Wednesday, December 30, 2009

formspring.me

Apa yang paling Anda sukai & tidak sukai dari penyair pemula?

Setiap penyair pasti dulu adalah penyair pemula. Saya suka melihat mereka yang dengan tekun dan sabar belajar, menggali potensi, tidak lekas merasa bisa dan besar. Saya suka mereka yang menulis puisi karena mencintainya, bukan karena ingin jadi penyair apatah lagi ingin menjadi terkenal karena puisi.

Saya tidak suka yang sebaliknya dari itu-itu tadi.

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

Bang, sajak bisa digunakan sebagai obat apa saja?

obat? sajak itu juga bisa jadi virus, bakteri, jamur yang juga bisa bikin penyakit kok :-)...

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

Maaf, belum ada pilihan komentar jadi belum bisa mengucapkan terima kasih atas jawaban-jawaban bung HAH. Hmm, bagaimana ya cara memupuk cinta yang dalam -seperti anda- untuk komitmen terhadap karir kepenulisan? :)

Menulislah, seolah-olah kamu akan mati kalau tidak menulis. Itu kata Rilke. Saya tidak akan mati kalau saya tidak menulis. Sejak SMA saya bekerja di surat kabar. Selepas kuliah, saya pernah mencoba kerja bukan di media. Saya kerja di hutan. Eh, di sana saya masih menulis juga. Selebihnya, hingga sekarang saya selalu kerja di media.

Untuk menjadi penulis, kata para penulis besar, kita harus jadi pembaca yang lahap. Saya pembaca yang rakus. Itu yang membuat saya selalu merasa punya sesuatu di kepala untuk jadi bahan tulisan.

Karir? Saya belum hidup dari tulisan-tulisan saya. Saya hidup dari gaji saya sebagai wartawan. Honor dari puisi impas untuk beli buku saja. Kelak, saya ingin hidup dari buku-buku yang saya tulis.

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

contohnya? (terkait dng pertanyaan sebelumnya)

nanti dibukukan khusus tema ini...

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

adakah karya anda yang membahas tentang waktu ?

ada banyak. dulu saya ada bikin serial Kalender yang Terbakar.

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

sy selalu membandingkan puisi dgn bentuk seni yg lain, khususnya musik... bagaimana menurut Om?

bagus. saya selalu membandingkan puisi dengan apa saja. bukan hanya seni yang lain. tapi juga hal ihwal lain.....

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

apa pendapat Om HAH, tentang puisi2 yg ada di FB?

Ada yang bagus, ada yang buruk. FB, blog, koran, majalah, itu kan media. Cuma tempat untuk menampilkan puisi.

Sesat tak sesat, bertanyalah!

Amsal Selembar Kertas

"DAN kau telah melipatnya jadi kapal terbang,"
katamu. Ini tentang kelahiran yang kau bilang,
seperti selembar kertas, putih dan cemerlang.

Dulu, kertas ini hampir saja kubuang. Terlalu
tipis dan sempit. Dan aku tak bisa menggambar.


formspring.me

Siapakah anda di masa lalu?

berbagai-bagai. ada macam-macam saya. selalu berkembang. jatuh-bangun. ini perlu berjilid-jilid novel untuk menjawabnya. saya sedang menulis novel itu. tapi, uh, saya tak buru-buru.

Sesat tak sesat, bertanyalah!

Tuesday, December 29, 2009

formspring.me

1. Apa yang membuat Anda merasa paling bahagia di bumi ini?a. sebagai jurnalis b. sebagai pengrajin syairc. a dan b benard. a dan b salah2. Tadi pagi di sebuah harian pagi mengabarkan seorang anak dari Batam kakak beradik bernama Guli dan Geni, bocah 14 dan 11 tahun nekat menghadang eksekusi kolam ikan milik orang tua mereka di Batu Aji, tidakkah Anda kabar-kaburkan lewat puisi?

1. C! (tapi sebenarnya menjadi jurnalis itu juga pekerjaan yang merisaukan. Dan menyair? Itu juga kadang membikin gundah) 2. Sejauh ini saya bisa menyairkan apa saja... termasuk berita itu. Tunggu!

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

Bersediakah anda jika anda membaca salah satu catatan facebook saya, kemudian anda memilih salah satunya kemudian memposting ulang di facebook anda dengan mengomentari dan mengulasnya habis-habisan. hehe. http://www.facebook.com/nafi.kenothecaster?ref=profile

kalau yang engkau maksud adalah puisi, maka itu selalu kulakukan. tanpa diminta. di blog saya ada rubrik TADARUS PUISI. saya tak pilih-pilih penyair, tapi pasti pilih-pilih puisi...

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

1.Buatlah satu baris puisi dengan menggunakan kata Relikui!2.Superhero favoritmu?3.Tolong buat satu mantra sihir beserta fungsinya!4.Apa prediksimu tentang dunia puisi di tahun 2010?5.Kunanti puisimu di Horison!

1. sudah pernah. 2. superhero? tidak ada. kalau tokoh kartun saya pernah (dan masih) sangat suka pada kertmit dan snoopy. 3. saya tak percaya sihir. 4. prediksi puisi di tahun 2010? tak ada, saya mencintai (dan merindukan) kejutan! 5. saya tak mengirim puisi ke horison. tak usah menanti... kalau kangen baca di blog saya saja.

Situ Mau Tanya Apa?

formspring.me

kalau berada diantara dua pilihan jadi penulis tapi miskin atau orang kaya tapi tidak boleh menulis (tidak ada pilihan lain) mana yg anda pilih?

saya pilih jadi penulis. benar-benar penulis. kaya dan miskin, bagi saya batasan dan pengertiannya bisa kabur.

Situ Mau Tanya Apa?

formspring.me

maunya nanya, tapi cuma sanggup komentar : ini blog beserta isinya BAGUS!

ah, ini cuma kamar kerja pengrajin yang berantakan, kok... terima kasih.

Situ Mau Tanya Apa?

formspring.me

Wah... terdapat juga HASAN ASPAHANI di sini!

Ya dia (yaitu saya) terdapat di sini. Pertanyaannya? Hehe...

Situ Mau Tanya Apa?

formspring.me

rindu apa yang menyakitkan bagi anda

semua rindu bagi saya menyakitkan... rindu itu kan sejenis sakit? sejenis penyakit juga...

Situ Mau Tanya Apa?

Sunday, December 27, 2009

Apakah Penguasa di Kotamu Suka Memperdagangkan Kekuasaannya?

DI kotaku mula-mula mereka adalah pendusta. Dan dusta mula-mula memang terasa murah dan mudah. Tapi, dusta adalah semacam hewan karnivora, memakan daging sendiri dan itu ongkosnya mahal sekali.

Mereka tak bisa berhenti. Dusta harus dibenarkan dengan dusta. Begitu seterusnya, mereka pun harus terus berdusta. Dari mana mereka menambal ongkosnya? Mula-mula dari harta rakyat yang diamanahkan pada mereka. Nanti, harta itupun tak akan cukup dan mulailah mereka berdagang. Mereka tak bisa berdagang sebenarnya. Mereka miskin, tak punya barang dan jasa, kecuali kekuasaan, dan mulailah mereka memperdagangkan apa yang mereka punya itu.

Mereka berlagak melayani rakyat. Mereka berlakon peduli pada rakyat. Mereka bertopeng senyum palsu, senyum yang paling ramah di di khalayak rakyat. Padahal mereka sedang mengincar apa lagi yang tersisa pada rakyat yang bisa mereka minta, atau ambil dengan paksa.

Untuk semua itu, mereka membayarnya dengan dusta. Itulah satu-satunya yang paling lihai mereka perankan, sejak mereka mulai menipu kami, meminta agar kekuasaan dari kami diamanahkan pada mereka, kekuasaan yang kemudian mereka perdagangkan untuk mengongkosi dusta-dusta mereka, dan untuk mengatur strategi berdusta yang baru.

Ah, apakah kamu juga seperti kami? Kami, rakyat yang terlalu sering didustai.



Thursday, December 24, 2009

Kau Benci pada Kotamu yang Suka Mematikan Lampu

CAHAYA tak pernah cukup di kotamu. Pabriknya yang selalu kegelapan tenaga, tak pernah bisa memproduksi cahaya cukup, secukup yang dibutuhkan malam, dan yang dibutuhkan orang-orang yang membutuhkan malam di kotamu itu.

Kotamu suka mematikan cahayanya sesuka maunya. Padahal, orang-orang di kotamu sudah tak lagi akrab dengan gelap. Mereka mata gelap, memuja cahaya.

"Kalau kamu mau berdagang di kotaku, datanglah sebagai pedagang cahaya," katamu, padaku, pada suatu malam yang katamu sedang gemerlap gelapnya.

Kotamu, terlanjur suka meniru kota lain yang gemar bergincu cahaya, suka menghambur-hamburkan cahaya, doyan memandikan tubuh dengan cahaya. "Aku silau melihat cahaya kotaku, tapi sekarang risau karena sudah lupa bagaimana dulu aku nikmat sekali menikmati gelap kotaku ini," katamu.

Aku punya cahaya. Tapi, aku bukan pedagang. Kalau pun aku mau berdagang, aku tak akan memperdagangkan cahaya yang aku punya itu. Aku tak mengatakan itu padamu. Padamu aku cuma bilang, "Cahaya yang diperdagangkan di kotamu, di kotaku, dan di kota yang bukan kotamu dan bukan kotaku itu adalah cahaya palsu. Kita membelinya mahal sekali, tapi itu tak semahal harga kehilangan gelap sejati yang hilang dari kotamu, kotaku, dan kota yang bukan kotamu dan bukan kotaku....."


Apakah Rumah Sakit di Kotamu Suka Memakan Pasiennya Juga?

APAKAH rumah sakit di kotamu suka
memakan pasiennya juga? Apakah
pengadilan di kotamu menjual sisa
keadilan dengan harga mahal karena
telah dibeli habis oleh rumah sakit
supaya dia merasa tidak
bersalah ketika memakan pasiennya?

Apakah rumah sakit di kotamu sama
seperti gedung pengadilan itu? Keduanya
sakit payah, lapar parah, dan menularkan
penyakitnya ke pada para pasien:
pasien rumah sakit, pasien pengadilan.
Lalu, lahap memakan pasien itu.

Keadilan sedang sakit. Sakit bersama
kami, para pasien yang tak tahu harus
berobat ke mana. Ke rumah sakit? Aduh,
kami akan tambah sakit, dan kami tak
boleh mengeluh, karena keluhan hanya
akan membawa kami ke gedung sakit lain
bernama pengadilan, dan di sana dengan
hakim yang sakit, keadilan yang sakit,
kami tak akan pernah bisa sembuh.

Apakah para pasien di kotamu suka
mengumpulkan koin juga? Koin-koin itu
sebenarnya adalah sunyi kata yang tak
berdaya, yang terbisukan dan bahkan
tak mampu membeli sekeping pun permen.

Kenapa rumah sakit, dan pengadilan
suka merecehkan pasien? Kenapa pasien
cuma dikoinkan lalu sembarang dibuang?

Koin itu adalah sisa yang tak termakan
oleh rakus dan lapar rumah sakit dan
pengadilan. Koin itu adalah kami para
pasien yang bermimpi hendak menyembuhkan
sakit rumah sakit dan gedung pengadilan.



Tuesday, December 22, 2009

Ke Kotamu Aku Ingin Datang dan Membeli Senjata

"AKU akan mengajakmu menyusuri gang-gang kumuh,
tempat kami mengolah lempeng baja jadi senjata,"
katamu di suratmu, mengabarkan undangan itu padaku,
membalas suratku padamu.

Aku tak menemukan lagi rasa takut dalam kalimatmu,
padahal itulah yang membesarkanmu sejak di rahim ibu.

"Ayahku penembak jitu. Dia tewas dalam sebuah perang
antargang, dahinya ditembus peluru yang dijualnya sendiri,
senjata api yang dirakitnya sendiri, oleh penambak yang
dia ajari sendiri," katamu bercerita sedikit tentang ayahmu.

Sejak kepergian Ayahmu, ibumu bertahan dengan sebuah
senjata di bawah bantal, senjata peninggalan Ayahmu.
Kau sangat mengenal suara letusannya, sebab beberapa
kali ibumu harus menarik pelatuk picu, membunuh lelaki
yang ingin menyempurnakan kemenangan setelah
membunuh ayahmu. Kau sangat kenal bau mesiunya.

"Aku tak akan membawamu menziarahi makam ayahku,"
katamu, "karena aku sendiri pun tak tahu di mana itu."

*

KAU kini adalah pembuat senjata bermutu dan penembak
jitu. Mungkin itulah yang diinginkan mendiang ayahmu.

Bagimu, senjata itu seperti organ tubuhmu. Senjatamu tahu
kapan dan kepada siapa harus melepaskan peluru, seperti
ada syaraf yang menghubungkan dengan otak dan hatimu.

*

KE kotamu, aku datang dan ingin membeli senjata. Tadinya,
begitu. Tapi, kembali dari kotamu aku tak membawa apa-apa.

Bukannya aku lupa. Aku - teman lamamu ini - sebenarnya
hanya ingin bertemu engkau, dan membeli senjata untuk
tanda mata yang kelak kupajang di ruang tamu. Tapi,
aku ternyata tak banyak mengenal engkau, tak tahu
seluk-belum bisnismu. "Aku hanya menjual senjata yang
setidaknya pernah membunuh satu orang. Dan aku hanya
akan menjual senjata pada orang yang hendak membunuh
seseorang dengan senjata itu. Siapa yang kau ingin kau
bunuh dengan senjataku?" katamu, menerangkan azas-azas
bisnis senjatamu. Aku ternyata sungguh tak mengenal engkau.




Monday, December 14, 2009

[Fiksimini] Penyair dan Kartunis

"MAUKAH kamu kita bertukar diri?" tanya Kartunis kawanku, kepada Penyair, yang juga kawanku. "Boleh. Kita coba. 24 jam lamanya. Nanti setelah itu kita saling mengembalikan," kata Penyair.

24 jam kemudian, mereka pun saling mengembalikan. Diam-diam, sebenarnya ada sedikit bagian dari masing-masing mereka yang tak mereka kembalikan. Si Kartunis menyimpan cara merasakan Si Penyair. Si Penyair mengambil cara memandang Si Kartunis.

Karena itu kemudian, Si Penyair bisa menertawakan sajaknya sendiri. Dan Si Kartunis menangis karena kartunnya. Kepada mereka berdua aku bilang, "kapan kalian menulis sajak tentang aku dan menggambar kartunku?"

Mereka terdiam, dan sejak itu, aku tak pernah lagi bertemu mereka. Mereka seperti menghindar, takut atau tidak enak kalau aku menagih. Ah, memangnya, mereka pikir, aku ini siapa, ya? Aku ini kan cuma calon mayat yang biasa saja yang sedang menikmati hidup juga. Memangnya aku tidak boleh membuat orang lain menangis atau tertawa?***


Sunday, December 13, 2009

Dimanakah Puisi Itu di Tubuhmu?

MUNGKIN di bibir? Sebab di situ aku gemar menafsir getar getir.

Atau di lengan? Sepasang yang tak cukup panjang, tapi cukup
untuk senantiasa merangkul, membuat redup, gugup degup.

Atau di leher? Yang melingkar jenjang, bagai batang getah, dan
aku penyadap yang tak sampai hati menorehkan luka di sana.

Atau di kening? Sebaris bulu tipis, yang senantiasa menghening.

"Ah, tak usah banyak menebak," katamu, "mari kubacakan,
bait-bait sajak, yang sekian lama di sini rapat kurahasiakan..."


Tentang Kalimat yang Kubenci dan Apa Sebabnya

AKU benci kalimat yang dimulai dengan kata 'kadang',
- kau tahu, bukan? - Tapi, kita harus mengucapkan, sebab
pada waktu kita rugi, ingin menawar dengan harga tinggi.

Aku benci kalimat yang disusun dengan kata 'angan',
'terbang', 'jauh', dan 'melayang'. Betapa, kita memang
tak berpijak pada nyata. Tapi, karena itulah kita ada...

Aku benci pada kalimat yang hanya bisa kita ucap dalam
rapat rahasia. Aku benci karena - kau tahu, bukan? -
betapa ingin aku meneriakkannya, membuka mata dunia!






Friday, December 11, 2009

Di Galeri Salihara




:: Tri Suharyanto, "Pemeluk Liar", 2009, arkilik pada kanvas, 200cm x 150 cm. Lukisan itu dilukis berdasarkan tafsir atas sajak saya "Leherku Batang Getah Aku Menoreh Darah".


Obituari Galuh

PULANG sekolah, kemarin, Ikra masih sempat memandikannya. Ikra membersihkan matanya dengan korek kuping. Menganduki basah bulunya. Ikra juga menyuapinya telur dadar. Tapi Si Galuh tidak juga mau makan.

Galuh adalah nama terakhir yang dipilih Ikra untuk kucing yang dipeliharanya. Sebelumnya dia menamai Alex. Setelah tahu bahwa kucingnya adalah betina dia mengganti namanya menjadi Alexi, dengan panggilan tetap saja Alex.

Di FB, kawan SMA saya mengusulkan nama Galuh. Ini nama panggilan orang Banjar kepada anak perempuan. Ikra membaca usulan itu waktu dia main Farmville dan nyasar ke FB saya. "Mama, nama kucing Ikra ganti aja. Sekarang namanya Galah!"

"Galah?"

"Iya, ini, Abang baca di fa-ce-bo-ok (beginilah Ikra melafalkan FB) Abah."

"Bukan Galah. Galuh..."

"Iya, Galuh..." kata Ikra, nyengir, menampakkan dua gigi serinya yang sudah tumbuh setengah. Besar sekali.

Anak kucing itu tiba-tiba saja muncul di teras depan kami suatu pagi. Pasti semalam, ada yang membuangnya begitu saja. Ikra yang siap-siap berangkat sekolah meminta kepada Mamanya agar anak kucing itu jangan diusir. Dia ingin merawatnya.

Sejak hari itu, Ikra disibukkan dengan Si Galuh. Ikra sayang sekali sama kucingnya. Sehabis belajar, Si Galuh diajaknya bermain, dipangku, diajari berjalan dengan dua kaki, diberi minum susu, disuapi. Suatu malam Si Galuh tidur sekamar dengan kami. Paginya, entah di mana dia buang kotoran, sepanjang hari hanya bau tak sedapnya yang menyemerbak.

Siang sebelum mati kemarin, Si Galuh keluar darah dari duburnya. Sejak ditemukan di teras, anak kucing berbulu belang dengan dominasi hitam itu sudah tampak sakit. Sore harinya, Ikra membawanya jalan-jalan naik sepeda. Pulang main Ikra menangis sambil menggendong Galuh yang tak bernafas lagi.

***

"Ikra nangis. Galuh mati," kata istri saya lewat telepon. Sepulang dari kantor, di rumah Ikra masih menangis. Mayat si Galuh diletakkan di kotak mie instan (Ikra mencari sendiri kotak itu di Pasar), beralas kain. Ikra langsung memeluk saya, tanpa berkata apa-apa. Dia terus menangis.

"Nanti kita kuburkan dia, ya. Dia pasti masuk surga. Nanti di sana dia menunggu dan mendoakan Ikra supaya masuk surga juga. Soalnya Ikra kan baik sama dia," kata saya. Dalam gendongan saya, Ikra mengangguk.

Sehabis salat magrib, aku dan Ikra menggali lubang di halaman. Ikra membawa mayat Galuh dengan tangan telanjang, memasukkannya ke lubang. Aku menimbunnya.

Di tempat tidur Ikra menggambar kucing dan seorang anak laki-laki. "Ini si galuh sama Abang," katanya. Aku dan istriku berpandangan. Kami terharu. Sekecil itu, anak kami Ikra, sudah tahu apa artinya mencintai dan apa rasanya kehilangan apa yang dicintai.***




Yang Kau Baca, Kau Gubah dan Kau Benci

KAU sekarang menjadi pembaca cerita,
untuk seorang anak yang terbaring,
dengan luka di perut belum kering.

Kau sekarang adalah penggubah cerita,
karena rindu pada Kekasih yang jauh,
dengan murung di kening belum teduh.

Kau sekarang adalah pembenci cerita,
tentang siasat sesat para pesilat-lidah,
yang terus-menerus dirayakan televisi.




Wednesday, December 9, 2009

[Kolom Kamisan] Darwin Kafe

DIA bilang dirinya seorang sekuler yang parah. Kami bertemu di sebuah kafe yang borjuis di kota besar itu. Kota kampung halamannya dan tanah kelaharinnya yang hanya bisa dia nikmati saat hari raya. "Saya orang yang tidak pernah mudik," katanya, pada suatu pertemuan kami, "Mau mudik kemana? Kampung saya di sini..."




Di kota itu, dia membagi dua jenis tempat nongkrong: satu borjuis, satu lagi proletar. Baginya keduanya adalah pilihan yang sama asyiknya. Angkringan di tepi jalan yang memindahkan kultur tradisional kota-kota di Pulau Jawa, atau kafe dengan konsep adopsi luar negeri baginya sama saja.

"Bukan tempatnya yang menentukan apakah nongkrong jadi asyik atau tidak, tapi siapa teman ngobrolnya," katanya, dan saya suka kalimat itu. Bikin saya sedikit besar kepala. Nyaris setiap singgah ke kota itu saya selalu menyempatkan diri bertemu dia.

Mengobrol dengannya kadang seperti kuliah atau kursus filsafat singkat. Kadang seperti menggoyang bangunan dasar pemikiran mapan yang kaku dan melihat kemungkinan menyegarkannya dengan sesuatu yang lebih kreatif. Kadang seperti tertular pemikiran-pemikiran subversif, mempertanyakan banyak hal yang selama ini seakan-akan nyaman diterima sebagai kebenaran.

"Kamu percaya Teori Darwin?" katanya malam itu, beberapa waktu lalu. "Saya percaya, karena itu saya tidak percaya visualisasi kiamat dalam film 2012 itu." Ia tak menunggu jawaban saya.

"Menurut saya kiamat itu sudah mulai dari sekarang prosesnya," kata dia. Lalu dia bicara soal memanasnya suhu di bumi, akibat emisi karbon yang tak terkendali, bolongnya lapisan ozon, mencairnya es di kutub bumi, naiknya permukaan laut, berkurangnya daratan, dan kelak manusia terus saja saling bunuh memperebutkan sumber daya alam yang makin langka.

"Itu sudah terjadi di depan mata kita sekarang. Kita ini sudah saling bunuh pelan-pelan," kata dia.

Kita ini, katanya, cuma bicara saja soal Hak Azasi Manusia, kesetaraan, keadilan, tapi pada dasarnya kita cuma mengamankan kepentingan kita masing-masing. "Amerika yang katanya paling jago demokrasi, paling peduli pada Hak Azasi Manusia, nyatanya dengan penduduk yang hanya lima persen dari populasi dunia, mereka menghabiskan dan menguasai 23 persen sumber energi di dunia. Adilkah itu?" katanya.

Saya menyimak saja. Mencoba menghubung-hubungkan arah pembicaraannya dengan Teori Darwin. Dia seperti tahu apa yang saya pikirkan.

"Kamu jangan menghubungkan apa yang saya jelaskan ini dengan Teori Darwin bahwa manusia berasal dari kera. Buat saya bukan itu yang esensial. Yang penting adalah teori evolusinya itu, bahwa yang bisa bertahan adalah makhluk yang paling bisa menyesuaikan dengan perubahan kondisi bumi. Teori survival of the fittest!"

Lagipula, katanya, Darwin setahu saya tidak bilang manusia itu adalah keturunan kera, cuma seketurunan dengan satu makhluk di masa lalu yang kemudian berevolusi sehingga menghasilkan berbagai primata, termasuk kera dan manusia.

"Saya kira tak ada yang salah dengan teori itu. Buat saya itu sama sekali tak bertentangan dengan keyakinan saya. Ah, tapi kamu kan tahu saya ini memang sekuler. Keyakinan agama saya itu urusan saya dengan Tuhan saya, tidak pernah saya campurkan dengan bagaimana saya memikirkan dunia tempat saya hidup ini. Tuhan juga bilang begitu kan? Pikirkanlah duniamu, jangan pikirkan zatku. Kalau tidak salah, ada kan ayat yang bunyinya begitu?" katanya.

Kawan saya ini membayangkan kelak yang bertahan di bumi adalah manusia yang sudah berubah, menyesuaikan diri dengan keadaan bumi yang juga sudah sangat berubah. Evolusi itu, katanya, tidak berhenti.

Kita sekarang ini sedang meneruskan evolusi. Manusia punya kemampuan adaptasi yang luar biasa. Lagi pula bumi ini toh berubah pelan-pelan. Perubahan yang seiring: manusia dan bumi.

"Mungkinkah ada peristiwa luar biasa yang membuat manusia punah seperti dinosaurus?" tanya saya.

"Saya yakin kalaupun peristiwa itu terjadi, akan ada sisa manusia yang hidup, sebab populasi manusia sekarang jauh lebih banyak daripada dinosaurus yang waktu itu sedikit sekali. Secara anatomi, dengan badan limapuluh kali gajah dan otak hanya sebesar kotak korek api, dinosaurus memang bukan makhluk yang hendak dipertahankan oleh alam. Dinosaurus tidak adaptif. Manusia tidak. Manusia malah mengubah alam agar beradaptasi dengan kebutuhan manusia," katanya.

"Ini pada awalnya adalah anugerah. Tapi, kelak ketika perubahan alam yang dibuat oleh manusia itu semakin jauh mengganggu keseimbangan itulah saatnya alam berbalik menolak keinginan manusia," katanya.

Malam itu, kota itu sedikit sejuk. Hujan beberapa kali terjadi sepanjang siang hingga sore. Basahnya masih tersisa di udarakota. Pelayan kafe minta izin untuk mematikan lampu. Kami sejak awal memilih duduk di teras agar bisa meneruskan perbincangan sampai kapan saja kami mau. Kami memang terus mengobrol tentang banyak hal. Kami membayangkan bagaimana bentuk kehidupan manusia dan bagaimana kondisi bumi nanti.***

Kerja Cinta

: d


CINTAKU padamu adalah kerja. Aku ikhlas mengerahkan dan mengarahkan pikiran dan tenaga. Aku tak berharap upah apa-apa, kecuali bahwa aku bangga karena telah mengabdikan diri padamu, pada cinta itu.

Ketika kucium kamu saat bangun tidur di subuh hari, aku seperti memindai kartu karyawan di mesin absensi. Tak ada jadwal kerja. Tapi, dengan ciuman itu aku ingin meyakinkan kamu bahwa aku masih setia bekerja untuk cintaku, mengerjakan cintaku, menghasilkan cinta untukmu.

Aku tak tahu apakah aku harus menandatangani kontrak mati bagi kerja cinta ini, aku bukan pekerja abadi, tapi aku tak pernah ingin berhenti, pensiun atau memecat diri.

Ketika kupeluk kamu, kapan saja sempat kulakukan itu, dan itu bisa berkali-kali dalam sehari, aku sebenarnya hanya ingin memulihkan tenaga hati, menghangatkan suhu jantung lagi. Tidak, aku tidak lelah, aku tidak pernah lelah, sebab mencintaimu adalah kerja seperti jantung berdetak. Jantung mencintai detaknya itu. Aku mencintai cintaku, cintaku padamu itu.

Jantung hanya tahu bahwa dia masih ada ketika dia rasakan detaknya. Seperti itulah aku, yang merasa masih tetap ada selama aku masih mencintai kamu.




Tuesday, December 8, 2009

Sesayup Saujana

PADA sepasang kaki yang telah sejauh lelah melangkah, apa kenangan yang kau bisa ingatkan padaku? Kota-kota yang kita tamui, kita rumahi, lalu kita tinggalkan?

Mungkin kota kecil itu. Bandara kecil hanya disinggahi sekali sehari, toko sepatu, kedai buku, gerai kaset, dan pasar ikan yang bila sore hari di sana kita belanja, membeli beberapa peristiwa remeh, yang tak akan repot kita mengemasnya. "Waktu adalah ruang yang akan kian sempit dan panjang," kataku, mengatasi ketakmampuanku sendiri, menata risau hati. Dan kita sibuk menghapal refrain lagu itu, lagu tentang sesayup saujana.

Atau komplek perumahan yang tak dilalui pipa air? Dan kita amat rajin menampung hujan di mata, menyimpannya tabah dan lama sebagai tangis bersama, tangis rahasia.

Atau laut itu. Laut yang tahu apa yang tak kita katakan padanya: kamu (katanya, menunjuk padaku) dan kamu (kemudian ia tatap kamu), maukah kuberitahu sesuatu yang lebih tangis, yang lebih rahasia? Laut itu lalu bersenandung senada, semurung mendung, tapi kita seperti diingatkan pada sebuah merdu lagu, lirik sendu, dengan sejumlah kata yang kukira itu adalah perahu, kayuh, atau sauh. Ya, semacam itu.

Dan kita ingat - sekelebat - pada refrain lagu itu, lagu tentang ragu dan gugup dekap kita: tentang sesayup saujana.



[Ruang Renung # 245] Meraih Hikmah

MENYAIR itu adalah kerja memburu hikmah. Penyair adalah dia yang tak berhenti pada pesona permukaan. Dia berusaha menyelinap ke balik setiap peristiwa, menemukan hakikat peristiwa itu. Ia menyelami ruh di dalam jasad benda-benda. Penyair adalah dia yang penasaran pada rahasia-rahasia di balik kejadian dan sedapat mungkin membongkar rahasia itu.[]


Sunday, December 6, 2009

Menyepertikan Cintaku dengan Beberapa Hal yang Mungkin Tidak Lazim

1. Kecoa

KECOA itu seperti cintaku. Walaupun kau putuskan kepalanya, dia akan bertahan hidup seminggu lamanya. (Ini tak kudapatkan dalam pelajaran biologi yang diajarkan guru SMA kita, yang senyumnya sipu saat menjelaskan bab reproduksi manusia).

Kunikmati perih hidup tanpa otak, tanpa mulut dan telinga. Dan begitulah kuyakini hakikat mencintai: Aku tak perlu berpikir kenapa, tak perlu mengatakannya, tak perlu mendengar apakah kamu mengucap kata yang sama.

2. Cacing Tanah

CACING tanah itu seperti cintaku. Kau hanya bisa menemuiku jika kau menggali di tanah yang subur. Tanah itu subur karena aku: makhluk yang lemah, yang sepanjang tahun mengunyah ribuan ton tanah.(Aku pernah membaca tentang hal itu - dan sejak itu aku tak jijik lagi pada cacing tanah - di sebuah majalah ilmiah).

Cintaku tak mati karena dia tersembunyi. Dia justru terasa ada pada subur tumbuh bunga di tanah yang di sana ia sembunyikan dirinya.

3. Bakteri Pengurai

BAKTERI pengurai itu seperti cintaku. Cinta yang tak abadi tapi terus-menerus ada. Cinta yang bisa mati tapi terus-menerus memperbanyak diri.

Di sampahmu, di bangkaimu, di serasahmu, bahkan di kotoranmu, aku mencari dan pasti menemukan kesejatian dan segalanya hanya kukembalikan lagi padamu.

(Aku merasa beruntung kini karena tak membolos saat kuliah mikrobiologi membahas tabiat jasad renik ini)



Dengan Ini Menyatakan bahwa "Cinta yang Marah" Karya M Aan Manyur adalah Buku Puisi Terbaik Indonesia 2009 Versi Saya Sendiri



M Aan Mansyur

Oleh Hasan Aspahani*


KEPEDIHAN itu disampaikan lewat kisah Si Aku dengan cara yang cerdas: menyatakan mimpi-mimpi. Si Aku punya tiga mimpi, yaitu menjadi pemain biola, perancang busana, dan penulis obituari. Dua cita-cita pertama adalah mimpi yang lazim. Tapi, penulis obituari? Ini sungguh tidak wajar. Dan inilah kehebatan penyair kita ini. Ia jeli. Ia seolah tanpa beban mencomot imaji-imaji dari sana-sini. Ia memerlukan ketiga cita-cita itu sebagai strategi puitik menyairnya: menggarap tema puisinya.



Lantas sajak itu mengalir lekas tapi sungguh tidak cair, lancar tapi sungguh jalannya tidak sederhana, penuh kelok, tanjakan, simpang, dan ibarat kendaraan kita sebagai pembaca akan berpapasan dengan banyak hal di sepanjang jalan puisi enam bait (atau paragraf) itu.

Tiga cita-cita tadi berkembang atau dikembangkan untuk memaparkan kepedihan dengan cara yang wajar. Kita percaya bahwa Si Aku kita ini amat mahir bersedih, amat lihai berduka. Tapi, dia sedang tidak dikasihani. Dia juga tidak sedang mengasihani diri sendiri.

suara biola yang mengantar mayat kau ke pemakaman: tangis aku // juga tentu saja aku menuliskan obituari singkat untuk kau yang dimuat di koran persis obituari aku sendiri.

Dua bait terakhir yang menutup sajak pertama di buku "Cinta yang Marah" itu sudah cukup menunjukkan kematangan penyair kita M Aan Mansyur. Ia dengan baik menghamparkan sebuah bentang imaji sajak yang kompleks, dan sementara itu menjaga keutuhan komponen-komponen pembangunnya. Di hadapan sajak Aan, kita tidak merasa terlempar ke tengah laut di tengah malam: gelap sehingga tak tampak apa-apa, dan dalam sehingga sekuat apapun kita menyelam tak akan menemukan apa-apa, dan karena itu kita ketakutan, lemas, tak bisa berenang ke mana-mana.

Rangkaian sajak-sajak Aan di buku ini adalah sebuah sungai meander. Penuh kelok tajam dan dalam. Di satu bagian kita menemukan ketenangan arus, terlindung - tapi tak terpisah - dari arus deras itu; di bagian lain kita terseret aliran kencang; di bagian lain kita terpaksa menyelam sejenak untuk kemudian muncul lagi di bagian lain dan merasakan sensasi luar biasa. Megap-megap kita dibuatnya, tapi kita puas karena tahu sedalam apa sungai sajak itu adanya.


***

Di buku ini, Aan melakuan apa saja yang bisa diperankan oleh sebuah teks dengan puisi-puisinya. Ia bercerita: misalnya tentang sepasang kekasih yang merayakan ulang tahun di perpustakaan, dengan serangkaian adegan-adegan indah (seperti mencium pucuk hidung, dengan mata yang memejam) yang saya kira di tangan seorang sutradara handal dan pelakon dengan akting hebat akan menjadi adegan cinta yang membuat dada penonton sesak.

Di buku ini, Aan dengan jenial menyampaikan pendapatnya tentang banyak hal (sambil dengan halus melancarkan gugatan). Tentang panti jompo, misalnya, dia berpendapat bahwa itu adalah tempat orang-orang yang punya anak terlalu sibuk, merasa dekat dengan makam, dan susah mengingat cara tersenyum. Tetapi, ia tidak pernah lupa bahwa ia menulis sajak. Pendapatnya itu selalu saja hanya menjadi cantolan, atau kaitan, atau dasar berpijak untuk melompatkan imaji puisinya pada ketinggian rasa yang hendak dicapainya dalam sajaknya.

Di buku ini, Aan juga melucu. Huh, kenapa sih tak banyak penyair Indonesia melakukan hal ini. Kenapa sih banyak penyair Indonesia saat-saat ini terlalu serius dengan puisi mereka, tetapi hasilnya adalah sajak-sajak yang sungguh terlihat sangat lucu karena keseriusannya itu. Kelucuan sajak Aan tidak sekadar plesetan. Kelucuannya terbangun utuh untuk bersama sajaknya. Di sebuah sajak misalnya, dia merenungkan arti kesetiaan, kebahagiaan lewat adegan sepasang kakek dan nenek yang mengamati uban, dan gigi, serta menjawab pertanyaan cucu. Amat jenaka.

Di buku ini, Aan melancarkan kritik sosial. Yang disorotnya bukanlah hal-hal yang baru: ia misalnya menyiratkan bagaimana tidak adilnya pembangunan, yang atas nama modernisasi maka habislah tersingkir becak oleh mobil mewah. Ia menyindir korupsi, ia menyadarkan betapa lahan bermain semakin menyempit dikuasai oleh gedung-gedung milik orang kaya, ia dengan ringan menyebut dan menyabet soal kenaikan harga, perceraian dan perselingkuhan artis, dan kekakuan lembaga-lembaga agama.

Tapi yang paling penting adalah di buku ini Aan dengan mahir menyairkan soal cinta, kasih, kehidupan, kematian dengan butir-butir permenungan yang bernas, orisinal dan dengan cara yang sejauh ini hanya dia yang bisa menggarap semenarik itu hasilnya.

***

Buku ini adalah buku puisi ketiga Aan, setelah "Hujan Rintih-Rintih" (Ininnawa, 2005) dan "Aku Ingin Pindah Rumah" (Nala Cipta Litera, 2008). Mengikuti kepenyairan dan perkembangan sajak-sajaknya dari buku pertama itu, saya harus menyebut bahwa di buku ketiganya ini Aan tidak lagi hendak meraba-raba hendak kemana membawa sajak-sajaknya, pun tidak lagi dia sedang mengepas-ngepaskan posisi kepenyairannya. Dia telah dapat tempat, tetapi sekaligus nyaman saja kemudian dia seakan-akan mengubah-ubah posisinya di situ. Baginya, yang penting adalah tempat yang khas dan tak akan pernah tergantikan, bukan sekadar posisi.

Buku ini adalah sebuah kerja menyair yang hanya bisa dilakukan oleh penyair yang punya sikap seperti saya sebutkan di atas dan sadar pula bahwa ia telah amat menguasai teknik-teknik menyair. Diksi Aan luar biasa kaya dan lincahlah dia memadu-padankan kata. Ironi-ironi dibangun dan ditabrakkan di sana-sini menghasilkan kejutan-kejutan, dan karena itu tidak membosankan.

Dan buku ini, dengan 21 sajak, ditulis dengan kesadaran sejak awal akan terangkai dengan satu tema, satu benang merah yang terbentang jelas yang kemudian dengan tepat ditandai sesuai judulnya: Cinta yang Marah. Ini juga sebuah tema yang unik, yang memungkinkan sajak-sajak ini diberi tafsir yang kaya.

Seakan hendak melengkapi kebaruan sajak-sajaknya, Aan dengan sadar memberi judul sajak-sajaknya dengan judul yang khas: panjang sekali, seakan-akan itu adalah sebuah bait sajak sendiri. Pasti ada penyair lain yang melakukan hal yang sama sebelumnya, tapi kelak, ketika saya menemukan sajak dengan judul berupa kalimat panjang, maka saya serta merta hanya akan teringat pada M Aan Mansyur dengan sajak-sajaknya di buku ini.

***

Saya ingin membuat kesimpulan terakhir. Buku ini istimewa karena ia lahir dari kerja menyair yang sungguh-sungguh. Si Penyair kita ini seperti menggarap sebuah proyek besar dan dengan sadar dan sungguh-sungguh menggarap dengan penuh tanggung-jawab. Ia tidak sekadar mengumpulkan ceceran-ceceran sajak yang ditulis bak kerja iseng bertahun-tahun dengan produktivitas amat rendah. Aan mula-mula menetapkan sebuah tujuan, lalu dengan pengalaman dan penguasaannya atas jurus-jurus puisi dia menuntaskan pekerjaannya itu. Hasilnya? Sebuah karya penting dan besar, tidak hanya untuk Aan, tapi untuk Sastra Indonesia!

* Hasan Aspahani adalah pegunjing puisi yang bertanggung jawab penuh atas pergunjingannya.

Wednesday, November 25, 2009

[Kolom Kamisan] Ketika Politik tidak Berperasaan

Oleh Hasan Aspahani

KETIKA politik bengkok, kata John F Kennedy, puisi yang meluruskan. Ketika politik kotor, puisi yang membersihkan. Tapi, saya sekarang nyaris tidak percaya. Tapi, kata saya, ketika politik tidak berperasaan, puisi sesungguhnya tak bisa berbuat apa-apa.


Politik kita sekarang sedang bengkok-bengkoknya. Kita yang tidak peduli pun terpaksa harus mengikuti juga perkembangannya. Hanya ada satu kata: memuakkan!

Saya mencoba percaya pada Kennedy. Untung saja dia yang memuja puisi itu seorang politikus, bukan penyair, maka kalimat itu menjadi terkenal, kerap dikutip, dan tak menjadi bualan basi.

Saya mencoba percaya, membaca-baca tentang puisi, dan ah saya kira Kennedy salah. Tak ada yang bisa saya lakukan dengan puisi untuk meluruskan dan membersihkan politik di mata saya. Kecuali satu hal: dalam puisi, hati dan jiwa menjadi pusat perhatian. Dalam politik? Saya tak bisa membawa dua hal itu ke sana tanpa tak merasa marah dan tersepelekan.

Politik, kalau mau ditata, mungkin harus dimulai dengan mengatur hati dan jiwa itu. Kita bisa belajar bagaimana itu dilakukan dalam puisi.

Dalam tulisannya "Jiwa Bernyanyi" di majalah Pujangga Baru, kemudian terbit di buku "Kebangkitan Puisi Baru Indonesia" (PT Dian Rakyat, Jakarta, 1969, cetakan ke-1)) Sutan Takdir Alisjahbana menulis begini: Puisi Indonesia yang baru, baru mulai. Baru sepuluh lima belas tahun sejarah yang terbentang di belakangnya. Setinggi-tingginya kita dapat berkata, bahwa sekarang ini baru selesai masa persediaan: masa merambah, masa merubuhkan tunggul yang lama untuk memberi tempat tumbuh bagi kembang yang baru.

Majalah Pujangga Baru mulai terbit pada tahun 1934 sampai mati di zaman pendudukan Jepang.

Dalam tulisan yang sama kita bisa temukan pernyataan: Kebangunan kususasteraan dan teristimewa puisi Indonesia dalam abad kedua puluh satu ini pun bukanlah lain dari pada bangunnya jiwa yang terikat, jiwa yang tiada dapat bergerak lagi di dalam buhulan ikatan dan simpulannya. Terasalah kepadanya sempit kurungannya dan pedih belitan rantainya, dan demikianlah telah selayaknya jiwa yang sadar kembali itu menghancurkan kungkungan dan ikatan yang menahan langkah dan geraknya.

Apa yang hendak dihancurkan itu? Takdir menulis: Sekalian sajak susunan kata yang terlazim, sekalian irama yang terbiasa, sekalian kiasan dan bandingan yang telah menjadi buah mulut dan pepatah dilemparkan, sebab hanyalah dalam udara bersih-jernih dan bebas-lepas akan dapat pula jiwa yang telah lesu-lumpuh itu menjelmakan dirinya segiat-gembiranya, semesra-mesranya.

Sebelum Takdir sampai pada pembahasan sajak-sajak raja-raja penyair zaman itu - antara lain J.E Tatengkeng, Rustam Effendi, Sanusi Pane - ia mengantar dengan sebuah paragraf penting: Semangat perlawanan, semangat hendak menghancur-remukkan dan melemparkan segala yang menghalangi dan merintangi itu bermacam-macam caranya terjelma dalam puisi Indonesia yang baru.

Apa hasil dari perlawanan itu? Sajak yang mengembalikan puisi kepada asalnya, yakni jiwa yang bernyanyi. "Di sinilah sesungguhnya terletak sari pembaharuan puisi Indonesia: hidup saktinya perasaan," kata Takdir.

Kenapa sajak demikian itu disebut Takdir sebagai sebuah upaya penyair Pujangga Baru mengembalikan puisi ke asalnya? Sebab, ia jelaskan, dalam syair yang lama perasaan telah lemas tertimbun di bawah debu perkataan. "Dan pujangga baru mengeluarkannya pula ke sinar matahari, muda dan hijau berseri-seri," kata Takdir.

Maka, Takdir saat itu menyadari, mengapa dalam puisi Indonesia yang baru itu bersemaharajalela lirik. Ia rumuskan sendiri apa yang ia maksudkan dengan sajak lirik yaitu: curahan kalbu yang langsung meresap ke kalbu.

Apa yang bisa dipelajari oleh penyair saat ini dari apa yang ditulis Takdir? Saya mencatat lima hal:

1. Lansekap puisi Indonesia saat ini terbentang jauh lebih luas. Kerja kolektif penyair saat ini seharusnya tidak lagi 'merambah, merubuhkan tunggul yang lama untuk memberi tempat tumbuh bagi kembang yang baru'. Kita tidak bisa lepas dari bentangan itu, tapi ini bukan penjara, ini adalah pijakan sekaligus tantangan untuk melompat dengan karya yang mampu menggapai cakrawala yang lebih luas. Upaya untuk keluar dari sana, atau meniadakannya sama sia-sianya dengan orang yang berkarya tapi tidak sadar bahwa ia berada dalam sebuah lansekap yang sudah lama terbangun. Ia seperti kadal terkurung tempurung!

2. Penyair Indonesia saat ini telah berada dalam sebuah iklim berkarya yang amat bebas, sebebas-bebasnya. Tetapi, amat disayagkan, ada penyair yang tidak bisa memanfaatkan kebebasan itu. Mereka kikuk, gamang, dan tak tahu harus menuju kemana. Mereka, sialnya, terkekang oleh kebebasan itu sendiri. Akibatnya, tak banyak pencapaian-pencapaian baru yang layak dicatat.

3. Penyair Indonesia saat ini tidak harus menghancurkan apa-apa. Apa yang ditinggalkan atau dihasilkan oleh pendahulu adalah puncak-puncak yang harus dikaji, dipelajari, dikagumi, kemudian harus ada niat untuk mengalahkan dengan membina puncak baru yang lebih tinggi, lebih menjulang, dan lebih kokoh pondasinya.

4. Penyair Indonesia saat ini tidak perlu berimajinasi membersihkan 'udara' dan dia pun tak perlu berkhayal hanya dalam udara yang 'bersih-jernih dan bebas-lepas' itulah baru dia bisa menciptakan karya-karya bernapas baru. Kita berada dalam udara kehidupan yang nyaris jenuh. Justru karya kitalah yang seharusnya bisa membersihkan kejenuhan itu, bukan sebaliknya membuat udara makin keruh. Karya kita harus menawarkan kesegaran.

5. Terima kasih pada Pujangga Baru yang sudah membangkitkan sajak lirik. Dalam batasan yang ketat, sajak lirik dihadap-hadapkan dengan sajak epik. Apakah kalau kita kini risau dengan sajak lirik, maka kita harus mengobati kerisauan itu dengan sajak epik? Tidak! Yang lirik dan yang epik akhirnya cuma gaya. Keduanya adalah sajak. Keduanya berhak untuk digarap maksimal. Yang harus ditolak adalah pemujaan pada satu bentuk, pada satu gaya, pada satu kecenderungan dan dengan itu kemudian meniadakan atau menutup jalan ke bentuk lain.


Apalagi kalau kecenderungan itu semakin memperparah kejenuhan 'udara' kreativitas. Dan itu yang terjadi di ranah politik. Udaranya terus-menerus dijenuhkan. Tak ada kreativitas. Para pemimpin, hanya pandai mendapatkan legitimasi dari rakyat, tapi tak pandai memberi inspirasi. Tak ada tindakan yang kelak dikenang dengan rasa bangga.[]

Tuesday, November 24, 2009

[Personal Esai] Mamaku, 2

AKU percaya, tak ada yang lebih membahagiakan Mama selain ketika orang lain bicara tentang kebaikan anak-anaknya. Karena itu, bagiku, tak ada yang lebih utama selain membahagiakan Mama, dengan cara apapun yang bisa dilakukan oleh anak seusiaku waktu itu, dan aku menemukan banyak cara.


Sesekali aku suka azan di masjid. Aku paling suka azan subuh. Hening sekali rasanya, membayangkan suara azan kita mencapai relung-relung kampung. Membangunkan orang-orang untuk sembahyang. Yang selalu kubayangkan adalah mama mendengar azanku. Mama, setiap hari, jauh sebelum azan subuh sudah bangun untuk menyiapkan kue-kue, yang nanti pagi harinya kuantar ke warung-warung dan kujajakan keliling kampung.

"Kamu tadi azan ya?" Mama selalu bertanya begitu setelah aku pulang dari masjid salat subuh berjamaah, jika subuh itu aku azan. Dia kenal suaralui: suara anaknya. Sesungguhnya aku bukan muazin yang baik. Suaraku seperti kumbang dalam buluh. Rendah. Susah mencapai nada tinggi. Suara yang bagus - ini istilah mama - seperti kemiri ditampi di nyiru. Bergemerincing nyaring.

Mama selalu menceritakan jika di pengajian ada yang bertanya tentang aku - anaknya yang tiap pagi menjual kue. "Aku beli kuemu tadi pagi. Siapa itu anakmu yang jualan itu? Rajin dia ya, tak malu-malu," begitu kata Mama menirukan si penanya.

Pertanyaan-pertanyaan dan cerita-cerita kecil seperti itulah, yang bagiku menunjukkan betapa besar perhatiannya, yang kini kurasakan membuat aku jadi berani menghadapi masalah apapun dalam hidup kelak.

Satu hal yang tak pernah kulupakan adalah ketika suatu magrib, ketika Abah sedang tidak di rumah, Mama menggelar sajadah di rumah untuk kami sembahyang berjamaah. "Kan Abah tak ada. Siapa imamnya?" kata saya.

"Mama tidak boleh. Imam harus laki-laki. Kamulah yang jadi imam," kata Mama. Waktu itu saya masih SD, belum lagi disunat, dan tentu belum akil balig. Tapi, waktu itu aku sudah hafal semua bacaan salat. Mama tahu itu, karena di rumah, dia yang membantu aku menghafal. Dia yang memastikan aku sudah benar-benar hafal sebelum ujian hafalan di sekolah.

Aku tidak akan pernah melupakan itu. Peristiwa kecil yang sekian puluh tahun kemudian terus-menerus membentuk kesadaran bahwa aku adalah laki-laki, dan laki-laki adalah imam yang harus berani memimpin.(bersambung)

[Personal Esai] Mamaku, 1

MALAM itu Mama menyibak kelambu. Aku belum tertidur penuh. Mama memandangi aku, anak lelakinya yang baru lulus SMA. Ia menatapku lama sekali. Ia tak mau membangukan aku. Dengan mataku yang pura-pura memejam, aku bisa melihat ia sedih, haru dan bangga. Aku pura-pura tertidur.



Sedih,karena ia harus rela melepas aku pergi kuliah ke Bogor, keesokan harinya. Haru, karena dia sempat tidak setuju aku berangkat kuliah jauh. Sejak mengisi formulir undangan masuk IPB, dia sudah keberatan. "Mudah-mudahan tidak diterima," katanya.

Dia keberatan karena membayangkan biaya kuliah yang kalau diukur dengan penghasilan keluarga kami saat itu pasti tak terjangkau. Abang sulung saya waktu itu sudah kuliah di Politeknik Samarinda. Dua adik saya pun sudah sekolah di SMP dan SD. Sementara itu belum semua pohon kelapa kami berbuah. Padahal, itulah satu-satunya sumber penghasilan kami yang tetap. Sesekali Abah berdagang. Mama juga sudah tidak kuat berjualan kue lagi. Lagipula waktu sudah banyak orang lain yang juga berjualan kue. Mamaku kasihan, dia seperti mengalah, memberi kesempatan pada orang lain.

Ditambah cerita-cerita tentang betapa mahal, berat dan susahnya menempuh pendidikan di Jawa sana. Standar pendidikan antara Jawa dan luar Jawa senjang sekali. "Kalau nanti pulang karena DO, bikin malu saja," kata Mama.

Bangga, pasti karena waktu itu akulah anak kampung kami yang pertama kuliah ke Jawa. Kelak ketika menerima telegram dari saya, kakek saya menangis membacanya. "Ada juga keturunanku yang menginjak tanah Jawa," kata kakek waktu itu.

Dan saya berkeras hati. Tiket pesawat saya dapat dari seseorang yang amat baik hati. Aku punya sedikit uang yang terkumpul dari honor kerjaku di surat kabar di Balikpapan. Sejak kelas satu SMA aku sudah bekerja, jadi reporter dan kartunis lepas.

Aku berangkat kuliah ke Bogor. Soal biaya kuliah aku yakinkan Mama dan Abah bahwa di Bogor nanti tak lebih mahal daripada Samarinda. Dan saya berjanji akan bekerja sambil kuliah. "Di Balikpapan saja ulun kerja. Padahal cuma ada satu koran. Bogor kan dekat dengan Jakarta, banyak koran di sana, pasti banyak kesempatan kerja," kataku.

Kuliah ke Jawa, inilah satu-satunya "perlawanan"-ku kepada Mama. Aku anak yang amat patuh padanya. Hadist yang pertama aku hafal adalah "surga itu di bawah telapak kaki ibu". Aku sangat takut jadi anak yang kualat, dan terhalang masuk surga karena melawan Mama.(bersambung)

Sunday, November 22, 2009

Saya Sedang Menyiapkan "Mahna Hauri" Buku Puisi Ketiga Saya

Mahna Hauri? Itu artinya Telekung Bidadari. Telekung? Itu artinya "mukena" atau "pakaian sembahyang" untuk muslimah. Muslimah? Itu artinya Perempuan beragama Islam. Stop! Jangan bertanya lagi.



Mahna Hauri? Itu artinya Telekung Bidadari. Telekung? Itu artinya "mukena" atau "pakaian sembahyang" untuk muslimah. Muslimah? Itu artinya Perempuan beragama Islam. Stop! Jangan bertanya lagi.

"Mahna" tak akan Anda temukan di KBBI atau KUBI. Saya menemukannya di Kamus Dewan - kamus besarnya Bahasa Melayu di Malaysia. Menurut kamus itu, kata itu berasal dari Pahang, salah satu negeri bagian di sana.

Adapun "Hauri" itu berasal dari Bahasa Arab. "Hauriljannah" atau "Haur - Uljannah" artinya "bidadari surga. Kata itu ada di KBBI. Itu saja dulu, ya. Saya belum buka pemesanan. :-)

Anatomi buku itu kira-kira akan jadi begini:

:: Senarai Isi:

Puisi yang Menulis Pengantar untuk Penyairnya
"Kalian Tahu Kenapa Dia Menuliskan Aku dan Kawan-kawanku?"

I. Beberapa Bait Rambut

1. Bocah Berambut Basah
2. Pertanyaan Tentang Rambut yang Tak Ingin Lagi Diajukan
3. Gadis Berambut Panjang dan Hitam
4. Rambut Hujan, Hujan Rambut
5. Sehelai Rambut yang Ikal
6. Sisir kepada Rambut
7. Seorang Tukang Cukur dan Rambut Tiga Lelaki
8. Rambut Luna, Rambut Maya
9. Rambut Petani
10. Kisah Bulan & Rambut Mulan
11. Di Rambutmu Aku Meniti Khayal
12. Seorang Gadis Kecil dan Ibunya yang Mengecupi Ujung Rambutnya Sendiri
13. Sebaris Rambut yang Bertanya: Kau Berbahagia, Salma?
14. Rambut Ibu
15. Beberapa Bait Rambut, Beberapa Helai Sajak
16. Rambut Malam
17. Dia Melukis Senja Berambut Hujan
18. Pagi Melirik pada Panjang Rambutmu
19. Kisah Sungai Rambut
20. Rambut, Pena, Buku, Airmata
21. Sisir yang Hujan, Rambut yang Basah
22. Riwayat Rambutku dan Sisir Ibu
23. Rambut Penyair dan Sisir Ajaib
24. Sepadang Rambut, Sekarang Sebut


II. Beberapa Helai Fabel

25. Fabel di Tepi Kolam di Suatu Petang
26. Fabel di Balik Lukisan Kaligrafi
27. Fabel Kesaksian Ikan-ikan
28. Fabel Gajah Bodoh dan Anjing Buta
29. Fabel Ibu Penyu dan Ikan Paus
30. Fabel Lembu Hendak Jadi Katak
31. Fabel di Kolam Teratai
32. Fabel Sepasang Merpati
33. Fabel untuk Seekor Domba yang Disembelih <---- klik untuk membaca sajaknya di blog SEJUTA PUISI.
34. Fabel Dua Pemancing dan Ikan Raksasa
35. Fabel Sebelas Ekor Camar


III. Dan Kita pun Bertukar Sebelah Sepatu

36. Kita pun Bertukar Sebelah Sepatu
37. Gambar yang Dirobek Ayah
38. Lelaki tanpa Telinga dan Perempuan yang Menangis Tak Henti-hentinya
39. Belajar Naik Sepeda
40. Ayah Takut dengan Tinta Merah
41. Aku Menangis Bersama Ibu
42. Pak Hujan Jualan Hujan di Musim Hujan
43. Membuat Waktu dari Jam Tanpa Jarum dan Angka
44. Saya Suka Berjalan Bersama Sepatu Lampu
45. Seorang Anak dan Caranya Minum Susu
46. Saya Bercukur Sebelum Sekolah
47. Ayah Mengajak Saya Menanam Pisang
48. Monster Dingin dan Peri Mimpi
49. Jin Kering Mengintai dari Balik Pot Bunga
50. Belajar Puisi dengan Salah Letak dan Salah Cetak
51. Sarung Pertama Saya Telah Sempurna Robeknya
52. Istri Ayah yang Bukan Ibu Saya
53. Saya Bermain Melipat Kertas
54. Kaki Ibu
55. Rambut Ibu
56. Tangan Ibu
57. Tawa Ibu
58. Dada Ibu
59. Sajak Sebelum Tidur
60. Jalan Benarkah dan Jalan Salahkah
61. Di Halaman Madrasah
62. Parsel Kiriman Belum Juga Ia Terima
63. Menunggu di Kedai Cukur
64. Ibu yang Telanjang, Ibu yang Berkabung
65. Anak Bermain Perahu di Teluk Buyat

Ananda Sukarlan Gubah Sajak Hasan Aspahani



:: Berita Ananda Sukarlan di Kaltim Post

----

Tajam, Pedih, dan Menggerakkan

Bagaimana dan apa jadinya jika sebuah sajak digubah menjadi sebuah komposisi musik klasik, dan dipadukan pula dengan sebuah tarian? Inilah yang akan terjadi pada tanggal 3 Januari 2010 nanti di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM).

Ananda Sukarlan akan tampil dalam konser bertajuk Jakarta New Year Concert. Ia akan membawakan komposisi yang ia gubah dari sajak Hasan Aspahani "Bibirku Bersujud di Bibirmu". Chendra Panatan, koreografer bereputasi internasional, akan menghiasi konser itu dengan tafsir lain atas sajak itu lewat gerak tari.



"Bukan hanya judul sajak itu yang begitu menyentuh. Seluruh isi sajak itu tajam, pedih dan menggerakkan!" kata Ananda Sukarlan.

Kompisi "Bibirku" terdiri dari dua sesi: pertama, trio untuk piano, alto flute dan biola. Dan bagian kedua, untuk soprano dan piano. Masing-masing bisa dimainkan terpisah. Chenra tampil di bagian pertama.

"Kami tak menyebut tariannya sebagai balet. Karena memang bukan balet. Pokoknya, para penari tampil menyuguhkan gerakan yang kompleks dengan ratusan meter kain properti, yang dengan spektakuler mengesankan gerakan ombak. Ananda Sukarlan bermain dengan dukungan Inez Raharjo pada biola, Elizabeth Ashford pada alto flute, dan Aning Katamsi - penyanyi soprano.

Berikut ini petikan wawancara Hasan Aspahani (HAH) di Batam dengan Ananda Sukarlan (AS) yang menetap di Spanyol, ihwal kerjasama kreatif mereka tersebut.

HAH: Kenapa ya Anda tertarik dengan sajak itu? Saya ingat saya kirimi Anda buku "Orgasmaya.." Ada sajak "Bibirku... " di buku itu. Itukah pertama kali Anda membaca sajak tersebut?

AS: Wah, saya lupa dimana pertama kali baca-nya. Mungkin di buku itu, mungkin dari blog sejuta puisi. Yang saya ingat adalah "kortsleting" yang terjadi di badan saya saat saya membacanya. Kadang-kadang kortsleting itu hanya sebentar terus hilang, tapi dalam kasus "BBDB" itu "setruman"-nya cukup lama, bahkan saat saya sedang utak-atik untuk bikin musik, masih saja terasa.

HAH: Kelihatannya susah ya menafsirkan isi sajak itu ke komposisi musik. Apa saja tantangannya?

AS: Yang susah bukan menafsirkannya. Menafsirkannya itu gampang, bahkan saya bisa bilang bahwa proses ini otomatis, karena ada beberapa puisi yg "bunyi" begitu saya baca (puisi-puisi lain adalah seperti "Dalam Sakit"nya SDD, "The young dead soldiers"nya Archibald MacLeish dll). Ini tidak ada hubungannya dgn panjangnya puisi ataupun struktur dll ... ada puisi yang "bunyi" di dalam diri saya, ada yang tidak.

Yang sulit adalah saat menerjemahkan detail-detail bunyi yang saya dengar. Itu berhubungan dengan teknik komposisinya, bukan penafsiran atau inspirasinya.

Ada bunyi-bunyi yang kompleks, dan tugas seorang komponis adalah menuliskannya untuk "mentransfer"-nya ke para musikus yang nanti memainkan not-not balok itu. Nah, bagaimana supaya bunyi itu bisa direproduksi secara akurat, itu yang sulit. Ini berhubungan dengan progresi harmoni-harmoni yang masih jarang (bahkan belum pernah) saya dengar sebelumnya, dan juga warna dari bunyi itu kan harus ditentukan (oleh karena itu saya menggunakan instrumen alto flute, yang belum pernah dipakai di Indonesia. Mungkin ini adalah karya komponis Indonesia pertama yang menggunakan instrumen ini). Juga hal-hal teknis lain misalnya proses repetitif tapi transformatif dari kata "gelombang".

Itu sama seperti kalau sedang dibaca : diulang-ulang tapi tidak sama intonasinya, kan? Nah, intonasi itu diterjemahkan ke dalam progresi harmoni kalau di dalam musik.

HAH: Berapa lama menggarapnya sampai merasa selesai, beres, pokoknya sampai Anda merasa ada sesuatu dari komposisi itu.

AS: Ada dua proses : sketching, dan kemudian proses menuliskan detailnya. Sketching-nya cepet banget : 1-2 jam setelah (dan sambil) baca puisi itu sudah kelar.

Sebetulnya setelah saya sketch, baru saya bikin beneran beberapa bulan setelahnya, karena banyak hal yang tidak bisa saya tinggalkan. Dengan sketching inspirasi itu tertulis dan jadinya tidak akan terlupakan. Sejak permulaan saya merasa bahwa ini bukan karya yang kecil (bukan hanya dari segi durasi, tapi juga dari kedalaman & kompleksitas ekspresinya).

Saya selalu bawa kertas kemana-mana, karena inspirasi kadang-kadang terjadi pada saat yang tidak tepat, dan kalau tidak saya tulis (walaupun hanya secara garis besar) biasanya akan lupa. Nah, penulisan detailnya itu saya kerjakan on and off, di tengah kesibukan lain, dan juga karena faktor bahwa karya ini cukup panjang dan arah-arahnya cukup "unpredictable". Makanya saya menganggap karya ini penting dalam daftar karya-karya saya (yang sekarang Alhamdulilah jumlahnya ratusan, dan tidak semua sama "pentingnya" buat saya he he ...) karena ada konsep harmoni baru yang buat saya sendiri merupakan suatu "discovery". Ini penting buat saya sendiri dan perkembangan musik saya.

HAH: Bisa sebutkan beberapa contoh karya anda yang "penting" dan juga yang "tidak penting" bagi perkembangan artistik anda ?

AS: Yang penting adalah "Dalam Sakit" (dari puisi Sapardi Djoko Damono), The Young Dead Soldiers (dari puisi Archibald MacLeish) dan Requiescat (karya instrumental untuk english horn dan string quartet). Karya-karya tersebut buat saya adalah references, atau tonggak-tonggak yang menentukan jalannya nilai-nilai artistik saya selanjutnya. Yang tidak penting misalnya musik saya untuk film "Romeo & Juliet" : itu musik yang --walaupun sekarang menjadi cukup populer di antara banyak sekali pianis yang memainkannya karena melodinya "enak didengar"-- saya ciptakan semata-mata untuk menggambarkan emosi dan latar belakang suatu adegan saja. Juga beberapa lagu-lagu pendek yang saya ciptakan misalnya untuk kado ulang tahun teman-teman, dan sebagainya. Anehnya, seperti kasus film R & J itu, banyak musik saya yang tidak penting buat saya tapi justru yang paling populer ....

HAH: Ada juga tarian nanti ditampilkan bersamaan dengan komposisi itu. Kenapa ada kolaborasi begitu? Bagaimana bisa muncul ide memadukan tari dan musik itu?

AS: Saya bercerita tentang musiknya dan kemudian saya mainkan ke Chendra Panatan , koreografer yg saya paling kagumi di Indonesia dan sering bekerjasama dengan saya.

Sebetulnya proses dia sama saja dengan proses saya dgn sebuah puisi. Kalau saya "mendengar" musik dari puisi itu, dia "melihat goyangan" dari musik saya. Ada musik saya yang "menggoyangnya", ada yang tidak, dan kebetulan "Bibirku" secara visual juga sangat "menonjok". Koreografi itu memakai gesture-gesture dan gerakan yang sangat besar, sehingga tubuh penari butuh semacam "extensions", makanya dia akan memakai kain-kain, efek lampu dan lain-lain. Sampai saat ini sih saya belum melihat koreografinya dia (yang masih juga dalam proses, belum selesai), tapi saya yakin efeknya akan sangat luar biasa, bukan hanya sekedar mencengangkan, tapi juga secara emosional sangat dalam.***




Friday, November 20, 2009

Tentang Sungai, Hutan, dan Malam

1. Sungai

AKU kira sungai itu letih juga. Mengalirkan
diri sendiri. Aku kira sungai itu sedang
berpikir untuk membeku atau mengering saja.

Dari muara tadi, kuhitung berapa lekuk yang
patah, berapa teluk yang patuh. Dan hujan
yang mengeluh, aku pura-pura tak mendengar,
ia sebut ramalan tentang musim bah, musibah.


2. Hutan

HUTAN adalah dada yang tabah. Aku kira dulu
selalu begitu. Sampai aku temukan bercak
darah, terperah dari luka yang perih parah.

Ingin sekali aku bisa mengambil juga luka
itu untukku sendiri, sekadar sakit, sedikit.
Aku kira, tabah di dadaku, perlu juga kuuji.


3. Malam

AKU kira semua lagu ditulis dan dinyanyikan
untuk malam, yaitu saat segalanya dibicarakan
dengan perlahan dan kita tak buru-buru hendak
membuat kesimpulan. Kerap kali, kita justru
menyisakan beberapa pertanyaan, terbiarkan.

Apakah kau suka memperhatikan yang dibicarakan
oleh burung-burung dan serangga malam itu?
Mereka saling mengingatkan tentang apa-apa
yang harus lekas dilupakan. Kau perhatikan?



[FIKSIMINI] Badutelevisi

"APAKAH aku sudah tidak bisa membantu kelucuanmu lagi?" tanya topeng badut itu kepada si badut yang selama ini selalu mengenakannya.

Si Badut memandangi televisi kecil di kamar kumuhnya. Televisi itu menyiarkan berita badut-badut tak bertopeng dan si Badut berpikir mungkin dia harus memakai televisi itu sebagai pengganti topengnya.

"Wah, ide yang lucu itu," kata topeng. Tapi, mereka berdua sama sekali tidak tertawa.




Monday, November 16, 2009

Oh Ya

Sajak Charles Bukowski

ada yang lebih buruk daripada
sepi sendiri
tapi seringkali perlu berdekade
untuk menyadari ini
dan lebih sering lagi
ketika engkau menyadari
sudah sangat terlambat
dan tak ada yang lebih buruk
daripada
terlambat yang sangat.




Burung Biru

Sajak Charles Bukowski

ada burung biru di hatiku
yang ingin keluar dari situ
tapi aku amat ketat mengurungnya,
Aku bilang, di situ saja, aku
tak akan membiarkan ada yang melihat
kau diam di situ.


Saat Sajak-sajak

Sajak Charles Bukowski

saat sajak-sajak berbanyak seribu biak
engkau sendiri menyadari betapa secuma
yang telah engkau cipta

:: Diterjemahkan oleh Hasan Aspahani


Tantangan Kegelapan

Sajak Charles Bukowski

pandang apa yang tak terduga
sangka apa yang tak terkira
sepak apa yang tak tertebak

apakah apa yang bagai tari sebunga bunga

:: Diterjemahkan oleh Hasan Aspahani


Sendiri Bersama Semua Orang

Sajak Charles Bukowski (1920 - 1994)

daging memagut tulang
dan mereka letak padanya benak
dan kadang juga jiwa,
dan vas bunga
dihancurkan perempuan
dibentur ke dada dinding
dan lelaki menenggak mabuk
dan tak ada yang mendapatkan
apa-apa
tapi terus saja mereka
mencari
keluar masuk merangkaki
ranjang.
daging membalut
tulang dan daging mencari
apa yang lebih daging
daripada daging.

tak ada peluang
sama sekali tak ada
kita terperangkap
dalam takdir
yang sama
saja.

tak ada seseorang yang
bisa menyeorangkan
seseorang.

tempat pembuangan sampah penuh
lapangan barang rongsokan penuh
barak orang gila penuh
lorong rumah sakit penuh
taman kuburan penuh

tak ada lagi sisa
sesak saja
segala.


:: Diterjemahkan oleh Hasan Aspahani

Sunday, November 15, 2009

Di atas kertas kata-kata bercumbu, seperti lalat di hangat musim panas dan penyair cuma penonton yang dirudung bingung - Dusan "Charles" Simic, Penyair Serbia-Amerika.


World Premiere "Bibirku Bersujud di Bibirmu"

"Bibirku Bersujud di Bibirmu" will receive its world premiere at the Jakarta New Year concert, January 3rd 2010, by Inez Raharjo -violin, Elizabeth Ashford -alto flute, Aning Katamsi -soprano and myself on the piano.

Selengkapnya baca di sini


Friday, November 13, 2009

[Ruang Renung # 244] Lima Tahun Membisu

PADA umur tujuh tahun, dia diperkosa oleh teman pria ibunya. Lelaki itu kemudian mati dibunuh oleh pamannya, bukan karena perkosaan itu, tapi karena perbuatan bermuatan pidana lainnya.

Bagaimana pun dia merasa bersalah atau pembunuhan itu. Sejak itu dia tak mau bercakap Dengan siapapun. Dia membisu. Lima tahun lamanya. Dia tidak bicara, dan tenggelam dalam bacaan dan kelak dia akui pada masa-masa inilah dia mendapatkan kemampuan berbahasanya . Dia jatuh cinta (dan mungkin dengan begitu bisa bertahan hidup waras) pada buku-buku sastra.

Dia membaca Langston Hughes, W. E. B. Du Bois, dan Paul Lawrence Dunbar. Dia sibukkan dirinay dengan William Shakespeare, Charles Dickens, dan Edgar Allan Poe.

Dia kelak baru berbicara setelah gurunya Nn. Flowers dengan telaten dan tabah membuka hati, mata dan menggerakkan lidahnya. Menggerakkan kehidupannya.

Dia Maya Angelou namanya. Penyair wanita Amerika yang kerap hadir di acara-acara resmi dan penting, dan berkali-kali sudah disebut akan dapat Nobel Sastra. Dia membaca sajak "On The Pulse of the Morning" atas permintaan Bill Clinton saat dilantik sebagai presiden. Saat upacara resmi penyemayaman Michael Jackson, dia juga yang tampil membaca puisi.


Aku Bayangkan Kekasihmu Menyaksikan Engkau Membaca Sajak di Salihara dan Dia Menangis

: M Aan Mansyur

DIA kulihat memulai tangisan saat
di podium yang remang itu kau
mengajukan pertanyaan yang dibisikkan
oleh sajakmu:

sudahkah kau memeluk dirimu hari ini?

(Tak apa-apa, ya? Aku petik saja bait
itu seutuhnya. Sebab, aku tak bisa
membuat yang lebih baik daripada
pertanyaan sederhana itu)

*

Dia menyembunyikan mata di lebat
tangisannya. "Hore, aku basah!"
kudengar kerudungnya, yang sewarna
dengan kaosmu (meski tanpa logo
Beatles itu) berseru seakan rindu sekali
pada air yang luruh dari mata itu.

Saat itu, di pentas berlatar hitam
itu kau sedang mengajukan pertanyaan dari
sajakmu yang ingin sekali dapat jawab:

masih kau simpan pelukan itu?

(Aduh, aku sudah bilang padamu, kan?
Bahwa aku sungguh suka dan sering iri
pada bait-bait sederhanamu?)

*

Dia berlekas pergi, dengan tangis di mata
dan basah di kerudung, sebelum kau
selesai membaca sajakmu itu. Aku kira
dia tak kuat menghadapi pertanyaan dan
kenangan yang kau ajukan dari bait-bait
sajakmu itu.

Aku lihat dia pergi sambil mencoba
memeluk dirinya sendiri. Seperti hendak
membantah atau membenarkan, bait sajakmu:

lenganmu memang terlalu pendek buat tubuhmu..

(Aku bersorak tangan keras sekali, saat
kau menuntaskan sajak berjudul "Pelukan"
itu. Mungkin akulah yang paling seru memberi
aplaus untukmu. Lalu, aku tak melihat dia
lagi, malam itu, dan malam-malam berikutnya
saat kita ada di Salihara).

[Ruang Renung # 243] Anda Tidak Sedang Buta, Bukan?



PADA umur 46 tahun, dia buta total. Glaokoma merebut daya lihatnya. Dalam kebutaan dia terus menulis puisi dan prosa, meski harus mendiktekan kepada amanuensis - semacam orang yang dibayar untuk menjadi juru catat.

Begitulah, dua puluh tahun lamanya, dalam kebutaan hingga ia meninggal pada usia 66, John Milton, penyair Inggris itu terus menulis sajak. Anda tidak sedang buta, bukan?


Wednesday, November 11, 2009

Sajak yang Hendak Diterjemahkan oleh Penyair Asing Itu

"PAKAILAH kata dalam bahasamu yang tak terjemahkan oleh bahasaku," katanya. Menantang aku. Lalu, dalam sajakku itu, aku menyusun cerita tentang sepasang petani yang menanam kelapa, di rawa yang mereka bebaskan dari asam gambut dan asin laut.

Mereka memberi nama-nama anatomi kelapa itu dengan bahasa sendiri: seperti sepasang ahli botani. (Tapi, di sajakku tak kusebutkan bahwa aku adalah anak pasangan petani itu)

Nama-nama untuk akar pertama, santan tua yang tak terperah, sepasang pelepah muda, batang sejari yang membayangkan angin di ketinggian itu nanti, buah-buah yang tiap bulan berbeda sebutan, bahkan bekas gigitan tupai di kulit kelapa muda.

"Ah, aku tersesat jauh di sajakmu. Aku tak sanggup benar menerjemahkannya," katanya. "Aku mungkin ingin jadi petani saja. Masihkah ada rawa yang bisa kutaklukkan untuk kutanami kelapa lain, dan kelak aku bisa mencipta nama-nama lainnya?" katanya. (Tak kusebutkan, di sajakku, bahwa aku terusir jauh dari kebun kelapa yang dulu ditanami ayah-ibuku, sepasang petani itu)





Beberapa Mungkin di Satu Pantai yang Belum Pernah Kita Kunjungi

Beberapa Mungkin di Satu Pantai
yang Belum Pernah Kita Kunjungi

: Bernard Batubara

MUNGKIN kita akan berteduh, di angkuh
pinus atau kelapa. Mungkin kita akan
mengaduh, oleh bius atau karena lupa.

Apa yang terbayang tentang pantai ini?

Mungkin di sini ingin kukubur tembuni
lalu mencoba mengabadikan nama yang
tak sempat kita rindu memanggilnya.

Mungkin kita menjadi sepasang mungkin
Mungkin yang mungkin semakin mungkin.



Tuesday, November 10, 2009

[Ruang Renung # 242] Perjalanan Menemukan

PERJALANAN menyajak itu adalah perjalanan pencarian dan menemukan. Engkau harus tabah menempuh perjalanan itu. Tapi, engkau harus gembira. Engkau harus meraraba-raba karena kadang jalan yang kau tempuh gelap, engkau harus memungut apa saja, membuangnya, memilihnya, menebak-nebak bisa kau apakan apa yang telah kau pungut itu. Engkau pasti akan letih, dan bahkan kembali ke titik awal. Tapi, teruslah berjalan.

Akan sampaikah engkau di puncak? Puncak itu mempesona. Tapi, di sana membosankan. Kau harus sampai ke sana, tapi jangan betah. Segera turun. Rancang perjalanan lagi, dan raihlah puncak yang lain. Saya kira yang lebih penting adalah seberapa jauh perjalanan yang kau tempuh, seberapa luas wilayah yang kau jelajah. Kita mungkin akan bertemu di banyak persimpangan.


Itukah Sajak yang Kau Tulis Untukku?

APAKAH sajak-sajak cinta yang tak menyebut namaku itu?

Aku sering tersesat di sana. Terkejut pada kata yang
tak pernah aku tahu, padaku mereka ingin mengucap apa.

Aku kerap terjerembab di sana. Berjalan di bait-bait
yang rumit, yang aku tak tahu hendak mengantarku kemana.

Tapi aku betah di sana. Seakan sembunyi dari banyak bunyi,
yang bertahun-tahun memaksa aku memekakkan telinga sendiri.

Ah, alangkah kamusnya engkau. Sebetapa sempitnya lidahku.

Aku ingin tahu, apakah sajak-sajak itu kau tulis untukku?


Friday, November 6, 2009

Beberapa Percakapan yang Berhasil Kusadap (2)

Alat Sadap (AS): Hei, maukah engkau menyadap percakapan kita?

Aku Penyadap (AP): Percakapan engkau dan aku?

AS: Ya, engkau dan aku. Aku ingin sekali tahu, bagaimana rasanya mendengarkan percakapan kita sendiri, percakapan yang disadap oleh orang lain.

AP: Tapi kalau kusadap percakapan kita, itu artinya kita menyadap percakapan kita sendiri, bukan?

AS: Apakah harus orang lain yang menyadap percakapan kita?

AP: Aku sendiri tak pernah menyadap percakapanku sendiri. Engkau pasti tahu itu, sebab apa yang kusadap, pasti engkau yang menyadapnya, bukan?

AS: Makanya, pernahkanlah. Mungkin dengan begitu, kita bisa menyadap percakapan orang lain dengan lebih baik.

AP: Sebenarnya aku bosan, menjadi penyadap.

AS: Kamu bosan denganku?

AP: Tidak, aku hanya berpikir adakah yang bisa kita lakukan selain pekerjaan ini?

AS: Mungkin sesekali kita harus menyadap percakapan Penting Dia yang Mahapenting.

AP: Apakah itu tidak melampaui wewenang?

AS: Siapa yang membuat batas wewenang itu?

AP: Entahlah...

AS: Saya kira dia Yang Mahapenting, ingin sekali sesekali ada yang mendengar apa yang Dia ingin katakan.

AP: Ah, sudahlah. Kamu tahu kan? Dia itu Mahapenyadap. Dia tahu bahkan apa yang dikatakan oleh hati kita.

AS: Ya, ya... Sudahlah.



Beberapa Sajak yang Aku Pikir Seharusnya Aku yang Menulisnya (5)

5. SERATUS? Tapi, aku membacanya seperti seribu, seperti sejuta, tak
habis-habis. Sebuah soneta - melahirkan sepuluh lagi, sehabis kubaca.

O, betapa besar cinta. Kayu yang melapuk ikhlas, tumbuh jamur umur,
seakan mengerti ada siklus yang tak boleh putus, tak boleh terhapus.

Dari batang-batang baja hanya akan ada karat mudarat. Aku memang
hanya putra bapak petani, bukan penjaga api di bengkel pandai besi.


Beberapa Sajak yang Aku Pikir Seharusnya Aku yang Menulisnya (4)

4. SEPERTI ditulis untuk syair lagu kanak-kanak dan aku
menyanyikannya sepanjang jalan menjauh dari rumah.

Aku tak pernah ingat seluruh lirik itu, tapi sepertinya
memang begitulah seharusnya aku mengenangnya,
aku bebas memasukkan kata baru, menambah irama lain,
menafsirkan arti yang kuingin, membebaskan aku untuk
menjadi apa saja. Aku selalu percaya bahwa matahari
yang ramah itu, ikut bernyanyi bersama riang lagu liar itu.



Beberapa Percakapan yang Berhasil Kusadap (1)

1. Kalender dan Jam Meja

Kalender (K): Sebenarnya apa yang kau dan aku lakukan di sini?

Jam Meja (JM): Aku kira aku sedang mencocokkan hitunganku dengan angka-angka yang ada padamu. Ini pekerjaan iseng saja sebenarnya.

K: Ah, kau tak merasa sedang diperdaya oleh sesuatu? Sesuatu yang namanya sering disebut oleh lelaki yang tiap pagi datang dan duduk di kursi itu?

JM: Siapa? Si Waktu itu?

K: Ah, aku malas sekali menyebut namanya.

JM: Sebenarnya dia itu tak ada. Kitalah yang membuat dia seolah-olah ada. Kitalah yang membuat seakan-akan dia itu datang, pergi, berlalu, hilang...

K: Makanya, aku malas sekali berusan dengan dia.

JM: Wah, apakah kita punya urusan lain selain dengannya?




Thursday, November 5, 2009

Beberapa Sajak yang Aku Pikir Seharusnya Aku yang Menulisnya (3)

3. DIA hanya pendek. Sebuah sajak singkat
yang setelah sekali saja kubaca, meninggalkan
jejak betapa panjangnya. Di dalam kenanganku
dia menggandengmu ke mana-mana. Sakit, bukan?
Pedih, bukan? Perih, bukan? Terus-menerus,
begitu dia bertanya. Aku tak kuasa menjawabnya.

Aku pernah ingin mencoba melacak apa sebenarnya
rahasia, di balik bait-baitnya. Diam-diam aku pun
menjadi diam. Menyelinap masuk ke bait-bait
sajak pendek itu, dan oh, baru aku tahu kemudian,
ternyata rumit sekali kata di balik kalimat yang
ketika sekilas kubaca, tampak sangat sederhana.


Beberapa Sajak yang Aku Pikir Seharusnya Aku yang Menulisnya (2)

2. SEBUAH sajak asing, yang datang
dengan sangat karib, padaku pada
suatu sunyi. Aku seperti kenal dengan
nama penyair itu. Sajak itu seperti
ditulis untuk mengajari aku: beginilah
seharusnya sunyi disajakkan.

Dalam bahasa asing itu, aku mendengar
sajaknya penuh bunyi. Beberapa konsonan
seperti menyusun diri jadi lonceng,
lalu huruf vokal mendentangkannya.
Tapi, bunyi-bunyi itu justru terdengar
seperti mengabarkan sebuah kesunyian.

Aku kemudian mencoba menuliskannya,
sendiri, dalam bahasaku sendiri, untuk
sunyiku sendiri. Tapi, ah, kenapa ya,
itu tak pernah jadi sajakku sendiri?

"Mungkin, kau belum karib dengan sunyi,
sunyimu itu, mungkin kau diam-diam
sering ingin menolaknya, menjauhinya,"
kata sebuah bait dalam sajak asing itu,
seperti dipersiapkan untuk menjawabku.




Wednesday, November 4, 2009

Beberapa Sajak yang Aku Pikir Seharusnya Aku yang Menulisnya (1)

Beberapa Sajak yang
Aku Pikir Seharusnya
Aku yang Menulisnya (1)


1. SEBUAH sajak yang sama sekali
padanya tak ada kata sakit atau
yang menyaran pada rasa itu. Seperti
pedih, perih, luka, atau aduh.

Tapi, bagiku itu adalah sajak
yang paling pedih, sajak tentang
rasa sakit yang paling sakit. Aku
seperti akrab sekali pada sakit itu.

"Lihat, dagingku menganga tertawa,"
kata sebuah bait di sajak itu. Aku
suka sekali diam-diam memetik bait itu.

Ingin sekali aku mengaku-aku, bahwa
akulah yang menulis sajak itu,
untukmu. Karena dengan begitu
aku berharap, kamu mengira, bahwa
aku sudah memahami rasa sakitmu.



Monday, November 2, 2009

Indeks Baris Pertama Puisi yang Panjang dalam Buku Puisi yang Belum Ingin Kuterbitkan

1. HAI, engkau! Rasa sakit itu. Masihkah kau kenal dengan tubuhku? Tubuh yang belum selesai menjahit koyak jerit sendiri?

2. TUBUHKU adalah sawah yang mencintai musim hujan. Engkau pematang liar, beralur licin, melingkar.

3. "MAUKAH kau menanamku?" tanya rasa sakit itu. Ah, aku sudah menyemai benihnya, sebelum nanti rasa itu menyemak menggulma.

4. MAAFKAN aku hujan. Maafkan aku katak. Maafkan aku bangau. Aku tak bisa bermain dengan kalian. Aku sedang dirawat oleh rasa sakitku.

5. PETANI itu pernah datang sekali. Berdiri di ambang subuh, nyaris rubuh. Lalu pergi, dan selalu tergoda - tapi menolak - untuk lagi kembali.

6. TAK ada jejak di pematang. Tapi, semalam ada yang datang. Ke sawah ini. Seperti buru-buru, ia tanam sesuatu yang tak ia harapkan akan tumbuh.

7. "SEANDAINYA, setiap butirku adalah benih yang tumbuh padamu," kata hujan, kepada sawah. Sawah, sering sudah, ia mendengar pertanyaan itu. Ia tahu, hujan tahu jawaban apa yang ia senantiasakan.

8. MUNGKIN akulah petani itu. Petani yang ingin menanam diri sendiri, di sawah sendiri. Memanen luka: luka sendiri.




Pengantar untuk Tiga Puisi yang Dikirim ke Bung Redaktur Rubrik Puisi Sebuah Surat Kabar Minggu

: Hasif Amini

KAU belum bosan, bukan? Menerima kiriman
puisiku? Kau pernah bilang padaku, setiap
hari kau menerima dan membaca ribuan
puisi, lalu kau akan pilih beberapa saja, untuk
diterbitkan di halaman minggu yang sudah
menyetengah, didesak kavling untuk iklan.

Aku suka membayangkan, puisiku yang tak
kau muat, sembunyi di sebalik iklan itu.

Aku kirim lagi puisiku yang tak bertanggal
dan tak bertahun penulisan itu. Aku sengaja
menanggalkan tanggal dari puisi-puisiku.
Bukan untuk mengelabui engkau, tapi di
dalam puisiku itu waktu abadi ada, aku
tak lagi perlu memberi tanda apa-apa.

Apakah kau tak memuat puisiku karena aku
menolak untuk mati setelah puisi itu terbit?

Apakah kau menolak puisiku karena aku pernah
bilang, bila kau muat, tak usah kau cantumkan
namaku di bawah atau di atas judulnya, agar
aku dan puisiku bisa saling bikin kejutan?


*

KAU tak usah dan tak perlu membalas basa-basi
ini --- seperti biasa. Aku hanya ingin mengantar
beberapa puisi yang kukirim lagi. Puisi-puisi yang
...(kuurai saja isinya, setelah kusebutkan judulnya):

1. Dongeng Cicak dan Buaya

Kau pasti tahu kenapa aku menulis sajak ini,
bukan? Heran juga, ya? Kenapa buaya itu iri
dengan kesabaran cicak mengendap di dinding,
merayap berkeliling, dan menyadap semua
percakapan yang isinya selalu saja cuma dusta,
akal-akalan, siasat pencurian. Heran sekali ya?
Kenapa buaya itu bilang bahwa kemampuan cicak
menempel di langit-langit tanpa terjatuh itu
adalah penyalahgunaan wewenang? Heran betapa
heran, kenapa buaya itu ingin sekali cicak terjatuh?

2. Hikayat Anjing dan Bulbul

Kau pasti akan mengaitkan puisi ini dengan
perceraian penyanyi bersuara lantang dan suaminya
yang bilang 'setengah jiwaku terbang' itu, bukan?

Mungkin, kau tak usah saja memuat sajak ini.
Metafora yang mentah. Ini wilayah yang seakan-akan
haram dimasuki oleh puisi. Tapi, juga tak ada yang
melarang, bukan? Itu sebabnya aku menuliskannya.

Ah, aku memang suka mengada-ada. Tapi, puisi itu
bukankah memang juga sebuah upaya mengada-ada?

3. Kisah Peri dan Pulau Dewa

Tak akan kutuliskan nama peri itu, peri dari
negeri yang juga tak akan kusebutkan di puisiku,
pun di pengantar ini. Kita belum bebas dari dongeng
tidur atau terjaga, ternyata. Kita masih terpukau
dengan lidah yang bicara dalam bahasa yang berbeda
dan rambut yang berkibar dengan warna yang berbeda.

Dia membuat dongeng di sana, itu saja, sudah bagai
dongeng buat kita, bukan? Aku tidak menulis dongeng
tentang itu. Aku menulis puisi yang menyadarkan
- mungkin dengan sia-sia - betapa dongengnya kita.

*

TIGA puisi saja. Aku kira kau pun tak akan sempat
membacanya. Tiga di antara ribuan puisi, dan satu
namaku di antara ratusan nama. Adakah itu artinya?

Sunday, November 1, 2009

Semalam Saja Lagi

[Ditulis sambil mendengarkan & berdasarkan
lirik lagu "One More Night" Phill Collins]


Semalam saja lagi, beri aku semalam saja,
O, telah lama kumencoba biar engkau tahu
bagaimana aku menanggung rasuk rasa

Dan jika aku tersandung dan jatuh, bantu
aku kembali teguh tegak, agar bisa kubuat
engkau melihat padaku, membuka matamu.

Semalam saja lagi, beri aku semalam saja
karena aku tak bisa menanti lebih nanti

Beri aku lagi semalam saja, semalam saja
karena aku tak bisa menunggu lebih tunggu

Telah lama sekali, aku duduk di sini,
menyampahkan waktu, menatap pada telepon itu
dan menduga-duga, haruskah kutelepon engkau?
Tapi, ah, kukira engkau tidak sedang sendiri.

Seperti sungai memuja lautan, aku selalu
ada berada bersama engkau, dan bila engkau
bentang layar, aku berhembus jadi anginmu.

Semalam saja lagi, ya beri semalam saja,
aku tahu tak akan pernah ada pernah
engkau tak sempat merasa, dan aku tahu ini
cuma kata dan kata-kata, tapi bila engkau
berubah pikiran, engkau tahu bahwa aku ada,
selalu menunggu engkau, menerima lagi engkau,
Kita berdua, mungkin bisa mulai belajar lagi.

Semalam saja lagi, ya beri aku semalam saja.


Tulis Akhir Postingan Anda

Friday, October 30, 2009

Kenduri Duri Durian

NAMA itu: durian, ia dari diri kami,
tapi bagimu, apakah ini ada arti?

Daging buah itu tak pernah tahu,
ada kami: duri di kulit buah ini,
duri yang hanya menyarukan wangi,
dari aroma yang tak bisa sembunyi.

Daging buah itu pernahkah ingin
bertanya, sekali saja, sukakah kami
pada aromanya yang membuat kami harus
luka, terbelah, dan tajam yang kami
jaga dan menjaga ini, tak berarti
apa-apa, cuma semacam sebuah sia-sia.

*

Nama itu: kenduri, O, betapa ingin kami
tahu, bahwa ia juga berasal dari kami.



Melankolia Melon Sagu

MUNGKIN dia ada di dasar mangkok itu: mengira dirinya butir sagu,
yang kelak menggelincir laju di lidah, licin, lepas, dan tak terkunyah.

Waktu, dengan tangannya yang terus saja mengulur itu, mengaduk
sebentar, memastikan lemak-manis-segar itu padu, lalu menyuapkan
sepercidukan, serta sebola melon, menggantung antara kau dan aku.

Tatapan bertikaman. Kita mengadu: siapa paling dahaga, kau atau aku.


Tuesday, October 27, 2009

Sangka Semangkok Mangga



DIA yang sudah terkupas dan teriris,
di mangkok itu tergiur pada lidahku.

Aku, mengelak dingin penyejuk kamar,
Ingatan ke subuh yang jauh dan samar

Pohon setua hikayat, bercabang piton.
Kutunggu luruh buah, akil balig bocah.

Kau adalah mangga jatuh, yang kurebut,
dari udara yang tak utuh. Siapa yang
perlu pisau? Bilakala lekas kau kugugut.



Waktu di Salihara

AKU ingin senantiasa sesat ke sana,
Ah, selalu aku kira ada ruang rahasia.

Tempat sesiapa seperti aku sembunyi,
lalu menemukan apa yang tak tercari.

Di sana, aku bertemu Waktu, duduk di
tebal bangku kayu. Dia yang sibuk
itu, tampak santai sekali, menyantap
mie goreng salihara. "Kesinilah kalau
mau menaklukkan aku," katanya padaku.

Lalu dia mengajak aku berkeliling,
ke teater itu, ke galeri itu, ke kafe
atap itu, ke serambi itu, ke musala
itu, ke toilet itu, ke kedai cindera
mata itu, ke ruang kerjanya yang entah
di sebelah mana. Ah, aku tak sempat
heran, di sini, dia, si Waktu itu
ternyata bekerja, ada tempat untuknya.

Aku tak bertanya, dibayar berapa dia.
Waktu? Ah, pasti mahal sekali tarifnya.






Di Ruang Praktek Dokter Gigi

SEMENTARA aku terus menganga, kau
menyebut kode-kode posisi gigi dan
nama-nama alat yang bergantian
disodorkan padamu, kata-kata yang tak
sempat kutebak, dan tak kumengerti.

Kau bicara tentang mana yang masih
bisa dipertahankan. Dan aku nyaris
tak bisa bertahan, terbaring di kursi
perawatan itu, dengan mulut terus
saja menganga, menguapkan semua kata:
aku tak bisa membantah atau mengiya.

Aku akan terus menganga, sepertinya
dengan demikian itu telah habis lebih
dahulu semua jeritan dan aku memang tak
ingin membayangkan sesakit apa sakitnya.

Sementara aku menganga, kau suntikkan
jarum anestesi, lalu terasa gusi dan
bibirku tebal sekali. Seperti firasat,
bahwa aku akan ditinju rasa kehilangan:
sesuatu yang begitu dekat, tapi padanya
aku tak pernah terlalu peduli.


Monday, October 26, 2009

Tidak Berjalan ke mana-mana di Waktu Malam Hari



: Sapardi Djoko Damono

DUA kursi itu, tak berebut siapa
sebenarnya lebih pantas kau duduki.

Kau dan kursi tak bertanya, bayangan
kalian disembunyikan cahaya atau
diserap habis lantai beton itu.

Terang lampu dan gelap dinding tak
bertengkar tentang siapa di antara
mereka yang khusyuk kau renungkan.

Mikropon di kursi di sebelahmu, masih
kaget dan berusaha terus mengingat
yang baru saja kau ucapkan lewat dia.

Foto: M Aan Mansyur



Terima Kasih, Afifah!



Utan Kayu Literary Bienale, Sabtu, 24 Oktober, 2009. Pemain biola mahasiswi Jurusan Biologi, ITB, itu berhasil menjaga irama saya membaca puisi. Saya cenderung membaca dengan cepat. Terima kasih, Afifah. Ayahmu Ir Irawan B Koesoemo pasti bangga dengan kamu.

Foto: M Aan Mansyur


Sunday, October 25, 2009

Apa Kabar Jantungmu?

: M Aan Mansyur


AKHIRNYA kita bertemu
di kota bernama Jakarta.

Sejak di bandara bernama
Soekarno-Hatta, padamu aku
sudah ingin bertanya:
masihkah Jantungmu itu mau
membunuhmu dengan indah?

Ataukah telah dia lepaskan
badik (yang tak pernah kau
sebut dalam sajak-sajakmu)
yang hendak ia tikamkan
itu, yang sudah sejak lama
ia tajamkan di dalih lidah,
di keras batuasah?

"Oh," katamu, "Badik itu kini
jadi pembatas buku."

Jantungmu itu, kini menjadi
kutubuku.

Ia suka sekali membaca
sajak-sajakmu. Walau harus
menduga-duga banyak hal,
menebak nama-nama yang sering
kau sebut di sana, dan
sesekali tergoda, ingat pada
keinginan lamanya.


*

Di kota bernama Jakarta kau
membeli banyak sekali buku.
Aku kira itu oleh-oleh untuk
Jantungmu.

"Di perpustakaan kami," katamu,
(aku menduga siapa dia yang
jadi kami dengan kau di kata
ganti orang pertama jamak itu)
banyak sekali pembaca seperti
Jantungku itu. Mereka datang
mencari buku yang pas untuk
dicumbui saat hati sepoi sepi,
setelah atau menjelang kekasih
pergi."

Aku bayangkan, akan banyak
sekali badik, yang harus kau
persiapkan untuk menjadi
pembatas buku-buku baru itu.

*

Dan kau bercerita tentang
bukumu sendiri yang tak perlu
badik sebagai pembatasnya,
yang tak pernah bisa selesai
kau tulis dan kau baca.

"Buku itu, seperti badik,
tertancap abadi di Jantungku!"
katamu. Buku itu, bercerita
tentang perempuan yang memeluk
kekasihnya, di sebuah diskusi
buku puisi, di sebuah tempat
bernama Taman Ismail Marzuki.

"Pelukan yang lama tapi tak
cukup lama baginya untuk
memastikan bahwa badik lain yang
bernama Cinta (atau tentah apa)
itu masih tertanam dan tumbuh
subur di dalam tubuhku," katamu.

Akhirnya, aku mendengar cerita
itu langsung darimu, di kota
bernama Jakarta, kota yang kini
menyembunyikan si Pemeluk itu.




Monday, October 19, 2009

Gunjing Sastra (4) - Kenapa Malu Membuat Pembaharuan?

Nirwan Dewanto betul. Siapa saja bisa mengalami pengalaman batin yang sama, juga penyair, misalnya ketika mabuk di bawah bulan purnama, terbuai di depan ombak, dan lain-lain. Ini mungkin yang disebut Subagio Sastrowardoyo: keterharuan. Dia betul, pengalaman batin itu belum pasti akan menjadi sebuah puisi, apa yang ia sebut sebagai artefak kata-kata.

Justru di situlah bedanya penyair dan yang bukan penyair.
Si penyair kemudian melanjutkan keterharuan itu, dia menggarap puisi: dia menciptakan artefak kata-kata yang bernama puisi itu. Artinya si penyair "terilhami" (sesuatu yang ditolak oleh Nirwan) oleh pengalaman batin itu. Memangnya apa sih yang membuat penyair itu kemudian terdorong untuk meraih bahasa lalu memakai itu sebagai wadah untuk "membentuk" pengalaman batin tadi atau keterharuan tadi?



Saya sendiri menggarap sebagian puisi dengan bermodal keterharuan kecil-kecilan dari pengalaman biasa saja, yang bisa dialami oleh siapa saja: didera bosan di pesawat, menunggu di ruang keberangkatan, terbaring sendiri di hotel, di dalam taksi ke bandara. Ini sangat tidak istimewa, bukan? Dan memang belum tentu bisa jadi sajak. Pengalaman kecil-kecil itulah yang saya sajakkan.

Saya setuju pada apa yang dia katakan kemudian. "Seandainya seorang penyair melihat darah tumpah di jalanan, maka soalnya apakah ia mampu membuat apa yang dilihatnya menjadi darah kata-kata," katanya.

Nah, itulah soalnya. Bagaimana mengolah darah di jalanan itu menjadi darah kata-kata?

Ini jawaban Nirwan, katanya, untuk membuat darah kata, daging kata, dan tubuh kata, si penyair harus memencilkan diri ke dalam ruang studinya.

"Ia masuk ke dalam lingkungan bahasa, tepatnya lingkungan tulisan, yang memberikan kepadanya bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin," katanya.

Bila penyair mengolah yang mungkin ini, tulis Nirwan, ia bisa pula menemukan yang mustahil — yang membuatnya bergerak lebih cepat ketimbang rekan-rekannya.

Aha! Banyak yang bisa saya setujui sejauh ini. Tapi, kenapa Nirwan melihat posisi penyair begitu lemahnya di depan bahasa? Selain lingkungan bahasa itu memberikan bentuk-bentuk pengucapan yang mungkin, bukankah penyair juga bisa dan boleh (atau bahkan harus) menciptakan kemungkinan-kemungkinan pengucapan itu? Bukan sekadar menemukan!

Dulu Nirwan pernah menulis bahwa penyair A hanya memperluas sajak-sajak penyair X, dan penyair B mencairkannya, sementara si penyair C mengulang-ulang saja. Saya dulu membaca itu sebagai cambukan darinya agar saya mencari sesuatu yang baru, membuat pembaharuan.

Tapi kenapa dalam tulisan di blog "majalah dinding"-nya itu dia bilang tak percaya pada kata "pembaharuan" dalam sajak?

Dia tulis: ...boleh jadi ia akan malu menyebut dirinya sebagai pembaharu, sebab sejarah-sejarah sastra di dunia ini adalah lautan pembaharuan. "Ia tahu, jargon 'pembaharuan' hanya membatasi geraknya. Sebab ia ingin leluasa bergerak ke depan, ke belakang, ke samping, ke atas dan ke bawah," katanya.

Kenapa ia bilang "pembaharuan" itu hanya jargon yang menjadi beban? Yang membatasi ruang gerak? Kenapa pembaharuan itu tak membuat ia leluasa bergerak ke mana-mana?

Lalu bagaimana dulu pembaharuan itu dalam sepanjang sejarah sastra itu menjadi "lautan" kini.

Saya percaya, membuat pembaharuan itu sungguh tidak mudah. Pun tak mudah dikenali. Lima tahun setelah kematian Chairil, Asrul Sani menulis bahwa sajak-sajak sahabatnya itu masih berupa hutan luas yang perlu ditebas. Artinya, apa yang sekarang kita kenali sebagai "kebaruan" dalam sajak-sajak Chairil, saat itu pun belum tertandai, bahkan masih ditolak dan dianggap merusak bahasa. Chairil kita tahu, adalah orang yang getol banget pada pembaharuan. Entahlah, kenapa Nirwan tak sebersemangat itu, ya?

Saya percaya, siapa pun yang bergerak di dunia kreatif, khususnya sastra, dan ingin menghasilkan sesuatu yang dicatat dalam sejarah kelak, maka ia harus membuat pembaharuan. Dan itu, percayalah tidak mudah, dan belum tentu berhasil sepanjang sejarah perjalanan kreatif kita. Tanpa semangat menemukan pembaharuan itu, maka dunia sastra kita hanya akan dipenuhi oleh karya-karya yang mengulang-ulang saja, bukan?

:: Gunjing tak gentar, membela yang argumennya paling ngawur! :-) Lanjutkan!