Friday, March 2, 2007

[Ruang Renung # 180] Berlomba Ikut Lomba?


  
* Moses, Frida Kahlo.

JANGAN takut mengikutkan puisi kita ke sebuah lomba puisi. Tapi,  jangan pula lomba itu menjadi satu-satunya alasanmu untuk berpuisi, apalagi kalau itu menjadi alasan utama. Kenapa? Karena kita akan mudah kecewa. Menang pun kau akan kecewa, kalah apalagi. Sebuah lomba bagus sebagai ajang untuk mengukur apa yang telah kita capai dalam puisi kita. Itu pula kelemahannya. Seringkali ukuran lomba tidak jelas bertolok kemana dan pada apa.

SEBENARNYA hidup ini sendiri adalah sebuah lomba yang terus-menerus, bukan? Sejak masih sebagai sperma pun kita berlomba. Jutaan sperma bersaing menjadi satu-satunya yang berkesempatan membuahi sebuah sel telur. Hanya satu. Sebuah lomba yang berisiko maksimal: kesempatan melanjutkan kehidupan, atau menjemput kematian.

KETIKA kita mengirim puisi ke surat kabar, kita sebenarnya juga melombakan sajak kita itu. Jurinya adalah redaktur. Pemenangnya adalah dia yang diputuskan dimuat oleh si redaktur. Puisi itu sendiri menurut saya adalah hasil sebuah perlombaan sengit kita melawan waktu yang sempit. Sebuah kata yang yang akhirnya tersebut dalam puisi kita pada hakikatnya adalah pemenang perlombaan, bersaing dengan kata-kata lain yang tidak kita menangkan. Masalahnya, memang layakkah puisi dan kata yang kita menangkan itu? Kita mesti terus-menerus belajar menjadi seorang juri dan pembuat keputusan yang baik, bukan?

ADA beberapa saran sebelum memutuskan ikut perlombaan. Lihat, siapa penyelenggaranya. Pertanyaannya apakah mereka mengerti soal puisi? Lalu, lihat siapa jurinya. Pertanyaannya, apakah jurinya juga tahu tentang puisi? Lalu, lihat tema lomba. Tentu kita harus menyesuaikan puisi dengan tema itu. Lalu, terakhir yang bukan untuk disingkir,  berapa besar hadiahnya.

SEMUA menentukan harkat lomba tersebut. Lomba kelas RW, tentu beda dengan lomba Anugerah Nobel. Lomba yang dijuri oleh penyair yang asyik main blog tentu beda dengan lomba yang jurinya Rendra atau Taufiq Ismail. Lomba puisi pariwisata tentu beda dengan lomba puisi 100 Tahun Bung Hatta.

DAN yang penting, menjadi pemenang sebuah lomba itu penting, tapi itu tidak lantas menjamin bahwa kita telah menjadi penyair atau penulis puisi yang semakin memahami hakikat puisi.  Bukankah itu yang paling penting? Bagaimana laku menyair kita menjadikan kita semakin memahami puisi, memahami kehidupan, dan memahami diri kita sendiri.