Sunday, January 29, 2012

Ricauan

JANGAN bohongi aku. Aku sudah cukup banyak membohongkan engkau pada diriku sendiri. Aku lebih percaya pada dusta-dustaku sendiri.

Aku Menulis Ulang Daftar Judul Lagu yang Aku Sukai yang Dinyanyikan oleh Penyanyi yang Tidak Aku Sukai


1. KITA tidur pada sebuah kamar, terpisah di  ranjang kembar, kau terlelap tenang di mawar menghampar, aku berbaring resah di duri tertebar.

2. Lembut nafasmu, itu aku dengar, sedang aku tak dapat lagi mengulang tidur, diganggu mimpi-mimpi yang kian kurangajar.

3. Berselisih antara pagi dan petang, kita terbangun dengan alasan timpang: kau ingin lekas pulang, aku tersedak darah dari luka lidah.

4. Apa yang tadi sama-sama kita igaukan? Kata-kata yang merusak kediaman? Melukai bibir yang hendak mendustakan?

5. Tadi, entah kau, seperti bernyanyi, lagu yang aku tak tahu apa judulnya, lagu yang siapapun yang menyanyikan, aku tak suka padanya.

Mengatakan Aku, Mengakukan Kata

HANYA kata. Tapi, itulah awal jadi dari segalanya
Hari kubuka dengan kata. Hati sembunyi dalam kata

*

Aku ingin bebas dari kata, tapi aku menjadi kata
Aku ingin bebas dari aku, dibebaskan oleh kata

Stanza Suara

PADA mulanya ialah bunyi
kita memandang pada pecah
cahaya, terang yang seketika
terentang di semesta suara

Pada mulanya ialah bunyi
kita mendengar lagu jiwa
mempercaya pada pesona suara
menyebut diri, mengucap dunia

*

Sunyi melirih, O, sunyi bersih
menepi tangis sampai ke sepi
Sunyi menyisih O sunyi letih

Sunyi merintih, O, sunyi pedih
membawa mimpi sampai ke sepi
sunyi menyerpih, O, Sunyi perih

*

Pada mulanya ialah bunyi
di bumi raga, di angkasa sukma
kita meninggi pada harmoni
terbang di sayap-sayap suara

Para mulanya ialah bunyi
kita mengada karena suara
kita mendunia karena suara
kita mengangkasa karena suara

*

Dengar kata mendengar kita
menyimak bunyi bisik bumi

Dengar kata, mendengar kita
semesta kata, harmoni kita

Dengar kata, mendengar kita
sukma kata, jiwa suara kita

Dengar kata, mendengar kita
Mengepak tinggi sayap suara

 :: Kesalahan yang indah, kata Ananda Sukarlan di blognya, t
entang sajak ini, sajak yang jadi lirik komposisinya. Baca di sini. 

Wednesday, January 25, 2012

[ Kolom ] Siapa Bermimpi jadi Wartawan?


Saya menyimpan (dan berpikir untuk membingkai) iklan satu halaman dari koran Singapura The Straits Times.  Itu adalah iklan perekrutan wartawan dengan cara yang unik.  Siapa yang berminat  menjadi wartawan diundang untuk hadir dalam acara  'minum teh',  namanya: SPH 'Career in Journalism Tea Season".

SPH adalah nama ringkas grup penerbitan surat kabar tersebut, singkatan dari Singapore Press Holding.
Iklannya sangat menyita perhatian saya.  Selain ukurannya yang penuh sehalaman, teksnya juga menggugah: Who in the world dreams of being a journalist? Kalimat ini ditulis dengan font amat besar, dari rumpun font sherif, lebih dari 90 point, menyita lebih dari setengah halaman.  




Lalu pertanyaan itu dijawab dengan sebaris kalimat – dengan ukuran font lebih kecil - di bawahnya: Only someone from special breed.  Are you one of them? - Hanya seseorang dengan bakat khusus.  Apakah Anda salah seorang dari mereka yang berbakat itu?

SPH Career in Journalism Tea Season adalah acara tahunan yang digelar di SPH News Centre Auditorium, 100 Toa Payoh Nort Singapore 318994. Seperti dijelaskan dalam teks iklan itu:  Here's your opportunity to find out.  Come learn about a career in journalism, from the journalist themselves.

Di acara itu, para wartawan terbaik SPH - yang membawahi banyak media cetak (antara lain TST, Berita Harian, dan The New Paper) dan media elektronik - menjelaskan seperti apa berkarir di jurnalistik.  Dari situ anak-anak muda di Singapura bisa mengukur diri, layakkah mereka bermimpi menjadi wartawan.

*

Di Batam – sebagai mana gejala di negeri ini - sekarang, sulit sekali mencari wartawan baru.  Sekali buka lamaran, Batam Pos hanya bisa menjaring dua-tiga orang calon wartawan. Jika di antaranya satu orang yang bisa bertahan, itu sudah sangat bagus. Padahal kebutuhannya tiap angkatan bisa sampai enam orang.  Saya tak tahu apakah TST juga sedang kesulitan mencari  wartawan baru, dan apakah dengan cara seperti saya ceritakan di atas, mereka bisa mengatasi kesulitan mereka.

Di Indonesia, profesi wartawan memang sedang tidak terlalu diminati.  Rasanya, tak akan terjadi lagi sebuah media besar  merekrut karyawan baru dengan pelamar belasan ribu orang dan tesnya harus menyewa stadiun seperti terjadi beberapa tahun lalu.

Dalam rapat-rapat Forum Pemimpin Redaksi Jawa Pos Grup saya mendengar keluhan yang sama dari para pemred di seluruh Indonesia, setidaknya dari media yang satu grup dengan Batam Pos.  Profesi atau pekerjaan lain – misalnya menjadi pegawai negeri – sekarang jauh lebih diburu.  Batam Pos  tahun lalu kehilangan tujuh orang wartawan, semuanya memilih jadi pegawai negeri.  

Adalah satu hal yang biasa saja, pada suatu masa, sebuah profesi menjadi sangat diminati. Pada masa lain profesi  itu redup pamornya. Ini persis seperti popularitas jurusan atau fakultas di perguruan tinggi.  Di IPB tempat saya kuliah, pada masa-masa saya dulu, Fakultas Teknologi Pertanian yang punya jurusan Teknologi Industri, Teknologi Pangan dan Gizi,  dan Mekanisasi Pertanian paling diminati. Maka, selepas masa setahun di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) – yang waktu itu kami belum punya jurusan – berebutlah kawan-kawan memilih Fakultas tersebut. Terkumpullah mahasiswa dengan nilai-nilai terbaik di situ. Saya tentu saja harus tahu diri.

Saya memilih Fakultas Pertanian Jurusan Tanah.  Ini pilihan ideologis dan filosofis.  Serius. Filosofis karena saya saat itu, bahkan sampai hari ini masih  berpikir seperti  - eh tepatnya sebagai - seorang petani.  Apa itu? Mencintai bumi, akrab dengan alam, dan menghayati proses apapun sebagai sebuah “pertanian” – memilih benih yang baik, mengolah tanah dengan cukup, menyemai, menanam, merawat, menyiang gulma, menjaga dari hama dan penyakit, dan jika semua itu dilakukan dengan baik barulah bisa mendapatkan panen yang pantas. Semua proses itu harus melewati satu kurun waktu. Ada tanaman tertentu yang bahkan hanya akan tumbuh dan berbuah pada musim tertentu.   Saya percaya, tidak ada proses yang serta-merta.

Pada saat itu, Jurusan Tanah bukanlah jurusan favorit.  Masa jayanya sudah lewat. Jurusan kami pernah sangat berjaya ketika proyek-proyek transmigrasi dengan gencar-gencarnya digalakkan di negeri ini. Pada saat itu, mahasiswa bisa kaya mendadak, soalnya kerap diajak survei lokasi  transmigrasi.  

Pada masa lain, di kampus kami juga pernah sedemikian diminatinya Fakultas Kehutanan. Kala itu, perusahaan-perusahaan swasta sedang sangat gencar membuka hutan tanaman industri. Sektor kehutanan sedang naik daun, sebelum akhirnya sekarang juga redup, karena terbukti banyak pengusaha masuk ke bisnis kehutanan hanya akal-akalan untuk mengemplang kredit berbunga rendah bernama Dana Reboisasi – yang kemudian diputihkan.

*

Jadi memang sangat biasa, sebuah profesi, di satu bidang, bisa sangat diminati dan bergengsi pada suatu saat, tapi di saat lain meredup dan tidak dilirik lagi oleh para pencari kerja.  Apakah industri media sedang redup? Oh, sama sekali tidak. Media cetak akan bertahan, dan sebagian menyesuaikan dengan kebiasaan baru konsumen menyantap media lewat perangkat digital.  Apapun medianya, pekerjanya tetaplah wartawan.  Dan menjadi wartawan memang bukan pekerjaan musiman. Ini semacam panggilan jiwa.

 Menjadi orang media memang sempat menjadi pilihan banyak orang ketika keran kebebasan pers terbuka lebar, dan investasi di bidang ini jor-joran. Kebutuhan pekerja media melonjak.  Tapi,  tak semua media itu kemudian tumbuh menjadi lembaga bisnis yang sehat, juga tak menjadi institusi pers yang baik.  Pun  karena seleksi oleh berbagai hal, akhirnya tak semua pekerja pers  harus selamanya berada di sebuah media. 

*

Bagi saya, menjadi wartawan adalah mimpi, dan profesi inipun kemudian satu per satu mewujudkan mimpi-mimpi saya yang lain. Salah satunya adalah bertemu dan mengobrol akrab dengan Lilo KLa.  Bagi sebagian orang mungkin ini katrok, tapi saya memang katrok alias norak: mimpi kok ketemu musisi pop?  Izinkan saya menjelaskan kenorakan ini.  Lilo alias Romulo Radjadin, bersama tiga sahabatnya – Katon Bagaskara, Adi Adrian dan Ari Burhani (Ah, saya masih hafal nama-nama mereka) - adalah idola kami waktu SMA dulu.  Di tahun-tahun awal SMA kami, mereka merilis album pertama: KLa.

“Tahu gak artinya gambar ini? Ini kan radio lama yang dibanting. Itu artinya kami ingin membuang pengaruh musik lama yang jelek, dan kami membawa musik baru yang lebih baik dan lebih segar,” kata Lilo menjelaskan arti desain sampul kaset KLa yang saya sorongkan padanya untuk ditanda-tangani, pada suatu sore di sebuah hotel, menjelang KLa naik panggung pada malam harinya.  

Saya bilang, dengan tanda tangan itu maka saya menjadi KLanis “bersertifikat”.  Sampul kaset itu adalah kaset yang dulu saya beli saat SMA, 23 tahun sebelum ditandatangani oleh salah satu personel  KLa.  Bukankah ini mimpi yang jadi nyata?  Saya berbincang dengan Lilo bak sahabat lama. Kami kadang menyanyikan potongan lagu-lagu KLa bersama, dan perbincangan itu berlangsung sepanjang satu cerutu.   Lilo sambil saya temani, ia menikmati sebatang cerutu yang katanya harganya Rp250 ribu.  Ketika saya rasa sudah cukup banyak menyita waktu istirahatnya, dia malah menahan saya untuk tidak pergi karena cerutunya masih 2/5 batang. “Ini harganya masih Rp100 ribu,” katanya sambil tertawa.  Di daftar nomor telepon di ponsel saya sekarang tertera nama Lilo KLa, dan sesekali saya mengirim pesan pendek padanya. Bukankah ini sebuah mimpi yang jadi nyata?  Makanya,  wahai anak muda, jadilah wartawan,  buktikan bahwa  Anda adalah  someone from special breed, dan wujudkanlah mimpi-mimpi mu dengan menjadi wartawan. ***    










  
 



Friday, January 20, 2012

Romantisme Badut

APAKAH tangis? Tangis adalah tawa yang jujur. Dan tawa? Tawa adalah tangis yang berpura-pura. Aku tahu sebab aku badut yang kau larang melucu.

Padahal sejak dahulu, aku hanya ingin menjadi badut bagimu, menjadi diri yang janggal, dan kau tak lagi perlu payah mengerti aku, lalu kau tertawa saja dan padamu semua sesal selesai.

*

HIDUP bukankah cuma bagai singgah iseng di tenda sirkus. Kau menolak ajakanku, lalu pergi sendiri, membeli ketegangan dari tubuh-tubuh yang terampil mempermainkan bahaya.

Lalu muncullah aku dengan topi tak yang muat, dan hidung merah tomat, di sela-sela tepuk-tanganmu, melemparkan bola-bola yang tak cukup di dua tangan, lalu kau tertawa dan padaku segala kesal dimulai.  

[Kartunis] Mordillo, Jerapah, dan Sepakbola

SAYA lebih dahulu mengenal Mordillo, lengkapnya Guillermo Mordillo ketimbang Quino, lengkapnya JoaquĆ­n Salvador Lavado. Keduanya kartunis asal Argentina. Beruntung dan berbanggalah Argentina punya dua kartunis hebat tersebut.

Mordillo saya kenal dulu lewat artikel di Majalah Intisari. Di situ saya mengenal kekuatan garis kartunnya yang sederhana, sosok karakter tokoh-tokohnya yang bisu, tapi justru dalam kebiusan dari segala teks itulah yang membuat kartunnya berbicara maksimal, dipahami di seluruh dunia.

Kartun Mordillo banyak menggarap tema sepakbola, tak heran mengingat betapa populernya sepakbola di negara itu, dan Argentina juga adalah penghasil pemain-pemain sepakbola hebat. Juga tema binatang. Ia banyak melucukan jerapah. Beberapa kartunnya bisa dinikmati di situs resminya.  Saya tampilkan beberapa contoh di bawah ini.




Apa kata Mereka tentang Buku

ADA beberapa tindak kriminal yang lebih buruk daripada membakar buku. Salah satunya adalah jika kita tidak membacanya ~ Joseph Brodsky

TUNJUKKAN padaku satu keluarga yang gemar membaca, dan saya akan tunjukkan padamu mereka adalah orang yang menggerakkan dunia ~ Napoleon Bonaparte

BUKU tidak dicetak untuk jadi perabot, tapi tidak ada hal lain yang dapat menghiasi rumah menjadi sedemikian indahnya selain buku ~ Henry Ward Beecher

“BUKU adalah lebah yang dengan lekas membawa serbuk sari dari satu pikiran ke pikiran yang lain ~ James Russell Lowell

BUKU, saya bisa simpulkan, punya kekuatan untuk menahan waktu, mengulang masa lalu, atau terbang ke masa depan ~  Jim Bishop

SAYA punya banyak impian ketika saya kanak-kanak, dan saya kira sebab utamanya adalah kenyataan bahwa saya punya kesempatan untuk banyak membaca ~ Bill Gates

Wednesday, January 18, 2012

Apa yang Saya Pungut dari Dinding Situs Jejaring Sosial Kawan-kawan Saya

1. BISAKAH kamu mengirim Reflektor Neutron?
Sesekali, kita perlu merenung. Anas benar-benar
perlu bantuanmu. Ini super-urgen. Kamu satu-satunya
harapan mereka. Kirimkan Refletor Neutron.


2. Angie perlu stasiun untuk kereta Chuggin' Dustin.
Kedatangan kereta Chuggin' Dustin menjadikan
Jakarta City berada pada jalur cepat untuk mendapatkan
barang: Apel Malang dan Apel Washington. Beritahu
teman untuk menjadwal kereta mereka!



3. Mirwan perlu baki plastik untuk menyelesaikan 
Pujaseranya! Mirwan bekerja keras membangun
Pujasera baru di Jakarta City dan Anda bisa membantu.
Anda juga akan mendapatkan koin bonus karena 
telah membantu! 


4. Nazar ingin membagi beberapa Level 12 Tar Buah Beku
dengan Anda di CipinangVille. Nazar menyapu satu babak
permainan di Level 12 dan menawarkan banyak contoh
gratis untuk mengajak kawan-kawannya agar berbelanja
di CipinangVille. Anda bisa membeli barang-barang 
jualan Nazar untuk menambah bahan bakarmu sendiri.


5. Andi sedang asyik sembunyi dari petualangan. Ia tak 
ingin terlibat petualangan itu. Ini jebakan. Katanya. Ini 
jebakan. Ia tidak ingin berbagi tantangan. Ia sudah
menerima banyak imbalan dari petualangannya. 

6. Bawaan Anda terlalu banyak, Rosa. Ayolah. Saya
tahu! Saya bantu meringankan dan berikan sebagian!
Saya janji tidak akan hilang selama perjalanan saya. 

Surat Cinta dari Saiful

Gambar dipinjam dari sini.
Saya dapat surat cinta dari seseorang. Ia memulai dengan sajak pendek yang tampil "abadi" di blog saya ini yang tahun ini sudah sepuluh tahun usianya. Saiful si pengirim surat, juga punya akun twitter: @pung_kamaludin.

Ini petikannya:   Entah kenapa dua baris sajak itu paling lekat di kepala saya. Padahal kalau boleh dibilang saya membacanya juga sudah cukup lama, tetapi masih saja terngiang di kepala. Tidak tahu secara persis apa maksud yang ingin di sampaikan dalam dua baris sajak tersebut, tetapi selalu merasa ada makna sangat kuat terkandung di dalamnya. Paling-paling hanya sebatas mengira-ngira. Perasaan ini seperti bulu kuduk yang berdiri ketika sedang berada di tempat-tempat angker. Merasa ada sesuatu, tapi tidak tahu pasti apakah itu. Tapi sangat yakin ada sesuatu. Perasaan yang aneh, namun begitu mengasyikkan. Hingga akhirnya, yah,, dinikmati saja. Kondisinya memang mengasikkan ketika mengira-ngira suatu hal yang kita tak tahu persis apa yang dikirakan oleh penulis.

Selengkapnya baca di tautan ini. 

Ah, i love you, Pul. Saya ingin membalas surat itu. Tunggu saya, Pul! 

[Kolom] Kata itu adalah “Genshai”

TIAP awal tahun, saya memilih sejumlah buku yang akan menemani saya sepanjang tahun.  Tahun 2012 ini koleksi saya dimulai dengan dua buku hadiah dari Walikota Batam Ahmad Dahlan.  Beliau mengirimi saya Karya Agung Tun Seri Lanang “Sulalat Al-Salatin”. Ini kitab klasik berisi sejarah Melayu. Ini sepertinya sudah menjadi kitab yang sacral.  Saya gemetar ketika membuka halaman-halamannya.  Buku kedua adalah biografi Steve Jobs. Aduh, beliau seperti dapat bocoran daftar judul buku yang ingin saya beli.



Saya tidak (atau belum) hendak bercerita tentang kedua buku tersebut.  Saya kali ini akan berbagi tentang salah satu buku yang saya pilih yaitu “Aspire” karangan Kevin Hall, terbitan Penerbit Gramedia.  Ini adalah buku motivasi. Ada subjudul yang agak bombastis:  “11 Kata yang akan Mengubah Hidup Anda “, dan karena itu pada mulanya buku ini bagi saya mencurigakan. Saya curiga jangan-jangan ia seperti kebanyakan buku yang hanya menjual judul.

Bagaimana sebelas kata bisa mengubah hidup seseorang? Ah, saya pikir, pasti Kevin Hall berlebihan. Tetapi, sebelum kecurigaan saya berlanjut, saya yang suka mengutak-atik kata untuk puisi-puisi saya, mengingat lagi memang peran kata begitu pentingnya dalam peradaban manusia.  Kata juga yang dipercaya oleh Tuhan ketika berhubungan dengan manusia. Bukankah kitab suci itu adalah kumpulan kalam-Nya? Kalam adalah kata. Tuhan tidak hadir di hadapan manusia dalam bentuk rupa, juga tidak dalam bentuk suara . Kita percaya  - ini adalah salah satu dari enam Rukun Iman dalam Islam - pada Kitab-Nya, artinya kita percaya dan berkomunikasi dengan Tuhan lewat kata yang ia wahyukan kepada Rasulullah.

Maka, buku itupun saya beli.  Dan itu bukan keputusan yang salah.  Ini buku yang bagus. Kevin memulai bukunya dengan sebuah cerita pada pengantarnya, cerita tentang bagaimana ia memperoleh gagasan untuk menulis dan memulai buku itu setelah bertemu dengan seorang keturunan India. Orang itu mengajarkannya satu kata, yaitu “Genshai”.

Apa itu “Genshai”? “Artinya Anda tidak boleh memperlakukan orang lain dengan cara yang bisa membuat mereka merasa kecil,” kata Pravin Cherkoori, orang India yang tiba-tiba saja memperkenalkan diri pada Kevin, dan mengajaknya menyantap makan siang di sebuah restoran .

Pravin bercerita pada Kevin, sewaktu kanak-kanak dia diajari agar tidak memandang, menyentuh, atau memanggil orang lain dengan cara yang akan membuat mereka merasa kecil.  Contohnya begini: jika kita berjalan melewati pengemis di jalan dan dengan santai kita melemparkan uang logam kepada pengemis itu, maka kita tidak mengamalkan Genshai.

“Namun jika saya berlutut dan menatap matanya ketika meletakkan koin ke tangannya, koin itu menjadi cinta. Bila, dan hanya bila, saya telah menunjukkan cinta persaudaraan yang tulus dan tanpa syarat, barulah saya menjadi seorang pengamal Genshai sejati,” kata Pravin. Begitulah contoh sederhana kekuatan sebuah kata. Kata “Genshai” menjadi pengikat makna sebuah perilaku. Sejak saat itu Kevin pun percaya pada kata dan ia mulai menyusun bukunya.

Genshai adalah kata pertama dalam daftar sebelas kata Kevin yang ia janjikan akan mengubah hidup kita. Baru kata pertama itu saja, saya sudah bisa sedikit mengubah cara pandang saya tentang hidup diri saya sendiri.

Saya, dan Anda, mungkin sudah mengamalkan perilaku “Genshai” tersebut. Coba kita mengingat-ingat, kapankah kita memperlakukan orang lain, dan ketika itu kita mempertimbangkan apakah cara perlakuan kita itu tidak membuat kita merendahkan mereka? Atau sebaliknya, sebagai pembelajaran dan bahan renungan, mari kita rasakan, adakah perlakuan orang lain pada kita yang membuat kita merasa direndahkan? Bagaimana rasanya direndahkan? Tentu tidak nyaman bukan? Nah, kira-kira, begitulah juga perasaan orang yang kita perlakukan dengan merendahkan mereka.

Maka, sampai di sini, saya harus berterima kasih lekas kepada Kevin Hall, yang sudah mengajarkan, ah mungkin tepatnya mengingatkan agar saya memperlakukan orang lain – siapapun, kawan, anak saya, istri saya, rekan kerja, atas dan bawahan saya - dengan tidak merendahkan mereka. Saya sendiri sudah lama punya satu rumusan sikap: jangan menyalahkan orang lain, meskipun dia memang benar salah. Orang yang salah pun tidak suka terus-menerus disalah-salahkan, apalagi orang yang tidak sepenuhnya salah. Artinya dalam satu paket tindakannya, ada sebagian yang bermanfaat, dan sebagian kecil saja yang salah.  Inilah mungkin “Genshai” saya, yang harus lebih banyak saya terapkan dalam kehidupan saya berikutnya.  Menyalah-nyalahkan orang lain, sama saja dengan merendahkan orang itu.  Yah, terima kasih, Kevin.

*

Apakah sebelas kata “ajaib” lainnya milik Kevin Hall itu?  Cara terbaik untuk mengetahuinya tentu saja dengan cara membelinya. Itulah  perlakuan “Genshai” Anda terhadap Kevin. Dengan cara membeli bukunya, Anda sudah menghargai dia, meninggikan dia, tidak merendahkan dia. Hm, tapi baiklah saya akan bagikan satu kata lagi, yaitu  “humility” kata nomor 6.  Saya sangat menyukai kata ini.

“Humility” adalah kerendahan hati.  Ibu saya dulu mengajarkan hal ini. Ia memetik kebijakan dari pepatah lama yang bermuatan kebijakan luhur.  Dulu, di masa kanak-kanak saya, kami bersawah. Menjelang panen, malai padi yang penuh berisi merunduk ke tanah. Merunduk itu tangkai jerami padi melengkung indah sekali karena beban berat butir-butir padi, tetapi bebannya itu sudah terukur sehingga si tangkai tidak patah.

“Lihatlah padi itu, Nak. Itulah ilmu padi. Turutlah. Semakin berisi semakin merunduk.  Kita juga harus begitu, semakin pintar, semakin berilmu, semakin berisi hati dan kepala kita, seharusnya kita semakin rendah hati,” kata ibu saya.   

Begitulah kira-kira “humility” yang diajarkan Kevin Hall. Orang, kata Kevin, suka salah mengartikan kata itu. “Humility” tidak berarti pasif dan mengalah. “Humility” adalah kesediaan diajar dan diarahkan. “Humility” menyiratkan komitmen terus- menerus untuk belajar, tumbuh dan berkembang.

“Humility adalah menjalani hidup dalam crescendo,” kata Kevin,  “dengan bahu tegak dan kepala lurus menghadap kedepan, saat kita menggapai serta meregang untuk menjadi diri kita yang terbaik, kemudian menawarkan diri untuk membantu orang lain melakukan hal sama. Dan kemudian, kita mulai lagi!”

Ketika kita merasa menjadi orang yang “paling” kita tidak menguburkan “humility” di dalam hati kita. Ketika kita merasa paling pintar, paling berjasa, paling hebat, paling jagoan, paling dihormati, paling lama mengabdi di sebuah institusi, kita membunuh “humility” dalam diri kita. Dan karena itu kita rugi. Apa ruginya? Kita tidak lagi mau belajar. Kita tidak lagi mau meninjau diri kita, yang sebenarnya memiliki banyak kekurangan untuk diperbaiki dengan terus-menerus belajar. Ketika kita tidak lagi mau belajar, maka kita berhenti berkembang!

Terima kasih, Kevin, yang lagi-lagi dengan kata yang kau perlakukan dengan istimewa, kau lacak dari mana asalnya, kau paparkan riwayat maknanya, kata yang sebenarnya sudah lama saya kenal itu, bisa mengingatkan saya lagi.  Semoga apa yang saya tulis di kolom ini tidak membuat saya merendahkan Anda, para pembaca kolom saya ini. Karena jika itu terjadi saya tidak mengamalkan “genshai”.

Kolom ini, sejak awal adalah wujud dari niat saya untuk mengamalkan “humility”,  wujud dari kerendahan hati. Saya percaya pada kalimat Andrea Hirata bahwa menulis tak lain hanyalah mempertontonkan kebodohan. Anda, pembaca, dari tulisan saya, bisa menilai apa yang saya tahu, kapan saya hanya sok tahu, dan berapa banyak yang saya tidak tahu. Karena itulah saya menulis, sebab dengan menulis saya jadi terus-menerus belajar. ***