Monday, April 26, 2010

Fardu Rindu

SUKAR sekali memulai larik puisi, sesukar menukar kartu,
aku lalu mengenang apa yang belum kupertaruhkan dari
kata akhir kita, tentang bimbang & rindu yang fardu.

Seperti baru belajar lagi, berbagi dengan larik puisi,
aku telah terbiasa mengais, di sia-sia tangis, di antara
kata yang duafa, menadah sedekah & rindu yang fardu

Saturday, April 24, 2010

[Resensi Buku] Ruang Kata di dalam Sajak Remeh

ALEX R NAINGGOLAN

Ketika seorang penyair mengubah yang remeh menjadi berarti, barangkali sajak yang ditulisnya justru berkisah banyak. Kata-kata yang terjalin bukan hanya sekadar meminjam bahasa, melainkan menjelma jadi sebuah sintaksis kalimat yang ajaib.

Hasan Aspahani adalah penyair yang mahir dengan hal tersebut. Meminjam bahasa Iswadi Pratama—ia merebut segala yang remeh dan tak berarti. Maka, puisinya menelusup ke dalam kesukaan pribadi-pribadi, lalu melepas ke cakrawala pembaca yang luas. Seseorang yang tidak suka komik pun bisa terpesona ketika ia menggambarkan ihwal komik dalam sajak-sajaknya. Ia seperti memberi suguhan lain dari citra komik tersebut.

:: Selengkapnya di KOMPAS

Wednesday, April 14, 2010

[KOLOM] Air Bersih Itu Mahal

AIR bersih itu mahal. Atau, selekasnya kita harus terbiasa memperlakukan air sebagai barang mahal. Air bersih itu langka. Ini faktanya: Di dunia ini, hanya ada 3 persen air tawar, selebihnya 97 persen air asin! Air tawar yang 3 persen itu pun sebagian es! Air bersih itu barang mewah dan mahapenting. Coba ingat lagi fakta ini: 80 persen tubuh kita terdiri dari air. Air bersih itu vital. Kenapa? Kita bisa bertahan hidup dua minggu tanpa makan, tapi tak akan bisa bertahan tiga hari tanpa air! Tak percaya? Cobalah! Saya percaya.



Air adalah kehidupan. Di Kalimantan – saya kira juga di beberapa daerah lain – ada kebiasaan memberi nama-nama kampung dari bentang alam perairan. Kampung saya namanya Sungai Raden. Beberapa kampung tetangga, juga diberi nama dengan kata depan Sungai.

Ada kampung lain bernama Handil Baru. Handil itu berarti pintu air. Bangunan untuk mengatur atau menahan agar air laut tak masuk membanjiri kebun-kebun kelapa. Ada juga kampung lain yang diberi nama Parit Baru. Parit itu kata lain dari selokan, jadi masih berkaitan dengan air juga.

Tugas utama saya waktu kanak-kanak adalah mengambil air. Di kampung kami, sumber utama air untuk mencuci piring, mandi dan pakaian adalah sumur dan sungai: keduanya payau dan cokelat karena karat dari tanah gambut. Kampung kami ada di pesisir Kalimantan, menghadap Laut Sulawesi.

Setiap subuh, sebelum mandi di subur pekerjaan pertama saya adalah mengisi tempat-tempat penampungan air di dapur. Berkali-kali bolak-balik dari rumah ke sumur, dengan menenteng dua ember kecil. Buat saya waktu itu, ini seperti olahraga melatih otot tubuh, sambil kelak terbentuk tubuh seperti Bruce Lee.

Air sumur dan sungai kami tidak bisa diminum. Untuk minum kami mengandalkan air hujan. Kami menampung dalam drum bekas aspal, bekas minyak, dan terutama bulanai. Yang terakhir itu adalah tong bulat, gendut, berbahan semen. Bulanai kami pakai untuk menampung air hujan khusus untuk minum. Kapan pun ada hujan, jika bulanai kami masih kosong, kami harus menampung air, berhujan-hujan, bahkan bila tengah malam. Saya masih bisa mengingat sensasi itu: saat saya berada di tengah malam, di bawah hujan lebat, dikepung kilat bersabung, dan sesekali dikejutkan oleh petir. Wow, entah kenapa, saya menikmatinya! Nikmat, karena ini pekerjaan jauh lebih ringan daripada menenteng ember penuh air. Bayangkan, air itu mengucur deras dari langit, dan dengan mengatur arah pancuran, bulanai kami penuh.

Sewaktu SMA, di Kota, saya tinggal bersama paman. Tak ada saluran air PDAM di rumahnya. Maka, setiap pagi, saya harus mengisi dua drum air. Air diambil dari sumur pompa bersama. Satu drum itu isinya 200 liter. Saya waktu itu sudah kuat memikul air dua kaleng. Hitung-hitungannya begini. Satu kaleng 20 liter. Dua kaleng 40 liter. Satu drum baru penuh setelah saya bolak-balik lima kali. Dan, asal tahu, letak sumur pompa itu di bawah bukit. Artinya, saya harus mendaki sekitar 250 meter dengan beban dua kaleng penuh air. Paman saya waktu itu pegawai negeri dan baru mulai mengajar. Dia sudah punya satu anak. Pompa listrik baginya adalah barang mewah.

Lahir dari keluarga petani, saya jadi sangat mengerti apa artinya air, dan merasakan langsung akibat dari musim: musim hujan dan musim kemarau. Pada saat kemarau, kelapa di kebun-kebun kami berbuah sedikit dan kecil. Pada saat itupun, sering terjadi kebakaran. Pada saat hujan, kelapa berbuah lebat. Tak ada yang bisa kami lakukan. Kebun-kebun tradisional kami sudah diairi dengan sistem irigasi paling baik yang bisa kami bangun.

Dengan kisah-kisah personal di atas tadi, saya tidak bermaksud apa-apa, kecuali satu hal: saya jadi punya alasan kuat untuk menghargai air. Sejak dulu, bagi saya air itu mahal. Tersedia pun ia, maka perlu biaya untuk membuatnya sampai tersedia di rumah. Biaya itu tak tahu saya bagaimana menghitungnya sebab itu adalah waktu dan tenaga saya sendiri.

Kran air, shower di kamar mandi, wastafel, bak cuci piring di dapur adalah barang mewah buat saya. Di rumah seorang kawan, rumah dinas perusahaan minyak Negara, saya terheran-heran karena kran airnya dibiarkan terbuka terus dan airnya melimpah. Saya kira mereka lupa, saya pun mematikannya. Tapi saya ditegur oleh ibunya. “Biar aja, gratis, kok. Yang bayar perusahaan.”

Sampai hari ini, setelah lebih dari dua puluh tahun, saya masih ingat teguran itu, dan saya masih ingin tapi merasa tetap tak berdaya bagaimana mengubah salah anggapan itu. Ingin sekali saya berteriak, “Air ini sama sekali tidak gratis, Bu!”

Saya percaya, seperti digambarkan dalam Kitabullah Alquran, bahwa surga adalah tempat dengan sungai-sungai mengalir di bawahnya. Dan surga kecil seperti itu dulu pernah dipunyai oleh kakekku. Saya tahu dari cerita ibuku. Rumah kakek adalah rumah panggung di tengah-tengah hamparan kebun kelapanya.

Ada kolam besar di sampingnya. Kolam itu berair tawar, dan jernih. Airnya penuh sepanjang tahun. Kebun di sekelilingnya jadi daerah tangkapan dan resapan air hujan. Di sana berbiak berbagai jenis ikan: mujair, gabus, sepat, papuyu, dan keong berdaging manis yang enak disantap.

Di situ tumbuh juga kangkung berserat lembut, putri malu yang tumbuh air, dan di sepanjang tepiannya tumbuh keladi berumbi lemak. Semuanya adalah sumber protein dan vitamin. Untuk laun makan sehari-hari, keluarga kakek nyaris tak harus membeli apa-apa.

Di sekeliling kolam itu ada sebaris pohon cengkeh yang tiap tahun. Pada saat musimnya datang, cengkeh berbuah lebat, dan kakek membebaskan kami memetik sendiri semampu kami, menjemur sendiri cengkeh itu, dan menjualnya sendiri untuk menambah tabungan kami sendiri.

Di kolam itu juga tumbuh kayayu, bayam air yang mengapung, dan kembang talipuk alias teratai. Ini tidak disantap, tapi keduanya mempercantik estetika kolam itu. Saya hingga beberapa tahun kemudian, masih bisa menikmati sisa-sisa kolam itu. Memancing sisa-sisa ikannya yang masih bertahan dengan air kolam yang makin lama makin dangkal dan tawar. Kenapa? Karena abrasi pantai. Garis pantai makin dekat karena tergersu ombak.

Pasang air laut, memang masih bisa ditahan oleh bangunan handil yang sampai saat ini pun dirawat dengan segala daya upaya oleh penduduk kampung kami, tapi, kami tak tahu bagaimana menahan intrusi air laut lewat jalur bawah tanah. Kelapa kami masih bisa bertahan dengan kadar garam tinggi, tapi surga kolam di rumah kakek kami tidak.

Dalam Islam air juga bagian penting dari proses ibadah. Salat baru sah kalau didahului dengan wudhu, yaitu menyucikan diri dengan membasuh sejumlah anggota tubuh. Pasti juga ada ritual menyucikan diri yang berkaitan dengan ibadah dalam agama dan keyakinan-keyakinan lain.***

Thursday, April 8, 2010

[Kilas] Kisah dan Kata

 1. Pada hakikatnya sebuah kata sudah merupakan sebuah kisah yg utuh.

2. Dalam sebuah kata ada tokoh, darinya dan padanya membayang berbagai plot.

3. Kata pada awalnya memang dibuat untuk mengantar atau bertukar kisah-kisah

4. Tuhan tidak menciptakan bahasa untuk manusia. Ia bebaskan manusia menemukan kata-kata.

5. Tuhan meminjam bahasa manusia - tak memakai bahasa-Nya - untuk mengisahkan wahyu-Nya.

6. Manusia dikuasai oleh bahasanya. Tapi, penulis adalah penguasa atas bahasanya.

7. Apakah dituliskan atau dibiarkan terlupa, hidup tetaplah serangkaian kisah.

8. Tuhan sesungguhnya adalah juru kisah yang menuliskan kisahnya dengan nyata, tidak dengan kata.

[Kilas] Rumah Kata

1. Kata adalah rumah yg dihuni oleh seseorang. Penulis harus kenal baik siapa orang itu.

2. Kata adalah rumah yg alamatnya jelas. Penulis harus dengan lekas bisa melacak alamat itu.

3. Kata adalah rumah yang halamannya luas. Penulis betah & riang gembira bermain di halaman itu.

4. Ada kata yang terancam tergusur oleh lalai, lupa, lacur, dan lancung. Penulis harus mempertakankannya.

5. Bahasa adalah kota yang terus membangun kompleks perumahan untuk kata-kata baru. Penulis dgn cermat mengamatinya.

6. Penulis yg hebat adalah pelancong yg datang dan singgah di lebih banyak rumah-kata dan kota-bahasa. 

7. Penulis harus seorang ahli tata-rumah-kata, desain interior kalimat, dan tata-kota-bahasa

8. Menulis adalah menata rumah kata, mengatur jalan, menyusun taman, membangun komplek perumahan, membina kota.

[Kilas] Kita dan Kata

1. Kita hidup dalam lautan dan udara kata. Kita dikepung kata. Kita berenang dalam kata.

2. Benda-benda, yang nyata, abstrak, bahkan yg imajiner, mendekati dan sampai pada kita dalam bentuk kata.
3. Pikiran, konsep, perasaan keluar dan masuk ke dalam diri kita lewat dan dalam kata. 

4. Kata adalah ketika bunyi sah menyatu dengan makna. Bunyi tanpa makna bukan kata. 

5. Ketika memanfaatkan kata - menulis atau bicara - kita sedang bersepakat dengan sistem bahasa. 

6 . Penulis adalah pengguna kata yang (seharusnya) paling tinggi tingkat kesadaran berbahasanya.