Monday, March 22, 2010

Sekebat Kelebat Aforisma

/1/
AH, pohon yang tabah. Tumbuh setinggi apa yang mampu diberi oleh tanah.

/2/
YANG paling ia cintai dari rumahnya adalah Pintu, yang dengan dua kata sederhana: menutup dan menguak, bisa terbuka atau terjaga rahasia.

/3/
ITU tadi seperti kuliah singkat. Filsafat cokelat. Nama-nama bumbu asing fasih diucapkan di lidah lincah. Demi juadah, dua-tiga kerat.

/4/
TELEVISI kami restoran Minggu pagi. Kami tak memesan apa-apa. Segalanya kausajikan, Farah Quin! Ah, mata, lapar itu pasti bermula dari sana.

/5/
SEPERTI bercukur dengan pisau tumpul, aku seakan dipaksa melepas topeng yang tak kupakai. Wajahku berkarat, usia tak menyembunyikan usia.

/6/
TUHAN, kukira Dia tak mencipta bahasa. Ia serahkan urusan ini pada kecerdasan manusia. Lalu Dia pakai itu untuk wahyu-Nya.

/7/
BEGITU kukira bahasa tercipta. Kita ucap saja kata, lalu riang menafsirnya. Ketika gramatika mengikat segalanya, pada puisi berharap bahasa.

/8/
DONGENG kita akan ditutup kalimat itu juga: Lalu mereka hidup bahagia selama-lamanya. Ya, kita akan bahagia. Tapi tak akan hidup selamanya.

/9/
PERLU kuberi tahu, Obama? Di negeri ini minyak dimatangkan geologi, walau pada kami tak pernah datang Nabi. Cucilah tangan, muka, dan kaki.

/10/
BERAPA lama kau di Negeri Mimpi, Alice? Selama lamaran diajukan dan penolakan kujawabkan. Tapi, tunggu, kulihat dulu arloji Si Kelinci itu.

/11/
MALAM kuning, lancang berlayar. Dia nahkoda kita yang kurang faham. Ini kapal berbendera sejengkal, tenggelam di laut tak beralamat.

/12/
KEMANA kau berjalan di waktu senja hari, Sapardi? Ah, harusnya aku tak bertanya, ya? Kenapa masih juga aku sibuk bertengkar sendiri!

/13/
AKU tertindih di dasar troli. Mencari-cari di mana label harga itu tersematkan di tubuhku. Aku harus membayar sendiri, nanti di kasir itu.

/14/
O, Coca-cola, aku pengiring kereta kuda Pemberton, ke toko farmasi itu, ke aroma gula bakar itu. O, aku tak mau jadi botolmu

/15/
PERLU kuberi tahu, Obama? Di negeri ini minyak dimatangkan geologi, walau pada kami tak pernah datang Nabi. Cucilah tangan, muka, dan kaki.

/16/
SEPERTI terbingkai di lukisanmu, Picasso. Aku kini mungkin tahu, kenapa sesekali kita perlu enggan, berbagi dengan cermin itu.

/17/
KENAPA aku harus mengingatkan pada sesuatu atau seseorang, tanya Hujan, seperti dikutip dari sebuah Puisi, seperti dipetik dari Sapardi.

/18/
KITA memang tidak menanam pohon itu. Siapa yang melempar apel ketika kita menunggu, Jobs! Ada bekas gigitan taring di daging buah itu.

/19/
PATUNG pelangi, Helvy, kolam bidadari. Itu anakmu? Anak lelaki yang memetik Puisi di ranting gaib yang tumbuh dari doamu?

/20/
KITA dua penembak berhadapan, menunggu dentang jam kota mengaba-aba, kita bertukar peluru. Tuhan, Siapa Nama-Mu?

/21/
SEPERTI selalu ada yang tertinggal di laci, di bangku sekolah yang tak berkunci. Sapardi, ya, tak perlu jatuh cinta untuk menjadi Puisi

/22/
LANGIT yang megah di hati yang mentah. Aku juru api unggun, anggota Pramuka yang malas pulang, betah di sekitar kemah.

/23/
HUJAN lebat sekali. Seperti terbawa dari Isla Negra, dari sajak Neruda. Ada lelaki kecil berpayung besar, menyeberangkan aku ke keteduhan.

/24/
"Jam berapa ya sekarang?" tanya arloji padaku. Aku kira dia sedang mati. Ternyata, dia sedang tidak percaya pada diri sendiri.

Fiksimini di Twitter # 02

1.
HARI ini aku ke kantor asuransi. Aku ambil klaim asuransi kematian. Kemarin aku mati kecelakaan.

2.
PENGGALI kubur itu mati. Di nisannya tertulis epitaf: bagaimanapun, aku tak bisa menggali kuburku sendiri.

3.
ROBOT itu diterima kerja di bengkel perbaikan robot. Tugas pertamanya: memperbaiki dirinya sendiri.

4.
DIA tertidur, tv tak dimatikan. TV itu ingin sekali meraih remote control, mematikan dia.

5.
"AKU tokoh dalam kisahmu," katanya pada Agus Noor. Tapi, kau belum menuliskan aku. Hm, kok Dia tahu aku mau menulis tentang Tuhan?

6.
BOLEHKAH aku menggantikan dia? kata sebuah kata pada seorang penyair, sambil menunjuk kata lain di sajak penyair itu.

Fiksimini di Twitter

1.
APA hakmu mengarang-ngarang ceritaku begitu? Tanya seorang tokoh cerita kepada Agus Noor. Prosais kondang itu tak bisa menjawab.

2.
"BIAR kuselesaikan sendiri," kata calon novel kepada Eka Kurniawan yang tak juga selesai menulis novelnya itu.

3.
SEBELUM pindah, dia kirim surat ke alamat barunya. Isinya: pulanglah ke rumah lamamu, aku merindukanmu.

4.
PENARI telanjang itu mati saat menghibur serdadu di medan perang. Dia dikuburkan tanpa kain kafan.

5.
KORAN itu mengantar dirinya sendiri. "Loperku mati. Beritanya tak akan ada padaku," kata koran itu padaku.

6.
IA jalan dari kubur ke kubur. "Cari siapa?" tanya penjaga. "Cari kuburku," katanya. "Pantas tadi ada juga kubur cari Anda"

7.
SEMUA surat yg dia kirim kembali padanya dgn catatan: salah alamat, juga surat yang ia kirim ke alamatnya sendiri.

8.
Sebelum mencabut nyawaku, maukah kubacakan sajak? Tanya Penyair kepada Malaikat. "Nanti, setelah kau mati aku ada waktu untukmu," kata Malaikat itu.

:: Ikuti saya di twitter/hasanaspahani

Friday, March 19, 2010

Dia Seduh Dua Gelas Rosella

: SDD 

/1/

NAMA-NAMA di rak buku itu mungkin ikut
mendengarkan juga. Perbincangan kita.

"Kita minum seduhan ini saja..." katamu.

Tepat, kutebak dengan segera, "Rosella!"

"Ya," katamu. Ah, aku tentu lekas tahu
dari kelompok kelopak ranum marun itu.

Dan serta-merta - setelah seruput pertama -
kita bercakap dengan kata biasa, tentang
bagaimana cara meluarbiasakan kata-kata.

/2/

Nama-nama di rak buku itu, kubaca bagai
Dylan? Tagore? Elliot? Frost? Atau Lorca?

Mereka mungkin ingin juga kau pinjamkan
sarung, penyelimut tidur, pengganti piyama.

"Ah, tak perlu. Kita sudah sering mimpi
bersama. Bertemu di bait-bait bicara yang
kita garisbawahi, kita tandakurungi, kita
lingkari - dan kata-katanya jadi seunggun
api, menyala abadi, hangat sekali. Siapa
yang ingin lekas tidur dalam pertemuan
semenakjubkan ini?" katamu. Dan lekas aku
angguki. Berkala-kala. Berkali-kali.

/3/

Nama-nama di rak buku itu, satu per satu,
aku pelajari bagaimana cara memanggilnya.

Eh, betulkah itu? Sepertinya ada satu nama
yang aku kira sangat aku kenal di rak itu?

/4/

"Sekarang mari kuperkenalkan kau, kepada
namaku sendiri," katamu. Mengajakku ke
rak buku lain, yang bagiku sama saja dengan
yang pertama tadi - yang pada malam itu,
malam yang beracun mimpi itu - menjelma
menjadi akuarium, dan buku-buku itu adalah
ikan yang berenang riang, mematuki mataku.

Nama-nama di rak buku itu, semalam itu,
diam-diam makin meracuniku dengan Mimpi.

Thursday, March 18, 2010

[Mempergunjingkan Chairil # 06] Chairil yang Merevolusi Sastra Indonesia

SETELAH Chairil Anwar menyiarkan sajak-sajaknya, setelah sajak-sajaknya dibahas, diulas, didudukkan setinggi-tinggi sebagaimana layaknya ia dapat tempat, maka sejak itu tidak ada lagi penyair yang menulis dengan gaya Pujangga Baru! Inilah revolusi itu. Revolusi yang digerakkan - atau setidaknya dirintis - oleh Chairil.

Chairil berhasil meyakinkan bahwa sistem persajakan lama itu bisa dirombak.  Ia mencari dan menemukan bahasa yang menyegarkan bahasa lama yang membosankan itu.

A Teeuw ada mengutip hasil penelitian Keith R. Foulcher yang menggambarkan dengan jelas seperti apa konvensi persajakan pada masa Pujangga Baru dan bagaimana kemudian Chairil mengubah konvensi itu.

Kita butir-butirkan saja kutipan dari Teeuw (bacalah, sambil membayangkan bagaimana sajak-sajak dari zaman Pujangga Baru itu dideklamasikan oleh seorang murid SD yang diajari oleh Guru Bahasa yang hanya patuh pada kurikulum):

1. Dalam masa Pujangga Baru konvensi puisi dari masa sebelumnya di bidang bentuk dan teknik dipertahankan dengan ketegasan dan konsistensi yang cukup nyata. Dari segi bentuk kwatrin tradisional (bait berlarik empat dan berkata empat)  menjadi dasar ekpresi.

2. Bahasa sebagian besar tetap bersifat retoris; bahasa nan indah tetap menjadi cita-cita estetis dalam pertentangannya dengan bahasa sehari-hari.

3. Dalam bidang tema dan perkiasan pun tidak besarlah perubahan kalau dibandingkan dengan masa sebelum Pujangga Baru.

4. Skala emosi yang dilahirkan dalam puisi selalu terpantul dalam aspek-aspek keindahan alam yang lembut-halus.

Chairil hadir dengan perlawanan. Ia perkenalkan tema-tema baru dalam sajak-sajaknya. Ia angkat bahasa sehari-hari menjadi berdaya puisi, sehingga sajak menjadi dekat dengan banyak orang. Ia tulis sajak dengan bentuk-bentuk yang "rusak" dan merusak tatanan bentuk-bentuk lama. Ia tulis sajak yang jiwanya bukanlah jiwa malas yang terpukau dan terbuai oleh indahnya pemandangan. Ia tulis sajak dengan gelora jiwa menghempas.

Bayangkan, kalau Chairil tidak "melawan" Pujangga Baru, maka konvensi itu bisa jadi akan terus bertahan! Kita sumbangan paling besar - dan tak ternilai - seorang Chairil kepada bahasa dan sastra Indonesia.

Kesepian dan Kesendirian

KESEPIAN dan kesendirian itu, akhirnya
mengerti-menyerah di hadapan Onghokham.

Mereka lalu melangkah, beriringan ke sebuah
sejarah: ke ujung-ujungan akar peristiwa,
ke kelok-kelokan cabang kejadian, ke
lapis-lapisan lingkar batang kehidupan, sampai
ke tempat yang tak tersampaikan oleh hidup
yang - ah, itu ternyata - cuma sebentar!

Dan daun-daunnya berguguran, di halaman,
- ini seperti bait sajak penyair malas -
tak hirau pada lelaki tua yang berdiri
dengan tangkai sapulidi dan korek api.

Kesepian dan kesendirian, bukan abu itu,
buka asap itu. Ia menggetah mentah, dan
nanti matang, diperam, dalam novel Pram.
   

Wednesday, March 17, 2010

[Mempergunjingkan Chairil # 05] Melahirkan Bahasa Baru

CHAIRIL Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin. Mereka adalah "Tiga Menguak Takdir", sebagaimana judul buku puisi yang mereka terbitkan bersama. Ada kesamaan di antara mereka: sama-sama rakus membaca sastra asing. Tapi, toh hasilnya berbeda. Chairil mencuat menjadi penyair terkuat di antara mereka bertiga.


Dalam hubungannya dengan sastra asing - demikian Sapardi Djoko Damono menilai - Chairil Anwar tidak menerima pengaruh itu secara pasif.

"Ia sengaja 'merebut' pengaruh dari apa saja yang dibaca, disadur, dan diterjemahkannya -- dan kemudian dipergunakannya untuk tidak hanya mengembangkan tema, tetapi juga untuk menciptakan cara pengungkapan baru, 'bahasa' yang baru, yang berbeda dari yang dipergunakan oleh para penyair yang sebelum peran g menyiarkan sajak-sajak terutama dalam majalah Poedjangga Baroe, yang tetap juga dipergunakan oleh para penyair di zaman Jepang," kata Sapardi dalam "Chairil Anwar: Perjuangan Menguasai Konvensi", makalah yang ia paparkan di hari peringatan Chairil Anwar, di Pontianak, tahun 1995.

Jadi, kekuatan Chairil adalah membaca! Dia pembaca yang lapar dan lahap. Dia membaca sajak-sajak luar, yang berbeda dengan sajak-sajak yang ada di negeri ini pada zamannya. Dari situ dia mendapatkan perbandingan, dari situ dia memperkaya khazanah baru bagi persajakannya.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dia membaca? Lalu apa yang dilakukan setelah membaca? Chairil menerjemahkan, menganalisa, menyadur, mengunyah dan tidak menelan mentah-mentah segala pengaruh dari bacaan itu.

"Pada dasarnya," kata Sapardi, "menerjemahkan adalah suatu proses menciptakan cara pengungkapan baru dalam bahasa sasaran bagi pengalaman yang terkandung dalam bahasa sumber."

Lalu, kata Sapardi selanjutnya, jika pengalaman itu merupakan hal asing juga dalam kebudayaan bahasa sasaran, yang harus dilakukan penerjemah adalah menciptakan cara pengungkapan baru.

"Proses seperti itulah yang kira-kira terjadi pada Chairil Anwar; dari proses itu lahir "bahasa baru" dalam puisi Indonesia," kata Sapardi menyimpulkan.

Apa yang tidak bisa ditiru dari Chairil? Apakah sekarang mustahil bagi kita, melahirkan lagi sebuah atau beberapa "bahasa baru" dalam puisi Indonesia? Saya jawab: bisa!***

Kamus Kehilangan

KITA seperti sepasang penyusun Kamus Kehilangan,
bertanya pada semua kata, mahir mengartikan Thukul
dan Munir, cermat menjabarkan tahun dan Tuhan.

Untuk sebuah Kata, kita pernah berdebat panjang
Engkau ingin kata itu kita lupakan saja. Sementara
aku ingin kata itu kita uraikan saja, sejelas-jelasnya.

[Mempergunjingkan Chairil # 04] Menulis Sajak adalah Menyelenggarakan Sebuah Percobaan!

 DALAM buku "Puisi Indonesia Modern" (Pustaka Jaya, Cet. 2, 2008), Ajib Rosidi memilih tiga sajak Chairil yaitu "Aku", "Doa" dan "Persetujuan dengan Bung Karno'. Ajib menyimpulkan bahwa dalam setiap sajak Chairil, si penyair berhasil menjelmakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa sastera yang matang.

"Setiap kata, setiap kalimat, setiap bait kelihatan ditimbang matang-matang, sehingga mencapai efektivitas yang maksimal," kata Ajib.



Chairil pun, kata Ajib, memperkenalkan imaji-imaji baru atau asing dalam Bahasa Indonesia. Pada satu pihak, ia banyak mempergunakan kata-kata Bahasa Indonesia sehari-hari, sementara itu dia juga meningkatkan hal-hal keseharian itu sehingga mencapai kesemestaan.

Dengan kata lain: kata-kata itu meskipun dipungut dari bahasa sehari-hari telah diasahnya sedemikian rupa sehingga di dalam sajaknya menjelma menjadi sesuatu yang berbobot puisi.

Kita bisa belajar dari sini, yaitu bahwa untuk menciptakan yang hebat, seperti sajak-sajak Chairil, kita harus memaksimalkan efektivitas kata dan kalimat. Bagaimana caranya?

"Chairil bersungguh-sungguh menimbang segala yang hendak ditulisnya," kata Ajib.

Kesungguhan itu bisa kita temukan bukti lain dalam kartu posnya kepada Jassin bertanggal 10 April 1944. Chairil menulis: Jassin, yang kuserahkan padamu - yang kunamakan sajak-sajak! - itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa "tingkat percobaan" musti dilalui dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya.

Lihat, betapa Chairil dengan sadar - dalam sajak-sajaknya - melakukan pencarian dan percobaan untuk menemukan kiasan-kiasan baru. Dan dia melakukan itu berulang-ulang, "bertingkat-tingkat", sampai ia merasa telah menghasilkan sajak sebenarnya.

Tuesday, March 16, 2010

Elegi Setalam Pizza dan Semangkuk Panekuk

Bila hatimu berganti, dia akan engkau lupakan?
Tak sampai jawaban, dia teringat Dahlan Iskan.

*

Ada selingkaran embun, membumban pada ubun-ubun,
Itu bekas sembahyang subuh, atau seremang peluh.

Dalam setalam pizza, dia titikan letih lidahnya,
tergelincir di saos yang cuka, tak bisa berpegang
pada belah daging: yang bukan sapi, bukan domba.

Awan yang megah, langit yang kental dan rendah.

Dia mengecil: seperti terjebak di sidang paripurna,
dicecar pertanyaan anggota parlemen, dan dia tak
tahu harus menjawab apa. Semua sama saja: semua sahih,
semua batal, semua punya-dalih, dan tak-masuk-akal.


*

Bila hatimu terluka, dia akan bisa menyembuhkan?
Ragu pada jawaban, dia terkenang Dahlan Iskan.


*

Ada sayap cahaya, sekelebat, dan hinggap melebat,
di tubuh berbeban lapar, mendung menanggung mata,
padamu dia bertanya: kita hendak terbang kemana?

Cuaca buruk betapa, dia tak bisa bicara ke Menara.

Sirkumstansi itu: seperti ruang tunggu, ruang jemu,
listrik mati, putus segala koneksi, tak ada wi-fi.

Tapi televisi plasma itu, kenapa masih saja menyala?

Seperti dia terpaksa menonton langsung, pidato yang
terlambat tayang, dan dia tak tahu harus melempar apa,
sejauh itu, meranjah waktu, dia datang kaki telanjang.

Pada semangkuk empuk panekuk, bimbangnya bak telunjuk,
menyentuh-menusuk ke dalam genangan kuah, madu lebah.

*

Bila hatimu mengecil, darinya engkau jauh memencil?
Resah pada jawaban, dia terbayang Dahlan Iskan.



Monday, March 15, 2010

Fiksimini tentang Dia dan Telepon Genggamnya

1. Buat Apa Punya Dua Telepon Genggam?

AKU bertanya padanya begitu.

Dia jawab, "Aku ini sering kesepian. Kalau aku kesepian aku akan menelepon diriku sendiri dari nomor yang satu ke nomor lainnya, supaya aku tidak kesepian lagi."


2. Kuburkan Aku Bersama Telepon Genggamku

BEGITULAH dia meninggalkan wasiat. Anak-anaknya tidak setuju, kecuali si bungsu yang masih belajar di sebuah pesantren. Beberapa malam setelah pemakamannya, si bungsu menerima telepon darinya. "Kirimi aku pulsa," katanya. Si bungsu menjawab, "Tidak bisa, Pak. Ingat kalau manusia mati, putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: ilmu yang berguna, sedekah zariah, dan doa anak yang saleh." Lalu, si bungsu menutup telepon. Sejak itu, dia tak pernah lagi menelepon.


3. Nomor Telepon di Batu Nisan

DIA mati. Dia dikuburkan. Di batu nisannya, di sebelah namanya, ada nomor telepon. Seorang peziarah menelepon nomor itu. Seorang perempuan dengan suara terlatih petugas pelayanan pelanggan menjawab, "P.T. Nisan Mati Abadi di sini, ada yang bisa kami bantu?". Si peziarah yang menelepon tadi memutuskan sambungan telepon sambil menggerutu, "di mana sih saya bisa bebas dari kepungan iklan!"


4. Dia Kehilangan Telepon Genggam

DIA kehilangan telepon genggamnya. Telepon genggamnya juga kehilangan dia. Dia dan telepon genggamnya, di tempat masing-masing, ingin sekali saling menelepon. Mereka ingin sekali saling menanyakan kabar dan saling memberitahukan di mana mereka masing-masing berada agar bisa saling menemukan: dia menemukan telepon genggamnya, telepon genggamnya menemukan dia.


 5. Kenapa Kau Jual Telepon Pintarmu Ini?

"KARENA dia terlalu pintar," katanya, "Sejak memilikinya banyak kejadian aneh kualami. Tiba-tiba saja ada petugas mengantar pizza, ayam goreng, air galon, petugas laundry, ambulans, pesanan peti mati, padahal aku tidak menghubungi mereka."

"Jadi siapa yang menelepon?" tanyaku. Jawabnya, "Ya, siapa lagi kalau bukan telepon pintar yang terlalu pintar dan kadang-kadang sok pintar ini!"





[Mempergunjingkan Chairil # 03] Begini Caranya Dia Menyadur

PADA Februari 1954, lima tahun setelah kematian Chairil, sebuah surat pembaca terbit di majalah "Siasat". Isinya membandingkan sajak "The Young Dead Soldiers" karya Archibald McLeish dan "Krawang-Bekasi" karya Chairil Anwar (yang oleh G.S. Kumajas - si pengirim surat yang hingga kini tak jelas siapa orangnya - disebut berjudul "Kenang-kenanglah Kami").



Sajak McLeish ditemukan oleh Kumajas di majalah "Reader Digest" edisi September 1945. Chairil menulis "Krawang-Bekasi" tahun 1948, dan terbit pada tahun yang sama di "Mimbar Indonesia".

"Waktu saya membaca sajak ini, maka tergoncanglah kepercayaanku pada Chairil. Betapa banyak persamaan - untuk tidak mengatakan hampir sama samasekali - ..." kata Kumajas.

Ihwal ini, segera ramai bahkan jadi polemik panjang tidak hanya di Siasat, tapi jgua di koran-koran lain. Siasat sendiri menghentikan polemik itu pada bulan Mei - setelah tiga bulan lamanya jadi topik hangat.

Pada kesempatan pertama Asrul Sani, langsung menjawab surat pembaca itu. "Bahan penguji yang diberikan oleh Saudara Kumajas memang mengagetkan karena kemiripannya yang agak besar," kata Asrul. Tapi ia menyimpulkan, "..bagi saya ini bukanlah tiruan yang sadar." Ada beberapa alasan Asrul - yang mengenal Chairil secara pribadi - hingga sampai kepada kesimpulan itu.

1. Chairil mempunyai ingatan yang tajam sekali terhadap kalimat-kalimat yang ia temui dalam sajak. Sering ia menyitir kalimat dan sering ia tidak tahu lagi di mana ia baca.

2. Jika Chairil membaca sajak, sering ia memakai pinsil. Demikian kita lihat di samping sajak-sajak bahasa asing yang ia baca, terjemahan dari beberapa patah kata; kadang-kadang bukan terjemahan, tapi catatan. Catatan yang kemudian mungkin timbul lagi dalam sajaknya sendiri.

3. McLeish menulis sajaknya dalam "persoon ketiga", sedangkan Chairil dalam "persoon pertama".
 "Perbedaan ini dalam puisi tidak boleh dianggap kecil karena banyak hubungannya dengan keakraban perasaan yang tersimpan dalam sajak itu," kata Asrul.

Mari kita bandingkan sendiri, untuk kita petik pelajaran bagi kita sendiri. Baca kedua sajak itu di sini dan di sini. [] 



Saturday, March 13, 2010

[Mempergunjingkan Chairil # 02] Dia Pembaca dan Penerjemah yang Hebat

CHAIRIL adalah "Plagiator". Tapi, bagi saya dia adalah Plagiator Agung. Dia Plagiator Mulia. Kalau untuk menjadi penyair sehebat dia menjadi "plagiat" seperti dia adalah satu-satunya cara, maka marilah kita sama-sama meniru dia: menjadi plagiator. Sebelum membantah ajakan saya di atas, atau mengutuk saya karena ajakan itu, mari kita lihat apa yang dilakukan Chairil.



Meski putus sekolah MULO ((Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah setingkat SMP di zaman Belanda), Chairil mengusai tiga bahasa asing: Inggris, Belanda dan Jerman. Dan dia adalah pembaca yang rakus. Dia membaca semua buku-buku teks resmi pelajar HBS (sekolah setingkat SMA).

Sebelum menyiarkan "Nisan" - sajak "pertamanya" itu - menurut H.B Jassin, Chairil juga menulis sajak dengan gaya Pujangga Baru. Sajak-sajak itu tidak memuaskannya dan dia buang semua.

Chairil lalu mencari metode persajakan apa yang baru, yang berbeda, yang segar, dan memuaskan gairah menyajaknya. Dia membaca dan menerjemahkan sajak-sajak dari penyair Eropa.

Dia menemukan dan belajar vitalitas dari Hendrik Marsman (Belanda), serta mengadopsi etos kerja dan metode puisi Rainer Maria Rilke (Jerman). Dia terjemahkan sajak-sajak dan surat Rilke dan dari situ dia punya sikap tegas: tak percaya pada kerja spontan. Dia tak percaya pada seni yang mengandalkan improvisasi. Sajak Chairil adalah karya yang dihasilkan dari kerja keras mencari pengucapan yang khas. Itulah metode menyajaknya: mengorek kata sampai ke inti. "...dalamnya tiap kata akan kugalli-korek sedalamnya, hingga ke kernwoord, ke kernbeeld," katanya.

Chairil menerjemahkan dan menyadur ("Krawang-Bekasi"-nya ditulis berdasarkan "The Young Dead Soldier" McLeish, dan ini adalah sajak saduran yang hebat) sajak dan prosa dari penyair lain: Auden, Conford, Gide, hingga Steinbeck. Ia membaca Eliot dan Hemingway, semua dalam bahasa aslinya.

Apakah merujuk ke sastra barat hanya dilakukan Chairil? Tidak. Para penyair Pujangga Baru melakukan hal yang sama, tetapi menghasilkan sajak yang tak semutu. Mereka merujuk ke Angkatan '80 di Belanda dan Chairil mencela mereka sebagai epigones. "Epigones yang tak tentu tuju pula lagi," tulisnya dalam kartu pos kepada Jassin, 11 Maret 1944.

Tidak hanya menoleh ke Barat, Chairil juga mengagumi Amir Hamzah. Ia baca cermat sajak Sang Raja Pujangga Baru (angkatan yang "dilawannya") itu. Dia puji Amir Hamzah dan ia bilang, "...susunan kata-kata Amir Hamzah bisa dikatakan destuctive terhadap bahasa lama; tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru!"

Tapi Chairil tidak meniru penyair yang dikaguminya itu. Ia hanya mengambil semangatnya: menginterogasi terus-menerus bahasa persajakan yang jadi arus utama dan dengan itu ia membangun dan menemukan kekuatan sajak-sajaknya. []

[Ruang Renung # 248] Soal Risiko Itu

KETIKA kita menggubah sajak, apapun bahannya, kita berhadapan dengan risiko itu: kita akan menghasilkan sajak yang buruk, atau sajak yang baik. Sekali lagi, apapun bahannya, juga ketika bahan yang sama sudah diolah oleh penyair terdahulu.


Ketika kita dengan sadar memilih, atau tergerak, atau tertarik, membuat sajak dengan bahan yang sama dengan para pendahulu kita, saya kira pertanyaan penting bukan lagi apakah sajak kita lebih baik atau lebih buruk, tapi, apakah kita bisa menghasilkan sajak yang berbeda.

Bahan atau tema sajak itu berulang. Siapa penyair yang tak pernah menulis sajak cinta? Tetapi, ketika kita menulis sajak cinta, apakah kita harus mencontek bagaimana Sapardi atau Rendra, mengolah sajak cintanya? Terserah engkau. Kalau kau hanya ingin jadi pengekor, tiru saja.

Di ranah kreatif bernama seni puisi ini, peniruan adalah kemalasan. Dan kemalasan tak akan pernah mengantarkan engkau kemana-mana, kau akan tetap kerdil di bawah bayang-bayang puncak-puncak para pendahulumu. Kau tak akan pernah menjulang sebagai dirimu sendiri, di puncakmu sendiri. []

[Ruang Renung #247] Soal Peta Itu

PARA penyair terdahulu di negeri ini sudah membentangkan karyanya. Ibarat sebuah lanskap, di ranah perpuisian Indonesia itu terbentang jalan, hutan, puncak, bukit, sungai, lembah, rawa, semak, wilayah remang, dan padang pasir.

Para penyair yang datang kemudian, diuntungkan, dan sekaligus dipersulit dengan keadaan itu.

Diuntungkan karena jalan utama di daerah perpuisian kita sudah ada. Tapi, penyair yang benar-benar ingin punya kavling sendiri, ingin merintis jalan sendiri, ingin mencapai puncak sendiri tentu harus kuat dan berani masuk ke hutan dan mendaki puncak sendiri.

Betul, peta persajakan harus tersedia. Ini adalah kerja para kritikus. Tak usah mengeluhkan kemana saja mereka. Tanpa peta dari mereka, kita bisa membuat peta sendiri, demi persajakan kita sendiri.

Itu dilakukan oleh Joko Pinurbo, misalnya. Ia membuat wilayah-wilayah yang sudah ditempuh oleh Goenawan Mohamad, Sutardji, Sapardi, Rendra, Afrizal, Chairil, dan menandai jalan mana yang belum ditempuh oleh para pendahulu itu. Dan dia menemukan jalannya sendiri, jalan yang orisinal yang mengantarkan dia ke puncak sajaknya sendiri.

Maka, bacalah sajak-sajak para pendahulumu, telaahlah, kajilah, petakan untuk merancang jalan petualanganmu. Dengan peta itu, kau tahu mana wilayah yang sudah bertuan, mana wilayah yang belum digarap, mana jalur yang bisa kau rintis untuk mengantarkanmu ke puncak sajakmu sendiri.[]

[Ruang Renung # 246] Orisinalitas Itu

SAYA benci, bukan sekadar tak suka atau tak percaya dengan kalimat ini: Tak ada yang baru di bawah matahari. Kalimat itu hanya menjadi tempat berlindung orang-orang yang malas, atau takut dengan orisinalitas.

Orisinalitas memang bukan perkara mudah. Tapi, dengan tekad kuat untuk meraih dan memperoleh itu, maka seni (juga sastra tentu saja) modern berkembang. Sejarah seni, cobalah telusuri, mengajarkan hal itu. Tanpa penemuan-penemuan baru, tanpa ada orisinalitas dari pekerja seni yang datang kemudian, seni tak berkembang. Macet. Jenuh. Membosankan.



Saya pakai klasifikasi modern untuk membedakannya dengan tradisional. Khususnya di sastra, dulu pujangga mengabdi pada raja, nabi, atau penguasa dan menulis atas dasar perintah, atau pengabdian, tidak sepenuhnya berkarya atas dasar dorongan jiwa sendiri.

Kita tidak akan mengagumi Dali, Picasso, Rembrant, Monet, kalau mereka menghasilkan lukisan yang sama belaka.

Kita tidak akan bisa belajar banyak dari Chairil, Tardji, Sapardi, Jokpin, jika karya mereka sama belaka.

Mungkin terjadi seseorang menulis sajak yang sama persis dengan AKU - Chairil atau AKU INGIN - Sapardi. Mungkin dia bisa membuktikan bahwa dia benar-benar belum pernah membaca kedua sajak itu. Tapi, apakah ada artinya? Tidak. Kesamaan itu, pengulangan itu, sengaja atau tidak sengaja tidak menawarkan kebaruan apa-apa.

Puisi adalah seni. Seni Puisi. Senimannya, penyairnya adalah pekarya yang bebas. Dia tidak dipaksa oleh siapapun untuk berkarya. Dia bisa berhenti kapan saja- kata Tardji. Tapi, ketika berkaya dia harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Kebaruan, kesegaran adalah hal yang mutlak untuk diupayakan dan ditemukan.[]

[Mempercakapkan Chairil # 01] Yang Muda yang Menghayati Hidup

CHAIRIL lahir tahun 1922. Pada tahun 1942 - pada usia 20 tahun - ia menulis sajak "Nisan". Ini sajak sulungnya yang kita terima. Ia pasti ada menulis sajak sebelum itu, sajak yang ia simpan, karena dia anggap belum menjadi, lalu hilang tak tersimpan, tak terlacak lagi, atau belum memuaskan dia.
Inilah sajak yang ditempatkan pada urutan pertama di kumpulan sajak lengkapnya "Aku Ini Binatang Jalang" (Gramedia Pustaka Utama, Editor Pamusuk Eneste).



Pemuda seusia itu, menulis sajak "Nisan", begini:

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.



Sajak yang pendek saja. Sebuah kwatrin. Dengan rima yang tertib. ABAB. Sebuah bentuk formal persajakan yang lazim dipakai oleh penyair pada masa itu.

Pada masa itu, Rosihan Anwar menulis sajak begini:

Bukan sahaja permainan kata
Benar lantaran Keyakinan jua
Hingga tak segan bila ketikanya
Hendak dikorban sekalipun jiwa.



Pada masa yang sama, Anas Ma'ruf menulis sajak begini:

Hati berontak meradang bengis,
Garang dan nekat mungkin terjadi,
Terbatas segala ratap dan tangis,
Hidup menyesali nasibnya sendiri.



Kalau kita baca sekarang, dua contoh sajak selain sajak Chairil di atas, terasa kedua sajak itu gayanya jadul sekali. Sementara milik Chairil sampai saat ini masih terasa baru!

Kata-katanya, sama saja. Kecuali kata "sahaja" di sajak Rosihan yang langsung bikin kita terasa terdampar di sekolah rakyat. Jadi, kalau pilihan kata yang tersedia sama, berarti itu tidak jadi masalah. Maka pasti kekuatan sajak Chairil ada pada bagaimana cara kata-kata itu digubah. Ini kerja menyair yang sesungguhnya: menemukan cara ucap sendiri, bagi sajak-sajaknya sendiri. Dan Chairil berhasil melakukan itu.

Ini soal kemahiran (dan kecerdasan berbahasa). Soal lain adalah bagaimana Chairil menghayati hidup untuk ia sajakkan. Ia bicara soal kematian. Ia sampai pada rumusan yang jenius: bukan kematian benar menusuk kalbu. Sajak ini terus-terang ia tulis untuk (atau karena) kematian neneknya. Perlu kita lacak, pada masa itu, frasa "menusuk kalbu" sepertinya bukanlah gabungan kata yang lazim. Chairil menciptakan paduan itu untuk menyatakan perasaannya.

Sajak ini, bicara soal ketabahan menerima maut yang menandai ketibaan segalanya. Chairil untuk kepentingan persajakannya mempersonifikasikan "nisan", metafora dari maut itu. Ia menyebutnya sebagai "tuan", yang hanya setinggi itu (berjarak) dari debu, rendah sekali. Hina sekali. Debu itu lalu disejajarkan dengan "duka" (sebuah persandingan yang bagi saya mengejutkan).

"Tak kutahu...", kata Chairil. Itu artinya, dia mau bilang, "baru aku tahu....". Ini pilihan cara mengucap yang menurut saya juga sangat orisinal. Dan itu ditulis oleh seorang penyair berusia 20 tahun! Pada usia itu, tak sedalam itu penghayatan saya atas kehidupan. Tak sehebat itu penguasaan saya atas bahasa.

Sajak pendek ini mengajari kita banyak hal untuk menjadi penyair yang hebat: penghayatan yang dalam atas hidup, dan kemahiran menguasai bahasa sebagai alat untuk mewujudkan nilai-nilai hasil menghayati kehidupan itu. []