Sunday, May 27, 2012

Variasi pada Tema Cinta

RINDUKU mungkin bisa cukup kukabarkan lewat berita singkat di situs yang lekas. Meskipun cintaku adalah liputan investigasi yang tak akan pernah habis kutuliskan.

Karena mencintai kamu itu seperti aku sedang diwawancarai oleh kehidupanku sendiri, aku menghadapi banyak pertanyaan pelik, yang dengan lancar bisa kujawab


Wednesday, May 23, 2012

Petugas Jaga Piantan Pialu

RINDU adalah anak pungut yang mau tak mau harus terus kita pelihara, karena kita telah menerima Cinta yang telah melahirkannya.

Rindu adalah petugas jaga piantan-pialu, ia tak punya pos gardu, ia dentangkan tiang tiba-tiba saja, mengejutkan kita bila-bila saja.

[Kolom] Permen Karet untuk Mata itu Namanya Televisi


BARU-BARU ini saya membeli sebuah kamera. Saya sedang perlu kamera yang masuk akal. Harganya masuk akal. Spesifikasi teknisnya juga masuk akal.  Kamera sekarang menurut saya harganya sudah tidak masuk akal buat saya. Ada sebuah kamera diiklankan di suplemen DL yang menyertai The Straits Times, koran negeri  jiran kita. Saya jatuh hati pada pandangan pertama pada kamera itu.  Ketika saya minta kawan-kawan  kantor untuk mengecek berapa harga kamera itu di Indonesia saya terkejut: Rp33 juta! Sebenarnya itu wajar, mengingat kemampuan yang ditawarkan.  Tapi, saya sedang tidak perlu kamera sedemikian canggih dengan harga sedemikian mahal.




Saya sudah punya kamera saku digital. Tapi, kamera itu sudah tidak cukup lagi untuk kebutuhan saya. Maka lewat perburuan sedikit intens, mengecek barang di toko, memperbandingkan harga di situs khusus yang menjual kamera dan perangkat-perangkatnya secara online saya menemukan sebuah kamera yang pas: Olympis, PEN EPL-1.  Di toko, sepertinya ini barang sisa yang kurang laku. Penjualannya dipaketkan dengan televisi layar datar. Harga televisi itu di atas satu jutaan. Harga kamera itu jadinya lumayan murah. Kebahagiaan seorang pembelanja adalah ketika menemukan barang yang dibutuhkan dengan harga yang jauh dibawah anggaran. Maka, bahagialah saya.  Kamera 'masuk akal' itu antara lain saya gunakan untuk memotret selama lawatan saya di Eropa.
*
Masalahnya adalah, di mana kami meletakkan televisi yang kami dapat dari bonus beli kamera ini. Kami sudah punya dua televisi dan itu cukup, termasuk televisi bekas yang bersejarah, karena televisi pertama yang kami beli selama tinggal di Batam.  Televisi gemuk itu ada di kamar tidur, dengan antena dalam. Penutup panel tombolnya sudah tak bisa dirapatkan lagi. Seandainya televisi bekas itu kami letakkan di gudang, pasti juga dia tak akan marah.  Jadi mempertahankantelevisi itu hanya melankoli kami saja. Ah, dasar manusia, kadang dijerat oleh perasaannya sendiri.   

Sebagai hasil tukar pikiran dengan istri saya, maka televisi itu akhirnya kami pasang di dapur. Mengingat ruang dapur yang tak terlalu luas, maka televisi itu harus dipasang di dinding, agar tak bikin dapur terasa makin sempit.  Kami memanggil tukang, untuk memasang televisi itu, sekalian memasang antena luar. Aduh, televisi gratis ini menuntut pengeluaran juga rupanya. Kami jadinya harus beli dudukan televisi untuk dipasang di dinding, kabel, tiang antena, dan tentu saja antena luar. 

Dari televisi bonusan itulah, kami menyaksikan siaran langsung tiga jam, resepsi pernikahan Anang-Ashanti.  Nama programnya "Jodohku".  Itu dari judul lagu yang dinyanyikan duo Anang-Ashanti.  Sehari sehabis siaran langsung itu, saya buka e-mail, dan dari satu milis yang saya ikuti, bertubi-tubi masuk email yang mendiskusikan soal siaran langsung Anang-Ashanti. Pertanyaan awalnya begini: layakkah peristiwa ini jadi siaran langsung di jam tayang utama, pada Hari Kebangkitan Nasional, tiga jam pula? 

Sebagian besar penanggap saya simpulkan mengatakan: "tidak!" Tapi, inilah industri. Begitulah dipermaklumkan. Penonton ternyata tak peduli dengan segala idealisme: tak peduli bahwa kanal televisi adalah saluran publik yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik, tak peduli nilai edukasi apa yang bisa didapat dari tayangan resepsi Anang-Ashanti. Toh, nyatanya, seorang peserta milis mengutip hasil survei Nielsen malam itu: acara tersebut dapat rating 7 dengan meraup persentase penonton  lebih dari 30 persen. Artinya, malam itu, lebih dari sepertiga penonton televisi di Indonesia menyaksikan Anang-Ashanti (dalam busana hijau tua keemasan) menyalami lebih dari lima ribu tamu undangan. 

"And everybody happy," kata seorang peserta milis lain. Anang-Ashanti dapat bayaran dari menjual hak siar resepsinya, pemasang iklan senang karena iklannya disaksikan oleh banyak mata, dan pengelola televisi senang karena berhasil menangguk banyak uang malam itu, dengan biaya produksi yang amat murah. Murah? Ya, para artis yang tampil konon, sama sekali tak dibayar, kecuali mungkin MC, dan musisinya.
Membosankankah acara resepsi itu? Secara umum, ya. Tapi, ada juga sedikit drama. Yakni ketika Krisdayanti dan Raul Lemos, datang bersama putri mereka. Mereka bersalaman layaknya tetamu lain, berfoto bersama, dan kamera seperti mendapatkan momentum paling dramatis ketika Raul menyalami Anang lalu mereka bersalaman, dan Raul tampak membisikkan sesuatu. Orang kita memang lucu. Katanya yang dibisikkan oleh Raul adalah begini, "kalau bosan nanti buat saya lagi, ya..." Ini tentu saja tidak benar. 

Anang-Ashanti tentu tak mengharapkan itu. "Jangan ada yang ganggu-ganggu lagi," kata Aurel Hermansyah, putri sulung Anang dari Krisdayanti. Dari televisi juga kita tahu bahwa Anang sangat mendengarkan pertimbangan Aurel, putrinya ini. Aurel yang menetapkan kriteria ibu barunya harus lebih tinggi dari Krisdayanti, harus putih, dan dia pula yang 'menolak' Syahrini, gebetan pertama Anang, selepas resmi bercerai dengan Krisdayanti. 

Keesokan pagi, di sebuah tayangan infotainmen, di televisi di dapur kami itu, saya juga menyaksikan wawancara Anang-Ashanti tentang malam pertama mereka! Oh, Tuhan! Hal-hal begini juga ditayangkan televisi? Tunggu, ini jawaban Anang-Ashanti, bahwa malam pertama mereka tidur bersma Azriel, anak lelaki Anang, yang katanya tak mengerti situasi, dan masih tak juga mengerti meskipun sudah ditegur oleh Aurel. Ini mungkin jawaban sudah disiapkan oleh Anang.
*
Anang memang jago memanfaatkan televisi. Ia tampak sudah mempersiapkan segalanya. Pertemuan pertamanya dengan Ashanti, kencannya kemana saja, umroh bersama, melamar, pertemuan Anang dengan keluarga Ashanti, pendekatan Ashanti kepada anak-anak Anang, perjalanannya ke Kalimantan meminta Bupati Kutai Timur menjadi saksi nikah, sampai pernikahan dan resepsi, seperti rangkaian liputan dokumenter yang lengkap.

Harus kita akui Anang adalah manajer dan produser yang luar biasa, termasuk untuk dirinya sendiri. Dulu ia adalah orang yang dengan rela menarik diri ke belakangan layar mengatur karir Krisdayanti istrinya. Maka kita menemukan seorang Krisdayanti dengan karir yang mencorong. Kebintangannya selalu terang. Sampai kemudian datang 'gangguan-gangguan' seperti yang dengan amat dewasa disebutkan oleh Aurel, putri Anang yang di televisi tampak sangat dewasa untuk ukuran gadis belasan tahun. Ah, Aurel, kau juga dibesarkan televisi, Nak? 

*
Saya tak tahu dalam konteks apa seorang arsitektur hebat bicara soal televisi dengan nada buruk. “Televisi adalah permen karet untuk mata,”  kata Frank Lloyd Wright. Saya kira saya bisa memahami itu dengan cara begini: permen karet bukanlah makanan utama, dan tak jelas apa manfaatnya, kecuali ya sebagai kunyahan saja. Ia hanya kita santap di kala iseng,  sampai habis manis sintesis yang dikandungnya, lalu tersisa karetnya yang pahit, dan kita buang sebagai sampah. Dan itu sama sekali tak membikin kita kenyang.  Mungkin begitulah hakikat televisi. Kita tak akan dapat tambahan pengetahuan, tak akan jadi manusia yang lebih arif, lebih bijak, jika hanya berharap dari televisi. 

Ya, kita tak bisa berharap banyak dari permen karet bernama televisi itu.  Pakar semiotika dan novelis besar italia Umberto Eco menyimpulkan itu dengan kalimat lain (yang seperti kalimat-kalimat Eco yang lain, selalu bernas dan jenaka), katanya, “Jika Anda ingin memanfaatkan televisi  untuk mengajari seseorang, maka yang harus Anda lakukan pertama-tama  adalah ajari orang itu bagaimana memanfaatkan televisi!”***

Monday, May 21, 2012

Ke Ruang Ganti Rossoneri dan Nerrazuri

Berkunjung ke Stadion San Siro, Milan, Italia.

Stadion yang jadi markas dua klub sekota AC Milan dan Inter Milan  dan yang menjadi saksi final Piala Dunia 1990 antara Jerman Barat dan Argentina ini, dibangun, dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Kota Milan.

Di Ruang Jumpa Pers AC Milan, Stadion San Siro, Milan, Italia.





Oleh Hasan Aspahani

"Tur berikutnya setengah jam lagi. Silakan melihat-lihat museum dulu," kata pemandu tur di Stadion San Siro, Milan, Italia. Dua pekan lalu saya berkunjung ke sana. Yang disebut museum adalah ruang-ruang yang memajang piala-piala kemenangan, foto-foto pemain legendaris, seragam klub, dan foto besar pendiri kedua klub.

Di tribun utama dengan latar belakangan tribun biru tempat khusus suporter Inter.


Sebuah stadion, seperti Stadion San Siro, adalah saksi dari perjalanan prestasi, persaingan, sportivitas, dan bukti betapa pemerintah sebuah kota bekerja untuk warga kotanya.  Pemerintah Kota Milan mulai membangun stadion ini pada tahun 1925, dan dibuka secara resmi pada 19 September 1926.

Sambil menelusuri museum, saya berpikir bagaimana sebuah kota bisa punya dua klub yang sama hebatnya, dan bermarkas di satu stadion yang sama? Sampai tahun 1908, di Milan hanya ada satu klub, cikal bakalnya Associazione Calcio Milan Italia yang kini terkenal sebagai AC Milan. Klub ini berdiri pada 16 Desember1899 dan hanya dua bulan setelah berdiri meraih gelar pertamanya.

Nama Milan adalah ejaan Inggris. Kenapa tidak pakai Milano? Ini adalah penghormatan untuk Alfred Edward, seorang ekspatriat Inggris yang mendirikan klub tersebut. 

Lalu sekelompok pembangkang keluar, dan mendirikan Inter Milan, pada 9 Maret 1908. Nama lengkap klub ini adalah Football Club Internazionale Milano.  Inter bisa disebut sebagai AC Milan perjuangan. Pada saat-saat Inter berdiri, Milan punya kebijakan tak memakai pemain asing. Dari situlah nama Internazionale dipakai oleh Inter Milan.

Pemerintah Kota Milan akhirnya sekarang memetik apa yang mereka tanam. Kini tur ke Stadion San Siro boleh dibilang menjadi agenda wajib turis yang datang ke Italia, khususnya Milan.  Ongkos tiket masuk untuk tur kira-kira setengah jam adalah 11 Euro.

Bersamaan dengan kami, ada lima kelompok turis lain yang datang silih berganti. Ada tiga pemandu yang bergantian membawa pengunjung masuk, melintas tribun utama, lalu ke ruang ganti masing-masing klub, ruang jumpa pers dengan latar belakang logo-logo sponsor klub, dan berakhir ke ruang VVIP, yang bila pertandingan berlangsung hanya ditempati oleh kerabat dekat pemain dan petinggi klub.  Dan tak lengkap kunjungan ke Stadion San Siro jika tak berbelanja membeli pernak-pernik klub asli di  San Siro Store.

Di ruang ganti AC Milan. Pemandu tur (polo hitam) sedang beraksi.

"Ini kursi khusus untuk David Beckham, ketika dia masih bermain di sini," kata pemandu kami, seorang lelaki muda Italia dengan wajah bercambang yang amat layak jadi aktor. 

Ruang ganti AC Milan dan Inter berbeda bak langit dan bumi. Inter hanya berupa bangku panjang putih yang menyatu ke dinding ruangan. Siapa saja boleh duduk di mana saja.  Ruangan didominasi warna biru, khas Inter. "Inter ingin membangun kebersamaan tim sejak dari ruang ganti ini," kata pemandu tur kami.

Sementara di ruang ganti AC Milan, setiap pemain dapat kursi empuk dan khusus. Di atas setiap kursi ada monitor yang menayangkan nama dan nomor pemain. Misalnya kursi untuk Beckam tadi, ada di urutan nomor tiga dari kiri pintu masuk. Di tengah ruang ganti meja bulat yang merupakan lambang klub. Di langit-langit tepat di atas meja itu juga terpampang lambang yang sama. Warna merah menyala membuat suasana ruang ganti terasa mewah, gagah.

Dari tribun utama, tepat di seberang, adalah kursi untuk penonton netral. Kursi khusus suporter Milan ada di kanan, dan Inter di kiri. Warna kursi sesuai dengan warna klub, merah dan biru.  Inilah stadion dengan kapasitas 80 ribu penonton lebih.

"Rumput di tengah itu asli. Yang di sekeliling lapangan rumput sintesis," kata pemandu tur kami. Saya memandangi lapangan yang bersih terawat, padahal putaran Lega Calcio baru saja tuntas.  Di situlah, beberapa hari sebelumnya, Inter yang kala itu menjadi tuan rumah menjamu Milan mengandaskan ambisi klub tamunya meraih scudetto yang akhirnya diraih oleh Juventus. Milan harus puas mengakhiri musim tahun ini sebagai runner-up. 

San Siro dibangun atas gagasan Pierro Pirelli, presiden AC Milan kala itu. Yang khas pada stadion ini adalah tak ada trek atletik, sebagaimana layaknya sarana olahraga yang dibangun dengan dana publik di Italia.  Pada dasarnya San Siro dianggap "milik" Milan. Inter hanya penyewa. Tapi sejak awal dibuka San Siro sudah jadi saksi rivalitas keras antara kedua klub. Pada pertandingan perdana antara Milan dan Inter, 39 ribu penonton jadi saksi bagaimana Milan jadi bulab-bulanan Inter dengan skor 6-3.

Perebutan pengaruh juga sampai ke soal nama. Pada tahun 1980, nama stadion ini secara resmi diganti menjadi  Stadio Guiseppe Meazza, sebagai penghargaan pada pemain besar itu yang berhasi membawa Italia dua kali juara dunia. Kebetulan Meazza adalah pemain Inter, pencetak gol terbanyak beberapa kali pada musimnya merumput, dan berkali-kali membawa klubnya menjadi juara. Nama itu tentu saja ditolak oleh suporter Milan, meskipun Meazza pernah juga merumput untuk klub itu.

Tur berawal dan berakhir di pintu masuk, melewati lorong yang sengaja dinding-dindingnya dipenuhi oleh grafiti. Ada tanda semacam kelompok seniman grafiti tertera pada setiap segmen gambar yang berbeda.

Saya bayangkan jika saya menjadi penonton yang datang untuk menyaksikan pertandingan penting di situ, saya akan tersemangati luar biasa oleh gambar-gambar liar dalam grafiti di dinding itu.

"Anda dukung siapa? Inter atau Milan?" tanya turis Belanda yang ikut tur bersamaan dengan kami. Ini pertanyaan berat. Mendukung satu klub atau tim satu negara seperti ideologi yang tak mudah berganti.  Seperti agama. Saya terus terang saja tak terlalu menggilai sepakbola. Dalam hal sepakbola saya atheis.  Tapi setelah tur itu saya mungkin punya alasan untuk  memilih dan mendukung salah satu klub tersebut. "Saya suka Inter," kata saya. Dan itu saya buktikan, ketika belanja di toko stadion saya membeli kaos bola asli Inter untuk anak saya Ikra.

Inter Milan, 23 Mei besok hingga tanggal 26 nanti akan menuntaskan kerinduan para fansnya yang jumlahnya diperkirakan 15 juta orang di Indonesia. Mereka mengelar serangkaian pertandingan eksebisi. Klub lagi-lagi dapat masukan penghasilan dari tur semacam ini.  Sungguh tak sia-sia, Pemerintah Kota Milan membangun stadion, sejak di perempat awal abad 20 lalu, bukan? ***










[Ruang Renung #261] Mengemas Isi, Mengisi Kemasan

SAJAK terutama berangkat dari isi. Isi adalah apa yang ingin kita sampaikan. Apa yang ingin kita sajakkan. Cara menyajakkannya adalah kemasan atau bungkus. Bungkus yang baik tidak menipu. Dia tidak mendustai: menjanjikan ini tapi itu bukan isi yang terbungkus. Bungkus yang baik itu kemas, rapi, menarik, tapi kadang-kadang kita biarkan saja ia terbuka sedikit, mengintipkan isinya dengan sengaja.

Sajak bisa juga berangkat dari bungkus. Bermain-mainlah dengan kemasan. Nanti pasti ada sesuatu yang terisi, yang menjadi isi, yang terbungkus di dalamnya. Ini bukan soal untung-untungan, soal bikin sajak acak, atau improvisasi. Ini soal keterampilan. Kepiawaian bermain-main, mengutak-atik kemasan. Lagi pula, isi sajak, apakah yang tak pernah disajakkan? 

Sunday, May 20, 2012

Upaya Menerjemahkan Adrienne Rich

Bagian ke-2 dari sajak ini sudah saya terjemahkan. Saya ingin menerjemahkan seluruhnya. Ah, tarik nafas dulu.... 

Twenty-One Love Poems 

Adrienne Rich

I
Wherever in this city, screens flicker
with pornography, with science-fiction vampires,
victimized hirelings bending to the lash,
we also have to walk… if simply as we walk
through the rainsoaked garbage, the tabloid cruelties
of our own neighborhoods.
We need to grasp our lives inseparable
from those rancid dreams, that blurt of metal, those disgraces,
and the red begonia perilously flashing
from a tenement sill six stories high,
or the long-legged young girls playing ball
in the junior high school playground.
No one has imagined us. We want to live like trees,
sycamores blazing through the sulfuric air,
dappled with scars, still exuberantly budding,
our animal passion rooted in the city.



II
I wake up in your bed. I know I have been dreaming.
Much earlier, the alarm broke us from each other,
you’ve been at your desk for hours. I know what I dreamed:
our friend the poet comes into my room
where I’ve been writing for days,
drafts, carbons, poems are scattered everywhere,
and I want to show her one poem
which is the poem of my life. But I hesitate,
and wake. You’ve kissed my hair
to wake me. I dreamed you were a poem,
I say, a poem I wanted to show someone…
and I laugh and fall dreaming again
of the desire to show you to everyone I love,
to move openly together
in the pull of gravity, which is not simple,
which carries the feathered grass a long way down the upbreathing air.

III
Since we’re not young, weeks have to do time
for years of missing each other. Yet only this odd warp
in time tells me we’re not young.
Did I ever walk the morning streets at twenty,
my limbs streaming with a purer joy?
did I lean from any window over the city
listening for the future
as I listen here with nerves tuned for your ring?
And you, you move toward me with the same tempo.
Your eyes are everlasting, the green spark
of the blue-eyed grass of early summer,
the green-blue wild cress washed by the spring.
At twenty, yes: we thought we’d live forever.
At forty-five, I want to know even our limits.
I touch you knowing we weren’t born tomorrow,
and somehow, each of us will help the other life,
and somewhere, each of us must help the other die.

IV
I come home from you through the early light of spring
flashing off ordinary walls, the Pez Dorado,
the Discount Wares, the shoe-store… I’m lugging my sack
of groceries, I dash for the elevator
where a man, taut, elderly, carefully composed
lets the door almost close on me.—For god’s sake hold it!
I croak at him.—Hysterical,--he breathes my way.
I let myself into the kitchen, unload my bundles,
make coffee, open the window, put on Nina Simone
singing Here comes the sun… I open the mail,
drinking delicious coffee, delicious music,
my body still both light and heavy with you. The mail
lets fall a Xerox of something written by a man
aged 27, a hostage, tortured in prison:
My genitals have been the object of such a sadistic display
they keep me constantly awake with the pain…
Do whatever you can to survive.
You know, I think that men love wars…
And my incurable anger, my unmendable wounds
break open further with tears, I am crying helplessly,
and they still control the world, and you are not in my arms.

V
This apartment full of books could crack open
to the thick jaws, the bulging eyes
of monsters, easily: Once open the books, you have to face
the underside of everything you’ve loved—
the rack and pincers held in readiness, the gag
even the best voices have had to mumble through,
the silence burying unwanted children—
women, deviants, witnesses—in desert sand.
Kenneth tells me he’s been arranging his books
so he can look at Blake and Kafka while he types;
yes; and we still have to reckon with Swift
loathing the woman’s flesh while praising her mind,
Goethe’s dread of the Mothers, Claudel vilifying Gide,
and the ghosts—their hands clasped for centuries—
of artists dying in childbirth, wise-women charred at the stake,
centuries of books unwritten piled behind these shelves;
and we still have to stare into the absence
of men who would not, women who could not, speak
to our life—this still unexcavated hole
called civilization, this act of translation, this half-world.

VI
Your small hands, precisely equal to my own—
only the thumb is larger, longer—in these hands
I could trust the world, or in many hands like these,
handling power-tools or steering-wheel
or touching a human face… Such hands could turn
the unborn child rightways in the birth canal
or pilot the exploratory rescue-ship
through icebergs, or piece together
the fine, needle-like sherds of a great krater-cup
bearing on its sides
figures of ecstatic women striding
to the sibyl’s den or the Eleusinian cave—
such hands might carry out an unavoidable violence
with such restraint, with such a grasp
of the range and limits of violence
that violence ever after would be obsolete.

VII
What kind of beast would turn its life into words?
What atonement is this all about?
--and yet, writing words like these, I’m also living.
Is all this close to the wolverines’ howled signals,
that modulated cantata of the wild?
or, when away from you I try to create you in words,
am I simply using you, like a river or a war?
And how have I used rivers, how have I used wars
to escape writing of the worst thing of all—
not the crimes of others, not even our own death,
but the failure to want our freedom passionately enough
so that blighted elms, sick rivers, massacres would seem
mere emblems of that desecration of ourselves?

VIII
I can see myself years back at Sunion,
hurting with an infected foot, Philoctetes
in woman’s form, limping the long path,
lying on a headland over the dark sea,
looking down the red rocks to where a soundless curl
of white told me a wave had struck,
imagining the pull of that water from that height,
knowing deliberate suicide wasn’t my métier,
yet all the time nursing, measuring that wound.
Well, that’s finished. The woman who cherished
her suffering is dead. I am her descendant.
I love the scar-tissue she handed on to me,
but I want to go on from here with you
fighting the temptation to make a career of pain.

IX
Your silence today is a pond where drowned things live
I want to see raised dripping and brought into the sun.
It’s not my own face I see there, but other faces,
even your face at another age.
Whatever’s lost there is needed by both of us—
a watch of old gold, a water-blurred fever chart,
a key… Even the silt and pebbles of the bottom
deserve their glint of recognition. I fear this silence,
this inarticulate life. I’m waiting
for a wind that will gently open this sheeted water
for once, and show me what I can do
for you, who have often made the unnameable
nameable for others, even for me.

X
Your dog, tranquil and innocent, dozes through
our cries, our murmured dawn conspiracies
our telephone calls. She knows—what can she know?
If in my human arrogance I claim to read
her eyes, I find there only my own animal thoughts:
that creatures must find each other for bodily comfort,
that voices of the psyche drive through the flesh
further than the dense brain could have foretold,
that the planetary nights are growing cold for those
on the same journey, who want to touch
one creature-traveler clear to the end;
that without tenderness, we are in hell.

XI
Every peak is a crater. This is the law of volcanoes,
making them eternally and visibly female.
No height without depth, without a burning core,
though our straw soles shred on the hardened lava.
I want to travel with you to every sacred mountain
smoking within like the sibyl stooped over his tripod,
I want to reach for your hand as we scale the path,
to feel your arteries glowing in my clasp,
never failing to note the small, jewel-like flower
unfamiliar to us, nameless till we rename her,
that clings to the slowly altering rock—
that detail outside ourselves that brings us to ourselves,
was here before us, knew we would come, and sees beyond us.

XII
Sleeping, turning in turn like planets
rotating in their midnight meadow:
a touch is enough to let us know
we’re not alone in the universe, even in sleep:
the dream-ghosts of two worlds
walking their ghost-towns, almost address each other.
I’ve wakened to your muttered words
spoken light- or dark-years away
as if my own voice had spoken.
But we have different voices, even in sleep,
and our bodies, so alike, are yet so different
and the past echoing through our bloodstreams
is freighted with different language, different meanings—
though in any chronicle of the world we share
it could be written with new meaning
we were two lovers of one gender,
we were two women of one generation.

XIII
The rules break like a thermometer,
quicksilver spills across the charted systems,
we’re out in a country that has no language
no laws, we’re chasing the raven and the wren
through gorges unexplored since dawn
whatever we do together is pure invention
the maps they gave us were out of date
by years… we’re driving through the desert
wondering if the water will hold out
the hallucinations turn to simple villages
the music on the radio comes clear—
neither Rosenkavalier nor Götterdämmerung
but a woman’s voice singing old songs
with new words, with a quiet bass, a flute
plucked and fingered by women outside the law.

XIV
It was your vision of the pilot
confirmed my vision of you: you said, He keeps
on steering headlong into the waves, on purpose
while we crouched in the open hatchway
vomiting into plastic bags
for three hours between St. Pierre and Miquelon.
I never felt closer to you.
In the close cabin where the honeymoon couples
huddled in each other’s laps and arms
I put my hand on your thigh
to comfort both of us, your hand came over mine,
we stayed that way, suffering together
in our bodies, as if all suffering
were physical, we touched so in the presence
of strangers who knew nothing and cared less
vomiting their private pain
as if all suffering were physical.

(The Floating Poem, Unnumbered)
Whatever happens with us, your body
will haunt mine—tender, delicate
your lovemaking, like the half-curled frond
of the fiddlehead fern in forests
just washed by sun. Your traveled, generous thighs
between which my whole face has come and come—
the innocence and wisdom of the place my tongue has found there—
the live, insatiate dance of your nipples in my mouth—
your touch on me, firm, protective, searching
me out, your strong tongue and slender fingers
reaching where I had been waiting for years for you
in my rose-wet cave—whatever happens, this is.

XV
If I lay on that beach with you
white, empty, pure green water warmed by the Gulf Stream
and lying on that beach we could not stay
because the wind drove fine sand against us
as if it were against us
if we tried to withstand it and we failed—
if we drove to another place
to sleep in each other’s arms
and the beds were narrow like prisoners’ cots
and we were tired and did not sleep together
and this was what we found, so this is what we did—
was the failure ours?
If I cling to circumstances I could feel
not responsible. Only she who says
she did not choose, is the loser in the end.

XVI
Across a city from you, I’m with you,
just as an August night
moony, inlet-warm, seabathed, I watched you sleep,
the scrubbed, sheenless wood of the dressing-table
cluttered with our brushes, books, vials in the moonlight—
or a salt-mist orchard, lying at your side
watching red sunset through the screendoor of the cabin,
G minor Mozart on the tape-recorder,
falling asleep to the music of the sea.
This island of Manhattan is wide enough
for both of us, and narrow:
I can hear your breath tonight, I know how your face
lies upturned, the halflight tracing
your generous, delicate mouth
where grief and laughter sleep together.

XVII
No one’s fated or doomed to love anyone.
The accidents happen, we’re not heroines,
they happen in our lives like car crashes,
books that change us, neighborhoods
we move into and come to love.
Tristan und Isolde is scarcely the story,
women at least should know the difference
between love and death. No poison cup,
no penance. Merely a notion that the tape-recorder
should have caught some ghost of us: that tape-recorder
not merely played but should have listened to us,
and could instruct those after us:
this we were, this is how we tried to love,
and these are the forces they had ranged against us,
and theses are the forces we had ranged within us,
within us and against us, against us and within us.

XVIII
Rain on the West Side Highway,
red light at Riverside:
the more I love the more I think
two people together is a miracle.
You’re telling the story of your life
for once, a tremor breaks the surface of your words.
The story of our lives becomes our lives.
Now you’re in fugue across what some I’m sure
Victorian poet called the salt estranging sea.
Those are the words that come to mind.
I feel estrangement, yes. As I’ve felt dawn
pushing towards daybreak. Something: a cleft of light—?
Close between grief and anger, a space opens
where I am Adrienne alone. And growing colder.

XIX
Can it be growing colder when I begin
to touch myself again, adhesions pull away?
When slowly the naked face turns from staring backward
and looks into the present,
the eye of winter, city, anger, poverty, and death
and the lips part and say: I mean to go on living?
Am I speaking coldly when I tell you in a dream
or in this poem, There are no miracles?
(I told you from the first I wanted daily life,
this island of Manhattan was island enough for me.)
If I could let you know—
two women together is a work
nothing in civilization has make simple,
two people together is a work
heroic in its ordinariness,
the slow-picked, halting traverse of a pitch
where the fiercest attention becomes routine
—look at the faces of those who have chosen it.

XX
That conversation we were always on the edge
of having, runs on in my head,
at night the Hudson trembles in New Jersey light
polluted water yet reflecting even
sometimes the moon
and I discern a woman
I loved, drowning in secrets, fear wound round her throat
and choking her like hair. And this is she
with whom I tried to speak, whose hurt, expressive head
turning aside from pain, is dragged down deeper
where it cannot hear me,
and soon I shall know I was talking to my own soul.

XXI
The dark lintels, the blue and foreign stones
of the great round rippled by stone implements
the midsummer night light rising form beneath
the horizon—when I said “a cleft of light”
I meant this. And this is not Stonehenge
simply nor any place but the mind
casting back to where her solitude,
shared, could be chosen without loneliness,
not easily nor without pains to stake out
the circle, the heavy shadows, the great light.
I choose to be a figure in that light,
half-blotted by darkness, something moving
across that space, the color of stone
greeting the moon, yet more than stone:

[Ruang Renung #260] Aku, Dia, dan Kamu

AKU di dalam sajak-sajakku bisa menjadi dia, bisa menjadi engkau, dan tentu saja juga tetap sebagai aku.  Sajak dengan begitu, bagiku, adalah percakapan antarbagian diri saya sendiri. Itu mengasyikkan. Dan hanya dengan itu dialog dalam diri saya sendiri bisa muncul. 
Monumen Arc de Triomphe, Paris, Prancis.

Semacam Percobaan dengan Jarak dan Waktu

ENGKAU mungkin ada di museum tentang keju, seni kaca, sejarah sepeda, atau riwayat tas kayu. Tak menunggu apa-apa. Dan aku hanya punya waktu untuk mencuri brosur wisata, tawaran rute keliling kota, di pintu restoran hotel, setelah sarapan yang malas kukunyah.    

Engkau mungkin ada di antara orang banyak di monumen Arc de Triomphe, di ujung Champs-Élysées itu. Sebuah layar digital dibentangkan, sebarisan kursi ditata, dan bendera besar itu dikibarkan. Seorang lelaki biasa, sedang menyiapkan pidato yang yak biasa, petang itu.

Engkau mungkin ada di ruang keberangkatan Bandara Frankfurt, dengan tiket maskapai penerbangan Arab Emirat Serikat, menyelisihi waktu yang kacau, mengucap selamat tinggal pada cuaca dingin Jerman, yang padaku sebelumnya mencoba ramah menyambut.       

Engkau pasti ada di suatu tempat, membuat semacam percobaan dengan jarak dan waktu, menguji serangkai hipotesis. Dan engkau tersenyum, membayangkan hal jenaka yang nanti bisa engkau simpulkan. Dan aku tak henti-hentinya menebak apa yang mungkin. 

Friday, May 18, 2012

Amsterdam, 2012

Hanya Begini yang Bisa Kujelaskan




      AKU menuruti petunjukmu, Paulo Coelho, tentang udara dingin Amsterdam. Tak kutemui pelukis di sini. Aku melepas sarung tangan, bagi tombol pelepas rana, dan embun pada lensa.  Dan rindu, itu adalah mutlak musim yang pernah buruk. Dan kita tak siap menghadapi kemungkinan-kemungkinannya.

*

       Dresden masih jauh, dari tempatku berdiri, dan aku mencoba berkaca pada keruh kanal, mencoba menyampaikan bayang-bayangku ke dinding-dinding yang menyenaraikan sajak-sajak itu. Dan rindu, adalah kian berat kayuh, meski  kau penumpang satu-satunya, tak lagi ada pada boncengan sepeda.

*

       Ada restoran di muara Amsterdam, seperti kapal yang kandas ketika hendak kembali pulang. Mula-mula, yang kita inginkan adalah sesuatu yang sangat sederhana: secawan teh, dan poci yang menyelusupkan hangat ke jari dan hati kita. Dan rindu, adalah menu yang tak sedap, tapi di kota ini hanya ada tersisa satu restoran yang masih buka.

*

        Di lapangan pasir museum itu, aku membentang benang, serbuk kaca menghambur di dingin udara, dan layang-layang yang putus sebelum kuterbangkan, ke langit Paris yang enggan.  Dan rindu, adalah imigran gelap yang menawarkan engkau padaku, dengan harga yang tak tertebak.

Thursday, May 17, 2012

[Ruang Renung #259] Pertarungan antara Pikiran dan Perasaan

MENULIS puisi bagi saya terasa seperti pertarungan antara pikiran dan perasaan. Ini bukan pertarungan yang saling mengalahkan. Tidak ada yang akan kalah pada akhirnya. Keduanya harus sama-sama unggul, sama-sama tangguh, sama-sama kuat. Keduanya harus keras kepala.

Pikiran, rasio, pengetahuan, kadang-kadang seperti memberikan umpan kepada perasaan untuk dihajar habis-habisan. Perasaan, emosi, gerak hati, pada kesempatan lain membuka perisai agar diserang bertubi-tubi oleh pikiran. 

Saya selalu berusaha untuk menjadi wasit yang menjaga agar pertarungan ini imbang, dan akhirnya kami kelelahan setelah sebuah pertarungan yang berdarah-darah. Saya tentu saja menikmati dan merindukan pertarungan tersebut.  Kadang-kadang, keduanya - pikiran dan perasaan - malas untuk bertarung.

Saya harus mengadudomba mereka. Kadang-kadang, mereka siap bertarung, tapi saya yang malas mengatur pertarungan itu. Saya tidak boleh malas. Tapi, saya berdua harus tahu, kapan mereka bugar dan siap bertarung, kapan mereka harus beristirahat sepenuhnya.
Di Stasion Kereta Gantung, Chamonix, Mont-Blanc, Prancis.
DI tepi Danau Jenewa atau Lac Leman, Jenewa, Swiss.

Sekilas Napak Tilas, pada Cappuccino Segelas

SEKELAM engkau, warna jubah para rahib,
        selembut doa-doa pada pagi yang rutin.

Seakan menawar pada lidah lelaki Turki,
         tertuang pada madu dan hangat susu.

Seramah barista, dia lelaki muda Italia,
         Sekarib jarak dari kisah gembala di Afrika.
         
Sesia-sia rapat para penguasa fasis
         mengabaikan kecup suhu dan sentuh busamu.

Sehangat semi musim udaramu, Milan
        seteguh gagang pada gelas tembikar .

Sesementara gambar di rapuh limpah buih,
        sekelebat kibas duyung berekor kembar.

Seingkar harum kopi pada sarapan pagi,
        seakrab bunyi mesin espresso sepenuh hari.

Seberani engkau di gerai air gula bersoda,
        sesetia engkau di kafe, kebab, dan pizzeria.

Sekecewa aku yang mengecewakanmu
        Lidah siap saji, ayam jantan tak tumbuh taji.

Seperti telah kuselesaikan saat-saat sesat,
        dosa itu tetap dekat, tapi tak lagi memikat.

Monday, May 14, 2012

Di depan Teater Chaplin


ADA berapa teater untukmu di kota ini, Chaplin? 

Aku seperti pengembara, dengan sedikit waktu malam, 
dan ingin masuk, mungkin untuk sebuah peran sebagai 
kucing  jenaka, bernyanyi untuk Cinderalla yang lupa.


Kalau kita bertemu, malam itu, aku sudah berlatih
untuk bercakap-cakap seperti adegan dalam film bisu. 
Dengan begitu, kita tak perlu saling menerjemahkan.



*

Berapa kali, Chaplin, seorang harus menjadi yatim?


Teater,  mungkin sejenis rumah penampungan juga,
untuk keinginan-keinginan yang tak punya tempat.

Ini bukan lagak, bukan soal kepandaian berpura-pura.

Panggung, mungkin sejenis tempat pindah dan singgah ,
dari satu lakon ke lain lakon, dalam takdir yang kekal,
apapun peranmu, loper surat kabar dalam kisah
detektif, menemukan berita yang tak ada, atau badut
malang pada sebuah sirkus:  terusir dan teringkus!   

*

Berapa lama aku harus berdiri dan bertepuk untukmu? 

Tak ada makammu, di sini, Chaplin. Aku ziarahi saja
keinginanku yang tak mati dan belum ingin aku kubur,
dalam senyap hati setenteram udara Danau Jenewa,
toh tidak akan ada yang akan ingin mencurinya. 

Dan kau tetap hidup di kota ini, dalam cahaya proyektor
yang berisik, dan kami masih akan tertawa, bagi pejalan
dengan sepatu bertelapak besar, celana gembung, dan
jas sesak, serta topi yang melindungimu dari salah-duga,
bahwa engkau tak pernah bisa sekadar berbahagia.

Sunday, May 13, 2012

Di Paris, dengan remang Menara Eiffel.

Pada Petang Paris dan Menara Eiffel.
 
Di Museum Louvre, Paris, Prancis.
 
Di depan Restoran Garuda, restoran menu Indonesia di Brussel, Belgia.
Di sebuah ruas jalan di Amsterdam, Belanda.
 
Di Plan de I'Aguille, 2.317 m dpl, Chamonix, Prancis setengah tinggi puncak Mont Blanc.

Saturday, May 12, 2012

Sebuah Subuh di Sebuah Magrib

DANAU Jenewa adalah kening untuk sebuah mata yang beku. Aku memejamkan hati dan mata, dalam jernih udara Swiss yang dingin, dan kami bertatapan.  

Sungai Rhone adalah garis tubuh pada sebuah benua yang tak juga tua. Aku larutkan beku keinginan, pada luluh glasier, dan kami saling menghangatkan.  

Pegunungan Alpen adalah jiwa resah yang diberi tubuh oleh salju. Aku hanya turis-tamu, yang besar kepala, sebagai pendaki, bujukanku telah kau terima.

Puncak Mont Blanc adalah tajam mata pena, dan luas langit adalah selembar kertas mahaluas, di situ  terkitabkan kisah tak pernah ada khatamnya. 

Tentang Angsa di Kanal Amsterdam

          KAMI tak akan ada di kartu-kartu pos yang dipajang di toko sovenir di Amsterdam. Seperti merpati,dan jalak, juga camar di atas papan nama dermaga. Kami tak pernah punya masalah dengan kota ini. Kota yang tak pernah ingin sempurna ini. Kami hanya ikut bertahan dan menjadi apa adanya. Dan itu memang bukan segalanya.

          Amsterdam, adalah liuk suara saksopon pada sebuah komposisi jazz yang lekas. Kami adalah nada kosong ketika kota kehabisan napas. Amsterdam adalah lalu-lalang sepeda, dan padanya kau belajar tentang ketekunan menertibkan harapan. Nanti kau akan putuskan kau telah lulus sebagai apa, di sebuah museum tak berpenjaga.   

Friday, May 11, 2012

Poster Pertunjukan Dario Fo di Sebuah Jalan di Milan

         MILAN, benarkah manusia tak dilahirkan untuk berbahagia? Di jalanmu, Milan, ada sebuah kafe, dengan remang lampu, mesin judi, televisi, dan kursi-kursi kayu sewarna pekat buih cappucino. Aku kira harimu tak pernah sempurna, Milan, meskipun matahari musim semi memberimu siang lebih panjang dari kecemasan orang seasing aku padamu.   

         Milan, ingatkah engkau pada seorang dari Sangiano? Belajar ilmu bangun ruang dan tampaknya dia tak berbahagia? Aku tak tahu, di mana persisnya teater itu, Milan, dan naskah lakon apa yang kini sedang dimainkan, dan siapa sedang memerankan apa. Aku sedang merasa sangat asing dengan siapa yang sedang kuperankan, Milan. Aku mungkin perlu poster, seperti Dario Fo yang kulihat, sekilas di jalan-jalanmu, Milan.

Di Sebuah Restoran di Pinggiran Kota Koln

         YANG jauh pada jarak dan langkah telah didekatkan oleh lapar.  Tapi lidah yang penuh jejak rempah, tak mengatakan apa-apa pada kentang, dan ikan berserat merah. Aku bercakap-cakap saja, dari bangku restoran ini, dengan bocah memancing, dan anjing yang bosan, pada lukisan Norman Rockwell, dalam sebuah reklame lama, minuman bersoda.

         Yang dingin pada musim dan malam, telah dihangatkan oleh teh Britania. Dan gol yang dirayakan, tak peduli ke gawang mana dalam siaran langsung sepakbola, entah dari liga apa. Selalu tampak berat hati, ketika mereka harus bubar, dari barisan kursi di depan bar, dari barista yang sabar, dan dapur, dengan perabot tua, radio Grundig yang tak lagi menangkap gelombang suara.

 

Misalnya Aku Membaca Namamu pada Grafiti di Lorong-lorong Stadion Itu

                    : dd

         AKU membayangkan, akulah remaja dengan penutup wajah, ransel penuh kaleng cat, bersekutu dengan malam, dan sedikit keberanian. Sepi seperti gemuruh penonton, pada pertandingan final antar dua klub satu kota. Aku berkeringat pada subuh yang dekat. Melukiskan rindu dengan cepat, dan lekas. Lebih dari sebuah gol penentu kemenangan, ketika terakhir kali, kuterakan huruf terakhir namamu. Lalu aku lari, selekas aku menyelinap tadi, sambil membayangkan engkau membaca namamu pada grafiti yang diam-diam kuterakan pada lorong-lorong di stadion itu.

Wednesday, May 9, 2012


DI DRUPA, Dusseldorf, Jerman, Minggu (6/5).
Di Chamonix, Prancis, pada sebuah dinding gedung toko, Rabu (9/5).

Beberapa Hal yang Kini Bisa Aku Jelaskan


                                       : dd

         WAKTU itu, adalah penjara kaca. Kita bersama terperangkap di dalamnya, dan melihat diri sendiri dari arah segala, tapi kita tak bisa kemana-mana.

        Bayang itu, adalah hitam putih foto tua di restoran cina. Tak bisa apa-apa, tak bisa membantu lidah untuk mendustakan yang dihidang di meja.  


        Langkah itu, bis besar melintas tol antarnegara, sapi di padang gembala, dan kuda patuh pada takdir pacuan, tak tahu siapa bertaruh untuk apa. 

        Dan lelucon itu, Sayang, adalah jajak pendapat, "apakah Anda akan tanam modal di Facebook?" dan kita, seperti 100 persen lainnya berkata, "Tidak!"
   

Di Depan Sebuah Teater di Paris

      AKU dengar suara tepuk tangan. Mungkin itu untuk akhir yang tragis sebuah cerita jenaka. Lalu orang-orang dengan mantel dan syal keluar bergandengan tangan atau berangkulan. Sepertinya tadi, sudah terjawab duga, juga sudah terbagi duka.

     Aku berlalu, dengan ingatan dari poster pertunjukan. "Ada teater lain lagi, di jalanku yang lain lagi," kata Paris. Paris? Bayang-bayangku sama-saja. Tak bisa lebih panjang dari arah cahaya datang. Dan untukku, cahaya bertepuk tangan dengan caranya sendiri.

Kesaksian Mata Van Gogh


STARRY Night over The Rhone, Vincent van Gogh, 1888, Oil on Canvas 72,5 cm x 92 cm. Koleksi Orsay Museum, Paris.

Tuesday, May 8, 2012

Italo Calvino Mengira Benar-benar Ada

                                                     : dd

KARENA mata kita adalah jendela rumah-rumah di Eropa,
menangislah: airmata itu bunga yang kita pajang di sana.

Bunga itu mungkin Petunia. Kita terperanjat, bagaimana
warna itu bisa ada. Duka yang meriah. Kita berbahagia.

Karena hati kita adalah ladang-ladang sebentang benua,
maka kita bangun rumah batu yang kita rekat dengan cinta.

Jika kita tak menemukan kota yang dulu kita hapal namanya,
kita sepakati saja, rumah kita, sebagai pusat dari segalanya.

Kita beri nama indah pada kota yang kita imajinasikan: Kota,
Kita, Imajinasi, hingga Italo Calvino mengira benar-benar ada.


Wednesday, May 2, 2012

[Kolom] Studi Banding Sekaligus "Naik Haji" ke Düsseldorf

 APA rasanya studi banding ke luar negeri? Saya akan tahu. Hari ini saya berangkat dan akan ada di beberapa negara di Eropa, hingga 12 Mei nanti.  Saya tergabung dengan rombongan besar (kurang lebih 40 orang) grup Jawa Pos dengan tujuan utama adalah 'naik haji' ke ajang pameran teknologi cetak terbaru DRUPA di Düsseldorf, Rhine-Westphalia Utara, Jerman. DRUPA tahun ini adalah pameran yang ke-14, sejak digelar pertama tahun 1951. Nama DRUPA adalah gabungan dari dua kata Jerman druck und papiertechnik,  artinya adalah "teknologi kertas dan percetakan".    



DRUPA adalah ajang empat tahunan.  Jadi, yang dipamerkan benar-benar hasil riset dan penemuan terbaru dalam industri cetak. Di kalangan industri cetak DRUPA memang dianggap seperti 'naik haji'. Tren, perubahan, masa depan industri cetak ditentukan oleh pameran tersebut. Semboyannya saja amat hegemonik: One World, One Drupa. Satu Dunia, Satu Drupa!

Sebagaimana layaknya 'ibadah haji', berangkat ke Jerman, juga bagai ziarah atau menapaktilasi jejak Johanes Guttenberg, inventor hebat yang pada tahun 1450 merevolusi teknologi cetak - dengan penemuannya berupa mesin cetak  movable type - sehingga menjadi sangat massif, indah, dan murah seperti sekarang ini. Ini adalah lompatan besar dari teknologi cetak cukil-blok-kayu (yang rumit dan lambat) yang sudah ada di Cina sejak tahun 200-an. Nama Guttenberg memang disebut dengan takzim bagai 'nabi'-nya  industri percetakan.

DRUPA terakhir, empat tahun lalu, tepatnya di tahun 2008, diikuti oleh 1.953 peserta pameran dari 54 negara dan dikunjungi oleh 390.044 orang. Pengunjung tersebut, menurut data statistik panitia, lebih dari separo, yakni 59 persen datang dari luar Jerman. Siapa mereka? Menurut data lagi, 78 persen dari pengunjung adalah pengambil keputusan di perusahaan masing-masing. Betul-betul pengunjung yang mabrur-lah!

Ini benar-benar sebuah pameran gigantis. Panitia DRUPA membagi delapan kategori peserta pameran, yakni Teknologi Pracetak (338 peserta/759 produk); Teknologi Cetak (636 peserta/1.348 produk); Teknologi Pascacetak (645 peserta/1.504 produk);  Teknologi Kertas (162 perserta/295 produk); Tinta (342 peserta/661 produk); KOmponen dan Infrastruktur (248 peserta/383 produk); Peranti Lunak (357 perserta/331 produk); dan kategori lain-lain (44 peserta/35 produk).

Arena pamerannya terbentang  sedemikian luas, sehingga meliputi hampir 18 hektar ruang pamer. Merek-merek pemain industri percetakan, atau sektor pendukung yang berkaitan dengannya menganggap hadir di pameran ini hukumnya wajib. Panitia pun jauh-jauh hari sudah mempromosikan pameran ini sejak beberapa tahun lalu, antara lain dengan berkeliling dunia, menggelar roadshow prapameran di 40 negara potensial, termasuk Indonesia.

*

INI adalah studi banding yang mahal. Ongkosnya, lebih mahal daripada jika saya naik haji ke Mekkah dan Madinah. Jika harus berangkat dengan ongkos pribadi pasti saya tak akan pernah punya mimpi. Studi banding, ternyata memang mahal, Saudara. Mengingat ongkos mahal itu, saya menuntut pada diri saya sendiri agar ambil manfaat sebesar-besarnya dari DRUPA ini. Jika Jawa Pos Grup memberangkatkan rombongan besar sekali, tiap kali DRUPA digelar, ini tak lepas dari visi Dahlan Iskan, orang yang di Jawa Pos Grup kerap disapa "Pak Bos', yang kini Menteri BUMN itu.

"Ketika Jawa Pos grup sedang dikembangkan, saya sangat sering berangkat ke Amerika. Ini keberuntungan bagi Jawa Pos Grup karena dari kunjungan itulah saya memperoleh model bagaimana grup koran dikembangkan," kata Dahlan dalam sebuah rapat.

Pada tahun-tahun 1980-an, saat Dahlan memulai mimpi besarnya membangun sebuah grup surat kabar besar, tidak ada modelnya Indonesia. "Saya melihat di Amerika di tiap kota, ada dua koran yang kuat. Koran umum dan koran metro, atau koran kuninglah. Di kota-kota kecil itu koran nasional kecil sekali pasarnya. Saya yakin ini juga bisa dikembangkan di Indonesia," kata Dahlan. Dan keyakinannya terbukti benar.

Maka, Dahlan Iskan adalah orang yang sangat setuju dan menganggap penting dengan 'studi banding'. Kata beliau, karena sedemikian pentingnya, maka nabi pun pernah bersabda, "tuntulah ilmu sampai ke negeri Cina", dan hadist itu bisa dianggap sebagai dalil naqli untuk studi banding.

Ibarat kata, secupat-cupatnya pikiran seseorang, jika ia punya kesempatan bepergian ke negeri lain, pasti ada sesuatu yang bisa ia lihat, yang menambah wawasannya, membuka pikirannya, yang bisa dijadikan rujukan ketika membangun sesuatu di tempat asalnya.

Ketika kesibukannya di grup tak lagi banyak, Dahlan pun menjelajah Tiongkok, dan melihat bagaimana negeri itu dibangun dengan gegap gempita, dan beliau meramalkan jauh-jauh hari bahwa negeri ini akan pegang peran penting di dunia. Itu sebabnya Dahlan pun belajar Bahasa Mandarin hingga fasih. Dan kini terbukti ramalannya itu benar. RRC kini adalah negara secara ekonomi boleh dibilang menjadi negara adidaya baru.

Hasil kunjungan Dahlan menjelajah Tiongkok terkumpul dalam sebuah buku "Pelajaran dari Tiongkok", diterbitkan oleh JP Book, Juli 2007. Ini adalah buku pertama Dahlan. Boleh dibilang Dahlan dipaksa untuk menerbitkan catatan-catatan tersebut. Ia adalah penganut anti masa lalu. Membukukan tulisan, baginya, seperti memuja masa lalu, dan itu baginya salah. Dahlan kemudian sadar bahwa buku bukanlah tempat untuk memuja masa lalu, tapi mencatat apa yang dilihat, diperbuat di masa lalu untuk jadi pelajaran di masa depan. Saya kira itu juga hikmah dari rajinnya dia melakukan studi banding.

*

Ada cerita lain tentang studi banding. Saya dapatkan dari Hardi Hood, salah seorang dari empat senator anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Duduk di senat memberi kesempatan padanya untuk mengunjungi berbagai negara - antara lain Jepang, Hongkong, Inggris - dalam rangka studi banding, melihat bagaimana pemerintahan di negara-negara tersebut diselenggarakan.

Sebagaimana keberangkatan kami, jika DPD berangkat studi banding ke luar negeri, maka mereka juga diurus oleh agen wisata. Nah, yang memalukan, kata Hardi, ketika ia di Jepang, ada cerita rombongan studi banding dari sebuah lembaga terhormat di negeri ini minta dicarikan jasa yang tak pantas untuk mereka yang datang atas nama dan atas biaya negara. "Kalau urusan begituan itu ya cari sendiri sajalah,"  kata Hardi menirukan sang pemandu studi banding.

Cerita-cerita begitu itulah, saya kira yang bikin rakyat Indonesia sangat kritis dan sinis pada kerapnya studi banding para wakil rakyat: sudah ongkosnya mahal, hasilnya secara nyata tak ada, atau tak tersampaikan pada rakyat dengan pantas. Pernah suatu kali anggota DPR RI studi banding tentang kepanduan alias Pramuka ke negara Afrika.  Kesannya ngaco sekali itu, kan?  Ditambah lagi, retorika para wakil rakyat itu ketika ditanya soal studi banding juga sering mengesalkan hati. Berkunjung ke luar negeri, jadi semacam aji mumpung yang hanya menghabiskan uang rakyat.  

Jika dikumpulkan, barangkali hasil studi banding para wakil rakyat itu ke berbagai belahan dunia, dan makan uang rakyat ratusan miliar itu sudah menghasilkan puluhan buku.  Masalahnya, tidak banyak anggota DPR kita yang mau dan mampu menulis.  Bangsa ini memang bermasalah dalam hal tulis-menulis .  Anggota DPR kita paling getol kalau bicara di sidang paripurna. Saling rebut kesempatan. Berteriak bak pedagang di pasar.  Apalagi jika disorot kamera televisi.***