Thursday, March 29, 2007

Komentar Lain untuk Sajak Lain

MENGIKUTI jejak Aan M Mansyur saya mendaftar dan menampilkan sajak ini di situs POETRYSOUP. Thanks to Rilla, yang sudah menerjemahkan sajak itu.

Bella Cardenas, anggota situs yang sama berkomentar: This is a very different perspective. I've never thought of Adam and Eve this way. It's beautiful, it shows human emotion, and the last line hits hard. I just want you to know i rated you a 7, it's so goregously composed and has wonderful insight. Wonderful write, Hansan. Sincerely, Bella.



Komentar Seorang Kawan

Seorang teman bertanya, "sajak Anda yang mana yang paling Anda suka? Saya bilang sajak sajak ini . Saya juga mengirimkan padanya rekaman saat saya bacakan sajak ini di TIM, Januari 2006 lalu.

Dia akan menerjemahkan sajak itu ke dalam bahasa Inggris. Dia memang seorang penerjemah. Dan inilah komentarnya (biar terdengar serius, katanya, dia berkomentar dalam Bahasa Inggris):

so, mr. aspahani, i just figured out--or so i feel--you intended to send me the thrill, the tremor, the drilling consciousness. with the intense flapping sensation of 'r' at almost any conceivable point in the poem, it leaves readers--so it happened to me--tremble to the bones. the words pasir, zikir, bibir, ombak terakhir....

in addition, it seems that the universe has provided you with its wholeness to be refined into another wholeness called poems. otherwise, it's you who have been successful in exploring the cosmos to find a certain place--in your case, the sea with its beaches and boats--for the very scene of your poem. thus, you can merge zikir, bibir, and musafir to pasir, and ombak terakhir.... airmata to dermaga and palka... sanggup to sayup of the sea...

well, i think it's enough, now. it's great to read your poem. now i don't know who sent this poem to me. was it you, or the god 'in' you. to alarm me, to remind me, it's been quite a long time since the last time i osculated a very grain, culled a single grain... pagut sebutir pungut sebutir.

Tuesday, March 27, 2007

10. Ada yang Tak Tertebak di Matamu

adakah rajawali terjebak di lintas langit
     adakah angin itu tangan badai yang mengelus?
aku lelaki sendiri menebak pantun yang sulit
     adakah bait padamu, tempat tanya tertebus?

rerumputan, tersibak sepijak hewan berlalu
     di teduh danau kecil hanya singgah sebentar
perempuan, ada yang tak tertebak di matamu
     atau kita mesti bertukar, meneduhkan debar?

[Proyek Neruda # 018] Mesa = Meja

Saya seperti etimolog saja. Menemukan asal mula kata Bahasa Indonesia. Di sajak ini saya bertemua "mesa" yang berarti "meja". Tapi, ini bukan penemuan penting. Soalnya ini sajak yang susah sekali dicerna. Untunglah saya dapat suntikan tenaga kreatif dari Aan M Mansyur. Dia menerjemahkan dua soneta Neruda dengan indah. Rima ia ciptakan. Saya belajar dari situ. Di sajak ini rima saya ciptakan. Neruda memang tidak terlalu memainkan rima.

Soneta ke-41

Kesialan sebulan di Januari ketika datang siang
yang tak peduli, menghampar harmoni di langit itu,
sebongkah emas keras seperti anggur dituang
di gelas, mengisi bumi hingga ke batas biru

Kesialan musim ini, seperti setangkai anggur
betapa kerdil, yang hijau dan pahit setandan
bersengkarut, airmata hari yang tersimpan,
hingga cuaca buruk merenggut tandan gugur

Ya, benih, rintihduka, dan segala yang berdebar
gentar, sinar Januari yang menyambar-nyambar,
yang kelak matang, terpanggang, seperti buah terbakar.

Maka terbagilah dukacita itu: sang sukma
memberi sehembusan angin, dan di sinilah kita
bermukim, menata lagi, roti hangat tersaji di meja.


Soneto XLI

January rough time, when the indifferent
moon makes its equation in the sky
Like wine in a glass, a hard gold
fills the earth to its blue limits.

Rough times of the season, like little grapes
distilling green bitterness,
the hidden confused tears of the days, swelling
in clusters, till bad weather lays them bare.

Yes: seed-germs, and grief, and everything that throbs
frightened in the crackling January light
will ripen, will burn, is the fruit burned ripe.

And our problems will crumble apart, the soul
blow through like a wind, and here where we live
will all be clean again, with fresh bread on the table.


Soneto XLI

Desdichas del mes de Enero cuando el indiferente
mediodía establece su ecuación en el cielo,
un oro duro como el vino de una copa colmada
llena la tierra hasta sus límites azules.

Desdichas de este tiempo parecidas a uvas
pequeñas que agruparon verde amargo,
confusas, escondidas lágrimas de los días
hasta que la intemperie publicó sus racimos.

Sí, gérmenes, dolores, todo lo que palpita
aterrado, a la luz crepitante de Enero,
madurará, arderá como ardieron los frutos.

Divididos serán los pesares: el alma
dará un golpe de viento, y la morada
quedará limpia con el pan fresco en la mesa.


Scenario of the 1st Intercourse

/scene I/

He lay down with exhaustion
that has not been named,
also someone next to him
as strange as the exhaustion

“Eve? Eve? Is it true God
has mentioned the name in heaven?


/scene II/

Someone that lay with closed eyes beside him.
Seems so peacefull:
“but, what is the pulse in my chest,
is also in that chest? In that chest?

Things tremble in my groin, is it
also in that groin? Yes, there?”

The one lay with eyes closed next to him, actually
hasn’t asleep yet. She was doubt,
afraid that it was demon’s work. She really needs to be heard.
Her heart whispering:
“Adam, I don’t really regret
for being sent away from heaven.”


/scene III/

But, there is something that he has’s realize in heaven,
when he touched the same bare body.

Yes, there is something that has not been sense in heaven,
when he stare at the same fascinating eyes.


/scene IV/

The sky still purple, dawn is very young.
The leaf of heart still keep lunar light’s magic.
Strange coldness at the time, demanding

The two body finally complete
the first intercourse on earth. After
so different along the night, demanding.

On the grass, cannot differ, which are sweat,
which are dew, wich are other liquids.

“God, where are Thou last night?”


[Diterjemahkan oleh Rilla Romusha]

9. Mesti Kugubah Pantun yang Lain

terbang belibis beringingan di senja itu
     mengosongkan langit: sepi juga terlantun
sebutkanlah sebaris sampiran di bibirmu
     kuisi kecupan: sempurnalah kita berpantun


lalu sekawanan kelelawar: mengawal malam
     mengacak-acak gelap, langit yang bersalin
lalu bila bibirmu menyampirkan hanya diam
      itu isyarat meski kugubah pantun yang  lain?

Monday, March 26, 2007

Vegetable Mythology

To a caterpillar that just hatch
from the egg of a butterfly the veggie said
hurry eat fulfily from my leafs then
hide behind my savest stalk then
hurry be a pupa for another transformation
into a butterfly cause someone hates your ugly face
and he deny to understand that
you ARE the one who will transform into butterfly
with beautiful wings and I cannot prevent him
from hating you since he is the one who take care
and water me every morning.

Mitologi Sayur

KEPADA seekor ulat yang baru saja menetas
dari telur kupu-kupu itu sayur berkata lekas
makanlah secukupnya dari daun-daunku lalu
sembunyi ke tangkai teramanku kemudian
berkempomponglah segera lalu menjelma lagi
jadi kupu-kupu sebab ada yang benci pada wajah
burukmu dan dia itu pura-pura tak tahu bahwa
engkaulah yang kelak menjelma jadi kupu-kupu
bersayap indah itu dan aku tak bisa melarang ia
membencimu karena dia adalah dia yang merawat
dan menyiramku setiap pagi itu.

* Thank to Rilla Romusha

8. Di Kamar Pantai, Kauhampar Rambut Panjang

 bila perahu malam hendak berangkat
     tali tambat di dermaga biar kulepaskan
"tunggu biar kubaca apa yang kulihat?"
     di lambung kapal namamu telah kuterakan

bila nanti laut dilambung gelombang
     abang, aku tahu kau tahu jalan ke rumah,
di kamar pantai, kuhampar rambut panjang
     abang, baringkanlah tubuh, sudahkan lelah

Pinokio dan Kutukan yang Lucu


/1/
"INI patung terakhirku," kata
si tua berwajah ramah dan riang,
sang pembuat boneka kayu.

Dan dongeng ini pun bermula dari situ.

Boneka lelaki itu bernama seperti
namamu, mungkin bagai juga namaku.

"Kau yakinkah...," kata Peri sebelum
meniupkan ruh, tapi Gepeto tak bisa
menjawab lagi. Senyum terakhirnya bagai
ejek, seperti juga sebuah teka-teki.


/2/
"Gepeto, kembalikan saja aku menjadi
kayu," mengeluh si boneka lelaki itu.

Kelaminnya semakin panjang, karena
dusta-dusta yang semakin telanjang.

"Kutukanmu lucu," kata Pinokio.

Sunday, March 25, 2007

7. Di Taman Ini Wangi Kutunggu

datang gelombang, layar pun basah
        aku lelaki, nelayan membasuh jala
taman berkembang di samping rumah
       aku ingin memetik bunga di jendela

musim badai adalah musim gelombang
       nelayan hanya menimba air di perahu
bila tak sampai tangan pada kembang
       biarlah di taman ini wanginya kutunggu

6. Sampirkan Namaku pada Pantun Cintamu

adakah pantun yang tak bersampiran?
       adakah jiwa hidup yang tak berbadan?
apakah kau tahu apa selalu hendak kukatakan?
       sebuah kata: namamu-namaku tersatukan.

bila lembu jantan tak pulang ke kandangmu
       ikatkan tali kekangnya di pohon kayu
bila aku tak pantas mengisi kehidupanmu
       sampirkan namaku pada pantun cintamu

[Proyek 100 Soneta Neruda # 017] Soneta ke-16

 INI soneta yang susah diterjemah. Setidaknya susah buat saya yang ingin menghasilkan soneta yang sedapat mungkin mengandung rima. Tapscott dengan versi Inggrisnya tak terlalu memperhatikan itu. Kesulitan lain, saya hanya berpegang pada kata per kata dari sajak Neruda. Saya tak terlalu mengerti tata bahasa Spanyol? Kenapa tak belajar dulu? Nanti sajalah. Ini juga sambil belajar.

Maka, saya tergantung pada makna kalimat yang saya dapat dari Tapscott. Padahal Tapscott kadang suka iseng menukar baris-baris Neruda. Perhatikan baris ke-11 dan ke-12 dalam versi Inggris. Tapscott menukar keduanya. Pasti dia punya pertimbangan. Tapscot mungkin merasakan keutuhan dalam bait ke-3 dan ke-4 itu, bila dua baris itu ditukar. Saya menembalikan bait ke ke versi asli Neruda.

Soneta ke-16

Kucintai sekerat bumi, setanganmu terbuka
sebab padang rumputnya seluas bintang siarah
tak ada lagi bintang lain kupunya. Kau replika
semesta alam yang terus mengganda jumlah.

Terang matamu saja cahaya yang aku tahu
dari rasi bintang yang terpadamkan itu.
kulitmu berdebar seperti lintasan melingkar
dalam lebat hujan meteor, berpijar-pijar.

Seperti bulan, disesajikan padaku panggulmu
matahari dan segala nikmatnya ada di mulutmu,
segenap cahaya menyala seperti madu di teduh itu,

hatimu terbakar sinar merah membentang-tinggi
maka kucium kau, menembus tubuhmu berapi,
zarah dan bintang siarah, merpati dan geografi.


Soneto XVI

Amo el trozo de tierra que tú eres,
porque de las praderas planetarias
otra estrella no tengo. Tú repites
la multiplicación del universo.

Tus anchos ojos son la luz que tengo
de las constelaciones derrotadas,
tu piel palpita como los caminos
que recorre en la lluvia el meteoro.

De tanta luna fueron para mí tus caderas,
de todo el sol tu boca profunda y su delicia,
de tanta luz ardiente como miel en la sombra

tu corazón quemado por largos rayos rojos,
y así recorro el fuego de tu forma besándote,
pequeña y planetaria, paloma y geografía.


Sonnet XVI

I love the handful of the earth you are.
Because of its meadows, vast as a planet,
I have no other star. You are my replica
of the multiplying universe.

Your wide eyes are the only light I know
from extinghuished constellations;
your skin throbs like the streak
of a meteor throught rain.

Your hips were that much of the moon for me;
your deep mouth and its delights, that much sun;
your heart, fiery with its long red rays,

was that much ardent light, like honey in the shade.
So I pass across your burning form, kissing
you---compact and planetary, my dove, my globe.




Friday, March 23, 2007

5. Ini Permainan Pantun

"ini permainan pantun," kata matamu memerangkapku
         lalu kau biarkan pada tubuhmu kusampirkan makna
"isikanlah, isikanlah katamu ke kekosonganku," ujarmu
         aku selalu hilang kata, pantun tak pernah sempurna

"kemarau adalah hujan yang tak terisi," kata bulan Juni
        kemarau adalah awan yang sedang suka bersembunyi
"ini sampiran kosong, tak berisi," kataku pada diri sendiri
        itu kuulang ucapkan berkali-kali sejak engkau jauh pergi

Inilah Tadi yang Membual di Mulut Laut

tenggelam, tenggelamlah, jatuh habis batukata
      aku suara ingin menyeruak dinding diam lautmu
memejam, memejamlah, rapatkan dua garis mata
      aku ingin terjebak di dalam gelap pandangmu

adapun ombak membawa buih ke kaki pantai,
     "inilah tadi yang membual dari mulut laut"
adapun kelopak mata itu, kerjap yang sampai
     yang tak terucap, maka menyirat di lirik larut

7. Rupanya Malam Belum Usai

apa menjuntai? apa yang seperti pijak luput?
      kupu-kupu putih hinggap di bunga rumput
kau gelungkan rambut, kukurung hati kalut
      kau urai seuntai, (kuulur jemari menjemput?)

kukira balam berlalu, ketika datang pemburu
    rupanya tenggelam teratai, berputus tangkai 
kukira hitam ini rambutmu atau kain kelambu
     rupanya kau padam lampu, malam belum usai

[Tadarus Puisi # 27] Columbus, Santa Maria, Nina dan Pinta

Sajak Dedy Tri Riyadi
Columbus dan Cinta yang Tak Pernah Pertama


Kupeluk pinggangmu, lalu terbayang
Columbus di geladak Santa Maria*
memandangi Nina* dan Pinta*
pada petualangan pertama.

Nafasku menderu, sedahsyat gelombang
di laut biru, "Menepilah pelaut, kita
nyaris tenggelam!" Tapi langit terang,
dan kau berbisik seperti camar sedang
mencari sarang di pantai, di batuan karang.

Dengan diam, kuhitung satu demi satu
tiang layar, rambutmu yang urung terumbar
karena belum reda segala badai, dan
pantai tujuanku tak jua sampai.

Inilah cinta pertama, petualang seperti
aku adalah pelaut tanpa nama. Di mana
jangkar belum tertambat benar, layar
masih berkibar, namamu kusapa samar.

* = nama kapal-kapal layar Columbus

PUISI yang baik ibarat sekotak besar donat. Begitu ia dibuka, yang tampak adalah rupa-rupa warna, salutan, olesan, dan taburan, menjanjikan aneka rasa pula. Semuanya donat. Tak ada misalnya sepotong ayam goreng di sana. Ayam goreng mesti disajikan sebagai sajak yang indah di kotak lain.

Donat dalam sajak Dedy Tri Riyadi di atas adalah rasa rindu tersebab cinta yang teramat sangat. Ia menyajikannya dengan hiasan-hiasan dan variasi rasa yang khas. Dia menghadirkan Columbus di sana. Si penjelajah dan penemu benua-benua itu langsung menawarkan rasa petualangan yang luar biasa. Pas. Donat memang cocok diolesi dengan cairan gula atau lelehan coklat. Bukan sambal atau saus tomat.

Santa Maria, Nina, Pinta, adalah nama-nama yang manis. Nama kapal yang membawa Columbus berpetualang. Kenapa pula ada kebetulan bahwa itu nama-nama perempuan? Dedy adalah lelaki penyair. Jangan larang ia untuk mengumbar perasaannya dalam donat sajaknya ini. Nikmati saja dia mengombang ambingkan kita antara kapal ke perempuan, dari tiang layar ke rambut.

Toh, akhirnya dia sadar, betapa kita mencintai dengan keterbatasan. //... jangkar belum tertambat benar, layar / masih berkibar, namamu kusapa samar.//


6. Di Langit Paling Langit

tak ada nakoda berpaut hanya pada gerak laut
       terhembus juga layarmu ke harum halimun itu
tak ada yang bisa kau rebut dari tangan kabut
       kau hapus saja namaku yang mengembun itu

pernah angin bertanya kemana harus bertaut
       sehabis sayap-sayap burung besar terbakar
pernah ingin kubawa dermaga dari laut ke laut
       setelah di langit paling langit kulabuh jangkar

[Proyek 100 Soneta Neruda # 016] Zapato Mereka, Sepatu Kita

Bumi tak cukup lagi bagi si pengembara. Engkau muncul di planet lain. Saturnus mesti ditaklukkan. Ada yang mesti terbang, yaitu kita. Kau dan aku. Begitulah, cara Neruda memuja. Menyatakan cinta. Begitulah tema soneta ini saya jaga. Kata per kata mesti diarahkan ke sana. Berhasilkan saya? Entahlah. Tapi saya sampai pada kesimpulan: penerjemahan sudah selesai.

Ada kejutan-kejutan kecil. Penemuan-penemuan yang mestinya bisa saya temukan di kamus etimologi. Sudah punyakah kita? Saya bertemu "zapato" yang artinya "sepatu". Saya yakin "sepatu" kita itu berasal dari "zapato" mereka itu. Asyik sekali.

Tinta, trigo, zapato. Apalagi ya....

Soneta ke-97

Di hari ini, ada yang mesti terbang, tapi kemana?
Tak bersayap, tanpa pesawat, tanpa syak wasangka
langkah telah lalu berlalu, tanpa mendapat apa-apa
tidak membumbungkan kaki-kaki yang fana.

Pada tiap seketika, ada yang mesti terbang
seperti lalat, dan seperti hari-hari, seperti elang
mesti menaklukkan Saturnus: lingkar cincinnya,
dan mendirikan menara lonceng baru di sana.

Tak cukup lagi jalan setapak dan sepatu itu,
bumi tak menantang lagi bagi si pengembara,
akar telah menjulur-menyilang menembus malam,

dan engkau kelak muncul di planet yang lain
mati-matian bertahan dalam kesementaraan
dan pada akhirnya bersalin rupa ke bunga apiun.



Soneto XCVII

Hay que volar en este tiempo, a dónde?
Sin alas, sin avión, volar sin duda:
ya los pasos pasaron sin remedio,
no elevaron los pies del pasajero.

Hay que volar a cada instante como
las águilas, las moscas y los días
hay que vencer los ojos de Saturno
y establecer allí nuevas campanas.

Ya no bastan zapatos ni caminos,
ya no sirve la tierra a los errantes,
ya cruzaron la noche las raíces,

y tú aparecerás en otra estrella
determinadamente transitoria
convertida por fin en amapola.



Sonnet XCVII

These days, one must fly---but where to?
without wings, without an airplane, fly---without a doubt:
the footsteps have passed on, to no avail;
they didn't move the feet of the traveler along.

At every instant, one must fly---like
eagles, like houseflies, like days:
must conquer the rings of Saturn
and build new carillons there.

Shoes and pathways are no longer enough,
the eart is no use anymore to the wanderer:
the roots have already crossed through the night,

and you will appear on another planet,
stubburnly transient,
transformed in the end into poppies.




[Proyek 100 Soneta Neruda # 015] Kolokasi Garam Hingga Pesawat Terbang

Perlu dua hari menyelesaikan sajak ini. Diselingi dengan kehilangan bait pertama, karena saya belum simpan data, ketika istri saya tak sengaja mematikan stop kontak. Laptop mati sendiri. Baterainya hanya tahan bertahan dua menit. Ini laptop bekas, Pentium I. Dulu belinya senilai Rp1.200.000. Itupun tukar tambah dengan laptop lama yang dihargai Rp800.000. Bagaimana dengan laptop anggota DPR yang dianggarkan Rp22 juta itu ya? :-)

Toh, saya lebih beruntung daripada Neruda yang cuma pakai pena bertinta hijau atau mesin ketik. Hehe. Tapi, ya susah juga merasakan apa yang padu pada garam biru, lebah, laut, madu semesta, matahari, pelangi, minyak bumi, limau, dan pesawat terbang. Uh, Neruda, apa Matilda-mu itu mengerti bahwa engkau memujamu dengan semua kolokasi itu?

Soneta ke-19

Seraya ketika buih raksasa, buih laut di Isla Negra,
garam biru, matahari di ombak itu membasahkanmu,
aku menyaksikan lebah-lebah itu bekerja
cuma mencandu satu, madu, semesta madu.

lebah datang dan terbang, menyelaras pucat sayap
seakan ia tergelincir pada kawat yang tak tertatap
tari yang meliuk elok, pinggang melenggang kehausan
dan sengat ganas itu menghunuskan pembunuhan

Warna limau dan minyak bumi membusurkan pelangi,
ia mengejar, seperti pesawat menyeruak di semak,
dengan kabur kabar, terbang memutar, lalu memudar

seraya ketika kau bangkit menyibak laut, telanjang,
kembali ke dunia penuh garam dan matahari,
bergaung patung dan pedang di hampar pasir.



Soneto XIX

Mientras la magna espuma de Isla Negra,
la sal azul, el sol en las olas te mojan,
yo miro los trabajos de la avispa
empeñada en la miel de su universo.

Va y viene equilibrando su recto y rubio vuelo
como si deslizara de un alambre invisible
la elegancia del baile, la sed de su cintura,
y los asesinatos del aguijón maligno.

De petróleo y naranja es su arco iris,
busca como un avión entre la hierba,
con un rumor de espiga vuela, desaparece,

mientras que tú sales del mar, desnuda,
y regresas al mundo llena de sal y sol,
reverberante estatua y espada de la arena.



Sonnet XIX

While the huge seafoam of Isla Negra,
the blue salt, the sun in the waves spalsh over you,
I watch the bee at its work,
avid in the honey of its universe.

It comes and it leaves, balancing its straight pale flight
as if it slid on invisible wires:
its elegant dance; its thirsty waist,
the assasinations of its mean little needle.

Through an orange-and-gasoline rainbow
it hunts, like an airplane ini the grasses;
it flies with a hint of a spike; it disappears;

while you come naked out of the sea
and return to the world full of salt and sun:
reverberating statue, sword in the sand.


Thursday, March 22, 2007

5. Sampiran Elang, Pesanan Kenang

di langit rendah elang jantan terbang
       sayapnya berdarah kepaknya pincang
tak tahu bagaimana kau mesti kukenang
      seperti luka bernanah? Atau merah kembang?

di dahan tinggi, elang tak menemu sarang
      dikoyak-koyakannya saja sisa-sisa cangkang
oh, di gelap yang amat dalam aku berenang
      : tenggelam atau sampaikah ke pulau terang?

4. Sepantun Bunga, Sepantun Dingin

cuaca menggelut kabut dengan dingin musim
     beradu warna bunga dipetik dari kebun jauh
aku merapatkan hati ke sepi yang tak bermukim
     betapa nama itu ingin menyebut di lidah lepuh

ada kelopak tertabur, lalu kereta bunga
     aku menebak begitukah pemetik mengulur tangan
di wangi tubuhmu aku terjebak: telah lama
     di hujan mandi kenangan, o aku kedinginan

3. Semacam Pantun Tentang Penyadap Subuh

telah lewat sekawanan awan ke langit barat,
     hujan yang ditadah-tadah rumput batal luruh
kau bebat dada dengan syal berbunga lebat
     aku penyadap subuh, menyimpan gigil tubuh

di timur: kurva bulan, kelelawar menyuruki gelap
     tak ada jarak, hanya suara merayakan pertarungan
ketika kau telanjangkan leher dan dada kau ungkap
     tak ada jejak, hanya isyarat memulai perburuan

Wednesday, March 21, 2007

2. Seperti Pantun tentang Penantian yang Pedih

rintik hujan itu sedang berkejaran
     lalu sembunyi di genangan & rumput
perih hati ini, sayang, sedang kutahan
     menunggu engkau datang menjemput

datang belibis bersama kelam yang berlari
     tirai awan panjang menjuntai di angkasa
aku terbaring merayakan sakit sendiri
     engkau hanya melambai di jendela kaca

Tuesday, March 20, 2007

[Proyek 100 Soneta Neruda # 014] Dari Zarah ke Zuhrah

 Saya terpesona pada bait awal sajak ini. Terpesona pada kata apa yang hendak kupadankan pada "grano" dan "planeta", "seed" dan "planet". Saya memilih "zarah" dan "zuhrah". Zarah adalah renik, benda teramat kecil. Zuhrah adalah nama lain untuk planet Venus.

Saya kira yang diinginkan oleh Neruda ungkapan perjalanan ke hakikat inti, dan ke keluasan alam semesta. Saya kira, zarah dan zuhrah sudah dengan baik mewakilinya. Paling tidak, bila kelak atau sudah ada orang lain yang menerjemahkan sajak ini, dia tidak akan atau belum memakai kedua kata itu.

Soneta ke-28

Kekasih, dari zarah ke zarah, dari zuhrah ke zuhrah
angin dengan jejalanya melewati negeri yang kelam,
menyaksikan perang dengan sepatu berdarah,
atau bahkan juga siang, dengan membadai malam

Kemanapun kita pergi, pulau, titian atau bendera,
di sana ada arak-arak biola musim semi, renda-peluru.
kebahagiaan itu bergema di tepi gelas anggur;
dan nestapa menawan kita, mengajarkan air mata.

Angin tercambuk, melintas di semua republik ini
ruang depan yang angkuh, rambut sedingin sungai beku
bunga-bunga itu kelak kembali jua, ke ladang kerja.

Tapi tak ada musim gugur yang pucat menyentuh kita.
Di wadah yang tabah, sebentuk cinta berkecambah,
seperti hak mutlak yang diberi pada embun untuk ada.

Soneto XXVIII

Amor, de grano a grano, de planeta a planeta,
la red del viento con sus países sombríos,
la guerra con sus zapatos de sangre,
o bien el día y la noche de la espiga.

Por donde fuimos, islas o puentes o banderas,
violines del fugaz otoño acribillado,
repitió la alegría los labios de la copa,
el dolor nos detuvo con su lección de llanto.

En todas las repúblicas desarrollaba el viento
su pabellón impune, su glacial cabellera
y luego regresaba la flor a sus trabajos.

Pero en nosotros nunca se calcinó el otoño.
Y en nuestra patria inmóvil germinaba y crecía
el amor con los derechos del rocío.



Sonnet XXVIII

Love, from seed to seed, from planet to planet,
the wind with its net through the darkening nations,
war with its bloody shoes,
or even the day, with a thorny night.

Wherever we went, islands or bridges or flags,
there were the violins of the fleeting autumn, bullet-laced;
happines echoing at the rim of wineglass;
sorrow detaining us, with its lesson of tears.

Through all those republics the wind whipped ---
its arrogant pavillions, its glacial hair;
it would return the flowers, later,to their work.

But no withering autumn ever touched us.
In our stable place a love sprouted, grew:
as rightfully empowered as the dew.


[Proyek 100 Soneta Neruda # 013] Discurso = Collocation?

 DI sajak ini saya tidak bisa terlalu mengandalkan terjemahan Tuan Tapscott. Beliau saya kira terlalu asyik mengutak-atik pada beberapa bait sajak ini. Terutama di baris terakhir yang dihiasi tandatanya, dan tanda kurung yang saya kira tidak perlu.

Tapi, saya kira kesulitan kami sama, yaitu pada baris ketiga bait ketiga, terutama pada kata "discurso": /sino un discurso de cascada y de leones/. Saya pun menyerah di bait ini. "Discurso" itu menurut kamus Milagros Guindel bisa berarti "pidato" atau "khutbah". Atau bisa juga berarti "jalannya" atau "berlalunya". Keduanya adalah pilihan yang tidak nyaman. Kehadirannya akan jadi aneh di tengah kata-kata lain dalam sajak itu.

Saya menyerah dan mengikut saja kata "collocation" yang dipadankan oleh Tapscott pada kata "discurso". Kamus Echol dan Shadily Inggris-Indonesia yang saya andalkan menyediakan terjemahan yang cukup manis "sanding kata". Eureka!

Soneta ke-38

Rumahmu bersuara seperti kereta menjelang siang,
dengung kawanan lebah, dan bunyi kuali berkelontang
air terjun menghitung yang terjadi saat rerintik datang,
tawamu membuat nyanyi pohon palma mengembang.

Cahaya biru dinding itu bertukar kata dengan batu,
datang seperti gembala, bawa telegram bernyanyi
dan di antara dua pohon ara, dengan suara hijau
Homer datang memakai sandal yang tak berbunyi.

hanya di sini, kota tak bersuara, tak bercucur airmata,
tak berbatas, tanpa sonata, bibir, mulut pun tak jua ada
kecuali persandingan kata jeram dan singa betina.

dan engkau bangkit, bernyanyi, berlari, berjalan, bersimpuh,
menanam, menjahit, memasak, memalu, menulis, kembali,
atau kau telah pergi mengabarkan datang musim dingin ini.



Soneto XXXVIII

Tu casa suena como un tren a mediodía,
zumban las avispas, cantan las cacerolas,
la cascada enumera los hechos del rocío,
tu risa desarrolla su trino de palmera.

La luz azul del muro conversa con la piedra,
llega como un pastor silbando un telegrama
y entre las dos higueras de voz verde
Homero sube con zapatos sigilosos.

Sólo aquí la ciudad no tiene voz ni llanto,
ni sin fin, ni sonatas, ni labios, ni bocina
sino un discurso de cascada y de leones,

y tú que subes, cantas, corres, caminas, bajas,
plantas, coses, cocinas, clavas, escribes, vuelves,
o te has ido y se sabe que comenzó el invierno.



Sonnet XXXVIII

Your houses sounds like a train at noon:
bees hum, pots sing,
the waterfall catalogues what the soft rain did,
your laught spins out its trill like a palm tree.

Arriving like a country boy with a singing telegram,
the blue light of the wall talks with the rock, and there ---
climbing the hill, between the two fig trees, with the green voice--
comes Homer in his quiet sandals.

Only here the city has no voice, no mouth, nothing so
relentless, no sonatas, shouts or car horns: here,
instead, a quiet collocation of waterfalls and lions

and you -- who rises, sings, runs, walks, bends,
plants, sews, cooks, hammers, writes, returns --
or have you gone away --?--(then I'd know the winter had begun).

1. Langkah Pertama ke 100 Pantun Cinta

bunga waktu berbatang teramat panjang
     musim tak sampai melayukan kelopaknya
ada engkau berleher terang dan jenjang
     aku ingin mencapai menoreh hangatnya

waktu meniti di jam, ia menafsir ayat takdir
     waktu: menuju ke tempat yang akhir disebut
aku menanti saat engkau membasahi bibir
     aku menunggu saat engkau menggerai rambut

Monday, March 19, 2007

[Proyek Neruda # 012] Gravitasi Gerimis

INI soneta satu babak. Dari awal hingga akhir keutuhan dijaga oleh sebuah peristiwa saja. Tentang suara si engkau yang berlagu yang dipuja oleh si aku. Lagu yang diiringi langit dan matahari. Lagu yang mengelupaskan kulit-kulit gandum, hari-hari yang diibaratkan seperti biji serealia. Suara-suara lain tak dipedulikan oleh si aku, karena suara engkau itulah yang akhirnya menyatukan aku dengan langit.

Saya ingin memberi catatan pada frasa "gravitasi gerimis". Tepatnya sebenarnya adalah "gravitasi hujan", "gravity of rain", "gravedad de lluvia". Saya sangat tergoda untuk menjadikan frasa itu sebagai "gravitasi gerimis" saja. Bunyi "g" yang berulang di awal kedua kata itu rasanya terdengar kuat dan indah. Itulah sentuhan akhir yang saya berikan pada terjemahan sajak ini.

Soneta ke-52

Kau menyayi, matahari & langit mengiring lagumu,
sekam biji-biji hari terkelupas tersebab suaramu
pepohonan pinus berbicara dengan lidah yang hijau:
dan burung-burung musim dingin ikut berkicau.

Laut memenuhi ruang bawah tanah dengan jejak,
dengan lonceng, rantai, dan desir-desir rintih,
segala perkakas dan dentang logam berteriak,
roda-roda karavan berkeriut lirih.

Tapi aku hanya menyimak suaramu,
dan suaramu itu melesat sesigap anakpanah,
lalu suaramu merendah karena gravitasi gerimis.

Suaramu menaburkan ketinggian pedang-pedang
dan suaramu kembali dengan kargo ungu,
lalu menyatukan aku menembusi langit itu.

Sonnet LII

You sing, and your voice peels the husk
of the days's, your song with the sun and sky,
the pine trees speak with their green tongue:
all the birds of the winter whistle.

The sea fills its cellar with footfalls,
with bells, chains, wimpers,
the tools and the metals jangle,
wheels of the caravan creak.

But I hear only yuour voice, your voice
soar with the zing and precision of an arrow,
it drops whit the gravity of rain,

your voice scatters the highest swords
and returns wiht its cargo of violets:
it accompanies me througt the sky.

Soneto LII

Cantas y a sol y a cielo con tu canto
tu voz desgrana el cereal del día,
hablan los pinos con su lengua verde:
trinan todas las aves del invierno.

El mar llena sus sótanos de pasos,
de campanas, cadenas y gemidos,
tintinean metales y utensilios,
suenan las ruedas de la caravana.

Pero sólo tu voz escucho y sube
tu voz con vuelo y precisión de flecha,
baja tu voz con gravedad de lluvia,

tu voz esparce altísimas espadas,
vuelve tu voz cargada de violetas
y luego me acompaña por el cielo.





Friday, March 16, 2007

[Proyek 100 Soneta Neruda # 011] Mengkhianati Kata, Mempertahankan Rasa

 INI sajak yang saya terjemahkan dengan penuh "pengkhianatan". Banyak kata yang tak tahu persisnya harus diterjemahkan sebagai apa. Saya mendekatinya dari sisi puisi saja. Bila tetap terasa ada rasa puisi dari kata yang saya pilih, saya memilihnya. Saya hanya berusaha menjaga keutuhan rasa puisi itu.

Soneta ke-32

Rumah di pagi itu bersama kebenaran kalut gaduh,
selimut dan bulu unggas, ketika hari pun bermula
tanpa tahu kemana tuju, berlayar seperti perahu rapuh
di antara dua horison: yang khayalan & yang nyata ada.

Segala benda hanya ingin menghela jejak sendiri,
haluan tertambat tanpa tuju, bagai museum yang dingin,
Kertas-kertas menyembunyikan kerut huruf berbunyi,
botol anggur lebih memilih melanjutkan hari kemarin.

Berulang beratur, kau bergetaran bagai lebah
meneroka ruang angkasa, sesat ke gelap bayang
menaklukkan cahaya, kau dan energi-putihmu

Maka kau menghadirkan kejernihan baru disini
benda-benda mematuhi, mengikut angin kehidupan
yang teratur menyuguh roti, mendatangkan merpati.

Sonnet XXXII

The house this morning ---with its truths
scrambled, blankets and feathers, the start of the day
already in flux -- drifts like a poor little boat
between its horizons of order and of sleep.

Object want only to drag themselves along:
vestiges, entropic followers, cold legacies.
Papers hide their shriveled vowels;
the wine in the bottle prefers to continue yesterday.

But you -- The One Who Puts Thing in Order -- you shimmer
through like a bee, probing spaces lost to the darkness:
conquering light, you with your white energy.

So you construct a new clarity here,
and object obey, following the wind of life:
an Order establishes its bread, its dove.
Soneto XXXII

La casa en la mañana con la verdad revuelta
de sábanas y plumas, el origen del día
sin dirección, errante como una pobre barca,
entre los horizontes del orden y del sueño.

Las cosas quieren arrastrar vestigios,
adherencias sin rumbo, herencias frías,
los papeles esconden vocales arrugadas
y en la botella el vino quiere seguir su ayer.

Ordenadora, pasas vibrando como abeja
tocando las regiones perdidas por la sombra,
conquistando la luz con tu blanca energía.

Y se construye entonces la claridad de nuevo:
obedecen las cosas al viento de la vida
y el orden establece su pan y su paloma.







[Tadarus Puisi # 26] Obrolan Sepasang Sepatu Tua

sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang,
          berdebu
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat
          jalan berlumpur sehabis hujan --- keduanya telah
          jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu
yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat
          sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan
          mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu
          dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa
sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya
          bisa mereka pahami berdua

(Sepasang Sepatu Tua, Sapardi Djoko Damono, dalam buku Mata Pisau, hal. 58)



Sepasang sepatu tua, seberkas surat cinta, dan makanan sisa nasibnya bisa sama. Mereka akan dibakar atau membusuk bersama. Mereka dilupakan, meskipun mereka pernah teramat diinginkan oleh seseorang. Seseorang itu adalah pemilik telapak kaki, kepada siapa sepasang sepatu itu telah jatuh cinta.

Ini sajak yang kelihatannya ditata dengan sederhana. Dan karena itu dia menjadi sajak yang indah. Sajak ini hanya bercerita tentang sepasang sepatu tua yang saling membisikkan sesuatu. "...yang hanya mereka sendiri yang mengerti," kata penyair.

Lantas darimana penyair menyalin percakapan itu? Dari mana penyair tahu bahwa sepatu yang sebelah kiri terkenang akan aspal meleleh, dan yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan - dua baris sederhana yang sudah teramat cukup untuk menggambarkan naik turun kehidupan? Sepatu itu memang tidak digambarkan bercakap-cakap. Mereka hanya mengenang, mengingat, menerka dan mengira. Itu juga yang dilakukan oleh penyair atas kehidupannya. Ia mengenang, mengingat, ia menerka dan mengira jalan kehidupan yang telah ia tempuh, bersama sepasang sepatu, sepatunya.

Jalan masuk ke perenungan memang bisa datang dari mana saja. Juga lewat sepatu. Itulah tugas penyair yang harus ia tunaikan lewat sajak-sajaknya: mengajak sebanyak-banyaknya orang yang membaca puisinya untuk merenungi kehidupan masing-masing.

Penyair bukan orang memaksakan hasil comotan pengalaman hidupnya saja kepada pembaca untuk dijadikan bahan renungan. Penyair juga bukan orang yang sok hebat yang dengan bangga mendedahkan hasil rumusan pemikirannya atas masalah-masalah besar kehidupan di dalam sajak-sajaknya, lantas mempertahankannya mati-matian bahwa rumusannya itu benar belaka adanya.




Dua Tangkai Pistol

/1/
ADA dua tangkai pistol saling menatap.
Dengan sebuah gelap. Di ruang kedap.

Pistol pertama bercerita tentang seseorang
yang baru saja memetik pelatuknya. "Aku
mendengar dua belas ledakan," katanya.

Lalu seseorang lain rebah. Enam bunga
luka mekar di tubuhnya. Kelopaknya darah.

Pistol kedua berkisah tentang saat-saat
ia diambil dari tubuh orang yang rebah itu.

"Sekarang," katanya,"aku ingin sekali,
menggugurkan saja kuntum-kuntum peluru
yang tak sempat mekar di dalam tubuhku ini."


/2/
ADA dua tangkai pistol yang tak mengerti
: kenapa mereka tak dibiarkan saja selamanya
bertatapan di ruang gelap itu. Ruang kedap itu.

[Proyek Neruda # 010] Tersesat Bersama Putri Duyung

Saya mentok di dua baris pertama di bait kedua. "Sirena" dalam bahasa Spanyol bisa berarti "mermaid" dan bisa juga "sirene". Stephen Tapscott menerjemahkannya menjadi "mermaid" atau "putri duyung". Tapi kenapa di jejeran baris terkait dengan kata itu ada kata "he" bukan "she". Bukankah "duyung" itu seorang "putri"? Bukankah si "aku" dalam sajak itu adalah "aku" lelaki? Saya teringat sajak Neruda lain "Putri Duyung dan Orang-orang Mabuk". Saya kira "sirena" dalam kedua sajak itu memang berarti "putri duyung". Ketika sampai pada kesimpulan itu, saya pun mengandalkan terjemahan Tapscott untuk menyelesaikan dua baris "bermasalah" itu.


Soneta ke-57

Mereka berdusta bila berkata aku kehilangan bulan,
bila meramalkan masa depanku seperti kersik pasir,
bila terlalu banyak bergunjing dengan lidah yang tawar,
mereka hendak memberangus bunga alam semesta.

"Tak ada lagi duyung kuning yang berenang lekas
dan tiba-tiba. Dia kini hanya seorang orang biasa."
Mereka tak putus tak henti mengunyah kertas
diam-diam menyurukkan gitarku ke dalam lupa.

Aku terlambung ke mata mereka, lembing berkilau
cinta kita, menancap tetap di hatimu dan hatiku,
aku memunguti melati yang tertinggal pada jejakku

Aku tersesat dalam malam, tanpa sepercik cahaya
dari kelompak matamu, dan ketika malam melingkupiku
aku telah terlahir kembali, akulah pemilik kegelapanku.


Soneto LVII

Mienten los que dijeron que yo perdí la luna,
los que profetizaron mi porvenir de arena,
aseveraron tantas cosas con lenguas frías:
quisieron prohibir la flor del universo.

"Ya no cantará más el ámbar insurgente
de la sirena, no tiene sino pueblo."
Y masticaban sus incesantes papeles
patrocinando para mi guitarra el olvido.

Yo les lancé a los ojos las lanzas deslumbrantes
de nuestro amor clavando tu corazón y el mío,
yo reclamé el jazmín que dejaban tus huellas,

yo me perdí de noche sin luz bajo tus párpados
y cuando me envolvió la claridad
nací de nuevo, dueño de mi propia tiniebla.



Sonnet LVII

They're liars, those who say I lost the moons,
whp foretold a future like a public desert to me,
who gossiped so much with their cold tongues:
they tried to ban the flower of the universe.

"The quick spontaneus mermaids' amber
is finished. Now he has only the people."
And they gnawed on their incessant papers,
they plotted an oblivion for my guitar.

But I tossed --- ha! into their eyes!---the dazzling lances
of our love, piercing your heart and mine.
I gathered the jasmine your footsteps left behind.

I got lost in the night, without light
of your eyelids, and when the night sorrounded me
I was born again: I was the owner of my own darkness.




Wednesday, March 14, 2007

Siapa Mau Mencium Jokpin?

INI buku baru Joko Pinurbo. Tipis. Cuma 44 halaman. Harganya pun manis Rp 20.000 saja. Buku ini berisi puisi-puisi Joko Pinurbo yang ditulisnya sepanjang tahun 2005-2006. Melalui peristiwa-peristiwa yang tampak kecil dan sederhana, imajinasinya yang liar dan lembut mengajak kita mengembara, menyelamirelung-relung sunyi dalam hubungan manusia dengan dunia di dalam dirinya. Cara berpuisinya yang unik sering membawa kita ke batas yang kabur antara yang getir dan yang jenaka.

KEPADA CIUM

Seperti anak rusa menemukan sarang air
di celah batu karang tersembunyi,

seperti gelandangan kecil menenggak
sebotol mimpi di bawah rindang matahari,

malam ini aku mau minum di bibirmu.

Seperti mulut kata mendapatkan susu sepi
yang masih hangat dan murni,

seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri
pada luka lambung yang tak terobati.


Jokpin adalah penyair Indonesia kontemporer yang terkemuka. Penerima Hadiah Sastra Lontar 2001, Sih Award 2001, Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001, Penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2002, dan pemenang Khatulistiwa Literary Award 2005. Jokpin telah memberikan warna tersendiri dalam dunia puisi Indonesia.

Ayo beli. Ayo beli. Sekali beli, seumur hidup tak akan habis-habisnya Anda menikmati.

[Proyek 100 Soneta Neruda # 009] Memuja Rambut

Saya membuat serangkaian sajak rambut, sebelum menerjemahkan Soneta ke-14 ini. Ada banyak unsur yang sama yang dimainkan di sajak ini dan di beberapa sajak saya. Cahaya, matahari, ombak, dan ungkapan keterpukauan atas rambut. Ketika kita jatuh cinta, bukankah segala bagian tubuh dari orang yang kita cinta memukau mata? Apalagi rambut.

Tapi itu hanya menunjukkan kesamaan bahan. Seperti ketika membuat roti,. Tepung, telur, air, mentega dan susu boleh sama, tapi Neruda punya ragi roti nomor satu. Dia juga piawai mengalis adonan roti. Hasilnya? Tentu saja roti yang sangat berbeda dengan kelembutan dan semerbak wangi, dan kemampuan membangkitkan selera yang berbeda.

Saya harus tahu diri, saya ingin meniru sopan santun khatib. Bila dalam sajak terjemahan berikut ini ada kekuarangan, itu berasal dari kelemahan saya. Bila ada kelebihan, itu tentu berasal si penyair Cile itu yang hebat itu. Saya akhirnya berwasiat kepada diri sendiri, banyak-banyaklah belajar dan membaca.


Soneta ke-14

Aku tak punya cukup waktu merayakan rambutmu
mesti kuhitung dan kusanjung helai demi helai itu:
Bila pencinta yang lain meminta mata istimewa,
aku hanya ingin menjadi penata rambutmu saja.

Di Italia, orang-orang akan memanggilmu Medusa
karena cahaya meninggi dari ombak rambutmu
aku ingin menyebutmu si ikalku, si rambut jala,
hatiku tahu jalan menuju ke pintu rambutmu.

Ketika kau tersesat di jalan menuju rambutmu sendiri,
jangan lupakan aku, ingat bahwa aku mencintaimu.
jangan biarkan aku sesat melayah tanpa rambutmu,

menembus dunia gelap, jejaring jalanan hampa
dengan bayang-bayang, duka yang berkeliling, hingga
terbit matahari, di menara tinggi cahaya rambutmu.



Sonnet XIV

I don't have time enough to celebrate your hair.
One by one I should detail your hairs and praise them.
Other lovers want to live with particular eyes;
I only wantto be your stylist.

In Italy they called you Medusa,
because of the high bristling light of your hair.
I call you curly, my tangler;
my heart knows the doorways of your hair.

When you lose your way through your own hair,
do not forget me, remember that I love you.
Don't let me wander lost ---- without your hair ---

througt the dark world, webbed by empty
roads with their shadows, their roving sorrows,
till the sun rises, lighting the high tower of your hair.

Soneto XIV

Me falta tiempo para celebrar tus cabellos.
Uno por uno debo contarlos y alabarlos:
otros amantes quieren vivir con ciertos ojos,
yo sólo quiero ser tu peluquero.

En Italia te bautizaron Medusa
por la encrespada y alta luz de tu cabellera.
Yo te llamo chascona mía y enmarañada:
mi corazón conoce las puertas de tu pelo.

Cuando tú te extravíes en tus propios cabellos,
no me olvides, acuérdate que te amo,
no me dejes perdido ir sin tu cabellera

por el mundo sombrío de todos los caminos
que sólo tiene sombra, transitorios dolores,
hasta que el sol sube a la torre de tu pelo.


[Proyek 100 Soneta Neruda # 008]

 Sejauh ini, inilah terjemah-tafsir terbaik Tapscott atas Neruda. Saya nyaris bisa menerjemahkannya dari Bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia tanpa membuka kamus. Hanya pada bait pertama saja saya merasa perlu mencari keselarasan dengan versi asli Neruda.

Ini baris terkuat dalam sajak ini:
- hujan yang jatuh, sekalian dengan langitnya itu.
- la lluvia que se cae con su cielo.
- the rain that falls with its sky.

Orisinil. Khas. Penemuan kalimat yang tidak biasa. Untuk mengatakan betapa lebatnya hujan, Neruda memakai kalimat " hujan yang jatuh, sekalian dengan langitnya itu". Luar biasa. Baris itu kemudian juga bisa menguatkan - memberi tenaga - pada keseluruhan sajak. Rindu, cinta bisa disampaikan lewat suasana derita, pedih, kehilangan, ketakutan dan luka. Karena itu rindu dan cinta itu semakin kuat terasanya. Dahsyat!


Soneta ke-70

Begitulah, aku pergi dengan luka, meski tak berdarah
menyusuri sepanjang baris, sesinar kehidupanmu.
Di tengah belantara aku ditahan oleh air yang tumpah,
hujan yang jatuh, sekalian dengan langitnya itu.

Maka kusentuh juga hati yang jatuh itu, hujan lebat itu
lalu tahulah aku, bahwa itu adalah juga matamu
yang menikam-menembusku, di tepi duka yang lapang.
Dan yang menjelma hanya bisikan bayang-bayang.

Siapakah itu? Siapakah itu? Tapi ia tak bernama,
dedaunan atau arus air kelam yang berderaian
di tengah hutan, memekak di sepanjang setapak:

Maka, kekasihku, aku tahu bahwa aku memang terluka
dan tak ada yang memanggil di sana kecuali bayangan,
kecupan-kecupan hujan, malam yang tak bertapak.



Soneto LXX

Tal vez herido voy sin ir sangriento
por uno de los rayos de tu vida
y a media selva me detiene el agua:
la lluvia que se cae con su cielo.

Entonces toco el corazón llovido:
allí sé que tus ojos penetraron
por la región extensa de mi duelo
y un susurro de sombra surge solo:

Quién es? Quién es? Pero no tuvo nombre
la hoja o el agua oscura que palpita
a media selva, sorda, en el camino,

y así, amor mío, supe que fui herido
y nadie hablaba allí sino la sombra,
la noche errante, el beso de la lluvia.



Sonnet LXX

Maybe -- though I do not bleed -- I am wounded walking
along one of the rays of your life.
In the middle of the jungle the water stops me,
the rain that falls with its sky.

Then I touch the heart that fall, raining:
there I know it was your eyes
that pierced me, int the grief;s vast hinterlands.
And only a shadow's whisper appears,

Whos is it? Who is it?, but it has no name,
the leaf or dark water that patters
in the middle if the jungle, deaf along the paths:

so, my love, I knew that I was wounded,
and no one spoke there except the shadows,
the wandering night, the kiss of the rain.




Tuesday, March 13, 2007

[Proyek 100 Soneta Neruda # 007] Dari Armenia Hingga Srilanka

 INI soneta pertama dalam penggal ketiga "Mediodia" alias "Petang" alias "Afternoon". Pasti ada tema yang mengaitkan sajak-sajak dalam tiap penggalan-penggalan itu. Saya belum tahu apakah itu. Yang sementara terbaca adalah kehebatan Neruda menata, memberdayakan dan mengendalikan tiga hal: pengalaman, imajinasi dan perasaan.

Pengalaman mudah terlupa, imajinasi bisa mandul tak bisa melambung tinggi, dan perasaan tak selalu naik pasang. Neruda - dari sajak-sajaknya di buku ini - bisa menarik lagi pengalaman di masa lalunya dari Armenia hingga Srilanka, dan menjaga perasaannya terus-menerus dalam gejolak gairah dan imajinasinya tetap saja liar dari sajak ke sajak.

Tanpa tiga hal itu, penyair manapun akan menyerah dan berdalih klasik bahwa kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. Neruda tidak, dia menulis dengan kuantitas tak tertandingi dan kualitas yang bertaraf tinggi.


Soneta ke-33

Kekasih, sekarang, mari pulang ke rumah kita
di mana liana merambat merimbuni tangga:
sebelum engkau, kamar tidur ini telah menerima
musim panas yang telanjang pada akar madreselva.

Kecupan nomaden kita mengembarai dunia:
Armenia, kental tetes madu di penggalian kuburan
Srilanka, punai hijau, dan Yang Tsé memisahkan
siang dari malam, dengan ketabahan yang purba.

Dan kini, kekasih, kita kembali, menempuh laut berdedas
bagai dua burung buta menuju dinding karang,
ke sarang, dari musim semi nun jarak di sana,

karena cinta tak bisa terbang tanpa sejenak hinggap,
kehidupan kita kembali jua ke dinding, ke karang lautan,
dan kecupan kita pulang jua ke ranah kita berumah.



Soneto XXXIII

Amor, ahora nos vamos a la casa
donde la enredadera sube por las escalas:
antes que llegues tú llegó a tu dormitorio
el verano desnudo con pies de madreselva.

Nuestros besos errantes recorrieron el mundo:
Armenia, espesa gota de miel desenterrada,
Ceylán, paloma verde, y el Yang Tsé separando
con antigua paciencia los días de las noches.

Y ahora, bienamada, por el mar crepitante
volvemos como dos aves ciegas al muro,
al nido de la lejana primavera,

porque el amor no puede volar sin detenerse:
al muro o a las piedras del mar van nuestras vidas,
a nuestro territorio regresaron los besos.



Sonnet XXXIII

Love, we're going home now,
where the vines clamber over the trellis:
even before you, summer will arrive,
on this honesuckle feet, in your bedroom.

Our nomadic kisses wandered over all the world:
Armenia, dollop of disisterred honey----:
Ceylon, green dove ---- : and the Yang-Tse with its old
old patience, dividing the day from the night.

And now, dearest, we return, across the crackling sea
like two blind birds to their wall,
to their nest in a distant spring:

because love cannot always fly without resting,
our lives return to the wall, to the rock of the sea:
our kisses head back home where they belong.


Monday, March 12, 2007

Lima Gelas Susu

"KITA akan mati bersama, Mama?"
tanya si bungsu sambil menghabiskan
tetes terakhir di gelas susunya.

"Ya, kita akan bertamasya, naik
motor besar. Selama-lamanya,"
jawab Si Mama sambil menyisiri
rambut empat anaknya, dan
merapikan baju tidur mereka.

"Papa tak ikut bersama kita, Mama?"
tanya si sulung,  lalu berbaring di
di sisi ketiga adik-adiknya.

"Papa? Dia sedang mencari uang.  Nanti
dia kirim buat kita. Untuk beli bensin.
Kelak dia pasti akan menyusul kita,"
jawab si Mama sambil menenggak
habis gelas susu terakhir mereka....

"Selamat tidur, anak-anakku, Sayang.."

"Sampai bertemu di mimpi kita, Mama." 


Sunday, March 11, 2007

[Tadarus Puisi # 24] Eh, Ada Bocah Mengolok-olok Penyair

Chairil Anwar
MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pepohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

                                                                               1947


ADA "kekacauan" gramatikal yang pasti disengaja oleh penyair pada larik ketiga. Dengan kalimat biasa larik itu seharusnya diucapkan begini: "Sekali ini aku terlalu ingin dapat jawaban" atau "Sekali ini aku sangat kepingin dapat jawaban". Kemungkinan lain - meski terlalu jauh - adalah "Sekali ini aku sangat mampu menjawab keinginan". Terlalu jauh, karena dua baris pertama dalam sajak ini adalah satu pertanyaan. Jadi, kemungkinan pertama tadilah dugaan yang paling dekat.

Kenapa Chairil "mengacaukannya" kalimatnya? Saya melihat tujuan yang paling mungkin adalah rima. Chairil ingin menemukan kesamaan bunyi pada kata akhir baris pertama dan ketiga, "ingin" dan "kepingin". Rima lain dengan mudah ditemukan pada baris kedua dan keempat, antara "pepohonan" dan "bayangan".

Saya mencoba membaca baris itu dengan cara lain. Saya ingin membaca begini: "Sekali ini, aku terlalu sangat, aku dapat jawab, aku kepingin". Asyik juga. Meski cara membaca seperti itu boleh dibilang terlalu mengada-ada. Saya sendiri merasa kemungkian bacaan seperti itu terlalu jauh dari niat si penyair sendiri. Apa pun. Chairil toh sudah tak ada. Dia tak bisa kita tanya. Kalau masih ada pun besar kemungkinan dia tak akan memberi penjelasan yang memuaskan kita.

Sajak ini, seperti kebanyakan sajak pendek yang baik, mengejutkan di baris terakhir. Sebuah kontras digelar di baris ini. "Eh, ada bocah main kejaran dengan bayangan!" Sebuah kejutan. Sejak di judul kita sudah dibawa pada sebuah malam di pegunungan. Si penyair merenungi rumah yang memucat di matanya, pepohonan yang kaku, dan udara dingin. "Bulan itukah yang membuat semuanya begini?" Pertanyaan yang tidak penting dan sangat mengada-ada. Penyair adalah orang yang suka merenungi alam, mendalami kehidupan.

Tidak semua pertanyaan akan bertemu dengan jawaban. Si penyair menyadari itu. Kesadaran yang jenaka. Soalnya ia menemukan jawaban pada kepolosan bocah. Bocah yang menikmati keadaan yang sama dihadapi oleh penyair. Alih-alih risau dan bertanya-tanya tak tentu arah, si bocah bermain dengan bayangannya sendiri. Bayangan yang dibikin oleh bulan. Bulan yang tadi dicurigai oleh si penyair telah membuat rumah, pohon dan udara menjadi pucat, kaku dan dingin. Dengan demikian si penyair telah memperolok-olok dirinya sendiri. Olok-olok yang tidak sia-sia, tentu saja.



[Proyek 100 Soneta Neruda # 006] Ihwal "Carnicero" dan lain-lain

Proyek ini telah menjadi main-main yang serius. Saya sudah keluar modal. Saya akhirnya beli buku Kamus Spanyol-Indonesia susunan Milagros Guindel (maaf ya, Bu Milagros, tadinya saya kira ini nama seorang pria) terbitan Gramedia. Harganya Rp 145.000.

Gara-gara kamus itu, pengerjaan proyek ini pun berubah irama. Semakin lambat. Saya berusaha setia pada naskah asli Tuan Neruda. Tuan Stephen Tapscott ternyata lumayan banyak melakukan "pengkhianatan" yang manis. Semanis apapun, saya lebih memilih menciptakan "pengkhianatan" sendiri yang mungkin beda rasa manisnya. Tapscott misalnya kerap memenggal baris lalu memasukkan penggalan itu ke baris berikutnya. Ia juga kerap menghadirkan kata dalam bahasa Inggris yang memang bila dipilih kata padanan pertamanya kurang pas. Saya bagaimana pun tetap ada berpegang pada versi Inggris, sebagai rujukan awal.

Ada keasyikan yang luar biasa ketika saya bertemu kata "carnicero" yang oleh Tapscott dipadankan dengan "carnivorous". Apa pilihan saya? "merindu mangsa". Jauh ya? Ah, biar saja. Saya toh tidak harus bertanggung jawab kepada siapa-siapa. Saya suka sekali ketika menemukan padanan itu. Mencarinya saja susah. Ada beberapa pilihan sebelumnya: "haus darah", atau "lapar mangsa". Cobalah perhatikan baris utuhnya.

- dari hati yang mengejar, yang diam, merindu mangsa.
- del corazón que corre callado y carnicero. ("corazón" berpadan dengan "hati")
- as it runs, silents and carnivorous.
(kata "it" merujuk pada "heart" yang diletakkan di baris sebelumnya).

Soneta ke-71

Melintas dari duka ke nestapa di pulau-pulau cinta
dan mengakarlah akar karena tersirami airmata
dan tak ada yang bisa lepas menghindar, tak ada,
dari hati yang mengejar, yang diam, merindu mangsa

Kau dan aku mencari planet lain, lembah yang lapang
di sana garam tak akan pernah memerciki rambutmu
di sana duka tak akan tumbuh karena tingkahku
di sana roti selalu hangat tak pernah tumbuh kapang.

Planet berjalin bentang saujana dan lilit dedaunan
padang tandus, batu karang, buas tak tertundukkan
dengan tangan kami sendiri membangun kukuh sarang,

tanpa pedih duka, tanpa hati luka, tanpa ada kata
tapi itu tak seperti cinta, cinta adalah kota yang gila
di mana kerumun orang memucat di balkon-balkon.


Soneto LXXI

De pena en pena cruza sus islas el amor
y establece raíces que luego riega el llanto,
y nadie puede, nadie puede evadir los pasos
del corazón que corre callado y carnicero.

Así tú y yo buscamos un hueco, otro planeta
en donde no tocara la sal tu cabellera,
en donde no crecieran dolores por mi culpa,
en donde viva el pan sin agonía.

Un planeta enredado por distancia y follajes,
un páramo, una piedra cruel y deshabitada,
con nuestras propias manos hacer un nido duro,

queríamos, sin daño ni herida ni palabra,
y no fue así el amor, sino una ciudad loca
donde la gente palidece en los balcones.



Sonnet LXXI

Love crosses its island, from grief to grief,
it sets its roots, watered with tears,
and no one -- no one -- can escape the hearts progress
as it runs, silents and carnivorous.

You and I searched for a wide valley, for another planet
where the salt wouldnt touch your hair,
where sorrow's couldn't grow because of anything I did,
where bread could live and not grow old.

A planet entwined with vistas and foliage,
a plain, a rock, hard and unoccupied:
we wanted to build a strong nest

wiht our own hand, without hurt or harm or speech,
but love was not like that: love was a lunatic city
with crowds of peole blanching on their porches.


[Ruang Renung # 183] Memaknai Kehidupan, Menyajakkan Kematian

Kematian memang tak pernah berhenti memukau manusia. Juga dalam sajak-sajak. Chairil Anwar, kita sepakati dalam sejarah kemunculan sajaknya, memulai jejak menyairnya dengan sebuah sajak pendek tentang kematian. Kematian adalah sumber terbaik sebagai bahan perenungan tentang kehidupan.

"Menghayati kematian sebelum mati, itulah yang saya tampilkan dalam banyak sajak saya kini," kata Sutardji dalam "Pengantar Kapak". Lalu, katanya, pertemuan dengan maut bukanlah seperti orang menemukan dompet di tengah jalan. Maut telah hadir dalam diri kita, sejak kita hidup. Sejak kita mulai bernapas di dunia, sejak itu pula maut membenih dalam diri kita. Dan kemudian lambat atau cepat tumbuh memagut kita habis.

Banyak penyair yang terobsesi dengan kematian. Banyak penyair yang seakan meramalkan kematiannya sendiri dalam sajak-sajaknya. Banyak penyair yang banyak menulis dengan tema maut. "Tetapi mengapa berungkali kembali kepada tema maut, seperti yang memberi judul himpunan sajak terpilih ini?" kata Subagio Sastrowardojo mengantar kumpulan puisi "Dan Kematian Makin Akrab".

Jawabnya: Maut adalah tabir terakhir yang menghalangi kemungkinan-kemungkinan kembali melibatkan diri dengan dunia yang kita cintai. Yang akan tinggal hanya pengandaian dan harapan semoga cinta kepada pengalaman hidup yang beragam-ragam terus dapat berlangsung tanpa ada ubahnya, seperti yang telah berlalu di sini. Atau kita berserah saja kepada keheningan yang kita tak tahu kapan bermula dan berakhir. "Tetapi saat itu sajak sudah tak perlu lagi," tulis Subagio.

Maut bisa dan harus ditafsirkan dengan kreatif. Tidak hanya dengan kesedihan. Maut tidak harus hanya dipandang sebagai pertemuan dengan yang Sang Mahapencipta kehidupan. Dan jangan lagi cuma ditengok sebagai peringatan bagi yang masih hidup. Biarlah itu menjadi bagian wajib dalam rangkaian talkin pengiring prosesi pemakaman. Maut di tangan penyair harus menjadi tema yang mencerahkan dan memperkaya warna dan makna kehidupan.

[Ruang Renung # 182] Mengutip Kitab Suci

KITA tentu boleh saja mengambil inspirasi dari kitab suci. Puisi boleh tergerak untuk dituliskan setelah kita membaca satu atau beberapa ayat. Ayat-ayat dalam kitab suci boleh kita hadapi sebagai puisi yang boleh ditafsirkan maknanya, dan tafsiran itu lalu kita susun rapi dalam sebuah puisi. Ayat-ayat dari kitab suci yang mengatur kehidupan tentu saja harus kita sikapi sebagai bagian dari kehidupan kita sendiri.

TAPI jangan sampai puisi kita menodai ayat suci itu. Ayat-ayat dalam kitab suci tetaplah firman yang disampaikan lewat nabi. Dan puisi kita lahir dari tangan kita, manusia yang terbatas ini. Jangan puisi kita hanya berlindung atau bersembunyi di balik kitab suci. Jangan kita beranggapan bahwa dengan mencantumkan satu dua baris ayat suci dalam puisi kita, maka puisi kita yang buruk atau membosankan menjadi cemerlang dan berhasil.

[Surat untuk Sajak # 005] Penyair yang Membuka Ruang Sendiri

Sajak yang baik,
Ada yang cemas dan berkata, bahwa tak ada lagi ruang baru tersedia untukmu karena telah habis dipakai oleh para penyair terdahulu. Saya kira, Ini bukan masalah ketersediaan ruang penciptaan. Saya kira ini adalah soal kreativitas. Saya percaya kemungkinan kreatif masih sangat lebar terbuka untuk dicapai. Kreativitas memang tidak mudah. Kreativitas bukan seperti memasuki istana dengan seribu kamar, dan kita tinggal memilih salah satu ruang kamar dan kemudian menata sesuka hati. Bukan, bukan itu. Tidak semudah itu. Ketika seorang penulis puisi mengulangi apa yang sudah pernah dicapai oleh penyair sebelum dia, maka menurut saya ada tiga penyebabnya. 1. Dia tidak tahu apa yang sudah diciptakan oleh penyair terdahulu. 3. Dia tahu tapi dia sengaja hanya ingin mengulang-ulang saja. 3. Dia tahu, dia tidak mau mengulang, tapi dia tidak mampu mencapai hal yang baru.

Sajak yang baik,
Kita perlu kasihan pada penyair yang menganggap ruang penciptaan puisi Indonesia sudah habis. Sekali lagi, kreativitas itu bukan perkara mudah, memang. Tapi juga bukan perkara yang besar-besar saja. Hal-hal kecil bisa mengantar pada penemuan kreatif yang berkilau. Apakah Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Joko Pinurbo itu dengan mudah begitu saja seperti berhadapan dengan sebuah ruang kosong? Lalu mereka mengkavling sendiri ruang untuk mereka tempat? Saya yakin tidak. Dan memang tidak. Kenapa tidak berpikir membuka ruang baru? Lho, yang menyediakan ruang untuk penyair-penyair itu siapa? Bukankah mereka sendiri yang mencari? Menemukan? Dan mereka tak pernah menempuh jalan mudah. Lima tahun setelah kematian Chairil Anwar, Asrul Sani - satu dari tiga sahabat penguak takdir - menyebutkan karya-karya Chairil ibarat ladang subur yang belum digarap. Artinya belum dapat tempat atau "kavling ruang" seperti kita "menyakralkan" dia saat ini.

Sajak yang baik,
Saya bilang kepada orang yang merasa kehabisan ruang kreativitas itu, "Jangan takut, ah." Jangan percaya bahwa penyair terdahulu itu mengkapling-kapling seenaknya dan tak menyisakan lagi bagi mereka yang datang kemudian. Lahan kreativitas itu harus diciptakan. Kita yang membuka sendiri. Memangnya kita meminta kepada siapa? Sekali lagi, kapling kreativitas itu belum habis. Dan tidak akan pernah habis. Kreativitas itu adakah batasnya? Tidak. Hanya kemampuan kita saja yang belum dikerahkan maksimal untuk menjelajah lebih jauh. Tak ada yang tak mungkin. Jangan membatasi diri kita sendiri.

Sajak yang baik,
Penyair yang malang adalah penyair yang tidak bisa lagi melihat betapa luasnya ranah kreativitas yang masih bisa dia kerjakan di depan matanya. Menyaujana, jauh dan luas. Orisinilitas itu harus diciptakan, diburu, dicari, diasah. Karya-karya terdahulu bukan penghalang bagi penemuan baru. Tentu saja kau harus membaca Chairil, Sutardji, Rendra, Sapardi, dan karya-karya hebat lain. Ibarat fisikawan kau tak bisa bilang sekarang kau menemukan teori gravitasi, setelah kau duduk-duduk di bawah pohon kedondong dan kepalamu kejatuhan buah kedondong. Apel dan kedondong memang beda. Kalau kau bilang kedondongmu orisinil dan beda dengan apelnya Newton, kau hanya akan diketawakan oleh Panitia Nobel. Ranah bagi fisikawan sudah habis? Tidak, tiap tahun selalu ada penemuan teori baru, bukan? Dan panitia Nobel tak pernah kehabisan kandidat. Dan kau tahu para fisikawan itu bekerja bukan semata-mata untuk dapat hadiah Nobel.

Sajak yang baik,
Pernyataan atau dugaan soal kapling ruang untuk puisi yang telah habis itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tidak perlu penelitian hanya untuk menyalahkan pernyataan yang bilang bahwa ranah kreativitas itu makin sempit. Saya setuju, karya-karya puisi di Indonesia harus diteliti, dipetakan dengan baik, dicatat pencapaian-pencapaiannya, dari peta itu nanti akan terlihat betapa kemungkinan pengucapan lain masih sangat terbuka. Telaah-telaah puisi yang bertebaran di buku, majalah, atau naskah seminar sebenarnya telah melakukan hal itu.
Terhadap "DukaMu Abadi", Goenawan Mohamad melihat keberhasilan Sapardi mempertautkan kembail sajak Indonesia pada yang lirik, pada saat yang tepat. Sutardji membaca "Perahu Kertas" sebagai contoh sajak modern Indonesia dengan segala problem dan pencapaiannya. Asrul Sani menyebut karya-karya Chairil Anwar berhasil merebut hak sepenuhnya atas perkembangan bahasa ke tangan penyair dari tangan para guru sekolah. Joko Pinurbo kepada saya, pernah bercerita bagaimana dia memulai kesungguhannya menyair dengan menyusun semacam peta yang membentangkan karya Amir Hamzah hingga Sapardi Djoko Damono. Hasilnya? Ia melihat peluang untuk menggarap ranahnya sendiri. Kita bisa membaca keaslian sajak-sajak Joko Pinurbo.

Sajak yang baik,
Ada berbagai tingkatan niat orang menulis puisi. Saya bilang ada enam tahap kedekataan seseorang dengan puisi. Tergantung pada tingkat niat dan tahap kedekatannnya, penyair atau penulis puisi boleh tak peduli pada apa saja, atau ia harus merasa sia-sia menyair ketika hanya mengulang-ulang apa yang sudah dicapai oleh penyair terdahulu. Sapardi tidak jadi Sapardi kalau dia hanya mengulang-ulang apa yang dicapai Rendra. Sutardji tidak akan jadi Sutardji kalau hanya mengulang-ulang Chairil Anwar.
Orisinalitas hanya bisa dicapai bila kita mempertimbangkan apa yang telah dicapai oleh pendahulu. Menjadi orang yang datang kemudian memang tidak enak. Tantangan memang lebih besar. Itu sebuah hukum alam bukan? Dulu ketika lahir orang hanya akan diajari berburu, supaya kelak bisa hidup nyaman dan sejahtera di hutan. Sekarang? Anak-anak sudah harus masuk sekolah pada usia empat tahun, dan harus menempuh pendidikan 19 tahun minimal untuk lulus jadi sarjana. Belum tentu cepat dan mudah dapat kerja.

Sajak yang baik,
Tetapi saat menulis puisi harus dilakukan dengan gairah bermain. Menulis puisi harus dinikmati senikmat-nikmatnya. Tak perlu risau dengan hal lain di luar puisi dan diri sendiri, pada saat itu. Jarang-jarang kita bisa berduaan saja dengan puisi, bukan? Tetapi sebuah sajak yang selelesai ditulis telah menjadi karya yang utuh, ibarat orang yang siap cari kerja. Dia siap menghadapi persaingan. Kalau bisanya cuma mengoperasikan peranti lunak sederhana, jangan coba-coba melamar kerja jadi desainer situs, atau penata wajah surat kabar. Tugas penyair di luar saat-saat sakral penulisan puisi adalah membuat dirinya senantiasa siap melahirkan puisi yang unggul. Dia harus membaca, mengkaji, mengamati, banyak hal, termasuk apa saja yang sudah dihasilkan oleh penyair terdahulu.

Sajak yang baik,
Penyair yang baik akan mencapai puncaknya sendiri. Dia punya cara-cara pengucapan yang khas. Dia punya pilihan-pilhan tema favoritnya. Dua gandrung pada satu dua kata yang seakan-akan telah jadi merek dagangnya. Dia punya bahasanya sendiri. Yang mestinya juga penting, dia punya gaya panggung sendiri ketika meresitalkan puisinya. Bisakah semua itu dicontek habis-habisan oleh penyair lain yang datang setelah dia? Tidak. Chairil tidak akan pernah menulis sajak dengan tema bencana tsunami yang bagai kiamat itu. Chairil tidak akan lagi menulis sajak soal pesawat-pesawat yang berjatuhan. Chairil sudah mati. Tidak perlu membayangkan sajak seperti apa yang ditulis Chairil jika kita hanya ingin menemukan orisinilitas kita saat ini, bukan?

Wiji Thukul saya kira menulis sajak protes yang lembut. Dia tidak berteriak. Dia menghantam pelan-pelan. Ketika bicara soal kemiskinan, dia datang ke depan penguasa tidak dengan spanduk dan yel-yel. Dia datang dengan beberapa orang miskin yang amat dia kenal. Lalu dia tunjukkan mereka yang miskin itu kepada penguasa. Dia perkenalkan satu per satu. Lembut, menghantam pelan-pelan, dan hantaman itu tak pernah berhenti. Menakutkan. Mungkin itu yang ditakuti oleh penguasa hingga dia dihilangkan. (Wiji Thukul, semoga kebaikan selalu dilimpahkan atasmu) Saya melihat kelembutan protes itu setelah membaca banyak sajak-sajaknya. Thukul sering disederhanakan dengan kutipannya yang amat masyhur "hanya ada satu kata: lawan!". Penyederhanaan bisa salah. Pembaca yang malas, atau penyair yang malas bisa menerima begitu saja penyederhanaan itu. Akhirnya dia menerima apa yang disederhanakan itu sebagai sabda yang tak bisa dibantah.


Sajak yang baik,
Alur perkembangan dan pencapaian pengucapan dalam puisi Indonesia bisa disusun dengan berbagai model. Tergantung apa yang hendak dicapai kemudian oleh si penyusun alur itu. Jika sekadar menjajarkan kapling-kapling dan kemudian menemukan kesimpulan kapling telah penuh, buat apa? Kenapa percaya pada apa yang telah dipetakan orang lain? Kenapa tidak menyusun peta sendiri untuk keasyikan sendiri? Untuk menyusun batu pijakan bagi lompatan kita sendiri? Dengan demikian sajak-sajak Indonesia ditingkatkan harkatnya. Sajak-sajak karya penyair Indonesia menjadi terbaca, tergali, dan ditemukan permata yang tersembunyi di dalamnya. Dan yang lebih penting lagi, dari pekerjaan mengakrabi sajak-sajak karya penyair terdahulu itu, akan tampak kemungkinan-kemungkinan menemukan pengucapan baru, akan lahir sajak-sajak baru yang tidak sekadar mengulangi sajak-sajak yang sudah ada.


Sajak yang baik,
Kita tidak perlu banyak penyair yang mengemis pengakuan dan minta dianggap sebagai pembaharu. Buat apa? Kita tidak perlu banyak memberi pengakuan kepada banyak penyair. Siapa pula kita ini? Kita perlu sebanyak-banyaknya penyair yang rajin mengolah bahasa, mencari kemungkinan-kemungkinan kreatif dalam bahasa Indonesia, membuka jalan baru untuk menyegarkan bahasa, dan menggarap tema-tema kehidupan aktual agar orang-orang yang terbungkam merasa terucapkan rintih hatinya. Kita perlu banyak sajak yang menyegarkan bahasa, sastra dan kehidupan kita. Pengakuan akan teranugerahkan dengan ikhlas kepada penyair yang dengan ikhlas berkarya.
Penyair harus berterima kasih kepada para peneliti sastra. Para peneliti sastra perlu berterima kasih kepada penyair. Kritik dan apresiasi beranjak dari karya sasta. Tak ada kritik dan apresiasi tanpa karya sastra. Penyair pun bisa memakai atau tidak memakai hasil telaah para akademisi untuk mengukur apa yang telah ia capai.

Sajak yang baik,
Memang, menjadi pembaharu itu penting. Menciptakan tonggak itu juga penting. Penyair kan memang harus peduli apa saja. Termasuk pada karyanya. Termasuk pada apa kata orang tentang karyanya. Peduli, bukan berarti mengandalkan itu saja sebagai satu-satunya pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu karya-karyanya.

Sajak yang baik,
Bila dia penelaah berdebat sebuah karya sastra, bukan berarti keduanya sedang beradu unggul menganggap diri paling tahu tentang karya itu. Mereka sedang memperkaya tafsir atas karya itu. Mereka sedang membuka banyak jalan untuk masuk ke karya itu. Jalan yang mungkin tak pernah terpikir oleh si penyair sendiri. Sebaiknya, si penyair memang diam saja, ketika dua penelaah merayakan tafsir atas karya itu. Dia tentu saja boleh bicara tentang karyanya, dan dia pasti tahu banyak ihwal kelahiran puisi yang ia kandung. Tapi tentu saja ia tak boleh menganggap dia penguasa dan penafsir yang paling benar atas karyanya.


Sajak yang baik,
Seperti ilmu-ilmu lainnya, Ilmu Kesusastraan sempat diragukan apakah dia bisa dianggap sebagai ilmu. Keraguan itu tentu sudah dijawab oleh para peletak dasar teori Ilmu Kesusasteraan. Teori-teori sastra tentu berguna untuk menelaah karya sastra. Penyair harus bergembira kalau karyanya ditelaah. Tetapi penyair jangan menjadikan itu sebagai satu-satunya tujuan berkarya. Biarlah semuanya terjadi dengan wajar, dan alamiah. Jika memang sebuah karya menarik untuk ditelaah, maka penelaah sastra pasti akan menelaahnya dengan teliti dan penuh gairah. Telaah sastra pun tidak harus dilakukan seperti sekelompok dokter bedah sedang berada di ruang operasi bedah jantung: tegang, serius, fatal, dan berpeluh. Telaah sastra sesekali boleh saja dilakukan seperti sebuah pertunjukan ringan: riang, mencerahkan, bernas, dan menghibur. Hei, hidup ini banyak sisi-sisinya, bukan?

Salam atas kreativitas,
Hasan Aspahani

NB:
Eh, jangan-jangan orang yang merasa kehabisan kapling itu sebenarnya tak pernah sungguh-sungguh membaca karya-karya penyair terdahulu. Jangan-jangan ia hanya dihantui oleh kebesaran nama penyair-penyair terdahulu itu. Jangan-jangan.....


 

Friday, March 9, 2007

Sajak TS Pinang
MEMENTO MORI

                                                 : Hasan Aspahani

semisal kemarau yang garang
pun penghujan yang rajam,
usia adalah sebatang ranting
lapuk oleh panas dan dingin

Sajak Yohanes Sugianto
TIGA PULUH ENAM SAJAK

tiga puluh enam sajak
yang telah terbakar waktu
hanyut menjauh iringi langkah perahu

di pucuknya ada lampu terangi
saat malam menyapa

36 sajak perlahan beranjak
tinggalkan penyair
yang tercenung
tak beranjak


tolmlm, maret 07

Sajak Joko Pinurbo
Seperti Bulu Sajak-sajakmu


30 ekor tahun menari riang
di halaman nasibmu
bulu mereka beraneka warna
seperti bulu sajak-sajakmu.

(9 Maret 2007)


[Proyek 100 Soneta Neruda # 005]Kargo dan Pavilyun

TAK terbayangkan kalau saya harus memasukkan kata "kargo" dan "pavilyun" dalam sajak saya. Tapi, hei, ini sajak sang maestro Pablo Neruda. Tadinya saya ingin menggantikan kata itu dengan kata lain yang lebih "puisi". Lebih puisi? Apa sih yang tidak bisa dipuisikan? Saya menyerah. Kata "aneh" itu menurut saya akhirnya bisa ditaklukkan dengan mengutak-atik seluruh baris yang diikutinya. Lihat:
1. Engkau pergi membawa sekargo bunga-bunga besi.
2. Pavilyun laut, di pasir teringat luput.
Tadinya saya pikir lebih nyaman membaca "sekeranjang bunga-bunga besi". Tapi bukankah kata kargo dan besi bisa padu? Bisa terasa ironinya ketika bersanding dengan bunga? Bukankah ada kata "garam" yang saya pertahankan dan "karat" yang saya ganti dengan kata lain. Saya memilih kata "gerus". Bukankah karat itu menggerus besi? "Meretakkan" besi?

Dan frasa "pavilyun laut" tadinya saya khianati dengan menggantikannya dengan frasa "di serambi laut". Lalu pengkhianatan itu saya batalkan, dan saya nyamankan kehadirannya dengan mengolah kata "terlupa" dan menjadikannya dengan "teringat luput". Ada rima yang menurut saya enak juga dinikmati antara bunyi di ujung kata "laut" dan "luput". Perhatian pada kata "pavilyun" yang berkurang karena beralih ke bunyi yang bersahut-sahut itu. Semoga ini sebuah tipuan yang berhasil.

Dan inilah soneta ke-40.


XL

Adalah hijau yang sunyi, adalah sinar yang basah;
Bulan Juni yang mengigil seperti seekor kupu-kupu
dan engkau, Matilda, melintas menembus siang,
melewati kawasan Selatan, laut dan bebatuan.

Engkau pergi membawa sekargo bunga-bunga besi
rumputlaut terenggut tercampak angin Selatan,
tapi tanganmu, masih putih, diretakkan gerus garam
memunguti tangkai bunga yang tumbuh di pasir.

Aku mencinta anugerah sucimu, kulitmu utuh batu-batu
kukumu, terpersembahkan, di jemarimu yang matahari
mulutmu melimpahkan segala kegembiraan.

Di rumahku di bibir ngarai itu, maka beri aku
siksa yang tersusun dari kesunyian itu,
pavilyun laut, di pasir terigat luput.

Versi Bahasa Inggris oleh Stephen Tapscot

Sonnet XL

It was green, the silence; the light was moist;
the month of June trembled like a butterfly;
and you, Matilde, passed throught the moon,
throught the regions of the South, the sea and the stone,

You went carrying your cargo of iron flowers,
seaweed battered and abandoned by the South wind,
but your hands, still white, cracked by corrosive salt,
gathered the blooming stalks that grew in the sand.

I Love your pure gifts, your skin like whole stones,
your nails, offering, in the suns of your fingers,
your mouth brimming with all joys.

Oh, in my house beside the abyss, give me
the tormenting structure of that silence,
pavillion of the sea, forgotten in the sand.

Versi asli dalam Bahasa Spanyol

Soneto XL

Era verde el silencio, mojada era la luz,
temblaba el mes de Junio como una mariposa
y en el austral dominio, desde el mar y las piedras,
Matilde, atravesaste el mediodía.

Ibas cargada de flores ferruginosas,
algas que el viento sur atormenta y olvida,
aún blancas, agrietadas por la sal devorante,
tus manos levantaban las espigas de arena.

Amo tus dones puros, tu piel de piedra intacta,
tus uñas ofrecidas en el sol de tus dedos,
tu boca derramada por toda la alegría,

pero, para mi casa vecina del abismo,
dame el atormentado sistema del silencio,
el pabellón del mar olvidado en la arena.


Sajak Steven Kurniawan
Sekolah Puisi

                                     : Grammata, Hasan Aspahani


ini sekolah puisi, bukan?
kami malah diajarkan
melukis tanda tanya
yang berwarna-warna

sg, 09 Maret 2007
 

Sajak Dedy Tri Riyadi 
Sebelum Lilin Kautiup Padam 

                              : Hasan Aspahani


Sebuah kamus sudah lama terbuka
dan kata yang berloncatan
kausisipkan dalam saku celana,
sebelum menghijau di ujung pena.

Puisi baru sedang menunggu tercipta
dan makna yang mengendap perlahan
kaucoretkan dari sebuah rencana
sebelum lilin kautiup padam.

[Proyek 100 Soneta Neruda # 004] Soneta ke-77

SAYA memulai terjemahan ini dengan enam baris di dua bait terakhir.  Sebagaimana aturan soneta, enam baris terakhir adalah semacam  pernyataan perasaan si penyair atas citraan yang ia paparkan sebelumnya di delapan baris di dua bait pertama. Menangkap pernyataan penyair pada soneta ini seperti membuka pintu untuk masuk ke seluruh sajak.  Paparan menjadi terasa dengan sendirinya membuka diri untuk dipahami.

Saya sempat mentok di kata "mañana" yang semula saya kira hanya berarti "morning". Tapi ternyata kata itu juga berarti "tomorrow". Menarik juga, saya langsung teringat betapa lazim kita mengenal frasa "besok pagi". Dalam bahasa Spanyol tampaknya besok itu ya berarti pagi. Tak ada besok siang, atau besok malam. Ini mungkin menggambarkan sikap mereka terhadap waktu. Benarkah?

Versi Bahasa Indonesia:

Hari ini adalah hari ini, dengan beban semua masa lalu,
dengan sayap segala yang akan ada di esok hari.
hari ini adalah laut Selatan, air dari zaman tua,
tatarupa sebuah hari muda yang baru ada.

Kelopak hari yang tunai terkumpul di mulutmu,
lalu meninggi ke cahaya atau ke bulan itu,
dan kemarin datang menderap, tapak kelam-mengelabu
maka kita bisa mengingat wajahmu yang telah maut itu.

Hari ini, kemarin, dan esok hari melintas lalu,
habis tertelan, tersantap sehari seperti panggang anaksapi,
lembu kita pun menanti dengan hari telah ditera angka,

tapi di hatimu waktu menebarkan serbuk sarinya,
cintaku membangun tungku bakar dari tanah liat Temuco:
karena engkaulah roti harian bagi jiwaku

Versi Bahasa Inggris:

Today is today, whith the weight of all past time,
with the wings of all that will be tomorrow,
today is the South of the sea, water's old age
the composition of a new day.

The petals of a finished day collected on your mouth,
lifted to the light or the moon,
and yesterday comes trotting down its darkening path
so we can remember that face of yours that died.

Today, yesterday, and tomorrow pass,
swallowed up, consumed in one day like a burning calf;
our cattle wait with their day numbered,

but in your heart time sprinkled its flour,
my love built an oven of Temuco clay:
you are my soul's daily bread.

Versi asli dalam Bahasa Spanyol:

Hoy es hoy con el peso de todo el tiempo ido,
con las alas de todo lo que será mañana,
hoy es el Sur del mar, la vieja edad del agua
y la composición de un nuevo día.

A tu boca elevada a la luz o a la luna
se agregaron los pétalos de un día consumido,
y ayer viene trotando por su calle sombría
para que recordemos su rostro que se ha muerto.

Hoy, ayer y mañana se comen caminando,
consumimos un día como una vaca ardiente,
nuestro ganado espera con sus días contados,

pero en tu corazón el tiempo echó su harina,
mi amor construyó un horno con barro de Temuco:
tú eres el pan de cada día para mi alma.


Thursday, March 8, 2007

[Proyek 100 Soneta Neruda # 003] Soneta ke-21

KETIKA bertugas sebagai diplomat di Batavia, Pablo Neruda pernah mengalami peristiwa yang ia kenang dengan jenaka. Dia kehabisan tinta dan meminta kepada pelayan hotel. Susah payah dia menjelaskan apa yang dia minta itu. Ketika si pelayan menyebut nama tinta, Pablo Neruda baru sadar dan tertawa ternyata "tinta" dalam Bahasa Spanyol sama juga dengan "tinta" dalam Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menyerap kata itu dari Bahasa Spanyol. Ada kata lain untuk benda yang sama yaitu "dawat" yang diserap dari Bahasa Arab. Tapi kata Arab itu kurang sering dipakai.

DI soneta ke-21 ini saya menemukan "trigo" yang setelah saya cek di kamus multibahasa Langtolang (www.langtolang.com) berarti tepung "terigu" alias tepung "gandum". Di baris yang sama versi Bahasa Inggris ada kata "wheat" yang berarti sama. Darimanakah kata "gandum" diserap? Menarik sekali untuk dilacak. Menarik juga bagaimana kata "tinta" dan "terigu" bisa masuk ke dalam kosa kata Bahasa Indonesia. Ini tugas para etimolog.

Yang juga menarik adalah pemakaian perbandingan gandum oleh Neruda untuk mempermanaikan kelembutan peluk-belai sang kekasih. Dalam bahasa Indonesia sutra atau beledru tentu lebih mengena. Buat saya ini perbandingan yang tidak nyaman dirasakan. Ah, cuma soal rasa. Saya toh tak akan menggantinya dengan kata lain? Apakah memang dalam budaya dan bahasa Spanyol gandum itu memang sebuah lambang kelembutan?



Inilah Hasil terjemahan saya:

XXI

Oh hanya jika cinta membentang wangi menyekujuriku
tak akan berlalu sesaat waktu, tanpa musim semi itu,
Apa yang kutawarkan bagi duka hanya dua tanganku,
kekasih, kini tinggalkan aku dengan cium-kecupmu.

Kedapkan cahaya bulan itu dengan aroma tubuhmu;
tutuplah saja segala pintu dengan rambutmu.
Hanya jangan kau lupa, bila aku terbangun dan menangis
itu hanya karena di mimpi tadi aku bocah hilang arah

Di dedaunan malam aku memburu tanganmu,
memburu peluk-belaimu, lembut seperti terigu,
sesambar sinar pesona bayangan dan daya.

Oh kekasih, tak ada apa-apa kecuali bayangan di sana
engkau melangkah bersamaku melintasi mimpimu
engkau mengingatkanku ketika kembali cahaya itu.


Versi Bahasa Inggris:

If only love would spread its savor through me!
--- not to go one moment more without spring!
What I sold into sorrow was only my hands,
dearest, now leave me with your kisses.

Shut out the month's light with your fragrances;
close all the door with your hair.
Only do not forget, if I wake up crying
it's only because in my dream I'm lost child

hunting through the leaves of the night for your hands,
for your caresses like the wheat,
the flashing rapture of shadow and energy.

O my dearest, nothing but shadow there
where you walk with me through your dream
you tell me when the light returns.

Versi Bahasa Spanyol:
Oh que todo el amor propaque en mi su boca,
que no sufra un momento mas sin primavera,
yo no vendi sino mis manos al dolor,
ahora, bienamada, dejame con tus besos.

Cubre la luz del mes abierto con tu aroma,
cierra las puertas con tu cabellera,
y en cuanto a mi no olvides que si despierto y lloro
es porque en suenos solo soy un nino perdido

que busca entre las hojas de la noche tus manos,
el contacto del trigo que tu me comunicas,
un rapto centelleante de sombra y energia.

Oh, bienamada, y nada mas que sombra
por donde me acompanes en tus suenos
y me digas la hora de la luz.


Sebuah Pesawat Melintas Jauh di Langit Itu

IA memanggul cangkul kayu, tegap melangkahi pematang,
di depan: ayahnya, bayang-bayang menaungi dari matahari.

Ada pesawat melintas tinggi, terbang jauh di langit pagi.
"Kalau pesawat itu jatuh ke sawah kita...." ia ingin bicara
kepada ayahnya. Tapi, ah, bayangan itu pun tak pernah
sampai di genangan sawah, di antara batang-batang padi.

Ia lalu asyik mengerat pelepah pisang jadi pesawat terbang.

Kelak tak banyak lagi sawah. Tak ada lagi bocah dan petani.
Hanya bandara. Ramai pesawat mendarat dan mengudara.

Dan potret lelaki muda sebagai porter pengangkut bagasi.

Ketika ada sebuah pesawat naas terjerembab ke sisa sawah,
si lelaki muda teringat apa yang dulu dia lempar-lemparkan:
Pesawat pelepah. Ia teringat almarhum petani, "Ayah, ayah..."

Wednesday, March 7, 2007

[Proyek 100 Soneta Neruda # 002] Soneta ke-98

 Beginilah kalau proyek dikerjakan dengan iseng-iseng saja. Halaman dibuka secara acak. Mana yang terbuka itu yang diterjemahkan. Jadi saya tak tahu kenapa hari ini saya menerjemahkan soneta ke-98 ini. Saya belum punya kamus Spanyol-Indonesia. Jadi masih mengandalkan versi bahasa Inggris terjemahan Stephen Tapscott.

Sebenarnya saya bisa mengandalkan kamus online. Masalahnya saya bekerja di rumah. Mahal sekali kalau harus berjam-jam terhubung dengan internet lewat telepon rumah. Versi asli soneta Neruda dalam bahasa Spanyol saya pakai sebagai rujukan saja. Misalnya saya bisa merujuk pemakaian tanda baca di sajak aslinya. Saya juga bisa merujuk ke rima asli sajak itu.

Jumlah kata? Susah dipertahankan. Saya cenderung boros. Ataukah bahasa Indonesia memang cenderung mengunakan lebih banyak kata untuk menyampaikan satu pengertian yang sama dalam bahasa Spanyol? Saya tidak tahu. Ataukah ini keterbasan kemampuan saya saja? Mungkin. Tapi, bukankah dalam versi Inggris, sajak ini juga sudah berkhianat dengan jumlah kata yang juga lebih banyak?

Sebagai perbandingan saja: versi Spanyol sajak ini terdiri atas 96 kata. Versi Inggris oleh Stephen Tapscott 111 kata, dan versi saya 115 kata. Menarik juga kalau saya bisa mempertahankan sajak ini dengan 96 kata dengan tetap mempertahankan pesan yang ingin disampaikan, ya? Tapi apakah jumlah kata itu penting dipertahankan dalam tata tertib penerjemahan? Ah, saya tak tahu, tapi nanti saya akan coba. Saya akan mengurasi 19 kelebihan kata itu. Wah, 19 kata? Banyak sekali, ya? Sementara itu, silakan menikmat sajak berikut ini dan bandingkan dengan versi asli dan versi Inggrisnya. Bila ada saran atau bila ada alternatif penerjamahan yang lebih baik beri tahu saya.


XCVIII

Dan kata ini, dan kertas ini dengan seribu tangan
dari satu tangan yang menuliskan, ia tak diam bertahan
di dalam engkau, apakah ada guna lagi berangan-angan,
jatuhkan saja ke bumi: di sana ada, ia meneruskan.

Tak usah peduli pada cahaya atau pada kata memuja
yang bertumpah melimpah di lingkar bibir gelas piala,
bila di anggur itu ia berkilau bergemerlap bersengaja
bila mulutmu tetap ungu seperti amarantus berbunga.

Kata ini, tak lagi ingin sukukata yang diucap perlahan,
apa yang yang dibawa dan dibawa oleh koral, dikembalikan
dari kenanganku, buih yang mengapung tersebab adukan,

dia tak ingin apa-apa lagi kecuali namamu saja.
Dan walau cintaku yang berinduk-beranak mendiamkannya
saat ini, kelak musim semi akan melafalkannya.



Versi bahasa Inggris oleh Steven Tapscott:

And this word, this paper the thousand hands
of a single hand have written on, does not remain
inside you, it is no good for dreaming.
It falls to the earth; there it continues.

No matter that the light, or praise,
spilled over the rim of the cup,
if they were a willful shimmer in the wine,
if your mouth were stained purple as amaranth.

This word: it no longer wants the slow-spoken syllable,
what thar reef brings, and brings back,
from my memories, the churned foam:

it wants nothing but to write your name.
And even though my brooding love silences it
now, later the springtime will pronounce it.



Versi asli dalam Bahasa Spanyol:

Yesta palabra, este papel escrito
por las mil manos de una sola mano,
no queda en ti, no sorve para suenos,
cae a la tierra: alli se contiua.

No importa que la luz o la alabanza
se derramen y salgan de la copa
si fueron un tenaz temblor de vino,
si se tino tu boca de amaranto.

No quiere mas la silaba tardia,
lo que trae retrae el arrecife
de mis recuerdos, la irritada espuma,

no quiere mas sino escribir tu nombre.
Y aunque lo calle mi sombrio amor
mas tarde lo dira la primavera.



Tuesday, March 6, 2007

[Proyek 100 Soneta Neruda # 000] Sudah 18 Soneta

Proyek penerjemahan 100 Soneta Cinta Neruda saya mulai lagi. Saya membongkar lagi arsip sajak-sajak Neruda. Saya dulu berburu soneta Neruda dengan bantuan mesin pencari di internet. Ada 18 soneta yang secara acak dan asal-sempat sudah saya terjemahkan. Termasuk tiga soneta yang semula saya tidak tahu urutan ke berapa.

Ada juga satu sajak yang saya terjemahkan dua kali dengan hasil yang berbeda. Menarik juga. Bagaimana pun saya tidak bisa memilih salah satu dari kedua sajak yang sama tapi berbeda itu. Saya nanti akan menggabungkan saja keduanya. Daftar soneta yang sudah saya terjemahkan adalah sebagai berikut:

Pagi / Morning / Manana
II. Kekasih, berapa jauh tempuh agar kudapat sekecupan
VII. Datanglah ke dalamku, kataku, tak ada ang tahu
IX. Di bebatu takbisu, datang ombak berhempasan
XI. Aku menggilai mulutmu, suaramu, rambutmu.
XVII. Aku tak mencintaimu bila kau mawar, topazia
XXIV. Amor, Amor, di menara langit bertebaran awan
XXV. Dulu, sebelum aku mencintamu, aku bukan apa-apa:
XXVII. Telanjang, engkau bak seulur tanganmu, sederhana;
XXX. Dari gugus pulau, serat pinus rambutmu,

Siang / Afternoon / Mediodia


XLV. Kau jangan pergi, walau hanya sehari, karena ---
XLVI. Maka semua bintang-bintang yang kukagumi,
XLVII. Kuingin menoleh engkau lagi di cabang-cabang itu,
XLVIII. Dua pencinta berbahagia mengalis roti bersamaan,
XLIX. Hari rekah: semua masa lalu pergi berlalu

Petang / Evening / Tarde
LXVII. Di selatan, hujan lebat sekali mengguyur Isla Negra
LXXVI Pada malam, tambatkan hatimu bagiku,

Malam / Night / Noche
LXXXII. Kekasih, ketika malam, ketika menutup pintu.
XCV. Siapa pernah saling menghasrati seperti kita?
 

100 Soneta Cinta Pablo Neruda




 

Teman sekantor saya Sultan Yohana dengan bantuan istrinya meminjamkan buku 100 Love Sonnets Pablo Neruda untuk saya dari perpustakaan di Singapura. Sultan menikah dengan perempuan warga negara Singapura.

Saya sedang menerjemahkan lagi sajak-sajak dari buku itu. Sebelumnya saya sudah melakukan hal yang sama, dengan bahan yang saya dapat dengan berburu di internet.  Saya sudah menerjemahkan semua sajak dari buku 20 Love Poem and A Song of Despair, juga karya Pablo Neruda, dan sebagian dari A Book of Question.  

Ada yang berminat meninjau terjemahan saya atas 20 Love Poem and A Song of Despair? Kirimkan e-mail ke saya. Saya akan kirimkan soft copy-nya.

  



Monday, March 5, 2007

Anda Takut Ditapis? Atau Takut Ditepis?

* Menimbang Sastra di Surat Kabar, Blog, dan Milis

/1/
HALAMAN sastra di surat kabar umum di Indonesia adalah berkah bagi sastra Indonesia. Di Eropa dan Amerika tidak lazim surat kabar umum menerbitkan halaman sastra. Maka, terima kasih sangat layak diucapkan kepada Kompas, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Riau Pos, dan Seputar Indonesia, serta koran lain yang tiap minggu menyediakan halaman budaya, khususnya sastra. Mestinya, ada lembaga yang tiap tahun memberi penghargaan kepada surat kabar umum itu atas perhatian yang diberi kepada sastra.

/2/
Tidak semua surat kabar di Indonesia menyediakan halamannya untuk sastra. Mereka tidak perlu dikutuk. Meskipun pernah ada yang berkata, tanpa halaman budaya surat kabar pantas disebut koran barbar. Kalau tak salah itu ucapan H.B Jassin. Sastra bukan jualan utama di surat kabar umum. Surat kabar minggu bertiras lebih tinggi daripada edisi harian diyakini bukan karena ada halaman sastra, tapi lebih mungkin karena lowongan kerja. Banyak pembaca yang lebih membutuhkan pekerjaan daripada membaca puisi atau cerita pendek.

/3/
Halaman sastra yang bisa dicadangkan oleh surat kabar umum terbatas ruang dan keacapannya. Umumnya seminggu sekali dan satu halaman saja. Sementara bahan yang layak untuk mengisi halaman itu banyak sekali. Penyair terus berkarya dan sebagian dari penyair itu mengirimkan sebagian karyanya. Ketika Kompas memulai halaman "Bentara" yang tiap semula tiap bulan empat halaman telaah budaya, termasuk puisi sehalaman, diluar dugaan yang banyak diserbu adalah halaman puisi. Mungkin karena itu, Kompas lantas menjadikan halaman puisi itu tampil seminggu sekali. Tapi, tentu tidak semua kiriman yang layak dimuat bisa dimuat. Tidak mungkin pada satu terbitan sebuah surat kabar umum hanya berisi puisi atau cerpen dari halaman depan sampai halaman akhir, meskipun puisinya cukup. Karena itu perlu penapisan dan karena itu pula banyak karya yang ditepiskan.

/4/
Untuk menapis itu perlu seorang penapis. Maka, surat kabar pun menunjuk seseorang anggota redaksi, atau redaktur tamu yang dianggap mampu dan bisa dipercaya untuk melakukan pekerjaan itu. Si redaktur yang diberi tugas menapis itu tentu saja dianggap mampu dan dipercaya oleh si pemilik surat kabar. Kompas pernah meminta Sutardji Calzoum Bachri sebagai editor tamu khusus untuk menapis puisi. Pekerjaan itu diakui oleh Sutardji sebagai pekerjaan yang merisaukan, sebab lebih banyak karya yang harus ditepis, sesuai dengan keterbatasan halaman. Saya percaya seorang editor adalah orang yang risau, punya kelemahan dan penuh keterbatasan. Dia bukan orang yang bekerja congkak penuh kesombongan, seakan-akan tiap kali berkata, "aku yang menentukan apa yang pantas dibaca oleh pembaca koranku". Redaktur "mengadili" karya-karya yang ia terima, tetapi ia juga "diadili" oleh pembaca atas pilihannya itu.

/5/
Redaktur sastra memang diberi imbalan untuk memilih karya untuk diterbitkan. Dia digaji oleh surat kabar. Surat kabar mendapat keuntungan terutama dari iklan dan sebagian kecil dari penjualan surat kabarnya. Umumnya surat kabar tidak mengambil keuntungan dari penjualan koran. Biaya produksi surat kabar ditalangi dari biaya iklan. Sebagian dari keuntungan itu dipakai membayar redaktur, termasuk redaktur sastra. Redaktur sastra tidak dibayar oleh penulis karya sastra. Meskipun si pekarya itu tiap minggu ada juga yang rajin membeli surat kabar. Pekarya sastra yang karyanya dimuat juga diberi imbalan oleh surat kabar. Jumlah dan cara pembayarannya macam-macam. Ada yang dikirim langsung ke rekening dengan jumlah yang amat pantas, ada yang membuat si pekarya malas datang ke kantor redaksi karena terlalu kecil.

/6/
Seorang pekarya sudah sepantasnya berlaku sebagai penapis awal dan paling kejam atas karyanya sendiri. Hal itu sudah dicontohkan oleh Sutardji, Afrizal Malna, Sutardji, Joko Pinurbo dan Chairl Anwar. Sutardji dan Afrizal kita tahu memusnahkan karya-karya awalnya. Joko Pinurbo dan Sapardi juga belum atau tidak akan pernah menyiarkan karya-karya awalnya. Chairil? Dia bahkan menganggap sebagian karyanya belum mencapai tarap puisi, dan dia terus menggali, menapis serapat-rapatnya hingga dihasilkan sajak yang benar-benar bermutu.

/7/
Siapakah penikmat karya sastra? Siapakah penikmat puisi dan cerita pendek Indonesia di surat kabar minggu itu? Budi Darma di awal tahun 1980-an menyebutkan publik sastra Indonesia sebenarnya adalah ya pekerja sastra itu sendiri. Jadi, orangnya ya itu-itu juga. Budi Darma menyebutkan para pembaca karya sastra yang juga pekarya sastra itu adalah para pembaca sepintas lalu. Mereka membaca dengan pamrih. Mereka ingin melihat bagaimana caranya agar karyanya dimuat. Mereka ingin jadi sastrawan juga. Perlu dilakukan penyigian untuk membantah atau menguatkan pendapat Budi Darma itu kini.

/8/
Jadi, apakah para redaktur sastra itu memilihkan karya sastra seperti apa yang dibaca untuk dibaca oleh para pembaca sepintas lalu itu? Tidak. Dia juga memilih karya yang sekiranya akan disukai oleh sebagian besar pembaca surat-kabarnya. Dia juga kadang tergoda untuk menampilkan karya-karya teman dekatnya, atau teman-teman kelompok diskusinya. Saya pernah menduga suatu ketika para redaktur surat kabar seakan "berlomba" ingin "menemukan" penulis yang baru, yang perempuan, dan yang belia. Saya pernah melihat ada kecenderungan para redaktur-redaktur "memanjakan" para penulis yang karena keyakinan politiknya sekian lama tersingkir ke luar negeri.

/9/
Jadi, redaktur sastra juga manusia. Dia bisa salah memilih, dia juga bisa punya naluri yang bagus mengendus karya sastra bermutu. Itulah yang diharapkan, dan itulah yang menyehatkan kehidupan sastra di Indonesia. Redaktur sastra boleh dan memang harus subyektif. Dia harus punya rasa seni yang peka. Seni sastra memang punya tolok ukur. Kadar kebagusan karya bisa dikaji, tapi bukankah ia tidak bisa tepat diangkakan, diberi ponten? Ini estetika, bukan statistika.
/10/
Saya kira, surat kabar umum dengan redaktur sastranya bukanlah sumber masalah bagi sastra Indonesia. Keduanya adalah berkah. Majalah khusus sastra harusnya lebih banyak terbit di Indonesia, kata Taufiq Ismail, penyair yang kini mengelola majalah sastra Horison. Padahal dengan hitungan bisnis sederhana sekalipun, majalah sastra tidak menjanjikan kecerahan laba. "Pemerintah harus peduli dan memberi subsidi pada majalah sastra," kata kita. Sejak kapankah kalimat seperti itu sudah diteriakkan? Apakah teriakan itu dipedulikan? Jangan cengeng. Negeri ini punya sejumlah masalah besar dan terus membesar yang - menurut mereka, orang-orang yang sedang berkuasa - jauh lebih penting ditomboki daripada membiayai sastra yang orang-orangnya sibuk dengan kehebatan diri sendiri berdebat sesama mereka saja.

/11/
Surat kabar dan majalah sastra bukan satu-satunya penentu kesemarakan kehidupan kesusasteraan. Sekarang internet sudah menjadi bagian kehidupan sebagian dari orang Indonesia. Sastrawan pun bisa memanfaatkan teknologi ini. Ada yang melihat internet sebagai jalan keluar dari ketatnya penapisan karya sastra di surat kabar dan majalah sastra. Ada yang mengatakan selamat tinggal pada surat kabar setelah internet datang. Nyatanya, internet sejauh ini tidak membunuh media cetak. Ada alasan keduanya hidup saling melengkapi dan saling menyempurnakan.

/12/
Benar bawah internet memungkinkan pekarya langsung bisa berhubungan dengan penikmat karya tanpa perantara redaktur. Saya punya weblog. Saya ikuti beberapa komunitas diskusi berbasis surat-e (mailing list/milis). Pembaca yang tahu alamat blog itu bisa langsung membaca karya saya, yang sudah saya seleksi dan saya tampilkan di blog saya itu. Anggota milis bisa membaca karya yang saya kirimkan. Karya yang tidak lolos penapisan saya sendiri dan saya putuskan untuk tidak tersimpan di komputer saya saja tidak akan sampai ke pembaca. Ini tidak atau susah bisa terjadi di koran. Tapi siapakah pembaca karya saya itu? Ada satu dua orang yang saya kenal. Ada satu dua orang yang berkomentar, memuji dan sebagian ada juga yang menguji. Sebagian besar cuma berbasa-basi, sebagian lagi makiannya tidak saya mengerti.

/13/
Berapa banyak orang mengunjungi blog saya? Saya bisa tahu dengan memasang peranti lunak pencatat. Apa yang membuat orang berkunjung ke blog saya? Tentu mutu karya dan kekerapan saya memajang karya baru di blog saya. Saya terdorong untuk terus menerus berkarya, ketika melihat tiap hari angka kunjungan di blog saya bertambah. Tapi itu bukan satu-satunya dorongan. Saya bisa tahu berapa jumlah anggota milis yang saya ikuti. Saya bisa bayangkan beberapa di antara anggota itu rajin membaca karya saya, sebagian tidak peduli, sebagian lagi tidak suka. Apa bedanya itu dengan surat kabar? Misalnya karya saya suatu saat dimuat, saya tidak mungkin berharap semua pembeli surat kabar itu membaca karya saya. Apa yang membuat karya saya di surat kabar itu dibaca orang? Tentu karena kualitasnya.

/14/
Pujian, komentar, ujian, cercaan dari pembaca karya saya di blog dan milis ada yang saya abaikan, ada yang saya perhatikan, ada yang saya pertimbangkan benar-benar. Semuanya pada akhirnya sadar atau tidak mengemudikan saya untuk terus menulis dan membenahi kualitas karya saya. Hal yang sama terjadi ketika sebuah surat kabar memuat, tidak memuat atau belum memuat karya saya, meskipun saban minggu saya terus-menerus mengirimkan karya saya. Jadi internetkah, atau surat kabarkah, dengan redaktur penapis atau saya tapis sendirikah, pada akhirnya sama saja. Media cuma sarana, dan itu bermanfaat buat saya bila pada akhirnya saya terdorong untuk menulis lebih baik, lebih baik dan lebih baik lagi. Berkaryalah, siarkan di internet, atau kirim ke surat kabar, tanpa takut ditapis, tanpa takut ditepis.

/15/
Saya sependapat bahwa media internet punya beberapa keunggulan yang juga bisa dianggap sebagai berkah bagi sastra. Di internet saya bisa meringkas waktu pertemuan. Saya bisa bergabung dengan sebuah komunitas, berdiskusi, saling maki, saling puji, atau sekadar melontarkan basa-basi tanpa harus dan mungkin tidak akan pernah bertemu langsung wajah per wajah, sesuatu yang semakin susah saya lakukan di dunia nyata. Pertemuan-pertemuan seperti itu penting. Gerakan Imajis di Inggris dihasilkan dari pertemuan rutin berkala sejumlah penulis di London. Saya bayangkan, pertemuan yang disaranai dengan internet berfaedah bila ia juga dapat menggairahkan diskusi, dan anggotanya terdorong terus-menerus untuk menghasilkan karya lebih banyak dan lebih bermutu. Atau bahkan kelak juga sebuah gerakan estetis?

/16/
Sastra di blog juga menghadapi proses penapisan. Pengklik blog adalah para pembaca bebas. Mereka juga umumnya tukang blog juga. Blog-blog bersaing. Blog puisi bersaing dengan blog puisi lain dan blog lain yang bukan puisi. Blog, sebuah sarana yang dimungkinkan oleh internet, akhirnya juga hanya sebuah media yang berbeda dengan surat kabar. Ia punya kelebihan dan punya kelemahan, dan tidak serta merta bisa dikatakan blog telah menyelesaikan semua masalah sastra di surat kabar. Internet memungkinkan siapa saja bisa mengakses blog, dan itu juga masalahnya, sebab tidak semua orang punya akses ke internet. Internet dengan blog yang lahir daripadanya menawarkan pilihan, memperkaya, dan pasti juga menawarkan kemungkinan estetika untuk dimanfaatkan, digali yang kelak karakternya berbeda dengan surat kabar. Semua tergantung pada pekarya, pada kreativitas dan daya cipta. Surat kabar dan internet hanyalah alat, hanyalah tempat, hanyalah media.

Catatan:
1. Penulis adalah Pemimpin Redaksi PUISINET (www.puisi.net). Karya puisi di situs web yang diongkosi uang dari kantong pribadi TS Pinang (www.titiknol.com) itu ditapis dulu sebelum dimuat.

2. Tulisan ini saya posting di beberapa milis, saya muat di weblog saya SEJUTA PUISI (www.sejuta-puisi.blogspot.com), dan saya kirim ke surat kabar dan tentu harus ditapis oleh redaktur surat kabar itu sebelum dimuat atau tidak dimuat dan kemudian dikembalikan.