Sunday, April 30, 2006

Di Suatu Siang, di Sebuah Pohon

r r r r r r r r r r r r r r r
a a a a a a a a a a a a
w w w w w w w w w w
a a a a a a a a a a a a
l l l l l l l l l l l l l l l l l l l
e e e e e e e e e e e e
l l l l l l l l l l l l l l l l l l l
e e e e e e e e e e e e
k k k k k k k k k k k k
Siapa Meningkap Disana?

dinding dinding dinding
dinding dinding dinding
dinding dinding dinding
dinding dinding dinding
dinding dinding dinding
dinding             dinding
dinding             dinding
dinding             dinding
dinding             dinding
dinding             dinding
dinding             dinding
dinding dinding dinding
dinding dinding dinding
dinding dinding dinding
dinding dinding dinding
dinding dinding dinding

Pram, Aku Sampah, Bakarlah!


: Pramoedya, 29 April 2006

DI halaman bukumu aku cuma sampah,
bakarlah di satu senja di musim yang meriah.

NANTI, abuku bertemu abumu. Di tanah.
Aku bernaung, pohonmu rimbun megah.

Friday, April 28, 2006

BELAJAR MENGETIK SEPULUH JARI

langit langit langit langit langit langit langit langit langit langit langit langit
langit langit langit langit langit langit langit langit langit langit langit langit
langit awan awan langit awan awan langit awan awan langit awan awan
awan awan awan awan awan awan awan awan awan awan awan awan
h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h h
u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u u
j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j j
a a a a a a a a a a a aa aaa aa aaa aa aa a a a a a a a aa aa aaaa a a aa
n n n n n n n n n nnn aku kebasahan, aku kedinginan n nn nn n n n n n n

Kamus Empat Kata: Sepi, Jauh, Jarak, Hilang

Sepi: Oh, ternyata amat tak mudah, mengarti-artikan kata ini.
       Aku mungkin perlu menyayat dua-dua telinga hingga menuli,
       Aku barangkali harus busukkan dua-dua mata hingga membuta.
       Dan engkau hanya buka halaman kamus, menunjuk namaku
       yang sudah kau hapus. "Beginikah kelak padamu kata ini
       memaknai diri sendiri, menerjemah ke panjang hari-hari."

Jauh: Aku pun sejak itu tak bisa berhenti, terus saja pergi,
       singgah menginap di istana tua, mampir minum kopi
       di kedai senja. "Lihat ada rumput liar tumbuh di ujung
       celana, Tuan." Kata perempuan, merayu, agar aku
       lebih lama bertahan. Di tubuh yang ia tawarkan. "Aku,
       harus terus berjalan, maaf. Aku belum bisa melemakan,
       sebuah kata di kamus, yang maknanya ingin kubuktikan.

Jarak: Pal batas kota, makin menua, bagai totem-totem purba.
       Rambu-rambu melarah berkarat: angka kilometer tak larat
       mengukur berapa tebal lembaran kamus memisah kau
       di halaman pertama dan aku yang telah hilang masih juga
       bertahan dalam kata yang tak kau suka, di ribuan halaman lain
       sesudahnya. Aku semakin tahu. "Huruf awal kita memang beda."

Hilang: Dan lengkapkah ensiklopedi perjalanan? Aku menyusun
       ribuan entah-entah. Menjilidkan sebuah kitab pertanyaan.
       Hampir menemukan jawaban, lalu datang pak pos tua,
       mengelu-elu kabar yang tak mau kutahu. "Telah kubakar
       seluruh lembar, kamus yang setiap katanya adalah kisahmu
       tentang aku, tiap hurufnya adalah jejakmu atas jejakku, tiap
       contoh kalimatnya adalah jawabmu setiap kali kutanya."

Thursday, April 27, 2006

[Kutipan] Berani Mati, Berani Hidup

Politisi menyuruh orang berani menentang mati,
penyair mendorong orang berani mengarung hidup.



* Salvatore Quasimodo, penyair Italia, peraih Nobel Sastra 1959

Tuesday, April 25, 2006

3 Hal yang Sebenarnya Hendak Kusampaikan
Kalau Aku Bisa Singgah Ngobrol di Rumahmu


: Selamat Ulang Tahun untuk Budi Darma

1. Aku akan bertanya apakah loteng di rumahmu
disewakan untuk orang yang tak jelas alamat
di KTP seperti aku. Jejakkucuma gema puisi.
Terusir dari sepi ke sepi. Kulihat nyala terang
di ruang tamumu, dan suara ketik ketak
huruf-huruf diberdayakan. Singgah, aku segan.
Aku sibuk menduga engkau sedang menulis kisah,
kelanjutan tentang pria yang mencintai sepotong
jalan. Di Bloomington. "Ah, tak mungkin. Tak
mungkin aku betah dengan ketabahan yang sudah
berpuluh tahun kau buktikan."

2. Aku mau mengajakmu jalan-jalan. Aku mau
kisahkan, petualanganku dari buku ke buku, dari
ragu ke ragu, dari lagu ke lagu, sesat di hutan
pertanyaan yang entah sejak kapan merimbun dalam
ingatan. "Mungkin sejak ada yang bilang, hei mengarang
itu gampang, kan?" Dan sejak itu aku percaya, kalimat
itu adalah sebuah karangan yang paling gampang,
untuk menipu orang yang tak punya kartu anggota
perpustakaan, tak punya kartu lisensi menunggang
kendaraan seperti aku ini. Tapi, aku kira kamu capek
seharian berususan dengan kalimat-kalimat dengan
dugaan-dugaan, dengan adegan-adegan. "Mungkin aku
bisa saja mencari jawaban dalam percakapan-percakapan
yang kau ciptakan."

3. Aku ingin bilang bahwa aku teknisi komputer gratisan.
"Komputermu pernah juga rusak kan?" Kamu akan mengiyakan.
Aku ingin tambahkan, bahwa virus di komputermu sudah
parah tak ketolongan. Aku harus kerja semalaman. Padahal,
ini cuma akal-akalan, Tuan. Aku ingin mencuri rancangan
cerita. Aku ingin menculik tokoh-tokoh yang kau reka.
"Tapi, ah aku takut bila kau ternyata lebih licik dari
aku. Aku takut kau ringkus aku, cukup dengan sebuah kata
dengan tulisan tanganmu."

Monday, April 24, 2006

[Tentang Puisi] Lirik Pendek Saja

Sajak lirik sebaiknya pendek saja. Seperti fajar, bianglala, dan senja. Menyehatkan bagi penyair dan pembaca. Penyair tidak terpancing untuk terlalu melebar dan berlarat-larat; pembaca tidak mual dibuatnya. Menulis dan membaca sajak lirik sangat menyedot energi mental. Bila ingin menulis sajak berlembar-lembar, tuliskanlah ia dalam bentuk dramatik, dengan monolog, dialog, dan deskripsi. Dalam monolog dan dialog, perhatian retorika dan logika; dalam deskripsi, lirika.

* Puitika No.14 Hendra Gunawan.

Friday, April 21, 2006

[Kelas Puisi] Melihat Pada dan Melihat Melalui : Futurisme, Dada, dan Puisi Konkret

KALAU bahasa hendak digunakan untuk mendukung budaya literasi tinggi, demikian sarjana retoris Richard Lanham berhujah, maka bahasa itu sendiri mesti dibuat dari bagian-bagian yang sederhana. Karena itu, karakter-karakter yang menjadi batu penyusun bangunan bahasa mesti mudah dimengerti dan tampil sebagai kaligrafi yang sederhana. Contoh, ketika membaca buku, orang seringkali abai untuk memperhatikan tanda-tanda tinta di kertas. Orang lebih banyak peduli pada gagasan yang ada di bawah permukaan kata-kata.

FILOSOFI tipografikal ini - kesederhanaan, kejernihan, transparansi - telah mendominasi budaya cetak sejak penemuan mesin cetak, ujar Lanham. Tapi abad ke-20 melahirkan sejumlah gerakan senirupa dan puisi yang mempertanyakan filosofi ini, pemakaian tipografi itu sendiri sebagai medium pemaknaan, mencegah orang melihat "melalui" kata-kata dan memaksa pembaca melihat "pada" kata-kata itu.

FUTURIS Italia, contohnya, yang dihela oleh manifesto FT Marinetti 1909, mulai menolak ekspresi tradisional seni dan sastra sebagai "pakaian bekas". Di antara berbagai targetnya adalah buku itu sendiri, yang oleh Marinetti di sebut "apak" dan "sesak", sebuah simbol lama yang oleh para Futuris dilawan dengan karya-karyanya. "Pada budaya literasi," Lanham menulis di The Electronic Word, "konsep pemaknaan kami sendiri ... tergantung pada aksi radikal penyederhanaan tipografikal ini. Tak ada gambar; tak ada warna, urutannya ketat dari kiri ke kanan lalu turun satu baris; tak ada perubahan huruf; tak ada interaksi; tak ada revisi. Dengan konvensi ini, Marinetti melabrak seluruh konsep literasi kemanusiaan". Marinetti mulai bereksperimen dengan tipografi yang tidak biasa, mencipta puisi yang simultan secara tektual dan visual, seperti karyanya yang terbit tahun 1909 "SCRABrrRrraaNNG."

PADA waktu yang nyaris bersamaan, Dada memperoleh kekuatan sebagai gerakan seni di Eropa. Gerakan ini juga memberontak terhadap bentuk-bentuk seni tradisional. Dadais berkonsentrasi pada spontanitas, penulisan otomatis, dan operasi kemungkinan. Kolase menjadi elemen penting baik dalam senirupa maupun puisi, sebagaimana dilakukan dengan tipografi. Dadais Tristan Tzara mendesak penyair untuk menggunting kata-kata dalam kolom surat kabar, sementara seniman Kurt Schwitters merancang puisi dengan huruf-huruf antropomorfis - karakter huruf "B" dengan kaki dan lengan, contohnya. Dadais juga tertarik dengan puisi yang sementara dan bisa dihapus, misalnya puisi yang ditulis di pasir atau papantulis.

KETERTARIKAN puitik kepada tipografi kembali marak pada tahun-tahun 1950-an dan 1960-an dalam bentuk puisi konkret. Puisi-puisi ini menyusun bentuk-bentuk tertentu yang hanya bisa tampak ketika dilihat di halaman buku. Poet Reinhard Döhl, contohnya, menulis puisi konkret dalam bentuk apel yang disusun semuany dari kata "apple" dan tiba-tiba saja ada satu kata "worm" di antaranya. .

Eugen Gomringer pada 1954 menulis puisi "Schweigen," yang terdiri dari pengulangan (iteration) kata "schweigen," sebuah kosakata Jerman yang berkaitan dengan kesunyian, kata-kata itu mengelili sebuah ruang kosong - ruang sunyi di tengah baris ketiga:


schweigen schweigen schweigen
schweigen schweigen schweigen
schweigen                   schweigen
schweigen schweigen schweigen
schweigen schweigen schweigen



RUANG sunyi di baris ketiga adalah bagian penting dari puisi itu, tulis kritikus Roberto Simanowski dalam esai "Concrete Poetry in Digital Media," karena, "langsung mengucapkan, bahwa kesunyian hanya bisa diwujudkan dengan ketidakhadiran kata-kata lain."

PUISI konkret meneruskan eksperimen tipografik yang dimulai oleh para Futurs, menuntut pembaca puisi melihat serentak "pada" dan "melalui" bahasa. Dan, tulis Simanowski, "puisi konkret berususan dengan hubungan antara bentuk yang tampak dan substansi intelektual dari kata-kata. Dia tampak .. karena ia menambah gestur optis dari kata kepada makna semantiknya."

* Diterjemahkan dari Looking At and Looking Through: Futurism, Dada, and Concrete Poetry

[Kelas Puisi] Romantisme, Sekilas Ringkas

"Meskipun ada perbedaan tanah dan iklim, bahasa dan tatakrama, hukum dan adat, meskipun banyak hal diam-diam hilang dari ingatan dan banyak hal lain terpaksa hancur, Penyair menyatukannya dengan gairah dan pengetahuan yang luas tentang kemanusian, yang terhampar di seluruh bumi, dan sepanjang waktu. Objek Penyair ada di mana-mana; ada di mata dan rasa manusia, itulah kebenaran, pemandu yang paling ia suka, yang akan diikutinya kemana pun dimana ia dapat menemukan atmosfer sensasi yang bisa menggerakkan sayapnya. Puisi adalah awal dan akhir dari seluruh ilmu pengetahuan -- ia tak tak kenal kematian seperti hati manusia."

--- William Wordsworth, "Prepace to Lyrical Ballads"


ROMANTISME beralasan kalau disebut sebagai gerakan artistik terbesar di akhir 1700-an. Pengaruhnya menyebar hingga ke beberapa kawasan dan melewati beberapa disiplin artistik hingga pertengahan abad 19, dan beberapa nilai dan keyakinannya masih bisa dilihat dalam puisi kontemporer.

SUSAH untuk menentukan kapan gerakan ini dimulai, tapi bisa dilacak lewat beberapa peristiwa dalam sejarah: gelombang ketertarikan pada forklor pada pertengah hingga akhir abad ke-18 yang ditandai dengan karya-karya Grimm bersaudara, reaksi menentang neoklasisme dan penyair-penyair Augustan di Inggris, dan peristiwa-peristiwa dan kebangkitan politik yang membantu perkembangan kebanggaan nasionalitik.

PENYAIR-penyair Romantik mengolah individualisme, merujuk ke alam natural, idealisme, gairah emosional dan fisikal, dan perhatian kepada mistik dan supernatural. Romantisme menempatkan dirinya sebagai oposisi bagi aturan-aturan artistik dan rasionalitas klasik dan neoklasik agar terangkul kebebasan dan revolusi dalam kerja seni dan politik mereka.

PENYAIR Romantik Jerman Fredrich Schiller dan Johann Wolfgang von Goethe, dan penyair Inggris seperti William Wordsworth, Samuel Taylor Coleridge, Percy Bysshe Shelley, George Gordon Lord Byron, dan John Keats menggerakkan gerakan Romantik Inggris.

Victor Hugo dicatat sebagai penyair Romantik Prancis. Dan Romantisme menyeberang samudera Atlantik melalui karya-karya penyair Amerika seperti Walt Whitman dan Edgar Allan Poe. Era Romantik menghasilkan banyak stereotif dan penyair serta puisi yang tetap bisa dinikmati hingga saat ini.

* Diterjemahkan dari A Brief Guide to Romanticism

Tuesday, April 18, 2006

Kerudung dan Baju Kabung

SEPERTI gelitik rintik di kota yang berisik

Hujan menjerat jerit, malam yang berselisih
Engkau sudah bisa tabah memahat pahit di tanah

Kau ingat berisik mesin jahit, dan serak perca

"Aku buatkan kau kerudung. Dan baju kabung.
Pakailah, kelak bila kau antar aku ke kubur."


IA hanya ingin meminta, ayahnya merancang lagi
pakaian boneka-boneka. Seperti dulu ketika ia
sandingkan pangeran dan putri raja. "Ayah, aku
ingin berbahagia seperti mereka. Selamanya."

Dia tak lihat ada rembes air mata di wajah tua.

Sunday, April 16, 2006

Sebelum Penyair
Lain Menuliskannya


Puisi

Friday, April 14, 2006

Kata Usang Masih Terbuka
untuk Dibikin Hidup Kembali

Seraya mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah sudi membaca sajak-sajakku, akusempatkan menulis sedikit catatan.

Mengenai puisi "Laki-laki tanpa Celana" (LTC) yang diperbincangkan oleh rekan penyair Hasan Aspahani, perlu saya katakan dulu bahwa ada salah cetak dalam penayangan puisi tersebut dalam antologi "Telepon Genggam." Salah satunya, kutipan (paragraf pertama) puisi Sapardi, "Pada Suatu Pagi Hari" (PSPH), seharusnya dicetak miring semua. Salah cetak bisa dianggap mengganggu, bisa tidak. Bisa dianggap remeh, bisa tidak. Bisa diabaikan, bisa tidak. Tergantung kadarnya. Namun buat orang sesensitif saya, salah cetak tetaplah salah cetak: ia telah menimbulkan perasaan tidak enak. Itulah sebabnya, diperlukan kerja sama yang baik antara penerbit dan pengarang. Sungguh malang nasibmu, pengarang, jika bukumu tidak sempat dicetak ulang entahkarena tidak laku, entah karena apa. Dengan demikian, karya berhiaskan salah cetak yang nampang dalam bukumu akan dianggap sebagai versi yang benar.

Lalu mengapa muncul sajak Sapardi dalam LTC? PSPH adalah salah satu sajakyang sering saya baca ulang dan yang sangat menimbulkan rasa penasaran dalam diri saya sebagai seorang pembaca. Padahal isinya "cuma" lukisan suasana ngelangut dan nelangsa. "Kejahatannya" menorehkan perasaan ngelangut dan nelangsa saja sebenarnya sudah merupakan hadiah yang indah buat saya dan sesungguhnya saya tidak perlu menuntut sesuatu yang lebih dari itu.

Namun torehan luka itu ternyata berbuntut panjang. Saya terhantui oleh nganga sunyi yang saya temukan di tengah PSPH. Tidak ada penjelasan apa pun mengenai ia yang ingin sekali menangis dan mengapa pula ia ingin menangis. Apa boleh buat, nganga sunyi itu selanjutnya menjadi nganga sunyi saya sendiri.

Tersedot ke dalam nganga sunyi itu, terbayanglah tiga sajak Sapardi (yangoleh A. Teeuw disebut sebagai tritunggal tentang waktu : "Saat SebelumBerangkat", "Berjalan di Belakang Jenazah", dan "Sehabis Mengantar Jenazah"(lihat kumpulan puisi pertama Sapardi, dukaMu abadi). Pada saat yang samasaya teringat sebuah tulisan yang mengatakan bahwa "dukaMu abadi" merupakansemacam "nyanyi sunyi" sehabis terjadinya tragedi berdarah G 30 S/PKI yangdiikuti dengan pembantaian begitu banyak orang tak bersalah. Singkat cerita, saya kemudian mencoba mereka-reka (dengan "mengada-ada" tentu) sebuah cerita untuk mengisi nganga sunyi tadi. Maka lahirlah LTC.

Dengan kata lain, LTC bolehlah dianggap sebagai teks ciptaan seorang pembaca yang kejeblos dalam nganga sunyi PSPH. (NB: Saya lebih senang jika cerita tentang proses lahirnya LTC ini diabaikan saja dalam proses pembacaan puisi saya.)

Sebenarnya masih ada satu soal yang menggoda: mengapa ia (tokoh dalam PSPH) ingin menangis lirih saja. Si "lirih" ini sungguh ambigu, namun agar tidak menyita waktu Anda tak perlulah saya berceloteh tentangnya. Saya tambahkan satu hal saja: diam-diam saya "mengakali" gaya bercerita Budi Darma ketika menulis LTC. Mungkin SDD dan BD "sakit hati" dengan saya. Biar saja. Toh "ilmu menulis" mereka kelewat besar untuk hanya "diakali".

Terinspirasi oleh karya dan teknik menulis pengarang lain adalah hal yang wajar-wajar saja sejauh masih sanggup berbuat sesuatu yang lain atas usaha sendiri. Bisa jadi pencapaian karakteristik seorang penyair atau pengarangterjadi secara evolutif. Mula-mula mungkin terpukau pada karya orang lain, lalu jatuh cinta, lalu tergila-gila, lalu "benci" sehingga terdorong untuk mengeksplorasi celah-celah yang masih bisa dirambah dan dijelajahi dengan cara sendiri, syukur-syukur bisa menciptakan keunikan tersendiri.

Dalam berlatih menulis puisi, salah satu hal yang paling mengasyikkan bagi saya justru ketika harus berhadapan dengan kata-kata yang sudah klise, kata-kata atau imaji-imaji yang mungkin sudah banyak digunakan penyair-penyair lain, bahkan kata-kata yang dalam kehidupan sehari-hari pun sudah terasa apak dan mandul. Sebuah kata yang sudah usang masih terbuka untuk dibikin hidup kembali, segar kembali dengan visi yang lain, perspektif yang lain, spirit yang lain, atau kejutan ide yang lain. Sebuah kata atau sebuah imaji dapat saja dipakai oleh beberapa penyair dan masing-masing penyair dapat menjadikannya unik dan segar dalam versi yang berbeda-beda. Saya ambil contoh imaji "alis". Setidaknya saya temukan tiga "alis" yang indah dari tiga penyair. Sitor Situmorang: "Kujelajahi bumi dan aliskekasih", "Berita erjalanan" (1953 ?) Acep Zamzam Noor: "Di lengkung alismatamu sawah-sawah menguning" (Cipasung 1989). Goenawan Mohamad: "Di alismu langit berkabung" ("Untuk Frida Kahlo" 1993-1994). Tiga alis, tiga pukau,tiga unikum.

Oh ya, beberapa tahun lalu saya sempat bertemu dan ngobrol dengan Ignas Kleden. Salah satu obrolannya yang menarik dan yang masih saya ingat adalah ketika dia menunjukkan kemiripan antara baris-baris puisi Goenawan Mohamad dengan baris-baris puisi Emily Dickinson (saya lupa puisinya). Ignas melihat kemiripan tersebut dalam konteks "kekerabatan imajinasi" bukan terutama dalam soal tiru-meniru. Saya lupa persisnya istilah yang ia gunakan, tapi jelas ia menyebut kata "kekerabatan". Malah ia menyebut istilah "gen" segala.

Semogalah catatan kecil ini dapat sekalian menjadi tambahan "penjelasan"buat rekan penyair Hasan Aspahani yang pertanyaan-pertanyaannya tempo hari saya jawab ala kadarnya (maklum lewat sms).

- Joko Pinurbo -
Puisi Apa yang Bisa?

kalau a bukan a
kalau b bukan b
kalau c bukan c
kalau d bukan d
kalau e bukan e
kalau f bukan f
kalau g bukan g
kalau h bukan h
kalau i bukan i
kalau j bukan j
kalau k bukan k
kalau l bukan l
kalau m bukan m

puisi
apa
yang
bisa
kau
tulis?

kalau n bukan n
kalau o bukan o
kalau p bukan p
kalau q bukan q
kalau r bukan r
kalau s bukan s
kalau t bukan t
kalau u bukan u
kalau v bukan v
kalau w bukan w
kalau x bukan x
kalau y bukan y
kalau z bukan z

puisi
apa
yang
bisa
kau
baca?
Carilah Namamu
di Antara Deretan
Huruf di Bawah Ini

A H K K L B A O K G L K F Y W B C G K D H F B N C X
K D K P G J W S Q L B V O B D C P I U F G H L D N D
J D G G L L E D J H K J F H Y T B F P O L R H D I W O
J H G G P L E P F G H D L E G H G U Y T N D L D P G
K U T M V B G P J J D L U F H D W P R B G H G R C B
K D L E L O I W P Q G V B N F D L K V C P T U Y T K J
K J H R H D L P U R H F G M N B G C X Z M L R O U Y
A J H G P L R J L F J H O D B D L D G F G H T B D P R
A K J H F H D O T U Y T I D D P D G F R D R Y T L K L
J D O I R L D L R O T D L P O I T F G H D B C K L D F J
A K D P E J H D Y T O L P E P L D P I T R D D J K D L D
D H D I R H D D U Y T I F D H L E O D F J F P E O F R T
N B K C VI U TY S R E T U R O L R P D L D J H D K T K
K J J H T D H D D D L D K F D V N B G T U I T O K L D
D D K L P R P J T U C Z A D S E L D H D P E L D L O P
D L R B D D O L D H D A D S D H A D L D H D D P R H F

Kau tahukah bahwa
kau mungkin mencari
di tempat yang salah?
Yang Mati Bersama Jam dan Aku?

DI laci
jam mati
pukul
02:21:35

Waktu
terus berlalu,
tidak mati
bersamanya.

Kalau
aku mati
pada pukul
02:21:35

waktu
juga akan
terus melaju,
tidak akan mati
bersamaku.

Thursday, April 13, 2006

AKUARIUM

air air air air air air air air air air air air air
air air air air IKAN air air air air air air air
air air air air air air air air air IKAN air air
air air IKAN air air air air air air air air air
air air air air air air air air air air IKAN air
air IKAN air air air air air air air air air air
air air air air air air air IKAN air air air air
air air air air air air air air air air air air air
air air IKAN air air air air air air air air air
air air air air air air air air air air air air air
air air air air air air air air air IKAN air air
air air air air air IKAN air air air air air air
air air air air air air air air air air air air air

Wednesday, April 12, 2006

Pertunjukan Kenyataan Permainan Mengatasi Ketakukan

MEREKA bertemu lagi dengan tubuh penuh darah,
mata berlinang darah, rambut keramas darah, mulut
meludah darah, hidung beringus darah. Dan dada itu,
tiap detaknya jantung adalah gelegak berbuih-buih darah.

Bahkan ketika kedua tangan mereka saling berjabatan
dari sela-sela jari pun deras mengalir dua darah. Selamat
berdarah, dan Kita ternyata belum kehabisan darah.

Orang mengira mereka habis bertempur habis-habisan.
Ada juga yang mengira, mereka peserta yang terusir dari
pertunjukan kenyataan permainan mengatasi ketakukan.

Tapi dengarlah, mereka segera membantah: Siapa bilang,
sejak lahir, kami memang belum pernah benar-benar
dimandikan. Darah sudah jadi pakaiaan. Darah sudah
seperti perhiasan. Darah sudah lama jadi udara pernafasan.

Tapi, kami hidup di negeri yang pandai mengajari pura-pura
mandi. Berdusta kepada tubuh minimal tiga kali sehari.
Kami harus tangkas dengan cepat menyembunyikan darah.
Menambal sulam luka sejarah di tubuh yang makin penuh
perban menutupi korengan, dan semerbak mabuk serbuk penisilin.

Mereka tidak suka mandi. Biar orang melihat, apa warna
sesungguhnya darah kami. Mereka mencintai luka. Biar
sakit ini membusuk, dan kami belajar menyembuhkan,
dan fasih menangis dan berduka dengan lebih bijaksana.

Mereka lalu berpisah, setelah sama-sama janjian. Nanti,
akan bertemu di sebuah puisi, di tengah danau yang airnya
cukup untuk membasuh wajah dan kaki tiga kali. Seperti
wudhu sebelum menyembahyangkan jenazah sendiri.

Tuesday, April 11, 2006

Hanya Ini yang Mau Kukatakan
William Carlos Williams

Habis kuhabiskan
buah plum
yang ada
di kulkas

kaukah yang
menyimpan
untuk besok
kau sarapan

Maaf, plum itu
begitu lezatnya
hmm manisnya
sungguh dinginnya
Di Stasiun Metro
Sajak Ezra Pound

Di kerumun orang, wajah-wajah menyelinap hilang;
Basah kelopak kembang, di hitam cabang-cabang.

Friday, April 7, 2006

Obrolan dengan Joko Pinurbo
"Urusan Saya dengan Puisi Belum Beres"


LEWAT pesan-pesan pendek (SMS), saya bertanya-jawab dengan penyair Joko Pinurbo. Empat hari (4-7 April 2006) dia melayani kerecokan saya. Saya kira dialah penyair dengan karya yang paling segar dan paling luas penggemarnya saat ini, termasuk saya yang mengoleksi enam dari tujuh bukunya.

Joko Pinurbo sudah menerbitkan tujuh kumpulan sajak. Celana (Indonesiatera, 1999), Di bawah Kibaran Sarung (Indonesiatera, 2001), Pacarkecilku (Indonesiatera, 2002), Trouser Doll (2002), Telepon Genggam (Penerbit Buku Kompas, 2003), Kekasihku (Kepustakaan Populer Gramedia, 2004) dan Pacar Senja (Grasindo, 2005).

4 April 2006

HAH: Semoga telepon genggam sampeyan tidak sedang tidur di kuburan, dan belum dibuang ke laut. Salam kenal, saya Hasan Aspahani.

(Saya mengutip sajak Selamat Tinggal dari buku Telepon Genggam).

JP: Terima kasih. Salam juga. Masih bikin 'kamus'?

(Yang ia maksud adalah enam sajak 'kamus' saya yang dimuat di Kompas, 18 Desember 2005).

HAH: Terima kasih, sudah baca sajak itu, masih sampai nggak asyik lagi. Kapan buku barunya? Saya punya semua buku sampeyan. Tidak membosankan, panjang umur dan cetak ulang selalu, ya?

(Kalimat terakhir itu saya cuplik dari sajak Selamat Ulang Tahun, Buku dari buku Telepon Genggam juga).

JP: Wah, saya lagi macet nulis. Sedang mulai membangun rasa-puisi lagi.

HAH: Nah, itu dia. Bagaimana aja caranya?

5 April 2006

JP: Lagi saya cari caranya. Setiap puisi ternyata punya cara sendiri untuk datang kepada penyair.

HAH: SMS baru saya terima pagi ini, maaf. Soal cara datang puisi itu, ya, saya percaya banget. Masih di Matabaca, Mas?

JP: Ya, masih bantu-bantu Matabaca, ini semacam proyek idealis saja.

HAH: Masih mengajar juga? Aha, saya ingat, kata mandul kita hamili, kata lapuk diberi birahi, supaya sepi bertunas, tumbuh dan berbuah.

JP: Sudah 2-3 tahun ini saya berhenti mengajar dulu. Sulit mengatur waktu. (Atau kita yang terlalu diatur oleh waktu?).

(Joko Pinurbo lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962. Tahun 1981 tamat dari SMA Seminari Mertoyudan, Magelang. Tahun 1987 lulus dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta. Selama mengajar di almamaternya dia sambil juga membantu majalah Basis. Ia juga pernah membantu jurnal Puisi.)

HAH: Penasaran di KTP sampeyan pekerjaannya apa?

JP: "Karyawan Swasta", (mestinya "Penyair Swasta").

HAH: Ha ha ha. Buku puisi apa yang paling sering sampeyan baca. Oh ya sajak untuk Eka Kurniawan itu yang terbaru ya?

JP: Sulit mengatakan mana yang paling. Banyak buku puisi yang sering saya baca ulang, antara lain CA (Chairil Anwar), SDD (Sapardi Djoko Damono, GM (Goenawan Mohamad). Banyak yang bagus sih. Ya, itu puisi terbaru, ditulis atas permintaan. Bagian dari amal lah.

(Inilah sajak yang dimaksud:

CINTA TELAH TIBA

untuk eka dan ratih

cinta telah tiba
sebelum kulihat parasnya
di musim semi wajahmu

telah menjadi kita dan kata
saat kucicipi hangatnya
di kuncup rekah bibirmu

kian dalam dan tak terduga
saat kuarungi arusnya
di laut kecil matamu

(2006)

Ratih Kumala menyiarkan puisi ini di mailist Apresiasi Sastra)

HAH: Usil nih, bagaimana dulu ketemu celana, boneka, kamar mandi, kuburan?

JP: Gimana ya, antara ingat dan lupa. Antara sadar dan tak sadar. Intinya, itu bermula dari keinginan untuk mengekplorasi imaji-imaji domestik. Supanya punya fokus dan kekhasan gitu. Tapi memang harus selalu berusaha mencari lingkungan imaji yang lain lagi.

HAH: Ini cerewet, Mas nulis pakai pena dan kertas? Atau hanya bisa di komputer?

JP: Sering coret-coret dengan pena dan kertas dulu. Tapi belakangan kok enak langsung di komputer ya... Toh saya masih selalu 'catatan kecil' di notes (bila tiba-tiba muncul 'iblis' alias ilham).

HAH: Pernah terganggu dengan kritikan? Bagaimana memberdayakan pujian?

JP: Terganggu sebentar, habis itu ya biasa-biasa saja. Merenung, mengendapkan, mengambil hikmahnya. Kritik juga harus dikritisi kan? Pujian tentu menyenangkan. Tapi juga bisa membius hingga lupa diri. Paling baik tetap sadar-diri. Kita harus siap mental untuk dicela dan dipuji.

HAH: Saya masih akan rajin bertanya, punya kamus KUBI? Masih rajin mengangon kata? Sampai besar dan cari kerja sendiri?

JP: Punya dan sering buka-buka. Untuk cari tahu makna kata. Untuk ngepasin diksi. Untuk lihat-lihat berbagai obyek puitik yang dapat digarap. Untuk mendapatkan inspirasi. Sesekali tergoda untuk bikin kata sendiri.

HAH: Kepada penyair yang lebih muda nasihat apa yang paling sering sampeyan berikan?

JP: Baca baik-baik karya pendahulu. Pelajari ilmunya, cermati jurus-jurusnya, temukan celah-celah yang masih bisa digarap, lalu cobalah bikin jurus-jurus yang lain atau beda (untuk tidak mengatakan baru). Pelihara terus naluri puitik dengan berbagai cara. Dan tahan bantinglah. Kepenyairan dan kepengarangan membutuhkan tidak hanya bakat tapi ketajaman nalar dan daya tahan mental. Jangan bernafsu ingin cepat terkenal atau jadi 'tokoh'.

HAH: Pertanyaan terakhir untuk hari ini, ketika apa mulai pede kirim karya ke media? Kapan akhirnya dimuat?

JP: Ketika SMA dan dimuat. Tapi dulu sering lho karya saya nggak dimuat. Sekarang lainlah. Setiap penyair, saya kira punya era sendiri. Ada sih penyair yang awet, seakan-akan hidup terus, melintasi era demi era.

6 April 2006

HAH: Pagi Mas Jokpin, apa kabar? Saya mau jadi murid lagi hari ini. Adakah seseorang atau sebuah momentum yang jadi titik balik hingga sampeyan terus menapak di jalan puisi?

JP: Salah satunya saat buku puisi pertama saya Celana terbit. Ketika itu saya sudah 37 tahun dan merasa belum apa-apa. Telat banget kan? Tidak diduga, buku itu mendapat sambutan hangat. Beberapa orang bilang kumpulan puisi itu merupakan semacam 'janji baik' bagi perpuisisan (untuk tidak mengatakan kepenyairan) Jokpin. Sejak itu saya makin bergairah menulis puisi. Saya berutang budi pada Celana.

HAH: Celana itu juga penting buat saya, di Riau kalau itu ada mahzab yang hegemonik banget. "Celana" meyakinkan saya, bahwa pengucapan masih bisa diekplor. Terima kasih.

JP: Itu yang penting: masih banyak celah atau kemungkinan cara dan bentuk pengucapan yang bisa diekpsplor. Tapi memang harus sabar, tekun dan gigih.

HAH: Selama, hampir 30 tahun menyair, adakah tahun-tahun ketika Mas Jokpin merasa ingin sudah saja? Apa pula yang menggembirakan dalam persajakan kita kini?

JP: Merasa "sudah saja" sih tidak (jangan sampai ah). Merasa gamang sih iya. Yaitu saat sebelum Celana terbit. Yang menggembirakan antara lain munculnya cara ucap dan imaji yang dulu belum muncul ini menunjukkan Bahasa Indonesia menyediakan potensi atau kemungkinan yang masih terbuka untuk terus dieksplorasi.

(Penyair Joko Pinurbo menulis sejak SMA. Karyanya dimuat di berbagai surat kabar, majalah, jurnal, dan antologi. Ia menerima penghargaan sastra: Penghargaan Buku Puisi Pusat Kesenian Jakarta 200, Hadiah Sastra Lontar 2001, Sih Award 2001, Penghargaan Karya Sastra Pusat Bahasa 2002, dan masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award 2001, 2002, 2003)

HAH: Ada waktu khusus mengarap puisi? Senja mungkin?

JP: Tengah malam, Mas. Senja enak enak untuk duduk-duduk, melamun, minum teh, merokok.

HAH: Nah, kalau diminta merumuskan (atau sudah?) apa filosofi dasar sajak-sajak Jokpin?

JP: Sulit dirumuskan. Tapi bisa dicermati di bagian akhir puisi Sudah Saatnya (dalam buku Telepon Genggam), dan bait kedua sajak Aku Tidak Bisa Berjanji (Kekasihku).

(Bait terakhir sajak Sudah Saatnya adalah, " sudah saatnya kata-kata mandul kita hamili; yang pesolek ngapain dicolek, toh lama-lama kehabisan molek. Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi birahi. Supaya sepi bertunas kembali, supaya tumbuh dan berbuah lagi".

Bait kedua sajak Aku Tidak Bisa Berjanji adalah, "Sajakku hanya sisa tangis seorang bocah yang ditinggal ibunya pergi cari obat dan tidak juga kembali, sementara panas tubuhnya terus meninggi. "Cepat pulang, Bu!")

HAH: Kapan bikin The Complete Poems of Joko Pinurbo?

(Setahu saya baru penyair Goenawan Mohamad yang sudah menerbitkan buku sejenis, selain Chairil Anwar yang tentu saja terbit posthumous).

JP: Nantilah, Mas. Baru setengah jalan.

HAH: Puisi sampeyan selalu langsung jadi, ya? Atau ada juga yang putus sambung baru rampung?

JP: Hampir tidak ada yang sekali jadi. Prosesnya rumit, dan bikin capek juga. Setelah jadi, dari luar mungkin kelihatan gampang dan mulus. Yang berat justru saat 'editingnya', mengutak-atik dan membongkar-pasangnya.

HAH: Mungkin karena itu Sampeyan kesal banget sama salah ketik.....

JP: Ya, betul.

HAH: Seandainya Mas punya duit tak terhingga untuk membeli hak cipta atas puisi, puisi penyair mana yang mau diborong?

JP: Semua puisi terbaik dari semua penyair di negeri ini. Setiap penyair pasti punya puisi yang saya anggap 'indah'. Termasuk puisi papa penyair yang tak atau belum terkenal.

HAH: Sebenarnya segan menanyakan ini, apa kritik Mas untuk 'puisi kamus' itu? Tanya habisan hari ini, besok saya recoki lagi.

(Saya melanggar saran dua penyair besar. Rainer Maria Rilke dan Pablo Neruda. Rilke bilang jangan minta pendapat tentang syairmu kepada orang lain. Neruda si peraih Nobel Sastra 1971 itu malah tidak akan pernah memberi petunjuk kepada siapapun untuk puisi).

JP: Unik, segar, mengejutkan. Saya aja nggak kepikir kesana. Tinggal menggali variasi tema dan suasananya kalau mau dibuat puisi serial. Saya kira itulah tantangan puisi serial.

7 April 2006

HAH: Puisi itu dilakoni bukan hanya dituliskan. Ada bagian dari kalimat itu yang Mas Jokpin percaya?

JP: Saya lebih suka mengatakan bahwa pergulatan hidup kita sehari-hari termasuk aktivitas kerja cari duit, ronda, dll. merupakan bagian penting dari sumber ilham bagi proses kreatif kita.

HAH: Tergoda menulis hal lain selain puisi?

JP: Kadang tergoda juga menulis novel, misalnya. Tapi rasanya urusan saya dengan puisi belum beres.

HAH: Mas pernah melancong ke luar negeri atas nama puisi, kan? Pulangnya bawa apa?

JP: Pernah diundang baca puisi di Belanda dan Jerman. Pulang bawa tubuh saya yang kedinginan. He he he...

(Joko Pinurbo diundang baca puisi di Festival Puisi Antarbangsa Winternachten Over-zee 2001, di Jakarta, Festival Sastra/Seni Winternachten 2002 di Belanda, Forum Puisi Indonesia 2002 di Hamburg, Jerman, dan Festival Puisi Internasional-Indonesia 2002 di Solo).

HAH: Kata Ignas Kleden Mas Jokpin sangat obsesif merenungi tubuh. Kata Nirwan Jokpin memparodikan penyair sebelumnya.

(Ignas Kleden mengulas dengan dalam dan bagus sekali sajak Joko Pinurbo di buku Di Bawah Kibaran Sarung. Telaah Nirwan Dewanto dikutip dari majalah Tempo edisi akhir tahun 2002 dan dicuplik di buku Telepon Genggam. Ulasan Ayu Utami bisa dibaca di buku Pacar Senja).

JP: Ah, saya hanya pemulung celana.***

Tuesday, April 4, 2006

Bocoran Buku: Menapak ke Puncak Sajak

TERNYATA saya bisa juga tunak menggarap buku Menapak ke Puncak Sajak ini. Ada ide tambahan untuk subjudul: Jangan Menulis Puisi Sebelum Baca Buku Ini!

INI bab (atau ada istilah lain?) yang paling menarik saya sendiri. Sudah 12 bab yang selesai. Ini bocorannya:



12. Lalu Apakah Sajak?

122. Tukar pikiran denganmu begini ini, memang asyik. Sampai lupa, ada satu pertanyaan yang dari tadi ada di ujung lidah saya. Pertanyaan yang mestinya saya ajukan sejak awal pembicaraan kita. Apa sebenarnya puisi atau sajak atau syair itu?

Apa perlunya itu kamu tanyakan?

123. Nah, ini jawaban yang paling tidak saya harapkan..

Saya bukannya ingin menjawab berbelit-belit. Saya benar-benar ingin tahu apa perlunya kamu mengetahui apa pengertian puisi, sajak, syair. Apakah itu bisa membantu membuatmu lebih asyik menikmati puisi?

124. Ya, katanya kan tak kenal maka tak sayang…

Saya tidak akan pernah memberi kamu definisi puisi itu apa. Saya bukan mahaguru dan kamu bukan mahamurid saya. Ini bukan kuliah sastra, jadi tidak akan ada ujian semesteran.

125. Ya, sudah…

Saya memang tidak bisa dan memang tidak ingin menjawabnya. Sebab puisi sendiri bagi saya adalah serangkaian pertanyaan yang tidak berhasrat memburu jawaban. Puisi bagi saya juga adalah sejumlah pertanyaan yang menggugat jawaban-jawaban yang sudah dianggap selesai. Dalam sebuah jawaban yang tuntas, puisi seperti masuk perangkap. Dia tak bisa kemana-mana lagi. Dia terjepit, tak berdaya dan akhirnya mati. Karena itu puisi bagi saya juga upaya untuk membebaskan jawaban tadi dengan pertanyaan-pertanyaan baru.

Saya bisa dan ingin menjawabnya dengan cara ini: menuliskan terus puisi-puisi. Karena, bagi saya, dengan cara itulah puisi sebaiknya diberi jawaban. Setiap puisi yang selesai ditulis adalah jawaban atas pertanyaan 'apakah puisi?'. Karenanya, saya sendiri tak henti menanyakan itu kepada diri saya sendiri, sebab saya tak ingin berhenti menulis puisi

126. Cara mencintaimu yang beda, atau memang begitukah cara mencintai puisi?

Entah, mungkin ya, mungkin tidak. Ketika pertama kali tertarik dan mulai menulis puisi, saya tak ingin bertanya apakah puisi itu. Saya hanya seperti bertemu sahabat lama dan kami lalu memasang sepatu petualangan. Tiba-tiba, bersama puisi, di depan dada terbentang gunung, langit, laut, sungai, semuanya juga menawarkan penjelajahan yang tak habis-habisnya.

Dan setelah petualangan bertahun-tahun -- petualangan yang belum sampai ke puncak manapun, ke ujung manapun -- tiba-tiba pertanyaan yang paling merisaukan itu datang. "Apakah puisi itu?". Saya terus terang benci dengan pertanyaan itu. Bertahun-tahun saya tidak peduli tak hendak hirau. Dan kami, saya dan puisi -- terus saja memetualangi apa saja. Sesekali pulang ke rumah, sesekali saling menjauh dan kembali lagi bersama dengan petualangan yang lain.

Dalam pengembaraan itu, akhirnya kutemukan juga kalimat yang sebenarnya sama sekali tidak menjawab. Saya jadi tidak merasa bersalah dan tidak terus menerus merasa sebagai sahabat yang bodoh yang tidak tahu sahabatnya sendiri.

127. Apa itu?

Ini dia jawabannya: Sesungguhnya tidak ada definisi bagi puisi -- tepatnya tak ada definisi yang lengkap memuaskan, sungguh-sungguh memberi kejelasan, dan bukan sebuah tautologi, sekadar mengulang-ulang kata tanpa menambah kita jadi mengerti. Nah! Karena itu juga, tidak ada resep atau manual atau petunjuk cara membuat puisi yang baik.

128. Kok cuma itu? Biasanya kamu paling suka mengutip kata-kata penyair-penyair hebat…

Baiklah, ada jawaban lain. Puisi adalah sepotong tulisan pendek yang imajinatif dari pengalaman seseorang yang ditulis dalam bait bait. Itu sebuah jawaban yang umum, bukan?

129. Ya, ini sih bukan definisi yang hebat. Saya juga bisa bikin seperti ini…

Kamu juga bisa membuka kamus, mengecek di ensiklopedi, tapi cukupkah itu untuk mengerti apa itu puisi? Ataukah malah sama-sama mengundang perdebatan?

Sepotong alinea dari sebuah cerita pendek bukan puisi. Karena itu, definisi puisi memang susah ditetapkan. Seperti hanya umumnya hal yang bersentuhan dengan estetika. Mungkin perlu satu tambahan pasal: puisi adalah ikhtiar atau tugas untuk mengertikan dunia dengan peristilahan manusia lewat komposisi sastra. Nah, makin mengundang tanya kan?

130. Ada yang lebih penting dari sekadar definisi, ya, puisi memang bukan ilmu pasti yang segalanya harus pasti dan tak mengundang perdebatan.

Ya, yang lebih penting dari definisi adalah perannya. Puisi itu mengikut atau bahkan menjadi penghulu dari perubahan arus pemikiran dari masa ke masa. Secara umum, banyak diterima pembedaan puisi atas tiga cara pandang. Tetapi, harus buru-buru ditambahkan bahwa ini pun masih asyik buat dibikin debat.

Penganut faham tradisionalis berhujah puisi adalah ekspresi dari sebuah pandangan yang diungkapkan dalam bentuk yang dimengerti dan menyedapkan orang lain, dan mungkin membangkitkan emosi yang sejenis.

Bagi kalangan modernis, puisi adalah sebuah objek yang berdiri sendiri yang bisa saja tidak merupakah penjelmaan dari apa yang ada nyata di alam, diciptakan dalam bahasa yang khas dan dengan jaringan makna dan rujukannya yang kompleks.

Lalu kaum posmodernis melihat puisi sebagai kolase-kolase dari idiom-idiom terkini yang membangkitkan rasa ingin tahu, lalu mengisi maknanya sendiri -- dan puisi memakai, menantang dan atau melecehkan konsep-konsep yang sebelumnya, tetapi juga tidak merujuk ke luar puisi itu sendiri.

131. Tadinya saya mengira kamu mengelak untuk menjawab karena benar-benar tidak punya jawaban.

Ternyata?

132. Saya benar-benar puas dengan jawabanmu. Dan saya juga mengerti apa pentingnya, apa manfaatnya jawaban itu, bukan sekedar untuk mengetahui apa puisi itu.

Ada yang lebih penting daripada itu. Kita bisa membuat puisi baru yang kelak membuat definisi puisi itu berubah, menyesuaikan dengan puisi yang kita temukan itu.

133. Bisa begitu?

Bisa, boleh, silakan lakukan, ayo temukan. Ini puisi. Itulah hebatnya.

Sunday, April 2, 2006

[Ruang Renung # 138] Aku Ingin Mencebur

Anwar Jimpe Rahman kirim sajak padaku: KOLAM DI TEPI SAJAK. Judulnya saja menunjukkan bahwa si penyair ada pengolah bahasa. Pengolahannya memang sepele. Ia mungkin hanya membalik kalimat 'sajak di tepi kolam'. Tapi hasilnya luar biasa. Saya yang memang suka berenang dalam sajak jadi tergoda untuk menceburkan diri ke dalam puisinya itu.

KOLAM DI TEPI SAJAK


ini kali kita bertemu di tepi kolam, setelah sebulan
membakar tumpukan kertas. engkau bilang
wadah bekas untuk sepotong sajak.
sedang aku; demi sebuah naskah lawak.



Maka, terceburlah saya. Basah sejak bait pertama. Ini kali, sudah cukup untuk menggambarkan bahwa aku dan engkau terikat pada sebuah hubungan, setidaknya pada sebuah pernah. Pernah bertemu, pernah berjanji, pernah berkawan. Keduanya aku dan engkau adalah orang yang sibuk. Mereka pekerja tetap, yang dapat gaji bulan-bulan. Isyarat kerja tetap itu bisa pula saya tangkap dari pemakaian kata kertas - metafor yang nyaman untuk budaya kerja mutakhir itu. Aku saya duga sedang memendam semacam ketidakpuasan. Ada ironi yang manis di situ. Engkau bilang kertas yang ia bakar adalah bekas untuk sepotong sajak. Sementara aku mengenang kertas itu sebagai sebuah naskah lawak. Saya kira bait ini pun tak dibuat dengan mudah. Karena penyair memakai kata demi yang membuatnya lolos dari predikat bait yang biasa. Ini bait meamng istimewa jadinya.


pegal rasanya, ujarmu, dikepung kata.
memang ada huruf yang tertinggal
di baju hitammu.
tapi segera kujentik dari pundakmu.


Aku sedang jenuh dengan kata. Tapi ketika duduk berdua dengan engkau, aku masih bersedia mendengar keluh. Mungkin karena itu keluhnya juga. Pegal dikepung kata. Bagaimana meyakinkah keluh itu? Si Penyair cukup menunjukkan huruf yang tertinggal di baju dan segera dijentik oleh si aku. Kenapa engkau ditampilkan dengan baju hitam? Imajinya yang dibangun pun semakin lengkap, semakin muram.

huruf-huruf jatuh ke kolam
membentuk hujan lingkaran
direbuti ikan


Huruf yang dijentik di bait tadi ternyata jatuh ke kolam. Plung! Sejauh ini, penyair berhasil membangun keutuhan tingkat tinggi. Huruf tanda letih, tanda kata yang mengepung aku dan engkau huruf yang berceceran ke baju, itu tak sia-sia. Di kolam ia diperebutkan ikan.

engkau tertawa sebab malu. di pipimu ada awan senja
yang datang dari ufuk sebuah sajak.
kubalas senyum terkulum, seperti anak yang disergap seribu keliru.


Ibarat meniup sebuah balon panjang, gelembung pertama tiupan tadi ada di bait ini. Ini adegan yang dipersiapkan dengan manis. Engkau tertawa. Tapi apa yang membuatnya malu? Ini adalah sajak close up. Aku melihat di pipi engkau ada awan senja yang datang dari ufuk sebuah sajak. Awan senja? Sesuatu yang tak disadari telah ada? Yang datang dari ufuk sebuah sajak? Aku menyadarkan itu. Engkau malu. Malu yang cukup ia tertawakan saja.


tapi sebelum lambai disentak
sebelum engkau berdetak
sebelum aku merambat
kita mesti bertukar sajak
tentang pertemuan di sebuah kemudian; di sebuah ahad
sebelum lupa membuat kita lengkap


[2005-2006]


Penyair memilih menutup sajak ini dengan bait yang datar, dengan ancaman kesibukan yang mengerkah leher baju. Tentang sajak, sesuatu yang sebenarnya mempertemukan aku dan engkau secara rutin, di sebuah ahad. Penyair memilih menutup sajak ini dengan kesadaran bahwa akan ada lupa yang membuat mereka lengkap. Ibarat minum kopi yang diakhiri dengan tegukan air putih. Hambar memang, tapi toh air putih itu harus disajikan sebagai pelengkap. Agar rasa kopi hilang di lidah tapi manisnya dan pahitnya tetap ada dalam kenangan. Dalam ingatan.