Wednesday, December 31, 2003

[Kata Pujangga] Percy Bysshe Shelley






PENYAIR adalah burung bul-bul, yang duduk di kegelapan dan bernyanyi merayakan kesunyiannya dengan suara merdu; pendengarnya adalah orang yang terpikat melodi yang dilagukan pemusik yang tak tampak, dia merasa tergerak dan tersentuh lembut, walau tak tahu dimana itu pernah dirasakannya dan juga tak tahu kenapa sebabnya.

[Kata Pujangga] Prosa Terbaik, Penuh Puisi: Virginia Woolf






Ya, betul sekali, puisi itu lezat; karya prosa terbaik adalah yang nyaris seluruhnya diisi penuh dengan puisi.

[Kata Pujangga] Menzalimi Puisi, Joseph Brodsky






Pada karya-karya para penyair terbaik Anda bisa bertemu dengan sensasi bahwa mereka tidak lagi berbicara kepada manusia, atau kepada yang gaib. Apa yang mereka lakukan adalah percakapan sederhana dengan bahasa itu sendiri -- dengan seperangkat aspek berbahasa seperti keindahan, sensualitas, kebijakan, ironi -- yang diberdayakan oleh penyair sebagai cermin jernih.



Puisi bukan sebuah seni atau cabang dari seni, dia sesuatu yang lebih melampaui. Yang membedakan kita dengan spesies lain adalah berbicara, maka puisi yang merupakan laku tertinggi dari berbahasa, adalah sasaran antropologis manusia terlebih dari aspek genetis. Siapa saja yang memandang puisi sebagai sebuah hiburan, sebagai sebuah "bacaan", berarti telah melakukan kejahatan antropologis, dan yang pertama dizaliminya adalah dirinya sendiri.***

[Kata Pujangga] Penyair, Seperti Kita: Elizabeth Drew






Kita membaca puisi karena penyair, sama seperti kita, dihantui oleh tiran yang tak bisa kita hindari yakni waktu dan maut; karena penyair didera sakit karena kehilangan, terlebih oleh frustasi dan kegagalan; karena penyair punya keinginan yang tak tertampakkan akan kebebasan dan kedamaian. Penyair tahu hal itu dan melihatnya dalam diri mereka dan dalam diri orang lain.

Tuesday, December 30, 2003

[Ruang Renung # 51] Puisi Lama, Puisi Baru: Pantun Namanya

     ADA banyak bentuk puisi lama yang dipakai oleh pujangga-pujangga dahulu. Ada talibun, ada gurindam, ada pantun, ada pantun berkait, ada bidal, kwatrin, soneta dan beberapa bentuk lainnya. Dalam khazanah sastra lisan dan tulis Melayu lama pantun menempati tempat istimewa. Ini genre puisi yang khas dari budaya itu. Bentuk ini berlayar jauh hingga sampai dipakai juga oleh penyair di negeri eropa. Di Prancis mereka penyebutnya pantoum. Memang bentuk puisi ini di luar negerinya tidak sepopuler haiku yang dihasilkan budaya Jepang.

     TERHADAP pantun, dan bentuk-bentuk sajak lama lainnya, kita tidak usah memandang rendah, atau melihatnya sebagai bentuk yang out of date. Kita justru harus merasa tertantang untuk menaklukkannya tanpa merusaknya. Kita harus bisa memperbaharuinya sambil tetap bersetia padanya. Bukankah Chairil Anwar --- yang selalu dirujuk sebagai pendobrak, dan pengusung kebebasan bentuk dan tema dalam bersajak --- juga ada menulis sajak empat baris yang taat bunyi di ujung baris. Penyair itu menunjukkan keberhasilannya berjuangan menaklukkan konvensi, seperti disebut Sapardi. Sajak "Kabar dari Laut" ditulis dalam bentuk soneta. Sajak "Senja di Pelauhan Kecil" adalah bentuk kwatrin yang indah. Ada juga kwatrin yang telah diakali oleh Chairil seperti "Yang Terampas dan Yang Putus", di mana bait keempat ia pisahkan sehingga tampak seperti sajak yang tak patuh pada bentuk tetap apapun. Jejak kwatrin dengan rima a-b-a-b terasa apabila baris keempat itu digabung ke bait di atasnya.

     JADI? Apa alasan kita untuk meninggalkan atau memaki bentuk sajak lama atau sajak berbentuk tetap? Sajak bentuk bebas dan sajak bentuk tetap sama menantangnya untuk digelut-sendai.

     SEKADAR contoh, bagaimana sebuah pantun diutak-atik. Bagaimana bahasa dari khazanah pantun lama tetap dipertahankan, tapi suasana baru terbangkitkan. Baris terakhir, dalam pantun ini memang tidak tuntas kalimatnya, seperti tersirat dan memang ia menguatkan judulnya. Tetapi rimanya sudah lengkap: a-b-a-b. Ketentuan pantun dengan sampiran dan isi juga dipertahankan. Namanya juga pantun. Silakan menilik:



3 Pantun tak Tuntas



telah membusuk: setangkai sirih

kupetik pada cuaca yang salah

telah kau tusuk: sehunus pedih

ketika kau berbisik: "aku telah...."



sebelah pinang sekerat kenang

engkau sirih yang tak terkunyah

sembunyi di gelap selapis bayang

aku bertanya: "Engkaukah...."



berkanvas sirih engkau kulukis

berkuas jemari kulakar tatapku

bergegas sisa-sisa dengus kukais

sebelum nafas habis, lalu
....[hah]

[Kata Pujangga # ] Premium Call dan Puisi: Allen Ginsberg


PUISI bukanlah ekspresi seperti dalam perbincangan cabul premium call: Malam hari, berbaring di ranjang, memikirkan apa yang benar-benar kau pikirkan, lalu menyusun kata-kata yang pribadi untuk diucapkan ke publik. Meskipun begitulah pula yang dilakukan penyair.

[Kata Pujangga] Kredo Itu, Doktrin Itu, Joseph Brodksy






Bagi penyair, kredo atau doktrin bukanlah pintu masuk bagi kedatangan, tapi sebaliknya, itu adalah pintu keberangkatan ke perjalanan metafisis.

[Kata Pujangga] Mark Twain: Perang dan Bulan






Selalu menarik menyimak kisah perang yang dikisahkan oleh orang yang pernah ikut bertempur; Sementara itu, seorang penyair yang berkisah soal bulan, padahal ia tak pernah berada di sana, mungkin akan terasa menjemukan.

[Kata Pujangga] Mahkota Sastra, Puisi! -- W. Somerset Maugham






MAHKOTA sastra adalah puisi. Puisi adalah akhir dan tujuan. Puisi adalah aktivitas paling sublim dari pikiran manusia. Puisi adalah pencapaian keindahan dan kelembutan. Penulis prosa hanya bisa berjalan menyisi ketika penyair lewat melintas.

[Kata Pujangga] Penyair yang Menyerah, Stéphane Mallarmé






Karya sejati secara tidak langsung menunjukkan menghilangnya kemampuan bicara seorang penyair, yang telah menyerah kepada kata-kata.

HARI INI TAK ADA LAPORAN DARI ACEH *

HALO! Ya, di sini Kutaraja.



TAPI hari ini tak ada peristiwa yang layak dilaporkan.

Tak ada. Memang, tadi ada suara berondongan senjata

yang mual-mual lalu muntah peluru. Ada juga suara orang

tertembak. Ya, semacam itulah. Tapi sesudah itu sungguh

hanya ada sepi. Sepi yang membekas pada lubang peluru yang

menembus huruf Z pada papan pengumuman ZONA DAMAI,

di tepi jalan yang lengang setelah dilalui panser dan tank,

sepi yang menggigil di redam jam malam.



HALO! Ya, masih di sini. Di Kutaraja.



TAPI, hari ini masih tidak ada berita. Memang, tadi ada

lagi yang tertembak. Tentu saja luka. Tentu saja ada darah

panas yang tumpah. Tapi, setelah itu segera saja dingin

merembes ke tanah. Tewas? Mungkin saja. Tapi, nanti saja.

Kita pastikan jumlahnya. Memang tadi ada beberapa yang

terkapar lalu diselimuti dengan kain spanduk CoHA

(Kesepakatan Penghentian Permusuhan). Memang tak jelas lagi

terbaca tulisannya. Merah huruf merah darah terbancuh jadi

bercak-bercak bahang, lalu hanya amis yang mengeja udara.



HALO! Ya, masih di sini. Di Kutaraja.....



Mei 2003



* Puisi yang kutulis ketika Darurat Militer dimulai di Aceh, dan selama sebulan, setiap pagi aku menelepon Iwan B Mohan wartawan di surat kabar kami yang meliput di sana. Kabar duka cita Ersa Siregar tiba-tiba mengingatkanku dan membimbing aku kembali untuk membaca puisi ini.[HAH]

Mungkin Engkau Sisiphus Yang Berbahagia*

Sajak Nanang Suryadi



:h.a.



mungkin engkau sisiphus yang berbahagia. memanggul batu di punggungmu. dan menyebutnya sebagai rindu. mungkin pula cinta



dan kau gulirkan batu itu. dari puncak gegunung puisi.



mungkin engkau sisiphus yang berbahagia. kau dengar? camus tertawa.



* Dari nanangsuryadi.blogspot.com



Akulah Batu yang Memikul Sisiphus



Penyair, apa yang kalian tahu tentang Sisiphus? Ha, akulah batu yang memanggul dia dari lembah ke bukit dari gunung ke tebing tebing.



Dan kau tahu, penyair? Kami bergulingan bahagia saling memanggul dan tertawa-tawa karena gunung dan langit iri, tak bisa berjatuhan seperti kami. Ha! Apa kau tahu tentang batu, Penyair?



Apa yang kau tentang dirimu, Penyair?



Des 2003







Monday, December 29, 2003

[Ruang Renung # 50] Ke dalam Puisi, Biar Makna Datang Pergi

   ADA pembaca yang dengan nafsu memburu pesan dan makna ke dalam puisi-puisi yang dibacanya. Maka puisi dihadapinya seperti hewan buruan. Begitu pesan didapatkan makna diringkusnya, maka ia merasa telah menaklukkan puisi yang dibacanya. Puisi memang harus memiliki makna. Bila tidak? Dia akan jadi sia-sia. Tetapi makna itu tidak harus hadir seperti biji di dalam daging buah. Dia bisa hadir dalam rasa dalam daging buah ketika ia tergigit dan sarinya menyentuh syaraf lidah. Apapun rasanya, maniskah, asinkah, atau pahitkah. Jadi agak kurang adil juga kalau lekas menganggap puisi tidak bermakna apa-apa hanya karena -- ibarat buah yang terbelah -- kita tidak menemukan biji tepat di tengahnya. Jadi, jangan menghukum dengan kalimat, "Ini buah gumpa!" Buah itu tidak mandul, meski tak ada biji di dalamnya. Atau karena pahit rasanya. Bagi kita tidak, mungkin bagi burung atau ulat buah itu alangkah lezatnya.



   LALU ada penyair yang memanfaatkan puisinya sebagai penyampai pesan-pesannya. Dia ingin mengisi makna dalam puisinya dengan pesan-pesannya itu. Dia ingin pembaca membaca puisinya itu dan memaknainya seperti dia memaknai puisinya. Rasanya, ini juga sebuah bentuk ketidakadilan terhadap puisi. Justru, keasyikan menulis puisi itu bisa lebih asyik kalau kita sendiri menebak-nebak apa makna yang kelak menyelinap ke dalam puisi kita. Justru, puisi yang asyik, akan mengundang beragam tafsir karena memang tidak menutup dirinya pada makna yang tunggal. Bahwa kita pun juga bebas memaknai puisi kita sendiri ketika membaca kelak, meskipun tidak lagi mengulangi apa yang dulu menggerakkan kita ketika menuliskannya dulu. Ke dalam puisi, biarkanlah makna-makna ramai datang dan pergi. [hah]

[Kata Pujangga] Oscar Wilde






Penyair dapat bertahan dari apapun, kecuali salah cetak!



aku menyebutnya sebagai rindu, biar

di punggungku batu:

kau tak kuharap percaya

aku menyebutnya

sebagai rindu.



dari puncak gunung sepiku,

kuturuni hujan itu,

di punggungku batu:

kau tak kuminta percaya

aku menyebutnya

sebagai rindu.



ada yang sempat kupetik,

senyummu debu di dedaunan,

di punggungku batu:

kau tak kupaksa percaya,

aku menyebutnya

sebagai rindu.



hingga deras sungai

yang meminta, batu itupun

masih di punggungku,

kupeluk kudekap bersama

hujan yang mengepung.



aku menggigil:

kau mungkin mau tak percaya,

aku menyebutnya

sebagai rindu.



Des 2003





seperti puisi membatu di punggungmu



sajak Nanang Suryadi



mungkin

engkau

menyebutnya

rindu



aku

percaya



seperti

puisi

yang

membatu

di atas

punggungmu

itu.



* Sajak Nanang dipungut dari buku tamu situs ini.

pembaitan diselenggarakan oleh HA.




Sunday, December 28, 2003

Oda Bagi Tomat

Sajak Pablo Neruda








Jalanan

penuh berisi tomat,

tengah hari,

musim semi,

sinar terang

terbelah

bagai

sebuah

tomat,

saribuahnya

mengalir

menderas di jalanan.








Ini Desember,

takteredakan,

tomat-tomat

menyerbu

dapur,

dia datang waktu makan siang,

menyelinap

ke atas gerai dapur

di antara gelas-gelas,

mangkuk mentega,

biru toples garam.








Ia menanggalkan

cahayanya sendiri,

keagungan yang ramah.

Malangnya, kita mesti

membunuhnya:

pisau

terbenam pada

daging segar,

merah isinya

matahari

yang dingin,

dalam,

tak habis-habis,

berdiam di salad-salad

di Negeri Chili,

bahagia, menyandingi

bawang putih,

dan bagi merayakan perkawinan itu

kami

curahkan

minyak sayur,

sari zaitun,

ke separuh hemisfer,

merica

datang menambahkan

aromanya,

garam, daya magnetnya;

Itulah pernikahan

teragung hari itu,

daun seledri

menggerek mengibar

bendera,

kentang-kentang

menggelembung dahsyat,

dan aroma

daging panggang

mengetuk pintu,








Ha, inilah saatnya!

Ayo!

dan, di

atas meja, di tengah

panasnya musim panas,

sang tomat,

bintangnya bumi, berulang

kembali dan bintang

yang subur,

memajang

belitannya,

kanalnya,

ayun angguk luar biasa

dan berlimpah jumlah,

tak ada lubang,

tak ada sisa kulit,

tak ada daun atau duri,

tomat rela menawarkan

persembahannya

warnanya menyala

dan sejuknya kesempurnaan.












Saturday, December 27, 2003

Pukul Duabelas

Syair Rabindranath Tagore



Setelah bersama bukuku sepanjang pagi, Ibu

Sungguh aku ingin berhenti sebentar belajar.



Katamu, ibu, inikan baru jam dua belas siang.

Tapi mungkin tak lagi, sebab bisakah kau pikir

ini sore hari meskipun baru pukul duabelas?



Bisa dengan mudah kubayangkan, sekarang

matahari mencapai ujung sawah itu, dan nelayan

perempuan sedang memetik pucuk-pucuk untuk

makan malamnya, nun di sana di sisi telaga.



Maka kututup saja mataku dan menerawangkan

bayang-bayang berkembang semakin gelap

di bawah pohon madar itu, dan permukaan air

di telaga itu tampak hitam berkilau-kilauan.



Bila pukul dua belas bisa mendatangi malam hari,

kenapa malam tak bisa tiba di pukul dua belas?

[Ruang Renung # 49] Menerjemahkan Keasingan

     SESUNGGUHNYA, pekerjaan menyair, pada salah satu dari banyak jalan masuknya, memanglah sebuah pekerjaan menerjemahkan keasingan. Jadi, tak usah ragu, tak perlu takut dan tak pada tempatnya jika menganggap pekerjaan menerjemahkan sajak-sajak asing sebagai kerja kepenyairan kelas dua. Anggap saja itu sebagai latihan. Nikmati saja proses mencari padanan kata-kata asing ke dalam bahasa ibu. Atau sebut saja itu sebagai bagian dari upaya untuk belajar mengusai bahasa negeri asing di mana puisi itu ditulis.

     Bukankah Chairil Anwar juga menerjemahkan puisi asing? Amal Hamzah juga menerjemahkan Tagore? Seperti juga dilakukan Hartoyo Andangjaya. Bukankah MS Merwin juga menerjemahkan sajak-sajak Neruda dari Bahasa Spanyol ke Bahasa Inggris? Bukankah Tagore sendiri menerjemahkan sajak-sajaknya sendiri yang semula ditulisnya dalam bahasa Bengali ke dalam Bahasa Inggris? Seperti yang juga diperbuat oleh Iqbal dari Bahasa Parsi ke Inggris.

     Banyak petunjuk teknis bagai mana sebuah puisi diterjemahkan. Pada dasarnya prosesnya adalah sebagai berikut. Pertama tangkaplah suasana sajak asing itu seerat-eratnya. Lalu resapkan suasana itu. Lalu telusurilah kata demi katanya, mencari terjemahannya dengan berpatokan pada suasana yang sudah terpegang tadi. Dan terakhir, mestinya puisi yang terterjemahkan tadi tetaplah menghasilkan sebuah puisi dalam bahasanya yang baru.[hah]

[Ruang Renung # 48] Yang Bukan Chairil Anwar

     CHAIRIL Anwar cuma hidup 27 tahun. Singkat, dan hanya sedikit menulis puisi. Tapi seolah berkejaran dengan maut dia benar-benar memanfaatkan hidupnya yang lekas itu. Dia sudah berhasil meninggalkan jejak sangat berarti dan mempengaruhi kepenyairan berikutnya. Sosoknya, riwayat hidupnya, tafsir atas kepenyairan dan tentu saja atas syair-syairnya, terus menjadi dan memberi ilham. Sesungguhnya dia sendiri seperti ditakdikan sebagai puisi: bebas mengundang banyak tafsir dan orang pun bebas memaknai. Dia menjadi semacam patokan, semacam ukuran, sebagai rujukan yang menarik.

     Selalu ada alasan untuk mengajukan tanya, "Hei sejauh mana kau mengenal dia?"

     Selalu menantang untuk membandingkan, "Sedalam Chairilkah sudah kau korek kata?"

     Dan selalu mengusik untuk menggugat, "Sehebat apa kau bisa mengelak pengaruh Chairil dalam sajak-sajakmu?"

     Maka, biarkanlah Chairil hidup seribu tahun lagi tambah seribu tahun lagi seperti cita-cita tersebutkan dalam bait puisinya. Sesekali kagumilah. Pada bagian lain campakkan dia. Pada sisi lain teladanilah. Dan saat lain lupakanlah.

     Biarkan dia tenang dalam matinya. Tak perlu merindu-rindukan akan lahir lagi seoang Chairil. Biarkanlah secara alami lahir penyair lain yang bukan Chairil, yang bukan Rendra, yang bukan Taufik yang bukan Sutardji, yang bukan Afrizal, yang bukan Sapardi yang bukan Pinurbo. Seperti juga kita boleh berharap lahir lagi penyair yang bukan Tagore, bukan Gibran, bukan Li Po, bukan Neruda. Yang perlu dilakukan adalah menyiapkan kereta-kereta bayi bagi kelahiran bayi-bayi penyair baru. Bukan menggedor-gedor keranda penyair yang sudah lama mati.[hah]

Dunia Bayi

Syair Rabindranath Tagore



Betapa ingin aku mengambil tempat di sudut

paling tenang di hati bayiku, di dunia sejatinya.



Aku tahu, di sana ada bintang yang bercakap

dengannya, dan langit yang merunduk ke

wajahnya, menggelitik hati dengan jenaka

awan-awannya dan pelangi-pelanginya.



Mereka yang berbuat seakan-akan bebal.

Dan berpura seperti mereka tak pernah bisa

bergerak, lalu mengendap ke jendela dengan

kisah-kisah mereka dan dengan keranjang

penuh dengan mainan cerdas cemerlang.



Betapa ingin aku bepergian di sepanjang jalan

yang melintasi benak bayi dan terus melampaui

seluruh tempat yang terlarang dikunjungi;



Dimana sang pengabar membawa pesan

meski tanpa harus ada alasan antara satu

kerajaan ke kerajaan Raja-raja tak beriwayat;



Dimana Sang Pedalih merangkai layang-layang

dan menerbangkannya, dan Sang Kebenaran

menata Kenyataan bebas belenggu kekangan.

Thursday, December 25, 2003

Aku Menggilai Mulutmu, Suaramu, Rambutmu*

Sajak Pablo Neruda








Aku menggilai mulutmu, suaramu, rambutmu.

Diam didera derita, di jalanan aku berburu.

Roti tak menyelerakanku, fajar mengusikku

sepanjang hari, kuburu jejak baur langkahmu.



Aku lapar mereguk renyah suara tawamu,

hasil panen yang liar sewarga tanganmu

aku lapar batu-batu pucat jari-jari tanganmu,

bagai almon, aku ingin memakan kulitmu



Ingin kulahap nyala matahari di tubuh indahmu

Hidung yang bertahta di angkuhnya wajahmu

Ingin kulahap barisan teduh bulu-bulu matamu



dan kuberjalan lapar, mengendusi senja waktu,

memburumu, memburu panas jantungmu,

bagai seekor puma di padang tandus Quitraue.



* Bagian ke sekian dari 100 Soneta Cinta.

Bagi Dua Anaknya

Syair Li Po



Di tanah Wu, hijaulah daun-daun mulberi,

tiga kali sudah ulat sutera tidur sehari.

Di Luh bagian timur, keluargaku tinggal,

kutebak-tebak siapa menabur di ladang kita.

Aku masih belum bisa pulang di musim semi,

Masih tak bisa apa-apa, mengembarai sungai.



Angin selatan mengembus jiwaku merindu rumah

dan membawanya ke hadapan kedai minum kita.

Di sana kulihat pohon persik di sisi timur rumah

dengan daun ngambang, alun cabang di kabut biru.

Itulah pohon yang kutanam saat pergi tiga tahun lalu.

Pohon persik yang menjulang setinggi kedai,

sementara aku mengembara tak kembali.



Ping-yang, anakku jelita, kulihat kau berdiri

di sisi pohon persik dan memetik cabang bunga.

Kau memetik bunga-bunga, tak ada aku di sana

Lihat, air matamu luruh bagai arus air!



Putra kecilku, Po-chin, kau pun tumbuh

setinggi bahu saudara perempuanmu,

Kau bermain di halaman di bawah pohon persik itu.



Tapi siapa yang menepuk-nepuk di belakangmu?



Ketika terlintas pikiran ini, perasaanku kacau,

Dan kuasah duka tajam, menusuk hatiku sendiri,

setiap hari. Dan kini, kubasahi selembar sutra putih

dengan air mata, saat kutulis surat ini.



Dan kukirim dengan kasihku, sejauh arus sungai.




Ketika Hujan

Syair Rabindranath Tagore



Awan murung berangkulan berlalu lekas

melintasi pinggir batas gelapnya hutan.



O anak, jangan beranjak keluar rumah!



Pohon palma yang berbaris di sisi telaga

menyentakan kepala ke langit muram;

gagak dengan sayapnya yang terdekap

bungkam di dahan-dahan pohon asam,

dan sisi sungai di arah timur dicekam

oleh kemurungan yang semakin dalam.



Nyaring lenguh sapi, tertambat di pagar.



O anak, tunggu di sini, kubawa dia ke kandang.



Orang-orang berkerumun di lapangan tergenang

menangkapi ikan yang lepas dari kolam banjir;

air hujan mengalir deras ke anak sungai, lewati

jalan kecil, bagai bocah tergelak yang berlarian

mengelak menjauhi ibunya, mengusik hati ibunya.



Hei dengar, ada yang berseru kepada

sang tukang perahu di penyeberangan.



O anak, terang hari telah jadi kelam, dan

penyeberangan pelabuhan telah pula tutup.



Langit seperti menunggangi lekas hujan

yang turun lebat-hebat; air di sungai nyaring

bergemuruh bergegas tak sabar; perempuan

telah bersegera pulang dari sungai Gangga

dengan kendi-kendi yang penuh berisi.



Lampu-lampu malam harus segera dinyalakan.



O anak, jangan beranjak ke luar rumah!



Jalan ke pasar sudah terputus, jalan kecil

ke sungai pun betapa licin. Angin mengaum

meronta-ronta di cecabang bambu, bagai

binatang buas terjaring di perangkap.



* Bagian dari rangkaian syair The Crescent Moon.

Wednesday, December 24, 2003

Melati-melati Pertama

Syair Rabindranath Tagore



Ah, melati-melati ini, melati putih ini!



Aku serasa terkenang lagi, hari pertama

ketika kupenuhi dua tanganku dengan

melati-melati ini, melatih-melati putih ini.



Aku mencintai cahaya matahari, langit

dan aku mencintai bumi yang hijau ini;



Aku mendengar desir mengalir sungai

menembus kegelapan tengah malam;



Senja musim gugur pun datang padaku

di simpangan jalan, terbiar sepi sendiri,

bagai mempelai membuka kerudung

menerima kekasih hatinya datang.



Masih saja kenanganku terasa manis

karena melati pertama yang pernah

ada di tanganku ketika kanak-kanakku.



Hari-hari keriangan datang dalam hidupku,

dan bergirang di permainan pasar malam.



Pada hujan pagi yang kelabu, aku pun

bersenandung lagu-lagu lambat lantun.



Malam hari, aku melingkarkan roncean

bunga bakula di leherku, bunga-bunga

yang dirangkai tangan-tangan kasih.



Masih saja hatiku terasa manis karena

kenangan melati pertama yang pernah

mengisi tanganku ketika kanak-kanakku.





* Sajak ke-34 dari 40 rangkaian syair

Bulan Sabit (Crescent Moon).

Sendiri Berpandangan dengan Gunung

Syair Li Po



Burung-burung telah terbang dan pergi;

Ada awan, sendiri melayah perlahan.

Kami tak letih, saling berpandangan -

Hanya kami: aku dan gunung.

Pada Sebuah Layar Gambar

Syair Li Po



Dari manakah gerangan dua belas puncak Wu-Shan!

Dari sudut surgakah mereka terbang lalu datang

ke layar gambar yang permai terpermanai?

Ah, pinus-pinus kesepian berdesis dalam angin!

Istana-istana Yang-tai, melayang nun jauh di sana --

Oh, kemurungan hati --

Dimana tempat tidur raja berhias permata

berlapis kain brokat tersembunyi muram --

Pembantunya peri kecil, manis menggairahkan

masih membayang datang dalam sia-sia!



Di sini hanya seberapa kaki

tapi serasa beribu mil jauhnya.

Terjal dinding batu, berkilau biru merah

Bagai selembar bordir memesonakan.

Betapa hijau pohon-pohon di kejauhan,

melingkar di sungai dan jalan Cing-men!

Dan kapal-kapal itu -- terus bertolak

mengambang di atas muka perairan Pa.

Air yang menyanyi di atas batu cadas

di antara bukit-bukit tak terbilang,

kabut bercahaya dan rumput memberahikan.



Berapa tahun sejak bunga lembah ini mekar,

tersenyum bagi matahari?

Dan lelaki mengembara di sungai,

lama tak mendengar jeritan kera-kera?

Siapa saja yang menatap gambar ini,

Akan tersesat dalam kekekalan;

Dan memasuki pegunungan Sung yang sakral,

Dia akan bermimpi ada di gemilang awan-awan.

Monday, December 22, 2003

Gagak Memanggil Waktu Malam

Syair Li Po



Kabut kuning menepi dinding; gagak mendekat menara.

Kembali terbang, bergaok-gaok; Memanggil di cecabang.

Menenun kain brokat, gadis Sungai Qin, berbenang jambrut

seperti kabut, jendela menyembunyikan kata-katanya.

Dia berhenti memintal, pedih, mengenang lelaki yang jauh.

Dia tetap sendiri di kamar sunyi, airmatanya bagai luruh hujan.

[Ruang Renung # 44] Bila Gagal Menulis, Puisi Hambar

KARENA ada seseorang yang bertanya kepadanya lewat surat-e: ... Kemudian aku berfikir untuk mencoba membuat karya sastra sendiri. Tetapi beberapa kali aku coba gagal alias tanpa ada makna, hambar dan tidak berbobot.

Saya ingin Anda cerita bagaimana menemukan sebuah ide yang bisa ditulis menjadi sebuah puisi yang indah, karena beberapa kali aku mencoba merenung, tapi hasilnya nihil juga.





MAKA, dia pun menjawab:... Pada mulanya, saya tak peduli apakah yang kuhasilkan nanti adalah sebuah karya (yang bernilai) sastra atau tidak. Saya hanya ingin menulis puisi. Saya berakrab-akrab dengan puisi, dengan membaca dan menuliskannya. Saya mencintai puisi, karena itu saya selalu mencari dan ingin tahu banyak hal tentang puisi. Tentang orang-orang yang disebut penyair, dan tentu puisi-puisinya.

Tetapi, seperti Anda, saya sangat peduli apakah puisi saya itu ada maknanya, dan apakah karya saya itu hambar atau gurih untuk dibaca. Berbobot? Bukankah bobot puisi sudah termasudkan dalam dua hal sebelumnya: makna dan keindahannya? Kalau maksud Anda adalah bobot atau kandungan nilai sastranya maka jawabannya kembali ke alinea sebelum alinea ini.

Bagaimana menemukan sebuah ide yang bisa ditulis menjadi puisi indah? Ide puisi bisa datang dari mana saja. Dia bisa ditemukan dengan mencari terlebih dahulu. Mencarinya di mana? Di mana saja. Dari membaca surat kabar. Dari kemasan bedak. Dari nonton film India. Dari mana saja. Kapan? Kapan saja. Saat di kamar mandi. Saat kehujanan di jalanan. Saat menunggu istri sehabis melahirkan di rumah sakit.

Dia -- ide puisi itu -- bisa datang begitu saja dan buru-buru saya tangkap. Saat bertanya jawab dengan anak, saat membaca sajak orang lain, saat mendengarkan lagu pop. Ini mungkin seperti proses merenung yang panjang dan tak putus-putus. Tapi, jangan bayangkan itu semua berlaku dalam suasana tegang. Tidak. Santai sajalah. Merenung bukan berarti harus duduk berkerut kening. Menulislah untuk menggembirakan diri kita sendiri. Menulislah dengan gembira. Carilah kegembiraan dalam menulis.

Mungkin ada baiknya memulai berlatih dengan sajak-sajak pendek. Seperti haiku dalam khazanah perpuisian Jepang. Pendek, ringkas, berbobot dan bermakna. Hanya dalam 17 suku kata.

Begitulah. Dia menjawab. Lalu meninjau kembali, seperti meyakinkan diri sendiri, apa yang dia tulis sendiri.[hah]

[Ruang Renung # 45] Enak Dibaca dan Sarat Makna

DI waktu lain dia menerima pertanyaan lain lewat surat-e juga: .... Entah mengapa akhir-akhir ini saya sangat suka baca-baca puisi dan tertarik serta punya minat untuk bisa menuliskannya sendiri. Melalui e-mail inilah saya ingin mengetahui pengalaman Anda belajar menuangkan tulisan ke puisi sehingga menjadi puisi

yang sarat makna dan enak dibaca. Barangkali punya trik atau cara atau metode bagaimana belajar puisi.



MAKA dia pun menjawab, terutama untuk dirinya sendiri: .... Pertama, carilah ada apa dengan 'entah mengapa' sehingga Anda sangat suka dan tertarik membaca dan kemudian terbit minat untuk menuliskan puisi sendiri. Ada apa dengan puisi? Saya sendiri melihat, puisi sebagai sebuah permainan yang asyik. Seperti sebuah game. Menuliskannya atau membacanya seperti sedang menebak-nebak seperti apa kelak berakhirnya game itu. Game yang lebih asyik justru, ketika proses menulis puisi itu telah saya selesai. Karena saya kemudian jadi merasa-rasakan sendiri apakah puisi yang baru saya tulis itu mengandung makna, baik yang saya niatkan sejak semula, ataupun makna yang seperti kejutan: tiba-tiba saja ada dalam puisi itu.

Ini mungkin game yang levelnya sudah meningkat daripada game yang pertama, saat puisi itu mulai hendak dituliskan. Sesekali, saya menguji puisi yang sudah jadi tadi dengan membiarkan orang memaknainya sendiri, yang kadang juga mendatangkan kejutan karena dia berbeda dengan pemaknaan saya sendiri. Dan, percayalah ini juga merupakan game lain yang sama asyiknya.

Saya menulis apa saja. Tak hanya puisi. Saya membaca apa saja. Tak hanya puisi. Menulis dan membaca. Puisi dan bukan puisi. Terus dan belajar untuk tidak menginginkan apa-apa kecuali meyakini bahwa apapun yang kita tulis tidak akan pernah sia-sia.[hah]

[Ruang Renung # 46] Puisi Bingung

ADA juga pertanyaan yang sampai padanya seperti ini: .... saya kadang kebingungan harus memulai dari mnaa, mengumpulkan energi dari mana? Pokoknya kebingungan. Tentu, membuat puisi itu mudah sekali, sangat mudah bahkan yang bukan statusnya penyair bisa membuatnya, tapi bila hanya sekedar membuat -- kata, kalimat, larik, kemudian menjadi bait -- semua orang bisa, tentu.

Tapi ada satu kendala yang selalu terpikir dalam hati, ketika saya memulai atau membuat sebuah puisi... saya kebingungan -- entah saya pun tak tahu sumbernya, mungkin Anda bisa membagi pengalamannya? Ya, saya pun tak tahu apa hal yang mendasar itu. Total pada karya pun, kadang aku tak bisa -- intinya aku kebingungan ketika membuat karya tersebut.



DIA pun bingung untuk menjawab, tapi dituliskannya juga, seperti ini: ... Tak perlu menjadi penyair dulu, bila ingin menulis puisi karena menulis puisi memang sebaiknya bukan untuk menjadi penyair. Jadi di hadapan puisi, siapappun sama saja apakah dia penyair atau bukan. Semua orang bisa dan boleh membuat puisi. Semua orang juga boleh tidak suka dengan puisi. Ada orang yang tidak tertarik dan tidak paham memaknai puisi. Itu juga boleh.

Jadi, santai saja. Anda tidak sedang menjalani hukuman menulis puisi kan? Anda toh tidak wajib menulis puisi kan? Saya sendiri berangkat dari kecintaan pada puisi. Saya selalu merindukan puisi. Saya selalu kangen dan selalu ingin berdekat-dekatan dengan puisi. Karena cinta, saya selalu ingin mempersembahkan yang terbaik kepada puisi. Tapi, karena cinta pula, ketika yang bisa saya berikan hanya sesuatu yang sederhana, maka yang sederhana itulah yang saya persembahkan.[hah]

[Ruang Renung # 47] Sajak Sebagai Soto yang Gurih

ADA juga yang mengajak dia berdiskusi dengan pertanyaan seperti ini: .... Sajak atau bukan tergantung penulis dan pembacanya. Kalau penulis bilang itu sajak, maka bolehlah itu dibilang sajak (untuk penulis itu), kalau pembaca bilang itu bukan sajak ya itu bukan sajak (untuk pembaca tersebut). Jadi mungkin suatu saat, penulis dan pembaca bisa bersetuju bahwa sesuatu itu bisa disebut sajak, bisa juga tidak.

Menurut Anda bagaimana pendapat ini? Apakah menulis sajak itu tidak memerlukan syarat dan teknik penulisan?



MAKA dia pun menjawab seperti ini: ... Saya tidak pandai kalau harus membuat definisi apa itu sajak. Tapi, saya bisa membedakan mana tulisan yang disebut sajak dan mana tulisan yang disebut resep masakan. Di dalam resep masakan pasti ada bahan, cara memasak, cara menyajikan dan kadang kandungan gizi dari masakan itu. Dia dibuat semudah mungkin agar siapapun yang membacanya atau siapapun yang memasak dengan resep itu menghasilkan masakan yang sama. Kalau itu resep soto, maka masakan yang dihasilkan adalah soto, bukan kari apalagi kolak. Tetapi, pasti ada sedikit perbedaan rasa, dari soto yang dihasilkan oleh dua orang yang berbeda, meskipun mereka berdua merujuk ke satu resep yang sama.

Perbedaan itu bisa ada dari perbedaan ayam yang jadi bahan masakan, dari lama memasak, dari kehalusan bumbu, dan dari banyak hal ketika proses memasak itu berlangsung. Bahkan satu tukang masak pun bisa menghasilkan masakan soto yang berbeda rasanya dengan yang dia buat kemarin, padahal dia memasak dengan bumbu, bahan dan alat masak yang sama. Mungkin lebih enak, atau tidak. Masakan juga bisa dipengaruhi suasana hati si tukang masak. Yang pasti, hanya dengan membaca sebuah resep saja, tanpa memasak, tidak akan dihasilkan masakan.

Sajak tidak ditulis sebagai sebuah petunjuk. Berhadapan dengan sajak, seorang pembaca tentu tidak sedang membaca sebuah resep masakan. Tapi sajak adalah sajak. Si penulislah yang pertama kali meniatkan apa yang ia tuliskan sebagai sajak itu memang benar-benar sebuah sajak. Saya kira keberhasilan pertama dari seorang penulis sajak adalah apabila pembaca pun meyakini bahwa itu sajak bukan resep masakan. Ibarat juru masak, dia harus meyakinkan orang bahwa yang dia masak adalah soto bukan gulai. Harus ada batasan dan sarat mana yang sajak mana yang bukan. Tapi haruskah batasan itu didefiniskan? Haruskah sebelum makan soto kita harus hafal dahulu pengertian soto itu? Bukankah tidak lebih nikmat kalau kita hanya mencium aroma soto itu, lalu langsung terbit air liur untuk mencicipinya? Kita toh tidak harus tahu komposisi bahan dan cara memasak soto sebelum menyimpulkan soto itu enak atau tidak? Cocok dengan selera kita atau tidak? Lagi pula, ada penulis yang enteng saja mengatakan, "Saya menyebutkan karya saya sebagai puisi, kalau tidak ada kategori lain yang cocok untuk menggolongkan karya saya itu."

Dan tantangan berikutnya adalah seberapa banyak orang menggemari sajak itu, seberapa banyak orang merasa terwakili perasaannya dengan sajak itu, seberapa banyak orang bisa terjawab kegelisahannya dengan sajak itu, seberapa banyak orang terpuaskan lapar jiwanya dengan sajak itu. Seperti tukang masak soto yang enak, penulis sajak yang baik dan sajaknya akan ditunggu oleh pembaca dengan pertanyaan, "masak apa lagi Anda hari ini?" Sementara itu, si pembaca tak bosan-bosannya menikmati soto eh sajak yang sudah terkenal gurihnya. Slerrpp! Nyam nyam nyam.[hah]

Buku tanpa Sampul

sejak semula, aku menebak-nebak

saja, apa yang hendak terbaca kelak

pada persetubuhan nafsu di mataku

dan huruf-huruf telanjang tubuhmu



Des 2003

Luka Duga Duka

beruas-ruas luka

menyerentakku

sekuak-sekuak!



berlapis duga

menyibakku

setebak-setebak...



berbaris duka

menjebakku.

Sesuka hendak?



Des 2003

Pada Suatu Sabtu Sore Bersama Kata yang Melarikan Diri

PULANG dari nonton film di bioskop, Sabtu sore, Penyair itu bertemu dengan serombongan kata yang berjalan tergesa-gesa tetapi tampak jelas bingung hendak pergi ke mana. Sebagai penyair yang baik tentu saja dia harus sangat peduli pada kata-kata, apalagi yang terlunta-lunta seperti kata yang dia temui saat itu.

- Mau kemana kalian? -
"Entahlah..."
"Kami tak tahu hendak kemana.."
"Bingung. Kami baru saja melarikan diri dari sebuah puisi."

- Puisi? Puisi siapa?"
"Seorang penyair besar yang enak saja mati, setelah menuliskan kami..."
"Ya, enak saja dia. Dia sekarang tidak lagi menulis puisi. Apalagi menengok-nengok kami terperangkap di dalam puisi."
"Ya, enak banget. Dia mati, dan kami harus menjaga namanya di dalam puisi-puisinya."

SI Penyair lalu mengajak kata-kata itu bermalam barang semalam di rumah kontrakannya. Hari sudah menjelang senja.
- Kalian bisa istirahat tidur di Kamus Besar...
"Terserah sajalah. Aku ingin baring-baringan saja sebentar. Letih juga menjadi predikat dalam kalimat si penyair sialan itu," kata kata kerja.
"Kamus Besar? Boleh juga, tuh. Aku ingin meninjau lagi. Aku ini sebenarnya kata benda atau kata sifat," kata sebuah kata yang memang tidak jelas klasifikasinya.
- Ya, silakan saja. Istirahatlah - kata si Penyair.

TENGAH malam tiba.
Si Penyair belum tidur. Seperti biasanya. Dia membuka laptop dan mulai mengetuk-ngetuk huruf dan tanda aca. Mencari ilham untuk menulis satu dua puisi. Lalu dia teringat kata-kata yang ditemuinya sepulang dari bioskop sore tadi. Buru-buru dia mengambil kamus lecek dan membuka halaman-halaman di mana kemungkinan kata-kata itu berada. Tapi, itu juga sia-sia.
- Kemana ya mereka? -
Belum terjawab bingungnya. Hingga kepentok matanya pada selembar kertas. Ada tulisannya. Dia pun membaca: Kami sudah tahu rencana burukmu. Dasar penyair murahan. Kau pikir kami tidak tahu, kalau kau mau memerangkap kami lagi di dalam puisi? He he. Kasihan deh lo... Kalau mau jadi penyair, cari dong kata-kata lain. Jangan bisanya cuma memperdaya kami.

Des 2003

Sunday, December 21, 2003

Percakapan dengan Gunung

Syair Li Po



Kau tanya kenapa aku berbaringan di gunung hijau

Aku tertawa tapi tak menjawab - hatiku tenteram.

Mekar bunga berangan, air mengalir tanpa jejak.

Ada surga dan bumi lain di atas dunia manusia.

Friday, December 19, 2003

SEBUAH HADIAH

Syair Rabindranath Tagore



Aku hendak memberi sesuatu, anakku

selama kita mengalir dalam arus dunia.



Hidup kita kelak tak akan lagi sejalan,

dan cinta pun kelak akan terlupakan.



Tapi aku tak ingin begitu bodohnya

berharap aku bisa membeli hatimu

dengan pemberian hadiah-hadiahku.



Hidupmu yang belia, jalanmu yang panjang,

dan engkau meneguk kasih yang kami bawa

dengan sekali hirup, lalu menjauh dari kami.



Engkau punya permainan dan teman main.

Alangkah sakitnya bila engkau tak punya

waktu atau tak lagi memikirkan kami.



Kami sesungguhnya, punya waktu senggang

yang cukup pada usia tua, menghitung hari

yang berlalu, mengharapi di hati saja ada,

yang hilang selamanya dari tangan kami.



Sungai mengalir deras dengan lagu,

menembus terus semua penghalang.

Tapi gunung tetap tinggal dan mengenang,

mengikuti arus sungai dengan kasihnya.



* Dari The Gift, syair ke-37 dalam Buku Crescent Moon.

[Ruang Renung # 43] Mitos dan Peta yang Tidak Lengkap

Beginilah situasinya. Ada sejumlah surat kabar umum yang menyediakan satu dua halamannya untuk memuat karya sastra. Ada yang saban bulan, ada yang tiap minggu. Ada majalah sastra yang satu dua bertahan terbit. Ada satu dua komunitas yang berteguh menerbitkan majalah sastra sendiri. Ada satu dua pecinta sastra yang mengelola media online.



Beginilah situasinya. Ada banyak pecinta puisi, pegiat puisi, penyair, mereka yang berasyik-asyik dengan puisi, yang sesekali atau seringkali mengirimkan karya-karya puisinya ke media-media di atas. Ada beberapa nama yang kerap muncul di media-media itu. Ada yang sesekali saja terbaca. Lebih banyak lagi yang sama sekali tidak pernah dimuat karyanya.



Di media-media itu, tentu saja ada redaktur yang dengan kelebihan-kelebihan dan keterbatasannya, dengan selera estetis dan subyektivitasnya, dengan keterbatasan waktu dan banyaknya naskah yang harus diseleksinya, dan kadang-kadang dengan sedikit arogansi dan sesekali kemurahan-hatinya. Dan dengan segala hal tadi menjadi penentu puisi-puisi seperti apa yang kemudian muncul di media-media di alinea pertama tadi.



Media-media tadi memukau sebagai tempat untuk mempublikasikan karya, karena nama-nama redakturnya, karena luasnya distrubusinya, dan karena ada honornya, dan karena ada beberapa media yang seolah dijadikan mitos: bila sajak seorang penyair telah terbit di media itu, maka si penyair telah sah sebagai penyair.



Mitos itu semakin menjadi mitos, karena ada satu dua pengamat kepenyairan yang suka membuat peta penyair. Peta itu seringkali dibuat terutama berdasarkan karya-karya yang dimuat di media-media di alinea pertama tadi - dengan teramat kerap tidak menganggap sama sekali media online - plus buku-buku puisi yang terbit terbatas yang kebetulan sampai dan terbaca oleh si pembuat peta. Tentu saja hasilnya adalah sebuah peta yang tidak lengkap.



Begitulah situasinya.[hah]

Awan dan Ombak

Syair Rabindanath Tagore



Ibu, mereka yang tinggal di atas awan

memanggil-manggil namaku kesana --



"Kita bermain, sejak saat kita bangun,

hingga ujung hari, hingga berakhir hari.



Kita bermain dengan fajar keemasan,

kita bermain dengan bulan keperakan."



Tapi aku bertanya, "Bagaimana aku bisa

sampai ke sana? Dan mereka menjawab,

"Datanglah ke ujung bumi, kembangkan

kedua tanganmu ke langit, dan engkau

akan terangkat hingga sampai ke awan."



"Tapi ibuku menantiku di rumah," kataku.

"Bagaimana bisa aku meninggalkannya?"



Lalu mereka tersenyum melayah menjauh.



Tapi, aku tahu permainan yang lebih

asyik daripada permainan tadi, Ibu.



Aku jadi awan, engkau jadi bulan.



Aku akan selumuti engkau dengan kedua

tanganku, bumbung rumah kita langitnya.



Mereka yang tinggal di gerak ombak-ombak---

berseru memanggil-manggil namaku ke sana.



"Kita bernyanyi-nyanyi pagi hingga petang hari;

kau di punggungku, kita bergian tanpa tahu tuju."



Tapi aku bertanya, "Bagaimana aku bergabung

denganmu?" Kata mereka, "Datanglah ke ujung

pantai dan berdiri di sana dengan mata rapat

mengatup, dan engkau dibawa ke atas ombak."



Tapi kataku, "Ibuku selalu ingin aku ada di rumah

setiap petang--bagaimana aku bisa pergi darinya?"



Lalu mereka tersenyum, berdansa dan berlalu.



Tapi aku tahu ada permainan yang lebih baik.

Aku akan jadi ombak dan engkau pantai asing.



Aku akan bergulung dan bergulung, menghempas

dalam pangkuanmu dengan riang dengan tertawa.



Dan tak ada seorang pun di dunia

yang tahu dimana ada kita berdua.





* Dari The Crescent Moon, syair ke-14 (Clouds and Waves).

Wednesday, December 17, 2003

Sekolah Bunga-bunga*

Syair Rabindranath Tagore



Ketika kabut gaduh badai gemuruh di langit

dan ketika hujan bulan Juni tercurah turun,



basah angin timur datang, berbaris menghalau

panas, mengembus buluh-buluh di antara bambu.



Sekawanan bunga-bunga muncul dalam seketika,

entah dari mana, di antara rumput riang berdansa.



Ibu, sungguh aku menduga bunga-bunga itu

sedang riang bersekolah di bawah tanah.



bunga-bunga itu belajar dengan pintu kelas tertutup,

dan bila mereka ingin keluar main sebelum waktunya,

maka sang guru akan menghukum berdiri di sudut.



Tiba bila hujan datang, itulah saat hari libur tiba.



Ruang kelas bagi cecabang ada di hutan, dan daun-daun

berdesau di angin yang liar, dan badai kabut menepukkan

tangan raksasanya, dan murid-murid bunga berhamburan

dengan baju berwarna merah muda, kuning, dan putih.



Tahukah kau, Ibu? Rumah mereka di angkasa,

di langit di mana bintang-bintang ada di sana.



Kau lihatkah? Alangkah inginnya mereka ke sana segera?

Kau tak tahukah? Kenapa mereka begitu terburu tergesa?



Tentu, bisa kutebak bagi siapa tangan mereka membuka:

Mereka punya ibu, seperti aku punya kau sendiri, ibuku.



* Dari The Flower-School, sajak ke-22 dalam rangkaian syair

Crescent Moon. Tertbit tahun 1913 dalam Bahasa Inggris.

Diterjemahkan sendiri oleh si penyair dari syair yang semula

ia tulis dalam bahasa Bengali.




Tuesday, December 16, 2003

Senja dalam Empat Sajak Empat Untai

aku kira, bila telah singgah di negeri senja

aku tak akan ingin terpesona. Sebab semula

kukira, jingga itu hanya aba-aba langit, sebelum

tangan-tangan malam mengulur merangkum



kau tahu? memang pernah ada senja dahulu,

senja yang begitu sabar menjawab takjubku,

yang tidak pernah terburu-buru, senja yang

membuka tangan. Membujuk, "Mari berpegang..."



lalu aku kehilangan senja. Lalu, aku tak tahu

apakah ia juga merindukan pertemuan kami

yang tak terburu dan tak kekurangan waktu.

Lalu, kau tahu? Pun aku kehilangan sendiri...



maka aku kira, ketika sampai di negeri senja

aku tak akan hendak terkesima. Karena kurasa

kami tak lagi sempat bertukar tegur. Ia bergesa

terburu, juga aku. Tangan kami, letihnya betapa



Des 2003




LAGUKU*

Syair Rabindranath Tagore



Lagu milikku ini ingin menghembus

musiknya ke sekelilingmu, anakku,

bagai lengan kasih mencintamu.



Lagu milikku ini hendak menyentuh

dahimu, anakku, seperti kecupan

doa restu bagimu.



Ketika engkau sendiri, lagu milikku

ini, anakku, akan duduk di sisimu

dan berbisik di telingamu. Ketika

engkau berada di tengah kerumun,

anakku, lagu milikku ini akan

memagarimu: menjaga jarakmu.



Laguku akan berubah jadi sepasang

sayap ke mimpi-mimpimu, membawa

hatimu ke ambang ketaktahuan.



Laguku akan menjelma jadi bintang

yang setia berada di atasmu, ketika

gelap malam menutupi jalanmu.



Laguku akan duduk di hitam matamu,

dan membawa pandanganmu

menembus ke hati benda-benda.



Dan ketika suaraku bisu dalam maut,

laguku kelak akan tetap berbicara

dalam kehidupan: hatimu yang hidup.



* Dari My Song, syair liris ke-38 Rabindranath Tagore, dalam buku

Crescent Moon. Semula ditulis dalam Bahasa Bengali lalu diterjemahkan

sendiri oleh sang penyair ke dalam Bahasa Inggris.

ZAZEN di PEGUNUNGAN

Syair Li Po



Burung telah hilang turuni langit.

Kini kabut terakhir luruh pergi.

Kami duduk bersama: gunung dan aku,

hingga hanya gunung yang tetap ada.

Monday, December 15, 2003

Gunung yang Hijau

Syair Li Po



Engkau bertanya kenapa aku bermalasan di gunung hijau;

Aku senyum dan tak menjawab, hatiku tak kan lagi terusik.

Ketika bunga persik jatuh ke arus dan mengalir ke entah,

kutemukan dunia yang lain, yang tak ada di kerumun orang.

[Ruang Renung # 43] Puisi Setengah Hati

PUISI apa yang dihasilkan jika ditulis dengan setengah hati atau setengah tenaga kreatif saja? Tidak ada. Puisi bisa dianggap sebagai sebagai proses lahirnya seorang bayi. Kehamilan yang setengah jalan tidak akan melahirkan bayi yang sempurna. Itu bahkan bukan kelahiran: tetapi keguguran, atau paling untung, lahir prematur. Bayi yang lahir prematur tidak akan keras tangis pertamanya. Tak akan menggemaskan celotehnya.



Begitu pula puisi. Maka, apabila kita benar-benar ingin menulis puisi, ingin hamil puisi, pastikan bahwa rahim kreatif kita benar-benar telah siap untuk mengandung benih-benih puisi. Kita juga harus benar-benar bisa merasakan, kapan puisi-puisi kita cukup bulan dan harus segera dilahirkan. Kita juga harus rela apabila pada suatu selang masa kita harus memberakan rahim kreati kita: menunda dahulu kelahiran puisi lain supaya yang terlahir kelak adalah puisi-puisi yang tidak kurang gizi.



Kata mereka, puisi adalah anak-anak kreatif yang lahir dari persetubuhanmu yang sakral dan menggelorakan nafsu dengan nilai-nilai hidupmu. Begitulah.[hah]

Sunday, December 14, 2003

[Ruang Renung # 42] Membaca & Mencintai Puisi Lain

MENULIS puisi, mestinya berangkat dari mencintainya. Mencintai puisi. Semua puisi. Tidak hanya karya kita sendiri. Juga puisi-puisi siapa saja. Riwayat hidup para penyair biasanya selalu diisi dengan cerita tentang kecintaan mereka kepada karya-karya penyair lain yang terdahulu. Chairil Anwar banyak membaca dan mengalihbahasakan karya asing, termasuk sajak Rainer Maria Rilke.



TAPI mencintai orang lain, bukan berarti kita menjadi orang yang kita cintai bukan? Maksud pertanyaan ini adalah: jika kita mencintai puisi penyair lain, bukan berarti kita harus membuat puisi-puisi seperti yang kita cintai itu. Mestinya, mencintai juga bagian dari upaya kita untuk menemukan diri kita sendiri di dalam karya-karya kita.[hah]

Saturday, December 13, 2003

Potret Penyair Sebagai Ayam Betina






1.



Di dekapan sayap dan dada, dinyalakannya lampu menghangatkan kristal-kristal yang satu demi satu ditelurkannya dengan cinta. Ada kata yang belajar hidup di dalamnya, yang kelak memecah cangkang cahaya, menjemput takdir: disulap menjadi puisi-puisi kecilnya.



2.



Selesai sudah tugasnya mengeram. Makhluk-makhluk lembut yang hendak disebutnya puisi itu berebut punggung melatih cakar dan kepak, berebut paruh mematuki suara-suara. "Hati-hati, anak-anak. Di semak ada biawak, di awang ada elang."



Des 2003
Pesan-pesan Pendek yang Dikirim

dari Satu Nomor Telepon Selular

ke Nomor Telepon Selular Lainnya






/1/



hei, Desember! ha ha...



/2/



kau percayakah?

di sini, ada musim

yang tidak singgah?



dan tanpa engkau

aku kian kemarau.



/3/



kau kirim zikir-zikir.

semakin dekat bibir

pada persujudan pasir.



"hauskah?"

"ya, beri aku air"

"haruskah?

"atau sebaiknya kau usir"



/4/



bibirku bersujud di bibirmu

lalu kita lafazkan zikir pasir



bibirku bersujud di bibirmu

hampar mulut yang pesisir



bibirku bersujud di bibirmu

kita pungut sebutir-sebutir



/5/



beri aku tiga bulan, antara

desember ini dan januari.

akan kubuat

buatmu

musim

yang

lain lagi,

yang

tak pernah

dibahas

dalam kuliah

Dasar-dasar Klimatologi



/6/



setiap kali musim bertukar

aku selalu bertanya: bumikah

yang mengajari matahari?

Atau sebaliknya? Kau tahu?



/7/



ini pesanku terakhir,

pulsa ku habis ---



adakah voucher untuk

mengisi ulang usia?





Des 2003

Thursday, December 11, 2003

Malam Musim Dingin

Syair Li Po



Rumahku betapa miskin; rumah yang kerap kutinggalkan;

Tubuhku tersika sakit, aku tak bisa hadiri keramaian.

Tak ada jiwa yang hidup, kecuali mataku

Bila aku terbaring sendiri, terkunci di kamar penginapanku.



Lampuku rusak, menyala dengan api yang hanya kerlip.

Tirai koyakku pun melentur tak lagi menutup rapat.

"Tsek, tsek" aku dengar suara salju baru menimpa,

suara di depan pintu dan di ambang jendela.



Semakin menua, aku semakin tak bisa tidur

terbangun di tengah malam, duduk di tepi ranjang.

Aku tak pelajari "seni duduk dan melupakan,"

Bagaiamana harus kutanggung kesendirian ini?



Dingin dan kaku, tubuhku terpecah ke bumi;

Tanpa terintangi, jiwaku menyerah pada Perubahan

Maka inilah empat tahun yang pernuh kebencian,

Melampaui seribu d an tiga ratus malam!

Kapal-kapal Kertas*





Dari Paper Boats, Sajak Rabindranath Tagore



Hari demi hari kulabuhkan kapal-kapal kertasku,

Satu demi satu ke arus berlari menderas melaju.



Dengan huruf-huruf besar dan tinta hitam, namaku

kutulis di kapal-kapal kertas itu, juga nama desaku.



Aku berharap, ada seseorang di negeri yang asing

menemu kapal-kapal kertas itu dan tahu siapa aku.



Kapal-kapal kecilku, kusarati dengan bunga shiuli** dari

taman kami, dan berharap fajar hari yang mekar ini

akan terbawa selamat sampai di negeri malam nanti.



Kuluncurkan kapal-kapal kertasku, kutatap angkasa,

dan kulihat awan kecil membentangkan layar putihnya.



Aku tahu, kawan bermainku di angkasa itu, mengirim

awan-awan turun, untuk beradu pacu dengan kapalku.



Ketika malam datang, aku benamkan wajah di lengan dan

bermimpi: kapal-kapal kertasku terbang di antara bintang.



Peri-peri tidur berlaya di antara kapal-kapal kertasku,

dan muatannya adalah keranjang yang penuh mimpi.



Catatan HA:



* Sajak ini adalah sajak ke-19 dalam buku The Crescent Moon yang berisi 40 sajak. Ditulis pertama kali dalam Bahasa Bengali kemudian diterjemahkan sendiri oleh Tagore ke dalam Bahasa Inggris, 1913.



** Shiuli adalah semacam pohon berbunga yang mekar setelah hujan. Ada sajak yang menyebutkan dibawah pohon itu biasanya orang duduk merapalkan doa.



Wednesday, December 10, 2003

Nyanyian Putus Harapan

Dari Sajak Song of Despair karya Pablo Neruda



Kenangan tentangmu bangkit dari malam seputarku.

Sungai membaurkan keluh kesahnya dengan laut.



Tinggal sunyi sendiri, bagai para liliput di fajar hari.

Ini jam bagi keberangkatan, oh aku yang tinggal sepi.



Bungkul kuntum bunga beku menghujani hatiku.

Oh lorong runtuh, puing berkeping kapal karam.



Padamu yang perang dan yang terbang tersatu.

Darimu sayap-sayap pada lagu burung terbangkit.



Engkau menelan habis segalanya, seperti jarak.

Seperti laut, seperti waktu. Padamu segala terbenam!



Ini saatnya, waktu yang leluasa menyerang dan mengecup.

Waktu untuk mengeja apa yang berkobar: rumah cahaya.



Ketakutan penerbang pesawat, kegeraman pengemudi buta.

gerak acak Cinta yang mabuk. Padamu segala terbenam!



Di masa kanak kabut jiwaku, bersayap dan terluka.

Penjelajah pun tersesat. Padamu segala terbenam!



Maka kugambar lagi, kubangun dinding bayang,

antara bertindak dan angan, kaki kulangkahkan.



Oh daging, dagingku sendiri, perempuan terkasih yang hilang,

Aku memanggilmu di jam basah, kuteriakkan lagu bagimu.



Seperti guci, engkau berumah di kerapuhan tak hingga.

dan melupa yang tak hingga menghancurmu seperti guci.



Ada kesunyian pulau-pulau yang hitam. Dan di

sana, perempuan dengan cinta, tanganmu meraihku.



Ada rasa haus dan lapar, dan engkaulah buah-buahan.

Ada batu nisan dan reruntuhan, dan engkau keajaiban.



Ah perempuan, tak tahu aku, bagaimana kau mengisiku,

di bumi jiwamu, di dekap rengkuhnya kedua lenganmu.



Dahsyat dan ganasnya, angan inginku menuju engkau,

Betapa sulit dan kepayang, betapa keras dan keranjingan



Makam-makam kecupan, masih ada api di kuburmu,

masih ada buah terbakar, dipatuk-patuki burung.



Pada mulut yang tergigit, cabang-cabang terkecup,

pada geligi yang lapar, pada tubuh-tubuh terlilitkan.



Oh sepasang kegilaan: harapan dan kekuatan,

di mana kita bersatu menyatu lalu dikecewakan.



Dan kelembutan itu, sinar adalah air dan serbuk.

Dan kata-kata mencekam, mulai ada di bibir.



Inilah takdirku dan perjalananku, dan kerinduanku

dan ketika rindu menimpa, padamu segala terbenam!



Oh, puing-puing reruntuhan, semua jatuh menimpamu,

derita yang tak kauucap, derita yang tak kau genangkan.



Dari gelombang ke gelombang masih kau seru berlagu

Berdiri tegak seperti pelaut di haluan kapal.



Engkau masih mekar dalam lagu, menunggangi arus.

Oh puing retuntuhan, membuka sumur yang empedu.



Si pengendara yang rabun, penyandang tanpa keberuntungan

si pencari jejak yang sesat. Padamu segala terbenam!



Ini saatnya keberangkatan, saat yang keras membeku

Malam yang dipercepat pada setiap jadwal-jadwal.



Debar sabuk-sabuk samudera membebat pantai

Bintang yang beku memberat, burung hitam beranjak.



Tertinggal sunyi sendiri, seperti dermaga di fajar hari,

Hanya ada bayang gemetar meliuk di dua tanganku

.

Oh jauh dari segala, Oh terpencil dari segala.

Ini saatnya berangkat. Oh, seorang telah disiakan!





SEDANG AKU, PABLO*



Yono Aljibzail Wardito**



sedang aku disesatkan arah angin selatan, Pablo

di tangkai bungamalam yang masih segar di pagi hari



sering aku tak ingin bangun dari sebuah dendam kesunyian

sebagai kerandakeranda berjalan di labuhan pantai



sampai pada dini hari tadi masih kutuju

sebuah rasi bisu merapat dikedua mata istriku.



* Sajak ini disalin dari milis penyair.

** Penyair tinggal di Balikpapan.




Tuesday, December 9, 2003

Tiga Segitiga

Dari Triangle, Sajak Pablo Neruda



Tiga segitiga sekawanan burung memintas

di atas samudera tak berbatas yang terus meluas

musim sedang dingin, hijau bagai gergasi buas.

Segalanya terhampar di sana, kesunyian

kelam yang tak terlipatkan, cahaya memberat

di cakrawala, sebilangan daratan kini dan nanti.

Di atas segala, sekawanan burung melintas

Terbang

dan terbang lagi

burung-burung berbulu gelap, tubuh musim dingin

segitiga-segitiga yang gemetar

burung yang sayap-sayapnya

mengepak kalut, mengepak kuat, sanggup

mengangkat mendung yang beku, hari yang gersang

dari sini ke sana, satu ke tempat lainnya

di sepanjang pesisir negeri Chili.

Aku di sini, di satu langit ke langit lainnya.

Gemetarnya burung-burung bermigrasi

meninggalkanku terbenam di sisiku, di sisi diriku sendiri

seperti sumur yang tak berujung dalamnya

digali lorong melingkar tak teralih.

Kini, burung-burung itu tak lagi ada

Bulu-bulu hitam laut

burung besi,

dari lereng curam ke pilar cadas

dan kini di malam hari

Aku ada di depan kekosongan. Ini musim dingin

Cakrawala meluas

dan laut telah meletakkan

wajahnya yang biru

topeng yang teramat dingin.

Bulan di Jalan Terkepung

Syair Li Po



Bulan cemerlang bangkit dari Pegunungan Surga

dalam samar tak berbatas kabut dan laut,

Dan angin, yang jauh datang ribuan mil,

Mendentam di jalan pualam: medan pertempuran...

Barisan pasukan China, lelaki ke jalan Baideng

Sementara pasukan Tartar mengintai

di seberang teluk yang berair biru...

Dan sejak itu, tak ada perang mahsyur dalam sejarah,

Mengirim kembali seluruh petarung,

Tentara memutar, kembali pulang, mencari batas,

dan rumah terkenang-ngenang, mata-mata berlinang,

dan malam-malam itu, di barak kamar teratas,

ada yang gelisah, terisak, tak bisa istirah.

Monday, December 8, 2003

Beberapa Haiku

Matsuo Basho






hujan musim semi

sampai di bawah pohon

menetes, menetes.



ada pohon hijau,

jatuh menetesi lumpur,

belum terlalu pasang.



di sisi kuil tua,

persik bermekaran;

orang melintasi sawah.



di setiap deraan angin,

kupu-kupu beranjak tempat,

dari daun ke daun.



lalu sehari, hari panjang -

belum cukup juga: untuk burung,

yang bernyanyi, bernyanyi



mengupas sekam padi,

bocah mengerdipkan mata,

memandangi bulan.



payung-payung cedar, keluar

batas Gunung Yoshimo, bagi

bersemi: pohon ceri.



perangkap cumi-cumi -

mimpi angin musim panas,

suara berakhir.



yang jatuh di musim dingin -

bahkan kera-kera pun

minta selembar jas hujan.



tahun berakhir, semua

sudut dunia mengapung,

habis, habis tersapu.







Sunday, December 7, 2003

Ch'ing P'ing Tiao

Syair Li Po



Awan membawa kembali mendandani

pikirnya, membungai wajahnya.



Angin musim panas, mengelus rel,

ada juga titik embun berkilau.



Bila engkau tak melihat dia

di puncak gunung bermahkota.



Mungkin di sinar bulan nanti

di Jasper Terrance kautemui.

Saturday, December 6, 2003

Akan Kujelaskan Sesuatu





- Trilogi Komik karya Antonio Hernandez Palacios, tentang Perang Sipil Spanyol -



Sajak Pablo Neruda



Engkau bertanya, dimana bunga-bunga lila?

Dimana mimpi penuh arti bunga-bunga popi?

Dimana hujan yang terus meningkahi irama

kata-katamu, memenuhinya dengan

benih-benih hujan dan tingkah burung?

Akan kujelaskan semuanya, semua

apa yang telah terjadi padaku.



Aku tinggal di antara tetangga

di Madrid, di sana ada lonceng gereja

dan menara jam kota, juga pepohonannya.



Dari sana engkau bisa melihat

rupa kering Kastil

seperti laut, berlapis kulit

Rumahku, rumah yang disebut

"Rumah dengan Bunga-bunga" sebab di sekelilingnya

Bertabur tumbuh geranium. Rumah

yang alangkah moleknya, ada

anjing dan riang kanak di sana.



Razl, ingatkah kau?

Frederico, masih ingatkah kau?

Masih ingatkah kau rumahku, balkon-balkon,

Cemerlang bulan Juni menyuap mulutmu dengan

cita rasa bunga-bunga?

Saudaraku! Saudaraku!

Pasar Arguelles, para tetanggaku

Dengan patungnya seperti tabung tinta

pucat di antara kedai-kedai ikan.

Pasar yang bising

suara nyaring, perdagangan hiruk pikuk,

Gemuruh yang amat gemuruh

suara kaki dan tangan lalu lalang jalan,

Meter dan liter,

Hakikat hidup sejati,

Membanding-banding segar ikan,

Tekstur atap di matahari kedinginan

baling-baling cuara kelelahan.

Menyenangkan, memahat gading kentang

Barisan tomat-tomat hingga ke laut.



Lalu menyala suatu pagi

Muncul dari dalam bumi

menelan kemanusiaan.

Lalu dari sana nyala api,

Lalu dari sana bubuk mesiu,

Lalu dari sanalah darah.

Bandit dengan pesawat dan serdadu kaum Moor

Bandit dengan cincin emas dan para bangsawan

Bandit dengan pemberkatan pendeta jubah hitam

Mereka datang memotong langit membunuh kanak-kanak

dan mengalirlah, darah-darah mereka

Mengalir seadanya, seada-adanya darah kanak.



Para serigala yang disingkirkan serigala

Batu hendak digugut dan diludahi liana berduri

Ular berbisa yang dibenci ular berbisa!



Aku sudah kirim darah itu

darah Spanyol yang bangkit menentangmu

membenamkanmu ke satu-satunya

ombak kebanggaan dan pisau kelaparan!



Wahai Jenderal

Wahai Pengkhianat

Rumahku hancur, tengoklah

Spanyol lebur, lihatlah

Dan dari setiap rumah yang hancur

bukan bunga yang mekar, tapi

memancar logam yang terbakar.

Dari setiap lubang bom di Spanyol

Tumbuh lagi kelak: Spanyol.

Dari setiap peluru kejahatan kelak

lahir sebuah tempat, suatu saat,

yang ditemukan di hatimu.



Engkau bertanya, "Kenapa puisimu

tidak menyapa kami dengan mimpi-mimpi

dan daun-daun, gunung-gunung berapi

di negeri asalmu?"



Datanglah

Lihatlah darah di sepanjang jalan-jalan

datang dan lihatlah

darah di sepanjang jalan-jalan

Datang dan lihatlah darah

di sepanjang jalan-jalan!





[Catatan Jodey Bateman, penerjemah sajak ini dari Bahasa Spanyol ke Bahasa Inggris: Sajak ini adalah tentang Perang Sipil Spanyol dari tahun 1936 hingga 1939. Neruda saat itu bekerja sebagai diplomat di Kedutaan Chili di Spanyol. Pada tahun 1936, pemerintahaan Front Popular, dimana bergabung kaum Komunis, menang pemilu. Seluruh angkatan darat, kecuali enam orang pegawai kantornya, menolak untuk patuh pada pemerintahan baru itu. Dengan dukungan Gereja Katolik, empat jenderal Spanyol memimpin dan pemberontakan melawan Front Popular. Sebagian besar dari prajurit yang mendukung pemberontakan itu adalah kaum Moor, dari koloni Spanyol di Maroko. Nazi Jerman juga mendukung perlawanan itu, dan mengerahkan pesawat tempur barunya mengebom beberapa daerah yang masih dikuasai oleh Front Popular. Pemberontakan itu akhirnya berhasil menumbangkan pemerintahan yang secara demokratis menang pemilu itu, dan Jenderal Francisco Franco lalu naik ke tampuk kekuasaan dan menjadi diktator di Spanyol hingga akhir hidupnya tahun 1976.]

Friday, December 5, 2003

IA BERANGKAT

Sajak Anwar Jimpe Rahman*



ia berangkat dari sebuah kota karena ingin merasai

musim hujan menyentuh pundak ingatan, berlekas

dalam keriangan cahaya, tapi gemetar bagai

ujung daun yang kedinginan



dalam perjalanan, katanya,

yang terlewati ada saja tak sempat dinamai

tapi mesti diberi amsal, biar tak menyesal



[11.2003]



* Sahabat yang mengirim sajak ini lewat surat-e yang hingga kini tak pernah bertemu.

Perpisahan Seorang Kawan

Syair Li Po



Pebukitan biru berjajar di belakang tembok utara:

Air yang putih melingkar ke sebelah timur kota:

Di sinilah, engkau mesti meninggalkan aku --

Terengah-engah sendiri segumpal duri

dalam perjalanan sepulu ribu mil.

Dan awan yang menetes-netes

dan pikiran-pikiran tak tentu tuju!

Matahari pun tenggelam dan

gejolak hati sahabat lama.

Kini hanya lambai tangan, engkau pergi.

Kuda-kuda kita meringkik berbalasan salam.



[Dari versi Inggris: Taking Leave of a Friend]

Thursday, December 4, 2003

Dimana Dulu Kita Bertemu

"Dimana dulu kita bertemu?"



Di jingga senja, jalan pada peta

tak bernama, ketika kau letih

memunguti jejak-jejak sendiri,

dan tiba-tiba merasa kehilangan

segalanya, lalu kautemukan arah

satu-satunya: cahaya senyumnya

menyentuh mata, memintamu kesana.



"Dimana dulu kita bertemu?"



Di sepasang kursi putih, pantai

yang dirindui ombak dipeluki angin,

kau dan dia: bait kosong puisi

minta diisi, lalu ikhlas melebur

seluruh kata, menyusun bersama

frasa-frasa, lalu engkau sendiri

terperanjat waktu kembali mengejanya.



"Di mana dulu kita bertemu?"



Dimana? Pernahkan engkau mencatatnya,

ketika seluruh kapal singgah bertambat,

lalu menarik sauh ke negeri jauh dan

cuaca teduh. Kau dan dia: sepasang

nelayan menjaring doa, membangun rumah

kecil di dermaga dilabuhi badai reda.



Des 2003

Turun dari Gunung Zhongnan

Syair Li Po



Menuruni biru gunung ketika hari malam,

Sinar bulan jadi pengawal di jalan pulang.

Menoleh lagi ke belakang, jejak setapak

Terhampar berjenjang di bayang kelam: dalam.

Lalu kulewati rumah ladang, sahabat petani,

ketika anaknya memanggil dari gerbang pagar,

menuntunku, merangkulku, melalui bambu berlumut

ada liana berduri menangkap memegang bajuku.

Dan aku gembira sebab ada sempat untuk jeda

Dan aku gembira sebab bisa minum dengan sahabat...

Kami bernyanyi seirama angin di daun pinus;

Dan kami diam ketika bintang-bintang turun,

Ketika, aku mabuk dan sahabatku lebih dari bahagia,

Di antara kami berdua, telah melupa dunia.
Aku Tak Mencintaimu Kecuali

Tersebab Aku Cinta Padamu




Sajak Pablo Neruda



Aku tak mencintamu, kecuali karena aku cinta;

Aku berangkat dari cinta, ke tidak cinta,

Aku beranjak dari menantimu ke tak menanti

Hatiku bertukar dari dingin ke kobar api.



Aku mencintamu, karena engkau satu cintaku;

aku sungguh membencimu, dan terus membenci

Takluk, dan ukuran perubahan cintaku padamu:

aku tak melihatmu tapi mencinta membuta hati.



Mungkin cahaya Bulan Januari kelak habis

Hatiku tinggal dengan sifatnya bengis

Sinar, mencuri kunci ke ketenangan sejati.



Pada bagian ini di cerita itu, akulah yang satu

yang mati, aku yang satu, mati tersebab mencintamu

karena aku mencintamu, Cinta, dalam darah dan api.



[Dari versi Inggris: I Do Not Love

You Except Because I Love You]

[Ruang Renung # 41] Tulislah Selain Puisi

MESTINYA menulis adalah menulis saja. Tak ada bedanya apa yang kelak dihasilkan dari kegiatan tulis menulis itu. Prosesnya sama: Ada ide yang datang, atau dicari atau diundang, yang minta dituliskan. Lalu kita melayaninya. Ikhlaskan saja begitu, sederhanakan saja seperti itu. Jangan menganggap puisi itu lebih dari segalanya. Apalagi berpikir bahwa puisi kita lebih dari puisi-puisi lainnya. Bukankah perkenalan kita dengan aksara dimulai dengan kata-kata yang paling sederhana? Bukan puisi yang diajarkan oleh guru-guru pertama kita? Mulailah lagi menjadi murid yang hadir di kelas pada hari pertama. Siap menerima pelajaran yang paling berharga.[hah]

Penguin Magellan





Sajak Pablo Neruda



Bukan badut bukan kanak bukan hitam

bukan pula putih, tapi tegak vertikal

dan si polos yang seperti selalu bertanya

berbaju malam dan salju:

Sang ibu tersenyum pada pelaut,

seperti nelayan melihat astronot,

tapi anaknya tak tampak senyum

ketika dia menatap anak burung,

dan dari laut yang kacau balau

ada penumpang yang amat bersih

bangkit di perkabungan bersalju.



Aku, tanpa ragu, anak burung itu

di sana, di pulau-pulau menggigil

ketika dilihatnya aku dengan matanya,

dengan matanya samudera purba:

tanpa sayap, tak juga lengan

kecuali dayung kecil yang kuat

di kedua sisi tubuhnya:

setua garam;

ketika zaman air masih mengalir,

dan dia melihatku dari zamannya:

sejak itu, aku tahu bahwa aku tak ada;

Aku hanya cacing di dalam pasir.



Ada dalih rasa ibaku

iba yang tetap tinggal di pasir:

burung yang religius,

burung yang tak perlu terbang,

burung yang tak perlu berkicau,

dan lewat bentuk tampaknya

dia burung berjiwa bebas berdarah garam:

maka dari urat nadinya laut paling dingin

jadi terpecahkan.



Penguin, pengembara yang tak kemana-mana,

Pendeta yang teguh tenang di kebekuan cuaca,

Aku takzim padamu, pada garam vertikalmu

Aku cemburu pada bulu-bulu kebanggaanmu.

Wednesday, December 3, 2003

Nyanyian Orang Pemalas*

Syair Li Po



Aku sudah dapat patronnya, tapi

terlalu malas untuk memakainya;

Aku sudah punya ladang, tapi

terlalu malas untuk menanaminya.

Rumahku bocor, aku terlalu

malas memperbaiki atapnya.

Pakaianku robek, aku terlalu

malas untuk menambalnya.



Aku sudah punya anggur, tapi

terlalu malas untuk meminumnya;

Sama saja botol angguku kosong.

Aku sudah punya harpa, tapi

terlalu malas untuk memainkannya;

Sama saja harpa itu tak ada senarnya.

Maka istiku memberitahu aku

tak ada lagi roti di rumah;

Aku mau membuatnya, tapi terlalu

malas untuk menggiling gandum.



Teman kerabat menulis surat panjang;

Aku harus membacanya, tapi surat-surat

itu tampak membosankan untuk dibuka.

Aku selalu diberitahu tentang Chi Shu-yeh

"Si Bisu" yang seluruh hidupnya sunyi.

Tapi dia bermain harpa dan

kadang-kadang ia melabur logam,

karena dia tidak semalas aku.



* Dari Versi Inggrisnya: Lazy Mans's Song

Tuesday, December 2, 2003

Dua Bola Mata Mudanya Menatapmu*

Syair Antar



Aku tahu bahwa engkau telah berniat datang, ketika,

jelas tampak, unta-untamu tertambat di gelap malam.



Tak ada yang menakutkanku bila dia datang, kecuali

unta-unta pembawa barangnya akan memakan biji-biji

pohon khim-khim di seluruh negeri kami.



Di antaranya, ada dua dan empat puluh unta penghasil susu

unta yang hitam sehitam sayap-sayap gagak yang hitam.



Ketika dia memikatmu dengan mulut yang tajam bernafsu,

dan gigi-gigi yang putih, manis tempat kecupan, nikmat rasa.



Maka bila dia menatapmu dengan dua bola mata mudanya,

kijang di belantara pun tumbuh menjadi rusa padang rumput.



* petikan dari syair karya Antar

yang tergantung di dinding Kabah.

Judul dari HA.

Mendaki di Nan-king ke Teras Phoenix

Syair Li Po



Sekali waktu, burung itu bermain di sini,

maka tempat ini diberikan nama mereka.

Phoenix yang telah pergi sungai yang sepi;

Jalan setapak ke Istana Wu, bersemak;

Pakaian Chin pun telah lama berdebu.



Seperti cakrawala hijau ini membelah Tiga Puncak,

Seperti Pulau Bangau Putih membagi sungai itu,

Awan datang ke antara Cahaya Surga dan aku,

Menyembunyikan kotanya dari melankoli hatiku.



[Dari Sajak On Climbing in Nan-king

to the Terrace of Phoenixes]

Monday, December 1, 2003

Puisi, Kabut, Orang Berjalan

Engkaukah yang bergegas menembus jalan berkabut itu?

Aku meraba dada, mengira akan makin ada: degup gugup.



Tapi, engkaukah yang semakin dekat dari ujung kabut itu?

Aku menduga-duga: ada suara dentang pedang di pinggang.



Lalu, haruskah kutanya pada yang tepat lewat: Engkaukah?

"Permisi," kudengar kata itu. "Aku pemburu, terburu-buru..."



Dia yang telah berlalu itu, Engkaukah yang lama ditunggu?

Ah, di mana kini aku? Di geleparku atau di perangkapmu?



Des 2003

Sajak dalam Depresi, di Desa Wei

Sajak Li Po



1

KUDEKAP bantal tak sekata pun berujar;

Di ruangku ini hampa, tak ada suara.

Terbaring sepanjang hari, siapa tahu...

Aku tidak sakitkah? Tidak juga tidur?



2

BAGAI pualam pipi bocah memerah mawar;

Di kuil sakitnya, salju musim dingin memagut..

Tak menduga tubuhku terbenam membusuk;

Perangkat tubuhku tua, jiwaku masih lebih tua.



(Dari Poems in Depression, At Wei Village)
tahun demi tahun

di wajah sang monyet

sebuah topeng monyet



(Haiku Matsuo Basho)
Perjalanan ini, menyakitkan -

kemana mimpiku berkelana

ke atas tambatan memucat



(Haiku terakhir Matsuo Basho)

London

Sajak William Blake



aku mengeluyuri setiap jalan yang ada,

Tak jauh dari Thames terus mengarus,

Menangkap tanda di setiap wajah kujumpa,

Isyarat tak berdaya, isyarat sengsara.



Pada setiap pekik dari setiap lelaki,

Pada setiap jerit bayi yang ketakutan,

Pada setiap suara, pada setiap larangan,

Kudengarkan, ada pikiran menempa rantai.



Seperti ada jerit penyapu cerobong asap

Semua gereja yang menghitam terperanjat.

Dan prajurit yang malang menangis tersedu

berlari dalam darah memerciki dinding Istana.



Tapi, nyaris di jalanan dinihari kudengar

Ada pelacur belia mengerang sekarat

Memecah tangis bayi yang baru lahir

Membusuk wabah, Perkawinan kereta jenazah.

Sunday, November 30, 2003

Tank-tank*

Sajak Ikranagara



pada sore ini. bisakah kau dengar suaranya?

gemuruh suara roda dan mesinnya!

wajah sore pun menjelma jadi horror yang menakutkan!



pada sore ini. tank-tank bergerak di jalan-jalan kota!



inilah saatnya

kata-kata

diuji oleh sejarah.



pada sore ini. tank-tank bergerak di jalan-jalan kota!



kata-kata yang ampang

meskipun dalam bentuk puisi yang indah

akan lari berhamburan

dihempaskan angin sore hari

ke sembarang arah



pada sore ini. tank-tank bergerak di jalan-jalan kota!



kata yang menjaga kehidupan

akan berjaga-jaga di semua sudut kota

menanti saat yang tepat untuk melompat

ke dalam tank-tank itu, membekuk para serdadunya.

para komandan lapangan. para jenderal.

para presiden. siapa saja yang bertanggung-jawab

memerintahkan momok senjata ganas ini bergerak



pada sore ini. tapi bukan untuk membunuh mereka.



kami tidak percaya kepada saling bunuh

antara sesama manusia. missi kami

menyelamatkan manusia, dengan memberdayakan kata-kata.



bagi kami kata-katalah yang paling tepat

agar bagian otak damai di batok kepala kita

bisa mengontrol prilaku pintar manusia

termasuk ketika menciptakan puisi.



atau mantra pong …



ah-him himhim himhim him … sah!



yang harus diledakkan

tanyalah tank-tank dan seluruh persenjataan perang



ah-him himhim himhim him … sah!



kita lebur semua itu jadi serbuk bijihbesi berton-ton

ah-him himhim himhim him … sah!

selanjutnya diproses jadi barang yang aman dan berguna



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



yang sederhana seperti sepeda roda tiga untuk si bocah

atau pipa. untuk sejuta keperluan, tapi tidak termasuk senjata.



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



untuk membangun tempat anak-anak bermain

di taman-taman. agar dimanfaatkan oleh masyarakat luas.



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



pada sore ini. cobalah engkau bayangkan

ketawa penuh canda bocah-bocah kita!

itulah yang bisa membentuk bahagia pada wajah sore hari,

dan bukannya wajah momok penuh horror!



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



kita membutuhkan politik ekonomi perdamaian

yang benar-benar konprehensif!



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



kita membutuhkan kamar dagang untuk kehidupan yang adil!



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



kita membutuhkan akses ekonomi untuk semua orang

agar sirna kemiskinan dan ketimpangan sosial!



ahimsa ahimsa ahimsa ahimsa



inilah saatnya kata-kata untuk bertindak ambil bagian

pada sore ini. tank-tank bergerak di jalan-jalan kota!



pong … ah-him himhim himhim him … sah!



Bloomington, 2003



* Puisi dengan pesan perdamaian ini dibacakan oleh Ikranagara di beberapa tempat di Amerika termasuk dalam Post-Thanksgiving Poetry Bash.

Saturday, November 29, 2003

[Ruang Renung # 39] Jangan Takut Bereksperimen

JANGAN takut bereksperimen. William Blake melakukan itu setelah terkenal dengan sajak-sajak mistisnya yang lebih dahulu sudah menyempal dari arus persajakan di Inggris saat itu. Sajak-sajak dalam The Marriage of Hell and Heaven memang sangat eksperimental. Baik dari segi tema, maupun bentuk sajaknya. Pada sajak Proverb from Heaven dia menyenaraikan sejumlah peribahasa. Itulah yang jadi sajak-sajaknya. Pada sajak lain tiap bait diberi nomor layaknya uraian sebuah definisi. Berhasilkah sajak-sajak eksperimen Blake itu? Bisa ya, bisa tidak. Kritikus bisa panjang lebar memberi ulasan. Populerkah sajak-sajak "aneh" itu? Ada pembaca yang suka, dan pasti ada pembaca yang menolak. Tapi, satu hal yang pasti, apa yang dilakukan oleh Blake akan abadi tercatat dalam biografi kepenyairannya.



Maka dari itu, mari kita bereksperimen, jangan takut gagal, jangan takut tidak populer. Jangan takut keluar dari sangkar sajak-sajak kita sendiri. Eksperimen bisa jadi semacam obat kebosanan bagi perjalanan kita menyair.[ha]

Tentang Seorang Pengemis

SUBUH enggan mempertegas diri. Samar. Sesungguhnya dia memang selalu ragu. Seperti pengemis itu. "Tapi, kali ini, aku harus datang," ujarnya. Datang ke istana penyair yang siang nanti hendak membagi-bagi puisi. Maka, tanpa apa-apa, dia pun berangkat dari gubuk masa kininya. Menuju ke tempat yang kelak di sana berkumpul para pengemis, yang mengharapkan pembagian sehelai puisi, dari seorang penyair yang sudah berkibar mahsyur namanya kemana-mana. Yang sudah menebarkan wangi, keindahan syair-syairnya dari kota ke kota.



PAS menjelang siang. Dia datang. Tepat waktu, teng! Dia melihat penyair itu berdiri anggun di podium di depan rumahnya yang dibangun oleh murid-murid epigon-epigonnya. Seperti hendak berpidato atau berdeklamasi tampaknya. Ah, tak ada salahnya, kata pengemis itu, aku mendengar barang satu dua tumpuk basa-basi sebelum dapat sehelai puisi. Melihat banyak saingan yang datang, pengemis itu mulai gentar, jangan-jangan si penyair kondang itu tak punya stok puisi yang cukup banyak untuk dibagi-bagikan gratis kepada seluruh pengemis itu. Dia melihat pengemis-pengemis yang lain juga mulai berdesak-desakan ingin lebih dahulu dapat kesempatan menerima sehelai puisi gratisan. Seperti dirinya: semua tampak takut tak kebagian.



"SAUDARA-SAUDARA...." ujar penyair kondang itu, akhirnya. Lautan massa hening. Seperti samudera menjelang datang badai. "Sebentar lagi, kami akan membagikan sehelai puisi...."; Tiba-tiba ada yang berteriak, "Toloooong jangan injak sayaaaaaa..."; Lalu kepanikan pun menjalar seperti bubuk mesiu tersulut api; "Saudara-saudara..."; Aaaah... Ada yang terinjak-injak, nih!; "Tenang-tenang, Saudara..."; Lalu semua terkejut oleh sebuah bentakan kasar: Bubar...bubar!; Bererapa salak pistol: Dor! Dor!; Dan, "Kami dari polisi, pengerahan massa ini tak ada izinnya, tolong segera dibubarkan..." Tapi, "Wah, kami belum dapat sehelai....!!"; Menyelinap di antara: Siapa yang bertanggung-jawab?; Ditingkahi suara: "Dor! Dor! Dor!; Dan teriakan: Ini bukan kampanye, Pak! [Bubar! Bubar!] Saya ini cuma penyair; Ada juga: Hati-hati, Pak, waktu pembagian sarung dan zakat kemarin ada empat orang yang mati; Tapi akhinya: Bubaaaaaaaaaaaar! Kalian dengar tidak!



SI PENGEMIS yang berangkat subuh tadi, diam-diam menyingkir. Dengan sisa tenaga melenggang pulang ke gubuk masa lalunya. Sambil menggerutu: huh, mau dapat sehelai puisi saja minta ampun susahnya. Tapi, diam-diam dia bersyukur juga telah memilih jadi pengemis, bukani penyair yang kerap direpotkan oleh puisi-puisi sendiri.



Nov 2003

[Ruang Renung # 36] Puisi yang Tak Selesai

PASTI ada suatu kali nanti, kita akan tidak mampu menyelesaikan puisi yang tengah kita tulis. Padahal di awalnya ada ilham yang begitu kuat dorongannya untuk menuliskan puisi tersebut. Atau memang dari semula kita tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menuliskan puisi itu. Hasilnya sama saja: mentok!



Diapakan harusnya kebuntuan seperti ini? Hentikan saja dulu menulis. Cobalah mencari ide untuk puisi lain. Atau lakukan hal lain selain menulis puisi. Simpan saja puisi yang gagal tadi. Lalu tengoklah lagi suatu saat nanti. Biasanya - dan siapa tahu - nanti akan datang lagi ide lain untuk menyelesaikan puisi yang tertangguhkan itu.[hah]

Perdebatan antara X dan Y

X : Kenapa kita tidak menetap saja di sini, tak musti

    disiksa oleh jarak-jarak yang kita bikin sendiri, tak

    harus merancang perjalanan, memburu tiket dan

    berebut tempat duduk di kendaraan yang selalu

    pura-pura ramah? Kenapa kita tidak menyimpulkan

    saja bahwa di sekarang kita ini, adalah rumah yang

    tak harus kita tinggalkan lagi?



Y: Kenapa kita tidak berumah saja pada sepatu kita yang tak

    pernah ingin berhenti? Melepas tamu dan dilepas sebagai

    tamu juga di setiap terminal, stasiun dan bandar-bandar

    yang kita temui dalam perjalanan kita? Kenapa kita tidak

    merindukan saja setiap kejutan, menemukan kita yang lain

    yang menceritakan perjalanan sendiri yang tak pernah

    ada dalam rute petualangan kita?



X: Kenapa tidak kita akui saja bahwa kita sudah lelah,

    usia dalam ransel yang tak sempat kita hitung lagi,

    entah di mana tercecernya? Entah sudah kita tukar

    dengan apa, entah kita sia-siakan dengan siapa...



Y: Kita memang lelah. Tapi ini bukan soal menang atau kalah.

    Ini soal melangkah, hidup yang harus diberi jawaban, juga

    hidup yang terus menerus mengajukan pertanyaan. Dan usia?

    Apa lagi yang ingin kita tanyakan perihal hitung-hitungan yang

    kelak pasti akan selesai juga urusannya?



X: Kenapa kita tidak kita akui saja bahwa kita sudah terlalu tua,

    untuk menyebut kalimat: "Lihat, aku masih terlalu kuat, telah

    kutaklukkan dia Waktu sang Goliath, telah kubuktikan siapa

    yang akhirnya menang, siapa selamat, siapa sekarat!"



Y: Kita memang telah tua. Tapi ini bukan menutup kemungkinan

    kita untuk menabur biji-biji asam di tepi setiap jalan yang

    memberikan diri bagi lalunya kita, setiap jalan yang menyapa:

    "Selamat Datang, Saudara, Selamat Jalan, Saudara. Supaya

    abadi, jejak sepatumu akan kami titipkan saja pada hujan yang

    kelak akan lewat. Dia atau Engkau yang nanti menunggu

    di muara? Ah, terserahlah saja. Yang penting hati-hati, ya."



X: Nah, lihat! Kenapa kita tidak berhenti membuat orang lain

    mencemaskan kita?



Y: Lalu kapan kita bisa berhenti mencemaskan diri sendiri?



Nov 2003

[Ruang Renung # 37] Mengenal Bentuk-bentuk Sajak

SAMBIL menulis puisi sebebas-bebasnya, perlu juga menengok bentuk-bentuk baku penulisan puisi. Ya, kita perlu tahu bahwa dalam pantun ada sampiran dan isi, ada ketentuan untuk patuh pada bunyi di akhir tiap baris. Kita perlu menyelidik apa bedanya kuatrin, rubaiat dan pantun yang sama-sama empat baris sebait. Kita perlu mahfum tentang soneta yang empat belas baris dan varian-variannya yang membagi delapan baris paparan dan enam baris kesan perasaan. Kita juga perlu mengenal ghazal, bentuk puisi lama yang banyak ditulis oleh penyair klasik di Persia, India dan Pakistan. Juga haiku, sajak pendek padat dari khazanah sasta Jepang.



YA, kita perlu tahu agar kita bisa bersetia pada bentuk-bentuk itu bila memang kita ingin menulis sajak dalam bentuk-bentuk yang kita pilih. Atau apabila kita ingin mempermainkannya, mengkhianatinya, menjungkirbalikkannya, mengolah bentuk-bentuk itu secara kreatif. Keberhasilan, atau kegagalan sajak-sajak kita bisa juga diukur dari kemahiran kita menyiasati bentuk-bentuk itu. Chairil Anwar, pada sebagian sajak-sajak periode akhirnya, dinilai berhasil mengatasi konvensi-konvensi puisi. Dia menulis sajak bebas dan tak terasakan sajak-sajaknya justru hadir pas dalam bentuk pantun yang ketat. Wing Kardjo (?) juga menulis soneta-soneta yang bukan soneta, sehingga bukunya dia beri judul: Memperkosa Soneta.[hah]

Sajak Penyair Mau Mudik

PULANG dari memberi ceramah di sebuah workshop penulisan puisi, penyair itu bertemu dengan serombongan kata yang dipimpin oleh kata tanya, hari belum begitu senja. Tapi, perjalanan sudah sepi. "Wah, mau kemana kalian," kata penyair itu ramah menyapa kepada kata-kata yang sudah lama diakrabinya. "Kamu mau mudik, memangnya mau kemana lagi!" ujar kata seru. "Ya, kami capek, mengembara dari kamus ke kamus dari sajak ke sajak, tapi tak juga bisa memahami arti diri kami yang sesunguhnya," ujar sebuah kata benda. "Lagi pula, sudah lama kami tidak sungkeman sama orang tua," kata sebuah kata kerja.



LALU, kata-kata itu berpamitan meninggalkan penyair yang pura-pura tabah itu, padahal hatinya sungguh gundah sangat gulana. Diam-diam dia sebenarnya ingin menguntit kemana gerangan rombongan kata itu pulang, di mana rumahnya dan di siapa orang tua mereka sesungguhnya. Tapi, dia teringat kalimat yang dia ucapkan di depan peserta workshop penulisan puisi tadi, kalimat yang dikutipnya dari sajak Sapardi: sebermula adalah kata, baru perjalanan dari kota ke kota. Dia pun bergegas pulang ke rumahnya sendiri, teringat kamus dan peta di kamar pertapaannya yang sudah lama tak pernah dibuka-buka. "Saya juga mau mudik, aah!" kata penyair itu bergumam sendiri.



Ied Alfitri, 1 Syawal 1424.



Tentang Seorang Tukang Catat Meteran Listrik

BEGITULAH, hidupnya seperti sudah diukur dan dia tinggal mengepaskannya. Setiap bulan dia berkeliling dari rumah ke rumah, hanya untuk menengok dan lalu mencatat angka-angka pada meteran listrik. Hanya untuk itu? Ah, dia tak pernah bertanya dengan pertanyaan itu, pertanyaan yang hanya akan memojokkan dirinya sendiri.



DIA sangat menikmati pekerjaannya. Setidaknya begitulah perkiraan orang-orang di rumah yang dia kunjungi sekali sebulan itu. Karena kerap kali mereka mendengar Bapak Pencatat Meteran listrik itu bersiul-siul sambil membuka kotak meteran, memastikan berapa angka yang tertera di situ dan mencatatnya. Siulnya pun tak banyak variasi. Paling-paling lagu Engkau Laksana Bulan dari P Ramlee [yang kadang dia nyanyikan syairnya]:.. Oh, Tuhanku, mengapakah kau tinggalkan dirikuuuuu.... Atau lagu D'Loyd: Ibarat Air di Daun Keladi.



DIA cocokkan nomor-nomor rumah, nomor kontrak pelanggan [keduanya musti sama tak pernah berubah] dan angka pemakaian listrik [yang selalu bertambah tiap kali dia berkunjung datang]. Begitulah, seperti semuanya sudah ditakar baginya.



TAK banyak yang mengenal namanya. Kecuali nama yang sudah disebutkan di bait kedua tadi. Ya, orang menyebutnya: Bapak Pencatat Meteran. Jarang sekali ada yang mengajaknya bercakap-cakap. Karena memang tak ada perlunya. Lagipula di kota itu, khususnya di kompleks-kompleks perumahan yang menjadi wilayah kekuasaannya sebagai pencatat meteran, jarang ada pemilik rumah yang ada di rumah saat dia datang mencatat.



PALING-PALING dia disambut gonggongan anjing penjaga [biasanya anjing baru yang sok galak], atau godaan pembantu rumah tangga yang menyalurkan bakat genitnya. "Maaaas, sekali-sekali catat yang lain, dong. Nomor BH kita misalnya, atau nomor apaaa gitu..." He he he. Dia paling hanya nyengir-nyengir unta. Dan terus berlalu setelah selesai mencatat angka pemakaian listrik di rumah itu.



BEGITULAH, sepertinya semua sudah diskenariokan untuk diperankannya. Dia betah menjalani takdir itu. Habis mau apa lagi, ya, Pak? Lagi pula, katanya, untuk sekedar berbetah-betah, apa sih susahnya? Lagi pula, ini pekerjaan nyaris tak ada risikonya. Paling-paling sesekali dimarahi oleh pemilik rumah yang kaget tagihan listriknya melonjak. "Bapak salah catat, ya? Sengaja ditambah-tambahi, ya?!" He he. Itu pertanyaan sia-sia. Apa untungnya saya melebih-lebihkan? Apa bisa korupsi dari angka meteran listrik? He he.



LALU, pada akhirnya. Pada suatu malam menjelang dia bertugas mencatat meteran listrik keesokan paginya, Bapak Pencatat Meteran itu bermimpi. Dia jarang bermimpi sesungguhnya. Karena itu dia merasa sangat terganggu. Apa lagi, mimpinya itu sangat lucu: Dia berubah jadi rumah, dengan nomor yang sangat dia kenal tertera pada pintu. Lalu datanglah seorang pencatat meteran yang berseragam lucu seperti yang biasa dipakainya. Dan petugas itu menyapanya ramah sekali, " Permisi Pak eh Rumah, saya mau mencatat angka di meteran Anda. Ini bukan meteran listrik bukan?"



DIA tidak tahu apa takwil mimpinya itu. Mimpi yang kelak selalu datang berulang setiap kali dia

mampi di rumah-rumah yang entah sudah berapa kali disinggahinya. Dan pada suatu pagi dia terbangun, tanpa membawa mimpi semalam, dan dia ingiiiiin sekali pamitan kepada setiap meteran dan kepada setiap anjing dan kepada setiap pembantu yang selalu dijumpainya di rumah yang setiap bulan selalu dikunjunginya.



Nov 2003