Wednesday, November 25, 2009

[Kolom Kamisan] Ketika Politik tidak Berperasaan

Oleh Hasan Aspahani

KETIKA politik bengkok, kata John F Kennedy, puisi yang meluruskan. Ketika politik kotor, puisi yang membersihkan. Tapi, saya sekarang nyaris tidak percaya. Tapi, kata saya, ketika politik tidak berperasaan, puisi sesungguhnya tak bisa berbuat apa-apa.


Politik kita sekarang sedang bengkok-bengkoknya. Kita yang tidak peduli pun terpaksa harus mengikuti juga perkembangannya. Hanya ada satu kata: memuakkan!

Saya mencoba percaya pada Kennedy. Untung saja dia yang memuja puisi itu seorang politikus, bukan penyair, maka kalimat itu menjadi terkenal, kerap dikutip, dan tak menjadi bualan basi.

Saya mencoba percaya, membaca-baca tentang puisi, dan ah saya kira Kennedy salah. Tak ada yang bisa saya lakukan dengan puisi untuk meluruskan dan membersihkan politik di mata saya. Kecuali satu hal: dalam puisi, hati dan jiwa menjadi pusat perhatian. Dalam politik? Saya tak bisa membawa dua hal itu ke sana tanpa tak merasa marah dan tersepelekan.

Politik, kalau mau ditata, mungkin harus dimulai dengan mengatur hati dan jiwa itu. Kita bisa belajar bagaimana itu dilakukan dalam puisi.

Dalam tulisannya "Jiwa Bernyanyi" di majalah Pujangga Baru, kemudian terbit di buku "Kebangkitan Puisi Baru Indonesia" (PT Dian Rakyat, Jakarta, 1969, cetakan ke-1)) Sutan Takdir Alisjahbana menulis begini: Puisi Indonesia yang baru, baru mulai. Baru sepuluh lima belas tahun sejarah yang terbentang di belakangnya. Setinggi-tingginya kita dapat berkata, bahwa sekarang ini baru selesai masa persediaan: masa merambah, masa merubuhkan tunggul yang lama untuk memberi tempat tumbuh bagi kembang yang baru.

Majalah Pujangga Baru mulai terbit pada tahun 1934 sampai mati di zaman pendudukan Jepang.

Dalam tulisan yang sama kita bisa temukan pernyataan: Kebangunan kususasteraan dan teristimewa puisi Indonesia dalam abad kedua puluh satu ini pun bukanlah lain dari pada bangunnya jiwa yang terikat, jiwa yang tiada dapat bergerak lagi di dalam buhulan ikatan dan simpulannya. Terasalah kepadanya sempit kurungannya dan pedih belitan rantainya, dan demikianlah telah selayaknya jiwa yang sadar kembali itu menghancurkan kungkungan dan ikatan yang menahan langkah dan geraknya.

Apa yang hendak dihancurkan itu? Takdir menulis: Sekalian sajak susunan kata yang terlazim, sekalian irama yang terbiasa, sekalian kiasan dan bandingan yang telah menjadi buah mulut dan pepatah dilemparkan, sebab hanyalah dalam udara bersih-jernih dan bebas-lepas akan dapat pula jiwa yang telah lesu-lumpuh itu menjelmakan dirinya segiat-gembiranya, semesra-mesranya.

Sebelum Takdir sampai pada pembahasan sajak-sajak raja-raja penyair zaman itu - antara lain J.E Tatengkeng, Rustam Effendi, Sanusi Pane - ia mengantar dengan sebuah paragraf penting: Semangat perlawanan, semangat hendak menghancur-remukkan dan melemparkan segala yang menghalangi dan merintangi itu bermacam-macam caranya terjelma dalam puisi Indonesia yang baru.

Apa hasil dari perlawanan itu? Sajak yang mengembalikan puisi kepada asalnya, yakni jiwa yang bernyanyi. "Di sinilah sesungguhnya terletak sari pembaharuan puisi Indonesia: hidup saktinya perasaan," kata Takdir.

Kenapa sajak demikian itu disebut Takdir sebagai sebuah upaya penyair Pujangga Baru mengembalikan puisi ke asalnya? Sebab, ia jelaskan, dalam syair yang lama perasaan telah lemas tertimbun di bawah debu perkataan. "Dan pujangga baru mengeluarkannya pula ke sinar matahari, muda dan hijau berseri-seri," kata Takdir.

Maka, Takdir saat itu menyadari, mengapa dalam puisi Indonesia yang baru itu bersemaharajalela lirik. Ia rumuskan sendiri apa yang ia maksudkan dengan sajak lirik yaitu: curahan kalbu yang langsung meresap ke kalbu.

Apa yang bisa dipelajari oleh penyair saat ini dari apa yang ditulis Takdir? Saya mencatat lima hal:

1. Lansekap puisi Indonesia saat ini terbentang jauh lebih luas. Kerja kolektif penyair saat ini seharusnya tidak lagi 'merambah, merubuhkan tunggul yang lama untuk memberi tempat tumbuh bagi kembang yang baru'. Kita tidak bisa lepas dari bentangan itu, tapi ini bukan penjara, ini adalah pijakan sekaligus tantangan untuk melompat dengan karya yang mampu menggapai cakrawala yang lebih luas. Upaya untuk keluar dari sana, atau meniadakannya sama sia-sianya dengan orang yang berkarya tapi tidak sadar bahwa ia berada dalam sebuah lansekap yang sudah lama terbangun. Ia seperti kadal terkurung tempurung!

2. Penyair Indonesia saat ini telah berada dalam sebuah iklim berkarya yang amat bebas, sebebas-bebasnya. Tetapi, amat disayagkan, ada penyair yang tidak bisa memanfaatkan kebebasan itu. Mereka kikuk, gamang, dan tak tahu harus menuju kemana. Mereka, sialnya, terkekang oleh kebebasan itu sendiri. Akibatnya, tak banyak pencapaian-pencapaian baru yang layak dicatat.

3. Penyair Indonesia saat ini tidak harus menghancurkan apa-apa. Apa yang ditinggalkan atau dihasilkan oleh pendahulu adalah puncak-puncak yang harus dikaji, dipelajari, dikagumi, kemudian harus ada niat untuk mengalahkan dengan membina puncak baru yang lebih tinggi, lebih menjulang, dan lebih kokoh pondasinya.

4. Penyair Indonesia saat ini tidak perlu berimajinasi membersihkan 'udara' dan dia pun tak perlu berkhayal hanya dalam udara yang 'bersih-jernih dan bebas-lepas' itulah baru dia bisa menciptakan karya-karya bernapas baru. Kita berada dalam udara kehidupan yang nyaris jenuh. Justru karya kitalah yang seharusnya bisa membersihkan kejenuhan itu, bukan sebaliknya membuat udara makin keruh. Karya kita harus menawarkan kesegaran.

5. Terima kasih pada Pujangga Baru yang sudah membangkitkan sajak lirik. Dalam batasan yang ketat, sajak lirik dihadap-hadapkan dengan sajak epik. Apakah kalau kita kini risau dengan sajak lirik, maka kita harus mengobati kerisauan itu dengan sajak epik? Tidak! Yang lirik dan yang epik akhirnya cuma gaya. Keduanya adalah sajak. Keduanya berhak untuk digarap maksimal. Yang harus ditolak adalah pemujaan pada satu bentuk, pada satu gaya, pada satu kecenderungan dan dengan itu kemudian meniadakan atau menutup jalan ke bentuk lain.


Apalagi kalau kecenderungan itu semakin memperparah kejenuhan 'udara' kreativitas. Dan itu yang terjadi di ranah politik. Udaranya terus-menerus dijenuhkan. Tak ada kreativitas. Para pemimpin, hanya pandai mendapatkan legitimasi dari rakyat, tapi tak pandai memberi inspirasi. Tak ada tindakan yang kelak dikenang dengan rasa bangga.[]

Tuesday, November 24, 2009

[Personal Esai] Mamaku, 2

AKU percaya, tak ada yang lebih membahagiakan Mama selain ketika orang lain bicara tentang kebaikan anak-anaknya. Karena itu, bagiku, tak ada yang lebih utama selain membahagiakan Mama, dengan cara apapun yang bisa dilakukan oleh anak seusiaku waktu itu, dan aku menemukan banyak cara.


Sesekali aku suka azan di masjid. Aku paling suka azan subuh. Hening sekali rasanya, membayangkan suara azan kita mencapai relung-relung kampung. Membangunkan orang-orang untuk sembahyang. Yang selalu kubayangkan adalah mama mendengar azanku. Mama, setiap hari, jauh sebelum azan subuh sudah bangun untuk menyiapkan kue-kue, yang nanti pagi harinya kuantar ke warung-warung dan kujajakan keliling kampung.

"Kamu tadi azan ya?" Mama selalu bertanya begitu setelah aku pulang dari masjid salat subuh berjamaah, jika subuh itu aku azan. Dia kenal suaralui: suara anaknya. Sesungguhnya aku bukan muazin yang baik. Suaraku seperti kumbang dalam buluh. Rendah. Susah mencapai nada tinggi. Suara yang bagus - ini istilah mama - seperti kemiri ditampi di nyiru. Bergemerincing nyaring.

Mama selalu menceritakan jika di pengajian ada yang bertanya tentang aku - anaknya yang tiap pagi menjual kue. "Aku beli kuemu tadi pagi. Siapa itu anakmu yang jualan itu? Rajin dia ya, tak malu-malu," begitu kata Mama menirukan si penanya.

Pertanyaan-pertanyaan dan cerita-cerita kecil seperti itulah, yang bagiku menunjukkan betapa besar perhatiannya, yang kini kurasakan membuat aku jadi berani menghadapi masalah apapun dalam hidup kelak.

Satu hal yang tak pernah kulupakan adalah ketika suatu magrib, ketika Abah sedang tidak di rumah, Mama menggelar sajadah di rumah untuk kami sembahyang berjamaah. "Kan Abah tak ada. Siapa imamnya?" kata saya.

"Mama tidak boleh. Imam harus laki-laki. Kamulah yang jadi imam," kata Mama. Waktu itu saya masih SD, belum lagi disunat, dan tentu belum akil balig. Tapi, waktu itu aku sudah hafal semua bacaan salat. Mama tahu itu, karena di rumah, dia yang membantu aku menghafal. Dia yang memastikan aku sudah benar-benar hafal sebelum ujian hafalan di sekolah.

Aku tidak akan pernah melupakan itu. Peristiwa kecil yang sekian puluh tahun kemudian terus-menerus membentuk kesadaran bahwa aku adalah laki-laki, dan laki-laki adalah imam yang harus berani memimpin.(bersambung)

[Personal Esai] Mamaku, 1

MALAM itu Mama menyibak kelambu. Aku belum tertidur penuh. Mama memandangi aku, anak lelakinya yang baru lulus SMA. Ia menatapku lama sekali. Ia tak mau membangukan aku. Dengan mataku yang pura-pura memejam, aku bisa melihat ia sedih, haru dan bangga. Aku pura-pura tertidur.



Sedih,karena ia harus rela melepas aku pergi kuliah ke Bogor, keesokan harinya. Haru, karena dia sempat tidak setuju aku berangkat kuliah jauh. Sejak mengisi formulir undangan masuk IPB, dia sudah keberatan. "Mudah-mudahan tidak diterima," katanya.

Dia keberatan karena membayangkan biaya kuliah yang kalau diukur dengan penghasilan keluarga kami saat itu pasti tak terjangkau. Abang sulung saya waktu itu sudah kuliah di Politeknik Samarinda. Dua adik saya pun sudah sekolah di SMP dan SD. Sementara itu belum semua pohon kelapa kami berbuah. Padahal, itulah satu-satunya sumber penghasilan kami yang tetap. Sesekali Abah berdagang. Mama juga sudah tidak kuat berjualan kue lagi. Lagipula waktu sudah banyak orang lain yang juga berjualan kue. Mamaku kasihan, dia seperti mengalah, memberi kesempatan pada orang lain.

Ditambah cerita-cerita tentang betapa mahal, berat dan susahnya menempuh pendidikan di Jawa sana. Standar pendidikan antara Jawa dan luar Jawa senjang sekali. "Kalau nanti pulang karena DO, bikin malu saja," kata Mama.

Bangga, pasti karena waktu itu akulah anak kampung kami yang pertama kuliah ke Jawa. Kelak ketika menerima telegram dari saya, kakek saya menangis membacanya. "Ada juga keturunanku yang menginjak tanah Jawa," kata kakek waktu itu.

Dan saya berkeras hati. Tiket pesawat saya dapat dari seseorang yang amat baik hati. Aku punya sedikit uang yang terkumpul dari honor kerjaku di surat kabar di Balikpapan. Sejak kelas satu SMA aku sudah bekerja, jadi reporter dan kartunis lepas.

Aku berangkat kuliah ke Bogor. Soal biaya kuliah aku yakinkan Mama dan Abah bahwa di Bogor nanti tak lebih mahal daripada Samarinda. Dan saya berjanji akan bekerja sambil kuliah. "Di Balikpapan saja ulun kerja. Padahal cuma ada satu koran. Bogor kan dekat dengan Jakarta, banyak koran di sana, pasti banyak kesempatan kerja," kataku.

Kuliah ke Jawa, inilah satu-satunya "perlawanan"-ku kepada Mama. Aku anak yang amat patuh padanya. Hadist yang pertama aku hafal adalah "surga itu di bawah telapak kaki ibu". Aku sangat takut jadi anak yang kualat, dan terhalang masuk surga karena melawan Mama.(bersambung)

Sunday, November 22, 2009

Saya Sedang Menyiapkan "Mahna Hauri" Buku Puisi Ketiga Saya

Mahna Hauri? Itu artinya Telekung Bidadari. Telekung? Itu artinya "mukena" atau "pakaian sembahyang" untuk muslimah. Muslimah? Itu artinya Perempuan beragama Islam. Stop! Jangan bertanya lagi.



Mahna Hauri? Itu artinya Telekung Bidadari. Telekung? Itu artinya "mukena" atau "pakaian sembahyang" untuk muslimah. Muslimah? Itu artinya Perempuan beragama Islam. Stop! Jangan bertanya lagi.

"Mahna" tak akan Anda temukan di KBBI atau KUBI. Saya menemukannya di Kamus Dewan - kamus besarnya Bahasa Melayu di Malaysia. Menurut kamus itu, kata itu berasal dari Pahang, salah satu negeri bagian di sana.

Adapun "Hauri" itu berasal dari Bahasa Arab. "Hauriljannah" atau "Haur - Uljannah" artinya "bidadari surga. Kata itu ada di KBBI. Itu saja dulu, ya. Saya belum buka pemesanan. :-)

Anatomi buku itu kira-kira akan jadi begini:

:: Senarai Isi:

Puisi yang Menulis Pengantar untuk Penyairnya
"Kalian Tahu Kenapa Dia Menuliskan Aku dan Kawan-kawanku?"

I. Beberapa Bait Rambut

1. Bocah Berambut Basah
2. Pertanyaan Tentang Rambut yang Tak Ingin Lagi Diajukan
3. Gadis Berambut Panjang dan Hitam
4. Rambut Hujan, Hujan Rambut
5. Sehelai Rambut yang Ikal
6. Sisir kepada Rambut
7. Seorang Tukang Cukur dan Rambut Tiga Lelaki
8. Rambut Luna, Rambut Maya
9. Rambut Petani
10. Kisah Bulan & Rambut Mulan
11. Di Rambutmu Aku Meniti Khayal
12. Seorang Gadis Kecil dan Ibunya yang Mengecupi Ujung Rambutnya Sendiri
13. Sebaris Rambut yang Bertanya: Kau Berbahagia, Salma?
14. Rambut Ibu
15. Beberapa Bait Rambut, Beberapa Helai Sajak
16. Rambut Malam
17. Dia Melukis Senja Berambut Hujan
18. Pagi Melirik pada Panjang Rambutmu
19. Kisah Sungai Rambut
20. Rambut, Pena, Buku, Airmata
21. Sisir yang Hujan, Rambut yang Basah
22. Riwayat Rambutku dan Sisir Ibu
23. Rambut Penyair dan Sisir Ajaib
24. Sepadang Rambut, Sekarang Sebut


II. Beberapa Helai Fabel

25. Fabel di Tepi Kolam di Suatu Petang
26. Fabel di Balik Lukisan Kaligrafi
27. Fabel Kesaksian Ikan-ikan
28. Fabel Gajah Bodoh dan Anjing Buta
29. Fabel Ibu Penyu dan Ikan Paus
30. Fabel Lembu Hendak Jadi Katak
31. Fabel di Kolam Teratai
32. Fabel Sepasang Merpati
33. Fabel untuk Seekor Domba yang Disembelih <---- klik untuk membaca sajaknya di blog SEJUTA PUISI.
34. Fabel Dua Pemancing dan Ikan Raksasa
35. Fabel Sebelas Ekor Camar


III. Dan Kita pun Bertukar Sebelah Sepatu

36. Kita pun Bertukar Sebelah Sepatu
37. Gambar yang Dirobek Ayah
38. Lelaki tanpa Telinga dan Perempuan yang Menangis Tak Henti-hentinya
39. Belajar Naik Sepeda
40. Ayah Takut dengan Tinta Merah
41. Aku Menangis Bersama Ibu
42. Pak Hujan Jualan Hujan di Musim Hujan
43. Membuat Waktu dari Jam Tanpa Jarum dan Angka
44. Saya Suka Berjalan Bersama Sepatu Lampu
45. Seorang Anak dan Caranya Minum Susu
46. Saya Bercukur Sebelum Sekolah
47. Ayah Mengajak Saya Menanam Pisang
48. Monster Dingin dan Peri Mimpi
49. Jin Kering Mengintai dari Balik Pot Bunga
50. Belajar Puisi dengan Salah Letak dan Salah Cetak
51. Sarung Pertama Saya Telah Sempurna Robeknya
52. Istri Ayah yang Bukan Ibu Saya
53. Saya Bermain Melipat Kertas
54. Kaki Ibu
55. Rambut Ibu
56. Tangan Ibu
57. Tawa Ibu
58. Dada Ibu
59. Sajak Sebelum Tidur
60. Jalan Benarkah dan Jalan Salahkah
61. Di Halaman Madrasah
62. Parsel Kiriman Belum Juga Ia Terima
63. Menunggu di Kedai Cukur
64. Ibu yang Telanjang, Ibu yang Berkabung
65. Anak Bermain Perahu di Teluk Buyat

Ananda Sukarlan Gubah Sajak Hasan Aspahani



:: Berita Ananda Sukarlan di Kaltim Post

----

Tajam, Pedih, dan Menggerakkan

Bagaimana dan apa jadinya jika sebuah sajak digubah menjadi sebuah komposisi musik klasik, dan dipadukan pula dengan sebuah tarian? Inilah yang akan terjadi pada tanggal 3 Januari 2010 nanti di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM).

Ananda Sukarlan akan tampil dalam konser bertajuk Jakarta New Year Concert. Ia akan membawakan komposisi yang ia gubah dari sajak Hasan Aspahani "Bibirku Bersujud di Bibirmu". Chendra Panatan, koreografer bereputasi internasional, akan menghiasi konser itu dengan tafsir lain atas sajak itu lewat gerak tari.



"Bukan hanya judul sajak itu yang begitu menyentuh. Seluruh isi sajak itu tajam, pedih dan menggerakkan!" kata Ananda Sukarlan.

Kompisi "Bibirku" terdiri dari dua sesi: pertama, trio untuk piano, alto flute dan biola. Dan bagian kedua, untuk soprano dan piano. Masing-masing bisa dimainkan terpisah. Chenra tampil di bagian pertama.

"Kami tak menyebut tariannya sebagai balet. Karena memang bukan balet. Pokoknya, para penari tampil menyuguhkan gerakan yang kompleks dengan ratusan meter kain properti, yang dengan spektakuler mengesankan gerakan ombak. Ananda Sukarlan bermain dengan dukungan Inez Raharjo pada biola, Elizabeth Ashford pada alto flute, dan Aning Katamsi - penyanyi soprano.

Berikut ini petikan wawancara Hasan Aspahani (HAH) di Batam dengan Ananda Sukarlan (AS) yang menetap di Spanyol, ihwal kerjasama kreatif mereka tersebut.

HAH: Kenapa ya Anda tertarik dengan sajak itu? Saya ingat saya kirimi Anda buku "Orgasmaya.." Ada sajak "Bibirku... " di buku itu. Itukah pertama kali Anda membaca sajak tersebut?

AS: Wah, saya lupa dimana pertama kali baca-nya. Mungkin di buku itu, mungkin dari blog sejuta puisi. Yang saya ingat adalah "kortsleting" yang terjadi di badan saya saat saya membacanya. Kadang-kadang kortsleting itu hanya sebentar terus hilang, tapi dalam kasus "BBDB" itu "setruman"-nya cukup lama, bahkan saat saya sedang utak-atik untuk bikin musik, masih saja terasa.

HAH: Kelihatannya susah ya menafsirkan isi sajak itu ke komposisi musik. Apa saja tantangannya?

AS: Yang susah bukan menafsirkannya. Menafsirkannya itu gampang, bahkan saya bisa bilang bahwa proses ini otomatis, karena ada beberapa puisi yg "bunyi" begitu saya baca (puisi-puisi lain adalah seperti "Dalam Sakit"nya SDD, "The young dead soldiers"nya Archibald MacLeish dll). Ini tidak ada hubungannya dgn panjangnya puisi ataupun struktur dll ... ada puisi yang "bunyi" di dalam diri saya, ada yang tidak.

Yang sulit adalah saat menerjemahkan detail-detail bunyi yang saya dengar. Itu berhubungan dengan teknik komposisinya, bukan penafsiran atau inspirasinya.

Ada bunyi-bunyi yang kompleks, dan tugas seorang komponis adalah menuliskannya untuk "mentransfer"-nya ke para musikus yang nanti memainkan not-not balok itu. Nah, bagaimana supaya bunyi itu bisa direproduksi secara akurat, itu yang sulit. Ini berhubungan dengan progresi harmoni-harmoni yang masih jarang (bahkan belum pernah) saya dengar sebelumnya, dan juga warna dari bunyi itu kan harus ditentukan (oleh karena itu saya menggunakan instrumen alto flute, yang belum pernah dipakai di Indonesia. Mungkin ini adalah karya komponis Indonesia pertama yang menggunakan instrumen ini). Juga hal-hal teknis lain misalnya proses repetitif tapi transformatif dari kata "gelombang".

Itu sama seperti kalau sedang dibaca : diulang-ulang tapi tidak sama intonasinya, kan? Nah, intonasi itu diterjemahkan ke dalam progresi harmoni kalau di dalam musik.

HAH: Berapa lama menggarapnya sampai merasa selesai, beres, pokoknya sampai Anda merasa ada sesuatu dari komposisi itu.

AS: Ada dua proses : sketching, dan kemudian proses menuliskan detailnya. Sketching-nya cepet banget : 1-2 jam setelah (dan sambil) baca puisi itu sudah kelar.

Sebetulnya setelah saya sketch, baru saya bikin beneran beberapa bulan setelahnya, karena banyak hal yang tidak bisa saya tinggalkan. Dengan sketching inspirasi itu tertulis dan jadinya tidak akan terlupakan. Sejak permulaan saya merasa bahwa ini bukan karya yang kecil (bukan hanya dari segi durasi, tapi juga dari kedalaman & kompleksitas ekspresinya).

Saya selalu bawa kertas kemana-mana, karena inspirasi kadang-kadang terjadi pada saat yang tidak tepat, dan kalau tidak saya tulis (walaupun hanya secara garis besar) biasanya akan lupa. Nah, penulisan detailnya itu saya kerjakan on and off, di tengah kesibukan lain, dan juga karena faktor bahwa karya ini cukup panjang dan arah-arahnya cukup "unpredictable". Makanya saya menganggap karya ini penting dalam daftar karya-karya saya (yang sekarang Alhamdulilah jumlahnya ratusan, dan tidak semua sama "pentingnya" buat saya he he ...) karena ada konsep harmoni baru yang buat saya sendiri merupakan suatu "discovery". Ini penting buat saya sendiri dan perkembangan musik saya.

HAH: Bisa sebutkan beberapa contoh karya anda yang "penting" dan juga yang "tidak penting" bagi perkembangan artistik anda ?

AS: Yang penting adalah "Dalam Sakit" (dari puisi Sapardi Djoko Damono), The Young Dead Soldiers (dari puisi Archibald MacLeish) dan Requiescat (karya instrumental untuk english horn dan string quartet). Karya-karya tersebut buat saya adalah references, atau tonggak-tonggak yang menentukan jalannya nilai-nilai artistik saya selanjutnya. Yang tidak penting misalnya musik saya untuk film "Romeo & Juliet" : itu musik yang --walaupun sekarang menjadi cukup populer di antara banyak sekali pianis yang memainkannya karena melodinya "enak didengar"-- saya ciptakan semata-mata untuk menggambarkan emosi dan latar belakang suatu adegan saja. Juga beberapa lagu-lagu pendek yang saya ciptakan misalnya untuk kado ulang tahun teman-teman, dan sebagainya. Anehnya, seperti kasus film R & J itu, banyak musik saya yang tidak penting buat saya tapi justru yang paling populer ....

HAH: Ada juga tarian nanti ditampilkan bersamaan dengan komposisi itu. Kenapa ada kolaborasi begitu? Bagaimana bisa muncul ide memadukan tari dan musik itu?

AS: Saya bercerita tentang musiknya dan kemudian saya mainkan ke Chendra Panatan , koreografer yg saya paling kagumi di Indonesia dan sering bekerjasama dengan saya.

Sebetulnya proses dia sama saja dengan proses saya dgn sebuah puisi. Kalau saya "mendengar" musik dari puisi itu, dia "melihat goyangan" dari musik saya. Ada musik saya yang "menggoyangnya", ada yang tidak, dan kebetulan "Bibirku" secara visual juga sangat "menonjok". Koreografi itu memakai gesture-gesture dan gerakan yang sangat besar, sehingga tubuh penari butuh semacam "extensions", makanya dia akan memakai kain-kain, efek lampu dan lain-lain. Sampai saat ini sih saya belum melihat koreografinya dia (yang masih juga dalam proses, belum selesai), tapi saya yakin efeknya akan sangat luar biasa, bukan hanya sekedar mencengangkan, tapi juga secara emosional sangat dalam.***




Friday, November 20, 2009

Tentang Sungai, Hutan, dan Malam

1. Sungai

AKU kira sungai itu letih juga. Mengalirkan
diri sendiri. Aku kira sungai itu sedang
berpikir untuk membeku atau mengering saja.

Dari muara tadi, kuhitung berapa lekuk yang
patah, berapa teluk yang patuh. Dan hujan
yang mengeluh, aku pura-pura tak mendengar,
ia sebut ramalan tentang musim bah, musibah.


2. Hutan

HUTAN adalah dada yang tabah. Aku kira dulu
selalu begitu. Sampai aku temukan bercak
darah, terperah dari luka yang perih parah.

Ingin sekali aku bisa mengambil juga luka
itu untukku sendiri, sekadar sakit, sedikit.
Aku kira, tabah di dadaku, perlu juga kuuji.


3. Malam

AKU kira semua lagu ditulis dan dinyanyikan
untuk malam, yaitu saat segalanya dibicarakan
dengan perlahan dan kita tak buru-buru hendak
membuat kesimpulan. Kerap kali, kita justru
menyisakan beberapa pertanyaan, terbiarkan.

Apakah kau suka memperhatikan yang dibicarakan
oleh burung-burung dan serangga malam itu?
Mereka saling mengingatkan tentang apa-apa
yang harus lekas dilupakan. Kau perhatikan?



[FIKSIMINI] Badutelevisi

"APAKAH aku sudah tidak bisa membantu kelucuanmu lagi?" tanya topeng badut itu kepada si badut yang selama ini selalu mengenakannya.

Si Badut memandangi televisi kecil di kamar kumuhnya. Televisi itu menyiarkan berita badut-badut tak bertopeng dan si Badut berpikir mungkin dia harus memakai televisi itu sebagai pengganti topengnya.

"Wah, ide yang lucu itu," kata topeng. Tapi, mereka berdua sama sekali tidak tertawa.




Monday, November 16, 2009

Oh Ya

Sajak Charles Bukowski

ada yang lebih buruk daripada
sepi sendiri
tapi seringkali perlu berdekade
untuk menyadari ini
dan lebih sering lagi
ketika engkau menyadari
sudah sangat terlambat
dan tak ada yang lebih buruk
daripada
terlambat yang sangat.




Burung Biru

Sajak Charles Bukowski

ada burung biru di hatiku
yang ingin keluar dari situ
tapi aku amat ketat mengurungnya,
Aku bilang, di situ saja, aku
tak akan membiarkan ada yang melihat
kau diam di situ.


Saat Sajak-sajak

Sajak Charles Bukowski

saat sajak-sajak berbanyak seribu biak
engkau sendiri menyadari betapa secuma
yang telah engkau cipta

:: Diterjemahkan oleh Hasan Aspahani


Tantangan Kegelapan

Sajak Charles Bukowski

pandang apa yang tak terduga
sangka apa yang tak terkira
sepak apa yang tak tertebak

apakah apa yang bagai tari sebunga bunga

:: Diterjemahkan oleh Hasan Aspahani


Sendiri Bersama Semua Orang

Sajak Charles Bukowski (1920 - 1994)

daging memagut tulang
dan mereka letak padanya benak
dan kadang juga jiwa,
dan vas bunga
dihancurkan perempuan
dibentur ke dada dinding
dan lelaki menenggak mabuk
dan tak ada yang mendapatkan
apa-apa
tapi terus saja mereka
mencari
keluar masuk merangkaki
ranjang.
daging membalut
tulang dan daging mencari
apa yang lebih daging
daripada daging.

tak ada peluang
sama sekali tak ada
kita terperangkap
dalam takdir
yang sama
saja.

tak ada seseorang yang
bisa menyeorangkan
seseorang.

tempat pembuangan sampah penuh
lapangan barang rongsokan penuh
barak orang gila penuh
lorong rumah sakit penuh
taman kuburan penuh

tak ada lagi sisa
sesak saja
segala.


:: Diterjemahkan oleh Hasan Aspahani

Sunday, November 15, 2009

Di atas kertas kata-kata bercumbu, seperti lalat di hangat musim panas dan penyair cuma penonton yang dirudung bingung - Dusan "Charles" Simic, Penyair Serbia-Amerika.


World Premiere "Bibirku Bersujud di Bibirmu"

"Bibirku Bersujud di Bibirmu" will receive its world premiere at the Jakarta New Year concert, January 3rd 2010, by Inez Raharjo -violin, Elizabeth Ashford -alto flute, Aning Katamsi -soprano and myself on the piano.

Selengkapnya baca di sini


Friday, November 13, 2009

[Ruang Renung # 244] Lima Tahun Membisu

PADA umur tujuh tahun, dia diperkosa oleh teman pria ibunya. Lelaki itu kemudian mati dibunuh oleh pamannya, bukan karena perkosaan itu, tapi karena perbuatan bermuatan pidana lainnya.

Bagaimana pun dia merasa bersalah atau pembunuhan itu. Sejak itu dia tak mau bercakap Dengan siapapun. Dia membisu. Lima tahun lamanya. Dia tidak bicara, dan tenggelam dalam bacaan dan kelak dia akui pada masa-masa inilah dia mendapatkan kemampuan berbahasanya . Dia jatuh cinta (dan mungkin dengan begitu bisa bertahan hidup waras) pada buku-buku sastra.

Dia membaca Langston Hughes, W. E. B. Du Bois, dan Paul Lawrence Dunbar. Dia sibukkan dirinay dengan William Shakespeare, Charles Dickens, dan Edgar Allan Poe.

Dia kelak baru berbicara setelah gurunya Nn. Flowers dengan telaten dan tabah membuka hati, mata dan menggerakkan lidahnya. Menggerakkan kehidupannya.

Dia Maya Angelou namanya. Penyair wanita Amerika yang kerap hadir di acara-acara resmi dan penting, dan berkali-kali sudah disebut akan dapat Nobel Sastra. Dia membaca sajak "On The Pulse of the Morning" atas permintaan Bill Clinton saat dilantik sebagai presiden. Saat upacara resmi penyemayaman Michael Jackson, dia juga yang tampil membaca puisi.


Aku Bayangkan Kekasihmu Menyaksikan Engkau Membaca Sajak di Salihara dan Dia Menangis

: M Aan Mansyur

DIA kulihat memulai tangisan saat
di podium yang remang itu kau
mengajukan pertanyaan yang dibisikkan
oleh sajakmu:

sudahkah kau memeluk dirimu hari ini?

(Tak apa-apa, ya? Aku petik saja bait
itu seutuhnya. Sebab, aku tak bisa
membuat yang lebih baik daripada
pertanyaan sederhana itu)

*

Dia menyembunyikan mata di lebat
tangisannya. "Hore, aku basah!"
kudengar kerudungnya, yang sewarna
dengan kaosmu (meski tanpa logo
Beatles itu) berseru seakan rindu sekali
pada air yang luruh dari mata itu.

Saat itu, di pentas berlatar hitam
itu kau sedang mengajukan pertanyaan dari
sajakmu yang ingin sekali dapat jawab:

masih kau simpan pelukan itu?

(Aduh, aku sudah bilang padamu, kan?
Bahwa aku sungguh suka dan sering iri
pada bait-bait sederhanamu?)

*

Dia berlekas pergi, dengan tangis di mata
dan basah di kerudung, sebelum kau
selesai membaca sajakmu itu. Aku kira
dia tak kuat menghadapi pertanyaan dan
kenangan yang kau ajukan dari bait-bait
sajakmu itu.

Aku lihat dia pergi sambil mencoba
memeluk dirinya sendiri. Seperti hendak
membantah atau membenarkan, bait sajakmu:

lenganmu memang terlalu pendek buat tubuhmu..

(Aku bersorak tangan keras sekali, saat
kau menuntaskan sajak berjudul "Pelukan"
itu. Mungkin akulah yang paling seru memberi
aplaus untukmu. Lalu, aku tak melihat dia
lagi, malam itu, dan malam-malam berikutnya
saat kita ada di Salihara).

[Ruang Renung # 243] Anda Tidak Sedang Buta, Bukan?



PADA umur 46 tahun, dia buta total. Glaokoma merebut daya lihatnya. Dalam kebutaan dia terus menulis puisi dan prosa, meski harus mendiktekan kepada amanuensis - semacam orang yang dibayar untuk menjadi juru catat.

Begitulah, dua puluh tahun lamanya, dalam kebutaan hingga ia meninggal pada usia 66, John Milton, penyair Inggris itu terus menulis sajak. Anda tidak sedang buta, bukan?


Wednesday, November 11, 2009

Sajak yang Hendak Diterjemahkan oleh Penyair Asing Itu

"PAKAILAH kata dalam bahasamu yang tak terjemahkan oleh bahasaku," katanya. Menantang aku. Lalu, dalam sajakku itu, aku menyusun cerita tentang sepasang petani yang menanam kelapa, di rawa yang mereka bebaskan dari asam gambut dan asin laut.

Mereka memberi nama-nama anatomi kelapa itu dengan bahasa sendiri: seperti sepasang ahli botani. (Tapi, di sajakku tak kusebutkan bahwa aku adalah anak pasangan petani itu)

Nama-nama untuk akar pertama, santan tua yang tak terperah, sepasang pelepah muda, batang sejari yang membayangkan angin di ketinggian itu nanti, buah-buah yang tiap bulan berbeda sebutan, bahkan bekas gigitan tupai di kulit kelapa muda.

"Ah, aku tersesat jauh di sajakmu. Aku tak sanggup benar menerjemahkannya," katanya. "Aku mungkin ingin jadi petani saja. Masihkah ada rawa yang bisa kutaklukkan untuk kutanami kelapa lain, dan kelak aku bisa mencipta nama-nama lainnya?" katanya. (Tak kusebutkan, di sajakku, bahwa aku terusir jauh dari kebun kelapa yang dulu ditanami ayah-ibuku, sepasang petani itu)





Beberapa Mungkin di Satu Pantai yang Belum Pernah Kita Kunjungi

Beberapa Mungkin di Satu Pantai
yang Belum Pernah Kita Kunjungi

: Bernard Batubara

MUNGKIN kita akan berteduh, di angkuh
pinus atau kelapa. Mungkin kita akan
mengaduh, oleh bius atau karena lupa.

Apa yang terbayang tentang pantai ini?

Mungkin di sini ingin kukubur tembuni
lalu mencoba mengabadikan nama yang
tak sempat kita rindu memanggilnya.

Mungkin kita menjadi sepasang mungkin
Mungkin yang mungkin semakin mungkin.



Tuesday, November 10, 2009

[Ruang Renung # 242] Perjalanan Menemukan

PERJALANAN menyajak itu adalah perjalanan pencarian dan menemukan. Engkau harus tabah menempuh perjalanan itu. Tapi, engkau harus gembira. Engkau harus meraraba-raba karena kadang jalan yang kau tempuh gelap, engkau harus memungut apa saja, membuangnya, memilihnya, menebak-nebak bisa kau apakan apa yang telah kau pungut itu. Engkau pasti akan letih, dan bahkan kembali ke titik awal. Tapi, teruslah berjalan.

Akan sampaikah engkau di puncak? Puncak itu mempesona. Tapi, di sana membosankan. Kau harus sampai ke sana, tapi jangan betah. Segera turun. Rancang perjalanan lagi, dan raihlah puncak yang lain. Saya kira yang lebih penting adalah seberapa jauh perjalanan yang kau tempuh, seberapa luas wilayah yang kau jelajah. Kita mungkin akan bertemu di banyak persimpangan.


Itukah Sajak yang Kau Tulis Untukku?

APAKAH sajak-sajak cinta yang tak menyebut namaku itu?

Aku sering tersesat di sana. Terkejut pada kata yang
tak pernah aku tahu, padaku mereka ingin mengucap apa.

Aku kerap terjerembab di sana. Berjalan di bait-bait
yang rumit, yang aku tak tahu hendak mengantarku kemana.

Tapi aku betah di sana. Seakan sembunyi dari banyak bunyi,
yang bertahun-tahun memaksa aku memekakkan telinga sendiri.

Ah, alangkah kamusnya engkau. Sebetapa sempitnya lidahku.

Aku ingin tahu, apakah sajak-sajak itu kau tulis untukku?


Friday, November 6, 2009

Beberapa Percakapan yang Berhasil Kusadap (2)

Alat Sadap (AS): Hei, maukah engkau menyadap percakapan kita?

Aku Penyadap (AP): Percakapan engkau dan aku?

AS: Ya, engkau dan aku. Aku ingin sekali tahu, bagaimana rasanya mendengarkan percakapan kita sendiri, percakapan yang disadap oleh orang lain.

AP: Tapi kalau kusadap percakapan kita, itu artinya kita menyadap percakapan kita sendiri, bukan?

AS: Apakah harus orang lain yang menyadap percakapan kita?

AP: Aku sendiri tak pernah menyadap percakapanku sendiri. Engkau pasti tahu itu, sebab apa yang kusadap, pasti engkau yang menyadapnya, bukan?

AS: Makanya, pernahkanlah. Mungkin dengan begitu, kita bisa menyadap percakapan orang lain dengan lebih baik.

AP: Sebenarnya aku bosan, menjadi penyadap.

AS: Kamu bosan denganku?

AP: Tidak, aku hanya berpikir adakah yang bisa kita lakukan selain pekerjaan ini?

AS: Mungkin sesekali kita harus menyadap percakapan Penting Dia yang Mahapenting.

AP: Apakah itu tidak melampaui wewenang?

AS: Siapa yang membuat batas wewenang itu?

AP: Entahlah...

AS: Saya kira dia Yang Mahapenting, ingin sekali sesekali ada yang mendengar apa yang Dia ingin katakan.

AP: Ah, sudahlah. Kamu tahu kan? Dia itu Mahapenyadap. Dia tahu bahkan apa yang dikatakan oleh hati kita.

AS: Ya, ya... Sudahlah.



Beberapa Sajak yang Aku Pikir Seharusnya Aku yang Menulisnya (5)

5. SERATUS? Tapi, aku membacanya seperti seribu, seperti sejuta, tak
habis-habis. Sebuah soneta - melahirkan sepuluh lagi, sehabis kubaca.

O, betapa besar cinta. Kayu yang melapuk ikhlas, tumbuh jamur umur,
seakan mengerti ada siklus yang tak boleh putus, tak boleh terhapus.

Dari batang-batang baja hanya akan ada karat mudarat. Aku memang
hanya putra bapak petani, bukan penjaga api di bengkel pandai besi.


Beberapa Sajak yang Aku Pikir Seharusnya Aku yang Menulisnya (4)

4. SEPERTI ditulis untuk syair lagu kanak-kanak dan aku
menyanyikannya sepanjang jalan menjauh dari rumah.

Aku tak pernah ingat seluruh lirik itu, tapi sepertinya
memang begitulah seharusnya aku mengenangnya,
aku bebas memasukkan kata baru, menambah irama lain,
menafsirkan arti yang kuingin, membebaskan aku untuk
menjadi apa saja. Aku selalu percaya bahwa matahari
yang ramah itu, ikut bernyanyi bersama riang lagu liar itu.



Beberapa Percakapan yang Berhasil Kusadap (1)

1. Kalender dan Jam Meja

Kalender (K): Sebenarnya apa yang kau dan aku lakukan di sini?

Jam Meja (JM): Aku kira aku sedang mencocokkan hitunganku dengan angka-angka yang ada padamu. Ini pekerjaan iseng saja sebenarnya.

K: Ah, kau tak merasa sedang diperdaya oleh sesuatu? Sesuatu yang namanya sering disebut oleh lelaki yang tiap pagi datang dan duduk di kursi itu?

JM: Siapa? Si Waktu itu?

K: Ah, aku malas sekali menyebut namanya.

JM: Sebenarnya dia itu tak ada. Kitalah yang membuat dia seolah-olah ada. Kitalah yang membuat seakan-akan dia itu datang, pergi, berlalu, hilang...

K: Makanya, aku malas sekali berusan dengan dia.

JM: Wah, apakah kita punya urusan lain selain dengannya?




Thursday, November 5, 2009

Beberapa Sajak yang Aku Pikir Seharusnya Aku yang Menulisnya (3)

3. DIA hanya pendek. Sebuah sajak singkat
yang setelah sekali saja kubaca, meninggalkan
jejak betapa panjangnya. Di dalam kenanganku
dia menggandengmu ke mana-mana. Sakit, bukan?
Pedih, bukan? Perih, bukan? Terus-menerus,
begitu dia bertanya. Aku tak kuasa menjawabnya.

Aku pernah ingin mencoba melacak apa sebenarnya
rahasia, di balik bait-baitnya. Diam-diam aku pun
menjadi diam. Menyelinap masuk ke bait-bait
sajak pendek itu, dan oh, baru aku tahu kemudian,
ternyata rumit sekali kata di balik kalimat yang
ketika sekilas kubaca, tampak sangat sederhana.


Beberapa Sajak yang Aku Pikir Seharusnya Aku yang Menulisnya (2)

2. SEBUAH sajak asing, yang datang
dengan sangat karib, padaku pada
suatu sunyi. Aku seperti kenal dengan
nama penyair itu. Sajak itu seperti
ditulis untuk mengajari aku: beginilah
seharusnya sunyi disajakkan.

Dalam bahasa asing itu, aku mendengar
sajaknya penuh bunyi. Beberapa konsonan
seperti menyusun diri jadi lonceng,
lalu huruf vokal mendentangkannya.
Tapi, bunyi-bunyi itu justru terdengar
seperti mengabarkan sebuah kesunyian.

Aku kemudian mencoba menuliskannya,
sendiri, dalam bahasaku sendiri, untuk
sunyiku sendiri. Tapi, ah, kenapa ya,
itu tak pernah jadi sajakku sendiri?

"Mungkin, kau belum karib dengan sunyi,
sunyimu itu, mungkin kau diam-diam
sering ingin menolaknya, menjauhinya,"
kata sebuah bait dalam sajak asing itu,
seperti dipersiapkan untuk menjawabku.




Wednesday, November 4, 2009

Beberapa Sajak yang Aku Pikir Seharusnya Aku yang Menulisnya (1)

Beberapa Sajak yang
Aku Pikir Seharusnya
Aku yang Menulisnya (1)


1. SEBUAH sajak yang sama sekali
padanya tak ada kata sakit atau
yang menyaran pada rasa itu. Seperti
pedih, perih, luka, atau aduh.

Tapi, bagiku itu adalah sajak
yang paling pedih, sajak tentang
rasa sakit yang paling sakit. Aku
seperti akrab sekali pada sakit itu.

"Lihat, dagingku menganga tertawa,"
kata sebuah bait di sajak itu. Aku
suka sekali diam-diam memetik bait itu.

Ingin sekali aku mengaku-aku, bahwa
akulah yang menulis sajak itu,
untukmu. Karena dengan begitu
aku berharap, kamu mengira, bahwa
aku sudah memahami rasa sakitmu.



Monday, November 2, 2009

Indeks Baris Pertama Puisi yang Panjang dalam Buku Puisi yang Belum Ingin Kuterbitkan

1. HAI, engkau! Rasa sakit itu. Masihkah kau kenal dengan tubuhku? Tubuh yang belum selesai menjahit koyak jerit sendiri?

2. TUBUHKU adalah sawah yang mencintai musim hujan. Engkau pematang liar, beralur licin, melingkar.

3. "MAUKAH kau menanamku?" tanya rasa sakit itu. Ah, aku sudah menyemai benihnya, sebelum nanti rasa itu menyemak menggulma.

4. MAAFKAN aku hujan. Maafkan aku katak. Maafkan aku bangau. Aku tak bisa bermain dengan kalian. Aku sedang dirawat oleh rasa sakitku.

5. PETANI itu pernah datang sekali. Berdiri di ambang subuh, nyaris rubuh. Lalu pergi, dan selalu tergoda - tapi menolak - untuk lagi kembali.

6. TAK ada jejak di pematang. Tapi, semalam ada yang datang. Ke sawah ini. Seperti buru-buru, ia tanam sesuatu yang tak ia harapkan akan tumbuh.

7. "SEANDAINYA, setiap butirku adalah benih yang tumbuh padamu," kata hujan, kepada sawah. Sawah, sering sudah, ia mendengar pertanyaan itu. Ia tahu, hujan tahu jawaban apa yang ia senantiasakan.

8. MUNGKIN akulah petani itu. Petani yang ingin menanam diri sendiri, di sawah sendiri. Memanen luka: luka sendiri.




Pengantar untuk Tiga Puisi yang Dikirim ke Bung Redaktur Rubrik Puisi Sebuah Surat Kabar Minggu

: Hasif Amini

KAU belum bosan, bukan? Menerima kiriman
puisiku? Kau pernah bilang padaku, setiap
hari kau menerima dan membaca ribuan
puisi, lalu kau akan pilih beberapa saja, untuk
diterbitkan di halaman minggu yang sudah
menyetengah, didesak kavling untuk iklan.

Aku suka membayangkan, puisiku yang tak
kau muat, sembunyi di sebalik iklan itu.

Aku kirim lagi puisiku yang tak bertanggal
dan tak bertahun penulisan itu. Aku sengaja
menanggalkan tanggal dari puisi-puisiku.
Bukan untuk mengelabui engkau, tapi di
dalam puisiku itu waktu abadi ada, aku
tak lagi perlu memberi tanda apa-apa.

Apakah kau tak memuat puisiku karena aku
menolak untuk mati setelah puisi itu terbit?

Apakah kau menolak puisiku karena aku pernah
bilang, bila kau muat, tak usah kau cantumkan
namaku di bawah atau di atas judulnya, agar
aku dan puisiku bisa saling bikin kejutan?


*

KAU tak usah dan tak perlu membalas basa-basi
ini --- seperti biasa. Aku hanya ingin mengantar
beberapa puisi yang kukirim lagi. Puisi-puisi yang
...(kuurai saja isinya, setelah kusebutkan judulnya):

1. Dongeng Cicak dan Buaya

Kau pasti tahu kenapa aku menulis sajak ini,
bukan? Heran juga, ya? Kenapa buaya itu iri
dengan kesabaran cicak mengendap di dinding,
merayap berkeliling, dan menyadap semua
percakapan yang isinya selalu saja cuma dusta,
akal-akalan, siasat pencurian. Heran sekali ya?
Kenapa buaya itu bilang bahwa kemampuan cicak
menempel di langit-langit tanpa terjatuh itu
adalah penyalahgunaan wewenang? Heran betapa
heran, kenapa buaya itu ingin sekali cicak terjatuh?

2. Hikayat Anjing dan Bulbul

Kau pasti akan mengaitkan puisi ini dengan
perceraian penyanyi bersuara lantang dan suaminya
yang bilang 'setengah jiwaku terbang' itu, bukan?

Mungkin, kau tak usah saja memuat sajak ini.
Metafora yang mentah. Ini wilayah yang seakan-akan
haram dimasuki oleh puisi. Tapi, juga tak ada yang
melarang, bukan? Itu sebabnya aku menuliskannya.

Ah, aku memang suka mengada-ada. Tapi, puisi itu
bukankah memang juga sebuah upaya mengada-ada?

3. Kisah Peri dan Pulau Dewa

Tak akan kutuliskan nama peri itu, peri dari
negeri yang juga tak akan kusebutkan di puisiku,
pun di pengantar ini. Kita belum bebas dari dongeng
tidur atau terjaga, ternyata. Kita masih terpukau
dengan lidah yang bicara dalam bahasa yang berbeda
dan rambut yang berkibar dengan warna yang berbeda.

Dia membuat dongeng di sana, itu saja, sudah bagai
dongeng buat kita, bukan? Aku tidak menulis dongeng
tentang itu. Aku menulis puisi yang menyadarkan
- mungkin dengan sia-sia - betapa dongengnya kita.

*

TIGA puisi saja. Aku kira kau pun tak akan sempat
membacanya. Tiga di antara ribuan puisi, dan satu
namaku di antara ratusan nama. Adakah itu artinya?

Sunday, November 1, 2009

Semalam Saja Lagi

[Ditulis sambil mendengarkan & berdasarkan
lirik lagu "One More Night" Phill Collins]


Semalam saja lagi, beri aku semalam saja,
O, telah lama kumencoba biar engkau tahu
bagaimana aku menanggung rasuk rasa

Dan jika aku tersandung dan jatuh, bantu
aku kembali teguh tegak, agar bisa kubuat
engkau melihat padaku, membuka matamu.

Semalam saja lagi, beri aku semalam saja
karena aku tak bisa menanti lebih nanti

Beri aku lagi semalam saja, semalam saja
karena aku tak bisa menunggu lebih tunggu

Telah lama sekali, aku duduk di sini,
menyampahkan waktu, menatap pada telepon itu
dan menduga-duga, haruskah kutelepon engkau?
Tapi, ah, kukira engkau tidak sedang sendiri.

Seperti sungai memuja lautan, aku selalu
ada berada bersama engkau, dan bila engkau
bentang layar, aku berhembus jadi anginmu.

Semalam saja lagi, ya beri semalam saja,
aku tahu tak akan pernah ada pernah
engkau tak sempat merasa, dan aku tahu ini
cuma kata dan kata-kata, tapi bila engkau
berubah pikiran, engkau tahu bahwa aku ada,
selalu menunggu engkau, menerima lagi engkau,
Kita berdua, mungkin bisa mulai belajar lagi.

Semalam saja lagi, ya beri aku semalam saja.


Tulis Akhir Postingan Anda