Sunday, February 29, 2004

Poecture: Anak Menyusu Ibu





NURSE foto oleh Jim Riegel





aku harus menyusuimu, anakku,

melengkapi tugasku jadi ibumu.

reguk jangan ragu, air susu ini

menyatu dalam darahku-darahmu



kutukan itu cuma dongeng,

cuma dongengan yang lucu



: engkau

tak akan pernah

jadi batu.



Mar 2004









Saturday, February 28, 2004

[Ruang Renung # 69] Puisi Lahir Ketika....*

     Puisi lahir ketika....



     Ketika seorang prajurit yang gagah di medan laga menjadi seorang raja. Dia ingin mengenangkan pertempuran-pertempuran yang dia menangkan. Dia ingin rakyatnya membanggakannya. Lalu seseorang yang kalau sekarang disebut penyair pun diminta untuk menyusun kisah pujian dalam kata-kata yang terindah yang bisa ditatanya. Sebuah panegyric. Saat itulah puisi lahir.



     Puisi lahir ketika ...



     Ketika dulu, kerajaan-kerajaan ingin mengabadikan semangat tempur prajurit-prajuritnya dalam lagu yang dinyanyikan ketika menuju ke pertempuran berikutnya. Seorang yang kalau sekarang mungkin disebut penyair dititahkan untuk menyusun syair lagu itu. Syair puja-puji, penggugah hati, pengobar semangat, pengingat kepada janji setia atas raja-raja, atau ringkasan sejarah kejayaan kerajaan. Saat itulah puisi lahir.



     Puisi lahir ketika...



     Sejarah minta diabadikan. Dalam syair-syair lama, kisah kepahlawanan bisa dikenang. Bisa dikaji ulang. Pencatat sejarah ketika itu adalah mereka yang mungkin kini kita sebut penyair saja.



     Puisi lahir ketika ...



     Ketika huruf belum lagi jadi budaya manusia. Bahasa yang susunan kata-katanya indah begitu mudahnya diingat. Lalu, mereka yang kalau sekarang mungkin disebut penyair itu tiba-tiba disergap bosan. Hatinya tergoda menyairkan perasaannya tentang batu karang, gunung, laut, hutan, sungai, tentang kekuatan gaib dan misteri alam, tentang rasa gentar manusia, tentang dewa-dewa, dan makhluk halus. Juga tentang dongeng-dongeng dan kepercayaan yang luar biasa liar imajinasinya. Ketika itulah puisi lahir.



     Puisi lahir ketika ....



     Penyair telah menemukan dirinya sendiri. Memberi makna tak tergugat pada predikatnya itu sendiri. Puisi tak lagi menghamba pada apa-apa, kecuali pada puisi itu sendiri. Ia bebas. Ia mengundang tafsir datang pada dirinya sendiri. Penyair berburu, mencari, mencoba, bereksperimen dengan bahasa dengan puisi-puisinya. Pembaca juga bebas menafsir, jatuh cinta, atau mencampakkan puisi yang mana saja, hasil kerja penyair mana saja. Saat itulah puisi juga lahir. Dan akan terus lahir.



     Puisi lahir ketika ...



     Ketika kita tak berhenti memperdebatkannya. Ia tak peduli.



* Diilhami oleh tulisan Thomas Love Peacock (1785-1866), The Four Ages of Poetry (1820)



Mendaki Tinggi

Sajak Tu Fu



Angin yang melintas lekas, dari surga, seperi jerit duka ungka,

pada pulau berpasir putih bersih, burung terbang memutar.

Di hutan tak berbatasan, daun-daun pohon jatuh berluruhan,

Sungai raksasa, tak berujung gelora gelombangnya.

Seribu mil jauhnya, perkabungan musim luruh, aku mengembara,

seratus tahun lamanya, disesaki sakitnya. Aku mendaki sendiri

Dirudung marabahaya. Kukesali, sudah banyak uban di pelipis.

Putus asa kini, aku tak lagi menenggak anggur bersaput kabut.



Climbing High



Swift wind from heaven high is like an ape's cry of grief,

At the islet of clear white sand, birds circle overhead.

In boundless forest, trees shed leaves rustling down,

The endless great river surges on.

A thousand miles, mourning autumn, I often travel,

A hundred years full of sickness. I climb the platform alone.

Suffering troubles, I regret my temples' many white hairs,

Frustrated, I now stop drinking the cloudy wine.


Atap Gubukku Terlempar

oleh Badai Musim Gugur




Sajak Tu Fu



Bulan kedelapan, deru geram angin musim gugur,

Tiga lapis atap jerami di bubung gubukku tersapu.

Batang padi berserakan bertebaran di sungai,

Ada juga yang terperangkap, tegantung di pucuk pohon,

Ada yang mengapung lalu tenggelam ke dasar selokan.

Ada bocah jalanan dari selatan mengusikku, seringkih aku;

Bisa saja mereka kejam merampok, mempermalukanku,

Tapi, mereka hanya membawa jerami ke pokok bambu.

Mulut dan lidahku kering, sebab menyeru tak tentu tuju,

Lagi, aku tersandar di tongkat sendiri, menghela nafas.

Angin tiba-tiba runduk, awan berubah sewarna tinta;

Langit musim gugur hitam, segenapnya hitam.

Selimut katun tua terasa sesejuk besi dingin,

Anakku yang letih mengigau, mencampaknya.

Atap pun terbang tepat di atas katil. Basah,

Hujan luruh serapat serat rami, dan tak terhenti.

Aku tersesat, tak tentu arah, aku nyaris tak tidur,

Kuyup aku, bagaimana bisa tahan? Malam teramat lama!

Kalau saja aku punya istana, sejuta kamar-kamarnya,

Semua murid-murid, kuberi lindungan dari dingin.

Istana kukuh, sekukuh gunung, tak terusik badai.

Ah, andai istana itu memang telah ada kujumpa,

Aku mati bahagia, membeku di sini, di gubuk rubuh ini!





My Cottage Unroofed By Autumn Gales



In the eighth month autumn's high winds angrily howl,

And sweep three layers of thatch from off my house.

The straw flies over the river, where it scatters,

Some is caught and hangs high up in the treetops,

Some floats down and sinks into the ditch.

The urchins from the southern village bully me, weak as I am;

They're cruel enough to rob me to my face,

Openly, they carry the straw into the bamboo.

My mouth and lips are dry from pointless calling,

I lean again on my cane and heave a sigh.

The wind soon calms, and the clouds turn the colour of ink;

The autumn sky is black in all directions.

My ancient cotton quilt is cold as iron,

My restless children sleep badly, and kick it apart.

The roof leaks over the bed- there's nowhere dry,

The rain falls thick as hemp, and without end.

Lost amid disorder, I hardly sleep,

Wet through, how can I last the long nights!

If I could get a mansion with a million rooms,

I'd give all scholars joy and shelter from cold.

Solid as a mountain, the elements could not move it.

Oh! If I could see this house before me,

I'd happily freeze to death in my broken hut!

Bagi Hua Qing

Sajak Tu Fu



Di Jincheng, serunai mengalun membancuhi lagu sutra

sepenuh hari, separuh mengembus sungai, lainnya ke awan.

Konser semerdu ini, mestinya hanya diperdengar di surga,

di dunia ini, aku bertanya, berapa kali ia sudah dilagukan?



For Hua Qing



In Jincheng, music of silk and flutes mixes together all day,

Half goes to the river breeze, half goes to the clouds.

Music such as this should only be in heaven above,

In this human world, how many times can it be heard?

Thursday, February 26, 2004

[Ruang Renung # 68] Kita dan Kata

     UNTUK sebuah puisi kita sebenarnya tak pernah kehabisan kata. Kata tidak pernah kemana-mana, ia tetap ada. Ia menunggu kita datang padanya, memanggilnya, memakainya untuk puisi kita. Atau kalau beruntung ia yang datang mendekati kita, atau langsung masuk ke dalam puisi kita. Kita yang harus mengakrabkan diri dengan kata sebanyak-banyaknya. Kita yang harus mengulurkan tangan, menawarkan persahabatan dengan kata-kata seakrab-akrabnya.



     KATA juga adalah tanah liat. Yang tak pernah merasa hina kalau hanya dianggap sebagai lumpur yang mengotori kita ketika hujan, Ia juga tak merasa berdosa ketika hanya jadi debu menyesakkan nafas kita ketika kemarau. Dia juga tak merasa dimuliakan ketika kita menempanya jadi keramik yang cantik, jadi puisi yang menyentuh hati.



     JADI, kalau kita tiba-tiba merasa kehabisan kata, merasa dijauhi oleh kata, merasa dimusuhi oleh kata, pertanyaannya pangkalnya yang harus dijawab: Seakrab apa selama ini kita menggauli mereka? Tetapi, jangan pula dilupakan, bahwa dalam perkerabatan yang paling karib sekali pun ada sesekali waktu perlu merenggangkan jarak. Atau melupakan urusan utama yang menyebabkan perkerabatan itu ada. Dalam hal kita dan kata, sesekali kita perlu juga saling menyapa tidak untuk urusan puisi. Bukankah banyak hal lain yang bisa kita perbuat? Hal lain yang juga sama menggembirakan kita? Hal lain yang kelak bisa membuat kita dan kata menemukan kegembiraan yang lain ketika bersama-sama kembali menata ruang: rumah bagi puisi-puisi.[hah]



Tuesday, February 24, 2004

[PANEGERYC] QWERTY



Gambar dari PIXEL FOTO



TIBA-tiba saja saya seperti diingatkan. Laptop TWINHEAD yang menyimpan nyaris seluruh puisi saya itu bermasalah. Masalahnya unik: kunci-kunci huruf Q, W, E, R, T, dan Y tak berfungsi. Tiba-tiba saja seluruh ide puisi terbang. Hanya karena si QWERTY ngadat. Ditulis tangan saja? Entah kenapa juga, tiba-tiba saya merasa asing dengan pena dan kertas.



Tiba-tiba saja saya merasa diingatkan. Betapa pentingnya huruf bagi puisi-puisi saya selama ini. Padahal saya masih suka bikin salah ketik, salah menempatkan huruf. Tidak cermat dan tidak menaruh hormat yang cukup untuk mereka. Juga untuk QWERTY yang tiba-tiba mogokfungsi.[hah]





Monday, February 23, 2004

Sebagai Adam di Pagi yang Dini

Sajak Walt Whitman (1819-1892)



Sebagai Adam di pagi yang dini,

hilang lelah setelah lelap, di bawah langit melangkah,

tetaplah di sana di mana aku lalu, dengar suaraku, dekati aku,

sentuh, sentuhkan tapak tanganmu ke tubuhku, saat aku lalu,

jangan, jangan takuti tubuhku.



As Adam Early in The Morning



As Adam early in the morning,

Walking forth from the bower refresh'd with sleep,

Behold me where I pass, hear my voice, approach,

Touch me, touch the palm of your hand to my body as I pass,

Be not afraid of my body.

Sunday, February 22, 2004

Bertatap Wajah dengan Salju

Sajak Tu Fu



Usai perang, tangis ruh baru terlepas dari tubuh

Lelaki tua, sendiri, bergetaran duka di bibirnya.

Awan selapis mendesak turun, sinar temaram.

Dalam hujan, ada sedikit salju berdansa saja.

Penyiduk anggur tersandar, gelas tak berwarna hijau,

kompor merah padam, tampak masih menyala.

Bagi banyak persinggahan, percakapan berantakan,

aku terduduk, buku tak terbaca, duka tak terasa.



Facing Snow



After the battle, many new ghosts cry,

The solitary old man murmurs in his grief.

Ragged low cloud thins the light of dusk,

Thick snow dances back and forth in the rain.

The wine ladle's cast aside, the cup not green,

The stove still looks as if a fiery red.

To many places, communications are broken,

I sit, but cannot read my books for grief.

Berjalan Sendiri Menikmati Bunga di Tepi Sungai

Sajak Tu Fu



/1/



sebelum Pagoda Huangshi, sungai ini mengalir ke timur,

musim semi cemerlang, aku letih, aku rindu sepoi angin.

rumpun bunga persik tak bertuan, memekar membuka,

merah itu, yang cerah atau yang kelamkah yang dicinta?



/2/



di rumah Huang Si, bunga sesak di jalan setapak

kelopaknya melimpah, hingga cabang merendah

ada kupu-kupu menari, menggirangkan diri sendiri

tersebab cinta, kepodang tak tertahan tangisnya



Enjoying Flowers Walking Alone on a Riverbank



/1/



Before Huangshi pagoda the river flows east,

In spring's brightness I'm tired and need the breeze.

An ownerless clump of peach blossom's opened,

Is dark or light red more to be loved?



/2/



At Huang Si's house, flowers fill the path,

Myriad blossoms press the branches low.

Constantly dancing butterflies stay to play,

Unrestrained, the lovely orioles cry.


Saturday, February 21, 2004

Hujan Putih

sajak Tu Fu



Langit mencurah airnya, kabut musim luruh betapa tipisnya,

Angin barat menghembus, taman sepuluh ribu bunga-bunga li.

Lihat, betapa indahnya pagi, betapa nyamannya,

hujan yang berkelamaan, tak melukai tanah ini.

Berjajaran pohon-pohon, berebut memamerkan hijaunya,

Di bukit kecil itu, sepohon pir berbunga, merah warnanya.

Ada terung mengusung tinggi buahnya, dengan bangga,

ketika melintas seekor angsa, terbang tinggi di angkasa.



Clear Rain



The sky's water has fallen, and autumn clouds are thin,

The western wind has blown ten thousand li.

This morning's scene is good and fine,

Long rain has not harmed the land.

The row of willows begins to show green,

The pear tree on the hill has little red flowers.

The eggplant boldly fruits upstairs,

One goose flies high into the sky.


Monday, February 16, 2004

[Tentang Puisi] SAMUEL JOHNSON: Sebuah Puisi. Sebuah Penemuan!

Inti, esensi dari puisi adalah PENEMUAN; sebagaimana penemuan-penemuan lainnya, puisi juga menghasilkan sesuatu yang tak tertangguh, mengejutkan dan menggirangkan.



PUISI

aku rawa, kau jerambang





Feb 2004





EPHEMERAL BEING, David Moore















Sunday, February 15, 2004

[Ruang Renung # 65] Apakah Puisi?

    KETIKA pertama kali tertarik dan mulai menulis puisi, saya tak ingin bertanya apakah puisi itu. Saya hanya seperti bertemu sahabat lama dan kami lalu memasang sepatu petualangan. Tiba-tiba, bersama puisi, di depan dada terbentang gunung, langit, laut, sungai, semuanya juga menawarkan penjelajahan yang tak habis-habisnya.



    TETAPI setelah petualangan bertahun-tahun -- petualangan yang belum sampai ke puncak manapun, ke ujung manapun -- tiba-tiba pertanyaan yang paling merisaukan itu datang. "Apakah puisi itu?". Saya terus terang benci dengan pertanyaan itu. Bertahun-tahun saya tidak peduli tak hendak hirau. Dan kami, saya dan puisi -- terus saja memetualangi apa saja. Sesekali pulang ke rumah, sesekali saling menjauh dan kembali lagi bersama dengan petualangan yang lain.



    DALAM pengembaraan itu, akhirnya kutemukan juga kalimat yang sebenarnya sama sekali tidak menjawab. Saya jadi tidak merasa bersalah dan tidak terus menerus merasa sebagai sahabat yang bodoh yang tidak tahu sahabatnya sendiri.



    INI dia jawabannya: Sesungguhnya tidak ada definisi bagi puisi -- tepatnya tak ada definisi yang lengkap memuaskan, sungguh-sungguh memberi kejelasan, dan bukan sebuah tautologi, sekadar mengulang-ulang kata tanpa menambah kita jadi mengerti. Nah! Karena itu juga, tidak ada resep atau manual atau petunjuk cara membuat puisi yang baik.



    MARI bertualang lagi. Terus mengembara lagi.[hah]

[Ruang Renung # 66] Tetapi, Apakah Puisi?

    Ya, tetapi apakah puisi? Baiklah, ada jawaban lain. Puisi adalah sepotong tulisan pendek yang imajinatif dari pengalaman seseorang yang ditulis dalam bait bait. Itu sebuah jawaban yang umum, bukan? Ya, dan sudah cukupkah untuk mengerti apa itu puisi? Karena sepotong alinea dari sebuah cerita pendek bukan puisi. Karena itu, definisi puisi memang susah ditetapkan. Seperti hanya umumnya hal yang bersentuhan dengan estetika. Mungkin perlu satu tambahan pasal: puisi adalah ikhtiar atau tugas untuk mengertikan dunia dengan peristilahan manusia lewat komposisi sastra. Nah, makin mengundang tanya kan?



    Puisi adalah mengikut atau bahkan menjadi penghulu dari perubahan arus pemikiran dari masa ke masa. Secara umum, banyak diterima pembedaan puisi atas tiga cara pandang. Tetapi, harus buru-buru ditambahkan bahwa ini pun masih asyik buat dibikin debat.



    1. Penganut faham tradisionalis berhujah puisi adalah ekspresi dari sebuah pandangan yang diungkapkan dalam bentuk yang dimengerti dan menyedapkan orang lain, dan mungkin membangkitkan emosi yang sejenis.



    2. Bagi kalangan modernis, puisi adalah sebuah objek yang berdiri sendiri yang bisa saja tidak merupakah penjelmaan dari apa yang ada nyata di alam, diciptakan dalam bahasa yang khas dan dengan jaringan makna dan rujukannya yang kompleks.



    3. Lalu kaum posmodernis melihat puisi sebagai kolase-kolase dari idiom-idiom terkini yang membangkitkan rasa ingin tahu, lalu mengisi maknanya sendiri -- dan puisi memakai, menantang dan atau melecehkan konsep-konsep yang sebelumnya, tetapi juga tidak merujuk ke luar puisi itu sendiri.



    DUH, puisi. Saya makin tidak mengerti.[hah]

[Ruang Renung # 67] Puisi yang Sekadar Makna

Squid on A Chessboard TIDAK ada yang memaksa kita untuk menyukai atau membenci sebuah lukisan abstrak. Taruh kata itu lukisan Pablo Picasso pada periode kubisme misalnya. Tak ada pula yang memaksa kita meminati atau sama sekali tak peduli pada lukisan naturalis. Bangkitnya rasa suka, seperti sebuah misteri. Ada jejak-jejak yang bisa bercerita hingga kita bisa sampai pada, "....saya pernah... dulu saya... maka saya sekarang....."



ADA memang yang menuliskan puisi dengan patuh pada perangkat-perangkat puitiknya. Ada yang hanya asyik bersulang irama saja dengan kata-kata dalam puisinya. Ada yang hanya asyik pada memberi beban makna pada puisi-puisnya. Mungkin dia sadar melakukan itu. Mungkin tidak. Mungkin itu pilihan dia, mungkin pula hanya itu yang dia mampu. Kita juga boleh memilih mana yang sedap kita baca.



SEDANG tentang puisi itu sendiri kita bisa berdebat panjang, apatah lagi tentang puisi apa yang masing-masing kita sukai. Tetapi satu hal, ketika menulis puisi, ketika kita memilih menjadi penulis puisi yang bersungguh kita harus menjadi seorang Picasso dan jalan seni rupa yang sudah dipilihnya.[hah]

Peter Pan





: tomi lebang



/1/



Di taman Kensington, kami bertemuan.



Berkenalan. Dia tolak menjadi tua.

Aku sangat ingin jadi diriku sendiri.



"Namamu?"

"Peter Pan," kusebut sebuah samaran.



Lalu dia mengajak ke Neverland.

Aku tak minat ikutan, "Ngapain..."



Bukankah kegembiraan berterusan

adalah juga semacam siksaan?

Padanya ini kudustakan. Kudustakan.



/2/



Di taman Kensington, kami berpisahan.

"Kalau ada dongeng baru," kukatakan,

"kirimkan kepadaku lagi, ya, Teman...."



/3/



Maka di sinilah aku sambil nunggu,

tak juga ketemu yang lama dicari,

eh, malahan keasyikan di dalam

dongeng demi dongeng sendiri.



Feb 2004



Saturday, February 14, 2004

Contemplating You

      : crazy poet



ini malam kita, masih dia yang telanjang

sekoyak gelap serenggut senyap. Kubuang



kita berbaring lagi. Kau berbantal mimpi,

aku memeluki sepi, bunyi-bunyi memusuhi.



bertatapan sekejap, teka teki belum terjawab

jantung jam mendegup gagap, ke batasan harap.



berakhir pada pagi. rebah bekasmu ada di sisi,

hangatnya kutebak: ini siksa atau kau puisi?





Feb 2003

Knock

     : Agustinus Wahyono



ini kita yang terkurung

di sesak dada sendiri.



tok, mengetuk-ngetuki hati,

"Di situ tak ada pintu lagi!"



di atas meja: dua bilah pisau,

tak ada kursi! tak ada kursi!



cuma lantai yang telah lama

kering, kita harus bertarung.



Feb 2004

Amnesia

    : Sam Haidy



tengoklah, ini kita yang

tak akan pernah nyerah,

pada lelah, pada kalah.



yang menjerat kaki

yang menyesak hati

: serbu seribu

mimpi tanpa arti.



biarlah, ada yang memang

rantai yang harus putus.



biarlah di benak, pun ada

yang mesti terbuang terhapus.



Feb 2004

Friday, February 13, 2004

[Ruang Renung # 63] Bila Shakespeare tidak Lahir di Inggris

Shakespeare, etsa Ralph Steadman

    ADA yang tidak bisa memahami puisi yang ditulis dalam satu bahasa. Dia lebih menikmati puisi dalam bahasa lainnya. Bahasa memang memiliki karakter dan kemampuan berbeda ketika digunakan sebagai alat berekspresi. Karakter dan kemampuan yang berbeda itu, sebaiknya tidak dipakai untuk mengadili si bahasa. Keduanya - karakter dan daya bahasa tadi - bisakah dia kita gunakan sebagai kekuatan puisi-puisi kita.

    Memang, sebuah bahasa adalah sebuah produk budaya. Dulu pernah diragukan apakah Bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa pengantar yang baik bagi ilmu dan bahasa untuk kesusastraan. Sebab pada awalnya, dia adalah bahasa perdagangan. Sampai kini pun, terutama untuk sains, keraguan itu masih ada. Tetapi, ketimbang ikut meragukannya, para pujangga-pujangga perintis kita justru merambah belantara bahasa itu untuk membuka jalan baru, jalan ke arah pencapaian baru. Jalan yang kini kita nikmati kelapangannya. Bukankah puisi, adalah jalan menuju ke masa depan bahasa-bahasa?

    Lalu, bahasakah yang membuat seseorang jadi penyair?

    Apakah Chairil Anwar akan jadi penyair bila dia tidak lahir di Indonesia? Bila seorang Shakespeare tidak lahir di Inggris apakah dia tetap jadi seorang pujangga? Juga bila Pablo Neruda tidak lahir di Chili akan jadi penyair jugakah dia? Mungkin ya. Tetapi pasti mereka akan jadi pujangga yang berbeda dari yang kita kenal sekarang. Karena, seperti Neruda, dia memaparkan banyak hal yang mempengaruhi proses dia menyair. Pengaruh yang terutama adalah alam negeri Chili yang dikepung pegunungan Andes. Jadi bukan bahasa Spanyol yang ia gunakan untuk berkarya.

    Jadi, menyairlah dengan bahasa apa pun yang menyelesakan kita.[hah]

[Ruang Renung # 64] Lagi, Berpuisi? Atau berteori?

   BERPUISIKAH dahulu atau berteori puisi?

   ARISTOTELES, si pemikir Yunani itu, ada menulis sebuah buku The Poetic. Tulisan itu bisa dibaca dalam bentuk buku-el (e-book) di situs Project Gutenberg (http://gutenberg.net). Aristoteles menulisnya di tahun 330 sebelum masehi.

Aritoteles

   UPAYA menerjemahkan risalah itu ke dalam bahasa Inggris oleh para pakar bahasa dan literatur sungguh berat. Di antara sepuluh kata dalam satu halaman naskah asli buku itu, jarang bisa ditemukan satu saja yang punya padanan pasti dalam bahasa Inggris. Waktu dan perubahan budaya sudah membuat jarak penerjemahan itu semakin menjadi teluk yang lebar da dalam.

   TETAPI satu hal yang tetap bernilai adalah bahwa The Poetic merupakan sebuah pencapaian kecendekiaan; sebuah pengekal informasi tentang literatur Yunani di masa itu; juga menjadi sebuah wawasan kritik seni yang klasik. Aristoteles tidak lagi melihat puisi sebagai sebuah inspirasi yang tak bisa dianalisa.

   RISALAH The Poetic mencoba dengan metode yang rasional menerokakan apakah yang disebut indah dan kenapa dianggap indah dalam seni - termasuk puisi tentu saja. Tetapi tentu saja, kini teori-teori dalam karya Aristoteles itu banyak yang tak relevan lagi

   ARTINYA, bagi seorang Aristoteles yang pemikir, dia bekerja menyusun teori di atas karya-karya yang ditulis pujangga lain. Jadi masih ada peluang untuk memilih, menjadi pujangga - tanpa atau dengan pengetahuan tentang teori yang sudah ada - atau menjadi penyusun teori dengan mengkaji seluruh karya yang sudah ada. Atau menjadi keduanya.

   DAN tantangannya adalah bisa jadi kita akan menghasilkan karya-karya yang membuat seorang Aristoteles di zaman kita mampu menyusun teori-teori baru. Atau menjadi Aristoteles yang mampu menemukan hal-hal yang baru dalam bertebaran karya-karya yang kini telah ada.

   SILAKAN memilih atau tidak memilih. Itu juga pilihan.[hah]

Thursday, February 12, 2004

Pholph's Scrabble Generator










SCRABLE



beri aku huruf, ujarmu

lima buah saja



maka kuserahkan h, i, t, a dan m

lalu kau susun sebuah kata



aku mengejanya: mati...



nah, kau sudah pandai membaca



tapi aku tak sempat bertanya

mengapa satu huruf masih kau simpan

sebab sebelum pergi kau bisikkan

sebuah alasan



: ini untuk kenangan,

kelak kurekatkan di batu nisan



4/2001




A Poecture, A Poetry, A Picture





Mendulang, drawing pen on paper by Agustinus Wahyono.



Wednesday, February 11, 2004

[Ruang Renung # 62] Berbelanja Kata

    ADA sebuah pasar serba ada. Kamus namanya. Sesekali pergilah kita untuk berbelanja di sana. Ada kata-kata yang tiba-tiba bisa menarik hati kita. Menarik untuk dibuat puisi, tentu saja. Penuhilah keranjang belanja kita selama menelusuri lorong-lorong pasar itu. Ada kata-kata yang terasa lain ketika kita melihat ia ada di antara kata-kata lain di sana. Ada kata yang selama ini terasa istimewa bagi kita tapi ternyata di sana, ia bukanlah apa-apa. Ada kata yang tiba-tiba kita merasa pernah begitu akrab dengannya.



The Butterfly-Legendary Themes PENUHILAH keranjang belanja kita. Lalu pulang. Dan kemudian biarkan kata-kata itu berloncatan gembira, mematut-mamut dirinya, memadan-madankan dirinya dengan kata lain. Mungkin kita bisa menjaga kegembiraan itu, atau bahkan mengekalkannya ke dalam satu dua bait puisi.



    SELAMAT berbelanja.[hah]

[PANEGYRIC] Ada yang Ingin Membunuhmu, Sapardi

   SEBENARNYA panegyric ini hendak kuberi judul: Apa Kabar Apa Hari Ini, Pak Sapardi? Seperti judul buku puisi termutakhirmu. Tapi, yang lebih mengganggu adalah saran seorang kritikus. Katanya, kau dengan karya-karya yang masih jadi milikmu dan sudah pula terwariskan kepada kami para pencinta puisi dan pecintamu, tidak jadi memberkahi. Tetapi malah membebani. Karena itu untuk membentangkan panorama sastra yang lebih memberahikan: kau harus dibunuh!

   Mungkin sang kritikkus itu ada benarnya. Karena kau juga sudah jadi semacam mitos. Menulis puisi sepertinya telah termaksudkan apabila puisi itu kami tulis seperti puisi-puisimu. Bahkan di mata sang kritikus, dengan mata yang tajam, bisa dia lacak, mana yang menulis puisi dengan merumitkan gayamu, dan mana yang memperluaskan karya-karyamu.

   Tak ada yang berada di luar kepungan bayangmu. Lihat, betapa sang kritikus itupun telah pula terjebak dalam kebesaranmu. Mungkin benar, kau memang pohon paling teduh yang berbunga kata-kata indah. Dan bahkan daunmu yang jatuh adalah puisi lain yang menawarkan dan menyimpan makna yang sama indahnya.

   Ada berkali-kali, aku kirimkan puisiku ke alamat emailmu. Ada yang kau balas. Kau memuji puisiku, dan kau bilang itu bukan memuji yang basa-basi. Selebihnya mungkin hanya kau baca. Sebagai seorang guru besar di sebuah perguruan tinggi, tentu kau sibuk. Saya maklum. Apalagi saya tahu kau juga menggagas Jurnal Puisi yang tiap tahun memberi penghargaan kepada beberapa puisi terbaik yang terbit di Jurnal itu. SIH Award namanya. Maka izinkan saya untuk sesekali mengganggumu lagi dengan kiriman puisi, memenuhi inbox dalam alamat emailmu.

   Saya tak ingin membunuhmu.

   Saya hanya ingin terus menulis puisi.

   Terus menulis.

   Seperti engkau.[hah]







[Ruang Renung # 61] Berpuisi? Berteori?

    ADA banyak cara untuk jatuh cinta. Juga kepada puisi. Bisa jadi kita jatuh cinta sejak pertama kali berpandangan mata dengannya. Bisa jadi kita jadi cinta setelah kita sering bertemu, meskipun pada awalnya tidak terdesir di hati rasa apapun. Setelah kita bercinta pun, bisa saja kita tiba-tiba kehilangan gairah dan mungkin sesekali menyakiti hatinya.



The Crush -Legendary Themes    DALAM perkasihan itu di manakah peran teori sastra? Puisi, si kekasih itu, memang harus kita kenali anatomi fisik dan kelaku perangainya. Ketika kita berdekatan, kekasih yang jujur dan ikhlas mencintai dan dicintai akan bercerita banyak kepada kita siapa dia sebenarnya. Dia tak akan takut kita akan meninggalkan dia setelah membuka setelanjang-telanjangnya siapa dia sesungguhnya. Kita pun, sebagai kekasih yang tulus dan mencintai puisi tanpa niat mengelabui dia, pasti akan lebih bertambah lagi mencintai ketika kita lebih banyak tahu tentang dia, puisi, sang kekasih itu.



   ADA memang, orang di luar sana yang memakai teori itu sebagai pisau. Membedah membelah mencacah tubuh puisi untuk mencari hakikat puisi itu yang sebenarnya. Itupun tidak salah. Puisi toh tidak akan mati. Dia ikhlas diperlakukan seperti itu, karena dia yakin itu juga dilakukan dengan dan atas nama cinta. Sesekali, kita pun perlu berada di luar puisi belajar mengasah pisau, atau malah menemukan alasan untuk lebih mencintai setelah menggenggam pisau yang paling tajam di tangan kita.[hah]

Monday, February 9, 2004

[Ruang Renung # 60] Hiruk Pikuk di Luar Puisi

    DI LUAR puisi, ya di luar puisi ada yang asyik berdebat. Saling menarik urat leher. Mereka memperdebatkan puisi. Mereka mengatasamakan puisi. Ikuti saja perdebatan itu, kemanapun berujungnya, atau bahkan kalau pun ia tak berujung kemana-mana, kusut ruwet, ikuti saja.



    Ikuti saja walau kita sendiri tak mengerti. Mereka yang berdebat itu memang luar biasanya pedulinya kepada puisi. Puisi kadang memang menarik untuk diperdebatkan. Atau barangkali memang takdir puisi salah satunya adalah menjadi bahan perdebatan. Bukankah puisi itu sendiri tak pernah tuntas didefinisikan? Bukankah ada seorang Sutardji yang bilang: Puisi adalah apa yang diniatkan oleh penulisnya. Nah, sebuah pernyataan yang sangat menarik untuk diperdebatkan bukan?[hah]

Mudah Sekali Bilang Selamat Malam

: Carl Sandburg



Kita hanya perlu sebuah pertemuan yang tergesa, dan

perbincangan setengah hati yang bertolak kehendak.



Kita hanya perlu sebuah benci yang terendam garam,

kau mengutuki lekat asinnya, aku memuja pedihnya.



Ini rumah aku bertamu. Ada ranjang di kamar menantimu.

Di luar, malam membagi kartu. Bertaruh untuk kekalahanku.



Feb 2004.

Hal Ihwal Mengarang

Syair Rabindranath Tagore



Katamu, ayah menulis banyak sekali buku,

tapi apa yang ditulisnya, tak mengerti aku.



Untukmu, sepanjang malam ayah membaca,

tapi mengertikah kau apa makna yang ia baca?



Betapa menariknya ceritamu untuk kami, ibu,

kenapa Ayah tak bisa menulis sebagus itu?



Pernahkah Ayah mendengar kisah dari ibunya?

Kisah peri-peri, para pangeran dan raksasa?



Telahkah ia lupa semua kisah-kisah itu?



Seringkali, setiap kali Ayah terlambat mandi,

engkau pergi memanggilnya seratusan kali.



Engkau menunggunya dan menjaga hidangan

untuk makan malamnya tetap hangat, tetapi

tetap saja dia terus menulis dan lupa makan.



Ayah selalu bermain saja, menulis buku saja.



Ketika aku menyelinap masuk bermain di ruang

kerja Ayah, engkau datang memanggil namaku,

"Kau, memang anak nakal!"



Ketika aku bising sedikit saja, kau akan bilang,

"Ayahmu sedang bekerja, kau tak melihatnya?



Apa gerangan sedapnya menulis dan menulis?



Ketika kuambil pena atau pensil milik ayah dan

menulis dibukunya, seperti yang dilakukan ayah

-- a, b, c, d, e, f, g, h, , -- kenapa kau salahkan aku?



Kau tak sekata pun berujar, ketika Ayah menulis.



Ketika ayahku menyampah setumpukan kertas,

ibu, kau sama sekali tak nampak keberatan.



Tapi, kalau kuambil selembar saja kertas untuk

membuat kapal-kapalan, apa katamu? "Anakku,

kau cuma merepotkan, betapa menyusah saja!"



Lalu apa yang kau pikirkan ketika ayah membuang

selembar kertas dan selembar lagi, dengan coretan

hitam di kedua sisinya?



* Syair ke-29 The Crescent Moon.



----



AUTHORSHIP



You say that father writes a lot of books, but what he writes I

don't understand.



He was reading to you all the evening, but could you really make

out what he meant?



What nice stories, mother, you can tell us! Why can't father

write like that, I wonder?



Did he never hear from his own mother stories of giants and

fairies and princesses?



Has he forgotten them all?



Often when he gets late for his bath you have to go and call him

an hundred times.



You wait and keep his dishes warm for him, but he goes on writing

and forgets.



Father always plays at making books.



If ever I go to play in father's room, you come and call me,

"what a naughty child!"



If I make the slightest noise, you say, "Don't you see that

father's at his work?"



What's the fun of always writing and writing?



When I take up father's pen or pencil and write upon his book

just as he does,--a, b, c, d, e, f, g, h, i,--why do you get

cross with me, then, mother?



You never say a word when father writes.



When my father wastes such heaps of paper, mother, you don't seem

to mind at all.



But if I take only one sheet to make a boat with, you say,

"Child, how troublesome you are!"



What do you think of father's spoiling sheets and sheets of paper

with black marks all over on both sides?












Sunday, February 8, 2004

[Tentang Puisi] Puisi dengan Hati, George Steiner

Steiner







Saya berutang pada sebuah sistem yang membuat saya belajar dengan hati hingga saya menangis. Hasilnya saya punya ribuan baris puisi yang juga ditulis dengan hati. Saya berutang pada semua ini.

Sam's Poetry Hasan's Translation

DAYDREAM

Sam Haidy's Poetry



Wait for the snow flake

Fall into desert's lake

Is the silliest mistake

That I could ever make



By one's shake

Now I awake

Goodbye, sweet fake!



MIMPI KESIANGAN

Alihbahasa Hasan Aspahani



Ketika menunggu salju turun

Aku terjatuh ke danau gurun

Itulah betapa tololnya kesalahan

Itulah yang pernah aku lakukan



Lalu seseorang tiba meraih tangan

Maka kini aku pun bangun berjalan

Selamat tinggal, si manis gadungan!



------------



THE CURSE

Sam Haidy's Poetry



Among those gathering people

I am invisible

Like Bermuda Triangle



In their white and black spectacle

I am the cripple

Exiled from craddle



Do I eat Adam's apple?





SUMPAH SERANAH

Alihbahasa Hasan Aspahani



Di antara kerumun mereka

Aku tak tertampak mata

Seperti Segitiga Bermuda



Dalam hitam putih kacamata

Aku si pincang tak berdaya

Terusir dari buai rahim ibunda



Apel Adam, aku memakannya?



------



FATAL DOUBT

Sam Haidy's Poetry



Whenever I talk,

I talk with disbelief.

Whenever I walk,

I walk like losing grip.



For all my hesitate,

I shall die in regret...



RAGU YANG MEMBUNUH

Alihbahasa Hasan Aspahani



Ketika aku berkata kapan saja,

aku bicara tidak dengan kepercayaan.

Ketika aku melangkah kapan saja,

aku berjalan bagai hilang pegangan.



Selama seluruh raguku meraja,

Aku kelak mati dalam sesalrasa...



--------

THE DICTATOR

Sam Haidy's Poetry



From Caligula,

The Roman dracula,

To Adolf Hitler,

The German monster,

Come from similar seed;

Still they breed





SANG DIKTATOR

Alihbahasa Hasan Aspahani



Sejak Kaligula,

Drakula dari Roma,

Hingga Adolf Hitler

Jerman punya monster

Dari benih yang sama berbiak

Masih saja beranak berpinak.

Ketika Malam, Ketika Pintu Menutup*

Sajak Pablo Neruda



Kekasih, ketika malam, ketika menutup pintu

Kutanya kau, perjalanan melintasi gelap ruang:

tutup mimpimu: masukkan langitmu ke mataku:

rentang ia di darahku, bagai sungai membentang.



Selamat tinggal, kenyataan pahit yang masuk

ke dalam tas berisi setiap hari-hari yang lalu:

Selamat tinggal pendar jam, buah-buah jeruk:

Selamat datang O bayangan, sahabat sewaktu!



Di perahu ini, atau air, atau maut, atau hidup baru,

sekali lagi kita menyatu, tertidur, terbangkit lagi:

kita adalah perkawinan malam hari dalam darah.



Aku tak tahu hidup dan mati, tidur dan bangun

tapi itulah hatimu yang diantarkan hingga tiba

di dadaku, hadiah yang diberikan fajar hari.



* Sajak ke 82 dari 100 Soneta Cinta



-----

‘My love, at the shutting of this door of night’



My love, at the shutting of this door of night

I ask of you, love, a journey through a dark pound:

shut out your dreams: enter with your sky my eyes:

stretch out in my blood as if in a wide river.



Goodbye, goodbye, cruel clarity that was dropped

into the bag of every day of the past:

goodbye to every gleam of clocks or oranges:

welcome oh shadow, periodic friend!



In this boat, or water, or death, or new life,

one more time we unite, slumbering, resurrected:

we are the marriage of the night in the blood.



I don’t know who lives or dies, sleeps or wakes,

but it is your heart that delivers,

to my chest, the gifts of the dawn.


Pada Mulanya*

Syair Rabindranath Tagore



"Dari manakah gerangan aku datang? Dimanakah

engkau menjemputku?" Bertanya bayi kepada ibu.



Si ibu lalu menjawab, setengah menangis ia,

separo tertawa ia, mendekap bayi ke dadanya,

-- "Engkau bersembunyi di hatiku sebagai

keinginanku, hasrat terkuatku, kekasihku.



Engkau ada dalam boneka masa kanakku;

dan dengan tanah liat kubentuk imaji Tuhan,

setiap pagi, kubuat juga engkau, Anakku.



Engkau abadi bersama dewa di rumah kita,

dalam setiap doanya, kudoakan juga engkau.



Dalam setiap harap dalam setiap cinta, dalam

hidupku, dalam hidup ibuku, engkau telah hidup.



Dalam pangkuan jiwa yang pernah mati, yang

hidup di rumah kita, engkau bertahun diasuh.



Dan di masa gadisku, hatiku membuka kelopaknya,

engkau adalah aroma wangi menyemerbak disana.



Kelembutanmu bunga mekar di tangkai mudaku,

seperti penda di langit sebelum matahari bangkit.



Surga yang pertama, Sayangku, lahir kembar

bersama cahaya pagi, engkau mengapung dalam

arus hidup dunia, akhirnya terdampar di hatiku.



Ketika kupandang wajahmu, misteri mengepungku;

engkau milik dunia, kini menjadi milikku sepenuhnya.



Karena takut kehilanganmu, kudekap kau erat di dada.

Keajaiban apa ini? Pusaka dunia apa ini? Terperangkap

di dalam dua dekap, tanganku yang lemah ramping?" --



* Syair ke-7 The Crescent Moon



----










----



THE BEGINNING



"Where have I come from, where did you pick me up?" the baby

asked its mother.



She answered half crying, half laughing, and clasping the baby to

her breast,-- "You were hidden in my heart as its desire, my

darling.



You were in the dolls of my childhood's games; and when with clay

I made the image of my god every morning, I made and unmade you

then.



You were enshrined with our household deity, in his worship I

worshipped you.



In all my hopes and my loves, in my life, in the life of my

mother you have lived.



In the lap of the deathless Spirit who rules our home you have

been nursed for ages.



When in girlhood my heart was opening its petals, you hovered as

a fragrance about it.



Your tender softness bloomed in my youthful limbs, like a glow in

the sky before the sunrise.



Heaven's first darling, twin-born with the morning light, you

have floated down the stream of the world's life, and at last you

have stranded on my heart.



As I gaze on your face, mystery overwhelms me; you who belong to

all have become mine.



For fear of losing you I hold you tight to my breast. What magic

has snared the world's treasure in these slender arms of mine?"


GMT, The Home of Time

Masa memang tak bertepi tapi

waktu punya permulaan - Tomi Lebang








Time, gambar digital dari LEGENDARY THEMES






/1/



Ada toko cendera mata di kota itu

berjualan waktu. Tetapi, katamu,

dagangannya itu tak pernah laku.

Orang datang ke sana membeli jam antik,

kalender, cermin, dan gantungan kunci.



Tak ada yang membeli waktu.



"Ngapain, sih? Kami datang kesini

justru karena kebanyakan waktu,

justru karena ingin membuang waktu..."



/2/



Diam-diam aku melancong ke sana,

menyamar jadi waktu: pukul 0:0:0!



Kau yang berjaga di gerbang imigrasi

ke negeri-negeri asing, ke masa lalu,

kau yang mengenaliku. "Tak usah

menyamarlah, Saudara, di sini tak

akan ada yang bertanya: jam berapa?"



Memang tak ada, juga tak ada yang bertanya:

nama Anda siapa? Sebab plesiran

ini abadi, mencari waktu yang paling tepat

untuk mati atau lahir lagi, dan mencari kata

yang paling pas untuk nama bagi diri sendiri.



/3/



Aku singgah juga di toko itu. Mencari

waktu buat oleh-oleh diriku yang tertinggal

di rumah.



"Apa tidak mencari souvenir yang lain

saja, Saudara?" tanya Penjaga Toko

sambil mengelap debu di wajah sebuah

jam yang tampak sudah sangat tua. Tapi

tiktok tiktoknya seakan berkata: aku akan

selamanya memberi tanda pada waktu yang

setia menanti saat kematianku tiba!



Akhirnya aku memilih sebuah jam yang

bisa menangis setiap pergantian hari tiba.



"Saudara harus pandai membujuknya,"

pesan si Penjaga Toko, "kami tidak

memberi garansi kalau tiba-tiba dia

berubah gembira, jadi suka tertawa."



/4/



Begitulah kini. Setiap tengah malam tiba,

tepat pukul 0:0:0, kami menangis bersama.

Dengan dua alasan yang berbeda:



Aku nyaris menyerah sebab tak bisa menguasai dia,

Dia sudah pasrah karena tak juga bisa mengerti aku.



Feb 2004

Wednesday, February 4, 2004

Ketika SAM HAIDY Memikat Hasan Aspahani*

SPINNING CYCLE

Sam Haidy's Poetry



On this earth with no edge

Everyone's trapped in cage

Surrounded by the hedge



They fill up the blank page

While count down rest of age

With love, as the language ...



LINGKARAN BERPUTARAN

Alihbahasa Hasan Aspahani



pada dunia yang alangkah luas

kita terperangkap, tak terlepas

dikepung pagar, dikurung batas



pada halaman kosong menulis kita

menghitung sisa hingga habis usia

dengan cinta: menjadi bahasa ...



-----



THE STRANGER*

Sam Haidy's Poetry



Yet you don't know me,

neither do i ...

You fly with your own wings,

I run with my own feet.

Once upon a time ...

When your wings clipped,

and my feet slipped,

we float in one ship ...





YANG ASING YANG SAMA TERAPUNG

Alihbahasa Hasan Aspahani



Beginilah, kau tak tahu siapakah aku,

Begitupun, aku tak tahu siapa pun aku...



Engkau terbang mengibas sayapmu

Aku berlari sendiri memacu kakiku.



Lalu tiba kelak pada suatu waktu

: sayapmu tak lagi mengepaki

dan kakiku gelincir terkunci.



Di atas kapal sama, mengapung kita...



THE SUN & MIST-COVERED MAN

Sam Haidy's Poetry



1



Sunset may ends the day

Sunrise may ends the night

You are my eternal sun ...



2



I'm a gold wait to be scratched

I'm a giant wait to be awaken

Will you?



MATAHARI DAN LELAKI BERHIJAB KABUT

Alihbahasa Hasan Aspahani



/1/



yang terbenam menghabisi letih hari

yang terbit mengakhiri kelam malam

kau tetap saja kau, kekal matahariku



/2/



aku sebongkah emas minta dimurnikan

aku raksasa lelap nunggu dibangunkan

maka kutanya kini, engkaukah kelak itu?



* Dari milis SEJUTA_PUISI.

Sajak Ini Kuberi Judul: Buku






Book Nude, oleh Howard Kanovitc, 1979, 33 x 24, litograp pada kertas.





/1/



Pada hari ulang tahunku, ada yang memberi kado

: sebuah buku. Aku terkejut karena ternyata

ada engkau dalam kado itu.



"Selamat ulang tahun, ya," katamu.



Sejak saat itu, kau dan aku,

menjadi kekasih abadi.



Sehidup.

Semati.



/2/



Engkau, Sayangku, adalah buku,

aku membaca matamu tak jemu.



Sampai kau bilang, "Sudah ya,

aku mau memejam dulu..."



"Ya," jawabku - sambil diam-diam

berharap kau mengajakku tidur

bersamamu. Dan membayangkan

halaman paling rahasia dari dirimu.



Halaman yang hanya bertulisan

sebuah kata, yang kau sendiri,

belum pernah membacanya.



"Mungkin saja, itu hanya teka-teki.

Yang sudah kau tahu jawabnya. Kau,

silakan menebak apa pertanyaannya..."

katamu pada suatu hari.





/3/



Di Toko Buku.



Aku sering tersesat ke masa lalu,

menjadi bocah nakal lagi,

berlarian tanpa sepatu,

berguling-gulingan di lumpur,

memanjat pohon kedondong.



Tak ada yang bisa menghentikan:

kecuali Waktu. Kecuali waktu.



"Ah, siapa bilang begitu," kata Waktu.

Tapi, aku tak mendengarnya. Tentu.



Karena di Toko Buku, aku terlalu sibuk

mencari-cari matamu. Yang hendak

kubaca lagi dengan setumpuk rindu...

tapi, akhirnya, lagi-lagi hanya tersesat

ke masa lalu.



"Rasain, lu," kata Waktu. Dan aku

lagi-lagi tak mendengarnya. Tentu.



/4/



Di ranjangku yang paling syahdu,

bertebaran buku-buku di sisiku.

"Salah satunya adalah kamu, Sayangku..."

kataku sambil menatapi sampul-sampul

itu satu per satu.



Yang paling mengganggu adalah engkau yang

bisa-bisanya menuliskan: Hei, DukaMu Abadi!



Yang paling seram itu adalah engkau yang

berseru nyaring: Hei, Orang-orang Terasing!



Yang paling riang adalah engkau juga yang

enteng bilang: Mengarang itu Gampang, Kok!



Tapi, setelah bertahun-tahun meniduri buku,

aku belum juga bisa menebak teka-tekimu.



/5/



Waktu kecil, kalau ada yang bertanya, "Engkau

mau jadi apa?" Aku menjawab, "Mau jadi buku.."



Dan tak pernah ada yang bisa mengerti.



"Wah, bagus. Menjadi penulis buku itu hebat..."



Sesudah tua begini, masih juga ada yang bertanya,

"Apa keinginan Anda yang belum tercapai?" Aku

menjawab, "Menjadi sebuah buku..."



Keinginan yang juga tak bisa mereka pahami.



"Ya, ya... banyak orang yang di masa tuanya ingin

menuliskan buku. Anda juga masih punya waktu..."



/6/



Tetapi tidak ada yang bertanya:

kau hendak dimakamkan di mana?



Diam-diam aku sedang mempersiapkan

sebuah kematian yang paling sempurna:

dikuburkan di dalam buku. Engkau tahu?

Buku akan hidup abadi. Tak mati-mati!



Barangkali saja, kelak dalam perjalananku

dari halaman-halamanmu, duhai Bukuku,

duhai Kuburku, duhai Kekasih Abadiku,

bisa kutemukan pertanyaan teka-tekimu,

bisa kudengar apa saja yang dikata Waktu.



Feb 2004

Tuesday, February 3, 2004

[Tentang Puisi] Tentang Buku dan Puisi, Borges

Borges

SEBUAH buku bukan sekadar sebuah atau serangkaian struktur verbal; buku adalah dialog yang hadir dengan pembacanya... Sebuah buku bukan makhluk yang dikucilkan: dia adalah sebuah perkerabatan, sebuah perkerabatan dengan akar panjang yang tak terbilang. Sedang puisi pun sebuah pertemuan antara pembaca dengan buku, sebuah penemuan buku.

Alasan yang Bagus untuk Sebuah Kematian

Cerita oleh Hasan Aspahani



House of Eise



    CERITA ini harus berakhir dengan kematian si tokoh. Ya, begitu. Kematian, pada saat yang paling tidak tepat, selalu menggumpalkan rasa sesak menjadi seperti sekepal batu, tragedi namanya. Yaitu kematian yang tidak siap diterima oleh orang lain. Misalnya kematian tokoh dalam sebuah cerita yang tidak siap Anda terima, sebagai pembaca.



***



    DRUSBA mengeklik ikon shorcut to program notepad. Dia memang sejak semula menyenangi software pengolah kata ini. Microsoft Word? Bahkan pernah mau dihapusnya saja. Lumayan menambah memori di hard disc. Tapi, entah perasaan dari mana, laptop tanpa pengolah kata itu - meski tak pernah dipakainya juga - seperti kurang lengkap. Adapun Notepad yang juga pelengkap program berbasis sistem berlogo jendela melambai-lambai itu menurutnya sangat ringkas. Sederhana. Dan bisa membuka beberapa arsip ketik, saling menindih, tanpa saling menutup seluruh monitor. Lewat explorer, dia lalu membuka arsip cerpen143.txt. Kalau tidak lupa men-saving semalam, tiga paragraf itu tentu masih ada, dengan paragraf akhir putus pada kalimat keempat.

    Masih ada seminggu sebelum masa penerimaan naskah lomba cerpen itu ditutup. Dia sudah menemukan ide cerita untuk ditulis dan disertakan di lomba itu. Yaitu, tentang seorang pengarang yang ingin ikut lomba cerpen. Tetapi dia belum menemukan kisah untuk mengakhiri ceritannya itu. Dia tentu saja ingin menutup cerpen itu dengan istimewa.



    DRUSBA membaca lagi tiga paragraf yang sudah ditulisnya.



    Paragraf 1:

   DIA adalah pengarang yang bersemangat. Dia sedang subur ide. Dia juga rajin mengirimkan cerita karyanya ke media. Enaknya sekarang, mengirim naskah bisa lewat email. Tidak perlu prangko, kertas dan tidak perlu ke kantor pos. Cukup ke warnet sebentar bawa disket. Buka email sendiri, langsung kirim. Meski tidak sering, beberapa cerita pendeknya ada terbit di surat kabar mingguan, atau tabloid wanita.



    MERENUNG sejenak di akhir paragraf itu. Drusba merasa masih ada yang harus diperbaiki. Tapi apa? Dia membaca lekas sekali lagi. Tiba-tiba laptopnya berbunui. Dua kali. Tanda peringatan baterai minta segera diberi tenaga lagi. Baru dia ingat, dia belum mencolokkan kabel charger. Dia melakukan hal yang belum dilakukannya itu. Lalu dia meneruskan membaca.



    Paragraf 2:

    Sejak membaca pengumuman di mailing list PENYAIR, dia sudah memutuskan untuk ikut lomba penulisan cerita pendek itu. Dia sedang banyak ide sekarang. Lagi pula dari beberapa lomba yang dia ikuti, dia menyimpulkan kebanyakan panitia yang tidak punya kriteria yang jelas seperti apa karya yang harus menang.

    Tergantung jurinya. Beberapa kali dia pernah ikut lomba. Tidak menang, tapi, begitu membaca karya yang menang, dia merasa tak perlu berkecil hati. Dia suka merasa ceritanya yang dia ikutkan di lomba itu, yang kemudian tidak menang, sebenarnya tidak kalah mutunya.

    Kenapa kalah? "Ah, mungkin selera jurinya saja yang tidak cocok. Kalau curinya orang lain selain juri itu mungkin saja pemenangnya akan lain pula. Mungkin saja cerita dia yang akan menang," ujarnya.

    Karena itu dia tidak pernah surut semangat membuat cerita baru untuk lomba yang lain dan yang lainnya lagi, seperti lomba yang saat ini sedang dipersiapkannya sebuah cerita untuk mengikuti lomba itu.

    Apalagi, ehem ehem, lomba kali ini hadiahnya agak besar. Meskipun tidak sebesar beberapa lomba di negara Amerika misalnya. Di sana, setahu dia, ada lomba tahunan untuk penulis atau penyair baru, artinya yang belum pernah menerbitkan buku, hadiahnya selain duit tunai untuk si pemenang, juga dana untuk menerbitkan karyanya yang menang itu. Juga kesempatan untuk tinggal selama beberapa bulan di sebuah tempat mewah dan di sana si pemenang tak harus memikirkan apa-apa lagi, kecuali menghasilkan karya.

    Tapi, hadiahnya kali ini lumayan juga. Karenanya, dia mendapatkan tambahan semangat untuk ikut lomba itu.



    DRUSBA paling suka paragaf kedua ini. Dia memasukkan pandangannya ke dalam cerita. Dan dia merasa masuknya itu pas. Istilahnya tidak terasa dipaksakanlah, begitu. Dia terus membaca.



    Paragraf 3:

    Tetapi inilah masalahnya. Dia tak tahu harus bagaimana mengakhiri cerita pendeknya ini. Dengan kematian? Ah terlalu gampang....



    YA, pikir Drusba. Gampang amat kalau diakhiri dengan kematian tokoh ceritanya. Dia mencoba mengetikkan sesuatu. Tapi urung. Lalu lama merenung. Alhasil, sama seperti tokoh dalam cerpennya, dia juga tidak tahu harus melanjutkan ceritanya itu kemana, seperti apa, sampai menemukan penutup cerita yang menarik. Mungkin bolehlah dengan kematian. Ya, boleh saja begitu. Tapi apa alasannya?

    Drusba terus merenungi pertanyaan-pertanyaannya itu.

    Terus merenungi pertanyaan-pertanyaannya itu.

    Merenungi pertanyaaan-pertanyaannya itu.

   Pertanyaan-pertanyaannya itu.

    .......



***



    SAMA seperti Drusba dan sama seperti tokoh pengarang yang ditulisnya, aku pun nyaris tidak tahu bagaimana menutup cerita ini. Tentu saja dengan penutup yang asyik. Yang berkesan dalam. Yang bergaung lama di benak Anda yang membaca.

   Nyaris. Ya nyaris. Karena sejak awal cerita, saya kan sudah bilang, cerita ini harus diakhiri dengan kematian. Dan saya punya alasan yang bagus untuk kematian itu. Drusba akhirnya bunuh diri karena sampai akhir batas waktu pengiriman naskah lomba penulisan cerita itu dia belum juga menemukan cara menutup ceritanya. Karena itulah dia akhirnya bunuh diri.

   Nah, kalau bertemu Drusba, tolong jangan ceritakan bagaimana saya mengakhiri cerita ini. Nanti dia contek. Tolong, ya, jangan beritahu dia.



Batam, Feb 2004.



* Gambar dari The Illustrators

Sunday, February 1, 2004

[Tentang Puisi] Lord Byron, Gempa Tak Henti





AKU tak pernah bertemu dengan orang yang mengerti bahwa puisi adalah ekspresi dari gairah yang bergelora, dan gairah seperti itu hanya bisa dibandingkan dengan sebuah getar gempa yang takteredakan, atau sebuah meriang demam yang taktersembuhkan. Nah, pada keadaan yang seperti itu siapa yang sempat bercukur?

Setelah Penyembelihan

Seperti engkau saling menyahut takbir,

udara di bukit itu masih menebar anyir.



Tajam pisau terasah darah: kilau merah!



Bapa, nyaris saja, kita mengubah dunia.



Anak, lihat betapa moleknya wajahmu.

Mari bagi daging domba dan kisah itu.



sebab:



Ibu masih bersujud di airmatanya, Anak!



Feb 2004








Abraham and the Angel (1727), lukisan Giambattista Tiepollo.



[Ruang Renung # 59] Bikin Puisi, Bikin Perangkap

Tengah Malam Jam*



Sajak Sutardji Calzoum Bachri



duabelas malam jam

duabelas angin jam

duabelas sungai jam

duabelas riam jam

duabelas hunjam jam

duabelas rahang jam

duabelas mukul mukul duri

duebalas neriak kapak

ribubelas babi nyeruduk lengang badan



1977



* Dari O Amuk Kapak, Penerbit Sinar Harapan, 1981.




   MUNGKIN puisi bisa juga kita anggap sebagai sebuah atau beberapa buah perangkap. Pembaca atau para pembaca adalah orang yang harus kita giring ke daerah puisi kita, lalu hap, kalau dia atau mereka masuk perangkap, maka puisi kita berhasil! Semakin banyak orang yang terperangkap, artinya semakin berhasil puisi kita. Dan semakin berhasil lagi apabila orang-orang yang sudah pernah terperangkap itu datang dan datang lagi. Dan terus saja masuk ke dalam perangkap puisi kita.

    Mereka yang menikmati keterperangkapan itu malah marah atau tidak suka kalau kita di pintu gerbang puisi kita memasang papan pengumuman: di sini daerah bebas perangkap. Mereka akan mencari daerah lain untuk dijelajahi.

    Tetapi, perangkap adalah perangkap. Perangkap yang baik selalu memberi kejutan. Dia tersamar di balik bayang pohon, batang rumput, unggun tanah, luruh daun, dan patahan ranting dan apa saja. Dia seolah tidak ada di sana. Dia seolah bukan perangkap, tapi dia perangkap. Perangkap yang tak pernah luput memerangkap.

    Tetapi perangkap adalah perangkap. Dia bukan sekadar kubangan-kubangan lumpur kotor atau jerat-jerat tali dang pembingkasnya yang belum apa-apa sudah kelihatan dan malah bikin si pembaca takut untuk sekadar melintasi apalagi menjelajahi daerah puisi kita.

   Selamat membuat perangkap. Selamat memerangkap diri sendiri.[hah]