Sunday, September 30, 2007

TUK Kenal, Maka TUK Sayang (7)

"Anda orang TUK, ya?"

Begitulah, seorang kawan bertanya pada saya. Tentu saja saya bilang, "tidak". Sesungguhnya itu jawaban yang asal-asalan. Karena saya sesungguhnya tidak mengerti apa maksud sebenarnya dari pertanyaan itu.
"Orang TUK?"

Maksudnya, mungkin, 'orang TUK' itu adalah sastrawan yang terdaftar sebagai anggota Komunitas Utan Kayu. Saya tidak tahu, apakah TUK membuka semacam pendaftaran untuk sastrawan, dan mereka yang mendaftar lantas resmi menjadi orang TUK. Atau maksudnya, adalah orang yang seiman dan setuju dengan estetika TUK? Saya tidak tahu persis seperti apakah estetika TUK.

Saya membaca "Saman" dan "Larung" dua novel karya Ayu Utami, dan saya menyukainya - maksud saya menyukai dua novelnya itu, dan menunggu novel "Monolog (Atau Dialog?) Dua Agnes" yang kabarnya tengah ia persiapkan - tanpa peduli apakah dia seorang pendiri TUK atau bukan. Saya mengoleksi buku-buku puisi Goenawan Mohamad, menyukainya, belajar dari jurus-jurus puisinya, lama sebelum dia membangun komunitas TUK. Saya menyukai sajak-sajak Sitok Srengenge dan baru belakangan tahu kalau dia adalah direktur festival sastra dua tahunan yang digelar TUK. Saya membaca kritik-kritik Nirwan Dewanto dan saya kira dia mewakili dirinya sendiri, bukan komunitasnya.

"Orang TUK?"

Bagaimana mungkin. Sampai tahun 2007 ini saya tetap tinggal dan menulis puisi, juga menulis tulisan ini di Batam. Saya tidak berniat pindah. Belum. Apakah TUK buka cabang di daerah-daerah?

Setahu saya, Jawa Pos menjadi donatur TUK. Sepertinya TUK juga dapat bantuan donasi dari lembaga luar negeri. Sama saja dengan majalah Horison yang bertahan berkat bantuan dana dari lembaga luar negeri. Setahu saya, Goenawan Mohamad memang sejak awal ada saham di Jawa Pos. Setahu saya, ketika TUK membuka kompleks teater baru yang bernama Komunitas Salihara, Jawa Pos juga yang menyumbang dananya. Saya sejak SMA - kurangi waktu kuliah - dan kembali lagi pada tahun 1997, menjadi karyawan di beberapa surat kabar milik Jawa Pos Grup. Kalau mau dihubung-hubungkan, ya itulah hubungan saya dengan TUK. Mengada-ada ya? Bikin malu saja....

Puisi saya tak pernah dimuat di Kalam. Tapi, ada dua kali dimuat Koran Tempo yang redakturnya Nirwan Dewanto itu. Sembilan kali di Kompas, ketika redakturnya Hasif Amini yang menggantikan Sutardi Calzoum Bachri, dan kita tahu Hasif adalah orang TUK. Saya tidak pernah tampil di TUK. Saya tak pernah diundang ke festival dua tahunan TUK. Saya pernah tampil di TIM ketika Ketua Komite Sastranya masih dijabat oleh Agus R Sarjono, artinya, sebelum TIM sekarang dituduh "dikuasai" oleh TUK, dan diolok-olok telah menjadi cabang TUK. Saya pernah tampil di Festival Kesenian Yogyakarta, atas undangan divisi sastranya yang diketuai oleh Saut Situmorang, sastrawan yang paling keras mengkritik TUK saat ini. Kami - saya dan Saut - pernah sama-sama mengelola situs Cybersastra. Tentu saja dia saat itu sudah punya nama, sekembalinya dari luar negeri, sementara saya bukan siapa-siapa. Semuanya biasa saja. Semuanya bisa terjadi pada siapa saja. Lantas apakah saya orang TUK? Atau bukan orang TUK? Apa perlunya pertanyaan itu?

Tapi, jangan-jangan pertanyaan itu sekarang diajukan ke siapa saja, maksud saya diajukan kepada para sastrawan Indonesia. Anda orang TUK? Jika itu pertanyaannya apakah ada pilihan lain? Orang TUK atau bukan orang TUK. Siapakah orang TUK? Siapakah orang yang bukan TUK?

Ah, sebenarnya semula saya tidak peduli dengan pertanyaan itu. Tapi, lama-lama kok pertanyaannya jadi merisaukan ya? (bersambung)

Monolog Kavi Matasukma

: Shania Saphana


SHANIA, tahukah kau sejarah nama-nama kita? Kau percayakah?
       Ketika kupanggil engkau, aku seakan sedang berdoa?

Ayahku penyair, ibuku perempuan cantik penyulam yang mahir.
       Ayahku mengharap bayi semanis puisi, ketika benihnya tumbuh
       di rahim si penyulam. Ia persiapkan nama: anagram
       dari sebuah yang silam, sebuah yang rahasia.

Ternyata, yang lahir adalah aku, bayi lelaki yang menangis
       seperti melaung syair: Gitanjali, senandung puji.

Ayahku teringat Tagore. Lalu ia beri aku nama depan: Kavi.

Ah, dasar penyair, kemudian ia gabungkan dua kata, abstrak
       dan nyata, mata dan sukma. Maka, namaku Kavi Matasukma.

Dan, Shania, anagram rahasia yang ia persiapkan diberikan
       pada sahabatnya. Sebab, ibuku tak pernah melihat aku,
       karena luka rahimnya, mengeringkan darah di tubuhnya,
       lantas merenggut nyawanya. Satu-satunya nyawa.

Sejak itu, ayahku tak pernah lagi menulis puisi. Aku diasuh oleh
seorang lelaki yang amat pendiam. Pada nasib ia dendam.

Sampai aku membawamu bertemu dengannya. Sebuah pertemuan
       yang mendedahkan sejarah nama-nama. Namamu, namaku, Shania.


***

SURGA, adakah bahasa di sana? Mungkin memang tak ada
Hanya isyarat, tak ada batas antara surat & sirat,
       hati bukan tempat persembunyian segala gerak niat
Adam dan Hawa, siapa yang memberi nama? Siapa yang ingin
       saling memanggil? Dari siapa nama itu berbeda?
Nama, mungkin Tuhan pun sedang menyimpan rahasianya di sana
Ia sebut lelaki itu Adam, dan perempuan itu Hawa, dua benih kata
Agar dari keduanya lahir sebuah bahasa.

SURGA, kenapa iblis lebih fasih mengajarkan bahasanya?
Adam yang pendiam, terbujuk jua oleh kata-kata baru Hawa
Punya bahasa, ternyata menghadirkan banyak kemungkinan bahaya
Hari itu senja, Adam baru tahu nama buah itu dari Hawanya.
Adam mendengar kata manis dan gurih dari Hawanya
Nama kamu berdua abadi di surga ini, bila kamu mencicipnya
Adam dan Hawa tergoda, di dunia mereka lupa semua kata.


Shania Saphana!
Sebuah akrostik yang mempesona. Lagi bermakna.
Aha. Ayahku menjadi penyair lagi rupanya. Seperti penyair
dari Tasikmalaya. Bukan karena bisik iblis,
tentunya. Tapi karena bertemu denganmu, Shania.

"Bagaimana kamu menemukannya, Kavi Matasukma?" Ayahku
       bertanya, seperti melihat pertemuan ajaib. Aku
       mengerti, ketika itu dia berhadapan seorang gadis cantik
       seperti diramalkan oleh nama yang dulu diciptakannya.

Begitulah, aku tidak meminta, kenapa ia tidak susun saja
       huruf-huruf namaku menjadi aksara awal bait-bait sajaknya.
Karena aku telah puisi sejak semula. Aha!

***

SHANIA, tahulah kau sejarah nama-nama kita. Kau percayakah?
       Ketika kupanggil engkau, aku seakan sedang menyusun
       jawaban untuk sejuta tanya, dari sebuah Rahasia.

Kau bertanya, "karena sejarah itukah, kau menjadi penyair?"
       dan kau tertawa.

Tidak, Shania. Aku menjadi penyair karena ibuku penyulam mahir.
       Dengan benang sehelai, ia pindahkan yang khayal ke
       yang wujud dalam selembar cindai.

Aku kira ibuku tidak pernah benar-benar meninggalkan dunia.
       Ia moksa, lalu bereinkarnasi jadi aku. Atau semungkinnya aku
       mewarisi semua khayalnya. Sedang aku kini punya kata-kata.
       Adakah alasan untuk menyia-nyiakan kau yang terus-menerus
       menggoda untuk aku sajakkan, Shania?

Lagi pula, Shania, aku tidak pernah ingin jadi apa-apa. Kecuali
       satu imajinasi, ketika aku pertama bertemu engkau. Aku ingin
       jadi pemarip, pegawai istana yang bekerja lepas senja
       menyanyikan cerita agar lekas terlelap puteri raja.
       Sebab kukira, kau adalah puteri dari entah istana mana,
       yang menyamar jadi siswi SMA, tanpa pengawal bersenjata.

"Ah, kau telah dikutuk Poerwadarminta. Berapa halaman sudah kau
       hafal di luar kepala?" katamu, "Saya kira nanti di kala
       tua, kacamatamu setebal Kamus Umum Bahasa Indonesia."

Friday, September 28, 2007

TUK Kenal, Maka TUK Sayang (6)



Wowok Hesi Prabowo (Foto oleh Gendhotwukir)

Empat Tuduhan Wowok
INI petikan esei Wowok Hesti Prabowo yang ia bentangkan dalam diskusi dalam rangka Festival Kesenian Yogyakarta XIX di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, 24 Agustus 2007. Eseinya berjudul "Mari Melawan Monster Kebudayaan", ada termuat dalam buku "Tongue in Your Ear, Antologi Puisi dan Esei FKY XIX-2007)  (FKYPressplus, Yogyakarta, 2007).

Wowok memulai makalahnya dengan menyebut bahwa Goenawan Mohamad (GM) adalah sosok yang selama ini tampik dengan pencitraan positif "yang sengaja dia bangun". Tetapi, kata Wowok, belakangan terkuak, citra positif GM yang diperkuat oleh KUK-nya itu ,   
hanyalah "kedok untuk mengelabui rakyat". Wah!
"Terbongkarlah kini GM dan konco-konconya itu hanyalah para pecundang, penipu rakyat, antidemokrasi, haus kekuasaan, arogan, dan pemaksa keseragaman."

Gus tf yang tampil semeja sebagai pembicara mempertanyakan pilihan-pilhan kata Wowok. "Kita ini sastrawan, kok memakai kata-kata kasar seperti itu?" kata Gus tf.

Saut Situmorang yang menjadi moderator diskusi, justru memaklumi bahasa Wowok. Peserta diskusi mempertanyakan kenetralan Saut. Saya baca di kotak redaksi, Saut dan Wowok bersama Viddy AD Daery bersama-sama mengelola jurnal Boemipoetera.

Wowok juga menulis, bahwa TUK adalah tempat umbar kelamin. "Kabar miring tentang kebebasan seks di TUK bukan kabar baru," kata Wowok.

Wowok menyebut kubu mereka sebagai "pejuang sastra", dan mereka menyatakan perang terhadap "gerombolan GM". Oh ya, ada tambahan sebutan Agen Imperialis untuk GM. Wah!

Dan inilah empat dosa penyebab KUK harus "diperangi".
1. Iklan dukungan kenaikan BBM dari "GM dan cecunguk-cecunguknya" dari Freedom Institute yang melukai hati rakyat.

2. GM dan TUK disokong dana asing dengan penuh sadar membangun pintu gerbang bagi penjajahan di bidang budaya, terutama melalui kesusasteraan.

3. Salah seorang "cecunguk TUK" bernama Sitok Srengenge, dengan arogan mengklaim, bahwa siapa pun sastrawan Indonesia yang belum diundang atau belum pentas di TUK bukanlah sastrawan nasional!

4. Ketika pasokan dana asing yang mengalir mulai berkurang, TUK pun mencaplok DKJ.

Dahysat bukan? Esei Wowok ditutup dengan ajakan begini: Jadi harus menunggu apa lagi sementara bahaya laten itu telah menjelma menjadi monster? Perang sastra telah dimulai dan saatnya kita mengabdi bagi bumi pertiwi.

Jika betul akan ada perang itu, saya sendiri tidak akan ikut-ikutan. Saya tidak akan memihak kubu manapun. Saya malah tidak percaya ada kubu-kubu itu. Saya hanya ingin mengabdi bagi bumi pertiwi, untuk itu tidak harus perang kan? :-) (bersambung)

 

Bersebati dengan Bumi, Berserah pada Sejarah



* Telaah Kepenyairan Acep Zamzam Noor

DIA sudah menulis puisi sejak SMP, tahun 1976. Ketika SMA, tahun 1979, sajaknya dimuat di majalah Puteri Indonesia. Ia masih menulis puisi hingga ini, dan kita bisa membaca sajak-sajaknya di surat kabar. Ia masih berkarya. Ia termasuk penyair penting Indonesia saat ini. Sesungguhnya tidak mengherankan mengapa penyair kelahiran Tasikmalaya, 28 Februari 1960 itu masih tetap menulis puisi. Sebab ia pernah menulis bahwa dia dan puisi cukup mesra, dekat dan sangat bersahabat. Dia pernah bilang, bahwa dia dan puisi seperti sepasang suami-istri. "Kami saling tolong, dalam suka dan duka."


    


Sesungguhnya, ya, memang tidak mengherankan kenapa dia masih menulis puisi. Dia telah sampai pada kesadaran bahwa puisi tidak hanya minta untuk selalu dituliskan, tetapi juga untuk dilakukan. "Untuk jadi perbuatan sehari-hari," katanya.

Sajak seperti apakah yang dihasilkan oleh penyair yang sudah sampai pada kesadaran seperti itu? Dia sendiri tak begitu peduli. Dia tidak terlalu mempersoalkan apakah dalam kurun waktu kepenyairan dua puluh tahun lebih dia telah mencapai sesuatu dari tinjauan artistik, tema atau apapun.

"Saya juga tidak terlalu peduli apakah dalam kurun dua puluhan tahun kepenyairan, saya ini sudah menyumbangkan sesuatu yang berarti pada kesusasteraan Indonesia atau belu. Semua bukan urusan saya, tetapi persoalan sejarah," katanya dalam pengantar buku "Jalan Menuju Rumahmu.

Kenapa dia menulis puisi? "Sejak awal, saya menulis puisi karena kebutuhan untuk berekspresi, kebutuhan untuk menyatakan diri... Meskipun begitu tanpa terasa puisi telah menjadi jalan hidup saya, telah menjadi napas saya..."

***

Ia telah menyerahkan penilaian kepenyairannya kepada sejarah, kepada perjalanan sajak-sajaknya. Itulah sebabnya mungkin, kenapa pada buku terbarunya "Menjadi Penyair Lagi" dia sengaja menyandingkan sajak-sajak awalnya, dari yang bertahun 1978 hingga sajak terbaru yang bertahun 2006. Sajak-sajak dalam rentang waktu 28 tahun!

Saya masih menyimpan sajak-sajak SMP saya. Tetapi saya tidak pernah membayangkan kelak akan menyandingkan sajak-sajak saya itu dengan sajak saya tahun-tahun ini. Lebih tegas lagi: tidak akan pernah saya lakukan itu! Ada kesenjangan yang jauh sekali. Sapardi Djoko Damono saja ketika saya tanya tentang sajak-sajak masa SMA-nya, dia menjawab, "ah lupakan saja. Tidak penting". Tetapi Acep Zamzam Noor, penyair yang kita bincangkan ini, melakukannya. Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari sikap itu?

Mari kita baca dulu sajak sulungnya dari buku "Menjadi Penyair Lagi"
Prelude

Ini sajak manis untukmu
Semanis sirup
Minumlah barang seteguk

Sajak adalah harapan
Sajak adalah hidupku akan datang
Sajak adalah danau tenang
Tanpa sampan tanpa gelombang

Sajak adalah kenangan
Sajak adalah jejak pengembaraan
Sajak adalah bukit hijau
Dengan sungai berbatu di lerengnya

Ini sajak manis untukmu
Semanis rindu
Teguklah bersama waktu

1978.

Saya kira, Acep muda, Acep yang masih duduk di bangku SMP atau SMA kala menulis sajak ini, sadar atau tidak, telah menulis semacam kredo sajak-sajaknya. Ia memberi judul "Prelude". Judul yang cerdik, tepat dan baik. Sajak ini, memang boleh dianggap sebagai pendahuluan dari semua sajak-sajaknya. Ia memang nyaris selalu menyuguhkan sajak-sajak yang manis. Sajak yang menyajikan apa yang ia sebutkan dalam sajak ini: harapan, masa depan, kesaksian atau keterpukauan pada alam, dan catatan pengembaraan.

Dan kita, para pembaca ini, tidak dipaksa untuk meminum sajak-sajaknya sebanyak-banyaknya. Dia bukan Rendra yang dengan sajak-sajaknya hendak menggedor kesadaran. Dia bukan Sutardji yang hendak merombak tatanan-tatanan bahasa dan dengan sadar menciptakan puncak-puncaku pencapaian, lalu menantang orang atau penyair lain untuk melampaui puncak-puncak itu. Acep hanya menyarankan kita untuk minum barang seteguk saja. Dan sajak ini bisa juga kita baca sebagai semacam janji. Bahwa ia akan terus menerus menulis sajak.

Sejak awal, dengan kredo itu, Acep tampaknya memang tidak berniat menyiapkan sejumlah eksperimen berbahasa dalam puisi-puisinya. Menulis puisi, seperti yang ia sebutkan, benar-benar ia maknai sebagai pemenuhan atas kebutuhannya berekspresi, kebutuhan untuk menyatakan diri.

Maka, dengan sikap seperti itu, kita tidak heran bila menemui sajak-sajaknya seakan-akan tak hendak berubah gaya ucapnya. Bagi kebanyakan pembaca, ini mungkin akan mudah membosankan. Ia hanya menjaga agar bahasa sajaknya tidak bermasalah (bahasa yang bersih, katanya). Ia menyadari hanya ada perubahan "selera" dalam soal tema maupun cara pengungkapannya. "Meskipun tidak terlalu banyak," katanya. Artinya, kita tidak ia janjikan kejutan-kejutan dalam sajak-sajaknya.

Acep, saya kira, sejak sajak awalnya itu, memang tidak hendak mencari-cari gaya ucap. Dengan demikian, justru ia menemukan gaya ucapnya sendiri. Acep tidak menetapkan taraf tertentu yang harus dicapai sajak-sajaknya. Dengan begitu, justru ia sedikit demi sedikit meninggikan taraf sajaknya.

***

Ia telah menyerahkan penilaian pada sejarah, dengan kata lain, pada perjalanan waktu. Hingga ia beranak empat kini, saya kira ada bagian dari sejarah, dan waktu yang sudah ia lampaui. Saya tidak menyebut, ia kalahkan, tetapi, sejarah kepenyairan telah ia miliki, telah menjadi bagian dari perjalanannya menyair.

Sajak-sajak Acep adalah ekpresi Acep. Sajak-sajak Acep adalah pernyataan keberadaan diri Acep. Dan karena ia akrab dengan alam pedesaan, akrab dengan alam yang yang masih murni, maka ia memanfaatkan kedekatan itu sebagai bahan ekspresinya. Sajak-sajak Acep adalah perasaan, komentar batin, atau catatan atas kesaksian, keterlibatan, kerinduan, kegusaran, kekaguman dia sebagai aku penyair atas alam, peristiwa alam, dan manusia-manusia yang ia temui.

Maka nyaris di semua sajaknya, kita akan menemui seorang "aku". Ya, seorang aku yang sedang berada di hampar alam itu, seorang aku yang sedang merindukan alam atau seseorang itu, seorang aku yang bertemu dengan alam atau seseorang itu di sana. Juga seorang aku yang sedang bicara dengan engkau. Atau seorang aku yang sedang bicara tentang kita.

Dalam buku "Jalan Menuju Rumahmu", saya hanya menemukan tujuh sajak yang hadir kuat sebagai deskripsi, bukan narasi dengan kehadiran subyek "aku" di sana. Yaitu sajak "Pangalengan", "Angin dan Batu", "Tak Terbendung", "Para Kekasih" , "Menanti Kelahiran", "Cemara Laut", dan "Toraja". Buku yang memuat 100 puisi pilihan dia sendiri itu penting untuk melihat kecenderungan persajakan Acep. Buku yang terbit tahun 2004 itu berisi sajak-sajak yang ia pilih dengan pertimbangan, salah satunya adalah, dia menyukai sajak itu. Artinya sajak yang tidak dia sukai dia singkirkan.

Statistika ini mungkin tidak penting. Tetapi cukup untuk membuktikan bahwa Acep memang penyair yang selalu tergerak untuk terlibat, ikut, hadir, berada di dalam itu. Dia tidak tahan diam saja menjadi penyaksi di luar peristiwa alam yang ia temui. Tetapi, harus diingat, bahwa keterlibatannya pada alam itu adalah sebuah keterlibatan yang tidak merusak. Ia berada di sana, tanpa merusak keselarasan. Ia seperti secara naluriah dan alamiah tergerak begitu saja untuk menjadi bagian dari alam atau peristiwa alam itu.

Di tahun 1989, sebelas tahun setelah "Prelude", yang tadi saya anggap sebagai kredo Acep, ia menulis sajak lagi yang boleh dianggap juga sebagai revisi atas kredonya yang pertama. Ah, bukan revisi sebenarnya, ini lebih tepat disebut sebagai penguatan atau pencanggihan. Mari kita simak:
Bumi Penyair

Untuk kita bumi dihamparkan
Pohon-pohon terpancang menahan atap langit
Langit penyair yang biru
Sungai-sungai bermuara pada kita, pada kesabaran
Tak ada kemarau bagi perasaan yang tulus
Matahari hanya menghangatkan kemesraan pagi
Kemesraan kita mencumbu bumi
Bumi penyair yang lapang
Sawah-sawah seperti menyajikan puisi
Padi-padi digayuti lagu

Untuk kita keluasan dibentangkan
Sebagai rumah dan sekaligus tanah air
Kita menabur benih dan menyiram kata-kata
Kebun-kebun menghijaukan hati dan niat baik
Hujan dicurahkan dari langit
Rumput-rumput tumbuh di atas ranjang
Menghamparkan kasur empuk dan selimut tebal
Kasur persetubuhan kita dengan alam semesta
Birahi diperas menjadi ungkapan yang indah
Anak-anak lahir menjelma puisi

1989

Inilah sajak yang ditulis oleh seorang penyair berusia 29. Tidak ada perbedaan tema yang hakiki dari "Prelude", yang ditulis oleh penyair yang sama di usia 18 tahun. Emosi sajak itu tetap saja mengalir halus, tidak meledak-ledak. Tidak ada percobaan tipografi untuk mencapai keunikan. Tidak ada peranjakan diksi. Yang berubah adalah tampak kedewasaan pengucapan di sana, seraya tetap mempertahankan keremajaan. Dengan kata lain, Acep remaja adalah Acep yang tampak sudah lebih dewasa daripada remaja seusia dia, dan Acep dewasa adalah Acep yang tetap mempertahankan keriangan jiwa remajanya.

Acep kita, adalah penyair yang sadar, bahwa posisi penyair bukanlah sebuah posisi yang gagah. Mungkin posisi itu penting, tapi dia tampaknya tidak ingin kehilangan kegembiraannya ketika menyajak karena posisinya atau karena ia menyandang sebutan sebagai penyair. Sekali lagi, menulis sajak, baginya adalah ekpresi diri, dan orang lain, para pembaca tidak ia paksa untuk setuju pada sajak-sajaknya. Ia hanya menawarkan untuk mencicipi, karena ia yakin yang ia suguhkan adalah manis sirup, manis hidup. Ia bukan penyair yang menyuguhkan bir dalam sajaknya agar orang-orang kecanduan dan mabuk sajak. Ia juga tidak hendak menyuguhkan jamu yang kemudian ditawarkan ke orang-orang sebagai penyembuh berbagai penyakit manusia, sebagai petunjuk menuju jalan keluar sejumlah permasalah kehidupan.

Ia sadar bahwa "...demikianlah puisi lahir. Ketika orang-orang tidak percaya pada ucapan penyair". (sajak Menanti Kelahiran) Walaupun demikian, saya kemudian melihat ada perkembangan lain yang menyimpang agak, dari kecenderungan yang saya temukan di atas. Ia bisa marah. Ia gelisah, apabila posisi penyair yang sudah menjadi sejarah dan bagian hidupnya itu terancam.
Penyair akan mati apabila kehilangan tenaga kata-kata
Atau kata-kata saktinya berubah menjadi prosa:
Misalkan peperangan yang tak henti-hentinya
Pembajakan pesawat, banjir atau gempa bumi
Misalkan korupsi yang tak habis-habisnya di negeri ini
Kerusuhan, penjarahan, perkosaan atau semacamnya

O, aku sendirian di sini dan merasa menjadi penyair lagi.

(Menjadi Penyair Lagi, 1996).


Tapi kemarahan dalam sajak itu juga sebuah kemarahan khusus. Kemarahan yang lebih mirip kecemasan itu sendiri. Ia hanya diselipkan saja di antara keasyikannya menikmati kenangan dan rindu pada seseorang. Seseorang yang membuatnya merasa bisa menjadi penyair lagi.
Acep adalah penyair yang bersebati dengan bumi. Dan bumi penyair Acep bukan bumi yang dirusak oleh manusia dan bencana. Buminya adalah bumi yang damai, yang membentangkan kasur persetubuhan dengan alam semesta. Pada bumi yang demikian itu ia bisa "memeras" birahi (ada kesan jerih payah pada pilihan kata "peras" itu. Ia tidak memilih kata "menikmati" atau "memuaskan" atau "mengumbar"), menjadi ungkapan yang indah, dan itulah anak-anak puisi yang lahir dari percintaannya dengan bumi penyair itu. []

Catatan: Telaah ini hanya berdasarkan dua buku Acep yang saya punya, yaitu "Jalan Menuju Rumahmu" (Grasindo, Jakarta, 2004) dan "Menjadi Penyair Lagi" (Pustaka Azan, Bandung, 2007).

Baca Juga: Wawancara Acep Zamzam Noor di  situs Islam Liberal.


Thursday, September 27, 2007

TUK Kenal, Maka TUK Sayang (5)



Sitok Srengenge dan GM (Foto oleh Blontankpoer)

HINGGA tahun ini penyair Sitok Srengenge masih terbaca namanya sebagai Direktur Pelaksana Utan Kayu International Litterary Biennale Festival. Hasif Amini - kini juga redaktur puisi Kompas - menjadi wakilnya. Mereka berdua, bersama Goenawan Mohamad dan Nirwan Dewanto juga menjadi kurator festival tersebut.

Saya punya tiga buku Sitok. Banyak puja-puji untuknya dipetik di buku itu. Saya suka sajak-sajaknya. Sutardji mengakuinya sebagai penyair yang sudah menemukan cara ucap yang khas. 

Dia pernah menjadi anggota Bengkel Teater. Alumnus IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) ini lalu mendirikan komunitas Gorong-gorong Budaya yang bergerak dalam bidang sastra dan penulisan.  Sitok sering tampil pada forum-forum internasional, seperti Indische Festival (diselenggarakan oleh Rotterdam International Poetry Reading, 1995), Winternachten Festival (tiga kali,  1995, 1997, dan 2000),  Sydney International Arts Festival dan Adelaide Festival (2002), Crossing the Sea di Kepulauan Karibia (2003), International Literary Festival Suriname (2004), WordStorm Festival di Northen Teritory (2005), dan lain-lain.

Pada 2001, Sitok mengikuti International Writing Program di University of Iowa, USA, dan setahun berikutnya, ia menjadi Artist in Residence di Australia atas sponsor Asialink. Pada November-Desember 2005, ia diundang sebagai Visiting Writer di Hong Kong Baptist University, Hongkong dan di sana, Sitok memberikan workshop bagi para peserta International Creative Writing Workshop. Sejumlah penghargaan internasional yang telah diperolehnya antara lain Sih Award pada 2003, menyusul penobatan dirinya sebagai salah satu dari 20 Exepcional People in Asia pada 2000 oleh majalah Asiaweek sebagai leader for the millenium in sociaty and culture.

Konon, Sitok pernah bilang, penyair Indonesia baru disebut penyair kalau tampil di TUK. Nah, ucapan inilah, yang dijadikan bahan untuk menyerang Sitok dan TUK. Mohamad Guntur Romli, kurator diskusi di TUK, menanyakan kebenaran kabar konon itu ke Sitok.  "Saya, sudah konfirmasi ke Mas Sitok. Kabar itu bohong. Tidak benar ada pernyataan itu," katanya lewat surat-e ke saya. (bersambung)

 


 

TUK Kenal, Maka TUK Sayang (4)

Utan Kayu International Literary Biennale Festival. Itulah sebutan lengkap festival tersebut. Sesuai dengan namanya, ini adalah hajatan dua tahunan. Pertama kali digelar tahun 2001. Sejumlah penulis dan penyair dari Indonesia dan sembilan dari luar negeri tampil di Jakarta dan Yogyakarta. TUK kala itu bekerja sama dengan Winternachten Oversee, Belanda. Karya dari penulis asing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, demikian juga sebaliknya. Saat sajak dibaca sajak ditampilkan melalui layar proyektor. Satu buku kumpulan karya yang dibacakan selama festival dibagikan kepada tiap hadirin. Buku itu berisi sajak dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

Dua tahun berikutnya, TUK mengadakan acara serupa dengan partisipasi dari Winternachten dan Vienna Poetry School, Austria. Festival yang ketiga ini berlangsung di tiga yaitu kota, Denpasar, Solo, dan Jakarta.

Inilah festival yang mulai mendapat hujatan. Sebab ketika tampil di Solo, tak ada satupun penyair Solo ikut menjadi peserta.  Festival kali ini menampilkan sebagian dari karya terbaik dari Indonesia, seperti Sapardi Djoko Damono dan Putu Wijaya juga para sastrawa muda yang menurut pengamatan tim kurasi TUK menonjol. Peserta dari luar Indonesia datang dari Afrika Selatan, Belanda, Suriname, Kepulauan Antilles, Jerman, Austria, dan Malaysia.

Tahun 2005, Utan Kayu Literary Bienal digelar di Bandung. Tahun ini, 2007, Magelang dan Jakarta jadi kota pilihan penyelenggaraan festival tersebut. 26 penulis dari luar negeri dan 26 penulis dari dalam hadir.

Apakah Winternachten Oversee itu? Ini adalah lembaga kesenian yang didirikan oleh sejumlah seniman dan aktivis seni di Belanda. Setiap tahunnya menggelar acara Festival de Winternachten di Den Haag Belanda, dan di negara lainnya, yang erat dengan sejarah Belanda, khususnya negara yang pernah dijajah Belanda. Kerja sama inilah yang mungkin menjadi dasar tuduhan bahwa TUK membawa ideologi imperialis! (bersambung)

Baca:
Laporan Tempo tentang Utan Kayu Litterary Bienal Festival 2007.


Wednesday, September 26, 2007

TUK Kenal, Maka TUK Sayang (3)

Sekali lagi, Kalam adalah jurnal yang terbuka dan menantang pembacanya. Pada edisi ke-18, 2001, misalnya, ada sebuah penegasan dalam pengantar redaksinya.
....Berulang kali jurnal ini menyatakan bahwa sebagian besar, kalau perlu seluruh, halamannya siap memuat karya panjang seorang penulis - ..... Bukan main sulitnya mengail tulisan demikian ... Merangsang para penulis esai dan kritik mungkin bisa, yakni dengan jalan memberi tema tertentu yang sejalan dengan minat, disiplin dan pokok umum penelitian mereka, sebagaimana kami lakukand engan sejumlah diskusi di Teater Utan Kayu. Ternyata, itu bukan mustahil sama sekali. Kami bertukar pikiran dengan penulis manapun. Nukila, misalnya, mengirimkan karyanya ke Kalam bagian demi bagian.

Ini adalah pernyataan sikap terbuka dan sekaligus tantangan itu. Saya sangat jarang membeli Kalam. Sebagaimana saya nyaris tidak pernah lagi membeli Horison. Puisi, bagi saya, mungkin juga bagi banyak orang lain, lebih enak diikuti perkembangannya di surat kabar minggu. Di rak buku saya, hanya ada dua buku Kalam - maksud saya Kalam yang sudah terbit dalam format buku.

Dari bacaan saya atas Kalam yang tidak intens itu, saya lihat para penulis yang tampil sangat beragam asal, berbagai umur, tak ada kecenderungan untuk menampilkan kelompok X saja, atau menampilkan estetika tertentu saja. Saya pernah mengirim sejumlah sajak, dan belum pernah dimuat.(bersambung)

TUK Kenal, Maka TUK Sayang (2)


     
ADAPUN jurnal kebudayaan Kalam, ia telah terbit sebelum Komunitas Utan Kayu. Kemunculan jurnal ini menggairahkan - sekaligus sempat mencemaskan - sastra Indonesia. Saya ingat, awalnya adalah kemelut pengelolaan majalah Horison. Beberapa edisi majalah sastra itu sempat dikelola oleh tim Goenawan Mohamad. Ketika Horison kembali lagi ke pengelola lama (yang baru), tim Goenawan menerbitkan Kalam.  Edisi pertama tampil dengan  laporan utama soal post-modernisme, isu yang sedang hangat kala itu.

     Kalam versi cetak telah terbit 22 edisi. Formatnya berubah-ubah. Perubahan itu saya kira adalah bagian dari dinamika pemikiran di TUK. Semula ia berbentuk majalah. Lalu menjadi buku. Dan sejak edisi ke-22 itu, Kalam edisi ke-23 kini bertahan dalam bentuk online. Terakhir, dalam format online itu,  jurnal ini mengangkat serangkaian tulisan soal fotografi.

    Konsep keredaksian Kalam unik. Tiap terbit berubah-ubah orangnya. Tergantung kebutuhan laporan apa yang dominan hendak disajikan. Maka di halaman redaksi akan terbaca "redaksi nomor ini" lalu nama-nama yang komposisinya tak selalu sama dari edisi ke edisi.

    Kalam adalah jurnal yang terbuka bagi siapa saja. Kalam, demikian selalu diumumkan di jurnal itu, memuat karya sastra dan karya telaah dari pelbagai disiplin. Kalam sangat menghargai cara pandang baru dan gagasan segar. "Kami tidak membatasi diri dengan pokok dan aliran tertentu; kami terbuka untuk pelbagai eksperimen penciptaan dan pemikiran," demikianlah, "Kalam mengundang Anda menulis."  Jadi, sejak awal, Kalam adalah jurnal yang terbuka, tidak hanya memuat karya anggota komunitas itu.(bersambung)






TUK Kenal, Maka TUK Sayang (1)

     HAMID Basyaib dalam pengantar untuk buku "Setelah Revolusi Tak Ada Lagi" ada meringkas sejarah lahirnya Komunitas Utan Kayu, sebuah komunitas yang lekat dengan sosok Goenawan Mohamad.
     Semuanya bermula setelah majalah Tempo dibredel (21 Juni 1994). Tepatnya, setelah kemenangan gugatan Goenawan terhadap Deppen di PTUN (3 Mei 1995) dimentahkan oleh Mahkamah Agung.
     Sejak, tulis Hamid, itu ia merayap di bawah-tanah, ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (Agustus 1994)... sambil menemani rekan-rekan mudanya mengelola Jurnal Kalam... ia mengembangkan "kompleks" Teater Utan Kayu (TUK), yang menjadi pusat kegiatan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang menerbitkan majalah mediawatch Pantau dan memancarkan Radio FM H68. Di TUK... itulah para aktivis kebudayaan rutin berdiskusi, memutar film-film "non-komersial" Eropa dan Asia, dan menggelar pentas baca puisi, drama atau pergelaran musik "alternatif" dari berbagai negara.
       Komunitas Utan Kayu (KUK) sendiri kini mendefinisikan diri sebagai komunitas yang terdiri dari Teater Utan Kayu, Galeri Lontar, dan Jurnal Kebudayaan Kalam – ketiganya bergerak di lapangan kesenian. Bila diperluas lagi, KUK juga meliputi lembaga-lembaga lain – Institut Studi Arus Informasi, Kantor berita Radio 68-H, dan, kemudian, Jaringan Islam Liberal.
     Kini, sebagai mana tertulis di situsnya, lembaga-lembaga di lingkungan Komunitas Utan Kayu mengembangkan diri di bidang masing-masing, seraya tetap saling mendukung untuk memelihara semangat dan prinsip kebebasan berpikir dan berekspresi. Pada dasarnya kami percaya bahwa eksperimen dan kepiawaian di pelbagai bidang adalah tanda dari masyarakat yang demokratis, terbuka, dan maju. (bersambung)




Tuesday, September 25, 2007

Makam Tak Perlu Lagi, Makna Tak Harus Lagi

Paus Merah Jambu (Kumpulan Sajak)
Pengarang : Zen Hae
Penerbit : Akar Indonesia, Yogyakarta, Mei 2007
Tebal : 116 halaman.

"hiduplah yang sekarat, musnahlah keindahan" (bidadari yang tersesat di sebatang sungai, hal. 25)

Dunia Sajak Zen Hae
     Dunia dalam dunia sajak Zen Hae adalah dunia yang tidak nyaman. Dunia yang tidak tenteram. Dunia yang penuh ancaman. Dunia yang dikutuk. Dunia yang diorangi oleh orang-orang yang kehilangan arah. Di dunia itu, 'tak ada bintang di langit'-nya (Sajak 'di halte malam jatuh', hal 1). Di dunia itu cinta menjadi asing, sehingga orang-orangnya 'terbiasa menyimpan cinta' di batu-batu. Tak adakah harapan? Ada, cinta yang disimpan di batu itu, masih diharapkan menjelmakan gadis kecil, tetapi kepada gadis itu pun kelak diberi ciuman, disematkan melati, dan juga belati (!).
     Di dunia semacam itulah aku - sosok yang bisa mewakili bisa pula tidak mewakili sosok penyairnya - hadir. Si aku adalah orang yang sadar telah punya kemampuan untuk berbuat, melakukan sesuatu, mengambil tindakan. Dan karena itu ia ingin pergi, menjauh, ambil jarak dari dunianya semula. Tetapi ia ragu.

"bus yang penuh sesak itu akan berangkat?"

     Si aku membayangkan perjalanan yang tidak nyaman. Tempat yang dituju oleh bis itu, dengan kata lain, bila si aku ambil tindakan, bepergian, maka si aku hanya akan sampai di tempat yang sama tidak nyamannya.

"bis itu akan berhenti di terminal yang tak ada bintang."

     Bis itu berhenti di kota-kota lapar. Di sana, hujan pun jatuh sebagai tombak, yang menghunjami senja, sehingga malam jatuh dengan ubun-ubun terluka.  Mengerikan. Dan meletihkan. Itulah imaji dunia sesak yang disajikan Zen Hae di sajak pertama di bukunya kumpulan puisi pertamanya "Paus Merah Jambu". Inilah buku berisi 44 sajak yang menandai 15 tahun usia menyair seorang Zen Hae. Sajak-sajak di buku itu bertahun 1992 hingga 2006. Karena itu ini buku penting untuk mengukur, menelisik, menimbang, apa yang sudah dan belum ia capai.


Jejak Publikasi yang Hilang
     Dalam pengantar singkatnya di buku ini, Zen Hae menyebut bahwa semua sajak yang ia tampilkan sebelumnya pernah terbit di berbagai media. Ingat, semua sajak di buku ini pernah terbit di koran, majalah sastra, dan jurnal kebudayaan. Ia tidak menyebutkan sajak yang mana terbit di media mana, dan bila mana. Dan memang tidak perlu. Yang menarik adalah akhirnya di buku ini, jejak-jejak penerbitan itu toh tidak penting untuk dilacak. Rasanya, tak ada bedanya kalau sajak A terbit di media X, dan sajak B terbit di jurnal Y. Toh, catatan itu, kalau ada, rasanya tidak juga bisa membaca selera redaktur di koran X adalah begini, dan selera redaktur di koran Y adalah begitu. Sebab dunia, nada, emosi sajak Zen Hae nyaris seragam.
     Lima belas tahun, 44 sajak. Rata-rata hanya tiga sajak per tahun. Dengan angka itu, saya kira Zen Hae memang bukan penyair yang produktif. Kesimpulan ini buru-buru harus disertai pembelaan bahwa produktivitas bukanlah satu-satunya penentu mutu atau pengukur pencapaian seorang penyair. Saya curiga, sebenarnya, Zen Hae ada menulis sajak-sajak lain yang tidak dia siarkan. Saya yakin ada juga sajaknya yang ditolak oleh redaktur. Saya curiga jangan-jangan ia memang hanya ingin membukukan sajak yang 'berhasil' dimuat di media. Jangan-jangan ia memang ketat menyeleksi sajak-sajaknya, dan menganggap sajak yang berhasil adalah sajak yang berhasil tersiar di surat kabar. Karena itu, ia pun puas dengan hanya menampilkan 44 sajak dalam kerja menyair 15 tahun.
    Ikhwal miskin karya ini juga harus lekas disertai dengan permakluman lain, yaitu Zen Hae juga menulis karya sastra dalam bentuk lain, yaitu cerita pendek, dan ia juga sesekali menulis esei sastra.

Nada yang Seragam
    Telah disebutkan sebelumnya bahwa emosi, nada, dan (nyaris juga) tema, dalam sajak-sajak Zen Hae nyaris seragam. Saya kira ini bisa dianggap sebagai sebuah keberhasilan atau keteguhan mempertahankan sebuah gaya, atau malah sebaliknya ini adalah kegagalan untuk menciptakan variasi-variasi garapan.
     Dunia sajak Zen Hae adalah dunia yang tidak punya harapan. Coba lihat bagaimana dia menghadirkan 'matahari'. Bila matahari secara generik dalam banyak sajak kerap dipakai sebagai lambang harapan maka ia menghadirkan matahari yang lain: matahari yang didatangi oleh kami untuk 'menyiram kubur mereka dengan api..." (taman kanak-kanak, hal 4), 'seekor matahari yang berkecipak dalam lumpur' (malam perhelatan, hal 17), dan si aku pun hadir dalam sajak lain untuk 'melubangi matahari' (mitologi keluarga kami, hal 18), di sajak lain 'matahari akan lumer seperti minyak kelapa' (syair orang tenggelam, hal 20), lalu 'matahari yang terlempar dari samudera' yang dikejar 'sekelompok anjing' yang 'berlari sepanjang pantai' (segitiga, hal 22), dan 'matahari melesat dari mata anak-anak menyisakan ceceran api di cakrawala' (opera pukul lima sore, hal 28), 'matarahari yang rombeng' dan 'nyaris meleleh saat kugigit telingamu' (jatibaru, hal 30).
     Zen Hae, memang tidak ingin menghibur pembaca. Dia tidak sedang mendedahkan harapan-harapan. Ia memberi peringatan. Ia bersaksi atas dunia yang kacau balau. Jangan-jangan ia tanpa sadar telah dan sedang memberi firasat akan sebuah bencana yang dahsyat yang akan tak putus-putusnya datang. Jangan-jangan, itu pula sebabnya ia tidak menulis (atau tidak menerbitkan) sebutir sajak pun pada tahun 1998. Di buku ini tidak ada sajak yang bertanda tahun ketika sebuah huru-hara besar besar terjadi di negeri ini, terjadi dengan episentrum di Jakarta, kota kelahiran penyair kita ini.
     Zen Hae, sepertinya terus menerus berada dalam marah yang permanen, curiga yang berterusan. Dari sanalah mungkin ia mendapatkan energi kreatif untuk sajak-sajaknya. Agak menarik juga untuk menguji apakah dugaan ini benar. Jangan-jangan ia memang tergerak untuk menulis sajak bila telah menggumpal-gumpal kemarahan di dalam kepalanya, meledak di dadanya. Maka, bagi saya, sajak-sajaknya semua seperti diteriakkan keras-keras di telinga saya.
     Saya memilih "sebujur sajak" untuk dibicarakan secara utuh. Saya kira ini mewakili semua sajak-sajaknya. Sajak ini ditulis di tahun 2006. Rasakan nadanya nanti, nada yang tak jauh beranjak dari sajak yang kita petik sebagian di awal tulisan ini, sajak yang berasal dari periode awal kepenyairannya.
tibalah aku pada sebuah fragmen

     Penyair kita memulai sajak ini dengan bait sebaris itu. Menulis sajak, baginya sepertinya memang sebuah kesadaran tentang ketibaan pada sebuah fragmen. Pada sebuah penggalan babak kehidupan.
matahari pantat dandang
samudera selempengan besi karat
belantara ditinggalkan burung-burung
sebuah dentuman seringan igauan
seekor naga berlari
nun di bawah kakiku
menuju laut, katanya
membujuk maut

     Nah, ini suasana tipikal yang hadir nyaris pada semua sajak Zen Hae. Murung, mengancam. Ada adegan surealis (naga berlari) yang bisa ditemukan pada banyak sajaknya yang lain. Lihat, sajak ini melengkapi lagi perbendaharaan matahari yang 'unik' khas Zen Hae. Kali ini ia hadirkan matahari yang hitam, matahari yang padam (?), seperti pantat dandang. Dan samudera? Samudera adalah lempengan besi berkarat! Tidak ada yang nyaman bukan?
  
maka kuterima pagiku kali ini
requiem yang seriang aubade
shalawat yang sepedih talkin
kuhimpun segala yang tersisa untukmu:
selapis tanah
segulung air
sepukul angin
setombak api
sekarat nyawa

Ketidaknyamanan itu ia perparah lagi dengan suasana pagi yang ia terima begitu saja. Pagi yang tidak segar. Kematian dirayakan dengan riang. Pujian terasa pedih seperti pengantar kematian. Yang tersisa adalah ancaman-ancaman dari mana-mana, ancaman yang membuat nyawa sekarat.
la haula wa la quwwata
mayat dipanggul si orang buta
     Zen Hae mengutip ayat dari kitab. Ia pada sajak-sajaknya memang terlihat tak asing dengan khazanah kisah dari kitab suci. Ayat yang ia kutip pun ia arahkan untuk memperrtegas ketidakberdayaan manusia. Tiada daya. Tiada upaya. Pilihan, sepertinya hanya dua: mati menjadi mayat, atau bertahan hidup tetapi tak mampu melihat apa-apa, tidak bertujuan, alias buta!
siang waras, aduhai, malam gila
anak-anak perlahan sirna
di antara hujan dan anjing hijau
di mana bangkai mereka?
di mana kubur mereka?
di mana tuhan mereka?
     Dalam situasi itu tidak ada yang mampu mempertahankan kewarasan. Siang waras, malam gila. Dan korban terbesar adalah anak-anak. Keceriaan, kepolosan, kejujuran perlahan sirna. Di mana bangkai mereka? Lihat yang tersisa dari anak-anak dan sifat anak-anak itu hanyalah bangkai. Atau adakah kubur untuk diziarahi? Kubur tempat kenangan ketika si terkubur itu masih hidup bisa membangkitkan kenangan dan ingatan? Akhirnya keraguan pada tuhan pun terbit. Di mana tuhan? Kok dia tidak berbuat apa-apa untuk melindungi anak-anak itu?
maka kuterima pagiku kali ini
sebuah momen paling laknat untuk sajak
penaku meneteskan kata-kata duka
lembar-lembar kertas melinting
menjelma bunga-bunga kering
berziarah bersama angin
ke semesta makam

     Ya, semakin yakin saja saya. Zen Hae memang penyaksi segala kemuramah dunia. Pagi yang datang padanya, awal hari, yang mestinya adalah saat untuk bersiap menghadapi hari sehari, menghadapi hidup, justru ia terima sebagai momen paling laknat untuk sajak. Penanya meneteskan kata-kata duka. Kertas, tempat sajak itu ia tuliskan, melinting, menjelma bunga kering, lantas bunga kering itu terhembus angin, berhamburan, terbang, berziarah atau tertabur ke dunia yang mati yang tak berharapan lagi itu, dunia telah menjadi semesta makam! Ah, seram!

tibalah aku pada sebuah fragmen
sebujur sajak di depan segerombol mayat
kata-kata beku-dingin, arwah-arwah menggoda
serupa perawan di bawah bulan merah muda
makam tak perlu lagi, makna tak harus lagi
maka kugeletakkan sebujur sajak
di antara auman seekor naga
mayat-mayat merawikannya:

la haula wala quwwata
sajak di samping si anjing gila


     Zen Hae dengan baik merumuskan sajak-sajaknya lewat sajak ini. Kata-kata sajaknya adalah kata yang dingin-beku. Sajaknya adakah kesaksian atas dunia yang kacau, ibarat segerombol mayat, dan arwah-arwah dari mayat itu risau, tak tenang. Arwah-arwah itu menggoda. Di dunia seperti itu, apa gunanya makam? Toh telah ia sebutkan bahwa dunia adalah semesta makam? Segalanya telah mati, berulang kali. Maka, si penyair menggeletakkan saja sajak yang terbujur itu di antara auman naga, saya kira ini metafora sebuah ancaman tadi. Sajak telah mati. Ia pernah hidup. Tapi riwayat hidupnya pun terbaca atau dibacakan oleh mayat-mayat pula, oleh kematian pula.

Pelancongan yang Dibenci
     Akhirnya, saya bayangkan, Zen Hae eh si aku dalam sajak-sajaknya, memang tidak pergi ke mana-mana. Ia bertahan saja di tempatnya dan ia bisa hidup dengan terus memberi kesaksian pada kekacuan tadi. Ia benci bepergian. Ia benci pelancongan. Apa yang bisa dinikmati dari kerja melancong ke dunia yang kacau balau itu? Ketika tamasya dan ziarah tak ada bedanya lagi? /Atas nama promosi wisata, tuan-puan, sebentar lagi / tangan-tangan sebening gerimis / akan mengepang pelangi / jadi jembatan warna-warni, // ohoi, melepas lelah di gerumbul awan / kencing di gurun bulan / siapa bisa tahan? //
     Sikap anti-pencongan ini bisa kita baca dan temukan di beberapa sajaknya yang lain. Dengan pilihan tidak bepergian kemana-mana toh akhirnya si aku masih juga sadar bahwa dia hanya "...pelancong dungu / menanti para pemandu". Demikianlah. Zen Hae memang tidak ingin memaparkan keindahan, dia tidak ingin menghibur kita, dia ingin berteriak dan memberi peringatan. Tiap harapan yang muncul, segera akan dimentahkan.

"beri kami mimpi indah, nyai, beri kami sorga!"

tak mungkin, akang, teu meunang
tak ada impian setelah kutuk tuhan
(bidadari yang tersesat di sebatang sungai, hal, 25)
     Pasti ada sisi-sisi yang luput dari pembacaan saya atas sajak-sajak Zen Hae ini. Tapi itulah beberapa yang tertangkap oleh saya. Sapardi Djoko Damono bilang, tiap tafsir akan memperkaya sajak yang ditafsirkannya. Semoga bacaan saya bisa dianggap sebagai sebuah upaya menafsir dan semoga tafsir saya bisa memperkaya sajak-sajak pada buku "Paus Merah Jambu" ini, bukan membuatnya menjadi semakin miskin makna. Walaupun penyairnya sendiri telah mengambil sikap: menggeletakkan sajak di depan mayat-mayat. Walaupun bangkai sajak itu baginya tidak perlu dimakamkan (tak perlu diberi harga?), dan tak harus dimaknai apa-apa lagi. Ah, seram! []










[Ruang Renung # 230] Estetika Bulu Kuduk dan Batu Akik

Bagaimanakah sajak yang baik? Bagaimanakah proses menulis sajak? Kalau pertanyaan itu dihadapkan pada Acep Zamzam Noor, maka jawabannya adalah sajak yang baik itu yang ketika dibaca membuat bulu kuduk meremang. Menulis sajak itu seperti mengasah batu akik.

Jawaban beliau itu pasti tidak akan pernah ditemukan dalam buku teori sastra. Acep memang menjawab dengan cara yang khas penyair, dan khas dirinya sendiri. Bulu kuduk yang meremang bukan semata-mata respon fisiologis tubuh terhadap rangsang dari luar, tetapi lebih kepada reaksi psikologis terhadap sesuatu yang menyentuh jiwa. Sajak yang baik, dengan alur logika ini adalah sajak yang menggerakkan hati.

Lantas bagaimana dengan batu akik? Proses membuat batu akik dimulai dari memilih batu, memotongnya untuk mendapatkan bentuk yang diinginkan, menggosokkannya pada batu asah untuk menghaluskan permukaannya, lalu diampelas agar lebih halus, dan terakhir dikilatkan dengan daun pisang kering, agar berkilat. Ada proses memilih, dan ketekunan menggosok. Ada kejelian mengamati setiap titik permukaan. Dan akhirnya ada kegembiraan dan kepuasan ketika melihat warna, bentuk, pola-pola yang tampak di dalam batu. Semua proses itu dilakukan dengan kegembiraan, kecintaan, meski terus-menerus berada di bawah ancaman kesia-siaan juga.

Nah, bagaimana cara kita mengartikan sajak yang baik, dan bagaimana cara kita melihat proses menulis sajak-sajak kita?





Kenapa Kita Cemaskan Sepi?

                                                    :  Wayan "Jengki" Sunarta

KENAPA kita masih cemaskan sepi?

Kita kayuh perahu di sungai berarus buntu
Tak tahu mana hilir dan hulu. Saat itu
hujan seperti pasukan hantu, seperti menghalau
kita lekas, hanyut ke muara. Meninggalkan
semua yang masih ada di hujung hulu, di hujung waktu.

Dan muara, kita telah tahu, adalah riuh-hingar
tempat segala kapal singgah, bersandar, labuh jangkar,
memuat segala yang bisa dibayar, kemudian bawa berlayar
lalu di lain bandar, diberi harga, diberi nilar tukar.

"Sebuah perniagaan yang wajar," kata para saudagar.

Kita adalah juru dayung, asyik menduga dalam laut
dengan dayung yang hanya sedepa, menunggu ayun ombak,
ketika langit penuh, purnama luruh.

Aih, terselip juga hari-hari tak bernama.
Sepi yang tak berayah-bunda.

***

KENAPA kita masih cemaskan sepi?

Sepi dan kita. Mungkin pernah ada dalam rahim yang sama.
Sepi dan kita. Mungkin dua saudara yang tak pernah selesai
     bertukar was-was. Berbagi cemas.









Sunday, September 23, 2007

Haris Firdaus Menelaah Pencurian Celanadalam JOKPIN oleh HAH

     Kalau kemudian kita membandingkan dua sajak itu, keduanya tampak seperti sebuah “surat” yang dibuat untuk sahabat. Puisi “Celanadalam yang Kucuri dari Rumahmu” adalah surat pembuka, sedangkan “Puasa” adalah surat balasannya. Pandangan seperti ini segera bisa muncul karena dua sajak itu menggunakan dua metafora yang sama: celana dalam. Dan pandangan ini makin kuat karena kisah tentang celana dalam sajak pertama seolah menemukan lanjutannya pada sajak kedua. Maka, mau tak mau, dua sajak ini, menurut saya, harus dilihat sebagai dua sajak yang saling berkait.

Selengkapnya baca: RUMAHMIMPI

Friday, September 21, 2007

Ranjang Kita

                                                        : Dhiana

KITA akan selalu sempat berkabar pandang.
Di ranjang. Di ranjang yang berhambur terang.

Kita rindukan ranjang. Menunggu yang datang.
Terdekap jua bimbang. Bersandar tak pada tiang.

Kita tidur dengan tangan saling memegang.
"Jangan lepaskan. Ini permimpian panjang."



Dalam Dekapan Takdir Sunyi



Wayan Sunarta, di FKY 23-24 Agustus 2007 (foto oleh Kinoe)
Impian Usai (Kumpulan Sajak)

Pengarang : Wayan Sunarta
Penerbit : Kubu Sastra, Denpasar, Agustus 2007
Tebal : 131 halaman

INILAH buku penting seorang penyair dari Bali bernama Wayan Sunarta. Buku ini berisi 99 sajak dari rentang kepenyairannya selama lima belas tahun. Wayan membagi lima belas tahun itu dalam tiga penggal. Penggal pertama dari tahun 1992-1996. Penggal kedua 1997-2001. Dan penggal terakhir 2002-2006. Adakah yang berubah dalam periode lima tahunan itu? Ataukah ini sekedar pembagian untuk kemudahan saja? Mari kita telusuri.

Saya sepenuhnya setuju pada kata sagangan Joko Pinurbo di sampul belakang buku ini. Katanya, sajak-sajak Wayan mengajak kita mabuk sepi agar bisa sampai ke bening yang dalam itu. Ia bilang juga, memasuki sajak Wayan adalah menghirup hawa bening yang meruap dari hamparan kata-kata yang tampak tenang di luar tapi penuh gejolak di dalam.

Ini bukan setuju yang asal setuju. Mari kita hitung berapa kata "sunyi" dan variannya dalam sajak-sajak di buku ini. Sebelumnya sepakati saja bahwa yang saya sebut varian dari sepi itu adalah "sayup-sayup", "sepi", "hening", "lirih", "tanpa suara", "kebisuan", "keheningan", dan "bisu".

Kata-kata "sunyi" dan kawan-kawannya itu muncul 42 kali dalam 99 sajak. Ini kemunculan yang sangat sering. Hampir satu dari dua sajak dalam buku ini mengandung kata itu. Jadi memasuki dunia sajak Wayan di buku ini adalah petualangan yang disambut dengan bisikan lirih, "Selamat memasuki dunia sunyi."

Saya mencemaskan, bahwa kehadiran sunyi itu jika tidak didukung oleh penggarapan yang kuat, akan sangat membosankan. Untung saja, kecenderungan jumlah kehadiran sunyi itu dalam tiga penggal waktu lima tahunan semakin berkurang. Pertama ada 17 kali dalam 32 sajak, lalu 15 kali dalam 37 sajak, dan terakhir semakin berkurang karena hanya 10 kali dalam 30 sajak.

Masalahnya adalah apakah sepinya Wayan telah ia suling sehingga hadir menjadi sepi yang tidak membuat pembaca jenuh? Ataukah ia sekadar mengikuti saja sepi yang ia rasakan apa adanya? Apakah ia mengendalikan atau ia dikendalikkan sepi? Sebaiknya kita rasakan saja apa yang berdetak dalam sajaknya untuk meraba-raba jawaban pertanyaan-pertanyaan tadi. Saya pilih tiga sajak dari masing-masing tiga periode lima tahunan tadi.

Sajak pertama:
Takdir Sunyi

mesti berapa musim lagi
kujelmakan takdir ini

takdirku senantiasa bernama adam
yang kesepian sejauh perih waktu
burung-burung tersesat
bermusim-musim dalam alir nadiku

pada bening keningmu aku bercermin
meneliti guratan masa silam
yang ranggas bersama buah-buahan kutukan
o, begitu buruk rupaku?
angin liar menampar kesangsian
aku makin asing dari wajahku

mesti berapa musim lagi
kejelmakan takdir ini

ular-ular bersarang dalam nafsuku
mengerami telur-telur hawa
dan dosa semakin hangat
dalam dekapan takdir sunyi ini

1994

Inilah saya kira dasar dari keterpesonaan Wayan pada sepi itu. Ia memahami bahwa takdirnya sebagai manusia yang kebetulan berjenis kelamin lelaki adalah takdir seorang Adam. Adam kesepian di dunia. Bertahun-tahun terpisah dari Hawa, dan ini adalah bagian dari hukuman itu. Ia tahu, ia akan mewariskan hukuman ini pada anak-anaknya. Karena sepi itu, ia seperti burung-burung yang bermigrasi mengikuti perubahan musim pun dan tersesat, bermusim-musim.

Dan orang yang kesepian itu tak mengenal lagi wajahnya, sebab ditampar oleh kesangsian angin liar. Orang yang bertakdir sepi itu terbantu oleh seorang berkening bening sehingga ia bisa bercermin di situ. Hubungan antara lelaki dan wanita - Adam dan Hawa - adalah motif yang hampir selalu hadir menggerakkan seluruh sajak-sajak Wayan.

Sepi itu, entah berapa musim lagi akan ada, si aku tidak tahu. Ia hanya mengulangi tanya, berapa musim lagi. Dan sajak ini ditutup dengan bait yang sangat baik. Si aku menikmati sepi itu, sebab sepi yang ia terima sebagai takdir itu, membuat ular-ular bersarang dalam nafsunya, mengerami telur-telur hawa, meski ia tahu dalam dekapan takdir sunyi itu ada dosa yang semakin hangat. Adam memang dibuang ke surga karena dosa.

Ini sebuah sajak yang utuh, jalinan imajinya padu, dan sunyi yang hadir di sana adalah sunyi tidak biasa. Sebuah sunyi yang kuat. Sebuah sunyi hakiki yang hadir dari kecermatan mendalami hidup dan hakikat hidup itu sendiri. Wayan berhasil menerjemahkan sepi yang ia rasakan menjadi sepi yang menjadi milik semua manusia. Ia berhasil mengatasi diri sendiri, sebagaimana amanat Subagio Sastrowardoyo tentang sajak yang bermakna, kemudian menautkan diri dengan kehidupan yang lebih luas.

Sajak kedua:
Potret Diri

lebih sepi kau kini
sehelai puisi tak selesai
puntung rokok dan kerak kopi
makin kusam dalam gelas malam
waktu seperti risau
menunggu di ujung gang itu

seperti apa paras bulan
saat langit muram
puisi tak selesai
hidup merambat lambat
racun tembakau dan mariyuana
telah sampai pada pusaran nadi

lalu kau temukan diri
dengan sepotong pena rombeng
dan seberkas mimpi usang

1999

Lima tahun kemudian, Wayan menghadirkan sepi yang lain. Ia merasakan sepi yang lebih. Sepi yang justru membuat sehelai puisi tak selesai. Sepi yang mulai menjadi masalah, sehingga waktu terasa merisaukan dan ia perlu hal lain untuk mengatasinya: rokok dan kopi.

Sepi dalam periode lima tahun kedua ini akhirnya hanya mengantarkan aku pada kesadaran, pada penemuan diri sendiri dengan sepotong pena rombeng dan seberkas mimpi usang. Ada apa? Kenapa keberhasilan mengatasi perhatian pada diri sendiri dalam periode lima tahun pertama justru tak berhasil diulang kali ini? Kenapa Wayan justru masuk semakin dalam dalam ke dirinya sendiri?

Saya kira kualitas sepi dan kualitas sajaknya, jika dianggap cukup diwakili dengan satu sajak ini, pada periode lima tahun kedua ini, semakin merosot. Sayang...

Dan inilah pilihan sajak yang ketiga, sajak yang sekaligus menjadi judul buku ini:
Impian Usai

impian usai di akhir
napak tilas yang bergegas
gagu meraba getir takdir
galau membaca jejak aksara di tapak tangan
ingatkah kau pada pasir yang mampir dan.
terlunta di bening gelas anggurku?

perempuan tuntas membekas pada jiwa
usia dan tahun tiba sebelum senja
tinggal kenangan, selalu kenangan
rekah dan sumringah bagai geliat pandan
ingin membawa kita meretas
abadi dalam pasang surut musim

mimpi terpanjangku adalah kebeningan
angan yang menyesatkan pengembara pada
rahasia cuaca dan getar cahaya
guratkan lagi aksara penghabisan
agar sempurna kepedihan demi kepedihan

2006

Jika di sajak yang mewakili masa lima tahun kedua, si penyair merasa bertemu sajak yang tak bisa ia selesaikan, maka di sajak ini ia justru menemukan lagi hakikat sepi itu. Hidup tetap saja tak pasti. Takdir yang getir hanya bisa dengan gagu diraba, tak pernah terpegang. Tapi impian telah usai. Sebuah napak tilas telah tuntas. Tapi bukan berarti impian yang usai itu membawa ketenangan. Aksara di tapak tangan tetap saja dibaca dengan galau. Hidup tetap saja tak mudah. Ibarat pasir yang ada di bening gelas.

Motif hubungan lelaki dan perempuan menguat lagi di sajak ini. Adam itu, lelaki itu, penyair itu, si aku itu, menyadari bahwa perempuan tetap membekas pada jiwa. Usia tak bisa ditolak. Banyak keinginan. Selalu ada keinginan. Seperti abadi. Keinginan-keinginan itulah, rencana-rencana itulah yang membawa manusia meretas dalam pasang surut musim. Sebuah pencapaian kesadaran yang menggugah.

Hidup adalah kesiapan menerima luka, merasakan kepedihan. Si aku menyadari, atau memberi tahu dirinya sendiri bahwa mimpi terpanjang adalah kebeningan angan. Mimpi dan angan. Keduanya bukankah hanya akan menyesatkan kita pada rahasia cuaca dan getar cahaya? Si aku sadar, bahwa ia harus menulis sajak, harus meninggalkan jejak, harus melakukan sesuatu. Walaupun sesuatu yang dilakukan itu, jejak yang ditinggalkan itu, sajak yang dituliskan itu hanya menyempurnakan kepedihan demi kepedihan.

Tanpa kehadiran kata sunyi, pilihan sajak yang terakhir ini justru menghadirkan sunyi yang lebih padat, lebih kental, lebih menumbuk ulu hati. Saya amat menikmatinya, saya ikut merasakan sepi itu.

Jika penerbitan buku ini adalah tonggak kepenyairan Wayan Sunarta, penyair kelahiran Denpasar 22 Juni 1975 ini, maka saya kira tantangan berikutnya bagi dia adalah bagaimana kemudian dia mulai menapak lagi, agar tidak berputar-putar saja pada tonggak ini. Jika buku ini berhasil memperdengarkan erangan-erangan dan geliat Wayan Sunarta dalam dekapan takdir sunyi, maka saya kira langkah kepenyairan Wayan berikutnya harus lepas dari dekapan itu. Wayan tentu lebih tahu, apa yang tengah mendekap dia saat ini, atau apa yang sedang dan ingin ia dekap saat ini. []


Forum Temu Sastrawan Indonesia 2008 di Jambi

     Dengan maksud baik, komunitas sastra Jambi bekerja sama dengan Pemda  dan Disbudpar Provinsi Jambi bermaksud menggelar semacam Forum  Sastrawan Indonesia di Jambipada awal Juli 2008. Forum Temu  Sastrawan Indonesia 2008 di Jambi dimaksudkan untuk mencari titik  temu dan menyatukan semua sastrawan Indonesia dari berbagai latar  ideologi dan estetika, tanpa memandang yang satu lebih bernilai  daripada lainnya, demi menciptakan kehidupan sastra yang  demokratis,bermarta bat, dan kritis dalam bingkai keberagaman,  kemandirian, dan keharmoniasan.
      Agenda Temu Sastrawan Indonesia antara lain berupa Dialog  (Sastrawan, kritisi, dan media sastra), whorkshop penulisan  esai/kritik sastra, panggung apresiasi (menampilkan keberagaman  seni), penerbitan antologi puisi,cerpen, dan esai/makalah, serta
wisata budaya.
     Kami, atas nama panitia mengundang ide, pemikiran, dan wacana yang  layak dari berbagai pihak untuk diperbincangkan dan dipagelarkan  pada acara tersebut.
      Demikian sekilas kabar ini kami umumkan kepada semua khalayak.  Informsi ini dapat disebarluaskan sebagai upaya mencari solusi  permasalahan kehidupan sastra Indonesia. Terima kasih atas atensinya.

Jambi, September 2007
Salam budaya,

Dimas Arika Mihardja / dimasarika@plasa. com

(Ketua Panitia)

Wednesday, September 19, 2007

Penyair dan Sajak yang Cengengesan



Faisal Kamandobat (foto oleh Gendhot Wukir)

   
  Alangkah Tolol Patung Ini (Kumpulan Sajak)
     Pengarang : Faisal Kamandobat
     Penerbit : Olongia, Yogyakarta, Agustus 2007
     Tebal : 134 halaman
    

      Faisal Kamandobat adalah penyair yang suka cengengesan. Suka tertawa untuk hal-hal yang mungkin kurang alasan untuk ditanggapi dengan tertawa. Di panggung, saat baca puisi pun dia cengengesan. Dia tertawa-tawa saat membaca sajaknya. Sepertinya dia merasa ada yang lucu pada sajaknya itu. Saya melihat dia tampil di Pentas 30 Penyair Indonesia di ajang FKY Yogyakarta, dan saya tak menangkap kelucuan sajaknya. Penonton tertawa karena melihat dia tertawa, bukan karena kelucuan sajaknya.
     Penyair kelahiran Majenang, Cilacap, 31 Desember 1980 itu cukup rajin dan berhasil mempublikasikan sajaknya. Sajaknya pernah terbit di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, dan sejumlah media cetak lain. Tahun ini, ia menerbitkan buku "Alangkah Tolol Patung Ini", buku yang merangkum 48 sajaknya, dari yang paling tua bertahun 1998 hingga yang terbaru bertahun 2007.
     Saya adalah pembaca yang mencari nikmat sajak. Ketika membaca sajak, saya mencari kenikmatan-kenikmatan yang ditawarkan sajak. Kenikmatan itu saya temukan ketika menemukan frasa-frasa baru, padu-padan kata yang tidak saya temukan sebelumnya, pertemuan-pertemuan kata yang menghasilkan sahut-sahutan bunyi, dan pada akhirnya saya orgasme ketika merasa bisa dengan kreatif memaknai sajak yang saya baca itu. Makna yang saya berikan mungkin berbeda dengan makna yang diniatkan oleh si penyair. Saya tidak perlu mencocok-cocokkan pemaknaan saya itu dengan penyairnya, atau dengan pembaca sajak lain.
     Faisal di buku ini menulis semacam pengakuan tentang proses kreatifnya. Tulisan di akhir buku sebanyak delapan halaman ini bisa membantu pembaca untuk mengkonfirmasikan hasil bacaan sajaknya.
    Mula-mula tentu saya membaca sajak-sajaknya. Saya kira, sajak-sajaknya kering. Kurang merangsang dan tak banyak nikmat yang saya dapat setelah membacanya. Saya curiga jangan-jangan cara saya membaca yang salah. Saya lalu membaca pengakuan kreatif si penyair. Berkali-kali. Ah, ternyata itu pun tidak membantu. Antara sajak dan pengakuannya saya kira banyak yang bertolakan. Tidak saling membantu pembaca seperti saya.
     Faisal menulis: dalam pengalaman saya, menulis puisi barangkali lebih sebagai pemberian daripada pilihan. Puisi mengunjungi dunia batin saya jauh di masa kecil, dengan caranya yang halus dan tak terduga menggetarkan alam pikiran saya, dan jejaknya yang gaib pada lapisan mental yang dalam tak terhapus.
     Setelah membaca kalimat Faisal itu, saya lantas kembali ke sajak-sajaknya dengan modal pertanyaan, "sajak bagaimana yang dihasilkan oleh seorang yang baginya menulis puisi adalah sebuah pemberian. Bukan pilihan. Sajak bagaimana yang dihasilkan oleh seorang yang sudah dikunjungi oleh puisi sejak masa kecilnya. Sajak bagaimanakah yang dihasilkan oleh seorang penyair yang sudah digetarkan alam pikirnya oleh puisi dengan cara halus. Sajak bagaimanakah yang dihasilkan oleh penyair yang di dalam mentalnya ada lapisan jejak puisi yang tak terhapus?
     Saya tak menemukan jawaban untuk pertanyaan saya itu. Sajak-sajak Faisal biasa saja. Atau saya yang terlalu banyak menuntut? Ya. Saya adalah pembaca yang manja dan rakus. Saya ingin mendapatkan nikmat sebanyak-banyaknya.
     Pada bagian lanjut Faisal menulis: salah satu tema akrab sajak-sajak saya adalah ikhtiar tiada henti dalam mencari pola-pola penghayatan antarmanusia, alam benda dan proposisi antarsemua itu. Hei, bukankah itu tema yang banyak digarap oleh hampir semua penyair? Artinya, tema itu tidak khas Faisal. Lagi-lagi, membaca lebih lanjut pengakuan Faisal itu tidak membantu saya mendapatkan nikmat dari sajaknya.
     Mari kita ambil contoh satu sajaknya. Sajak berjudul "Sajak" (hal 71). Ini sajak menarik untuk menguji bagaimana penyair menghayati sajak yang ia tulis:

SAJAK//di lubuk setiap sajak / kita saling membenamkan diri / merasakan denyut dan gejala / pada getar setiap kata / yang mengembang jauh / menembus batas-batas dunia //

    Si aku dalam sajak ini berbicara kepada orang kedua. Mereka lantas menjadi kita. Kita, kata si aku, saling membenamkan diri di lubuk setiap sajak. Lubuk adalah bagian terdalam dari sebuah sungai atau laut. Lubuk sajak menyarankan saya tentang sesuatu yang dalam dari sebuah sajak. Mungkin tak terlalu jauh kalau saya menganggap itu adalah makna sajak itu. Ke dalam makna itulah si aku dan kau, si mereka itu, saling membenamkan diri. Kata saling mengesankan bahwa si aku membenamkan si engkau, dan sebaliknya. Seperti kata saling pukul. Aku memukul kau, kau memukul aku. Untuk apa? Untuk merasakan denyut dan gekala pada getar setiap kata. Kata yang mengembang jauh, menembus batas-batas dunia. Bait yang kering. Tapi, baiklah masih ada harapan.

di lubuk setiap sajak / tiap rahasia mengungkapkan diri / seperti keriput masa silam
/ pada kelopak bunga saat ini / ketika tak seorang sempat ingat / duka musim-musim yang lewat //


    Si aku dan kau di lubuk sajak itu, di dalam makna terdalam sajak itu menemukan semua rahasia mengungkapkan diri. Rahasia yang terungkap tidak lagi menjadi rahasia. Manusia selalu penasaran dengan rahasia. Selalu tergoda untuk mengintip ke dalam rahasia. Betulkah itu yang ditemukan dalam makna sajak? Harusnya ya. Pada sajak yang baik, rahasia-rahasia itulah yang kita temukan jawabannya. Tetapi, ah, penemuan saya itu terganggu oleh baris berikutnya. Kenapa ia mengibaratkan rahasia yang terungkap itu seperti keriput masa silam pada kelopak bunga? Pada tataran denotatif pun bait itu bermasalah. Benarkah keriput masa silam itu, duka musim lewat itu bisa terlihat pada kelopak bunga?

aku tenggelam di satu bait / kurasakan embun jatuh / lewat kalimat yang terkembang / serupa pagi yang bangkit: / dan waktu yang hampir binasa / menemukan matahari kembali //

    Kau dan aku yang tadi saling membenamkan diri di lubuk setiap sajak mulai terpisah. Si aku tenggelam di satu bait. Ia merasakan embun jauh lewat kalimat yang terkembang. Kalimat yang ia maksud tentu kalimat sajak. Kalimat yang terkembang? Maksudnya mungkin kalimat yang tidak berhenti sebagai kalimat itu sendiri, ia membesar, ia berkembang, ia menawarkan banyak makna. Serupa pagi yang bangkit, kata si penyair. Pagi yang bangkit? Lagi-lagi ini perumpamaan yang mengganggu. Kurang tepat. Ketika merasakan embun jatuh itu, waktu yang hampir mati, menemukan matahari kembali. Kenapa? Saya agak susah mencari hubungan sebab akibat, yang paling konotatif sekalipun dari bait ini. Bait yang tidak utuh.

kau tenggelam di bait lain / merenungkan makna kematian / lewat jerit ranting yang jatuh / lepas dari batang: / aku pun segera meyelematkanmu / dari sentuhan ajal / yang menyamar menjadi pohon //

     Si aku dan kau sudah terpisah, tapi masih dalam di lubuk sajak yang sama. Si aku di bait lain. Si kau tenggelam di bait lain. Merenungkan makna kematian lewat jerit ranting jatuh lepas dari batang. Sebenarnya ini kontras yang berhasil dari bait sebelumnya di mana si aku menemukan harapan seperti waktu yang menemukan matahari. Lantas di aku pun menyelematkan si kau. Menyelematkan dari sentuhan ajal yang menyamar menjadi pohon. Lagi-lagi ini sebuah perumpamaan yang kurang kuat tendangannya. Ajal yang menyamar jadi pohon? Kenapa pohon? Apa hubungannya dengan lubuk sajak di mana mereka berada? Apa salah si kau sehingga hendak disentuh oleh ajal? Apakah karena dia merenungkan kematian lewat ranting jatuh yang lepas dari batang? Susah saya mengutuhkan potongan-potongan gambar itu. Ini ibarat fuzzle yang tidak lengkap.

kita bertemu di bait yang sama / dan tak ada yang lebih menakutkan / selain cinta yang besar: / ia tumbuh dalam sajak / yang memenuhi seluruh ruang / hingga tak ada yang dapat dilihat / kecuali lewat matanya

    Si aku, tampaknya berhasil menyelamatkan si kau. Mereka lantas bertemu dalam bait yang sama. Tapi kenapa takut dengan cinta yang besar? Apa salahnya kalau cinta itu tumbuh dalam sajak? Dan memenuhi seluruh ruang sajak? Cinta itu membutakan? Sehingga dia yang tumbuh dan memenuhi seluruh ruang membuat kau dan aku tak bisa melihat apa-apa kecuali lewat mata si cinta itu? Kenapa takut dengan hal itu? Saya tidak juga bisa mendapatkan nikmat sajak.

ada baiknya sejenak kita keluar / dari bait yang mengepung ini / merasakan kehampaan /
di luar kata yang menyesak dunia: / di sana segalanya masih begitu murni / kita pun bisa menjadi penyair / di alam yang baru ini //


     Lantas, si aku mengajak kau keluar dari kepungan bait. Kenapa bait itu mengepung? Karena cinta yang besar tumbuh di dalam sajak? Lantas kemana hendak keluar? Ke luar kata yang menyesak dunia. Merasakan kehampaan, kata si aku. Di sana, kata si aku, di luar kata yang sesak itu, di ruang yang kehampaan bisa dirasakan itu, segalanya begitu murni. Lantas di sanalah mereka bisa menjadi penyair. Penyair mungkin memaksudkannya sebagai ironi dan paradoks: justru di luar sajak tempat mereka membenamkan diri, justru di luar bait yang mengepung karena ada cinta yang besar yang mengembang di dalamnya, mereka bisa menjadi penyair.
     Tapi, saya tidak menemukan keindahan ironi, permainan ambuguitas, dan keaasyikan paradoks di bait ini. Semua kacau. Bait akhir yang mestinya membayar semua utang di bait-bait sebelumnya itu tidak menawarkan kejutan. Saya kecewa. Ini adalah sajak tentang sajak. Kenapa di luar sajak, di luar bait, di luar kata-kata sajak si penyair baru bisa menjadi penyair? Bukankah justru sebaliknya? Kenapa si penyair baru bisa menjadi penyair di alam baru yang hampa dari kata-kata? Apa maksudnya hampa dari kata-kata sajak itu?
    Mengulas sebuah sajak dari sebuah buku, mungkin tidak cukup untuk mengukur kepenyairan seorang penyair. Tapi, ah, saya juga tidak menemukan satu sajak pun di buku ini yang bisa saya ulas untuk menunjukkan bahwa Faisal Kamandobat, si penyair itu, sudah mencapai taraf pencapaian tertentu. Juga pada sajak "Alangkah Tolol Patung Ini", sajak yang oleh editor dianggap paling menarik - atau paling disukai oleh penyairnya - sehingga dijadikan judul buku.
Dia telah menulis sajak. Ia telah mengumpulkan sajak-sajaknya dalam sebuah buku. Jika tidak semuanya, tentu ia telah memilih sajak-sajaknya itu. Ini adalah sajak pilihan.
     Saya kira, Faisal harus bekeja keras lagi agar sajaknya tidak mengesankan saya sebagai sajak-sajak cengengesan saja. Cengengesan artinya tertawa-tawa dengan kadar berlebih untuk sesuatu yang tidak pas untuk ditertawakan. Sajak yang cengengesan adalah sajak yang diaku-aku sebagai sajak, padahal belum pas untuk disebut sebagai sebuah sajak yang baik. Tapi, ini pembacaan amat subyektif dari seorang pembaca yang manja dan rakus akan nikmat sajak. Pasti ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk mencapai hal lain dari sajak-sajak Faisal. Ada yang mau mencoba? []





Bantal Ombak dan Bunga Matahari


                                                                     
                                                                                 : D Zawawi Imron


"Aku sekarang melukis," katamu. Ada bercak renjis cat minyak
di kaus kusammu. "Aku suka melukis bantal ombak," katamu.

"Adakah harum garam, dan lebat buah siwalan di kanvasmu?"
aku bertanya, lalu kuhirup kepul kopi, pada cangkir penuh ini.
Kau melirik kapal tak bisa berangkat, di Kedaulatan Rakyat.
 
"Kau tak melukis bunga matahari?" aku pun bertanya lagi.

"Aku pernah bercakap-cakap dengan bunga matahari,"  katamu.
"Dia bilang, dia tidak wangi, hanya pelukis gila yang mengagumiku
di kanvas-kanvasnya, sebelum ia pun memotong kuping sendiri."

Ya, ya. Aku ingat. Kau pernah berangkat. Ke Belanda. Pulangnya
bawa dam, dan renjis salju di tubuh yang sama,  gigil yang lama.  


Tuesday, September 18, 2007

Surah Kupu-kupu

IA seberangkan kaki, pada jalan berlampu merah, sebentar,
lalu berbelok lagi, ke kiri, ke sebuah tangga yang mengantar
ke lantai 3, ke kamar berdinding gemetar, berlampu pudar.

Dari jendela ada yang menyelinapinya, suara sangat meriah,
sisa jamaah, bertadarus, mendaras surah tentang lebah.

Ia melipat mukena dan sajadah. Lalu menggerutu pada gaun
sehelai, tipis dan ringkas, berwarna seragam dengan malam.

"Adakah surah tentang kupu-kupu? Yang bisa kubaca nanti
pada suatu waktu? Agar jelaga di sayapku luruh ketika aku
mengepak terbang ke arah-Mu?"

Ia tak berani berdoa. Tadi, samar ia hanya berujar, menyebut
kata ganti yang di sajak ini dituliskan dengan huruf M besar.

Sunday, September 16, 2007



Di FKY 2007 (foto oleh Kinoe)

Tiga komentar untuk sebuah calon buku:
  
   Aneh. Betul-betul aneh. Tidak seperti kumpulan-kumpulan sajak yang pernah saya baca sebelumnya. Dalam kumpulan sajak ini, tak ada satu pun sajak yang tidak saya suka. Seberapa tebal pun halaman kumpulan sajak ini nantinya, ia tak akan membosankan untuk dibaca.
    Anehnya lagi, meskipun banyak 'bercerita' perihal sederhana yang mungkin oleh sebagian besar orang dianggap tak mungkin jadi sajak, semuanya malah menjadi betul-betul sajak yang dituliskan penuh pertimbangan. Kata-kata dipilah dengan cermat. Bunyi-bunyi dipilih dengan jernih. Beberapa di antaranya, menurut saya melebihi sajak--saya tak tahu harus menyebutnya apa.
     Kecurigaan saya bertambah tumbuh, jangan-jangan Hasan Aspahani betul (pernah) tinggal bersama banyak penyair; seperti Neruda, Paz, sampai Sapardi dan Jokpin. Sebab saya berpikir bagaimana mungkin sajak-sajak itu ditulis oleh seorang saja.
     Setiap sajak Hasan tak pernah melepaskan diri dari; hal filosofis yang membuat saya merenung; hal jenaka yang membuat saya tersenyum; hal indah yang membuat saya terkagum-kagum--ditambah pula dengan musik kata-kata yang membuat saya bersenandung dan bergoyang. Semuanya itu membuat saya sungguh-sungguh iri.
     Aneh. Betul-betul aneh! (Aan M Mansyur – penyair, pengelola Kafebaca Biblioholic, tinggal di Makassar)


     Dalam 2-3 tahun terakhir saya membaca puisi (yang di koran-koran minggu terutama), salah seorang yang saya tunggu puisi-puisinya adalah Hasan Aspahani. Inilah yang saya rasakan setiap membaca puisi-puisi Hasan: ada upaya penyegaran, permainan sudut pandang, akrobat bentuk, upaya mencari yang berjalan di rel sekaligus -- kedalaman diksi dan eksperimentasi kemasan.
     Puisi tak melulu menjadi arca yang buram seperti museum berdebu (yang tak lagi diingat orang). Kadang-kadang Hasan menjadikannya seperti cahaya neon yang mengepung kota (dan mengingatkan saya -- entah lewat cara apa -- pada Scarlett Johansson dalam "Lost in Translation"). Di tangan Hasan, puisi tak melulu menjadi kata-kata singkat yang bertenaga (heran juga saya, mengapa para penulis yang jago di bidang ini lebih suka menyebut diri mereka sebagai "copywriter" ketimbang "penyair"), meski kadang-kadang kelihatan diksi pilihan Hasan masih kerap "kelelahan" juga mengandung beban makna. Adakah penyair yang sudah terbebas dari penyakit ini? (Akmal Nasery Basral, wartawan Tempo, pengarang, tinggal di Jakarta)

     Saya suka membaca tulisan-tulisan Hasan Aspahani, baik sajak-sajaknya maupun esai-esainya. Saya kadang iri dengan energi intelektualnya. Karya-karyanya selalu mengingatkan saya bahwa puisi adalah seni kata yang menuntut si penulisnya memeras otak, mengolah dan menyiasati kata dari berbagai sudut dan dimensi, menghidupkan yang lama dengan nafas dan sentuhan baru, mencoba berbagai kemungkinan cara dan gaya pengungkapan.
    Kemampuan berpikir logis dan sistematisnya menjadikan alur puisinya lancar dan padu. Dan ia tetap tidak kehilangan keliaran imajinasi; ia, misalnya, sering mengocok dan mempermainkan logika. Tentu itu saja tidak cukup. Sembari menjelajahi keluasan ruang gerak kata, ia juga berusaha mengasah kepekaannya untuk menggali makna di balik peristiwa, cerita di balik berita. Saya bayangkan Hasan sedang bergumul dengan “kamus”nya sambil dipukau tanya: apa yang membuat puisi bisa lebih menyentuh empati? (Joko Pinurbo, penyair, tinggal di Yogyakarta)


Matlamat dan Manfaat "Kekejaman" Sutardji



Judul Buku: Isyarat
Pengarang: Sutardji Calzoum Bachri
Penerbit: Indonesiatera, Yogyakarta, Juli 2007
Tebal Buku: 506 halaman
Sutardji Calzoum Bachri adalah penyair yang banyak dikagumi dan sekaligus disalahpahami. Disegani juga ditakuti. Kekagumam dan salah paham padanya bisa berasal dari sumber yang sama, yaitu orang tak membaca dia secara utuh. Orang tidak membaca sajak-sajaknya dengan tunak, dan terlebih lagi esei-eseinya yang tersebar di sejumlah majalah dan surat kabar.

Dalam hal yang terakhir, terlebih dahulu kita harus mengucapkan terima kasih dan tahniah kepada Penerbit Indonesiatera yang telah mengumpulkan dan menerbitkan buku kumpulan esei Sutardji ini. Dengan demikian, maka pemikiran-pemikirannya yang menggedor dan pada beberapa hal bisa dianggap meletakkan pijakan bagi kepenyairan di Indonesia bisa mudah dibaca dalam satu buku.

Contoh kekurangpahaman itu misalnya terjadi atas kredonya yang masyhur itu. Kebanyakan orang membaca kredo itu sepenggal-sepenggal untuk menguji atau bahkan mengadili Sutardji. Kebanyakan orang menyimpulkan kredo itu ke dalam satu ihwal: Sutardji ingin membebaskan kata dari penjara kamus! Maka, ketika dia tak lagi menulis sajak-sajak yang taat pada kredonya, orang lantas bilang Sutardji telah gagal membebaskan kata, ia pun dianggap tergoda untuk berkomunikasi. Ia dianggap juga ikut membebankan makna kepada kata.

Dalam buku 506 halaman ini, Kredo Puisi ini diletakkan di urutan pertama pada penggalan pertama. Kredo itu ditulis pada tahun 1973, sebagai pengantar untuk sajak-sajak di buku "O" yang ia tulis sepanjang 1966-1973. Ia menuliskan kredo karena orang kepayahan memahami sajak-sajaknya itu. Kumpulan sajak "Amuk" ditulis kemudian, di sepanjang tahun 1973-1976. Untuk kumpulan sajak-sajak berikutnya yaitu "Kapak" (1976-1979), Tardji menulis lagi "Pengantar Kapak" (1979) yang saya pandang sebagai kredo untuk sajak-sajak "Kapak".

Dua kredo itu ditulis di akhir masa penulisan atau periode kepenulisan sajak-sajaknya. Kredo ditulis atau dirumuskan setelah ia menganggap ekplorasi pada suatu hal selesai. Tak ada kredo khusus untuk kumpulan "Amuk". Pilihan kita sebagai pembaca adalah menggolongkannya saja ke kumpulan "O" dengan kredo yang terkenal itu, atau melepaskannya saja mandiri tanpa kredo. Sebab, amat tidak mungkinlah kalau dimasukkan ke "Kapak". Saya memilih membaca "Amuk" tanpa petunjuk apa-apa.

Peneliti dan pengamat sastra Indonesia yang tunak A. Teeuw ada menulis buku telaah "Tergantung pada Kata" (Pustaka Jaya, 1980). Itu buku berisi telaah dan kajian rinci atas sepuluh puisi karya sepuluh penyair Indonesia. Sutardji Calzoum Bachri ada dalam buku itu. Teeuw mengulas penggalan sajak "Amuk". Lepas dari banyak hal yang bisa dipetik jadi pelajaran berharga dalam ulasan Teeuw, saya kira ia termasuk kalangan yang terpesona --- atau terjebak? --- dengan kredo Sutardji. Ia mengulas sajak Tardji dari "Amuk" itu, bahkan dari alinea pertama ulasannya, dengan mengacu pada kredo itu.

Sutardji sangat menyadari posisinya di tempat yang sering disalahmengerti itu, dan pencapaiannya yang bagi sebagian orang terlampau-lampau itu. Dalam "Ihwal Personal", satu tulisan yang di buku ini yang diminta dibaca lebih dahulu, karena diletakkan mengawali seluruh kelompok penggalan-penggalan lain, ia menulis bahwa suatu karya yang sangat di luar konvensi cenderung bisa membunuh kritikus yang mapan konvensional, namun akan cenderung pula menciptakan kritikus baru.

Teeuw barangkali amat berpegang pada konvensi. Maka, ulasannya atas berakhir pada kesimpulan yang ragu-ragu. Teeuw menyerahkan pada waktu. Teeuw tidak membuat kesimpulan yang yakin: Hanya waktu yang akan dapat membuktikan apakah Sutardji menjadi seorang perombak dan pembaharu yang pembaharuannya akan dicernakan oleh Bahasa Indonesia --- ataukah dia hilang sebagai angin lalu, memberi kesegaran untuk sebentar, barangkali malahan akan mengadakan lingkungan epigon, tetapi yang nanti tidak ada bekasnya lagi.

Sebelum sampai pada kesimpulan yang tidak simpul itu ia menawarkan dua kemungkinan: kalau puisinya ternyata mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia, maka konvensi akan ditelan dan dicernakan oleh Bahasa Indonesia menadi unsur bahasa itu, atau puisinya hanya akan tinggal sebuah fashion sastra, gejala pinggiran yang dengan sendirinya akan menghilang.

Setelah 27 tahun berlalu, cukupkah waktu yang dicadangkan oleh Teeuw untuk memastikan manakah ramalan yang mewujud? Saya kira ramalan Teeuw menjadi tak relevan kini. Penyair seangkatan dan setelah Tardji tidak cukup percaya diri mengikuti jejaknya, atau sebaliknya mereka sadar Tardji telah membina puncaknya sendiri. Tak guna mengejar atau mencuil-cuil kaki gunung itu.

Sajak Sutardji juga bukan sekadar fashion, trend mode sesaat dalam sastra. Ia memang tidak hendak menjual atau menularkan suatu gaya. Ia hanya menunjukkan jenis dan potongan pakaiannya sendiri. Sejenis busana inggil. Ia tunjukkan bagaimana cara memakainya. Dan ia yakinkan bahwa pakaian itu pun boleh saja tidak dipakai sesekali.

Saya kira kesalahpahaman bisa dihindari dan manfaat bisa dipetik bila kita melihat kredo itu sebagai cara Sutardji memberi teladan pada penyair Indonesia bagaimana bersikap terhadap puisi dan kata. Tengoklah alinea kelima kredo puisinya: "Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.

Kalau diringkas, kata-kata dalam sajak Tardji ia bebaskan dari tiga hal: 1. belenggu kamus, 2. beban moral kata, 3. penjajahan gramatika. Jadi bukan hanya kamus. Dan yang terpenting adalah, apa tujuan dari upaya pembebasan itu. Apa itu? Bila kata telah dibebaskan maka kreativitas dimungkinkan. Nah, inilah intinya, yaitu bagaimana penyair bersikap terhadap kata dan sikap itu kemudian memungkinkan kreativitas pesajakannya. Inilah matlamat penting dari kredo itu.

Buku ini terdiri atas empat penggalan. Pertama penggalan Tardji tentang Tardji berisi 11 tulisan. Kedua, penggalan Tardji Mengaji Puisi berisi (34 tulisan), lalu penggalan Tardji, Sastra, Seni dan Budaya (33 tulisan), dan penggalan terakhir Tardji Mencatat Nama (29 tulisan).

Sutan Takdir Alisyahbana pernah mengatakan karya Sutardji sebagai sesuatu yang main-main dan karenanya bukan sajak. Bagi penyair manapun ini adalah tudingan yang amat menyakitkan.

Ini digunakan oleh Nirwan Dewanto menghantam Sutardji berkaitan dengan wawancaranya yang bicara soal trend "puisi gelap" dalam satu kurun waktu persajakan 1980-1990 ("Trend Puisi Mutakhir: Sajak Gelap", hal 163). Debat pun tersulut. Sutardji lantas menulis esei menjawab para pendebatnya ("Puisi Muncul dan Penyairnya Mati - Polemik Puisi Gelap: Sekilas Jawaban", halaman 168).

Terhadap hantaman Takdir, Sutardji justru membalas dengan positif. Tulisnya, "Pendapat Takdir terhadap puisi saya itu dilandaskan pada kejujurannya dan tanpa bias, suatu sikap positif yang dia peroleh dari pergaulan intenasionalnya, dan bukan dengan niat menekan generasi di bawahnya." Tangkisan ini perlu dikemukan Sutardji sebab ia dalam esei-eseinya di buku ini menunjukkan betapa dia adalah juga seorang kritikus dan penganalisa sajak yang tajam. "Dan kejam," kata orang yang kena kritik. "Kritik yang menyerang," kata Afrizal Malna. Ia misalnya mengulas dengan teliti sajak-sajak Budiman S Hartoyo dan akhirnya menyimpulkannya sebagai sajak-sajak yang membuat dia mengantuk dan tertidur (halaman 187).

Sutardji saya kira tidak asal kejam. Sebab dia ingatkan bahwa dunia persajakan memang keras dan kejam ("Tentang Sikap Kepenyairan", halaman 145). Ada matlamat dari sikap kerasnya itu, dan tentu juga ada manfaat besar bisa dipetik dari sana. Saya kira dia adalah motivator hebat. Ia misalnya, bisa dilihat di buku ini, memberi contoh bagaimana menjadi Popeye yang kuat dengan banyak makan bayam, tanpa menjadi sekedar bayam ("Aku Tak Mau menjadi Bayam, Kata Popeye", halaman 70). Ia adalah pengagum Chairil, ia ambil pelajaran dari sajak-sajak penyair itu, tanpa merebakkan aroma Chairil sedikit pun dalam sajaknya. Sehingga kritikus Dami N Toda sampai pada kesimpulan terkenal soal mata kanan dan mata kiri itu.

Saya kira ada dua pekerjaan rumah yang harus segera dikerjakan menyusul buku ini. Pertama, lekas kumpulkan tulisan-tulisan perdebatan yang dipicu atau melibatkan Sutardji. Kedua, tak kalah penting adalah menerbitkan rekaman pembacaan puisi-puisinya. Keduanya saya kira sama-sama memberi manfaat besar bagi kesemarakan dan kekuatan perpuisian di Indonesia.

Bila ada yang mencemaskan bahwa persajakan Indonesia tidak pernah dibangun di atas pondasi yang kukuh, maka menurut saya sesungguhnya, pondasi itu sebagian besar telah dibina oleh Sutardji. Pertanyaan-pertanyaan mendasar seputar puisi dan sikap kepenyairan telah ia beri jawaban dalam esei-eseinya di buku ini - atau setidaknya ia tunjukkan dimana jawaban itu berada - dan sebagian besar lagi ia beri contoh dengan apa yang telah ia perbuat.[]



Friday, September 14, 2007

Sisi Lembut Seorang Saut



Sajak Saut Situmorang
BANTUL MON AMOUR

di antara reruntuhan
tembok tembok rumah, di ujung
malam yang hampir sudah, kita hanyut
dipacu selingkuh kata kata, seperti bulan
yang melayari tepi purnama
di atas kepala. rambut kita
menari sepi di angin perbukitan
yang menyimpan sisa amis darah
dan airmata.
lalu laut menyapa
dengan pasir pantai dan cemburu
matahari pagi. tak ada suara
burung laut, para pelacur pun
masih di kamarnya bergelut. dalam kabut
alkohol aku biarkan kata kata
menjebakku dalam birahi
rima metafora. kemulusan kulit
kupu kupumu dan garis payudaramu
yang remaja membuatku cemburu
pada para dewa yang, bisikmu,
menggilirmu di altar pura mereka.
aku menciummu
karena para dewa tidak
memberimu cinta sementara aku
cuma punya kata kata
yang berusaha melahirkan makna.

Yogkarta 2007

Sajak Saut Situmorang di atas bersama dua sajaknya yang lain (Aku Ingin dan Perempuan Batu Kota Denpasar) dimuat di Republika Minggu, 26 Agustus 2007. Kata 'pura' dan 'dewa' di sajak itu memantik protes. Seorang wartawan dari Bali di sebuah mailing list jurnalistik bertanya, "seandainya kata dewa diganti 'nabi' dan kata 'pura' diganti 'masjid', apakah Republika akan memuat sajak ini?".

Isu yang dibawa oleh si penanya adalah isu kepekaan media, dalam hal ini Republika, sebuah koran yang warna pemberitaannya sangat Islami. Jadi isunya bukan isu sastra. Dan, sejumlah diskusi yang masih bersumber dari sajak itu di beberapa mailing list pun merebak.

Sajak itu juga dibanding-bandingkan dengan sajak "Malaikat" karya Saiful Badar yang dimuat di "Pikiran Rakyat". Ada yang sama dalam dua perkara ini. Keduanya adalah masalah yang timbul atau ditimbul-timbulkan karena persinggungan atau disinggung-singungkan antara "puisi" dan "agama". Yang tidak sama, pada kasus Saiful si penggubah sajak adalah orang dalam. Pada sajak Saut, dia berasal dari luar wilayah keimanan yang bersinggungan dengan sajaknya.

Apapun, Saut Situmorang adalah sosok penting dalam percaturan sastra Indonesia saat ini. Ia saat ini - dengan cara dan jalan yang ia pilih sendiri menghantam dominasi Komunitas Teater Utan Kayu (TUK). Ia mencemaskan dominasi itu. Majalah Playboy ketika mewawancarai Goenawan Mohamad, sang tokoh sentral TUK, perlu menanyakan ihwal "peringatan-peringatan" Saut Situmorang itu.

Banyak pihak tidak suka dan tidak nyaman dengan gaya dan pilihan cara berwacana Saut Situmorang. Dia pasti tidak akan peduli pada ketidaksukaan orang lain. Saya menyukai esei-eseinya yang selalu tajam dan selalu kuat dengan ide. Ia misalnya pernah menulis di Kompas mempertanyakan tujuan dan pencapaian Kongres Cerpen Indonesia. Ia juga yang membela sastra di internet ketika ada hujatan bahwa sastra di internet adalah sampah.

24 Agustus 2007, ada diskusi di Yogyakarta. Pembicaranya Wowok Hesti Prabowo, Gus tf, Aslan Abidin, dan Saut sebagai moderator. Wowok Hesti Prabowo tampil dengan makalah yang menghantam TUK dengan sejumlah kecemasan akibat dominasi TUK. Ia bersama Saut Situmorang menerbitkan "Jurnal Boemipoetra" yang membawa misi mereka. Aslan mempertanyakan peran redaktur sastra di surat kabar minggu. Gus tf memaparkan ihwal tantangan proses kreatif penyair. Gus tf dan Aslan mempertanyakan "cara kasar" yang dipilih oleh Wowok dan Saut untuk "memperingatkan" TUK.

Saut jugalah tokoh yang getol memperingatkan bahwa sastra Indonesia krisis kritikus. Tidak ada kritik sastra yang baik di Indonesia saat ini. Dengan modal pendidikannya, dengan pengalamannya mengajar dan belajar di luar negeri, saya kira sebenarnya Saut bisa menjadi kritikus yang tajam dan berpengaruh besar. Tapi, sejauh ini Saut telah memilih perannya sendiri, dia menjalani pilihan peran itu dengan caranya sendiri yang membuat banyak pihak tidak nyaman.

Kembali ke sajak "Bantul Mon Amour". Sebagai pembaca saya menyukai sajak itu. Saya melihat sosok lembut seorang Saut pada sajak itu. Bantul pada judul dan imaji reruntuhan pada awal sajak, mengingatkan pada gempa yang terjadi di sana. Tapi, bagaimana pun, saya kira, ini bukan sajak terbaik Saut. Saya menemukan sajak-sajak yang asyik di bukunya "Saut Kecil Bicara dengan Tuhan".

Bagaimana dengan kata "dewa" dan "pura" di penggal akhir sajak itu? Saya kira Saut dengan sadar memilih kata itu, dan pilihan katanya tepat. Ironi, kontras, paradoks antara korban gempa dan "pelacur" yang tak berdaya dan masih saja bergelur di kamar, dengan kecemburuan si "aku" karena si "pelacur" berbisik tentang "para dewa" yang telah menggilirnya di "altar pura". Korban bencana saya kira pas sekali nasibnya disejajarkan dengan para pelacur yang tak berdaya. Tak punya pilihan.

Tetapi para dewa - para golongan orang yang punya banyak hal: kuasa, kekayaan dan segalanya - yang menikmati kemalangan korban dan para pelacur itu - toh tidak memberi cinta. Mereka tidak pernah mencintai para korban itu, mereka hanya menikmati sejauh bisa mereka nikmati.

Dan "aku"? Penyair itu? Hanya punya "kata-kata" yang terus-menerus berusaha "melahirkan makna". Lembut. Halus. Menyentuh. Saya kira ini benar-benar sisi lembut seorang penyair Saut.

Sajak yang baik adalah sajak yang berhasil membuat setiap kata yang ada padanya menjadi berada dalam tanda petik, meski tanda petik itu tidak sepetik pun ada tercantumkan.[]