Friday, August 26, 2011

The Last Song of an Almost Disbanded Band

LOVE is sometimes not getting any easier, is it?

We broke the frame of a kite, in a windy fusion
For too long it just might, the black string was loosened

Dangled and whirled lightning, in the sky,
can no more be at sight, I want to twirl the untied:
before all blurs that cannot be right...

The rain is tears falling without amend yet already tasteless in the end

Love is sometime not always arrive, is it?

"I want to cry" you said. I may soon become at ease, as
I listen and listen, to the last song that is about to cease
a three-quarter hearted masterpiece, by an almost disbanded band.

Tuesday, August 23, 2011

Romance of Whoever

THIS life, our life, is no longer a hilly terrain,
behold a hundred yards coconut tree, its fruits have long fallen,
Nowadays caring for buds, cunts & cocks.

*

We can only patiently exchange:
You, with your loneliness, which i can never comprehend,
Me, with my misery, which you had never own.

Like a cafe which name I couldn't care less,
we are worried customers, who are not sure, 
how come we reach here and why still at this table we long linger.

Searching for something between the coffee glasses perhaps, 
or  the search engine, til we go on our own. Alone.

Until the sight begin to sore. 
Don't know which why one becoming thick blur,
the dusking air, or the salty tears,
O,  why,  this cafe keep playing the Kahitna song in row.

I just keep this string of jasmine,
which i imagine I would crown upon your hair.

You might wait for the clock to keep ticking,
to watch the cinema on a screen which will 
eventually bring u back the lonely feeling,
which all these while u have been keeping.  


*

O, this life, words that we will never comprehend,
and the dictionary, long untouched by our hands.
 
(Translated by Lara Nur)

The Honey

EVEN BEFORE missing me, he has already forgotten how
As on his first day the dawn breaks a bow

He ruffles his wings to dry it to the hilt
At the beads of dew that heats up his guilt

He remembers his Lover like the sweet smell of nectar
Hiding at the bottom where the blooming flowers are

The fairytale is new, he was a larva
Unaffected by light, for he has no sight
 
Like a door, the petal threw away its key
Allowing this feeling of longing, to blame the heart as can be

The white polens are secret lips of a Lover
But its tongue is numb, its sweetness falters

The waving branch is the Lover's beckons
Calling him with a voice, the megavoice of silence

He will only return, when a dew is sugary
Dot sprinkled song, from an ocean-wide honey

On his wings, time fluttered and stayed,
He did not refuse, and the days are used

He did not care, how many flowers he had hit
The buzz soon went quiet - marking it

Is a Lover the shadow of day?
The finger wind, points at the pollen

Is a Lover the silence that may?
Fly around thrice the world is taken

Is a Lover blunt within him?
An avatar - who finds and no longer hunt

Once there, he might not have been there
Only another body, to continue its affair

Picking up sugar clarity, a secret sweet
Before the flower falls, and fruit takes no heed
His wings will wither, and so much further...

When he is gone, he might be forever
In Honey, that touches the tongue of his Lover


(Translated by Gilda Sagrado)

MATHEMATRIXS

stOne plus stOne times stOne minus stOne divided by stOne equals to how many are your amount sheep
stOne plus stOne times stOne minus stOne divided by stOne equals to how many are your shepherd sheep
stOne plus stOne times stOne minus stOne divided by stOne equals to how many years old are you sheep
stOne plus stOne times stOne minus stOne divided by stOne equals to how many are your pastures sheep
stOne plus stOne times stOne minus stOne divided by stOne equals to how many are your suns sheep
stOne plus stOne times stOne minus stOne divided by stOne equals to how many are your cages sheep

stOne plus stOne
stOne times stOne
stOne minus stOne
stOne divided by stOne

sheep

how man y
are
your
necks

how man y
are
your
hamstrungs

how man y
are
your
bloods

(Translated by Gilda Sagrado)

Ballad of Whoever

HE breathes with a harmonica, distraught imagining
poetry, the last poet's poem, of death & a new beginning.

This is like a ballad of whoever, like an adventurer
finding a map to a lost ether, then he gave his word to stay,
leaving his name there, forever.

Inhaled and exhaled song will occur, as he
kissed a lover's lips on the harmonica.

Always it makes him eye his close a little deeper.

This is like a ballad of whoever, and it referred
to what most likely (and most unlikely)
he will sing endlessly about Love & Silence.

Love because he has dared to dream of a dream
Silence because he knows he will return to whoever he has been

Both gives birth to his breathing song on the harmonica,
the lover's lips kissing a deeper longer hunger.


(Translated by Gilda Sagrado)





Wednesday, August 17, 2011

[kolom] Atas Nama Bangsa Indonesia….



JEPANG
menyerah kepada sekutu. Hatta sudah mendengar perkiraan itu beberapa hari
sebelumnya saat ia berada di Singapura. Sjahrir pada hari itu mendengar
beritanya disiarkan oleh radio.  Di
Jakarta, pemerintah pendudukan Jepang sudah membentuk Panitia Persiapan
Kemerdekaan (PPK). Lewat lembaga ini Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi
Indonesia. Sukarno ketuanya. Tapi, kekalahan Jepang datang leih cepat dari yang
diperkirakan.

Sjahrir melihat peluang lain: kemerdekaan Indonesia harus
segera dinyatakan lewat radio ke seluruh dunia oleh Sukarno sendiri sebagai
pemimpin rakyat atas nama rakyat Indonesia. Sjahrir menganggap jika kemerdekaan
terus diupayakan lewat PPK sama saja bangsa ini bergantung pada Jepang. 
Hatta setuju bahwa kemerdekaan Indonesia harus dinyatakan
sesegera mungkin. Tapi ia tak setuju pada ide Sjahrir agar Sukarno bertindak
langsung diluar PPK. Ia juga yakin Sukarno tak akan setuju dengan jalan  itu.
Hatta dan Sjahrir kemudian menemui Sukarno. Usulan Sjahrir
dibentangkan. Benar saja, Sukarno menolak. Ia 
merasa tidak berhak bertindak sendiri, karena hak itu adalah tugas
Panitia Persiapan Kemerdekaan di mana dia menjadi ketuanya.
"Alangkah janggalnya di mata orang, setelah kesempatan
terbuka untuk mengucapkan kemerdekaan Indonesia, aku bertindak sedri melewati
Panitia Persiapan Kemerdekaan yang kuketuai," kata Sukarno.
Langkah terpenting saat itu adalah memastikan benarkah
Jepang telah menyerah kepada tentara sekutu. Berdua, Sukarno dan Hatta menemui
Admiral Maeda. Semenit lamanya sang admiral terdiam, sebelum menjawab bahwa
memang demikianlah yang telah secara resmi diumumkan oleh sekutu.
"Akan tetapi kami belum memperoleh berita dari Tokyo.
Sebab itu berita tersebut belum kami pandang benar. Hanya instruksi dari Tokyo
yang menjadi pegangan kami," kata Admiral Maeda.
Tapi itu sudah cukup bagi Hatta dan Sukarno: mereka yakin
Jepang sudah kalah. Kepada Sukarno,  Hatta – seorang adminitratur dan penata organisasi
ulung itu -  mengusulkan besok harinya,
tanggal 16 Agustus 1945 segera digelar rapat PPKI. Jam 10.00.  Tempat Hotel des Indes. Peserta rapat adalah
seluruh anggota PPK yang saat itu sudah lengkap semua berada di Jakarta.
Sukarno dan Hatta pun segera pulang ke rumah masing-masing.
Kabar takluknya Jepang merebak cepat.  Sore tanggal 15 Agustus itu dua pemuda yaitu
Subadio Sastosatomo dan Soebianto Djojohadikoesoemo, datang ke rumah Hatta.
Keduanya mendesak agar Hatta meminta kepada Sukarno untuk segera mengumumkan
kemerdekaan Indonesia, seperti usulan Sjahrir, dan mengabaikan upaya
kemerdekaan lewat PPK. Hatta tetap pada pendapatnya, lagi pula sebuah rapat
penting besok pagi sudah disiapkan.
Ketidaksabaran dan harga diri meninggi di kalangan pemuda saat
itu. Malam harinya ketika Hatta mengetik naskah Proklamasi  (bukan naskah yang kita kenal saat  ini) yang akan dia usulkan dalam rapat PPK
esok harinya, Mr Subardjo datang ke rumahnya. 
Hatta diajak ke rumah Sukarno yang sedang dikerumuni pemuda yang mendesak
agar ia memproklamasikan segera kemerdekaan  malam itu juga.
Sukarno tetap berkeras mengikuti proses yang sudah
disiapkan.  Jepang besok pagi, 16
Agustus, akan membuat pernyataan memerdekakan Indonesia.  Setelah itu, PPK akan bersidang melaksanakan
kemerdekaan tersebut, mengesahkan rencana Undang-undang Dasar yang sudah
disiapkan oleh Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan, memilih kepala
pemerintahan, dan kemudian mengatur strategi untuk mempertahankan kemerdekaan
agar tak direbut kembalil oleh Belanda yang akan datang membonceng sekutu.
Perdebatan memanas. 
Wikana, salah seorang pemuda meminta dengan ancaman, “Apabila Bung Karno
tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu mala mini juga, besok pagi
akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah.”
Sukarno naik darah. Ia datangi Wikana, dan sambil menunjuk
lehernya sendiri  ia menghardik. “Ini
leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga,
jangan menunggu sampai besok.”
Sejarah bangsa ini kemudian mencatat sebuah tindakan gegabah
pemuda  yang menggagalkan rapat PPK
tanggal 16 Agustus 1945. Subuh itu Sukarno dan Hatta diculik, dibawa ke
Rengasdengklok.  Sukarno tak mau menuruti
keinginan para pemuda. Para pemuda itu juga tak ingin ada rapat PPK, karena
jika itu terjadi maka kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Jepang. Begitu
mahalnya sebuah harga diri bangsa tertanam di dada para pemuda itu.
Skenarionya adalah: jam 12.00 siang itu, 15 ribu rakyat akan
menyerbu kota, bersama mahasiswa dan Peta melucuti Jepang. Sebuah skenario
nekad dan berdarah!  Di Rengasdengklok  Sukarno dan Hatta dalam jagaan para pemuda
meneruskan  pimpinan Pemerintah Republik
Indonesia.  Upaya Hatta mencegah
penculikan itu sia-sia.
“Itu sudah menjadi keputusan kami semua dan tidak dapat
dipersoalkan lagi. Bung ikut saja bersama Bung Karno pergi ke Rengasdengklok,”
kata Sukarni.
Tak ada kecamuk lain dalam pikiran Hatta kecuali bahwa
pernyataan kemerdekaan Indonesia gagal diselenggarakan.  Rapat PPK tak terselenggara. Padahal itulah
rapat terpenting, dan merupakan puncak dari rangkaian rapat sebelumnya
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.  Dan
di Jakarta tak terjadi apa-apa. Tak ada rakyat yang melucuti tentara Jepang.
Malam itu, pukul 20.00 Sukarno dan Hatta kembali ke Jakarta.
 Suasana serba tak pasti, tapi langkah
cepat dan tepat diamil. Seluruh anggota PPK yang batal rapat, dan masih
menginap di Hotel des Indes dibawa semua ke rumah yang dipinjamkan oleh Admiral
Maeda.  Rapat dimulai pukul  00.00, pada jam itu, pihak hotel melarang
mereka menggelar kegiatan apapun termasuk rapat.  Hari sudah masuk ke tanggal 17 Agustus 1945.  “Itu kewajiban saya yang mencintai kemerdekaan
Indonesia,” kata Admiral Maeda yang merelakan rumahnya dipinjamkan untuk rapat
PPK.
Tapi, lain Maeda lain Nishimura. “Apabila rapat itu
berlangsung tadi pagi, kami akan bantu. Akan tetapi, setelah tengah hari, kami
harus tunduk kepada perintah sekutu dan tiap-tiap perubahan status quo tidak
dibolehkan. Jadi,s ekarang rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ini
terpaksa kami larang!” Tapi, kali ini Sukarno dan Hatta tak terhalang.  Maeda diam-diam meninggalkan rumahnya
sendiri. Di rumah itu, kira-kira 40-50 orang menggelar rapat mahapenting:  bagaimana menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Di jalan di luar rumah para pemuda menonton dalam ketegangan masing-masing
menunggu hasil pembicaraan.
Di dalam rumah, setelah beberapa saat pembicaraan, penegasan
sikap terhadap penolakan Jepang yang tak mau lagi mengakui kemerdekaan
Indonesia, Sukarno mengajak Hatta ke sebuah ruang tamu kecil bersama Subardjo,
Soekarni, dan Sayuti Melik. Di ruang itulah teks  proklamasi dirumuskan.
“Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkasa itu sebab
bahasanya kuanggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama.
Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muda singa lengkap yang sudah
hadir di ruang tengah,” kata Sukarno.
Hatta  berkata kepada
Sukarno, “Apabila aku mesti memikirkannya, lebih baik Bung menuliskan, aku
mendiktenya.”  Mula-mula Hatta  memetik kalimat pertam dari akhir aline
ketiga rencana Pembukaan UUD:  Kami bangsa Indonesia  dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.  Lalu bagaimana revolusi kemerdekaan itu
dilaksanakan? Hatta mendiktekan kepada Sukarno: 
Hal-hal yang mengenai pemindahan
kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo
yang sesingat-singkatnya.
Di depan sidang, subuh itu, Sukarno membacakan rumusan
proklamasi itu berulang-ulang, dan berhati-hati. Beberapa kali dia bertanya
dapatkan rumusan itu disetujui? Setelah gemuruh kata setuju dikumandangkan
rapat pun ditutup dengan satu tambahan kesepakatan atas usulan Sukarni agar hanya
Sukarno dan Hatta yang menandatangani naskah itu atas nama bangsa Indonesia.
Subuh itu juga, kepada Burhanuddin  Diah, salah seorang pemuda wartawan yang
hadir, Hatta meminta agar teks proklamasi itu diperbanyak dan dikawatkan ke
seluruh dunia mana saja yang mungkin dicapai dengan teknologi komunikasi saat
itu.  Teks itu dibacakan pukul 10.00 17
Agustus 1945, di halaman rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56, di hadapan
rakyat  Indonesia. ***

Friday, August 12, 2011

Beberapa Baris Aforisme

1.  KAU dinding kurambati. Tegak meninggi. Aku liana tak bersulur. Kita bicara dalam bahasa akar. Aku memucuk seulur-seulur.

2. TANAM diri dalam sunyi, pada tanah meredam bunyi. Biarkan akar yang mencari, lalu nanti bunga yang bilang, kami telah temukan diri kami.

3. AKU tunas kecil pada  pohon besar-Mu. Tumbuh dengan air yang kau kirim dari akar-Mu. Ternaung di kerimbunan-Mu. Berdaun dengan kehijauan-Mu.

4. KALAU kita bertemu nanti, kucapai pucuk-Mu tinggi, tak akan ada doa lagi. Aku telah berbatang di dinding-Mu. Daunku adalah daun-Mu!

Wednesday, August 10, 2011

Dari Ruang Kendali Tata Cahaya

IA jatuh dari tapa, ia yang jauh dari doa,
Seorang lelaki mau menolak bisik hati

Udara yang berduri, meluka di nafasnya

Ia hanya terperanjat pada ranum cahaya
yang memetik mata, yang memercik muka

O, darah bara, seunggun arang menyala,
Ia menari, menyalalah api di kedua kaki 

Adegan yang Tak Ada di Panggung Itu

KITA akan  bawa belati , menghunuskannya ke mimpi
Kita tak akan debat lagi kemana anak dan kuda pergi

Kita di panggung para nabi, tapi kini Tuhan tidak lagi
mengirimkan wahyu-Nya. Ia juga tak bertepuk-tangan
untuk kehebatan kita berpura-pura, memuji-muji Dia

Kita, kuyup dihujani pertanyaan sendiri. Titian hidup kita,
licin dan menggelincirkan. Lepas-hempas segala warisan

Sunday, August 7, 2011

Tuesday, August 2, 2011

The Magic of Stage

(Catatan Seorang Aktor Karbitan yang Langsung Kapok)

BUTET Kartaredjasa menyebutnya The Magic of Stage, Sihir Panggung. Saya merasakannya semalam, dan saat saya tuliskan kolom ini, saya sedang dalam persiapan untuk merasakannya lagi di malam kedua.

Ya, saya menambah satu pengalaman hidup lagi: jadi aktor – dan buru-buru harus ditambah ‘karbitan’. Ya, saya aktor karbitan. Saya dapat peran kecil di pentas Mak Jogi – Hikayat Jenaka untuk Indonesia. Saya menjadi penyair Kerajaan Sepancungan Daun bernama Raja Ali Hasan.  Saya harus menelepon adik lelaki saya yang semasa mahasiswa di kampusnya dahulu ia menjadi aktor, memimpin teater, menulis naskah dan menulis naskah.  Sialnya, dia hanya tertawa terbahak-bahak, sama sekali tak mau memberi saya sekadar tips. Sialan. 



“Kalau dulu ada Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam 12, sekarang di kerajaan ini ada Raja Ali Hasan dengan Gurindam ST 12,” kata Juru Cerita dan asistennya, memperkenalkan apa peran saya kepada penonton.

Betul, ini hanya peran kecil di tengah lesatan-lesatan terang para bintang besar: Tom Ibnur dan Didik Nini Thowok, keduanya dua maestro tari Indonesia; Hendri Lamiri, pemain biola dengan liuk badan dan sayatan anggun yang lagu-lagunya bersama grup Arwana sangat saya gemari; Agus PM Toh, pendongeng dari Aceh yang sepanjang tahun punya jadwal tetap mendongeng dan mengajar di berbagai Negara di Eropa; Trio Gam yaitu Gareng, Joned dan Wisben, komedian paling dagel dari Yogyakarta; dan Efendi Gazali, pengajari ilmu komunikasi, wabilkhusus komunikasi politik yang integritas kecendekiawanannya tidak terbeli oleh penguasa. 

Saya tampil di dua adegan saja, dari 14 adegan lakon tersebut. Peran saya ya, tak jauh-jauh dari sosok penyair, berpantun, bersyair, karena itu saya anggap tidak berat. Tidak berat? Ternyata saya salah besar.  Bahkan untuk tampil selintasan pun, kita harus bersiap seakan ikut dalam seluruh bagian adegan. Karena peran kecil kita menjadi bagian dari semua rangkaian pertunjukan tersebut.

Untuk dipentaskan selama dua malam, tim produksi harus menyewa panggung untuk empat hari. Dua harinya dipakai untuk latihan. Itu sebabnya, memproduksi sebuah pertunjukan teater bukanlah sesuatu yang murah.  Butet dan kawan-kawan beruntung dapat menggandeng Djarum yang sejak 1972 punya program Apresiasi Budaya, juga banyak sponsor lain. Apakah itu cukup? Tidak. “Setiap kali pentas ibaratnya saya harus nombok dengan menjual satu Avanza,” kata Butet. Wah!

Mak Jogi adalah bagian dari rangkaian produksi teater Indonesia Kita yang digarap oleh satu tim kreatif yang digagas oleh raja monolog Butet Kartaredjasa, Djadug Ferianto, dan Agus Noor. Mak Jogi adalah produksi keempat, setelah Laskar Dagelan, Beta Maluku, dan Kartolo Mblalelo. Semuanya digelar di tempat yang sama yaitu Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Bagaimana saya bisa terlibat di pentas itu? Karena jaringan pertemanan. Inilah keampuhan jaringan. Bagaimana saya bisa berkawan dengan Butet? Djadug? Dan Agus Noor? Karena kami berada di satu ranah yang sama: kesenian. Lalu pertemanan itu dimudahkan lagi oleh berbagai media sosial, seperti Twitter (tanggal 26 Juli kemari ada satu akun pengingat yang menggamit saya, menyebutkan pada hari itu usia akun twitter saya @haspahani tepat empat tahun).  Saya bisa menyapa akrab mereka, mengucapkan selamat pagi, seperti dua orang saling bertetangga dan berbincang lewat jendela yang terbuka.   

Maaf, saya tidak sedang hendak mengangkuhkan luas jejaring pertemanan saya – yang sebenarnya tidak luas-luas amat. Saya hanya ingin berbagi pendapat bahwa jejaring seperti itu bermanfaat, dan kita, siapa saja kita, bisa membangunnya.


*

Mak Jogi adalah pertunjukan dengan roncean banyak cabang kesenian. Ada tarian yang dibawakan dengan memukau oleh penari-penari dari IKJ, dan fragmen cerita. Latihan masing-masing bagian itu terpisah-pisah, terpenggal-penggal. Ini kesulitan pertama saya sebagai aktor karbitan. Susah membayangkan bagaimana kelak pertunjukan itu dirangkai.

Latihan untuk pertama, tidak diikuti oleh seluruh pemain. Ini kesulitan lain buat saya. Bagaimana nanti bentuk adegannya ketika seluruh pemain hadir lengkap. Hanya beberapa jam sebelum pertunjukan yang sesungguhnya pukul 20.00 WIB, tepatnya pukul 14.00 WIB, percobaan menyatukan seluruh adegan digelar. “Ini tidak akan dipotong. Kita ingin tahu durasi pertunjukan,” kata Djadug. 

 Maka, mainlah kami dengan segala kekurangan dan salah di sana-sini. Dialog lamban, gerak pemain tumpang-tindih, improvisasi dialog yang berulang-ulang, dan durasi yang molor. “Dua jam 24 menit. Masih molor. Harusnya dua jam saja,” kata Djadug dengan suara menggelegar.

Butet dan Agus Noor lalu mengevaluasi. Mereka memberi koreksi orang per orang. Saya misalnya. Dianggap kurang flamboyan di panggung layaknya seorang penyair. “Coba bayangkan Rendra!” kata Agus Noor mengarahkan saya. Butet kepada kami yang tampil dalam satu adegan mengingatkan agar kami menjaga membangun emosi dari adegan ke adegan. Kalau tidak ada emosi, kata Butet, tidak ada dinamika. Kalau tidak ada dinamika, tak ada irama, kalau taka da irama tak muncul karakter. Ah, pelajaran singkat tentang berlakon dari maestronya. Catat!

“Tapi, jangan terlalu cemas. Tetap santai, tapi konsentrasi saja ke peran masing-masing. Nanti di panggung dengan reaksi penonton pasti semuanya keluar potensinya,” kata Butet.  Maka, saya yang amatir ini sampai menit-menit  terakhir menjelang naik panggung masih belum yakin apakah bisa berperan dengan baik atau tidak.   

Lantai panggung Graha Bhakti Budaya TIM bukanlah asing buat kaki saya. Bersama Husnizar Hood, Ramon Damora, Peppy Chandra, dulu, di tahun 2007, kami sama-sama tampil baca puisi di tempat yang sama.  Tapi, baca puisi bersama-sama yang masing-masing tampil personal, berbeda dengan teater yang menuntut peran kita sekecil apapun harus menyatu dengan seluruh bagian.

Hasilnya? Sebagaimana rangkaian Indonesia Kita sebelumnya,  pentas Mak Jogi malam pertama sukses. “Kalian luar biasa!” kata Butet usai pentas di belakang panggung.  “Ini yang saya bilang The Magic of Stage. 50 persen energi aktor terserap dari penonton,” katanya. 

Saya membayangkan mungkin begitulah caranya – dengan sihir panggung itu - Butet menaklukkan naskah, menguasan panggung, dan memukau penonton saat ia tampil bersama Teater Gandrik, dan terutama saat dia sendiri bermonolog. Monolog artinya tampil sendiri selama dua jam. Aduh, bagaimana caranya menghafal naskah untuk tampil selama dua jam itu? Saya sendiri hanya tampil dengan dialog pendek dan empat pantun serta dua bait syair minta ampun susahnya menghafal.


*

Dan akhirnya saya harus katakana: saya kapok main teater. Saya kapok jadi aktor karbitan. Teater adalah muara besar dari semua cabang seni. Karena itu melelahkan sekali jika kita terlibat di situ, lelah jiwa raga. Jiwa dan raga saya tidak di situ. Saya tidak membenci teater, saya justru setelah kekapokan ini akan sangat menghargainya, dan mencintainya dengan kadar yang berlipat-lipat. I love you, teater! ***





Monday, August 1, 2011

Damaskus

ENGKAU lalu singgah sebentar, di kedai gadis manis penjual bingkai

Dan menawar waktu yang mengini dengan harga yang murah sekali:
Kenapa, menara-menara, seperti tak pernah beranjak dari masa lalu?