Tuesday, February 28, 2006

Melankolia Hotel Tua

APA yang masih kita bisa coba? Kecuali
menurut kota dan usia, menuju ke tua.
Ke pintu-pintu yang selalu membuka

: lalai lelaki, pukau perempuan.

Ah, usia, tahun yang menyebut kita.
"Tapi, apa kata kita bisa dewasa?"

Aku mereguk fanta. Dalam remang ruang,
merah itu seperti ingin terus bicara.

Aku teringat warna yang dulu ada,
yang dulu pernah menetesi luka-luka.

: lebam lelaki, perih perempuan.

Aku mereguk fanta. Ini malam yang ringan.
Tawaran tanpa pilihan, bartender yang tak
lagi bisa bersandar pada banyak kemungkinan.

"Ini sudah kemalaman. Aku akan menutup kafe
ini, Tuan. Anda masih mau terus karaokean?
Atau adakah ingin lain yang hendak dipesan?"

Aku hanya meminta pemain piano memainkan
nada-nada itu saja: Melankolia Hotel Tua!

"Itu lagu siapa, ya?" Oh, kita tak nyanyi,
iringi saja aku meresitalkan sebuah puisi

: letih lelaki, pedih perempuan.

Monday, February 27, 2006

TARDJI LUKA?

ha ha ha ha
ha ha ha ha
ha ha ha ha
ha ha ha ...

Tuesday, February 21, 2006

KATA-KATA selalu menjadi terkonvensionalkan ke beberapa makna sekunder. Itulah salah satu dari tugas puisi, yaitu menjemput kata yang pembelot dan tergadai itu dan mengembalikannya ke jalan yang benar.

PENYAIR adalah polisi bahasa. Mereka senantiasa membekuk kata-kata lama yang berulah jahat.

* William Butler Yeats (1865–1939), penyair, Irlandia.
TAK ada yang lebih puitis daripada kebenaran. Dia yang tak bisa melihat puisi dalam kebenaran itu akan selalu menjadi penyair murahan yang berada di luar kebenaran.

* Multatuli [Eduard Douwer Dekker] (1820–1887)

Sunday, February 19, 2006

Saturday, February 18, 2006

Tiga Tempat yang Ingin Kukunjungi Lagi: Denganmu

1. Masihkah dapat kau ingat? Ada ruang berperangkat padat,
gelas-gelas preparat, biakan mikroba yang harus kita catat? "Ya,"
tawa riang dan singkat. "Lab yang kita kunjungi dengan langkah
berat." Kau selalu bertanya, "kita tidak sedang dalam perangkap,
kan? Tidak sedang terjerat?" Aku ingin sekali bisa membaca,
isyarat cuaca di luar kaca. Kabut makin dekat. Langit makin pucat.

2. Masihkah terus kau kenang. Lagu langkahkah. Ragu jarakkah.
"Makin dekat bibir ke kecup puncak, tetapi, ah, makin mengetat
pula dekap pada pundak." Dan itulah ketika kita. Aku mengingat.
Kartu pos tak beralamat. Kukirim lewat sebuah peti surat. Kartu pos
bergambar senja: rumah, cakrawala, jingga, sepasang sepatu tua,
sepeda, selasar. Dan kubayangkan suara yang cemas: "Masuklah,
marilah. Sudah kubaca bait-bait sajak yang hampir kau selesaikan..."

3. Masihkah bisa kau rawat. Angin melati. Dari lingkaran bumban
di cahaya rambutmu. Ada bukit berbatas entah pada satu sisiku,
ragu pada lain sudutmu. "Tapi di sinilah cinta akan kita tunaskan,
dengan benih sepasang bimbang dan sepasang gamang." Sejengkal
pun kita tak membangun pagar. Jalan setebah angin itu: sejejak
lelahmu, setapak langkahku. Kita berkhayal tentang setebat tempat:
kita genangi langit. Kita tandai sesuatu saat: maka kita karibi kabut.

Wednesday, February 15, 2006

IMAJINASI saya adalah kuil, dan saya adalah rahib di kuil itu.

* John Keats (1795–1821), penyair Inggris. Surat tanggal 16 Agustus 1820, untuk Percy Bysshe Shelley, dari buku Letters of John Keats, no. 227, ed. Frederick Page (1954).

Tuesday, February 14, 2006

KETIKA kekuasaan menyeret manusia ke arah arogansi, puisi mengingatkan bahwa manusia punya keterbatasan. Ketika kekuasaan mendangkalkan area kepedulian, puisi mengingatkan bahwa eksistensi manusia itu kaya dan punya banyak ragam. Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkan.

John Fitzgerald Kennedy (1917–1963), Presiden AS, berpidato untuk Robert Frost Library, Amherst College, 26 Oktober 1963. Dikutip oleh New York Times 27 Oktober 1963).

Sunday, February 12, 2006

[Ruang Renung # 133] Puisi vs Dangdut

SAYA kira penyair yang naik panggung untuk baca puisi berbeda dengan penyanyi dangdut yang naik panggung untuk bergoyang sambil bernyanyi. Yang kedua berupaya membuai penonton agar lupa dengan kehidupan - dan ia seringkali selalu berhasil. Sementara yang pertama memikat penonton agar mengingat kehidupan - dan upayanya ini kerap kali terancam gagal.[hah]

Tiga Hal yang Ingin Kulakukan di Awal Tahun

  1. Saya ingin menjabat tangan Januari, sambil sok akrab
menyapa, "Hei, rasanya kita pernah bertemu, tapi di mana,
ya?" Seperti biasa dia dengan angkuh menjawab, "Jangan
jual temberang, ya. Orang seperti Anda amat sering
menipu saya. Saya sudah biasa dengan suara terompet.
Kalianlah yang mestinya berlatih supaya tidak kaget."

  2. Saya akan beli buku harian. Di pasar loakan. Siapa tahu
bisa kutemukan lagi, catatan hari-hari yang banyak sekali
kulalaikan, hilang dalam perjalananku mencari kalender
abadi dalam diri sendiri. Aku akan belajar lagi mengurutkan
kacaunya Senin, Selasa, dan Minggu. Aku akan berjuang lagi
menciptakan hari yang lain. Hari yang tak habis dimakan
cuma dalam dua kali dua belas jam.

  3. Saya hendak tamasya ke bandar udara. Menghitung
lagi berapa buah jam yang dipajang di dinding-dindingnya dan
berapa kalender baru yang sukses menggantikan kalender
lama. "Siapa tahu ada wajahku terpasang di sana." Melihat
jadwal penerbangan: kedatangan dan keberangkatan. Sambil
menandai siapa yang terlambat siapa yang datang terlalu
cepat. "Ah siapa yang berani bilang repotnya jadi manusia?"

Anjing Kutub, Aku, dan Para Pemburu Walrus

DENGAN sekawanan anjing, harpun, dan lekat keringat tropikaku,
    datanglah berburu, ke Greenland-mu, pada gurun-gurun saljumu.

DEMI lemak paus, daging walrus, suhu yang mencekik termometer,
    kereta melancar di peta kumal, badai es yang sudah lama diramal.

AKU masih ingin melawan gigil, di balik mantel beruang kutub dan
    sepatu kulit anjing laut. "Inilah perburuan musim dingin kami. Inilah
       desa dengan lintang utara 77 derajat, dan malam yang singkat."

TAPI aku makin menggigil. Tak bisakah kau tahan dulu peluru? Untuk
    seekor anjing yang telah menghela kereta salju, sejauh perjalananmu?

"INILAH kami, dingin salju, dan anjing pemburu. Kami tahu kapan saat
    menebar daging mentah, membunuh, atau memilih seorang pemandu."

"Harru, harru!" Seru itu mengaba-abaiku? "Atsuk, atsuk!" Aku tidak tahu.

Thursday, February 9, 2006



Musik yang Dulu Kudengar Denganmu

Dari Music I Heard sajak Conrad Aiken

Musik yang dulu kudengar denganmu, bukan sekadar musik
Roti yang kusantap, denganmu, bukan sekadar roti,
Kini, ketika aku tanpamu, segalanya mengurung diri;
Segala yang dulu pernah begitu manis, kini mati.

Tanganmu dulu pernah menyentuh meja dan peperak ini,
Dan aku saksikan jarimu menggenggam gelas ini.
Segala benda ini tak lagi mengingat engkau, sayang,
tapi bekas sentuhanmu ada terteram tak menyilma jua.

Sebab di hatiku, ada engkau melintas di antara mereka,
dan mereka terberkati dengan tangan dan tatap matamu,
Dan di hatiku mereka akan selalu menengenangmu, -
Mereka mengenangmu, suatu ketika, O molek dan bijaknya.

[Tentang Puisi] Filosof dan Kanak-kanak

RUH dari puisi membancuhkan kedalaman pengetahuan seorang filosof dan keriangan kanak-kanak dalam gambar-gambar yang cemerlang.

* Franz Grillparzer (1791–1872), pengarang Austria dalam Notebooks and Diaries (1837-1838).

[Tentang Puisi] Kampanye dan Memerintah

ENGKAU berkampanye dalam puisi. Engkau memerintah dengan prosa.

* Mario Cuomo (lahir 1932), Politisi Partai Demokrat AS. politician dalam majalah New Republic (Washington, DC, April 8, 1985).

Tuesday, February 7, 2006

Blues Upacara Pemakaman

Sajak W.H. Auden

Hentikan detak segala jam, putus telepon jangan berdering,
beri tulang gurih-basah, jangan ada gonggongan anjing,
Senyap piano dan dengan tambur yang mengedap suara
keluarkan segera keranda, biarkan peratap singgah berduka

Biarkan pesawat terbang rendah, meratap di atas kepala
mengabarkan kalimat pesan di langit: Dia Telah Tinggalkan Dunia
Kalungkan tanda di putih leher merpati : tanda berduka
Polisi jalanraya memakai sarungtangan katun, hitam warnanya

Dialah arahku: Utaraku, Selatanku, Timur dan Baratku
Hari-hari Senin Sabtuku, dialah hari istirah Mingguku,
Petangku, tengahmalamku, ucap cakapku, nyanyi laguku;
Kukira semula cinta akan ada selamanya: Itulah salahnya aku.

Bintang-bintang tak lagi kuinginkan, semua enyahkan,
Kemasi saja bulan, dan mantel-mantel matahari lucutkan,
Jauhkan hujan pada lautan dan sapukan semua hutan-hutan;
Sebab tak ada kini yang dapat datangkan kebaikan.

Image hosting by Photobucket

W.H Auden

Kamus Empat Kata Berhuruf Awal P (3)

pancakara: demi sepetak ladang yang telah lama kau telantarkan, kau
     kabarkan maklumat perang, kau kibarkan bendera perkelahian.
     Sejak semula, sejak tubuh mengenal darah dari luka pertama.
     "Tapi, yang kau butuhkan, cuma sepetak tanah pemakaman, kan?"

panar: jangan, sekejap pun mangu-cengangmu mesti kau tahankan.
     selalu ada kejutan, bukan? Kata yang tiba-tiba ada di ucapan,
     kata yang tak sempat dikamuskan, kata yang tiba-tiba harus
     kau sebutkan. Kau tak sempat lagi bertanya, ini artinya apa?
     Kau tak dapat lagi mengelak, semakin menolak, semakin
     telak engkau ia rumuskan. Ada yang hendak kau rahasiakan?

pancaka: "Mungkin di sini tempat semua diselesaikan," kau pernah
     menduga begitu. Kau bayangkan terbakar tubuhmu, liar api itu,
     asap mengabarkan abu. Lalu pada daftar prosesi kremasi itu, mereka
     tulis namamu. "Nah, masih juga ada yang tak terbakar, bersama
     kobar itu! Masih saja ada yang tak terbang bersama asap sesap itu."

pampan: pelayaran yang tak lagi menandai langit siang dan laut malam,
     kau berjaga di haluan, menjaga bilakah rantai sauh mesti diulurkan.
     Ladang yang kau biarkan, hanya ada dalam peta perjalanan. Perang
     yang kau tunda seperti terjadwal di setiap pelabuhan. "Di mana kelak
     kau dikuburkan? Di mana kelak jasadmu diperabukan?"

Monday, February 6, 2006

Lapar tak Bisa Kutawar

AKU tinggal tidur yang batal, selimut dan bantal,
   kamar hotel, dan mimpi yang berkali-kali gagal.
     "Ini Malaka? Kau lihat brosur, kartu pariwisata."

JALAN subuh kusentuh. Menebak-nebak berapakah jauh
   telah tertempuh. Rindu masih patuh. Keluh semakin jenuh.
     Pada perempuan penjual kabar, harga lapar tak bisa kutawar.

Sunday, February 5, 2006

[Ruang Renung # 132] Memanggungkan Puisi

PENYAIR boleh saja tidak pandai melisankan puisinya. Tak juga salah kalau dia hebat memanggungkan puisinya. Dulu saya nyaman saja hidup cukup dengan menulis puisi. Ada penyair yang ucapannya saya jadikan kilah: buat apa saya menulis puisi, kalau saya harus membacakannya juga untuk orang lain.

Tetapi kemudian saya percaya bahwa membaca puisi itu punya tantangan dan keasyikan sendiri. Ketika harus mempersiapkan puisi untuk dibaca di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, saya mengumpulkan sejumlah saran dari teman-teman penyair.

1. Bacalah puisi sambil bernyanyi dalam hati. Nyanyian itu memandu bacaan kita. Bacaan kita seperti ketukan yang membuat puisi kita jadi teratur, berirama.

2. Bacalah puisi dengan membayangkan ketukan denyut jantung penonton. Bacaan kita harus seirama dengan denyutan itu.

3. Bacalah puisi dengan menyelaraskan jiwa kita, jiwa puisi, jiwa panggung dan jiwa penonton. Puisi yang kita tulis sendiri mestinya tak susah kita ambil jiwanya. Jiwa panggung bisa kita dapatkan dengan mengunjunginya, menyentuhnya, memandanginya sebelum kita tampil membaca di situ,. Pembaca yang memang datang untuk melihat kita membaca puisi, adalah mereka yang telah menyiapkan dirinya untuk kita rebut juga jiwanya dengan puisi kita.

4. Penonton perlu diajak perlahan-lahan, masuk ke dalam perangkap puisi kita, kemudian beri kejutan. Membaca puisi seperti menggelar sebuah teater kecil-kecilan.

5. Bacalah puisi sambil membayangkan benda-benda, atau adegan, atau sosok yang tampil dalam puisi kita. Wujudkan visualkan adegan itu saat membacanya. Cara ini membuat kita menggerakkan tubuh dan air muka seperti kita benar-benar merasakan kehadiran benda-benda itu.***

Iklan Duka Cita Setelapak Tangan

: matinya seorang wartawan kriminal

SEMAKIN banyak saja orangmati ditemukan, semakin
     bertumpuk saja laporan kematian, semakin penuh kuburan
        tanpa nisan. Ia semakin peragu mana yang enak diberitakan.

AKHIRNYA komputer dan notes ia tinggalkan dengan sebaris
     pesan, "Selamat tinggal Tuan Deadline, aku pamit ke krematorium,
        sebuah obituari sudah saya siapkan: Iklan dukacita setelapak tangan."