Friday, November 30, 2007

Tentang Seseorang yang Mendengar
Requiem Mozart di Sebuah Gramofon


                                                    : Janet E Steele

Dan apakah tubuh? Dan apakah rumah?

Tubuh adalah rumah bagi rasa sakit,
di sana ada mulut yang menahan jerit
ada luka yang menampilkan wajah darah

Tubuh adalah rumah bagi ruh singgah,
dan di sana ia betah, menyimak lagu
waktu, jam & jantung berbalas-detak

*

Dan apakah rumah? Dan apakah tubuh?

Rumah adalah wilayah di mana tak ada
bayang-bayang tubuh, di sebuah sudut
gramofon ditaruh & doa dikirim ke jauh.

Rumah adalah tempat engkau kembali
dari pertemuan kecil, dan di sana kau
berbahagia sebab sempat mengucap cinta.


Apa Kabar, Albar?

KERUBUNG
kabung

di punggung
panggung

genting ranting
digunting
malam-malam kering

di dingin semen
dinding apartemen

sesenyap sunyi
sembunyi
bunyi

seramah rumah
remah-remah
sepi

sentuh jari
yang tak berjanji
parah & perih
pada
jerat jeruji

kerubung
kabung
di patah
punggung

Albar,
apa kabar?



[Tadarus Puisi # 031] Soneta Tidur

Pakcik Ahmad menulis tiga serangkai sajak yang ia rangkum di bawah satu judul: Soneta Tentang Tidur. Sajak-sajaknya - saya tak peduli itu soneta atau bukan - entah dengan cara yang bagaimana, mengingatkan saya pada pertanyaan lama, apakah kata? Jawaban itu saya dapatkan juga dari sajaknya. Saya mungkin berlebihan, tapi kali ini ah saya tidak bisa tahan untuk tidak berlebihan.

Kata-kata - saya kira saya setuju saja - adalah metafora-metafora yang telah dibekukan. Metafora yang berhenti sebagai metafora. Puisi saya kira adalah upaya untuk menghadirkan metafora baru dari metafora yang absen akibat pembekuan-pembukan itu. Metafora baru itu diperlukan bukan untuk menggantikan atau menghidupkan metafora lama, tetapi untuk menyosokkan hal-hal yang terlupa atau tak terangkum oleh metafora lama yang telah baku itu.

Puisi memang tidak mengurusi hal-hal yang praktis. Puisi tidak harus menghamba pada perkara-perkara besar. Puisi ah betapa seringnya ini diucapkan -- dan kenapa harus terus-menerus diingatkan? -- bahwa penyair dengan puisinya harus dibebaskan untuk menyapa kita dengan soal-soal remeh, tentang perasaan yang mungkin segera saja bisa dituduh sebagai sebuah kecengengan atau kesia-siaan? Tentang kenangan pada ibu misalnya. Dan Pakcik menghadirkan kenangan itu dengan membangkitkan kenangan tentang tidur sang bunda. Seperti kolam teratai, katanya. Apa yang terbayang? Sebuah bentang tenang dan menenangkan. Ketenangan yang tak terusik oleh keramaian sekawanan katak yang berenang di antara rumbai akar.

Dengan keikhlasan dan kepekaan untuk melayani ketelatenan si penyair, kita akan menemukan kemewahan-kemewahan bahasa yang ah tanpa kepekaan dan keikhlasan itu pasti hanya akan berlalu sia-sia. Cobalah rasakan permainan bunyi di ujung larik, dan gambaran-gambaran angan yang jinak-jinak liar, minta ditangkap tapi tak mau terperangkap: dengkur yang ikat-mengikat bak deretan iga, rumpun belulang berwarna gundah (?), nikmati bagaimana kita harus menerima keadaan dimana suara dan warna tak ada beda? dan kita yang tetap mengejar angin dan tertawa, hijau sayap belalang, dan ah di dada ibu itu embun yang menimbun.

Tidak hanya gambar, sajak kadang juga menghadirkan pendapat dan keinginan si penyair. Ini sebenarnya adalah musuh besar penyair Imajis yang menyair dengan tujuan menghadirkan gambar-gambar konkret, dan mengharamkan kata-kata dekoratif. Pendapat, perasaan, keinginan tidak membantu menghadirkan imaji. Malah bisa membantu. Sajak imajis, mencapai kualitasnya apabila gambar nyata yang dihadirkan itu lantas melahirkan sebuah ruh yang bangkit tak mati-mati. Sajak-sajak terbaik penyair Imajis membuktikan hal itu, dan karena itulah sejarah perpuisian dunia mencatat keberhasilan, pengaruh dan betapa meluasnya jejak-jekak gerakan ini pada penyair dan sajak-sajak yang datang kemudian.

Tapi, Pakcik tidak sedang ingin menjadi penyair imajis. Toh, saya kira dia tidak menjejalkan pendapatnya itu. Tidurlah, tanpa gusarnya almanak, katanya, karena telah kutafsirkan mimpimu. Segalanya akhirnya menghadirkan sosok ibu yang bagaimanakah yang dikenang oleh Pakcik, si penyair kita ini, dengan sajak-dan-rangkaian-sajak -nya ini. Tahniah! Untuk kita, dan untuk penyair kita!

tidurmu adalah kolam teratai
tujuh ekor katak berenang di antara akarnya yang merumbai

aku menyenangi bunyi dengkur bunda
ikat mengikat layaknya deretan iga
rumpun belulang tua berwarna gundah
dan otot liat yang menutup celah

kuinginkan selimut ini abadi
tubuh-tubuh kita tanpa kain bersepi-sepi
di mana suara dan warna seperti tak ada beda
tapi kita tetap saja mengejar angin dan tertawa

tidurlah tanpa gusarnya almanak
karena telah kutafsirkan mimpimu
: hijau sayap belalang, dan rampak
sekoloni embun yang menimbun dada ibu




[Tadarus Puisi # 030] Menutup Malam, Membuka Keluasan Sajak

Sajak Dedy T Riyadi
Malam Telah Menutup Segala Pintu

Malam telah menutup segala pintu dan buka satu jendela
rahasia, yang kau tahu, dari sana kupandang wajahmu.

Tak ada lagi rasa terkungkung, layaknya anak domba,
lari aku di luasan pandang, menghidu segar rerumputan.

Bahtera ini terdampar oleh nyanyi Calypso bibirmu
di pantai-pantai abadi, cinta telah dilenakan waktu.

Dan jika ku tak kuasa berpaling dari pandangmu,
semata-mata oleh cinta belaka. O, cinta begitu berbahaya.

Hanya badai buat malam ini semakin galau,
tapi sepenuh cinta aku akan terus meracau.

Bondowoso mengutuk Jonggrang tersebab cinta,
kekasih jadi arca agar tak lagi tersimpan rahasia.

Dalam gelap suasana, kuteriakkan; “Kau kekasih.
Hanya kepadamu mataku tertuju.” Kau saja, kekasih.

Malam ini, kekasih. Tidurku akan sangat lelap,
tersebab namamu terdengar sepenuh senyap.

2007
Singkat saja: ini sajak yang bagus. Klise-klise ungkapan dihampiri sekaligus dielakkan dan tentu dia tidak menjadi klise lagi. Ungkapan-ungkapan baru ditawarkan dan ah betapa sayang kalau tawaran itu tak disambut oleh pembaca. Dedy makin menjanjikan. Sajak-sajaknya makin bisa diharapkan. Pertentangan antara menutup-buka, cinta kutukan, menghadirkan tekstur perasaan. Rima dihadirkan apa adanya, tidak dipaksakan ada. Saya bisa menebak siapa Penyair yang sedang menghantui Dedy di sajak ini, tapi, dia tidak melawan hantu itu tidak juga mentah-mentah menyembahnya.[]


Thursday, November 29, 2007

Edisi Nonkomersial ORGASMAYA



INILAH sampul buku kumpulan puisi pertama saya Orgasmaya. Ini edisi tak komersial. Yayasan Sagang, penerbitnya, hanya mencetak 1.000 eksemplar dan membagikannya ke sekolah-sekolah di Riau. Saya boleh mencetak lagi, mencari penerbit lain yang tertarik. Adakah? Penerbit yang berminat bisa melihat dulu bukunya.

Hasan Aspahani

Wednesday, November 28, 2007

[Imajinasi Wawancara 005] Membaca, Memanggungkan Sajak

Membaca sajak di depan hadirin atau penonton pada hakikatnya ialah menampilkan diri dalam situasi tertentu untuk mengucapkan sajak dengan tujuan menyampaikan penghayatan dan penafsiran terhadap sajak tersebut dalam intensitas yang maksimal kepada para penonton.

.:. Selengkapnya baca di sini.

Binhad, Kuda Ranjang, Bau Betina (2)

Binhad adalah penyair yang terobsesi pada tema-tema perkelaminan? Kata obsesi mungkin tidak tepat. Ada kesan ia tertarik ke sana tanpa daya untuk menghindarinya. Lebih tepat mungkin termotivasi. Ia dengan sadar memilih tema itu, dengan alasan-alasan yang bisa kita tebak, tetapi tentu hanya dia yang tahu persis apa dan kenapa ia memotivasi diri dengan pilihan itu.

.:. Selengkapnya baca di sini.

Binhad, Kuda Ranjang & Bau Betina (1)

Pertanyaan saya berikutnya kenapa panitia KAKUS-Listiwa memilih kategori puisi untuk diejek? Kenapa bukan prosa? Lantas kenapa Khatulistiwa Literary Award - ini nama lengkapnya - harus diejek? Apa salahnya KLA?

.:. Selengkapnya baca di sini.

Tuesday, November 27, 2007

Refrain Sebuah Lagu Pop

AKU iri padamu
   karena
   kau bisa
   membuatku jatuh cinta
   sehebat cintaku padamu.

AKU heran padaku
   karena
   aku tak tahu kenapa aku
   bisa mencintaimu
   sehebat cintaku padamu.



.:. Poster sampul buku "Orgasmaya", sesaat
setelah diluncurkan bersama empat buku lain
yang diterbitkan oleh Yayasan Sagang,
Pekanbaru, Senin malam, 26 November 2007,
di Hotel Mutiara Merdeka. 

Friday, November 23, 2007

[004] Imajinasi Wawancara

Santai di Dunia yang Keras

Oleh Hasan Aspahani

     Sutardji Calzoum Bachri, perlukah saya perkenalkan lagi? Namanya jauh lebih besar dari tubuhnya yang tergolong mungil untuk ukuran orang Indonesia. Ia berjaket. Nyaris selalu berjaket. Saya membayangkan tubuh di balik jaket itu adalah tubuh yang sewaktu ia muda suka tampil telanjang dada di panggung pembacaan puisi-puisinya.
     Penyair besar kita ini pernah menjadi redaktur puisi di majalah-majalah sastra penting di Indonesia, juga di berbagai surat kabar. Terakhir kali – sebelum mengundurkan diri – beliau menjadi redaktur puisi untuk halaman “Bentara” Kompas.
     Apa yang bisa kita petik bagi kepenyairan kita dari pengalamannya sebagai redaktur puisi? Saya mewawancarainya di sebuah tempat di suatu waktu yang seperti biasa tak perlu dipermanai di mana persisnya.

.:. Selengkapnya KLIK di sini!

Kabar dari Penerbit Koekoesan!



Buku Hasan Aspahani
MENAPAK KE PUNCAK SAJAK:
Jangan Menulis Puisi Sebelum Baca Buku Ini!
beredar 3 Desember 2007
Harga Rp19.000

Bisa dipesan online di website KOEKOESAN
Atau di website BUKABUKU

Daftar Isi

Bab I. Bukan Sekadar Pengantar
Bab II. Bersajak-sajak Dahulu
Bab III. Lebih Sajak Lebih Banyak
Bab IV. Asal Sajak, Sajak Buruk
Bab V. Baca Sajaknya, Elak Pengaruhnya
Bab VI. Yakini dan Ragukan Sajak
Bab VII. Berkasih-kasih dengan Sajak
Bab VIII. Setelah Menulis Sajak
Bab IX. Sebelum Menulis Sajak
Bab X. Saat Menulis Sajak
Bab XI. Yang Bukan Sajak Yang Menjebol Sumbat
Bab XII. Lalu Apakah Sajak
Bab XIII. Cinta dan Berahi Sajak
Bab XIV. Sajak Membebaskan Kata dan Kita
Bab XV. Kesamaran Penumpang Gelap <------ KLIK BAB INI!
Bab XVI. Memilih Kata, Membangun Makna
Bab XVII. Tapi Jangan Dibebani Makna
Bab XVIII. Bebas Mengenal Sajak Tak Bebas
Bab XIX. Melisankan Sajak Sendiri
Bab XX. Sajak Sebagai Latihan Intelektual
Bab XXI. Faktor Chairil, Faktor Sapardi
Bab XXII. Soto Gurih, Peta Perjalanan
Bab XXIII. Bikin Sajak, Bikin Jebak
Bab XXIV. Panjang Pendek Sajak
Bab XXV. Waktu Sajak & Menerjemahkan Keasingan
Bab XXVI. Melepas Sajak
Bab XXVII. Bab Ini Berjudul Judul Sajak
Bab XXVIII. Karena Harus Ada Penutup

Sesuatu Sapardi: Apakah Anda Bahagia Menulis Puisi
Joko Pinurbo: Urusan Saya dengan Puisi Belum Beres


Bermalam di Rumah Tukang Sepatu

AKU lihat engkau tidur bersama sepatu
Kata sepatu jalan ke mimpimu memang
masih berbatu-batu, dan berliku-liku

Aku ingat sepatu ajaib kita dulu itu
Sepatu yang mengajari kita berjalan
mendekat mimpi-mimpi dan kenyataan.

 

Di Macetmu Itu

DI macetmu itu, Jakarta, aku belajar nyetir
engkau seperti bis besar yang tak bersupir

Seharian berputar-putar, aku masih di pinggir
mana halte, stasiun, terminal, & tempat parkir?

Di macetmu, Jakarta, aku belum bisa mengerti
ngebutmu itu ah kenapa kok lambat sekali?





Pelangi di Rambutmu


 
.:. Bersama Danarto di Kedai Tempo, Kompleks Utan Kayu.

                                                    : Oom Danarto

TUJUH lingkar pelangi menyatu di rambutmu
Kulihat rimbun kebun, rumpun-rumpun bambu

Siapakah sufi melayang-menari bersamamu?
Siapakah sufi menyanyi irama asmaramu?

Setangkai mawar dipetik hujan di taman awan,
Setangkai mawar bersilancar di tangkai hujan

Tujuh lingkar pelangi menyatu di rambutmu
Di rimbun kebunmu, naung sayap malaikat

Kakimu dan kakiku tak sampai dirayapi rayap.

 

Monday, November 19, 2007

Reportase Shania Saphana tentang
Sisa-sisa Perang di Teluk Persia



/1/
MATAKU terbuka
sukmaku terluka,
aduhai, Kekasih kukasih,
Kavi Matasukma!

Kau benar-benar benar,
ketika terakhir kali menahanku di bandara
(ikhtiar sisa, kataku ketika itu, yang sia-sia)


Kuingat kalimat
yang sendat di bibirmu yang mengeras-rapat
dari lidahmu yang tiba-tiba menebal-berat:

"Kau bisa lari dari aku, Shania,
tapi kau tak bisa menghindar
dari cintaku.
Ia punya sejuta kaki
seperti ingin kugubah sejuta puisi.

Ia akan mengejarmu
walau kau mengucil-memencil
ke hulu waktu.

Ke hilirku ia akan mengalirkanmu
menderas-melaju
di gemuruh arus rindu."

Terlalu, sungguh,
aku merindukan engkau.

/2/
KEKASIH kukasih,
Kavi Matasukma

Kita pernah bersama-sama
menjadi peserta Kursus Dasar Jurnalisme,
aku masih ingat kaidah berita 5W 1H.

Kau yang mengajak-merayuku,
"Nanti bila kau jauh dariku,
kau bisa dengan sempurna
mereportasekan rindu,"
kau bilang begitu.

Kau membeli dua jilid buku,
"Andai Aku Wartawan Tempo",
sejilid untukku,
sejilid untukmu.

"Lumayan,
bisa buat minta tanda tangan,
kalau nanti aku sempat
bertemu Goenawan Mohamad,"
dan kuterima juga ajakanmu.

"Dengan satu syarat," kataku,
"kau harus menemaniku di kelas Insekta,
agar kau kenal betapa lucu dan berjasa
serangga-serangga itu
menyambungkan rantai hidup dunia."


/3/
AKU sungguh ingin melaporkan
rinduku kepadamu, Kekasihku.

Sebab,
di antara arus Eftrat dan Tigris
kulihat sekawanan lebah
mengumpulkan nektar darah
amis madu
bangkai-bangkai sejarah serdadu

Dendam yang merecup subur
di ladang-ladang
hitam Mesopotamia.

Kau tahu, siapa yang menuainya?
Eh, ada kupu-kupu bersayap besi dan peluru.

Mendengung capung,
sisa evolusi berabad-abad
kusinggahi sudah
Samarra,
Ur,
Niniveh,
Baghdad
Ada yang terlupa
pada piktograf dan babad-babad.

Lalu datanglah melayat
berjuta-juta lalat
Taman Babilonia terkubur unggun mayat

Aduhai Kitab Suci,
bisakah ayatmu diralat?

Maka kukabarkan
lewat dongeng semut-semut
penaklukan yang luput
di padang-padang rumput
meninggalkan remah racun
dan mesiu tak tersulut

Dalam bahasa serangga,
Aduhai kekasihku,
salahkah bila kusimpulkan
di rumah manusia
perang adalah
rayap
yang riuh
menggeriap
meruntuhkan?

/4/
PAGI tadi, Kekasih kukasih,
ada selongsong peluru
di depan pintu penginapanku.

Ia bercerita padaku:
malam tadi, telah kutembus jantung
seorang serdadu, tepat di detaknya!

Seperti masih sempat kudengar, jeritan
terakhir itu (Tuhan juga yang diseru..)

Adakah yang menangisi
cerita sia-sia ini?

Namaku peluru.
Kukutuk senapan otomatis,
tapi siapa
yang menarik pelatuk picu?


/5/
SIANG tadi, Kekasih kukasih,
selapis liat di sepatuku
berkeluh kisah padaku:

Ada yang berlari,
jejak-jejak tank lapis baja
dan sepatu lars tentara.

Ada badai yang mengajakku menari
di gurun-gurun berbatu letih ini
ada cadangan minyak
di tubuhku
(fosil darah sejarah diragi waktu).

Ada petani tergesa memanen tomat
yang berakar lebat di humusku
ada yang tak sempat dikubur,
kering genang merah,
pecahan peluru.

Tak ada yang bertanya padaku,
bagaimana harus melaporkan semua
itu di depan mata hatimu,
di siaran prime time,
langsung di layar TV-mu.

/6/
DAN petang ini, Kekasih kukasih,
pada yang kesekalian kalinya
aku menangis di sini,
kau benar-benar benar.

Aku bisa menangis
sebab perang yang panjang
atau rindu padamu
yang mengeras-menderas-membeku-membatu

Dan airmata apakah bisa habis?

Maka,
Kekasih kukasih,
Bolehkah kulaporkan padamu
kabar ini dengan air mata saja?

Sebab akulah air mata itu,
menetes dari tangis letih
anak-anak yang terusir
dari peluk buai ibu-bapa.

Bolehkah kulaporkan
peristiwa ini dengan diam saja?

Sebab akulah diam,
satu-satunya daya yang tersisa
di bawah hunus senjata
berpeluru darah berbisa.

Bolehkah kulaporkan fakta
ini dengan rintih saja?

Sebab akulah sakit luka
yang menyimpan lirih rintih
suara yang ditindih
iklan rokok
jin,
dan jins Amerika.

/7/
MATAKU terbuka
sukmaku terluka,
aduhai, Kekasih kukasih,
Kavi Matasukma!

Kau benar-benar benar,
ketika terakhir kali menahanku di bandara
(ikhtiar sisa, yang kini kutahu, tidak sia-sia)

Friday, November 16, 2007

[003] Keterpencilan, Komunikasi, dan Manfaat Puisi Bagi Kehidupan

     Karya sastra terpencil dari kehidupan masyarakat? Sastra tidak lagi mendominasi kehidupan manusia? Kalah dengan musik pop? Kalah dengan iklan? Saya menemui Subagio Sastrowardoyo dan Goenawan Mohamad, pada suatu sempat (yang tidak penting bilamanakah itu) pada suatu tempat (yang juga tidak penting dimanakah itu). Goenawan jelas sekali ketuaannya – ia tidak menyembunyikan itu - tapi dia masih menebarkan semangat berkarya yang luar biasa dan suara bicaranya segar.

.:. Selengkapnya baca DI SINI

Thursday, November 15, 2007

[Ruang Renung # 232] Godot di Utan Kayu

TAK usah curiga, sejak awal saya sudah mengakuinya. Sajak saya "Daun Berjari Enam Belas, dan Pelepah Pisang Kipas" memang terinspirasi dari sajak Joko Pinurbo "Utan Kayu" (Pacarkecilku, IndonesiaTera, 2002). Sejak menerima undangan untuk baca puisi di Utan Kayu saya sudah teringat pada sajak itu. Saya perlu membaca lagi sajak itu. Sajak yang dipersembahkan oleh penyairnya kepada Godot. Anda kenal siapa Godot?

Suatu malam di Utan Kayu tak kujumpai engkau
tak kujumpai siapa-siapa
selain kursi-kursi berjungkiran di atas meja.

Kedai sudah tutup. Malam tinggal sisa.
Kudengar tikus-tikur bermain musik bersama piring,
gelas, sendok. "Kusaksikan tadi pertunjukan besar,"
saudara kucing melaporkan.

Di mana engkau? Biasanya engkau duduk manis
di pojok, minum angin, merokok.
Engkau terlonjak girang bila aku datang.
"Hai, dari mana saja engkau?"

Ternyata engkau sedang termenung di ruang pertunjukan.
Engkau sedang mengumpulkan kembali kata-kata
yang berceceran. Engkau sedang menangis,
mencopot wajah di ruang ganti pakaian.

Malam berikutnya tak kulihat lagi engkau
di bangku penonton. Engkau tak muncul lagi
di panggung permainan. "Hai, kemana saja engkau?"
Kupanggil engkau berulang-ulang.

(2001)
Sejak semula, saya ingin memetik sajak di Utan Kayu. Saya memandangi bangku, pohon kemboja, bunganya jatuh bertebaran, poster lukisan Botero di dinding tangga ke Wisma TUK, lukisan S. Teddy yang saya tebak semula miliknya Ugo Untoro dan lukisan pelukis kelompok Taring Padi, yang saya kenal garisnya tapi saya lupa namanya. Lukisan dengan langgam garis yang sama pernah saya lihat di sampul majalah Pantau lama. Saya menghayati pemandangan itu, pelepah pisang kipas, pohon dengan daun berjari enambelas - ya saya menghitungnya - karena saya tak tahu nama pohon itu, Kedai Tempo, Toko Buku Kalam. Tidak semua gambar itu terpakai. Saya buang? Tidak, mungkin kelak akan terpakai dalam sajak lainnya.

Sajak saya, jadinya seperti kolase dari rekaman-rekaman gambar itu. Ketika menempelkan gambar-gambar itu, ketika menyusun mereka, ketika menata mereka ke dalam bait-bait, tentu saja saya harus mempertimbangkan kemungkinan gambar utuh apa yang kelak hadir dari sana. Saya harus membentangkan kanvas bagi lekatnya gambar-gambar yang sudah saya rekam tadi.

Saya terus-terang saja meminjam sajak Joko Pinurbo itu. Kepada sang penyair, saya kirim pesan pendek, betapa sajak itu saya ingat selama saya berada di utan Kayu, dan saya bilang ada sajak yang saya tulis dengan kenangan pada sajak itu.

Atau katakanlah saya mencontek. Saya memaafkan diri saya atas kelancangan itu. "Kok berani-beraninya kamu mencontek Joko Pinurbo?" kata satu suara kecil di sudut hati saya. "Ah biar saja, toh akhirnya saya akan menghasilkan sajak yang lain, sajak yang berbeda," kata suara kecil lain di sudut lain hati saya.

Ah, di Utan Kayu, kau dan aku menemui banyak orang. Tapi, di Utan Kayu, sesungguhnya, kau dan aku lebih banyak menemui diri kita sendiri. Di sana Godot kita tunggu, tapi Godot tak datang. Adakah Godot? Ah, mungkin Godot ada di dalam dirikau dan diriku.

Perahu Buku

: Sitok Srengenge

RUMAHMU danau yang tenang, perahuku tertidur
ditimang ombak mungil yang mahir menembang

Aku dan perahuku berpelukan, bulan menyaksikan,
ia cemas bertanya, "kau tak mabuk-arak, bukan?"

Ada gubuk rahasia di tepian danau tenang rumahmu,
Di situ kau memeram kata, mematangkan buah puisi

Gubuk itu dikelilingi bunga berbatang tinggi,
tak sampai memetik, aku hanya menghirup wangi

Ada sekawanan lebah dan kupu-kupu bersayap buku
hinggap di bulumataku, mengira airmataku madu

Menjelang pagi, ada cahaya dari dasar danaumu,
aku bertanya, kenapa matahari terbit dari situ?

Ada perahu muncul dari guha-kabut itu, penuh buku,
aku menduga kau mengirimnya untuk menjemputku

Rumahmu danau yang tenang, airnya tembus pandang
juntai jemariku dikecupi ikan bersisik terang

Tuesday, November 13, 2007

Sehujan-hujannya November Hujan

                (terjemahan bebas atas lagu "November Rain",
                Axl Rose, Pistol-pistol dan Mawar-mawar :-),
                dalam album "Manfaatkan Khayalanmu! I", 1991)


KETIKA aku menujukan tatap ke dalam matamu
kutemukan cinta tertahan, terbendung-buntu
tetapi, kekasihku, ketika kugenggam engkau
takkah kau tahu, padaku ada rasa yang satu?

Karena tak akan pernah ada yang tak berubah
dan kita sama kita tahu, hati pun mudah guyah
dan o betapa susah-payah menjaga lilin nyala
dalam dingin November hujan selebat-lebatnya

Kita telah diterpa ini peristiwa, telah lama,
hanya bisa mencoba, mencoba, membunuh derita
tetapi kekasih senantiasa tersambut dan luput
tak ada yang tahu, hari ini siapa nama tersebut

Jika kita ada sempat, ambil tempat, membentang
waktu di garis tepat, aku bisa merebah kepala
hanya untuk tahu: kau milikku, seutuhnya milikku

Maka bila kau ingin juga mencintai aku, kekasih,
kumohon sungguh, o jangan berjeda mencintai aku,
Atau akukah yang harus mengakhiri perjalanan
dalam lebat November hujan sedingin-dinginnya

*

Kau perlu sedikit saja waktu, menyendiri sendiri,
Kau perlu sedikit saja waktu, sepenuhnya sendiri
O setiap siapa saja memang perlu menyepi sendiri
Tak tahukah kau? Kau perlu sendiri. Hanya sendiri.

Aku tahu betapa payah menjaga hati yang membuka
ketika bahkan seorang sahabat seakan hendak menuba
Tetapi ketika kau dapat mengatur hati yang hancur
Takkah waktu itu akan menyeruak memanterai umur?

Kadang aku ingin sedikit waktu, menyendiri sendiri
Kadang aku ingin sedikit waktu, sepenuhnya sendiri
O setiap siapa saja memang perlu menyepi sendiri
Tak tahukah kau? Kau perlu sendiri. Hanya sendiri.

Dan ketika sepasukan ketakutanmu telah reda
Dan ketika sebarisan bayangan masih berjaga
Aku tahu itulah saatnya engkau bisa mencinta
Ketika tak ada orang yang perlu kita persalahkan

Jadi, jangan cemas pada tembok tebal kegelapan
Kita masih bisa menemukan sebentang jalan
Karena tak akan pernah ada yang tak berubah
dalam lebat dingin November sehujan-hujannya.

Takkah kau tahu, kau perlu bersama seorang kawan
Takkah kau tahu, kau perlu bersama seorang kawan
O setiap siapa saja memang perlu seorang kawan
Kau tidak sendirian, kau sungguh tidak sendirian.

Monday, November 12, 2007



HAH di BAF 2007 (Foto oleh Firdaus Fadil)


------------

Dipantau di Pantai,
di Rantau Dirantai


: Damhuri Muhamad

MEMANG, tak ada tempat
kecuali sekat-sekat
ruang
di samping surau

menampung para lelaki
terusir
dari pintu rumah ibu
dari kamar bekas istri

atau
jauh terdesak
ke jarak

terhalau
ke rantau

*

KAU bilang,
"Memang,
Kami telah amat mahir
menanak riang dan risau
menyantapnya di lepau."

*

JARAK
pantai
ke pelantar pelabuhan
hanya ada sejangkau
di seberang surau.

Ketika kabut kalap
laut gelap
itulah saat tepat
untuk melepas tali tambat.

Tak akan ada yang mengantar
ketika lelaki berangkat.

Tak ada.

Pun bekal
mungkin hanya kain sebungkal
dan sebakal
sesal.

*

"JANGAN
bertanya
inginkah aku pulang,"
kau bilang,
"karena aku
terbayang pada
mata mata-mata
yang memantau
di rumah
pantai."

Mata para perempuan
yang meningkap
di tingkap.

*

"JANGAN
bertanya juga,
bagaimana aku
melangkah
di jalan
yang tak terarah
ke rumah,"
kau bilang,
"sebab kaki kami
bagai dirantai
di rantau."
Daun Berjari Enam Belas,
dan Pelepah Pisang Kipas

                   : di Utan Kayu, sambil mengenang sajak Joko Pinurbo


AKU datang di sini
bertandang
bertanding
dengan sempit waktu

          Engkau tak ada menungguku

Aku masih seperti bocah sekolah
tak beres-beres juga membereskan rindu

Kursi-kursi besi kecil
mengecil
ditempa dingin dini hari
kami menggigil

          Engkau tak ada menemaniku

Meja kosong
di depanku
menunggu engkau yang kurus
dan lelaki gempal yang datang berkuda
dari poster lukisan Botero

Aku tadi memesan perasan jeruk panas
pas
saat Kedai Tempo dibredel jam malam

Tinggal ampas
tandas ke dasar gelas

          Engkau tak ada menjawab pertanyaanku

Kemboja
membiusku dan udara Utan Kayu
menebar kembangnya ke lekat lumut
ke bata batu
dan bangku kayu

          Engkau tak ada menyahut sunyiku

Aku sudah di sini
menghayati kalender fana ini
mengatur sekongkol
menyelinapkan hari gaib
di antara Minggu dan Senin
dan menamainya
dengan sebuah kata rahasia

           Engkau tak ada mendengar bisik-bisikku

Pelepah-pelepah pisang kipas
tak ingin mengibas
dingin embun Jakarta belum ingin lepas

Dan pohon
yang tak kukenal namanya itu
mengulur daun berjari enam belas

         Engkau tak ada bersamaku, menyambut salam itu.


HAH di Teater Utan Kayu (foto oleh Perca)

Sunday, November 11, 2007

Kolam, Kursi Rotan, Kura-kura,
Katak, dan Kucing di Kukusan


                                                 : singgah di rumah Rieke dan Donny

HANGAT hari hujan, merendam sekolam kalam
          tegak tangkai teratai, menjadi pena Li Bai

Sesusun kursi rotan, mengejar ke kejauhan
          kenangan, ke kesepian toples tua kue lama

Rieke berteriak, "Kura-kuranya makan katak, Don!"
           Kubayangkan, ia dijawab dengan filsafat terapan.

Di hijau halaman, di sejangkauan tangan angan
           kucing memeluki sisa sunyi, ia mimpi menulis puisi

Di Kukusan, rumah itu membuka pintu bersunduk kayu
          seperti kitab kisah yang berakhir bahagia, selalu.

Lima Benih Sajak

ADA Teater Utan Kayu di Jakarta. Mereka mengundang saya bersama 7 penyair muda lainnya. Dua hari saya berada di sana, dua kali tampil membaca puisi. Ada beberapa orang kawan yang saya temui. Ada beberapa puisi yang membenih di kepala:

1. Dipantau di Pantai, Dibantai di Rantau
Ini sajak saya persembahkan untuk Damhuri Muhamad.

2. Daun Berjari Enambelas dan Pelepah Pisang Kipas
Dari wisma TUK di lantai 3, saya melihat taman . Di sana ada, bangku besi, meja berkanopi, musala dengan selembar sajadah, bangku kayu, dan poster lukisan Botero.

3. Kolam, Kura-kura, Katak, di Kukusan
"Don, kura-kuranya menggigit katak!" Ini teriakan Rieke Dyah Pitaloka kepada Donny Gahral Adian, suaminya. Bersama Damhuri saya singgah di rumah mereka yang indah di Kukusan, Depok.

4. Lukisan Murni di Sebuah Buku Puisi
Ini semacam resensi dalam bentuk puisi atas buku "Pelacur Para Dewa", bukunya Pranita Dewi.

5. Perahu Buku
Saya bermalam di rumah penyair Sitok Srengenge. Ada dua perahu kayu di rumah itu. Ini bukan perahu hiasan, ini perahu betulan. Perahu itu dimanfaatkan sebagai perabot menyimpan buku. Unik sekali.

Wednesday, November 7, 2007

Pengantar 1.065 Kata

Enam Petunjuk (yang Harus
Anda Abaikan) Bagaimana
Menikmati Sajak M Aan Mansyur


Oleh Hasan Aspahani

SAYA ingin mengusulkan kepada penata wajah buku ini agar di tepi dalam halaman pengantar ini diberi tanda garis putus-putus, dan di ujungnya ada gunting kecil menganga. Saya ingin mengisyaratkan bahwa kata pengantar ini boleh disobek setelah (atau bahkan sebelum) dibaca. Kalau Anda masih membaca pengantar ini, maka itu berarti usulan saya ditolak. Mohon maaf, saya tetap salah karena menerima pekerjaan memberi kata pengantar ini, tapi setidaknya, rasa bersalah saya terkurangi, toh saya sudah mengusulkan sesuatu agar Anda terhindar dari pengantar ini.

Saya mungkin terlalu banyak membaca puisi. Karena itulah, saya sering menemukan puisi yang ditulis oleh penyair yang lupa bahwa puisi itu adalah seni. Ya, seni puisi. Memang ada penyair yang sombong yang pernah bilang bahwa puisi itu melampaui seni dan melampaui bahasa, tapi saya tak maulah percaya sama penyair sombong itu. Saya merasa aman dan nyaman pada keyakinan saya – sampai kelak saya murtad dan mendirikan aliran sesat sendiri – bahwa puisi adalah seni, dan seni itu menawarkan keindahan. Ya, karena itulah saya amat menyukai sajak-sajak M Aan Mansyur (MAM) dalam buku ini.

Karena itulah saya beranikan diri menyusun pengantar yang kira-kira berisi semacam petunjuk bagaimana cara menikmati sajak-sajak MAM. Sebelum Anda meneruskan membaca, dan ah semoga Anda tidak langsung percaya dengan petunjuk ini, maka saya sarankan untuk membaca lagi frasa dalam parantesis di judul pengantar ini. Ya, Anda harus mengabaikan. Kenapa? Karena, saya yakin sajak MAM ini bisa dinikmati dengan banyak cara lain, selain dengan cara yang petunjuknya saya buat ini.

Baiklah, sebelum pengantar ini berkepanjangan, dan memakan jatah kertas yang seharusnya ditempati oleh puisi yang justru harus dinikmati saya mulai saja menuliskan pedoman itu satu per satu.

1. Anda harus percaya bahwa keindahan itu ada. Ya, bagaimana pun seorang Arif Budiman, misalnya, pernah mengatakan bahwa ia tidak percaya lagi pada keindahan (baca “Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan”, Wacana Bangsa, 2007), karena kekaburan arti dari keindahan itu sendiri, maka saya menyarankan, atau bila bisa bahkan memaksa agar Anda meyakini bahwa keindahan – terlebih dalam puisi – itu ada dan tetap akan ada. Anda akan menemukannya di dalam bait-bait sajak di buku ini. Keindahan memang tidak harus dirumuskan, bukan. Keindahan itu lahir dari penghayatan, dari ihtiar merasakan. Pada sajak yang mana keindahan itu ada? Ah, saya sudah terlampau-lampau dengan petunjuk ini apatah saya pun harus menunjuk pula pada sajaknya? Tidak, tidak.

2. Penyair kita ini sudah melampaui sekatan perhatiannya pada diri sendiri. Ya, betul. Ini peringatan Subagio Sastrowardoyo (“Dan Kematian Makin Akrab”, Grasindo, 1995). MAM tetap sajak menyair di sekutat diri sendiri, tapi ia tidak terkungkung di situ lagi. Dia memang menyajakkan pengalaman batinnya sendiri. Tetapi dia tidak menghasilkan sekadar keluh-kesah dan sedu-sedan. Ia tidak menyajikan serasah mentah peristiwa. Ia diam-diam mampu mengerahkan sepasukan besar bakteri pengurai yang entah dari mana begitu banyak terdapat di kepalanya. Bakteri inilah yang dengan lekas menghumuskan peristiwa-peristiwa yang tersaji dalam sajaknya.

3. Anda harus percaya bahwa Bahasa Indonesia itu kaya. Ya, kaya dengan segala kemungkinan pengucapan. Kaya dengan berbagai tawaran penjelajahan. Kaya dengan peluang untuk memainkan musik dengan kata-kata, seraya tetap bersetia pada ketertiban makna. Bahasa Indonesia, di lidah dan di ujung jari penyair kita ini, seakan lepas dari ancaman pemiskinan, sebagaimana pernah – dan mungkin masih - dikuatirkan bahkan oleh penyair sekaliber Goenawan Mohamad (“Kesusasteraan dan Kekuasaan”, Pustaka Firdaus, 1993).

4. Penyair kita ini terus melakukan eksperimen bahasa. Kelihatannya memang dia telah nyaman pada suatu bentuk ucap sajak-sajaknya yang terbukti “berhasil” dan “diterima”. Padahal sesungguhnya, sebagai penyair yang baik, dan akan bernafas panjang, dia sesekali risau. Dia sesungguhnya diam-diam selalu bertanya, “Adakah yang baru pada bahasa sajak saya?” Anda, bisa merasakan jawaban pertanyaan itu pada beberapa sajaknya di buku ini, yang mohon maaf, saya sekali lagi tak mau menunjuk ke sajak yang mana. Ada permainan-permainan bentuk baru, dan ada tawaran padanan-padanan kata baru yang terasa segarnya. Mungkin terburu-buru kalau saya mengatakan bahwa dia telah menemukan bahasa sajaknya. Tetapi, pada sajak-sajaknya di buku ini saya tahu dia telah menyambut tantangan penyair besar Sutardji Calzoum Bachri. Ya, MAM telah melakukan pencarian-pencarian dan bila pun belum dia pasti kelak menemukan bahasanya.

5. Penyair kita ini adalah penyair produktif dan tak pernah terikat pada suatu tempat. Ia menetap di Makassar, kota yang saya yakin telah menjadi rumah yang nyaman bagi jiwa kreatifnya. Tapi dia bisa memetik sajaknya di mana-mana. Saat terkurung dalam kantor, dalam perjalanan ke kota-kota kecil yang kerap ia lakukan, saat menjenguk ibunya di kota lain di pulau lain, saat menyendiri, saat bersama dengan kawan-kawan karibnya. Ia bisa memetik sajak dari sepi saat ia merenung, ia juga bisa menawarkan sajak sebagai jawaban dari pertanyaan kawan atau orang lain, dan ah dia pun kadang-kadang menulis sajak sebagai bentuk permainan dengan kawan-kawannya. Ketika ada seorang kawan berulang tahun, maka beberapa kawan lain ia minta menyumbang masing-masing satu kata. Lalu, berdasarkan kata yang terkumpul itu, masing-masing menggubah sajak. Begitulah, mereka menghadirkan bahkan melakoni sajak itu dalam keseharian mereka.

6. Penyair kita ini telah kuat dan ia mulai meluaskan tema sajak-sajaknya. Saya tidak ingin bilang bahwa sajak cinta adalah tema cemen dan karena itu harus dihindari dan sebaliknya tema-tema sosial adalah tema berat dan karena itu membuat penyair tampak gagah ketika menuliskannya. Rainer Maria Rilke, ah nama itu lagi, pernah menyarankan agar tema cinta dihindari saja karena sudah terlalu sering digarap. Saya yakin, MAM tahu benar nasihat itu. Dia tidak menghindar. Apakah harus dibuang bahan sajak yang begitu berlimpah dalam hatinya yang bersumber dari hal ihwal cinta itu? MAM pada sajak-sajak awal di buku pertamanya (“Hujan Rintih-rintih”, Inninnawa, 2005) berhasil mengelak dari kecengengan – meski sesekali terpleset juga dan di buku ini saya kira tepatlah saatnya bila dia telah pula masuk ke tema-tema sosial yang sesungguhnya amat fasih pula terucap oleh lidahnya, sambil tetap berhasil mempertontonkan kedewasaan yang baru dalam sajak-sajak bertema kasih sayang.

Ah, kenapa tidak ada yang mengingatkan saya untuk tidak berpanjang-panjang dan segera berhenti menulis pengantar ini? Baiklah saya harus tahu diri. Sekali lagi, pengantar ini, juga rumah-rumah dan pintu-pintu sajak yang dibangun di dalam buku, sesungguhnya hanyalah kegenitan saya sebagai seorang editor yang terlalu gembira karena dipercaya dan diberi kebebasan sebebas-bebasnya oleh penyair kita untuk berbuat sesuatu pada sajak-sajaknya sebelum dibukukan. Saya bilang padanya, di depan sajak-sajak yang hebat, saya bisa menjadi editor yang hebat. Anda tentu saja boleh menemui sajak-sajak di buku ini lewat pintu belakang, menyelindap lewat jendela atau membongkar dinding, atau lewat kemungkinan apa saja yang kreatif. Karena, mengingat jawaban Sapardi Djoko Damono atas sebuah pertanyaan saya, dia bilang, “tafsir akan memperkaya sajak”. Saya dengan sok tahu bilang padanya, “ya, sajak yang baik, mengundang tafsir yang kaya”.

Batam, November 2007

Catatan:
Pengantar ini saya buat atas permintaan (beserta rayuan)  M Aan Mansyur. Bukunya berjudul "Aku Hendak Pindah Rumah". Ini buku kedua Aan, setelah "Hujan Rintih-rintih". 




Tuesday, November 6, 2007

Lebaran Malam*

Kuburan di atas bulan


-----
* mohon maaf untuk penyair Sitor Situmorang


[Majas # 012] Hiperbola

HIPERBOLA. Pengungkapan yang dilebih-lebihkan sehingga kenyataan yang diungkapkan itu menjadi terasa tidak masuk akal.

Di dalam puisi, sebenarnya, tidak ada yang tidak masuk akal. Ketika menyair, penyair justru seringkali melawan batas-batas akal itu untuk membuka kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa dicapai oleh bahasa.

Gaya bahasa hiperbola kadang dekat, berhimpit, atau bertumpangan dengan gaya bahasa metafora, simile, atau metonimia. Ya, seringkali, untuk mencapai bahasa yang bertenaga dan membetot perhatian, metafora dibuat dengan berlebih-lebihan, meloncati kenyataan, dengan hiperbola juga.

Bila dalam percakapan bisa, gaya bahasa hiperbola berkesan negatif, karena yang dilebih-lebihkan itu dekat kepada yang didusta-dustakan, maka dalam puisi sebuah hiperbola justru bisa menjadi kekuatan. Asalkan gaya bahasa itu memang dipakai pada saat yang pas.

Contoh:

a. Sony Farid Maulana

aku dengar kegaduhan badai
seperti reruntuhan dadamu yang remuk
dihantam gada kehidupan kota besar:

....

("Darah Hitam"; dalam buku "Secangkir Teh"; Grasindo: Jakarta, 2005)


sorot matamu
walau tampak berkabut
terasa api mencairkan alir darahku
yang nyaris beku di kulkas kesepian

....

("Prosa Hitam"; ibid)

.... Sungai bukan lagi
tempatku bercengkerama dengan ikan-ikan. Alirannya,
mengaduh pedih disilet limbah industri

....

("Sebuah Potret Dunia Ketiga", ibid)


b. Toety Heraty

isyarat sesat tak mewujudkan manfaat
disodorkan olehnya asbak penuh meluap

....

("Pengertian", dalam buku "Mimpi dan Pretensi"; Balai Pustaka: Jakarta, Cet. ke-3, 2000)


sekali tegak racun dan duka membuat
syaraf menyala-nyala


("Jembatan", ibid)


c. Gus tf


dan di suatu tempat pada suatu ketika, kubur-kubur
dibongkar
rangka-rangka dibakar
: tegakkan!....

("Isme Kejadian", dalam buku "Sangkar Daging", Grasindo: Jakarta, 1997)


siapa mengirimku ke sini, dalam amplop terbuka begini
bisingnya! kudengar
beribu-ribu suara, dari beribu-ribu
berhala
beribu-ribu dunia, beribu-ribu kamera
: tapi tak ada
orang yang kaukatakan telah menunggu sejak lama
mengulang manusia


("Pemandangan", ibid)






Kabel 8

- metafora kenangan

AKU ingin temukan sepotong kabel bekas, mungkin
ia dalam sajak ini bisa kau anggap sebagai
metafora dari kenangan yang bisa mempertemukan
tanganku yang kusembunyikan dan bukit pipimu
yang lembut dan lembab oleh hujan tetangisan:
nanti, matamu-mataku menyala terang, bergantian
bersamaan, bersahutan, bertukar-tanya-jawaban.





Monday, November 5, 2007

Simile Senyummu

SENYUMMU seperti rekah seludang pertama
                  mayang kelapa, seperti aku sendiri
                  dulu yang menanam, menjaga tumbuhnya.

Senyummu seperti gelepar akhir ikan & udang
                  di perahu nelayan, seperti aku sendiri
                  dulu yang merajut benang jaringnya.
 



Sunday, November 4, 2007



Kami bertiga: Raja Ali Haji, Aku, Sitok Srengenge (foto oleh Muhamad Badri)

-----------

Kata yang Bugil, Kita yang Degil
: Sitok Srengenge

SIAPA mengayuh perahu ke gemetar pelatar
      Kita gamang digayung goyang gelombang

Siapa memahat nomor dan alamat di pintu tua
     Kita sampai di tapak rumah dan sepah sejarah

Siapa raja menyulut api membakar istana
     Kita memungut bara, merendam dalam geram

Siapa pujangga dikubur di luar kubah istana
     Kita faham, syair tak bisa memindah letak makam

Siapa yang mengajar berahi pada bugil kata
     Kita lelaki yang bengal, pecinta yang degil

Siapa yang memberi nama pada setiap sia-sia
     Kita mengecupkan puisi pada rekah bibir  kata

Bibirku Bersujud di Bibirmu LIVE in TIM!

Saya baca puisi di TIM. Faisal merekamnya. Dobby mengubah filenya jadi mp3. Saya  kirim file itu ke Wawan. Wawan memajangnya di multiply. Anda mau mendengarnya? KLIK INI!

Semacam Rayuan dari M Aan Mansyur

      Di blognya M Aan Mansyur menulis tentang saya dan tentang blog ini dia bilang: ... Dan yang paling dahsyat adalah dia juga menulis puisi di sela-sela seluruh aktifitas belajar dan mengajarnya itu--juga pekerjaan lainnya sebagai wartawan, kartunis yang sedang belajar melukis, suami dan ayah. Sangat masuk akal jika ia menamai blognya sejuta-puisi, sebab tak bisa lagi saya hitung berapa jumlah puisi yang pernah saya baca di sana sejak pertama kali Hasan mengisinya tanggal 18 Desember 2002....

     Jangan percaya pada semua apa yang ditulis dia. :-). Maksud saya, percaya sebagian-sebagian saja. Soalnya tulisan itu bagian dari rayuannya menaklukkan hati saya agar mau menjadi editor buku puisi terbarunya. Sebenarnya tanpa dirayu pun saya dengan senang hari mengiyakan permintaan atau perintahnya. Soalnya saya sangat menyukai sajak-sajaknya.
     
      Tapi, sssst, jangan bilang-bilang dia soal ini ya, nanti dia tarik kembali tulisan itu.
Di Teater Utan Kayu,
Jumat-Sabtu 09 - 10 November 2007,
Mulai Pukul 20.00 WIB - Selesai
Ada Acara:

8 PENYAIR MUDA BACA KARYA

      Banyak penyair baru bermunculan dalam khazanah sastra Indonesia, dengan berbagai corak pengucapan dan tema. Kita dapat menyimak kehadiran karya mereka di berbagai media massa, merasakan gairah, kegagapan maupun kefasihan mereka, pun tak jarang menikmati kesegaran yang mereka tawarkan. Dan tak sedikit di antara mereka yang telah memasuki tingkat kematangan.
     Teater Utan Kayu mengundang beberapa nama yang barangkali bisa dibilang termasuk gelombang baru dalam kepenyairan Indonesia untuk membacakan karya-karya mereka: Hasan Aspahani (Batam), Inggit Putria Marga dan Lupita Lukman (Lampung), Fadjroel Rachman dan Binhad Nurrohmat (Jakarta), Dina Oktaviani (Yogyakarta), S. Yoga (Nganjuk), dan Pranita Dewi (Bali).

Anda diundang untuk menyimak dan menikmat bersama penampilan mereka!

Thursday, November 1, 2007

[Majas # 011] Litotes

LITOTES. Gaya ungkapan dengan mengecilkan kenyataan atau fakta yang sebenarnya yang bertujuan untuk merendahkan diri. Dalam sajak, jurus merendahkan atau mengecilkan hal yang hendak disampaikan itu, bisa jadi semacam jurus "gadungan", karena sebaliknya, bisa saja terasa upaya merendahkan diri itu malah seperti sengaja "meninggikan mutu".

Contoh:
a.

Lalu diambilnya pena, dicelupkannya pada luka
dan ditulisnya:
     
Saya ini apalah Tuhan.
     Saya ini cuma jejak-jejak kaki musafir
     pada serial catatan pinggir;
     sisa aroma pada seonggok beha;
     dan bau kecut pada sisa cinta.
     Saya ini cuma cuwilan cemas kok Tuhan
     Saya ini cuma seratus hektar halaman suratkabar
     yang habis terbakar;
     sekeping puisi yang terpental
     dilabrak batalion iklan.


("Tuhan Datang Malam Ini", Joko Pinurbo, "Di Bawah Kibaran Sarung, IndonesiaTera: Magelang, 2001)

Sajak Joko Pinurbo ini dipersembahkan untuk Goenawan Mohamad. Saya dalam sajak itu, bisalah kita anggap sebagai pendapat seorang Jokpin tentang seorang GM. Alih-alih mengumbarkan kata pujian, Jokpin malah memaparkan sejumlah kalimat merendah, yang justru terasa makin membesarkan siapa sosok GM itu.

b.

walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah

....

walau huruf habis
lah sudah
alifbataku belum sebatas allah


("WALAU", Sutardji Calzoum Bachri, "O AMUK KAPAK", Sinar Harapan: Jakarta, 1981)

Sutardji adalah penyair besar. Tapi, kebesarannya justru membuat dia merasa amat rendah di depan Tuhan. Hingga ia tidak menulis puisi lagi, dia sadar tidak akan mampu mencapai kebesaran Allah.

c.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya tiada

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


("Aku Ingin", Sapardi Djoko Damono, "Hujan Bulan Juni", Grasindo: Jakarta, 1994)

Cinta yang sederahana, justru terasa cinta itu luar biasa dahsyatnya. Cinta yang sejati memang seperti itulah harusnya. Si aku yang mencintai hanya mengobankan diri tanpa bicara, hingga ia habis dan jadi tiada seperti kayu terbakar demi kobar api yang ia cintai.

d.
Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian

Mari tegak merentak
Diri-sekeliling kita bentak
Ini malam purnama akan menembus awan.


("Kita Guyah Lemah", Chairil Anwar, "Aku Ini Binatang Jalang", Gramedia: Jakarta, Cet.8, 2000)

Kita lemah, tapi dari kesadaran akan keterbatasan itulah aku penyair mengajak agar kita pendam erang dan jeritan, agar orang tak tahu, dan kita bsia tegak membentak dan mengusir ancaman dari luar diri.




Kabel 6

--- pulanglah robot si anak hilang


NYERI dadanya, ngilu punggungnya, nyut-nyut kepalanya
adalah sinyal untuk pulang, sujud di pangkuan bunda.

"Wah, kabelmu mulai aus, banyak yang putus, ada juga
yang lepas dan terkelupas," kata ibunda sambil memijat
tubuhnya, dan mengampelas karat di kulit wajah-letihnya.

"Sebentar ya, Anakku Sayang, robotku yang jauh bertualang."

Tak lama ibunya menghilang di balik kamar kerja rahasia.


Lalu ia temui lagi anaknya, dengan kabel terburai acak
di dada, kepala, mata, mulut, telinga, & telapak tangannya.

"Wah maaf, Nak, sepertinya tak ada lagi sisa kabel di
raga-tuaku yang cocok untuk tubuh-modernmu," kata ibunda.

Si anak makin sendu, sedu tangisnya terdengar kian merdu.



Kabel 7

YANG memanjang ke langit itu, kabel gaibku,
kesana, nyawa ngalir setitik setiap sedetik.

Sampai padam mata. Di sana lampu Maut nyala!





Pengantar "Buku Menapak ke Puncak Sajak"
Karena Menulis Puisi (pun)  Harus (Dianggap) Gampang
Oleh Hasan Aspahani


MENGARANG, menulis puisi, seharusnya dihadapi seperti berbicara. Pernahkah kita dihadapkan pada sejumlah teori ketika pertama kali belajar bicara? Tidak. Kita langsung mempraktekkannya kata demi kata yang kita perlukan.

Anak saya, Ikra Bhaktiananda yang ketika saya tulis pengantar ini berusia empat tahun, masih percaya diri dengan kata-katanya sendiri. Ia menyebut “pesawat” dengan “sepawat”, “berapa” dengan “derapa”, dan sejumlah kata lain yang ia ciptakan sendiri. Kami – saya ayahnya, ibunya, dan Shiela kakaknya – mengerti apa yang ia maksud. Ikra bicara dalam lingkungan kecil yang akrab dan mudah memahami dia.

Menulis puisi bisa dianggap sama dengan berbicara, karena sama-sama memberdayakan fungsi bahasa. Tetapi, penulis puisi tidak lagi menghadapi lingkungan kecil yang akrab yang bisa dengan mudah dan penuh permakluman memahami produk bahasa si penulis puisi itu. Kadang-kadang ini menjadi kendala bagi orang untuk masuk ke dunia puisi.

Buku ini, ingin membuang kendala itu. Belajar menikmati puisi (menulis dan membaca serta memetik makna darinya) sebaiknya juga dilakoni seperti Ikra kecil belajar bahasa. Langsung saja baca, langsung saja menulis. Sambil pelan-pelan mempelajari jurus-jurus serangan dan tangkisan kecil yang diperlukan. Memang ada jalan lain, yaitu langsung belajar jurus-jurus dasar sampai lulus sebagai pendekar. Tapi pilihan kedua tidak ditempuh dalam buku ini.

Buku ini, karena pilihan tadi, secara sadar tidak mendedahkan teori-teori dan kutipan-kutipan ilmiah. Buku ini dari bab ke bab adalah rangkaian tanya jawab antara seorang penyair dan seorang yang antusias ingin masuk ke dunia sajak. Ini bukan pendekatan baru sebenarnya. Arswendo Atmowiloto sudah menerapkan jurus yang sama lebih dari 25 tahun yang lalu. Bukunya “Mengarang itu Gampang” (Gramedia: Jakarta, 1982), hingga saat ini saya letakkan di rak buku di meja kerja saya pada bagian buku yang paling sering saya baca. Karena itu kepada beliaulah pertama-tama terima kasih ingin saya ucapkan. Saya menyusun buku ini dengan semangat ingin menularkan anggapan bahwa puisi juga harus dianggap gampang, agar semakin banyak orang mencintai puisi dengan menuliskan dan membacanya.

Ya, ini bukan pendekatan baru. Tapi, untuk puisi, saya rasa belum ada yang menempuh jalan serupa. Puisi, sepertinya selalu didekati dengan serius. Jalan menuju puisi jadinya terasa sempit dan licin sekali. Buku ini berniat membuat jalan setapak yang mungkin tidak terlalu lebar tapi asyik untuk ditempuh agar siapapun bisa nyaman, riang dan bersemangat menuju puncak sajak masing-masing.

Buku ini cikal bakalnya adalah rubrik “Ruang Renung” di blog Sejuta-Puisi (www.sejuta-puisi.blogspot.com). Itu adalah rubrik tanya jawab saya sendiri tentang puisi, atau renungan-renungan saya sendiri tentang puisi, yang makin lama makin asyik. Pertanyaan-pertanyaan saya, ternyata juga pertanyaan banyak teman-teman di sejumlah mailing list puisi yang saya ikuti. Jawaban-jawaban yang saya upayakan ternyata juga menjadi jawaban mereka. Maka, ketika Ikra dan Shiela tidur di malam hari, saya menemani istri saya menyetrika pakaian, dengan menyusun pertanyaan dan jawaban itu menjadi lebih berurutan. Maka jadilah draf awa buku ini.

Ketika puisi saya mulai muncul di surat kabar nasional, saya pun semakin “gaul” di dunia sastra. Saya kata seorang kawan sudah menjadi “selebriti puisi”. Saya terima sajalah guyonan itu, dan saya ambil manfaatnya. Saya punya akses mudah ke beberapa penyair yang dulu mungkin hanya saya bisa kagumi karyanya.

Saya misalnya berhasil berhubungan dengan Joko Pinurbo dan Sapardi Djoko Damono (!). Di hadapan kedua penyair besar itu, saya adalah murid yang tentu bebas bertanya. Saya murid yang kurang ajar. Saya mengajukan pertanyaan lewat SMS. Mereka ternyata lebih “gila” karena mau saja melayani tanya jawab itu bahkan sampai berhari-hari. Hasilnya, saya lampirkan juga di buku ini, dan tentu saja menjadi tambahan makanan yang amat bergizi.

Wabilakhir, pengantar ini sama sekali tak menambah gizi, hanya semacam basa-basi juru masak sebelum mempersilahkan para penikmat menyantap hidangan yang disajikan. Sebelum saya berhenti menulis pengantar ini, saya harus berterima kasih kepada Rike Dyah Pitaloka dan Donny Gahral Adian, dari Penerbit Koekoesan (serta Damhuri Muhamad yang sabar dan dari ekpresinya yang teduh itu saya bayangkan dia adalah editor yang cermat dan amat teliti); kepada penyair Medy Lukito yang hingga kini belum pernah saya jumpai yang pada awal-awal masa menyair saya memberi semacam petunjuk jalan perpuisisan saya dengan ulasan-ulasannya; kepada T.S. Pinang yang menghadiahi desain blog yang saya pertahankan hingga sekarang, dan persahabatan dalam mencitai puisi yang lama ini; kepada Nanang Suryadi, yang ketika dia menjadi pemimpin redaksi Cybersastra (www.cybersastra.net) membuka jalan bagi saya untuk makin laju di jalan puisi; kepada Ikra dan Shiela yang memberi giliran saya memakai laptop setelah puas main game; kepada abah dan mama di kampung yang ikhlas melepas saya pergi jauh, juga membebaskan saya menjadi apa saja yang saya inginkan; dan kepada Dhiana Daharimanoza yang selalu menjadi inspirasi, “seperti DNA yang melengkapi gen puisi-puisi saya!”

Terima kasih tentu harus saya ucapkan kepada Anda, sidang pembaca sekalian, yang semoga bisa mengambil banyak manfaat dari buku ini, dan buku-buku saya selanjutnya!


Tiban Indah Permai, Oktober 2007

Sajak Ben Abel
Pablo oi Pablo

                                 :Hasan Aspahani

Pablo,
cinta tak terurai tanpa seratus soneta,
mata Matilde menjadi tawanan inspirasi,
ia pun bulatan cintamu ...
maka abad, abad, menyerah kau rayu

Hasan,
dari Riau bibir meluncur,
menemu segala mulut,
kutunggu di sebalik rak,

kuingat arsip-arsip cintaku ....
akankah keriput lengan siap membukanya kembali
sesudah semua pertempuran "Don Kisot de la Mancha" sepi

smoga soneta cinta yang tegak karena kau
karena kaulah pemberi hidupnya
oi Pablo Aspahani

[selamat Hasan untuk buku-buku & syair-syairmu]