* Menimbang Sastra di Surat Kabar, Blog, dan Milis
/1/
HALAMAN sastra di surat kabar umum di Indonesia adalah berkah bagi sastra Indonesia. Di Eropa dan Amerika tidak lazim surat kabar umum menerbitkan halaman sastra. Maka, terima kasih sangat layak diucapkan kepada Kompas, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Riau Pos, dan Seputar Indonesia, serta koran lain yang tiap minggu menyediakan halaman budaya, khususnya sastra. Mestinya, ada lembaga yang tiap tahun memberi penghargaan kepada surat kabar umum itu atas perhatian yang diberi kepada sastra.
/2/
Tidak semua surat kabar di Indonesia menyediakan halamannya untuk sastra. Mereka tidak perlu dikutuk. Meskipun pernah ada yang berkata, tanpa halaman budaya surat kabar pantas disebut koran barbar. Kalau tak salah itu ucapan H.B Jassin. Sastra bukan jualan utama di surat kabar umum. Surat kabar minggu bertiras lebih tinggi daripada edisi harian diyakini bukan karena ada halaman sastra, tapi lebih mungkin karena lowongan kerja. Banyak pembaca yang lebih membutuhkan pekerjaan daripada membaca puisi atau cerita pendek.
/3/
Halaman sastra yang bisa dicadangkan oleh surat kabar umum terbatas ruang dan keacapannya. Umumnya seminggu sekali dan satu halaman saja. Sementara bahan yang layak untuk mengisi halaman itu banyak sekali. Penyair terus berkarya dan sebagian dari penyair itu mengirimkan sebagian karyanya. Ketika Kompas memulai halaman "Bentara" yang tiap semula tiap bulan empat halaman telaah budaya, termasuk puisi sehalaman, diluar dugaan yang banyak diserbu adalah halaman puisi. Mungkin karena itu, Kompas lantas menjadikan halaman puisi itu tampil seminggu sekali. Tapi, tentu tidak semua kiriman yang layak dimuat bisa dimuat. Tidak mungkin pada satu terbitan sebuah surat kabar umum hanya berisi puisi atau cerpen dari halaman depan sampai halaman akhir, meskipun puisinya cukup. Karena itu perlu penapisan dan karena itu pula banyak karya yang ditepiskan.
/4/
Untuk menapis itu perlu seorang penapis. Maka, surat kabar pun menunjuk seseorang anggota redaksi, atau redaktur tamu yang dianggap mampu dan bisa dipercaya untuk melakukan pekerjaan itu. Si redaktur yang diberi tugas menapis itu tentu saja dianggap mampu dan dipercaya oleh si pemilik surat kabar. Kompas pernah meminta Sutardji Calzoum Bachri sebagai editor tamu khusus untuk menapis puisi. Pekerjaan itu diakui oleh Sutardji sebagai pekerjaan yang merisaukan, sebab lebih banyak karya yang harus ditepis, sesuai dengan keterbatasan halaman. Saya percaya seorang editor adalah orang yang risau, punya kelemahan dan penuh keterbatasan. Dia bukan orang yang bekerja congkak penuh kesombongan, seakan-akan tiap kali berkata, "aku yang menentukan apa yang pantas dibaca oleh pembaca koranku". Redaktur "mengadili" karya-karya yang ia terima, tetapi ia juga "diadili" oleh pembaca atas pilihannya itu.
/5/
Redaktur sastra memang diberi imbalan untuk memilih karya untuk diterbitkan. Dia digaji oleh surat kabar. Surat kabar mendapat keuntungan terutama dari iklan dan sebagian kecil dari penjualan surat kabarnya. Umumnya surat kabar tidak mengambil keuntungan dari penjualan koran. Biaya produksi surat kabar ditalangi dari biaya iklan. Sebagian dari keuntungan itu dipakai membayar redaktur, termasuk redaktur sastra. Redaktur sastra tidak dibayar oleh penulis karya sastra. Meskipun si pekarya itu tiap minggu ada juga yang rajin membeli surat kabar. Pekarya sastra yang karyanya dimuat juga diberi imbalan oleh surat kabar. Jumlah dan cara pembayarannya macam-macam. Ada yang dikirim langsung ke rekening dengan jumlah yang amat pantas, ada yang membuat si pekarya malas datang ke kantor redaksi karena terlalu kecil.
/6/
Seorang pekarya sudah sepantasnya berlaku sebagai penapis awal dan paling kejam atas karyanya sendiri. Hal itu sudah dicontohkan oleh Sutardji, Afrizal Malna, Sutardji, Joko Pinurbo dan Chairl Anwar. Sutardji dan Afrizal kita tahu memusnahkan karya-karya awalnya. Joko Pinurbo dan Sapardi juga belum atau tidak akan pernah menyiarkan karya-karya awalnya. Chairil? Dia bahkan menganggap sebagian karyanya belum mencapai tarap puisi, dan dia terus menggali, menapis serapat-rapatnya hingga dihasilkan sajak yang benar-benar bermutu.
/7/
Siapakah penikmat karya sastra? Siapakah penikmat puisi dan cerita pendek Indonesia di surat kabar minggu itu? Budi Darma di awal tahun 1980-an menyebutkan publik sastra Indonesia sebenarnya adalah ya pekerja sastra itu sendiri. Jadi, orangnya ya itu-itu juga. Budi Darma menyebutkan para pembaca karya sastra yang juga pekarya sastra itu adalah para pembaca sepintas lalu. Mereka membaca dengan pamrih. Mereka ingin melihat bagaimana caranya agar karyanya dimuat. Mereka ingin jadi sastrawan juga. Perlu dilakukan penyigian untuk membantah atau menguatkan pendapat Budi Darma itu kini.
/8/
Jadi, apakah para redaktur sastra itu memilihkan karya sastra seperti apa yang dibaca untuk dibaca oleh para pembaca sepintas lalu itu? Tidak. Dia juga memilih karya yang sekiranya akan disukai oleh sebagian besar pembaca surat-kabarnya. Dia juga kadang tergoda untuk menampilkan karya-karya teman dekatnya, atau teman-teman kelompok diskusinya. Saya pernah menduga suatu ketika para redaktur surat kabar seakan "berlomba" ingin "menemukan" penulis yang baru, yang perempuan, dan yang belia. Saya pernah melihat ada kecenderungan para redaktur-redaktur "memanjakan" para penulis yang karena keyakinan politiknya sekian lama tersingkir ke luar negeri.
/9/
Jadi, redaktur sastra juga manusia. Dia bisa salah memilih, dia juga bisa punya naluri yang bagus mengendus karya sastra bermutu. Itulah yang diharapkan, dan itulah yang menyehatkan kehidupan sastra di Indonesia. Redaktur sastra boleh dan memang harus subyektif. Dia harus punya rasa seni yang peka. Seni sastra memang punya tolok ukur. Kadar kebagusan karya bisa dikaji, tapi bukankah ia tidak bisa tepat diangkakan, diberi ponten? Ini estetika, bukan statistika.
/10/
Saya kira, surat kabar umum dengan redaktur sastranya bukanlah sumber masalah bagi sastra Indonesia. Keduanya adalah berkah. Majalah khusus sastra harusnya lebih banyak terbit di Indonesia, kata Taufiq Ismail, penyair yang kini mengelola majalah sastra Horison. Padahal dengan hitungan bisnis sederhana sekalipun, majalah sastra tidak menjanjikan kecerahan laba. "Pemerintah harus peduli dan memberi subsidi pada majalah sastra," kata kita. Sejak kapankah kalimat seperti itu sudah diteriakkan? Apakah teriakan itu dipedulikan? Jangan cengeng. Negeri ini punya sejumlah masalah besar dan terus membesar yang - menurut mereka, orang-orang yang sedang berkuasa - jauh lebih penting ditomboki daripada membiayai sastra yang orang-orangnya sibuk dengan kehebatan diri sendiri berdebat sesama mereka saja.
/11/
Surat kabar dan majalah sastra bukan satu-satunya penentu kesemarakan kehidupan kesusasteraan. Sekarang internet sudah menjadi bagian kehidupan sebagian dari orang Indonesia. Sastrawan pun bisa memanfaatkan teknologi ini. Ada yang melihat internet sebagai jalan keluar dari ketatnya penapisan karya sastra di surat kabar dan majalah sastra. Ada yang mengatakan selamat tinggal pada surat kabar setelah internet datang. Nyatanya, internet sejauh ini tidak membunuh media cetak. Ada alasan keduanya hidup saling melengkapi dan saling menyempurnakan.
/12/
Benar bawah internet memungkinkan pekarya langsung bisa berhubungan dengan penikmat karya tanpa perantara redaktur. Saya punya weblog. Saya ikuti beberapa komunitas diskusi berbasis surat-e (mailing list/milis). Pembaca yang tahu alamat blog itu bisa langsung membaca karya saya, yang sudah saya seleksi dan saya tampilkan di blog saya itu. Anggota milis bisa membaca karya yang saya kirimkan. Karya yang tidak lolos penapisan saya sendiri dan saya putuskan untuk tidak tersimpan di komputer saya saja tidak akan sampai ke pembaca. Ini tidak atau susah bisa terjadi di koran. Tapi siapakah pembaca karya saya itu? Ada satu dua orang yang saya kenal. Ada satu dua orang yang berkomentar, memuji dan sebagian ada juga yang menguji. Sebagian besar cuma berbasa-basi, sebagian lagi makiannya tidak saya mengerti.
/13/
Berapa banyak orang mengunjungi blog saya? Saya bisa tahu dengan memasang peranti lunak pencatat. Apa yang membuat orang berkunjung ke blog saya? Tentu mutu karya dan kekerapan saya memajang karya baru di blog saya. Saya terdorong untuk terus menerus berkarya, ketika melihat tiap hari angka kunjungan di blog saya bertambah. Tapi itu bukan satu-satunya dorongan. Saya bisa tahu berapa jumlah anggota milis yang saya ikuti. Saya bisa bayangkan beberapa di antara anggota itu rajin membaca karya saya, sebagian tidak peduli, sebagian lagi tidak suka. Apa bedanya itu dengan surat kabar? Misalnya karya saya suatu saat dimuat, saya tidak mungkin berharap semua pembeli surat kabar itu membaca karya saya. Apa yang membuat karya saya di surat kabar itu dibaca orang? Tentu karena kualitasnya.
/14/
Pujian, komentar, ujian, cercaan dari pembaca karya saya di blog dan milis ada yang saya abaikan, ada yang saya perhatikan, ada yang saya pertimbangkan benar-benar. Semuanya pada akhirnya sadar atau tidak mengemudikan saya untuk terus menulis dan membenahi kualitas karya saya. Hal yang sama terjadi ketika sebuah surat kabar memuat, tidak memuat atau belum memuat karya saya, meskipun saban minggu saya terus-menerus mengirimkan karya saya. Jadi internetkah, atau surat kabarkah, dengan redaktur penapis atau saya tapis sendirikah, pada akhirnya sama saja. Media cuma sarana, dan itu bermanfaat buat saya bila pada akhirnya saya terdorong untuk menulis lebih baik, lebih baik dan lebih baik lagi. Berkaryalah, siarkan di internet, atau kirim ke surat kabar, tanpa takut ditapis, tanpa takut ditepis.
/15/
Saya sependapat bahwa media internet punya beberapa keunggulan yang juga bisa dianggap sebagai berkah bagi sastra. Di internet saya bisa meringkas waktu pertemuan. Saya bisa bergabung dengan sebuah komunitas, berdiskusi, saling maki, saling puji, atau sekadar melontarkan basa-basi tanpa harus dan mungkin tidak akan pernah bertemu langsung wajah per wajah, sesuatu yang semakin susah saya lakukan di dunia nyata. Pertemuan-pertemuan seperti itu penting. Gerakan Imajis di Inggris dihasilkan dari pertemuan rutin berkala sejumlah penulis di London. Saya bayangkan, pertemuan yang disaranai dengan internet berfaedah bila ia juga dapat menggairahkan diskusi, dan anggotanya terdorong terus-menerus untuk menghasilkan karya lebih banyak dan lebih bermutu. Atau bahkan kelak juga sebuah gerakan estetis?
/16/
Sastra di blog juga menghadapi proses penapisan. Pengklik blog adalah para pembaca bebas. Mereka juga umumnya tukang blog juga. Blog-blog bersaing. Blog puisi bersaing dengan blog puisi lain dan blog lain yang bukan puisi. Blog, sebuah sarana yang dimungkinkan oleh internet, akhirnya juga hanya sebuah media yang berbeda dengan surat kabar. Ia punya kelebihan dan punya kelemahan, dan tidak serta merta bisa dikatakan blog telah menyelesaikan semua masalah sastra di surat kabar. Internet memungkinkan siapa saja bisa mengakses blog, dan itu juga masalahnya, sebab tidak semua orang punya akses ke internet. Internet dengan blog yang lahir daripadanya menawarkan pilihan, memperkaya, dan pasti juga menawarkan kemungkinan estetika untuk dimanfaatkan, digali yang kelak karakternya berbeda dengan surat kabar. Semua tergantung pada pekarya, pada kreativitas dan daya cipta. Surat kabar dan internet hanyalah alat, hanyalah tempat, hanyalah media.
Catatan:
1. Penulis adalah Pemimpin Redaksi PUISINET (www.puisi.net). Karya puisi di situs web yang diongkosi uang dari kantong pribadi TS Pinang (www.titiknol.com) itu ditapis dulu sebelum dimuat.
2. Tulisan ini saya posting di beberapa milis, saya muat di weblog saya SEJUTA PUISI (www.sejuta-puisi.blogspot.com), dan saya kirim ke surat kabar dan tentu harus ditapis oleh redaktur surat kabar itu sebelum dimuat atau tidak dimuat dan kemudian dikembalikan.