Sunday, November 30, 2003

Tank-tank*

Sajak Ikranagara



pada sore ini. bisakah kau dengar suaranya?

gemuruh suara roda dan mesinnya!

wajah sore pun menjelma jadi horror yang menakutkan!



pada sore ini. tank-tank bergerak di jalan-jalan kota!



inilah saatnya

kata-kata

diuji oleh sejarah.



pada sore ini. tank-tank bergerak di jalan-jalan kota!



kata-kata yang ampang

meskipun dalam bentuk puisi yang indah

akan lari berhamburan

dihempaskan angin sore hari

ke sembarang arah



pada sore ini. tank-tank bergerak di jalan-jalan kota!



kata yang menjaga kehidupan

akan berjaga-jaga di semua sudut kota

menanti saat yang tepat untuk melompat

ke dalam tank-tank itu, membekuk para serdadunya.

para komandan lapangan. para jenderal.

para presiden. siapa saja yang bertanggung-jawab

memerintahkan momok senjata ganas ini bergerak



pada sore ini. tapi bukan untuk membunuh mereka.



kami tidak percaya kepada saling bunuh

antara sesama manusia. missi kami

menyelamatkan manusia, dengan memberdayakan kata-kata.



bagi kami kata-katalah yang paling tepat

agar bagian otak damai di batok kepala kita

bisa mengontrol prilaku pintar manusia

termasuk ketika menciptakan puisi.



atau mantra pong …



ah-him himhim himhim him … sah!



yang harus diledakkan

tanyalah tank-tank dan seluruh persenjataan perang



ah-him himhim himhim him … sah!



kita lebur semua itu jadi serbuk bijihbesi berton-ton

ah-him himhim himhim him … sah!

selanjutnya diproses jadi barang yang aman dan berguna



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



yang sederhana seperti sepeda roda tiga untuk si bocah

atau pipa. untuk sejuta keperluan, tapi tidak termasuk senjata.



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



untuk membangun tempat anak-anak bermain

di taman-taman. agar dimanfaatkan oleh masyarakat luas.



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



pada sore ini. cobalah engkau bayangkan

ketawa penuh canda bocah-bocah kita!

itulah yang bisa membentuk bahagia pada wajah sore hari,

dan bukannya wajah momok penuh horror!



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



kita membutuhkan politik ekonomi perdamaian

yang benar-benar konprehensif!



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



kita membutuhkan kamar dagang untuk kehidupan yang adil!



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



kita membutuhkan akses ekonomi untuk semua orang

agar sirna kemiskinan dan ketimpangan sosial!



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



inilah saatnya kata-kata untuk bertindak ambil bagian

pada sore ini. tank-tank bergerak di jalan-jalan kota!



pong … ah-him himhim himhim him … sah!



Bloomington, 2003



* Puisi dengan pesan perdamaian ini dibacakan oleh Ikranagara di beberapa tempat di Amerika termasuk dalam Post-Thanksgiving Poetry Bash.

Saturday, November 29, 2003

[Ruang Renung # 39] Jangan Takut Bereksperimen

JANGAN takut bereksperimen. William Blake melakukan itu setelah terkenal dengan sajak-sajak mistisnya yang lebih dahulu sudah menyempal dari arus persajakan di Inggris saat itu. Sajak-sajak dalam The Marriage of Hell and Heaven memang sangat eksperimental. Baik dari segi tema, maupun bentuk sajaknya. Pada sajak Proverb from Heaven dia menyenaraikan sejumlah peribahasa. Itulah yang jadi sajak-sajaknya. Pada sajak lain tiap bait diberi nomor layaknya uraian sebuah definisi. Berhasilkah sajak-sajak eksperimen Blake itu? Bisa ya, bisa tidak. Kritikus bisa panjang lebar memberi ulasan. Populerkah sajak-sajak "aneh" itu? Ada pembaca yang suka, dan pasti ada pembaca yang menolak. Tapi, satu hal yang pasti, apa yang dilakukan oleh Blake akan abadi tercatat dalam biografi kepenyairannya.



Maka dari itu, mari kita bereksperimen, jangan takut gagal, jangan takut tidak populer. Jangan takut keluar dari sangkar sajak-sajak kita sendiri. Eksperimen bisa jadi semacam obat kebosanan bagi perjalanan kita menyair.[ha]

Tentang Seorang Pengemis

SUBUH enggan mempertegas diri. Samar. Sesungguhnya dia memang selalu ragu. Seperti pengemis itu. "Tapi, kali ini, aku harus datang," ujarnya. Datang ke istana penyair yang siang nanti hendak membagi-bagi puisi. Maka, tanpa apa-apa, dia pun berangkat dari gubuk masa kininya. Menuju ke tempat yang kelak di sana berkumpul para pengemis, yang mengharapkan pembagian sehelai puisi, dari seorang penyair yang sudah berkibar mahsyur namanya kemana-mana. Yang sudah menebarkan wangi, keindahan syair-syairnya dari kota ke kota.



PAS menjelang siang. Dia datang. Tepat waktu, teng! Dia melihat penyair itu berdiri anggun di podium di depan rumahnya yang dibangun oleh murid-murid epigon-epigonnya. Seperti hendak berpidato atau berdeklamasi tampaknya. Ah, tak ada salahnya, kata pengemis itu, aku mendengar barang satu dua tumpuk basa-basi sebelum dapat sehelai puisi. Melihat banyak saingan yang datang, pengemis itu mulai gentar, jangan-jangan si penyair kondang itu tak punya stok puisi yang cukup banyak untuk dibagi-bagikan gratis kepada seluruh pengemis itu. Dia melihat pengemis-pengemis yang lain juga mulai berdesak-desakan ingin lebih dahulu dapat kesempatan menerima sehelai puisi gratisan. Seperti dirinya: semua tampak takut tak kebagian.



"SAUDARA-SAUDARA...." ujar penyair kondang itu, akhirnya. Lautan massa hening. Seperti samudera menjelang datang badai. "Sebentar lagi, kami akan membagikan sehelai puisi...."; Tiba-tiba ada yang berteriak, "Toloooong jangan injak sayaaaaaa..."; Lalu kepanikan pun menjalar seperti bubuk mesiu tersulut api; "Saudara-saudara..."; Aaaah... Ada yang terinjak-injak, nih!; "Tenang-tenang, Saudara..."; Lalu semua terkejut oleh sebuah bentakan kasar: Bubar...bubar!; Bererapa salak pistol: Dor! Dor!; Dan, "Kami dari polisi, pengerahan massa ini tak ada izinnya, tolong segera dibubarkan..." Tapi, "Wah, kami belum dapat sehelai....!!"; Menyelinap di antara: Siapa yang bertanggung-jawab?; Ditingkahi suara: "Dor! Dor! Dor!; Dan teriakan: Ini bukan kampanye, Pak! [Bubar! Bubar!] Saya ini cuma penyair; Ada juga: Hati-hati, Pak, waktu pembagian sarung dan zakat kemarin ada empat orang yang mati; Tapi akhinya: Bubaaaaaaaaaaaar! Kalian dengar tidak!



SI PENGEMIS yang berangkat subuh tadi, diam-diam menyingkir. Dengan sisa tenaga melenggang pulang ke gubuk masa lalunya. Sambil menggerutu: huh, mau dapat sehelai puisi saja minta ampun susahnya. Tapi, diam-diam dia bersyukur juga telah memilih jadi pengemis, bukani penyair yang kerap direpotkan oleh puisi-puisi sendiri.



Nov 2003

[Ruang Renung # 36] Puisi yang Tak Selesai

PASTI ada suatu kali nanti, kita akan tidak mampu menyelesaikan puisi yang tengah kita tulis. Padahal di awalnya ada ilham yang begitu kuat dorongannya untuk menuliskan puisi tersebut. Atau memang dari semula kita tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menuliskan puisi itu. Hasilnya sama saja: mentok!



Diapakan harusnya kebuntuan seperti ini? Hentikan saja dulu menulis. Cobalah mencari ide untuk puisi lain. Atau lakukan hal lain selain menulis puisi. Simpan saja puisi yang gagal tadi. Lalu tengoklah lagi suatu saat nanti. Biasanya - dan siapa tahu - nanti akan datang lagi ide lain untuk menyelesaikan puisi yang tertangguhkan itu.[hah]

Perdebatan antara X dan Y

X : Kenapa kita tidak menetap saja di sini, tak musti

    disiksa oleh jarak-jarak yang kita bikin sendiri, tak

    harus merancang perjalanan, memburu tiket dan

    berebut tempat duduk di kendaraan yang selalu

    pura-pura ramah? Kenapa kita tidak menyimpulkan

    saja bahwa di sekarang kita ini, adalah rumah yang

    tak harus kita tinggalkan lagi?



Y: Kenapa kita tidak berumah saja pada sepatu kita yang tak

    pernah ingin berhenti? Melepas tamu dan dilepas sebagai

    tamu juga di setiap terminal, stasiun dan bandar-bandar

    yang kita temui dalam perjalanan kita? Kenapa kita tidak

    merindukan saja setiap kejutan, menemukan kita yang lain

    yang menceritakan perjalanan sendiri yang tak pernah

    ada dalam rute petualangan kita?



X: Kenapa tidak kita akui saja bahwa kita sudah lelah,

    usia dalam ransel yang tak sempat kita hitung lagi,

    entah di mana tercecernya? Entah sudah kita tukar

    dengan apa, entah kita sia-siakan dengan siapa...



Y: Kita memang lelah. Tapi ini bukan soal menang atau kalah.

    Ini soal melangkah, hidup yang harus diberi jawaban, juga

    hidup yang terus menerus mengajukan pertanyaan. Dan usia?

    Apa lagi yang ingin kita tanyakan perihal hitung-hitungan yang

    kelak pasti akan selesai juga urusannya?



X: Kenapa kita tidak kita akui saja bahwa kita sudah terlalu tua,

    untuk menyebut kalimat: "Lihat, aku masih terlalu kuat, telah

    kutaklukkan dia Waktu sang Goliath, telah kubuktikan siapa

    yang akhirnya menang, siapa selamat, siapa sekarat!"



Y: Kita memang telah tua. Tapi ini bukan menutup kemungkinan

    kita untuk menabur biji-biji asam di tepi setiap jalan yang

    memberikan diri bagi lalunya kita, setiap jalan yang menyapa:

    "Selamat Datang, Saudara, Selamat Jalan, Saudara. Supaya

    abadi, jejak sepatumu akan kami titipkan saja pada hujan yang

    kelak akan lewat. Dia atau Engkau yang nanti menunggu

    di muara? Ah, terserahlah saja. Yang penting hati-hati, ya."



X: Nah, lihat! Kenapa kita tidak berhenti membuat orang lain

    mencemaskan kita?



Y: Lalu kapan kita bisa berhenti mencemaskan diri sendiri?



Nov 2003

[Ruang Renung # 37] Mengenal Bentuk-bentuk Sajak

SAMBIL menulis puisi sebebas-bebasnya, perlu juga menengok bentuk-bentuk baku penulisan puisi. Ya, kita perlu tahu bahwa dalam pantun ada sampiran dan isi, ada ketentuan untuk patuh pada bunyi di akhir tiap baris. Kita perlu menyelidik apa bedanya kuatrin, rubaiat dan pantun yang sama-sama empat baris sebait. Kita perlu mahfum tentang soneta yang empat belas baris dan varian-variannya yang membagi delapan baris paparan dan enam baris kesan perasaan. Kita juga perlu mengenal ghazal, bentuk puisi lama yang banyak ditulis oleh penyair klasik di Persia, India dan Pakistan. Juga haiku, sajak pendek padat dari khazanah sasta Jepang.



YA, kita perlu tahu agar kita bisa bersetia pada bentuk-bentuk itu bila memang kita ingin menulis sajak dalam bentuk-bentuk yang kita pilih. Atau apabila kita ingin mempermainkannya, mengkhianatinya, menjungkirbalikkannya, mengolah bentuk-bentuk itu secara kreatif. Keberhasilan, atau kegagalan sajak-sajak kita bisa juga diukur dari kemahiran kita menyiasati bentuk-bentuk itu. Chairil Anwar, pada sebagian sajak-sajak periode akhirnya, dinilai berhasil mengatasi konvensi-konvensi puisi. Dia menulis sajak bebas dan tak terasakan sajak-sajaknya justru hadir pas dalam bentuk pantun yang ketat. Wing Kardjo (?) juga menulis soneta-soneta yang bukan soneta, sehingga bukunya dia beri judul: Memperkosa Soneta.[hah]

Sajak Penyair Mau Mudik

PULANG dari memberi ceramah di sebuah workshop penulisan puisi, penyair itu bertemu dengan serombongan kata yang dipimpin oleh kata tanya, hari belum begitu senja. Tapi, perjalanan sudah sepi. "Wah, mau kemana kalian," kata penyair itu ramah menyapa kepada kata-kata yang sudah lama diakrabinya. "Kamu mau mudik, memangnya mau kemana lagi!" ujar kata seru. "Ya, kami capek, mengembara dari kamus ke kamus dari sajak ke sajak, tapi tak juga bisa memahami arti diri kami yang sesunguhnya," ujar sebuah kata benda. "Lagi pula, sudah lama kami tidak sungkeman sama orang tua," kata sebuah kata kerja.



LALU, kata-kata itu berpamitan meninggalkan penyair yang pura-pura tabah itu, padahal hatinya sungguh gundah sangat gulana. Diam-diam dia sebenarnya ingin menguntit kemana gerangan rombongan kata itu pulang, di mana rumahnya dan di siapa orang tua mereka sesungguhnya. Tapi, dia teringat kalimat yang dia ucapkan di depan peserta workshop penulisan puisi tadi, kalimat yang dikutipnya dari sajak Sapardi: sebermula adalah kata, baru perjalanan dari kota ke kota. Dia pun bergegas pulang ke rumahnya sendiri, teringat kamus dan peta di kamar pertapaannya yang sudah lama tak pernah dibuka-buka. "Saya juga mau mudik, aah!" kata penyair itu bergumam sendiri.



Ied Alfitri, 1 Syawal 1424.



Tentang Seorang Tukang Catat Meteran Listrik

BEGITULAH, hidupnya seperti sudah diukur dan dia tinggal mengepaskannya. Setiap bulan dia berkeliling dari rumah ke rumah, hanya untuk menengok dan lalu mencatat angka-angka pada meteran listrik. Hanya untuk itu? Ah, dia tak pernah bertanya dengan pertanyaan itu, pertanyaan yang hanya akan memojokkan dirinya sendiri.



DIA sangat menikmati pekerjaannya. Setidaknya begitulah perkiraan orang-orang di rumah yang dia kunjungi sekali sebulan itu. Karena kerap kali mereka mendengar Bapak Pencatat Meteran listrik itu bersiul-siul sambil membuka kotak meteran, memastikan berapa angka yang tertera di situ dan mencatatnya. Siulnya pun tak banyak variasi. Paling-paling lagu Engkau Laksana Bulan dari P Ramlee [yang kadang dia nyanyikan syairnya]:.. Oh, Tuhanku, mengapakah kau tinggalkan dirikuuuuu.... Atau lagu D'Loyd: Ibarat Air di Daun Keladi.



DIA cocokkan nomor-nomor rumah, nomor kontrak pelanggan [keduanya musti sama tak pernah berubah] dan angka pemakaian listrik [yang selalu bertambah tiap kali dia berkunjung datang]. Begitulah, seperti semuanya sudah ditakar baginya.



TAK banyak yang mengenal namanya. Kecuali nama yang sudah disebutkan di bait kedua tadi. Ya, orang menyebutnya: Bapak Pencatat Meteran. Jarang sekali ada yang mengajaknya bercakap-cakap. Karena memang tak ada perlunya. Lagipula di kota itu, khususnya di kompleks-kompleks perumahan yang menjadi wilayah kekuasaannya sebagai pencatat meteran, jarang ada pemilik rumah yang ada di rumah saat dia datang mencatat.



PALING-PALING dia disambut gonggongan anjing penjaga [biasanya anjing baru yang sok galak], atau godaan pembantu rumah tangga yang menyalurkan bakat genitnya. "Maaaas, sekali-sekali catat yang lain, dong. Nomor BH kita misalnya, atau nomor apaaa gitu..." He he he. Dia paling hanya nyengir-nyengir unta. Dan terus berlalu setelah selesai mencatat angka pemakaian listrik di rumah itu.



BEGITULAH, sepertinya semua sudah diskenariokan untuk diperankannya. Dia betah menjalani takdir itu. Habis mau apa lagi, ya, Pak? Lagi pula, katanya, untuk sekedar berbetah-betah, apa sih susahnya? Lagi pula, ini pekerjaan nyaris tak ada risikonya. Paling-paling sesekali dimarahi oleh pemilik rumah yang kaget tagihan listriknya melonjak. "Bapak salah catat, ya? Sengaja ditambah-tambahi, ya?!" He he. Itu pertanyaan sia-sia. Apa untungnya saya melebih-lebihkan? Apa bisa korupsi dari angka meteran listrik? He he.



LALU, pada akhirnya. Pada suatu malam menjelang dia bertugas mencatat meteran listrik keesokan paginya, Bapak Pencatat Meteran itu bermimpi. Dia jarang bermimpi sesungguhnya. Karena itu dia merasa sangat terganggu. Apa lagi, mimpinya itu sangat lucu: Dia berubah jadi rumah, dengan nomor yang sangat dia kenal tertera pada pintu. Lalu datanglah seorang pencatat meteran yang berseragam lucu seperti yang biasa dipakainya. Dan petugas itu menyapanya ramah sekali, " Permisi Pak eh Rumah, saya mau mencatat angka di meteran Anda. Ini bukan meteran listrik bukan?"



DIA tidak tahu apa takwil mimpinya itu. Mimpi yang kelak selalu datang berulang setiap kali dia

mampi di rumah-rumah yang entah sudah berapa kali disinggahinya. Dan pada suatu pagi dia terbangun, tanpa membawa mimpi semalam, dan dia ingiiiiin sekali pamitan kepada setiap meteran dan kepada setiap anjing dan kepada setiap pembantu yang selalu dijumpainya di rumah yang setiap bulan selalu dikunjunginya.



Nov 2003

Menara Cahaya

Sajak Pablo Neruda



O menara cahaya, kemurungan yang indah

mempertegas kalung di dada dan patung di laut,

mata yang berkapur, lencana air mahaluasnya, tangis

duka cita burung laut, gigi-gigi laut, yang diperistri

angin Samudera, O mawar yang terpisahkan

dari tangkai yang jauh semak yang terinjak-injak

di kedalaman itu, bertukar rupa jadi pulau-pulau,

O bintang alami, mahkota hijau,

seorang diri di kerajaanmu yang sendiri sepi,

tinggal tak tergapai, mengelak, senyap sunyi,

seperti tetes air, seperti butir anggur, seperti laut.

Penyair Patah Hati

NAH, akhirnya dia patah hati juga. "Betapa nikmatnya, Saudara.

Ini patah hati yang langka, lho.." katanya. Sakit yang dia lacak

jejaknya kemana-mana, akhirnya datang sendiri mencuri

rintih sembunyi. "Asyik," katanya, "sepertinya saya akan betah

diam di sini." Dia sebenarnya sudah bersiap pergi lagi. Dari rumah

ke rumah, bertanya kepada semua penghuni, "Adakah aku yang

tertinggal di sini?" Tentu saja, tak ada jawabnya. Di dadanya,

menerowong pintu guha. Gelap. Langkah datang mengendap-endap.



NAH, akhirnya dia masuk juga ke situ. Berkunjung ke tempat

yang dulu begitu akrab dengan kaki-kakinya. "Jejakku sendirikah

yang merebak baunya di lorong-lorong tak bercahaya ini?" katanya

kepada gema yang kali ini malah balik betanya: "Kau siapa? Kok

berani-beraninya bertanya?" Dia pun tertawa-tawa, langsung lupa dengan

patah hatinya. Ya, katanya dalam hati, kali ini aku pasti tak salah lagi.

Sejak itu, dia pun tak pernah keluar lagi. Ada yang bilang dia sedang mati,

"Tidak, dia sudah tertidur, dan asyik mimpi menulis puisi lamaaa sekali."



Nov 2003

[Ruang Renung # 38] Menengok Puisi Lama

SESEKALI perlu juga kita menengok puisi-puisi lama kita sendiri. Kenanglah lagi saat-saat kita terpeciki ide untuk menuliskan puisi itu. Bacalah puisi-puisi kita yang kita sukai atau yang kita anggap karya terbaik kita. Evaluasi lagi, bila rasanya ada yang perlu diperbaiki, ya silakan ubah saja. Tak ada yang melarang. Anggaplah penyuntingan yang tak habis-habis itu sebagai bagian dari kerja menyair, bagian dari proses untuk menghasilkan karya terbaik yang terus menjadi lebih baik lagi.



ATAU lawanlah keinginan untuk mengubah itu. Bisa jadi karya lama kita itu memang sudah harus seperti itu adanya. Ya, terserah saja. Yang terpenting kita mesti sesekali menengok puisi-puisi yang pernah kita tulis. Walt Whitman, empu penyair Amerika berulang kali menerbitkan bukunya yang berjudul sama: Leaves of Grass. Setiap kali terbit, ia menambahkan lagi sajak baru, dan menambahkan lagi sajak baru, selalu begitu. Ya, meninjau sajak lama bisa kita anggap seperti tamasya. Siapa tahu, kita juga jadi terilhami untuk menulis puisi baru.[ha]

Pagi

Sajak Pablo Neruda



Telanjang, engkau bak seulur tanganmu, sederhana;

Lembut, seadanya, kecil, selingkar, tembuscaya.

Bagimu garis setapak di kebun apel dan bulan purnama

Telanjangmu seramping bulir biji gandum terbuka.



Telanjangmu biru, seperti cahaya malam di Kuba;

Ada bunga merambat dan di rambutmu bintang.

Telanjangmu alangkah lapang dan kuning warna

Bagai gemilang gereja di musim panas terang.



Telanjang engkau mungil seperti kuku jarimu;

Meringkuk, subtil, merah ros, hingga lahir hari

Dan kedunia bawahtanah engkau menarik diri.



Menyelusur lorong panjang pakaian dan tugas-tugas

Caya bersihmu mengerdip, berbaju, jatuhkan dedaun,

dan kembali menjelma jadi tangan yang telanjang.

[Ruang Renung # 40] Puisi, Kabut, Orang Berjalan

PUISI yang baik itu seperti orang yang berjalan di jalanan berkabut. Samar, tapi terasa adanya, terbaca gerak langkahnya. Bila kita terbiasa berada atau melintas di jalanan berkabut itu, atau sering atau sekadar pernah bertemu dengan siapa yang berjalan itu, kita mungkin bisa bersapaan dengannya. Atau kita bisa bertukar salam saja dan terus membiarkan orang itu berlalu, tak perlu berkeras menahannya. Puisi yang buruk itu seperti kabut itu sendiri: hanya menawarkan kesamar-samaran; atau jalan lebar terang yang terlalu nyaman dilalui.



SEDANGKAN apabila di jalanan itu tak ada kabut, lalu ada seoang petugas yang sok mengatur ditambah sejumlah rambu dan penunjuk jalan, maka itu bukan puisi.[hah]

Saturday, November 22, 2003

Kakimu

Sajak Pablo Neruda



Jika tak bisa kutatap wajahmu

aku memandangi kakimu.

Kakimu, lengkung tulang,

kaki kecil yang tegar.

Aku tahu kaki itu yang mendukungmu,

dan berat tubuh indahmu,

bangkit dari kedua kakimu.

Pinggul dan dadamu,

noktah kembar merah

lembayung putingmu,

lekuk matamu

mengalir, mengalir,

bibirmu: ranum buah,

rambutmu: ikal merah,

menara kecilku.

Tapi aku cinta kakimu

karena hanya langkahnya

melintasi bumi

menembus angin

melewati air,

hingga akhirnya:

mendapati aku.

Vignet Wajahmu

alismu fatamorgana, aku kerap tertipu di sana

melukisnya sebagai cakrawala, padahal ada mata

yang mesti kubebaskan dari palsu cahaya.



di pipimu berpendaran doa: diamini telinga

hidup diberi tanda pada hirup hembus udara



lalu dua bibirmu, kasih, cukupkah bila

kusalin dengan dua garis yang merah saja?



Nov 2003

[Ruang Renung # 34] Penyair Mencari Puisi

DI MANA PUISI?// deru kereta. hitam malam. bintik cahaya. di mana puisi?//li po. chairil. neruda. paz. rumi. di mana puisi?//asap rokok. segelas kopi. di mana puisi? (Kiriman pesan pendek Nanang Suryadi, Sabtu 22/11/2003).



PUISI sampai pada penyair lewat berbagai macam jalan dan berbagai bentuk rupa. Dia bisa datang terburu-buru seolah hewan yang lelah diburu dan ikhlas mengakhiri hidupnya meringkuk di bawah kaki kita. Puisi bisa datang kepada kita setelah melewati perjalanan jauh, terengah-engah oleh letih yang sungguh. Seperti deru kereta yang datang mendekat atau pun pergi menjauh meninggalkan jejaknya di benak kita. Sepeti hitam malam yang begitu ada begitu nyata atau bintik cahaya yang samar yang ragu dengan keberadaannya.



Puisi bisa tiba-tiba kita sadari ada padahal ia telah lama hadir di dekat kita, begitu dekat dengan kita tapi selama ini terabai begitu saja. Seperti segelas kopi atau kepul asap rokok. Sementara kita menerawang jauh, dia yang dekat itu bisa menjadi pemicu hadirnya puisi, atau bahkan dia itu sendiri adalah puisi yang terlupa.



Puisi bisa datang dari nama-nama penyair yang abadi yang menyebutnya saja sudah menjadi semacam bait puisi. Li Po, Chairil Anwar, Pablo Neruda, Octavio Paz, Jalaluddin Rumi, adalah inspirasi yang bisa begitu deras mengalirkan kata-kata ke dalam puisi-puisi kita. Tapi, jangan asal sebut. Kalau tidak tepat memberi, kita malah bisa membunuh nama-nama itu dalam puisi kita. Kita malah bisa mengecilkan arti nama-nama itu, mengebirinya.



Jadi, di manakah puisi?[ha]

[Ruang Renung # 35] Penyair Sebagai Anjing

OBITUARI -- aku hanya seekor anjing luka/panah berbisa tancap di dada/matiku takkan berarti apa-apa// takkan ada air mata/hanya anyir nanah/dan nyinyir lidah.(Dikirim oleh TS Pinang lewat pesan pendek).

Adalah Thomas Dylan yang menulis memoirnya dengan judul A Portrait of A Young Poet as a Dog. Sebagai anjing. Kenapa anjing? Bukankah binatang itu identik dengan keburukan laku dan rupa? Bukankah tak ada kebanggaan sama sekali ketika nama binatang itu disebutkan?

Ada kata-kata yang karena nilai-nilai sosial dalam masyarakat menjadi bermakna miring. Pejoratif. Anjing tidak lagi bermakna sekada nama seekor binatang. Tetapi, menjadi kata makian. Diperalat untuk menunjukkan keburukan atau menjadi alat stempel untuk menjelekkan orang lain yang bukan anjing. Kata lain adalah: monyet. Dengan puisi, kita bisa mengembalikan kata yang telah diselewengkan maknanya itu. Kita bisa mengembalikannya, memberinya tenaga makna baru, memakainya secara arif, pas dan sedap ke dalam puisi kita.

Jangan terbawa arus, memakai kata-kata malang itu sebagai makian juga di dalam puisi kita. Kecuali kalau kita memang hendak memaki, dan untuk tujuan itu, tolong jangan salah gunakan puisi.[ha]

Jalaluddin Rumi*





Makna puisi itu tidak mempunyai kejelasan arah; dia lebih tepat seperti penyelinap, sama sekali di luar kendali.



* Sufi, Penyair Persia

Friday, November 21, 2003

Tentang Seorang Tukang Bikin Kartu Ucapan

DIA sangat mencintai waktu. "Waktu itu tak ada, tapi ada," ujarnya seperti tertulis dalam salah satu kartu buatannya yang tak pernah dibeli pelanggan. Dia memang hidup dari kartu dan waktu. Tepatnya siklus waktu. "Bayangkan kalau tidak ada siklus waktu, tidak ada ulang tahun yang diulang-ulang tiap tahun. Tak ada hari Raya Idul Fitri, dan tak ada Natal dan Tahun Baru atau perayaan tahuhan lainnya. Lah, saya mau hidup dari apa, Saudara?" ujarnya.



YA, dia sangat mencintai kartu. Di sudut komplek pertokoan itu, dia sudah bertahun-tahun buka kios khusus melayani jasa pembuatan kartu ucapan. Kartu bergambar dan tentu saja kalimat yang ingin disampaikan. Pelanggannya sangat suka dengan kata-kata yang yang dituliskannya. Maklum saja, tak banyak yang datang ke kios itu dengan membawa coretan sendiri. "Terserah Anda sajalah, pokoknya saya tahu kalau Anda jago menyusun kata-kata," begitulah umumnya mereka menjawab kalau ditanya mau dituliskan kata-kata apa.



JAGO? Ah dia tersenyum sendiri membaca kalimat-kalimat yang pernah dituliskannya di kartu. Jika engkau menutup pintumu bagi semua kesalahan, kebenaran akan terhalang masuk. Itu salah satunya. "Wow, filosofis sekali, Saudara!" Kata si pemesan kartu yang katanya mau mengirim kartu lebaran buat kolega-koleganya. Ya, ya. "Tapi ini harga khusus lho! Saya tidak akan membuatkan kata yang sama untuk pembeli lainnya." Oh, ya tak apa apa. "Saya bayar berapa saja yang Saudara minta." Lalu si pembuat kartu itu tersenyum sendiri, berterima kasih dalam hati kepada Tagore yang dia kutip aforismanya itu.



LAIN waktu dan di lain kartu dia buat kalimat ini: Dan esoknya terbukalah gapura. Pagi tumbuh dalam kabut yang itu juga. Pelanggan lainnya tentu saja suka dengan kalimat itu. Dan orang yang sedang senang jadi gampang mengambur pujian dan mudah mengeluarkan isi kantong, bukan? Lalu katanya, "Saudara sebaiknya jadi penyair sajalah." Dia pun lagi-lagi hanya tersenyum. Sambil diam-diam di hatinya berterima kasih kepada Goenawan Mohammad yang dia pinjam bait-bait sajaknya.



PENYAIR eh si tukang buat kartu itu memang penggemar puisi juga. Katanya, Waktu itu fana, dia abadi dalam Puisi. Dan Puisi itu fana, dia abadi dalam Kartu. Lalu pada suatu waktu, ada penyair yang dapat kiriman kartu dari kerabatnya. Dia tersenyum-senyum sendiri membaca puisinya tertulis sebait dalam kartu itu. "Ah, rupanya sajak-sajakku dibaca orang juga," katanya dalam hati.



Batam, menjelang Idul Fitri 1424.

Thursday, November 20, 2003

Aku Belum Membaca Puisi

yang Engkau Tulis Untukku




Ya, kutebak-tebak saja, mungkin kau akan salah

     mengeja, namaku telah kuserahkan pada

     lupa, sudah kukembalikan juga, seluruh huruf

     yang pernah kupakai di kartu nama, karena

     masih saja aku gembira, jika ada yang

     bertanya: Siapa nama Saudara sebenarnya?



Ya, kureka-reka saja, tampaknya kau akan tetap

     seperti mereka, menerka-nerka siapa aku

     sebenarnya, dan ah alangkah inginnya aku

     mengulang-ulangi lagi cerita yang dulu pernah

     beberapa kali kusampaikan padamu, dan betapa

     senangnya aku ketika akhirnya kau berkata:

     Hei, sepertinya aku kenal dengan orang

     yang kau sebut dalam ceritamu itu, Saudara...



Ya, kuingat-ingat saja, di puisimu yang mana dulu

     kita pernah saling berkenalan, lalu kau bilang,

     "Maaf, aku ini pelupa," dan aku bilang, "Wah,

     kalau begitu, kita sama..." Dan kita tidak

     tertawa, sebab aku belum membaca puisi

     yang kau tulis untukku itu, Saudara.



Nov 2003

Wednesday, November 19, 2003

Dua Soneta Cinta Neruda



1.



Kau jangan pergi, walau hanya sehari, karena ---

karena -- entah bagaimana kukata: sehari itu lama

Aku jadi menunggu tibamu, bagai stasiun kosong gelap

padahal kereta berhenti entah dimana, terlelap



Jangan tinggal aku, walau satu jam saja, karena

setitik kecil duka-duka kelak mengarus bersama,

kabut yang melayah mencari rumah akan mengucur

ke dalam diriku, mencekik hatiku yang hilang hancur.



O, semoga siluetmu tak pernah melindap di pantai itu;

semoga bulumatamu tak melambai kosong di kejauhan itu.

Jangan tinggal aku, walau sedetik pun, kekasihku,



karena ketika engkau jauh, jauh meninggalkan aku

aku mengembara tak tentu tuju, bertanya tak tahu,

Bilakah engkau kembali? Atau terus menyekaratkanku?



2.



Datanglah ke dalamku, kataku, tak ada yang tahu

dimana, bagaimana berdentaman duka nesatapaku

tak ada anyelir atau lagu perahu tersembah bagiku,

kecuali cinta yang terluka yang menganga pilu.



Baik kukatakan lagi: datang padaku, dalam sekaratku,

Tak ada yang tahu, ada bulan berdarah di mulutku

atau darah yang mengucur membanjir dalam sunyi.

O Cinta, kini bisa terlupa bintang yang menebar duri.



Tersebab itu, maka berulang kudengar lagi suaramu

Datanglah ke dalamku, ketika kau biarkan saja berlalu

duka cita, cinta, gelegak amarah dalam sebotol anggur



dari kedalaman mata air panas melompat menderu:

tercicipi lagi panas rasa kobar api di nganga mulutku

rasa darah dan anyelir, rasa cadas dan luka bakar.







Mungkin Ada

Sajak Nanang Suryadi



:h.a



Mungkin ada yang mengendap. Di suatu malam. Saat rimis tiba. Menjengukmu. Saat engkau tertidur. Dan kata-kata itu tersusun. Dalam mimpimu. Tentang ia menjejakkan kakinya. Di tanah basah. Di halaman rumah.



Mungkin ada yang menjengukmu. Di dalam mimpi. Saat engkau coba menyusun kata-kata. Seperti malam itu. Engkau demikian merasa ada yang melintas di tengah rimis.



Mungkin ada yang menulis. Menyusun mimpi-mimpi. Di suatu malam. Setelah menjenguk ke dalam tidurmu.



Mungkin engkau pun menulis suatu ketika. Tentang jejak di tanah basah. Tentang Aku yang menjengukmu. Di dalam puisi itu.



Malang, Nopember 2003





Sebagai Kau Setiai Puisi

Sajak Nanang Suryadi



:h.a




Sebagai kau setiai kata-kata. Demikian penuh cinta. Kau coba menelusur kedalaman makna rahasia. Kegaiban puisi. Hantarkan bayang-bayang. Dari mimpimu. Pada saat entah. Mungkin rasa nyeri yang hendak kau bisikkan. Di setiap telinga. Atau berucap kepada dirimu sendiri. Demikian lirih. Demikian liris. Demikian samar. Serupa kabut tipis. Antara rimis. Dan desau angin. Serta remang cahaya.



Sebagai kau setiai puisi. Dari kedalaman arus memusar. Dari dalam jiwamu. Demikian penuh cinta. Sepatah demi sepatah. Hendak kau terjemah ke dalam kata kata. Agar tak pudar. Agar tersampai. Segala rahasia. Yang diisyaratkan entah oleh siapa.



Malang Nopember 2003



* Dua sajak ini bisa dibaca di www.nanangsuryadi.blogspot.com

Tuesday, November 18, 2003

[Ruang Renung # 34] Kejahatan dan Percobaan Puisi

PUISI dan penyair memang luar biasa. Aneh, dan menggilakan. Ada wujud kepercayaan diri yang mudah sekali dikesan jika seorang penyair telah bicara soal puisi. Puisi adalah segalanya. Puisi adalah apa saja. Tapi puisi juga bukan apa-apa.



Coba kita simak apa kata Joseph Brodsky. Puisi, katanya, bukan seni. Bukan cabang dari kesenian. Puisi adalah sesuatu yang melebihi seni. "Apa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuan berbahasa. Maka puisi adalah puncak dari berbahasa itu. Puisi bukan saja sebuah tujuan genetik manusia tapi juga antropologis," katanya. Maka, lanjutnya, siapapun yang menganggap puisi sebagai sebuah hiburan, sebagai sebuah bacaan, berarti dia telah melakukan kejahatan antropologis.



Pembelaan yang dahsyat dan berapi-api. Ini keyakinankah? Atau sebuah keraguan yang bersungguh? Mungkin keduanya. Karena penyair selalu terombang ambing oleh bimbang. Chairil Anwar bahkan pernah menganggap sajak-sajaknya sebagai bukan sajak. "Yang kunamakan sajak-sajak! --- itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa 'tingkat percobaan' musti dilalui dulu. Baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya."



Dengan kebingungan yang sama Marianne Moore malah menyimpulkan tak ada alasan untuk menyebut karya-karyanya sebagai puisi, kecuali jika kemudian tak ada lagi ketegori yang cocok untuk mengelompokkan karyanya itu. Wah!



Maka, yakinlah tentang keunggulan puisi. Bahwa kita tidak sia-sia bergelut menyenda puisi. Tetapi, kemudian kita juga boleh ragukan mutu puisi-puisi yang kita hasilkan. Antara keduanya, akan berlahiran puisi-puisi yang kelak akan menunjukkan keunggulannya sendiri. Ketika kita sudah "mati" dan ketika kita kelak mati.[ha]

Menara, 2

betapa murungnya, ketika

terperangkap pada menara



tak sampai bisik rumput

burung yang riang berebut







Kado Seadanya dari Suami

untuk Ulang Tahun Istri




      : Na



dengan cara apa lagi kita belum termaknai

bila subuh kau terbaring di dudukku, setelah

zikir dan doa, anak-anak masih belum terjaga



pintu yang jadi tuju, berulang menutup membuka

di baliknya tersimpai sepasang pakaian terindah

diwangikan asap cendana, pedupaan terus nyala



siang memberi terang, menyulut bangkit rasa

di jendela kau letakkan tanda, penuntunku

kelak pulang di pangkal senja: ke sisa usia.



Nov 2003

Monday, November 17, 2003

Jiwa yang Tercekau

Sajak Pablo Neruda







Kita tersesat bahkan di senja ini.

Tak ada yang tahu: malam kita berpegangan,

sementara dunia dikepung warna biru.



Ada nampak lewat jendelaku

Semarak matahari jatuh di puncak gunung jauh.



Sesekali tampak sepotong cahaya

terbakar seperti keping di genggaman.



Aku terkenang engkau, hati tercekau

dalam duka itu, dukaku itu, engkau tahu.



Lalu engkau, dimanakah?

Lalu di sana itu, siapakah?

Lalu yang disebutnya, apakah?

Kenapa saat segenap cinta tiba tiba-tiba

saat itu duka meraja dan kurasa engkau jauh disana?



Buku tersia senantiasa tak terbuka saat senja tiba

dan sweater biruku teronggok: simpuh anjing luka.



Selalu, selalu saja engkau menyusut melintasi malam

melewati senja, gelap yang menelan patung-patung.

[Ruang Renung # 33] Mestinya, Tetapi, Padahal

Mestinya, kepada puisi kita tidak berharap dia bisa membuat kita berpikir tentang sesuatu setepat-tepatnya, tapi merasakan sesuatu dengan sebenar-benarnya. Seperti kata saran Frederick William Robertson (1816-1853), pengkhotbah mahsyur di Inggris yang banyak menulsi buku analisa puisi.



Tetapi, ada pembaca yang bernafsu memburu amanat di dalam puisi-puisi. Mula-mula yang dia harapkan dari sebuah puisi adalah makna. Susah payah dia berusaha mengartikan puisi yang dia baca. Dia akan kecewa ketika selesai pembacaan tak menemukan apa-apa. Dia lantas menyebut puisi yang dia baca sebagai puisi buruk, sia-sia, sekadar permainan kata. Ada pembaca yang seperti itu tabiatnya.



Padahal kurang apa lagi kalau TS Eliot saja berkata kalau sajak yang paling disukainya adalah sajak yang tidak dia pahami ketika dibaca pertama kali. Beberapa di antaranya adalah sajak yang dia tak begitu yakin telah dia pahami. [ha]

Menara, 1

jauh seru azan

ke kabut laut

di jaring nelayan

gelepar tersangkut.





Ramadan 1424

Sunday, November 16, 2003

Bermain Kertas Bersama Ikra





Ikra Bhaktiananda, Oktober 2003



/1/



kertas itu tidak pernah benar-benar kosong kan? ada

yang selalu bersembunyi di antara lipatan-lipatannya, ada

yang senantiasa ada:di celah-celah robekan-robekannya,

di tepi potongan-potongannya, di balik warna putihnya,

di antara bunyi kereseknya.



Ada yang terus-menerus memikat dan selalu ingin

didengar bisikannya, diberi mimpi tentang sebuah

negeri dan orang-orangnya yang saling bercerita

tentang tangan-tangan awan yang menggendongmu

sambil terus benyanyi dan menari perlahan-lahan.



/2/



- kertas bisa dilipat jadi kapal terbang, Bah?



+ bisa, nanti kita terbang ke awan mencari

rumah kita yang sabar menunggu dengan

pintunya terbuka, alangkah luas tamannya.



- kertas bisa dibikin jadi burung juga kan, Bah?



+ ya, burung yang menjadi penuntun kapal terbang kita

menyusuri jejak di langit hingga sampai ke rumah

kita di awan, lalu hinggap di pohon menunggu

kemana saja perjalanan kita berikutnya.



- kalau bikin kapal laut bisa juga?



+ kapal laut kita ada di dermaga, ya. nanti kita

gambar lautan di kertas lainnya. nanti kita

berlayar bersama, mencari laut yang menguapkan

airnya, menjadi rumah awan kemana kita pulang

setelah menambatkan kapal itu kembali di dermaga.



/3/



selembar kertas putih kulipat rapi dalam ingatan

di antara tekukannya, kuselip nama-nama. Dan



kadang aku ingin sekali, ikut sembunyi di sana

menyusup hilang, diam di serat-seratnya. Tapi



belum kutemukan juga sebuah pena, untuk

memberi titik pada kalimat tak selesai, yang



sudah lama ada disana, berulang kali kubaca

berulang kali kudengar dia sebut namaku, juga



pernah sekali waktu, dia datang sebagai surat kilat

pengirimnya tanpa Nama, alamatnya Entah. Tapi



hei kertas, siapa yang menggambar peta ini?

"Lho, bukankah itu jejakmu sendiri, Saudara?"



Nov 2003

3 Sajak Rumi

Cinta Mengejarku



Semalam aku mabuk tergila-gila,

cinta mengejarku dan berseru:

"Aku datang padamu, jangan bersorak,

jangan basahi baju dengan air mata,

dan jangan lagi bicara."



O, cinta!" kataku: Aku takutkan lainnya."



"Tak ada yang lain," katanya: "jangan bicara lagi.

Akan kubisikkan kata-kata tersembunyi ke telingamu;

Mengangguklah setuju! Dalam rahasia, jangan lagi bicara!"



[Dari Diwan 2219:1-5]





Dari Hati Pencinta



Dari hati sang pencinta,

darah mengalir,

deras bagai sungai



Tubuh kita adalah kincir

dan cinta adalah air.



Tanpa air, kincir tak berputar.





Si Manis dan Buruk Suara



hanya burung bersuara manis,

yang dikurung jeruji sangkar.



si buruk suara burung hantu,

tak pernah tersiksa penjara.





Saturday, November 15, 2003

Bulan Mencuriku

Sajak Jalaluddin Rumi



Pada sebuah senja, bulan hadir di langit;

Lalu turun ke bumi memandang pada arahku.



Bagai elang mencuri burung di musim berburu;

Bulan mencuriku, dan bergegas menuju langit.



Kupandangai diri, tak ada kulihat lagi aku;

Selama ada di bulan, tubuhku semurni jiwa.



Sembilan lapis langit hilang di bulan itu;

Kapal ke-ada-anku terbenam di laut dalam.

Bulu Matamu Menulis Puisi

Sajak Jalaluddin Rumi



Suatu hari nanti, Engkau akan mengambil

hatiku seluruhnya, dan mengubahnya lebih

ganas dari seekor naga.

Bulu-bulu matamu kelak menulis di hatiku

sajak yang tak pernah dituliskan oleh

pena seorang penyair.

James Fenton (1949- )

"Penulisian puisi itu seperti seorang anak melempar batu ke dalam lorong tambang. Kau menggubahnya dulu, lalu kau dengarkan gema suaranya."

Friday, November 14, 2003

[Ruang Renung # 31] Puisi Sebagai Intellectual Exercise

KETIKA membahas puisi-puisi D Zawawi Imron, Kuntowijoyo ada mengemukakan istilah itu. Puisi, katanya, tidak untuk dianalisis, maka pembahasan atas karya puisi 'terpaksa' (?) dilakukan 'sekadar' (?) sebagai intellectual exercise. Tanda petik dan tanda tanya sengaja kita tambahkan sebagai upaya mempertanyakan karena ragau tentang apa yang dikemukakan oleh penyair yang kita kutip ini.



Kunto lalu mengutip sebuah sajak D Zawawi Imron, "Seekor Merpati Luka"



seekor merpati terluka

hinggap di ujung tombak

tombak pun jadi bunga

yang mengerami doa-doa



di langit merah

membias

diam yang tak bisa kuterka




Lalu, Kuntowijoyo menulis: Judul dari sajak ini, ternyata samar-samar hubungannya dengan pesan yang akan disampaikan puisi ini kuncinya terletak di kalimat akhir, yaitu "diam yang tak bisa kuterka". Dan yang tak bisa diterka ialah misteri. Ada impresi bahwa hidup ini adalah sebuah misteri. Imaji dalam alinea pertama tidak sambung baris ke satu dengan lainnya.Demikian juga paragraf pertama dengan paragraf kedua. Tidak mudah memang diterka maksudnya. "Bunga" adalah simbol kebahagiaan, "doa-doa" memberi harapan. Meskipun demikian "terluka" dan "ujung tombak" keduanya menakutkan, mencemaskan. Puisi ini jelas ingin merujuk pada misteri hidup, yang sekaligus memberi harapan dan mencemaskan. Barulah kurang lebih dimengerti arti judul "Seekor Merpati Luka".



Nah, mari kita jemput sajak-sajak lainnya untuk kita jadikan latihan menguliti pesan dan makna di dalamnya.[ha]

Turun dari Gunung

Syair Li Po



Menuruni Gunung Jamrud, aku datang di malam hari,

     Bulan pegunungan membuntuti kemana pun aku pergi

Ke belakang kutoleh, ada yang membubung menyala

     Cahaya pucat yang berkelip redup rawan senda.



Bocah kecil membuka palang pintu berkarat

     Sampai di penginapanmu kita bergandeng erat,

Dahan hijau mengulur sulur terkait di jubah,

     Dan rimbun bambu menggantung di jalan teduh.



Aku berseru senang, "Di sini kita istirah saja!"

     Menghabiskan semua anggur terbaik, gembiranya

"Angin di Rimbun Pinus" kita bernyanyi, hingga

     Bintang redup di Galaksi, tinggal kerlipnya.



     Sejahteralah engkau, kawan: dan mabuklah aku,

     Bahagialah kita dan ikhlaskan isi dunia berlalu.

Senantiasa

Sajak Pablo Neruda



Aku tidak cemburu

pada apa yang pernah datang sebelum aku.



Datanglah bersama lelaki,

lelaki di kedua pundakmu,

Datanglah bersama seratus lelaki di rambutmu,

Datanglah bersama seribu lelaki di antara payudara

dan tungkai kakimu,

Datanglah bagai sebatang sungai

yang mengalirkan lelaki-lelaki

dengan arus menuju laut ganas,

dengan ombak abadi, menuju: Waktu!



Datanglah bersama mereka semua

Datang ke padaku menunggu;

Kita akan senantiasa sendiri,

Kita akan senantiasa hanya kau dan aku

sendiri di bumi sendiri

memulai hidup kita sendiri!

[Ruang Renung # 32] Berdekat-dekat dengan Kekuasaan

RIWAYAT hidup para penyair seringkali masuk ke wilayah kekuasaan. Banyak contoh bisa disenaraikan. Hafiz misalnya. Penyair yang lahir di tanah Iran itu keluar masuk Istana para sultan. Berulang kali diundang dan diusir penguasa. Diberhentikan dan dilantik lagi jadi ustad di perguruan kesultanan. Atau Li Po di daratan Cina. Dia juga keluar masuk penjara seiring bergantinya kaisar di negerinya. Berulang kali juga jadi penyair kerajaan dan terlibat keriuhan perang demi perang. Di negeri ini, kini, juga ada Rendra yang dicap tak sedap karena berdekat-dekat dengan pengusaha yang dekat dengan mereka yang pernah berkuasa.



Yang kita warisi dari penyair-penyair itu adalah karya-karyanya yang bisa kita baca dengan sudut pandang apa saja. Juga riwayat hidupnya yang juga bisa kita telaah terpisah atau bisa juga berkait dengan karya-karyanya.



Lalu, karena kedekatan itukah, nama penyairnya jadi berharkat melebihi wibawa karya-karyanya? Atau sebaliknya karena keasyikan berdekatan dengan penguasa itukah yang membuat karya-karya jadi jatuh tak tak bernilai lagi? Kita sebagai pembaca harusnya bisa arif bijaksana. Kapan memilah antara syair dan penyairnya. Kapan harus mengaitkan keduanya. Mestinya begitulah baiknya. Harusnya begitulah adanya.[ha]

WB Yeats *





















Kata-kata selalu akan menjadi terlalu biasa dengan beberapa makna sekundernya. Itulah salah satu tugas puisi, yaitu menjemput kata yang tertawan yang ingin lepas dari dalam kurungan, dan membawanya kembali ke pengertian yang tepat.



* Penyair Inggris

Musim Dingin di Negeri Dongengmu

Seperti inikah musim dingin di negeri dongengmu?



Orang-orang bermantel merah, berluncuran riang

dengan galah dan papan di atas tanah membeku;

hujan salju; langit, pohon dan rumah berwarna satu.



Seperti inikah? Sebab ada aku menyaksikannya



di kaleng bedak made in Hongkong, di kedai

tukang pangkas rambut; dan gunting listriknya

menggelincir di tengkukku. Menggigil di hatiku.



Nov 2003

Thursday, November 13, 2003

Pada Suatu Pagi Hari Ada Lelaki Tanpa Celana

Di tengah membanjirnya sajak-sajak liris yang kebanyakan kering dan rumit, saya kira Joko berhasil menyempal dan membawa kesegaran yang lain dalam dunia persajakan kita. Tanpa mengorbankan kedalaman makna.



SAJAK Joko Pinurbo dalam buku Telepon Genggam (Penerbit Buku Kompas, 2003) salah satunya berjudul Laki-laki tanpa Celana. Ini adalah sajak yang unik dan tidak lazim. Keunikan pertama adalah panjangnya. Memang tidak ada batasan sepanjang apa puisi boleh ditulis. Hanya saja sepanjang yang pernah saya baca dari buku-bukunya, ini adalah sajak terpanjang. Dalam buku berformat 14 x 21 sentimeter sajak ini makan tempat 9 halaman.



Yang lebih unik selain urusan fisik tadi adalah isi puisi itu. Joko berangkat dari sajak Sapardi Joko Damono, Pada Suatu Pagi Hari (Mata Pisau, Balai Pustaka, Cetakan keenam, 2000; Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994). Saya kira Joko Pinurbo mengutip sajak itu dari buku yang pertama. Karena secara pas sajak itu berada di urutan terakhir daftar isi.



Dalam sajak Joko, nama Sapardi, dan sosoknya sebagai penyair bahkan hadir dalam bait-baitnya. Kita kutip saja sajak itu selengkapnya:



Pada Suatu Pagi Hari



Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.




Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.



Lihatlah kemudian apa yang dilakukan oleh Joko Pinurbo terhadap puisi di atas. Pada separo bait kedua puisi Laki-laki tanpa Celana tiba-tiba saja muncul kalimat… Nah itu dia. Saya terhenti lama di sebuah sajak Sapardi Djoko Damono, “Pada Suatu Pagi Hari”…. Lalu disalinlah bait pertama puisi di atas. Jika tak pernah memperhatikan sajak Sapardi, maka pembaca tak akan tahu bahwa bagian itu adalah sajak lain yang disalin begitu saja oleh Joko. Ia yang ada dalam sajak Sapardi sudah dihadirkan Joko sejak awal puisinya itu:



…Saya berpapasan dengannya… Ia biarkan serbuk hujan bertaburan di atas rambutnya yang diikat begitu saja… dst.



Perhatikan frasa ‘serbuk hujan’ yang sangat Sapardi itu. Saya kira Joko sangat sadar memilihnya. Di sinilah kelihaian Joko menyair dipertontonkan. Di sinilah tantangan-tantangan bagi penyair yang menulis belakangan hari dijawab olehnya. Saya kira susah mengelakkan pengaruh penyair terdahulu. Apalagi yang sekuat Sapardi. Pengaruh itu memang tak perlulah dielakkan. Tapi, aku tak mau jadi bayam, kata Popeye. Demikian ditulis Sutardji (Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001, Penerbit Buku Kompas, 2001). Membaca buku puisi bagi penyair bukannya harus dihindari. Maksud Sutardji jelas, jangan karena membaca sajak Afrizal dan menyukainya maka , lantas kita menulis sajak-sajak bak Afrizal, sampai-sampai ada sebutan Afrizalian. Jangan lantas karena menyukai sajak Sapardi, lalu melahirkan sajak-sajak Sapardian. Kalau itu yang dilakukan maka jadilah sajak-sajak kelas sayur, bukan kelas Popeye, ledek Sutardji.



Saya kira, Joko berhasil mengelak dari ledekan itu. Keberhasilan itu bisa diukur dari bagaimana ia menjadikan sajak Sapardi yang hanya dua bait itu sebagai ide dasar membangun sajak sembilan halaman.



Laki-laki tanpa Celana masih kental membawa gaya Joko. Liris tapi bukan lirik. Ada bertabur frasa yang mengejutkan yang bikin kita terhenyak karena memang mengejutkan, dan lebih sering lagi kita tersenyum bahkan sesekali tergelak karena memang jenaka. Joko sesungguhnya mempertegas gayanya yang santai dalam menyikapi dunia puisi dan kepenyairannya sendiri.



Lihat bagaimana dia mempermainkan lagi puisi Sapardi:



…”Non, sepertinya saya pernah melihat Non dalam sajak Sapardi, ‘Pada Suatu Pagi Hari.” Ia tampak bingung dan tidak mengerti apa yang saya katakan. …



Sebelumnya ada bait ini …Buat orang semelankolis saya, membaca puisi sering lebih mujarab dari minum obat dan saya berusaha tidak telat minum puisi sebab akibatnya bisa gawat.



Nirwan Dewanto menempatkan Joko sebagai antipoda puisi liris sekaligus puisi protes (Tempo Edisi Khusus Akhir Tahun 2002). Liris ya, tapi puisi protes saya kira tidak. Yang diolok-olok juga oleh Joko adalah sajak-sajak balada. Sajak yang tengah kita bicarakan ini pula yang paling pas mewakili olok-olok itu. Ada plot cerita. Ada semacam kemurungan dan tragedi hidup. Ada tokoh-tokoh imajiner yang campur aduk dengan Sapardi penyair yang dihadirkan Joko.



Kita kutip lagi bagaimana Sapardi masuk ke dalam puisi Joko itu:



Saya hampir tak percaya melihat Sapardi duduk manis di samping perempuan itu, memberikan komentar sambil membolak-balik halaman-halaman buku Laki-laki tanpa Celana yang disebutnya memikat antara lain karena tokonya luar biasa. Sesekali mereka berdua terlihat berbincang akrab sambil ketawa-ketawa….



Nah, lihat betapa cerdas dan liarnya imajinasi penyair. Laki-laki tanpa Celana itu ternyata sebuah novel. Entah, saya sebenarnya ragu menuliskan bahwa Joko juga tengah memperolok-olok genre sastra yang lain yaitu novel dan cerpen (karena panjangnya dan gaya naratif puisi ini).



Saya kira ini adalah balas dendam dan balas jasa yang sempurna dari seorang Joko kepada Sapardi. Sapardi sendiri memang sudah memberi catatan khusus pada kepenyairan Joko. Pada kata penutup yang dibuatnya untuk buku puisi sulungnya Joko (Celana, Indonesiatera, Yayasan Adikarya IKAPI, dan The Ford Foundation, 1999), Sapardi memberi catatan semacam peringatan: awas penyair ini berhak mendapat perhatian kita! Peringatan itu, saya kira telah mendorong Joko untuk terus menerus merebut perhatian pembaca dan (ehem) Sapardi juga. Maka ‘diculiknya’ Sapardi masuk ke dalam sajaknya. Diperalatnya sajak penyair itu untuk kepentingan sajaknya sendiri. Tanpa merusak sajak itu, tanpa melanggar hak si penyairnya juga.



Kalau percaya dengan kalimat … penyair picisan meniru, penyair besar mencuri, maka Joko tidak keduanya. Dia tidak meniru dan tidak mencuri. Dia sekali lagi, secara cerdas dan kreatif, memperalat sajak Sapardi dalam kerja menyairnya. Bahwa puisi bisa berangkat dari sajak lain pun dilakukan Sapardi pada beberapa sajaknya. Coba tinjau sajak Tentang Pohon, 2, (Mata Jendela, Indonesia Tera, 2001) yang sebelum masuk ke bait pertama puisi mengutip sajak Jalaluddin Rumi. Pada sajak Sapadi lain bahkan api ide bisa dipantik dari syair lagu Beatles (Dalam Diriku, Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994; Sihir Hujan, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia Kuala Lumpur, 1994).



Di tengah membanjirnya sajak-sajak liris yang kebanyakan kering dan rumit, saya kira Joko berhasil menyempal dan membawa kesegaran yang lain dalam dunia persajakan kita. Tanpa mengorbankan kedalaman makna. ***



* Tulisan ini bisa dibaca di situs www.puisi.net.

Wednesday, November 12, 2003

Kematian Seekor Anjing





Sajak Pablo Neruda



Anjingku mati.

Kukuburkan di kebun

di dekat mesin rongsok karatan.



Suatu hari nanti, di sana aku kan menyusul dia,

tapi sekarang dia pergi dengan jaket kusutnya,

ulah nakalnya dan endus dingin hidungnya,

dan aku, sang materialis, tak pernah percaya

pada janji surga di langit

bagi manusia-manusia,

Aku percaya pada surga

yang tak akan pernah aku masuki kesana.

Ya, saya percaya pada sebuah surga untuk anjing

di mana anjingku menunggu kedatanganku

melambaiku bersahabat, ekor kipas berkelebat.



Aih, di sini tak aku berbicara kemurungan dunia,

tentang kehilangan seorang kerabat

kawan yang tak pernah membudakkan diri.

Persahabatannya denganku, seperti landak

yang memegang otoritas sendiri,

seperti persahabatan sebuah bintang, jauh,

tanpa melebih-lebihkan:

tak pernah dia memanjati bajuku

mengotoriku dengan bulu dan kudisnya,

tak pernah dia menggusal di lututku

bagai anjing yang bangkit berahi.



Tidak, anjingku pernah menatapku,

memberi perhatian yang aku butuhkan,

perhatian itu diperlukan

untuk membuat orang sengsara seperti aku mengerti

bahwa, menjadi anjing, dia menyiakan waktu,

tapi, tapi dengan mata yang lebih jernih dari mataku,

dia tetap saja menatapku

dengan pandangan menyaranku merenungi sendiri

seluruh indah dan kusam hidupnya,

selalu di dekatku, tak pernah menyusahkanku,

dan tak pernah meminta apa-apa.



Aih, berapa kali sudah cemburu pada ekornya

ketika kami berjalan bersisian di pesisir laut

di sunyi musim dingin Isla Negra

ketika burung-burung salju menyerbu langit

dan anjingku yang lebat bulu meloncatinya

sepenuh tenaga gerak ombak laut:

anjingku mengembara, mengendus-endus

dengan ekor keemasan tegak meninggi,

bermuka-muka dengan sembur samudera.



Senangnya, senangnya, ah senangnya,

seperti hanya anjing yang tahu berbahagia

dengan otonomi dirinya,

jiwanya tanpa sungkan malu.



Tak ada selamat tinggal untuk kematian anjingku,

kami tak pernah saling tahu tak juga saling mendustai.



Maka, sekarang dia mati dan kukubukan,

itulah semua yang ada, yang bisa kuberikan.







[Ruang Renung # 30] Buku Puisi Tidak Laku?

Kenapa buku puisi umumnya tidak laku bak kacang goreng? Kenapa menerbitkan buku jenis ini seperti sebuah pekerjaan yang hanya menuju kepada kematian yang iseng sendiri? Kenapa penyair harus seperti gerilyawan ke sana kemari menawarkan naskah bukunya agar bisa terbit? Kenapa Don Marquis mengibaratkan menulis buku puisi itu seperti menjatuhkan kelopak mawar ke Grand Canyon dan kemudian menunggu gemanya? Buku puisi memang tidak tergolong buku laris. Susah masuk ke daftar best seller. Buku puisi bukanlah buku petunjuk praktis cara merawat tanaman di taman rumah. Bukan buku pendorong motivasi seperti Chicken Soup for The Soul yang terbit berjuta-juta eksemplar, diterjemahkan ke berpuluh bahasa lain, dan serialnya kemudian berjilid-jilid panjang. Meskipun, pada awalnya buku itu juga susah mau terbit. Berpuluh penerbit menolak untuk menerbitkannya.



Tanyakanlah apa saja, soal buku puisi. Soalnya, setelah kita menulis sejumlah puisi, pertanyaan itu berhak datang mengusik. Penyair pun merasa belum lengkap perjalanannya jika tidak menerbitkan buku. Riwayat hidup penyair terasa lebih gagah jika ada sejumlah judul buku terbaca di sana. Sebuah buku yang memuat syair-syairnya, bagi seorang penyair tentu adalah sebuah tanda yang kuat, sebuah jejak yang kelak abadi. Karena itu tidak salah dan bahkan harus seorang penyair menginginkan agar suatu masa syair-syairnya terbit dalam satu dua buah buku. Tapi, ya jangan ngotot. Jangan itu yang dijadikan tujuan akhir berkarya. Bukankah John Donne si pendobrak periode Elizabetharian dalam sasta Inggris itu baru terbit buku pertamanya setelah dua tahun dia meninggal?



Maka di Amerika ada Walt Whitman Award yang berhadiah 5.000 dolar Amerika untuk menerbitkan buku puisi pertama penyair muda. Yang diseleksi memang manuskrip buku penyair yang belum pernah menerbitkan buku. Ada juga penghargaan untuk buku kedua. Di Indonesia? Wah, masih jauh panggang dari api. Penyair muda jangan mimpi dapat hadiah dan kesempatan untuk leluasa menerbitkan buku puisi pertamanya. Sapardi Djoko Damono dapat hadiah Rp100 juta (Ahmad Bakrie Award) setelah berpuluh tahun bergelut dalam sastra. Ada Khatulistiwa Award dengan hadiah Rp75 juta untuk buku sastra yang sudah terbit. Adakah penghargaan lain yang mendorong penyair muda untuk berkarya?



Kembali ke soal buku. Laku dan tidak itu urusan urusan lain. Masuk ke wilayah bisnis penerbitan. Ada urusan promosi yang pelik. Ada masalah distribusi. Ada hitung-hitungan untung rugi. Atau itu bisa juga kita jadikan tantangan. Bagaimana membuat puisi-puisi yang kalau dibukukan kelak laku keras, tetapi tanpa harus mengorbankan mutu dan kandungan sastra dalam karya kita itu? Bukankah ini juga sebuah kesempatan untuk bikin sejarah yang lain, sejarah bahwa ada terbit sebuah buku puisi yang bagus dan laku keras? Dan itu adalah buku puisi kita! [ha]

Sajak Bangun Tidur





Ketika kau berangkat tidur semalam, gelap lengkap,

    bunga dan rumput mulai menjemput embun, di teras

    kau tanggalkan alas kaki, setelah membasuh

    matamu sekali lagi, memandangi setiap sudut,

    meyakinkan dirimu sendiri adakah yang

    diam-diam sembunyi di sana, yang mungkin

    sedang menunggu saat bertemu denganmu.



Ketika kau tertidur semalam, hujan turun perlahan,

     di teras ada sisa jejaknya. Kau seperti pernah

     mengenal siapa yang singgah di sana. Yang

     tak sampai hati mengetuk pintumu dan berbalik

     pergi membawa mimpi yang ingin disampaikannya

     padamu.



Ketika kau terbangun pagi hari, kau tergesa ke halaman,

     tak ada siapa-siapa, kecuali luruh kelopak bunga,

     dan bekas jejakmu sendiri. Kau semakin yakin,

     semalam ada yang datang ke sana bersama hujan,

     yang ingin sekali menjumpaimu, menyampaikan

     sebuah rahasia yang sudah lama menggodamu.



Nov 2003



Hypnos, God of sleep;

Greek, 4th century. B.C




Ketika Aku Terbangun dari Tidurku*



Sajak Randu



ketika aku terbangun dari tidurku, jejak helai rambutmu semalam

tertinggal. begitu dalam, sebagaimana prasasti-prasasti di halaman

candi. tapi kau tak di sini, tak menyapa pagi sepi di kecambah

pedihku. kau datang dan pergi sebagaimana awan membawa hujan lalu

menghilang menjadi kabut di buaian.



ketika aku terbangun dari tidurku, riakmu tersisa di atas linen putih

bercampur tangis yang tak usai kuurai. melankoli malam yang kau

ucapkan bersama sajak-sajak awan telah menguburku dalam. menyisakan

setitik kesepian paling mematikan.



ketika aku terbangun dari tidurku, resahmu karam. tubuh samudera yang

tak rampung kau arung menelan leontin perak yang kau renggut dari

parut-parut lukaku. tapi kau masih di sana, di atas karang panjang

yang memisahkan bumi dan langit bersamaan. kita pernah sesekali

merentang jiwa, kini kita kembali merentang nyawa.



[Re: Sajak Bangun Tidur, dari milis penyair, judul dari HA]







Aku Menyala Bagai Lilin





Sajak Jalaluddin Rumi



Seperti lilin, menyalalah aku, memantulkan sinar

Tiba keberuntunganku, kuterangi diri bagai lilin

Janji hembus pagi, menyatu pada siang malammu

terbakar, kuning, bergoyang, menangis, bagai lilin

Alun rambutmu bagai gunting menuju puncak jiwaku

Di api yang memisah terbakar aku habis, bagai lilin.

Mutiara menderu dari laut mataku, ke bungah dadaku

Hatiku tersulut mengirim pijarnya, bagai lilin.

Kobar matahari jadi lentera surga, sungguh tampak

Setiap pagi tangisku tak terbendung, bagai lilin

Rupa-Mu bagai musim semi, Api-Mu melawan duka

Berapa lama terbakar jarak terpisah, bagai lilin.

Dari kenangan cahaya-Mu, setiap malam menyala terbang

Bila hanya hati yang terbakar, jiwaku pun ingin bagai lilin.

Berapa lama membakar diri Shams Tabriz, cintamu berseri.

Tak ada yang kita tahu kecuali terbakar, bagai lilin.



[dari Diwani Shams 103]



Kepada Wang Lun

Syair Li Po



Aku tengah mendayung sampan

Ketika kudengar tiba-tiba

hentak kaki dan senandung di pematang

kau dan kerabat datang mengucap selamat jalan.

Danau Bunga Persik dalamnya ribuan depa,

tapi, tak terbanding olehku, O Wang Lun,

dengan kedalaman cintamu bagiku.

Doa Sejuta Anak Tangga

              se

           juta doa

           tangga pinta

          undak kata

         mendaki ke pintumu

     menuju jantungmu

     ah, betapa beban kaki

   seribu langkah mendaki

  tak jua sampai menjejak

  di jenjang pertama saja

    jauh alangkah,

     jarak menolak

      jatuh aku

        jatuh aku

          jatuh aku

              jatuh

                ke

                  jurang

tak

tahu

dalam alangkah

dasarnya entah

menganga

membungkam

seru jadi diam

jerit jadi

se

juta

doa



Ramadan 1424

Tuesday, November 11, 2003

Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832)

Manusia seharusnya mendengarkan sedikit musik, membaca puisi dan melihat lukisan yang baik setiap hari selama ia hidup, untuk menjaga agar rasa atau naluri akan keindahan yang sudah ditanamkan Tuhan di dalam jiwanya tidak terkikis.







* Pengarang Jerman

Kepada Tan-ch'iu

Syari Li Po



Sahabatku berumah, tinggi di Kawasan Timur

Indah lembah dan bukit membangkit cinta.

Hijau musim semi, dia berbaring di hutan perawan.

Dia masih lelap, saat matahari sudah meninggi.

Angin pohon pinus mendebu di jubah dan tidurnya.

Ada bisik arus menyapu hati dan telinganya.

Aku cemburu, padamu yang jauh silang selisih

berbincang di awang tinggi beralas awan biru.

Dilepasnya Aku Sebagai Hujan

Syair Jalaluddin Rumi



Dimainkannya musik yang indah, aku menarikannya;

Cinta mengajakku bermain tiap waktu tiap ketika.

sesekali dia menggoda: "Enyahlah ke pojok itu saja!"

Lalu ketika hendak beranjak, aku kembali diajak.

Hari ini, diajaknya aku bermain seperti rajawali.

Apa niatnya, ketika aku mengurungnya?



Apa niatnya, ketika kemudian dia pergi?

Aku sebaik badai, Aku seriuh gumpal awan;

Titik hujan jatuh ketika dirangkulnya aku.

Awanku pemberi karena dia bagian dari laut itu;

Aku tahu tidak pada sesiapa diberi hujannya.

Ketika dihujankannya juga aku, takada jerit sakit;

Ketika dilepasnya aku, hidupku ada di pohon-pohon itu.



(Dari Diwani Shams Tabriz 208:4-9, Judul dari HA)



Syair untuk Lagu Dangdut

bagi Penyair Patah Hati






/1/



aku patah hati, katamu, bukan

dalam bait puisi. Aku mendengar

kau mengatakannya, sambil

berhmm-hmmm sebait syair lagu

dangdut, yang sangat kau gemari,

yang sering kau nyanyikan kalau

sedang patah hati.



+ omong-omong sudah berapa kali

kau patah hati?"



- jangan omong-omong begitu, aku

mau jawab kalau kau bertanya

sudah berapa kutulis puisi...



tapi aku tak bertanya lagi,

karena bagiku, penyair patah hati

lebih jelek daripada penyanyi

dangdut sakit hati. Ingat lagu

yang baitnya berbunyi: ...daripada

sakit hati, lebih baik sakit

gigi...
Nah, apa penyair pernah

membuat pilihan lain selain sakit

hati? Pernahkah penyair

membandingkan sakit hati karena

patah hati dengan sakit dan patah

yang lain, patah tulang misalnya?

Penyair yang patah hati

akan menikmati sakitnya. Ini

berbahaya, sangat berbahaya,

saudara.



/2/



aku masih patah hati, katamu

lagi. Mungkin masih patah pada

hati yang sama. Tapi kali ini

dengan lagu dangdut yang berbeda.

Lagu dangdut yang jujur belaka

tanpa bungkus kemasan metafora.

tanpa kelok belok makna. Sakit

hati ya sakit hati saja. Aku

ingat sebagian baitnya..

hancurlah harapanku, oh hancurlah

harapanku...
Oh, betapa

sedihnya, o betapa teririsnya.

Sambil nyaris meneteskan air

mata, aku masih sempat tergoda

untuk bergoyang mengiringi irama

gendang yang seperti selalu

membayang ketika lagu itu

berkumandang.



+ Kau sebaiknya jadi penulis

lagu dangdut sajalah, wahai

Penyair...



- Ogah, mendingan begini saja.

Lagi pula, apa bedanya penyair

dan penggubah lagu dangdut?



Wah, gawat-gawat, Saudara. Karena

patah hati, dia tak tahu lagi

membedakan antara puisi dan syair

lagu dangdut kegemarannya.



Nov 2003

Monday, November 10, 2003

Kahlil Gibran [1883 - 1931]

Ya, ada Surga disana; yang menggiring dombamu ke hijau padang rumput, yang membaringkan anak-anakmu, dan menuliskan baris terakhir sajakmu.








* Penyair

Debu Jadi Permata

O kekasih! O kekasih! Debu kujadikan permata

O pemusik! Kupenuhi alat-alatmu dengan emas.

O yang kehausan, aku jadi penampung air hari ini;

Kujadikan tanah kering ini firdaus, sungai Alkautsar.

O yang kesepian, telah datang kegembiraan!

Semua kubawa mencicip duka bagi raja.

O pemberi usia, lihatlah aku!

Kudirikan masjid dari beratus barak,

Kutegakkan mimbar dari beratus tiang gantungan,

O yang tak pernah percaya, kubebaskan kau semua;

Selama masih penuh titah di tanganku,

kuberi kau keimanan, ambil dan pergilah.





Dari Diwani Shams Tabriz 1374:1-5

Jalaluddin Rumi, Judul dari HA


Sunday, November 9, 2003

Kecantikan yang Purna

Keindahan hati adalah

kecantikan yang paling purna:

bibirnya membuka bagi reguk

air kehidupan.



Sungguh, itulah air sesungguhnya

yang mencurah deras

bagi seorang yang meminumnya.



Semua yang tiga menjadi satu

ketiga azimatmu kau remukkan

Itulah satu-satunya yang

tak bisa kau tahu

tanpa dalih apa-apa.



Mathnawi II, 716-718

Jalaluddin Rumi, Judul dari HA




[Ruang Renung # 27] Apa Kata Sapardi tentang Sutardji?

MENARIK untuk melihat bagaimana seorang penyair menilai penyair lain. Pada saat itu, tentu saja, si penyair yang memberi penilaian itu menempatkan dirinya sebagai kritikus. Mari kita lihat apa kata Sapardi Djoko Damono tentang penyair Sutardji Calzoum Bachri. Kita kutip saja beberapa bagian dari tulisan Sapardi dalam buku Sihir Rendra: Permainan Makna (Pustaka Firdaus, 1999).



TENTANG O, AMUK, KAPAK: ...berbeda dengan buku Linus, kumpulan sajak Sutardji itu tampaknya tidak banyak menarik minat pembeli; berbeda dengan Rendra, popularitas penyair Riau ini ternyata tidak bisa menunjang penjualan bukunya. Penyebabnya mungkin karena jenis sajaknya. Bebeda dengan "Pengakuan Pariyem", sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri lebih merupakan hasil eksperimen sastra daripada dokumen sosial; "O, Amuk, Kapak" tentu menarik minat pengamat sastra, tetapi sulit merebut perhatian pembaca yang punya kecenderungan ke ilmu sosial.



TENTANG PEMBACAAN PUISI: Sutardji memikat sebagian penonton karena gaya pembacaannya yang orisinil; sulit membayangkan bahwa rata-rata penonton bisa menangkap "pesan" yang terkandung dalam sajak-sajaknya.... Sutardji boleh dikatakan adalah penyair pertama yang sejak semula menyadari erat hubungan antara penulis dan membaca puisinya, kedua hal itu bisa merupakan faktor-faktor yang saling menunjang dalam usaha menafsirkan sajak-sajaknya.



TENTANG KREDO PUISI: Dalam kredonya, Sutardji bahkan dengan tegas mengaitkan puisinya dengan tradisi lisan; untunglah dia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menunjukkan ketidakpastian ujud visual dan kualitas bunyi puisinya. Puisi Sutardji yang dikembangkannya pada awal tahun 1970-an adalah unik. Di satu pihak sajak-sajak seperti "Ah", "Tragedi Winka dan Sihka", dan "Q" mempertaruhkan keberadaannya sepenuhnya pada tata letak kata dalam tradisi cetak, di pihak lain oleh penyairnya "gambar" itu ditawarkannya sebagai mantra, yang secara konvensional menyandarkannya pada anasir bunyi kelisanan. Dalam banyak sajak yang dikumpulkannya dalam O Amuk Kapak, kata-kata yang oleh penyairnya dikatakan "bukanlah alat menyampaikan pengertian" tetapi "pengertian itu sendiri", benar-benar merupakan pengertian yang jelas, yang meskipun "bebas...meloncat-loncat dan menari di atas kertas", sepenuhnya berada dalam kontrol sang penyair. Itulah sebabnya sajak itu tidak melambung dan tergelincir dalan kecengengan. Tata letak kata dan aksara dalam sajak-sajak itu menunjukkan penguasaan penuh si penyair terhadap kata-kata yang dipilihnya.



TENTANG APA YANG KELAK ABADI PADA SAJAK SUTARDJI: Ia secara tersurat menyatakan akan mengembalikan kata pada asal-usulnya yaitu mantra. Ini dilakukannya dengan konsekuen dalam sebagian besar sajak dalam O, Amuk, Kapak. Aliterasi, asonansi, onomatope, repetisi, paralelisme bunyi, dan berbagai jenis rima merupakan unsur-unsur yang menyebabkan sajak-sajak itu memiliki potensi sangat kuat untuk dilisankan. Namun yang akan lebih lama tinggal dalam khasanah sastra Indonesia adalah pembaruan tipografis, teks tercetak yang merupakan residu, sebab yang disuguhkan secara lisan di hadapan khalayak sudah lenyap begitu selesai dilisankan. [ha]

[Ruang Renung # 28] Apa Kata Sutardji tentang Sapardi?

SUTARDJI membahas Sapardi dalam tulisan yang cukup panjang. Bahasannya itu disampaikan dalam Temu Kritikus dan Sastrawan 1984, kerja sama Ditjen Depdikbud dengan Dewan Kesenian Jakarta. Sutardji dalam tulisan itu secara khusus membahas kumpulan sajak Perahu Kertas (Balai Pustaka, 1983). Tulisan itu kemudian diterbitkan redaksi majalah budaya Sagang Nomor 31 April 2001. Kita mengutipnya dari majalah yang terbit di Pekanbaru itu.



TENTANG IMAJI SAJAK SAPARDI: ... Jika dalam "Dukamu Abadi" Sapardi masih memperhatikan musikalitas, ritme dan kata-kata dalam persajakannya, makadalam sajak-sajaknya yang prosa boleh dika tidak lagi memperdulikan segi-segi musikalitas, irama kata. Konsentrasi Sapardi kelihatannya hanya diarahkan pada imaji itu sendiri. Kalimat dengan kata-katanya hanya alat untuk membentuk imaji. Kata-kata menjadi tidak penting. Tidak perlu diusahakan untuk mandiri, karena itu bukan kebutuan Sapardi dalam sajaknya yang imajis itu. Kemandirian imaji itulah yang terutama diusahakannya. Jelas konsep memandang kata dalam kepenyairan seperti ini dalam bentuk jeleknya bisa menimbulkan resiko, bentuk fisik kata atau kalimat bisa kurang diperhatikam. Yang lebih dipentingkan kehadiran imaji visual yang mengesan dalam diri pembacanya.

Konsekuensi lain dari imaji adalah segala-galanya puisi, Sapardi mempersetankan bentuk-bentuk formal konvensional puisi. Dengan halus penyair mengejek atau menantang bentuk formal itu.... Janganlah diharapkan pada sajak-sajak Sapardi permainan kata atau bahasa yang segar.



TENTANG MAKNA SAJAK SAPARDI: Memasuki dunia sajak-sajak Sapardi serasa memasuki suatu dunia yang aneh, suatu hal yang sebenarnya lumrah kalau memasuki dunia sebuah sajak, karena sebuah sajak menampilkan dunia yang unik. Tapi tentu saja sebuah sajak tidak hanya sekadar aneh ataupun unik saja. Sebuah sajak harus bisa memberikan arti bagi pembacanya agar tidak menjadi sia-sia. Arti dalam upaya pemahaman akan hidup, dari upaya mendapatkan makna. Menulis sajak bukanlah sekadar mengkongkretkan pengalaman puitik. Tapi dengan kehadirannya konkret dari pengalaman itu memberikan kesempatan, mengimbau, bahkan mendorong pembacanya untuk mencari pemahaman akan hidup, pemahaman akan kebenaran. Mungkin persoalan paling penting bagi pembaca dalam berhadapan dengan puisi Sapardi (juga puisi modern lainnya) adalah mendapatkan arti atau makna dari membaca sajak-sajak tersebut. Terlebih dalam sajak Sapardi, upaya kita mencari makna dalam sajak-sajak ini menjadi sulit. Hampir tak ada pernyataan dalam sajak yang bisa mengarahkan atau yang bisa memberikan atapa maunya sang penyair atau aku penyair dalam sajaknya.



TENTANG KATA-KATA SAJAK SAPARDI: Maka tinggal kita dalam sajak Sapardi seakan-akan hilang tersesat tanpa pedoman. Tapi untung ada juga hal-hal yang meski sedikit dan sering kabur yang bisa sekadarnya memberi arah. Seperti pengulangan kata-kata yang sama atau hampir sama. Kata-kata sehubungan air misalnya: gerimis, hujan, air, selokan, kabut, telaga. Imaji-imaji yang hampir semua sama itu, bukanlah berarti langsung memberikan kita arah lurus dan jelas seperti untuk pemahaman dan pengambilan makna dari sajak-sajaknya. Kadang malahan imaji yang didukung oleh kata-kata yang mengarah sama itu bisa menghapuskan pemahaman atau pengertian yang buat sementara telah kita dapat atau mengaburkannya. Demikan pula sering muncul kata-kata sehubungan dengan waktu: ini hari, waktu itu, malam tadi, pagi tadi, siang tadi, kemudian, sejak, pagi harinya dan lain-lain dan sebagainya.



MEMAHAMI SAJAK SAPARDI: Upaya pemahaman sajak-sajak Sapardi baru lebih mungkin, setelah masuk ke dunia sajak Sapardi, kemudian mengambil jarak dengan dunia sajak tersebut, memikir-mikirkannya. Di sinilah mungkin kenapa orang menyebut sajak-sajak Sapardi berkecenderungan menekankan sisi intelek. Kalau kita tidak mengambil jarak dan hanya masuk saja kedalam dunia yaitu kita hanya ikut tercekam, terpesona, tidak faham ataupun pasrah saja seperti halnya subjek-subjek dalam sajak-sajak itu. Setelah keluar dari dunia sajak Sapardi, mengambil jarak, barulah pemahaman dari sajak-sajaknya bisa lebih baik didapat. Kita lebih mungkin mendapatkan makna, mendapatkan arti atau memberikan arti akan sajak-sajak itu.[ha]





Letakkan Harpamu di Sisi Venus

Setiap pagi, mainkan organonmu, seperti ini!

Ya, wahai kekasihku, seperti ini, seperti ini!

Letakkan harpamu di sisi Venus, O bulanku!

Masukklah, gembiralah tinggalkan jejakmu, seperti ini!

Ketika kerumunan orang meminta wangi rusa jantan;

uraikan rambutmu dalam tari, seperti ini.

Bila lengkung langit menentang inginmu, sekali ketika;

Itulah saatnya kembali bersatu, O cinta meraih tanganku!

Dan tuntun aku ke pesta kemenangan, seperti ini,



Diwani Shams Tabriz,1953: 3-6

Jalaluddin Rumi, Judul dari HA







Meditation of Harp, Salvador Dali

Ralph Wald Emerson [1803-1882]

Hanya puisi yang mengilhami puisi.







* Penyair Amerika

Friday, November 7, 2003

[Ruang Renung # 26] Berasyik-masyuk dengan Buku

APA perlunya membaca buku puisi dan karya lain bagi penulisan puisi kita? Tidakkah nanti kita akan terpengaruh karya-karya yang kita baca? Pertanyaan pertama mestinya tak perlu diajukan lagi. Jawabnya: marilah kita belajar dari para penyair-penyair besar. Umumnya mereka adalah para pelahap buku yang rakus. Dalam suratnya kepada Kappus penyair muda yang bersurat-suratan dengannya, penyair Rainer Maria Rilke memberi contoh bagaimana buku mempengaruhinya. Hanya ada dua buku yang berpengaruh besar pada Rilke. Pertama kitab suci, dan buku karya penyair agung Denmark Jens Peter Jacobsen. "Keduanya ada di sini, disisiku saat aku menuliskan surat ini," ujar Rilke.

Lalu katanya, "kalau harus kusebutkan siapa yang memberi ilham esensi kreativitas terbesar bagiku, yang dalam dan tak habis-habis, hanya ada dua nama: Jacobsen, dan Auguste Rodin, sang pematung."

Ada yang bilang bahwa membaca dan menulis adalah proses yang sinambung, tak ada yang bisa kita hasilkan sebagai tulisan apabila kita tidak memasok bacaan ke dalam diri kita. Dan, kita tidak tergerak membaca kalau kita tidak mendesak diri kita untuk menulis. Bukankah mengamati perasaan, mengamati alam, mengamati gejala sosial yang hendak kita syairkan, pada hakikatnya adalah sebuah tindakan membaca juga? Membaca karya orang penyair terdahulu juga bermanfaat mengingatkan kita agar tidak sia-sia berkarya karena teranyata kita hanya terjebak pada pengulangan yang mestinya bisa kita hindari jika kita banyak membaca.

Tentang pengaruh bacaan terhadap karya perlu jawaban yang lain dan waktu yang lain untuk menguraikannya. [ha]

Thursday, November 6, 2003

Rainer Maria Rilke*

"Tenaga puitik itu luar biasa, kuat seperti naluri primitif; Ia punya iramanya sendiri dalam dirinya sendiri yang bersiteguh dan mendobrak keluar seperti letusan gunung-gunung." __ dari Letter to A Young Poet.



* Penyair.





Mendengar Suara Suling

Syair Li Po



Sebagai pengembara, aku tiba di sini

terkenang rumah lagi,

teringat Ch'ang-an, rumahku jauh sekali.

Lalu, dari jauh di Paviliun Bangau Kuning,

kudengar seruling mambu, sungguh merdu

menyanyikan lagu "Jatuhnya Kembang Plum."

Musim semi nyaris berganti, di sungai kota ini bersisi.

Tersadar dari Mabuk pada

Suatu Hari di Musim Semi




Syair Li Po



"Hidup di Dunia cuma mimpi teramat mimpi;

Tak kan kusia dengan kerja atau pedulikannya."

Maka seperti kata, aku minum segenap hari,

Terbaring lunglai di beranda di depan pintuku.

Ketika bangun, aku mengerjap ke rumput taman;

Burung kesunyian bernyanyi di antara bunga.

Kutanyai diri sendiri, hari ini basahkah atau cerah?

Angin musim semi mengabari burung di pohon mangga.

Dituntun siulnya segera saja kupandangi,

Masih ada anggur, kuisi lagi gelasku sendiri.

Bernyanyi tak tentu bunyi, kutunggu bulan lagi;

Waktu laguku berlalu, aku terkapar kembali.

Sebuah Pengakuan

Syair Li Po



Ada anggur dalam gelas emas

dan gadis 15 tahun dari Wu,

alis matanya tergambar teduh

dan beralas kaki brokat merah



dia tak suka banyak berbincang,

tapi dia bernyanyi alangkah merdu!

Bersama kami bersantap dan minum

hingga dia rebah di rengkuh lenganku



Dan di balik kamarnya bertirai

bersulam bunga-bunga teratai

bagaimana bisa aku menolak

bujuk rayunya yang menggoda?



Siapa Pemilikmu

Kau yang mengetuk-ngetuk pintuku!

Kau yang cahaya rumahku, masukklah!

Hatiku milikmu, kau si empunya, masuklah!

Rumah ini luluh, rumah ini bercahaya,

O, hati dan hidupku hunianmu, kau dimana? Masuklah

O, pujaan dalam rumahku, penyebab kegilaanku!

Segalanya milikmu, siapakah pemilikmu? Masuklah!



Dari Diwanis Shams 209:1-3

Jalaluddin Rumi, Judul dari HA




Tentu Saja Kau Boleh Menulis Namaku

tentu saja kau boleh menulis namaku

dalam baris bait sajak-sajak terbaikmu

sebelum kata jadi semakin mengawan

saling menyapa dan saling melupakan



tentu saja kau boleh menulis namaku

dalam baris bait sajak-sajak terbaikmu

sebelum ada yang lembut memanggil kita

tak bisa berpaling dari satu-satunya suara



tentu saja kau boleh menulis namaku

dalam baris bait sajak-sajak terbaikmu

karena nanti ada suatu masa yang entah

kita menebak, "ah, rasanya kita pernah...?"



tentu saja kau boleh menulis namaku

dalam baris bait sajak-sajak terbaikmu

biar nanti ada yang kelak mengingatkan

"wahai, tolong kembalikan aku, Tuan!"



Nov 2003





TENTU SAJA KAU BOLEH MENULIS NAMAKU*



Sajak Mega



tentu saja kau boleh menulis namaku

dalam lubuk hatimu

biarlah orang lain tak bisa membacanya

sebab cinta mekar semu diantara kita



tentu saja kau boleh menulis namaku

di setiap lembar kanvas yang kau gelar di buram harimu

karena rindu begitu kuat membelenggumu

sementara cinta masih terpaku ragu



tentu saja kau boleh menulis namaku

di setiap benda yang bisa kau tulisi

di setiap sudut yang kau tempati

di setiap waktu yang kau tapaki

di setiap mimpi yang kau pintal dengan bayang



tentu saja kau boleh menulis namaku

selama kau masih mampu membacanya lagi dengan penuh cinta

sebab diriku sosok cinta yang kau damba



yaumatei di musim dingin '2003



[* terinspirasi dari judul puisi karya HA,

dari weblog www.bingkaiteratai]

Wednesday, November 5, 2003

Percakapan Jam dan Waktu

+ Kenapa kau terus mengejarku?

- Lo, bukankah kamu yang minta

   aku terus mengikutimu?

+ Tidak, rasanya tidak pernah aku

   minta seperti itu. Aku malah tak

   enak hati melihatmu bergesa berlari

   menyesuaikan dengan langkahku.

- Lo, aku malah tak enak kalau tertinggal

   jauh denganmu, atau meleset sedikit saja.

   Oh, berdosa rasanya. Bukankah

   karena aku, manusia jadi tahu bahwa

   kau itu ada dan tak pernah berhenti

   mengembara entah kemana. Ya, entah

   kemana. Rasanya aku juga tak pernah

   bertanya padamu, kita ini sebenarnya

   hendak kemana?

+ Kemana? Ah, aku juga tak pernah tahu.

   Cuma rasanya aku memang harus terus

   bergerak. Sepertinya ada sesuatu yang

   terjadi kalau aku mendadak berhenti.

- Aku juga merasa seperti itu.

+ Eh, tadi kamu menyebut manusia,

   jangan-jangan....

- Jangan-jangan apa? Aku juga sudah

   lama menaruh curiga...

+ Ya...

- Ya..tapi, sebentar dulu. Kita ini siapa?

   Yang jam itu aku atau kamu? Atau sebaliknya?

+ Nah, sudah kuduga, sudah kuduga.



Nov 2003



Lagu Tzu-yeh

Syair Li Po



Chang-an -- sekali ada tergelincir bulan;

ada di 10 ribu rumah: suara hentak palu kayu.

Angin musim gugur terus saja berhembus,

segalanya membawa kenangan ke Jalan Pualam!

Kapankah mereka taklukkan kaum barbar itu,

dan lelaki-lelaki terbaikku pulang perang?



Jalan Penuh Kesulitan

Syair Li Po



Anggur murni, mangkuk emas, sepuluh ribu keping seflagon,

Suguhan sedap pada piring pualam seharga jutaan koin

Kusisih saja ke tepi sumpit dan gelas, sebab tak berselera.

Kutarik pisau, kurenung empat jalan sia-sia.

Kuseberangi Sungai Kuning, tapi es mencekik kapal ferry;

Kudaki Gunung Tai-hang, tapi langit buta karena salju.

Atau duduk bertenang memancing, bermalasan --

Tapi tiba-tiba bermimpi perahu pacu, melaju ke matahari..

Perjalanan yang berat,

Perjalanan yang berat.

Banyak sekali petunjuk arah.

Mana yang harus kuikuti?

Sekali waktu nanti, kutunggangi saja angin dan menentang ganas gelombang

dan membentang layar berkabut lurus menembus ke dalam, laut yang dalam.

Ketika Panah Bencana Mengincarku

Datang, datanglah, O Cintaku, O Cintaku.

Masuk, masuklah, sibukkan dirimu denganku.

Engkau, angkaulah taman mawarku, taman mawarku.

Bukalah, bukalah rahasiaku, rahasiaku.

Kemanapun, kau bersamaku, kau bersamaku.

Di setiap pentas, kau teman karib, kau teman karib.

Siang-malam, kau menjadi sahabat, menjadi sahabat.

Di jebakku, kau rusa masuk perangkap, masuk perangkap.

O lilinku! Engkau sungguh benderang. Di rumahku,

engkau bagai jendela, bagai jendela.

Ketika panah bencana mengincarku, mengincarku,

engkau tameng, perisai baja, perisai baja.



(Dari Diwani Shams Tabriz 1785:3-4, Jalaluddin Rumi)

* Judul dari HA

Tuesday, November 4, 2003

Kepada Tu Fu dari Shantung

Syair Li Po



Kau bertanya bagaimana kuhabiskan waktu--

Aku berbaring bersandar pada batang pohon

memasang telinga pada angin musim gugur

di hutan pinus sepanjang siang dan malam.



Anggur dari Shantung tak memabukkanku.

Sajak penyair di kota ini membosankanku.

Dan ingatanku tak pernah beranjak darimu,

Seperti Sungai Wen, mengalir tanpa akhir.





Tentang Dia: Tu Fu

Syair Li Po



Aku bertemu dia: Tu Fu di puncak pegunungan

Bulan Agustus ketika matahari menggerahkan.



Terlindungi bayangan lebar topi jeraminya

Sungguh, teramat muram sedih di wajahnya



bertahun-tahun sejak terakhir kami berpisah,

dia tampak semakin pucat, teramat lemah.



Tu Fu yang tua dan miskin. Kusimpulkan kini:

Pasti dia tersiksa, menderita lagi oleh puisi.



Bertiga-dengan Bulan dan Bayangnya

Syair Li Po



Dengan anggur sekendi, aku duduk dibawah pohon bebunga.

Aku minum sendiri, hei manakah mereka teman-temanku?

Ah, di atas sana bulan menengok ke bawah tepat ke arahku;

Kuseru dan angkat gelas padanya: benderang cahayanya.

Dan lihat, ada bayanganku bergegas lari mendahuluiku.

Aha! Kita bertiga berpesta, teriakku, ---

Meski bulan yang malang itu tak bisa minum,

Dan bayanganku pun hanya menari memutariku,

Kami bertiga, malam ini, kami adalah tiga sahabat,

Pemabuk, bulan dan bayangannya.

Biarkan saja riang gaduh kita dipertumukan musim semi!



Aku berlagu, bulan yang liar menjelajah langit.

Aku berdansa, bayanganku berguling-bergulung.

Selagi kita terjaga, mari kita bergabung di korsel;

Hanya mabuk yang sedap yang kelak memisah kita.

Mari kita ikrarkan persahabatan tak terpisah kematian.

Dan malam hari kita saling menyambut memanggil

Jauh di seberang, ada ruang luas yang pengap uap!



Suling Malam Musim Semi

Syair Li Po



Suling pualam yang mengirim singgah nota gelap ini,

   -- dari rumah yang manakah dia datang, dan

menghambur pada angin musim semi di Lo-yang?



Malam ini bila mesti terdengar lagu pohon-patah,

siapa bisa menolong kecuali rindu taman rumah?



Ketika Bukan Aku, Itulah Aku

Kataku akan kukisahkan dongeng hatiku sebaik bisaku;

Tapi air mataku terperangkap badai, hati berlumur darah.



Ah, aku gagal menceritakannya!

Kucoba mengingat pada saat kehancuran, membisu kata;

Gelas pikiran dan ingatanku, teramat mudah dipecahkan,

aku pun terhempas berkeping, seperti kaca dihancurkan.

Banyak kapal rusak terkurung dalam badai ini;

Apalah artinya perahu kecilku jika dibanding itu?



Gelombang merusakkan perahuku, tak ada yang tersisa;

Bebas dari diri sendiri, kuikatkan tubuhku di rakit.

Kini, aku takdi atas tak si bawah: Tergambarkan;

Seketika di atas ombak, lalu tersuruk ke bawah lagi.

Aku tak hirau keberadaan diri, hanya ini yang aku tahu:

Ketika aku, bukan aku; ketika bukan aku, itulah aku!



Diwani Shams Tabriz, 1419: 1-6

Jalaluddin Rumi, Judul dari HA




[Ruang Renung # 25] Syairmu Penabalmu,

yang Menahbiskanmu Jadi Penyair




Mau jadi penyair? Ya berkaryalah. Memangnya siapa yang memberi status penyair kepada Raja Ali Haji? Kepada Amir Hamzah? Kepada Sutardji Calzoum Bachri? Karyalah yang menjadikan seseorang itu jadi penyair atau bukan. Memangnya Dolorosa Sinaga disebut permatung kalau dia tidak membuat sebuah karya patung pun? Memangnya, Amri Yahya itu disebut pelukis kalau dia tidak melukis sebidang kanvas pun? Memangnya GM Sudarta itu mau disebut kartunis kalau dia tidak menciptakan tokoh Oom Pasikom?



Tentu berkarya saja tidak cukup, dan lantas kau disebut sebagai penyair. Kalau hanya kau simpan di map dan diselipkan di laci, siapa yang tahu bagus tidaknya karyamu? Sosialisasikan karyamu setelah kau yakin itu layak disebut sebagai karya bermutu, dan bisa pula mendukung niatmu untuk disebut sebagai penyair. Jangan putus asa kalau redaktur menolak karyamu. Jangan memaki bahwa redaktur sastra itu penguasa yang otoriter.



Sosialisasi kan tidak harus lewat satu majalah, satu surat kabar, atau jurnal saja. Kenapa tidak kau bukukan saja sendiri? Seperti Dee dengan Supernova-nya. Kenapa tidak mencari cara sosialisasi lain yang lebih kreatif, tidak cengeng, dan bahkan cara sosialisasi itu bersama karya hebatmu bisa dengan cepat mengangkat kau ke singgasana penyair, kalau memang itu yang benar-benar hendak kau duduki. Kau bisa ikut lomba cipta puisi, kau juga bisa kirim ke situs sastra seperti www.cybersastra.net ini. Mau contoh? Buatlah brosur puisi, buatlah pembacaan puisi keliling dari sekolah ke sekolah, dari terminal ke terminal, atau buatlah majalah sastra sendiri. Kamu pikir Taufik Ikram Jamil itu siapa kalau tidak ketekunannya berkarya dan membina sejumlah majalah sastra seperti Berdaulat, Menyimak dan Sagang.



Kau pikir D. Zawawi Imron itu mengemis-ngemis ke redaktur sastra supaya karyanya dimuat? Kau pikir siapa yang menerbitkan buku puisi Sapardi Djoko Damono pertama kali? Bukan penerbit tapi seorang pelukis bernama Jeihan. Lalu apakah Jeihan yang mengangkat Sapardi sebagai penyair? Bukan, tapi karyanya itu.



Kualitas karya. Itulah pemaknaan tunggal. Tapi, ingat kualitas tidak dilihat dari dimuat tidaknya sebuah karya di media. Karena belum tentu yang dimuat itu bagus, dan sebaliknya yang tak dimuat belum tentu jelek. Tak ada jalan pintas. Karena seorang redaktur itu orang yang makan gaji. Itu hanya sebuah jabatan struktural di sebuah media. Ia bisa dan kadang sangat subjektif.



Eh kira-kira dimana posisi seorang kritikus, ya? Apa pedulinya kita? Dulu memang ada HB Jassin yang tak bisa ditampik telah membesarkan dan menemukan seorang Chairil Anwar. Tapi, kembalilah tengok karyanya. Jassin mungkin tak akan pasang badan membela Chairil (apa untungnya?) kalau karyanya memang tak bermutu? Terbukti toh Jassin benar sampai sekarang, puisi-puisi Chairil tetap saja tak kehilangan kebaruannya. Jadi kembali lagi ke karyamu. Kalau memang mutiara, kritistus yang obyektif akan tahu meskipun ia menyelam dalam dan kau berada dalam cangkang yang keras tebal pejal. Selamat jadi penyair, eh selamat membuat syair.[ha]



* Dimuat di Cybersastra April 14, 2002, setelah beberapa koreksi.