Tuesday, April 26, 2005

Peter, Our Pain!

/1/

Sepanjang jalan
ke Neverland
kita saling kehilangan.

Kau tak tahu lagi, janji apa yang harus kau penuhi.
Aku tak bisa lagi meneduhkan diri. Siulan yang mati.

"Adakah yang ingin kau bisikkan tadi?" kata sepi.

/2/

Teruskan saja, Peter, nyanyikan seluruh lagu pedih,
sampai rintih tinggal lirih. Luka itu tak kan pernah pulih.
Petualang makin letih,
pengembaraan kian kehilangan dalih.

Ada seorang pemburu, pulang mengambil peluru.
Di tangannya senapan dan peta tinggal sebuncu.

Ada seorang nelayan mengelak: perahu bertolak.
Laut tak lagi jinak, ikan tak pernah lagi banyak.

/3/

Meneruskan jalan
ke Neverland,
kita saling kehilangan.

Kau semakin meyakini, ini perjalanan yang sia-sia.
Itulah sebab, maka aku tak pernah berhenti bertanya.

Friday, April 22, 2005

[Ruang Renung # 108] Petugas Puisi yang Baik

Bagaimana kemudian anda mampu menyimpan setiap puisi yang merembes begitu saja dari rahim kreatif anda padahal anda tak lagi mempersiapkan selimut untuk menghangatkan puisi-puisi itu? - Joey Chemod VS

Dulu iya, saya mempersiapkan diri. Dulu saya merasa menulis puisi itu seperti tugas. Jangan salah, tugas itu saya terima dengan senang hati.

Saya adalah petugas puisi yang baik. Dulu saya petugas puisi yang disiplin. Saya mencari tahu apa saja dan di mana saja tentang puisi. Dengan internet, semua itu jadi mudah. Sajak-sajak Neruda, Li Po, Whitman, dll saya baca dengan bernafsu, karena saya merasa, sebagai petugas puisi yang baik saya harus kenal semua jenis puisi. Saya juga menyimpan dan membaca banyak buku puisi. Paling banyak di antara jenis buku puisi lain. Jadilah puisi-puisi saya kala itu sebagai puisi sebagai hasil penugasan. Tapi sekali lagi, saya menerima tugas itu dengan ikhlas. Saya bahagia
menjalankan tugas itu. Hasilnya pun menyeronokkan saya.

Sekarang tidak lagi. Puisi seperti teman. Kami tidak saling mengikat. Kami tidak saling membebani. Kami tidak terikat apa-apa kecuali pertemanan itu sendiri. Kadang-kadang ada juga kami saling berjanji untuk bertemu. Dan dia atau saya tidak datang pada waktu dan tempat yang sudah dijanjikan. Ya, kami tidak kecewa. Pertemanan kami tulus. Kadang-kadang kami bertemu di tempat-tempat yang tak tertuga tanpa rencana. Saya kadang melihat dia di pasar, di poster film, di bungkus rokok, di iklan surat kabar. Kadang saya tidak melihat dia, meskipun kemudian saya bahwa dia sebenarnya ada ketika saya ada di tempat X, Y, atau Z.

Nanti? Entahlah. Mungkin akan jadi musuh, atau menjadi istri yang paling memahami, atau menjadi anak-anak batin. Yang pasti saya akan tetap mencari bagian dari puisi itu yang bisa terus menerus saya cintai. Ehm musuh juga harus dicintai bukan? Karena, kata orang bijak, musuhlah yang paling tahu dan akan membongkar kelemahan-kelemahan kita. Lagi pula apa sih yang abadi dalam hidup ini? Kawan bisa jadi musuh, demikian sebaliknya. Tapi saya tidak cemas dengan ketidakabadian itu. Sekali lagi hubungan saya dengan puisi, apapun bentuknya adalah tulus belaka.

Thursday, April 21, 2005

[Ruang Renung # 107] Saya Curiga, Saya Bahagia

Proses kreatif itu misterius. Saya nyaris percaya itu sekarang. Tak bisa dirumuskan. Saya nyaris percaya itu sekarang, setelah sekian tahun intens mengakrabi puisi. Setelah memburu jejak-jejak penyair lewat pengakuan proses kreatif mereka masing-masing.

Ya, saya nyaris saja percaya sekarang. Puisi datang dan pergi seenaknya. Puisi saya tercipta lewat proses yang tidak pernah sama. Hendak menulis puisi tentang sesuatu jadinya sesuatu yang lain. Ketika bersengaja hendak menulis rahim imajinasi malah mandul. Ketika buru-buru di dalam kendaraan umum eh puisi malah muncul seenaknya.

Saya menikmati saja. Saya mebahagia-bahagiakan diri saja. Ketika puisi tidak datang, ya biar saja, tak perlu memaksa. Tak perlu berduka lara. Tunggulah saja. Bersabarlah saja, bersiaplah menanti kedatangannya. Ketika dia datang ya sambutlah sebiasa sebisanya. Jangan terlalu gembira. Apalagi sekarang di saat apapun saya bisa bilang, "setidaknya saya pernah menulis puisi". Bagaimana dengan Anda?

Maka Selesailah Pertunjukan

maka selesailah pertunjukan,
kita bertukaran peran,
aku membawa pulang kursi penonton,
kau tak mau menutup tirai panggung
di wajahmu yang masih penuh dengan adegan:

      lolongan anjing kelaparan
      jeritan buruh hilang pekerjaan
      sedusedan perempuan ketakutan
      anak-anak yang tak henti bertanya
        walau tak kunjung datang jawaban
      dan, eh ternyata ada juga aku disana
      dengan pakaian dan keberanian yang
      seluruhnya sudah bertanggalan

"Selamat menyaksikan,
selamat menyaksikan!"
kata pemandu acara, seperti
amat kukenal gaya bicaranya.

Suatu Tengah Malam di Sebuah Wartel

Lepas pukul 00.00 malam ini
aku mau nongkrong dengan-Mu sampai mabuk,
sudah lama kutabung nyali
untuk membayar percakapan ini,
kebetulan malam ini
ada diskon pulsa besar-besaran.

Sudah kupersiapkan 'halo' yang paling aduhai
'apa kabar' yang paling membuai
dan 'hai sayang' yang paling gombal,
"rinduku yang semakin sialan,
malam ini harus dibongkar total,
diumbar habis-habisan!"

Lepas pukul 00.00 malam ini, Sayangku,
aku mau ngobrol dengan-Mu sampai orgasme!

Sunday, April 17, 2005

Dongeng Rumah Pintu

/1/

Dia sekarang sudah punya rumah,
rumah idaman yang sudah lama diidamkan.

"Selamat tinggal episode gelandangan,
selamat tinggal periode kontrakan.
Sekarang aku sudah menjadi tuan rumah di rumah sendiri."

Dia menyebut rumahnya: rumah pintu.
Sebab atapnya pintu, lantainya pintu,
dindingnya pintu, langit-langitnya pintu,
jendelanya pintu, apalagi pintunya: tentu saja pintu!

Ketika pertama kali menempati rumah itu,
sang hujanlah yang pertama kali bertamu.

Lalu pagi hari ia nyalakan matahari.

Klik. Saklar dipencet sekali, lalu teranglah sepanjang hari.
Kalau terlalu menyengat panas, dia bentangkan gorden awan.

/2/

Sebenarnya dia sudah sangat tenteram,
tinggal di rumahnya yang nyaman:
rumah pintu, rumah penuh taman.

Sampai suatu hari, datanglah petugas dinas perumahan.
Menanyakan IMB, sertifikat, dan menagih pajak bumi dan bangunan.

"Segera lunasi tunggakan,
atau rumah ini harus segera dikosongkan!"

/3/

Dia pun pergi, meninggalkan rumah dengan penuh penyesalan.

"Salahku sendiri, kenapa selama ini tak pernah menutup pintu.
Hingga orang-orang gampang nonton dan melaporkan
betapa nyaman dan amannya aku di rumah itu."

Padahal sudah lama orang seperti dia divonis kutukan:
"Dilarang berbahagia, seumur kehidupan."
Hukuman paling sadis tanpa pembelaan.


/4/

Sekarang dia menjadi pengelana. Mengembarai hari.
Mengendarai kaki sendiri. Memedomani hati sendiri.

Mencari rumah yang tanpa pintu.
Rumah yang entah di mana,
tapi dia tahu ada: sudah lama ia ditunggu di sana.

Friday, April 15, 2005

Enam Lelaki dan Seekor Elang Hitam

elang hitam itu: pengisyarat ataukah dia yang ditunggu?

hanyalah kami - enam lelaki - yang benar-benar tahu,
pilar-pilar batu. Langit berpilar sepuluh. Perangkap ragu.
kami lelaki, berjaga dengan hunus penghancur batu.

elang hitam itu: pembawa rahasia ataukah dia mata-mata?

hanya kami - enam lelaki - yang semakin lama menunggu,
keras lantai batu. Langit berlapis batu. Matahari pun ragu:
hendak menuju senja ataukah bertahan di tegang petang?

elang hitam itu: terbang memutar. Jerit semakin terdengar!

Ibu yang Telanjang, Ibu yang Berkabung

Anak-anak hanyalah bom hitam tak bersumbu:
senyap dan taat, merapikan dendam tersulut waktu.

Lansekap tak berwarna, taman bermain atau gurun
tak lagi ada beda. Tak ada jejak kaki, tak ada suara.

Aturan permainan kini: semakin kau diam, semakin
besar kegirangan yang kelak bisa kau ledakkan.

Di ujung pandang: ibu yang telanjang pulang ke gamang,
di tengah kerumun: kereta bayi dan ibu yang berkabung.

Awan memadat, disesaki murung yang makin berat.
Aku ingin bertepuk tangan, untuk show amat dahsyat!

Thursday, April 14, 2005

Email dari Mesir : Ajak Semua Menari

Salam kenal buat om hasan, :)
     Sejak pertama saya mengenal arti kehidupan, bentuk dan macamnya, saya mulai mengartikan 'macam' dari bentuk kehidupan sebagai 'warna hidup', karena banyak macamnya saya katakan itu 'corak hidup'.
     Saat ini, ketika saya membaca puisi-puisi om Hasan Aspahani, saya teringat kenangan ketika saya masih ada di Ponorogo, saya mulai membaca karya cerpen sufitik milik seorang alumnus IAIN Sunan Kalijaga yogya, saat itu saya juga baru membaca sastra miliki orang-orang lain. kenapa saya katakan orang lain? Karena saya sejak SMP saya percaya bahwa setiap orang memiliki sastra (seni) tersendiri yang jika diungkapkan dalam kata akan terbentuk menjadi puisi atau cerpen atau apa saja...
     Tadi, 2 jam yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman, saya minta dia menulis dan dipublikasikan ke umum, karena saya tahu tulisan sastranya cukup menarik, dia bilang "Tulisanku sudah MATI". Saya katakan padanya bahwa seni sastra dalam diri seseorang tidak akan pernah mati, selama orang itu masih memiliki rasa dan perasaan selama orang itu masih memiliki pengertian (dan kalau rasa + pengertian hidup itu diungkapkan dalam bentuk tulisan kan menarik, Om.
     Membaca puisi om Hasan.. sepertinya mas hasan benar-benar sedang mengalami tarian ego saat ini. Selamat menari Om Hasan... Ajak semua yang kamu miliki untuk menari jika kau sedang memegang pena dan kau ajak tanganmu menari maka tulisanmu akan berharga, sangat berharga.

Arif Syuhada, Nasr City, Cairo, Egypt.

Wednesday, April 13, 2005

Penjual Bunga di Jalanan Kota Bangkok

Aku bertanya, "adakah kau juga menjual doa?"

Kau tidak menjawab, kecuali seuntai senyum.
Aku tidak mengerti. Tapi kuartikan saja itu sebagai
sebuah peringatan: perjalanan tidak selalu
harus dimulaikan dari sebuah pagi, bukan?

Lalu wangi itu membisik.
Aroma gerimis.
Jatuhan rintik.
Sebaris.

Aku tidak perlu membayar, untuk silir angin dan aroma mawar.

Tiba-tiba, seperti kumengerti kenapa tadi senyummu mekar.


April 2005

Monday, April 11, 2005

SMS - Seperti Mimpi Sendiri

Hasan A - Nanang S

/1/

kukirim kabar ini:
tinggal sebait puisi
yang tak menyebut
namaku namamu

yang tak merahasiakan
diamku diammu

/2/

karena diam adalah dinding kesunyian
relung terdalam kesejatian puisi

/3/

aku ada di relung itu
di sunyi itu

menunggu engkau datang
sebagai bisik atau risik

menunggu dengan sebait kosong rindu

puisi

/4/

rasakan

puisi memagutmu penuh rindu
jangan bergerak, karena diam adalah
tarian paling sempurna, dan puisi
mencintaimu. Sepenuh kesunyian.

Sepenuh kekosongan yang kau sediakan.


/5/

seluruh tubuhku adalah ujung lidah
tak juga kutahu rasa rindu

seluruh tubuhku adalah jari menari
tak juga dapat kuimbangi dansa sunyi

Batam - Malang, 2005

Thursday, April 7, 2005

Cencentrated Joy

I cannot say what poetry is; I know that our sufferings and our concentrated joy, our states of plunging far and dark and turning to come back to the world—so that the moment of intense turning seems still and universal—all are here, in a music like the music of our time, like the hero and like the anonymous forgotten; and there is an exchange here in which our lives are met, and created.

* Muriel Rukeyser (1913–1980), U.S. poet. The Life of Poetry, ch. 10 (1949).