoyoyo berputarlah merkurius venus bumi mars jupiter saturnus uranus neptunus kita ongkangangking menggoyang khayal kursi goyang matahari kau main yoyoyoyo berjatuhanlah detik menit jam hari bulan tahun abad angkaangka bosan kita pontangpanting menampung waktu sekepingsekeping matahari kau main yoyoyoyo newton di pohon apel kejatuhan dia terbangun terbang mimpi gravitasi kita mengecup tubuh seperti mengunyah dosadaging!



Siapa Bilang

siapa bilang nyawa
          ada dalam tulang
siapa bilang nyawa
          ada dalam tualang

siapa bilang nyawa
          ada dalam daging
siapa bilang nyawa
          ada dalam denging
siapa bilang nyawa
          ada dalam darah
siapa bilang nyawa
          ada dalam marah

siapa bilang nyawa
          ada dalam jantung
siapa bilang nyawa
          ada dalam gantung

siapa bilang nyawa
          ada dalam wangwang
siapa bilang nyawa
          ada
                    pada
                              ruang
                                        nya
                                                  wa
                                                            nya
                                                                      wa
                                                                                nya
                                                                                          wa
                                                                                                    nya
                                                                                                              wak
                                                                                                             
          tu!


Matematekateki

batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor bilanganmu domba
batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor gembalamu domba
batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor usiamu domba
batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor padang rumputmu domba
batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor mataharimu domba
batu tambah batu kali batu kurang batu bagi batu berapa ekor kandangmu domba

batu tambah batu
batu kali batu
batu kurang batu
batu bagi batu

domba

berapa
ekor
lehermu

berapa
ekor
sembelihmu

berapa
ekor
darahmu



Saturday, October 11, 2008

Ken Nordine on Night Music




Aku Dengar Alfred Ticoalu Memutar Jazz

/1/

Gerimis, aih, yang semakin genit,
menari menunggangi menit-menit

/2/

Gerimis, aih, yang semakin berlapis,
derap baris, menebal di tepi pelipis

/3/

Adakah gerimis yang tak sampai?
Ia yang terkibas, sangkut di lambai

lambai yang lekas, kembali bergegas,
jangan aku memungut bekas-bekas.

/4/

Jangan percaya pada cuaca,
kata nasihat lama, angin bisa
berdusta, gerimis bisa ia
permainkan sesuka hatinya....

/5/

Siapa memetik senar sepimu? Lepas
lagu demi lagu, meningkah jantungmu

Berdentingan, dan kau curiga pada
jemari gerimis itu, ia ciptakan jazz
bersama angin yang parau mengembus
dari lorong kosong paru-parumu

/6/

Kemana kau cari riuh gerimismu?
di lekuk kelok sungai tak ada

/7/

Aih, akhirnya, reda jua, kau redakan
sepimu, sepi redakan gerimismu,
gerimis meredakan degup jantungmu.

Siapa yang akan bilang selamat tinggal?