Kematian memang tak pernah berhenti memukau manusia. Juga dalam sajak-sajak. Chairil Anwar, kita sepakati dalam sejarah kemunculan sajaknya, memulai jejak menyairnya dengan sebuah sajak pendek tentang kematian. Kematian adalah sumber terbaik sebagai bahan perenungan tentang kehidupan.
"Menghayati kematian sebelum mati, itulah yang saya tampilkan dalam banyak sajak saya kini," kata Sutardji dalam "Pengantar Kapak". Lalu, katanya, pertemuan dengan maut bukanlah seperti orang menemukan dompet di tengah jalan. Maut telah hadir dalam diri kita, sejak kita hidup. Sejak kita mulai bernapas di dunia, sejak itu pula maut membenih dalam diri kita. Dan kemudian lambat atau cepat tumbuh memagut kita habis.
Banyak penyair yang terobsesi dengan kematian. Banyak penyair yang seakan meramalkan kematiannya sendiri dalam sajak-sajaknya. Banyak penyair yang banyak menulis dengan tema maut. "Tetapi mengapa berungkali kembali kepada tema maut, seperti yang memberi judul himpunan sajak terpilih ini?" kata Subagio Sastrowardojo mengantar kumpulan puisi "Dan Kematian Makin Akrab".
Jawabnya: Maut adalah tabir terakhir yang menghalangi kemungkinan-kemungkinan kembali melibatkan diri dengan dunia yang kita cintai. Yang akan tinggal hanya pengandaian dan harapan semoga cinta kepada pengalaman hidup yang beragam-ragam terus dapat berlangsung tanpa ada ubahnya, seperti yang telah berlalu di sini. Atau kita berserah saja kepada keheningan yang kita tak tahu kapan bermula dan berakhir. "Tetapi saat itu sajak sudah tak perlu lagi," tulis Subagio.
Maut bisa dan harus ditafsirkan dengan kreatif. Tidak hanya dengan kesedihan. Maut tidak harus hanya dipandang sebagai pertemuan dengan yang Sang Mahapencipta kehidupan. Dan jangan lagi cuma ditengok sebagai peringatan bagi yang masih hidup. Biarlah itu menjadi bagian wajib dalam rangkaian talkin pengiring prosesi pemakaman. Maut di tangan penyair harus menjadi tema yang mencerahkan dan memperkaya warna dan makna kehidupan.