Saturday, October 22, 2011

[Ruang Renung #257] Dengan Perasaan

JASSIN menulis: Apakah bedanya prosa dan puisi? Dengan singkat bisa dikatakan bahwa prosa ialah pengucapan dengan pikiran dan puisi ialah pengucapan dengan perasaan.

Saya ulangi: Puisi ialah pengucapan dengan perasaan. Jadi, bukan sekadar "mengucapkan" perasaan. Dengan puisi kita bisa mengucapkan apa saja, dengan perasaan kita.[]

Friday, October 21, 2011

Yang Liar dan Yang Berdarah

                                                             : Erie Prasetyo


KITA sedang sakit. Hidup hanya dari sakit ke sakit.
Menyesali banyak kesalahan yang semakin benar.

Itu misalnya, pernah kau tuliskan dalam daftar seratus
hal yang kau inginkan, dan seratus hal lain yang tidak
kau kehendaki. Kau tak tahu di mana kau sepatutnya
menuliskan 'Bali' di daftar itu, sebab sesuatu yang amat
buruk dan juga amat berarti berawal dan berakhir di situ.

*

Kita pelihara lapar dan marah. Yang liar. Dan berdarah.

Keduanya kini bisa bernama Puisi. Kau menuliskannya
kini di antara waktu luang, dalam perjalanan kota ke kota,
di sela-sela tur sangat panjang,  sebuah kelompok musik,
yang jatuh dan bangkit bersamamu. Puisi yang, katamu,
kini sabar menyabarkan, menjinakkan, membebat luka-luka,
yang dulu menutup-membuka di tempat-tempat yang sama.

*

Kita telah terbiasa sakit, dengan rasa sakit kita ini.

Hingga kau tak lagi mau tertipu, surga yang menipu,
kau beritahukan parut luka kecil di lipatan lenganmu.

Kau bilang, "Empat tahun lamanya, aku berjalan di
muka bumi, tapi saat itu aku tak sedang ada di dunia."

Dan dunia hanya gelap, menjauh darimu, menyempit.

*

Kita sedang menyembuhkan sakit kita sendiri. Sendiri.

Dengan harapan yang sederhana: nanti cinta yang
menata bata, sebongkah-sebongkah, hingga tegak
sebentang dinding ingatan, bayangan meneduhkan.

Aku melihat tiga bidadari di punggungmu. Dengan
tiga bentang sayap. Yang sabar menjaga mimpimu.

Saat kau memeluk mereka, satu per satu, mereka
dengan bangga membaca, nama-nama mereka
berbaris indah, di sepanjang lengan kananmu.

Wednesday, October 19, 2011

Srimulat

AKU suka melihat kau tertawa. Sebab aku
tahu, di balik angkuh pagar rumahmu, kau
takut melepaskannya sampai ke telinga
Ayahmu. "Karena itu boleh pasti berarti Ayah
akan membuat Ibu menangis," katamu, mengulang
persis kalimat yang kau suruh aku baca di
dalam tulisanmu (tulisan tangan terindah
yang pernah kutahu)
di buku hari-harimu.

Itu sebabnya, aku suka membuat kau tertawa.

Karena di rumahmu, bila tak ke mana-mana
seharian kau hanya menyembunyikan diri
di kamarmu (aku yang baru diamuk senyawa
kimia bernama hormon dengan cara yang
luar biasa membayangkan wangi kamarmu
itu dan wangi tubuhmu)
, atau bila di ruang
keluarga kau akan menutupi wajahmu dengan
majalah Anita Cemerlang. "Pada kisah-kisah
romantis di majalah itu, sesekali aku
bayangkan tokoh utamanya: kau dan aku,"
katamu, padahal kau tahu aku sudah membaca
kalimat itu juga di surat-surat yang kau
selipkan di buku pelajaran (matematika, fisika,
biologi, kimia, apa saja) terbitan Ganeca Exact
Bandung yang kau pinjamkan padaku.

Aku punya banyak cara membuat kamu tertawa.

Aku membuat kau tertawa dengan kisah Srimulat
di TVRI malam hari (aku fasih menirukan Gepeng,
atau Asmuni)
. Dan kau tertawa hingga berair mata.
Aku tahu, kau tak pernah boleh menonton larut,
padahal, kelompok lawak asal Solo itu hanya
diputar jauh malam setelah Dunia Dalam Berita,
itupun kalau tidak ada Laporan Khusus atau
menteri yang gemar menyiarkan harga-harga dan
apa saja yang tak penting yang dibahas dalam
rapat kabinet hari itu, dan ia selalu memulai pidato
(atau entah apa namanya) dengan kalimat, "menurut
petunjuk Bapak Presiden". Aku kadang suka mengarang
cerita sendiri, meski malam itu, sebenarnya Srimulat
tak disiarkan TVRI.

Aku bahagia, sebab selalu bisa membuat kau tertawa.

Malam itu, Gepeng lucu sekali. Aku senang,
sebab kalau itu kuceritakan padamu, besok pagi,
di jam istirahat sekolah kita, kau akan sangat
bahagia. Tapi, itulah kesempatan terakhirku
melihat kau. Sebuah mobil berlogo perusahaan
minyak asing milik ayahmu menjemputmu tepat
di depan mataku. Aku lihat benih air di matamu.

Aku masih simpan cerita Srimulat pada malam itu.
Dan masih berharap menceritakannya padamu.
Meski mungkin tak lagi bisa membuatmu tertawa.

Apa yang Tak Kutahu tentangmu, Waktu?

ENGKAU belum pernah menulis dengan jujur bahwa engkau
sesungguhnya tak pernah bertemu aku yang sesungguhnya

Engkau belum pernah mengakui dengan tulus bahwa engkau
sebenarnya tak pernah mengenali aku yang sebenarnya

Engkau tak pernah ingin mencari seingin-inginnya agar engkau
tahu dan tak tertipu arloji lagi, dan tipuan itu engkau tak tahu!

Anak-anak Waktu

KEMARIN, anak yang bengal. Dia tak peduli, pergi dan tak pernah ingin kembali

Hari ini, anak yang manja. Jika kau turut manjanya, kau tak akan dapat apa-apa

Besok, anak yang banyak janji. Tapi, oh sungguh tak banyak yang bisa ia penuhi

Pohon Waktu

AKU tanam ia di mataku, ia tumbuh jadi liuk-liku jalan,
teduh dan rindang, aku diberi cakrawala di ujung sana

Aku tanam di dadaku, ia tumbuh jadi halaman lapang,
rimbun dan tenang, aku dapatkan sumur, jernih airnya

Aku tanam di tanganku, ia tumbuh jadi bunga-bunga,
cerah-aroma, wangi-warna, tetes madu dari kelopaknya

Aku tanam di kakiku, ia tumbuh jadi panjang perjalanan,
peta-pohon, peta-tahun, bercabang ke cerita-cerita

Apa yang Kuingat tentang Kau dan Benda-benda Pos

KARTU POS. Kau selalu mengirimkan
kartu pos kosong saja. Begitulah
kita sepakati, dan aku hanya tahu
bahwa itu kau yang mengirim dari
posisi prangko Presiden Suharto
yang terjungkir miring. Kadang kau
menambahi air mata di gambar presiden
itu, dan itu membuat aku tertawa.
Mau bilang sedih, ah betapa susahnya.
Di kartu pos itu aku lalu menulis apa saja,
yang bisa kukenang tentang kau.
Dan kian lama aku kian percaya bahwa
begitulah pula cara engkau mengenang aku.

AMPLOP. Aku benci amplop. Itu sebabnya
aku minta kau mengirim kartu pos selalu.
Aku benci amplop karena di asrama
mahasiswa dulu, kami mengoleksi
ribuan amplop penolakan lamaran,
yang ditujukan pada para alumni
yang terpaksa masih tinggal di asrama
mahasiswa, karena belum dapat kerja.
Aku benci amplop, karena dulu, ada
perempuan yang rajin menyuratiku
lalu akhirnya di surat terakhirnya
ia putuskan begitu saja semua kisah
yang aku sudah rancang lama. Aku
trauma melihat surat, aku selalu
curiga pada amplop, curiga pada ancaman
kepedihan apa yang ia simpan di dalamnya.

KOTAK POS. Empat angka, dan alamat
kantor pos pusat, kuberi tahu segera
kepadamu lewat telegram di hari pertama
aku kembali ke kota asalku. Aku tahu
bertahun-tahun aku belum akan punya
alamat. Sisa ongkos pesawat cukup
untuk menyewa kotak surat. Kau tak
pernah menuliskan namaku di semua
kartu posmu. Juga tak kau tuliskan
namamu. Aku tak pernah bisa membalas
kartu pos yang setia kau kirim
setiap minggu itu. Kalau aku rindu,
aku suka menghitung semua kartu posmu,
menebarkannya di atas kasur tipis
di kamar sewa, atau memajangnya
di dinding menjadi mosaik wajahmu.

PRANGKO. Kenapa banyak sekali prangko
bergambar Presiden Suharto waktu itu?
Dan kenapa kau memilih prangko yang
sama, yang paling murah yang bisa kau
pastikan kartu posmu sampai padaku?
Yang pertama kali aku lakukan setelah
menerima kartu posmu adalah mengoyak
prangko membosankan itu. Maafkan aku.
Aku suka berharap prangko di kartu posmu
itu sesekali berbeda, bergambar bunga,
atau burung, atau gambar petani panen
padi, atau kampanye Program KB, atau
gambar penari Bali, atau pesawat
buatan Habibie. Apa sajalah, asal
bukan prangko yang membosankan itu.
Maafkan aku, aku tidak membencimu
karena itu, aku hanya bosan pada
gambar monoton presiden kita itu.

BLANGKO WESEL. Aku selalu menyimpannya
selembar. Kutulis namaku di kolom
pengirim. Dan namamu di kolom penerima.
Kelak, begitu aku tahu alamatmu - dari
kartu pos kosongmu yang nanti tak kosong
lagi itu - yang pertama kulakukan adalah
mengirimkan sebagian uang gajiku yang
kutitipkan di bagian keuangan koran
tempat aku bekerja sebagai wartawan.
Di kolom pesan kutuliskan kalimat
yang bukan puisi: simpan di tabungan,
tiap bulan aku akan tambahkan, semampu
yang bisa aku sisihkan, kelak kalau
cukup untuk sebuah pesta pernikahan
yang paling sederhana saja, beri
tahukan padaku, atau bila selama kau
menunggu ada yang melamarmu, dan kau
menerima dia, pakailah tabungan itu.
Aku memang meniatkan untuk biaya
pernikahan kita berdua - atau salah
satu dari kita.

Lirik-lirik untuk Lagu pada Album Pertama We've Found The Exoplanet Club Band

1. Presiden Buta, Tongkat, dan Hal-hal jenaka Lain yang Tertinggal Setelah Kematiannya.
2. Kota Ini Tak Tahu Semalam Ia Tumbuh jadi Kebun Kembang Cahaya dan Gelap yang Tak Pernah Bisa Ia Kuasai.
3. "Apa yang Kau Rayakan Itu?" Tanya Waktu, dan Aku Benci Tak Bisa Menjawabnya.
4. Sepasang Terompet Kertas di Sebuah Kamar Hotel yang Ingin Saling Berbisik dan Mengingatkan.
5. Rumah Presiden, Sejenis Fitnah dan Berita Bohong yang Dituduhkan dari Sana.
6.Apa yang Hilang dari Negerimu ketika Engkau Memilih Presiden yang Suka Mengeluh.
7. Tentang Mengapa Kami Menciptakan Lagu yang Tak Akan Pernah Kami Nyanyikan.
8. Kami Temukan Eksoplanet Itu dan Kami Kira Kami Berasal dari Sana.
9. Tentang Nabi-nabi yang Mati dan Umatnya yang Suka Saling Menyalahkan dan Berkelahi
10.Tuhan (dan Apa Saja yang Ingin Kami Tanyakan pada-Nya tentang-Nya)

Sajak dengan Beberapa Bait yang Satu Sama Lain Tidak Ada Hubungannya

SEBAGAI ikan, aku tak harus bernaung dari hujan, merenangi kesepian, selamanya, tuli dari bising suara kalian.

INI bukan bulir embun, tapi airmata mataku yang rabun. Kabut kesedihan, betapa betah bertahan. Menunda, mempermalukan hujan.

SEPERTI kuliah pertama ilmu pembentukan permukaan bumi, kesedihan adalah hujan ratusan bulan, menggerus kesendirian, mengurat parit, kepahitan.

DI tepian kesepian, ada perahu kuminta menunggu, kukira tak akan cukup untuk kita berdua, atau kau mau kita karam saja di kanal itu?

KALAU kusentuh genangan kesepianmu, apakah lingkar riaknya akan sampai ke seberang, ke tepian kesendirianku?

Friday, October 14, 2011

Gempa Hati

TUBUHKU menahan gegap gempa
Guncang dari dua patahan bertumbukan
dari satu hati yang patah. Parah.

Tubuhku, tubuh yang tabah.




Ini getar yang tak terukur.
Sudah lama kuperingatkan diri sendiri:


Mengungsilah. 

Ungsikan hati, dari daerah rawan bencana ini.





Aku ingin pergi.
Menguji kaidah perbandingan terbalik: jarak dan rindu. 


Pada langkah pertama, aku sudah tahu, itu benar

Mutlak.


*


Atau biar begini saja


Aku nanti mati, tertimbun
reruntuhan rasa: cintaku sendiri.


Tanpa pernah berharap kau kelak
datang menziarahi, menaburkan maki.



Wednesday, October 12, 2011

Saltatio

TAK ada rumah, hanya dunia yang terbuka,
langit yang ramah, halus menyaran cuaca

Tak ada bahasa, hati yang bicara ke hati,
Cukup gerak mata, mengarti, dan mengerti

Tak ada jalan, segala menuju ke segalanya,
segala menempuh sampai ke ujung tempuhan

Tak ada mimbar, tak ada teater, tak ada
pengeras suara, tak ada gardu penjaga

Hanya tari tanah kita, tari air kita, tari
kita petani, tari bunga padi, tari udara. 

Viatór

KITA tinggalkan rumah dengan pintu tak tertutup
                                                dan rindu yang tak akan pernah cukup

Menyusurkan kaki pada malam jalanan, Tunku Abdul Rahman
 
Kita nanti akan duduk bersandar, atau berbaring
                                       menghamparkan kegalauan sendiri
                                               dan menyaksikan kegalauan mereka lain

di dataran merdeka yang pernah tak sempat diri kita singgahkan

Ada jejantas, dengan pot dan bunga,
                                    yang begitu sabar merambat
Ada kedai karpet, kios baju kurung,
                                    konter bros penyemat kerudung
Ada restoran ayam goreng yang
                                    sudah membalikkan susunan kursi

Dan kau berkata, "ah, kita akan makan sahur
                                               dengan nasi lemak lagi…"


*

Misalkan kita adalah penduduk kota ini,
kita tak akan sedemikian terperinci memindaikan perasaan

Maka, Sayang,
ada baiknya kita hanya datang selintasan sebagai turis
dengan pelancongan yang tak terlalu terencana

Pada seorang Tuan Rumah, yang di sini sama saja asingnya
kita mula-mula akan bilang, "kami datang,
                                              kami datang,
                                              wahai kami telah datang!"
 
Lalu kita akan bikin janji pertemuan,
                       dengan peta (ya, di ujung jalan itu Seven Eleven,
                                             lalu berbelok, sebelum Starbucks,
                                             ke kanan)
yang mungkin akan menyesatkan Sang Juru Peta
sebab di sini memang tak ada Kabah,
                                             cuma toko penjual kopiah,
                                             dan azan masjid keling tanda buka puasa

*

Kota ini, seperti kita, tak lagi cukup disebut dalam pantun yang tertib.

[kolom] Visi dan Misi yang Mubazir

ADA sebuah rumah sakit dengan visi begini: menjadi rumah sakit pilihan dengan perhatian penuh pada kepedulian dan keunggulan. Saya menjadi pasien di situ, setelah kecewa dengan beberapa rumah sakit sebelumnya.

Rumah sakit yang hendak saya ceritakan ini menurut saya benar-benar mewujudkan visi dan misinya dalam praktek melayani pasiennya. Maka saya tak heran jika kisah-kisah pasien seruang perawatan inap dengan saya adalah kisah tentang kepuasan dan pujian yang tak berlebihan.

Ketika kita memilih sebuah rumah sakit, pedulikah kita pada visi dan misinya? Apakah kita membaca visi dan misi meskipun itu ada terpampang besar di dinding koridornya? Saya kira kebanyakan dari kita menjawab tidak.


Tapi di rumah sakit yang saya ceritakan ini, sambil berbaring setelah operasi batu ginjal, saya jadi amat tertarik membaca visi dan misinya di brosur yang diberikan kepada saya sebagai pasien. Di brosur itu juga tercantum hak-hak saya sebagai pasien juga kewajiban saya. Perawat juga menjelaskan hal itu dengan ringkas. Segala peraturan itu kembali ke saya, yaitu agar proses perawatan berjalan lancar. Maka, misi pertama sudah diwujudkan oleh pihak rumah sakit tersebut: Kepada Pasien, Perawatan Kesehatan yang Berkualitas.

Di rumah sakit sebelumnya - yang saya tak pernah peduli apa visi-misinya, yang pasti bagus dan pasti tak bisa mereka praktekkan -  saya bahkan tidak tahu saya sedang sakit apa. Saya juga tidak pernah mendapat penjelasan apa hak dan kewajiban saya sebagai pasien.

Saya ditawarkan berbagai tindakan medis, tapi saya tidak yakin apa perlunya itu dan apakah saya akan sembuh karenanya. Maka yang muncul dalam pikiran saya adalah, "jangan-jangan saya ditipu, supaya bayar mahal padahal sebenarnya saya tak perlu tindakan itu." Sebagai pasien saya curiga.

Sementara di rumah sakit lain yang bagus itu saya melihat para pekerja yang cekatan, lekas, dan disiplin. Juga ramah. Tak ada yang malas-malasan.Tak ada yang mengobrol atau sibuk membaca, dan kirim SMS.  Ups, juga tak ada yang televisi. Ketika ada sedikit soal keuangan - saya tak bawa uang kontan yang cukup - si petugas kasir lekas memberi sejumlah alternatif. Baginya yang penting adalah saya lekas diberi tindakan.

Bagaimana bisa rumah sakit bagus ini membuat etos kerja sebagus itu? Entahlah, tapi saya mencatat misi kedua mereka adalah: Kepada Karyawan Kami, Jenjang Karir yang Pasti. Tanpa itu, saya kira para pekerja di perusahaan manapun akan asal-asalan saja bekerja.

Misi ketiga rumah sakit tersebut: Kepada para Dokter Kami, Dukungan sepenuhnya bagi Perkembangan Profesional. Saya kira dukungan itu termasuklah peralatan kerja yang canggih, laboratorium dan operator yang terampil, juga kesempatan menempuh pendidikan. Sebagai pasien saya merasakan bagaimana dokter yang menangani saya bekerja dengan sangat profesional. Skema pengobatan, biaya, sakit yang akan saya tanggungkan, dan proses penyembuhan pascaoperasi dijelaskan sebelum saya setuju tindakan tersebut.

Saya ingat dokter yang menangani saya sebelumnya di rumah sakit lain. Sambil memeriksa saya dia mengomelkan fasilitas medis yang ditolak oleh rumah sakit. Ia juga menggerutu bagaimana dulu dia bekerja di rumah sakit di Eropa dengan alat-alat pendukung yang lebih baik. Dia juga - di depan saya yang masih terbaring di ranjang pemeriksaan - bilang hari itu menolak untuk ikut rapat dengan pihak manajemen. "Rapat terus, tak ada juga hasilnya," katanya.

Aduh, Pak Dokter, bagaimana saya bisa yakin dengan kesembuhan saya ketika ditangani oleh dokter yang bekerja dengan setengah hati begini? Bagaimana saya bisa nyaman berobat di rumah sakit ini jika dari mulut Anda saya tahu betapa terbatasnya fasilitas peratawan yang ada?


*

Visi dan misi, belajar dari dua rumah sakit di atas, menurut saya, bukanlah bingkai cita-cita yang hendak dicapai nanti. Tapi ruh dan sekaligus wujud dari segala yang mampu dibuat pada saat ini. Jika tidak begitu, maka visi dan misi hanya akan jadi hal yang mubazir dan kosong.
  

*


Ini cerita lain lagi. Ini soal pelabuhan. Kita yang tinggal di kawasan bahari ini tentu sangat akrab dengan sarana transportasi itu. Kita juga tahu siapa yang mengelola pelabuhan-pelabuhan besar di Kepulauan ini. Libur lebaran kemarin saya seperti biasa berkumpul dengan kakek dan neneknya anak-anak saya yang tinggal di pulau lain. Tentu saya harus lewat pelabuhan dan saya harus bilang ini adalah pelabuhan yang tidak nyaman.

Di tengah calon penumpang yang tak beraturan, semua berebut lekas-lekas masuk ke dermaga, tak jelas kapal apa yang hendak berangkat duluan dan yang mana yang kemudian, saya mencatat visi dan misi perusahaan yang mengoperasikan pelabuhan tersebut.

Visinya kira-kira begini: Menjadi penyedia jasa kepelabuhanan terkemuka! Bagus, bukan? Nah, misinya kira-kira begini:  Menyediakan jasa kepelabuhanan  berkualitas yang memenuhi harapan pelanggan dan  nilai tambah bagi ekonomi daerah. Nah yang lebih tidak diabaikan adalah motonya: Kenyamanan dan kepuasan penumpang adalah merupakan tujuan kami.

Sebagai penumpang, di pelabuhan itu saya sungguh tidak puas. Tak ada tempat untuk duduk di ruang tunggu, karena penuh. Padahal ibu saya saat itu sedang tidak sehat. Ia perlu duduk. Tidak ada petugas yang mengatur penumpang di gerbang masuk ke dermaga. Eh, tapi di balik gerbang itu, ada - saya sempat menghitung - sedikitnya delapan orang. Ada yang tampaknya masih menikmati suasana lebaran. Ada yang sibuk dengan radio panggil. Ada yang memeriksa tiket, selebihnya tak jelas melakukan apa.

Oh, ya yang lebih karikatural lagi, tepat di atas saya berdiri ada papan besar berisi bagan alur bagaimana saya bisa mengajukan keberatan jika ada pelayanan yang tidak memuaskan. Alih-alih marah, saya justru terhibur dengan kelucuan itu.

*

Visi dan misi, menurut saya haruslah jelas dan sederhana. Kenapa? Karena itulah gambaran cara berpikir dari mereka yang menyusun visi dan misi itu. Sederhana karena dengan demikian siapa saja mudah mencocokkan apakah yang dilakukan setiap elemen di organisasi itu pas, melenceng atau malah melecehkan visi dan misinya sendiri. Organisasi yang gagal merumuskan visi dan misinya, juga gagal melaksanakan visi dan misinya itu adalah organisasi yang kiamat. 

Ada organisasi bisnis, pelayanan publik, pemerintahan, yang seperti menyembunyikan visi dan misinya dari publik yang harus dilayaninya.Visi dan misi harusnya menjadi janji baik kepada pihak yang dilayani dari mereka yang melayani.  Itu sebabnya, visi misi harusnya menjadi janji yang harus benar-benar bisa ditepati. Jika tidak, pasti ada yang salah, dan itu harus diperbaiki.

Coba baca lagi misi dari rumah sakit yang saya paparkan di atas. Misinya jelas arahnya, kepada pasien, kepada karyawan, kepada para dokter, dan terakhir yang tak disebutkan di atas kepada komunitasnya.  Visinya jelas, ringkas, dan tidak mengawang-awang.  Ketika di tingkat pelaksanaan itu bisa diwujudkan maka visi dan misi itu menjadi berbunyi, tidak kopong atau sekadar omong kosong. ***

Tuesday, October 11, 2011

Jangan Mau, tapi Saya Mau Lagi

SAYA dapat kiriman kaos. Ini proyek luar biasa isengnya (tapi seperti biasa ini keisengan yang luar biasa seriusnya) dari seorang kawan yang satu-satunya yang menyebut saya Ahan. Salah saya juga bercerita padanya tentang panggilan yang berasal dari anak muda pemilik gerai ponsel langganan saya di Batam. Seperti biasa kiriman kaos itu terdokumenkan dengan sungguh-sungguh sebuah blog, blog kesekian dari sang kawan senior itu. Jangan Mau - merek kaos itu - (aneh, kan?), tapi saya masih mau, mau lagi.....



Pohon dan Langit

Sajak Tomas Trantromer

Ada sebatang pohon berjalan dalam hujan,
menderu ke arah kita dalam curah mengelabu.
Ia seorang suruhan. Ia mengumpulkan kehidupan
dari lebat hujan, seperti gagak di kebun buah itu

Ketika hujan teduh, berhenti juga pohon itu.
Di sanalah dia, diam, tenang, dan malam terang
menunggu seperti kita menunggu tiba waktunya
saat bunga-bunga salju mekar-membuka di udara.



The Tree and the Sky

There’s a tree walking around in the rain,
it rushes past us in the pouring grey.
It has an errand. It gathers life
out of the rain like a blackbird in an orchard.

When the rain stops so does the tree.
There it is, quiet on clear nights
waiting as we do for the moment
when the snowflakes blossom in space.

Mors Mortis

Gambar dipinjam dari eBay
 
                         : Steven Paul Jobs (1955-2011)

KEMATIAN itu, adalah asing kawan sekamar, Tuan

Kita mengenal dia, seperti dia juga mengenal kita
Meski dengannya kita tak ingin saling berbincang

Dia tak bicara, sedangkan kita kerapkali lupa. 

*

Kematian itu, Tuan, adalah perangkat lunak
Terakit dia ada, sejak awal kehidupan kita

*

Tuan, kematian itu, adalah panggilan telepon,
yang kita ingin sekali bisa menjawab dengan:
Maaf, Anda sebenarnya mau bicara pada siapa?

*

Kematian itu, Tuan, diam saja di sudut ruang
Ketika kita berdiri di tengah terang panggung
menjelaskan tentang hidup yang kita hidupkan

Dia tak bertanya. Dia tak acungkan tangannya

Dia tahu kapan kepadanya kita menjawab: Ya!

*

Kematian itu, adalah tangan yang menyambut, Tuan
Kita buah apel jatuh, tergigit dan terpetik Waktu.

Burung-burung Pagi

Sajak Tomas Transtromer

Aku hidupkan mesin mobil.
Jatuhan serbuk-sari memenuh di kacadepan.
Aku kenakan kacamata hitam,
dan lagu burung-burung jadi kelam.

Ada seseorang membeli surat-kabar,
di stasiun kereta api
tak jauh dari mobil bagus yang besar itu
yang seluruhnya memerah karena karat
dan berkerlipan di bawah matahari.

Tak ada kekosongan di manapun di sini ini.

Tepat di seberang hangat musim-semi: lorong dingin
ada seseorang lekas datang bergegas
dia bilang mereka telah memfitnah dia
sepenuhnya dia berserah pada Sang Sutradara.

Lewati satu pintu belakang di bentang lansekap
datanglah seekor jalak,
hitam dan putih, burung Ratu Kematian
dan seekor burung-hitam terbang saling-silang
lalu segalanya menjadi gambar arang,
kecuali bentang putih pada tali penjemuran:
Paduan suara Palestrina.
 
Tak ada kekosongan di manapun di sini ini.



::

Morning Birds
I wake my car.
It's windshield is covered by pollen.
I put on my sunglasses
and the song of the birds darkens.

While another man buys a newspaper
in the railroad station
near a large goods wagon
which is entirely red with rust
and stands flickering in the sun.

No emptiness anywhere here.

Straight across the spring warmth a cold corridor
where someone comes hurrying
to say that they are slandering him
all the way up to the Director.

Through a backdoor in the landscape
comes the magpie
black and white, Hel's bird
And the blackbird moving crisscross
until everything becomes a charcoal drawing,
except for the white sheets on the clothesline:
a Palestrina choir.

No emptiness anywhere here.
  
:: translated by Gunnar Harding and Frederic Will

Felis Catus, 1

                    Aku lapar, maka aku ada ~ Garfield


DALAM doa yang tak akan pernah dia ucapkan
dia tunggu hujan susu, selebat-lebatnya, karena dia

kucing berlidah haus, melihat sendiri saat hilang ibu.


*

Dalam doa yang tak pernah berani dia mintakan
dia ingin leher amis ikan, bau lelaki nelayan, tak

peduli pada keasinan garam, atau peluh sendiri.


*


Dalam doa yang tak akan pernah dia katakan
dia harapkan pangkuan, api pada tungku yang

menghangatkan, juga mungkin menghanguskan.

Monday, October 10, 2011

Ruang yang Terbuka dan yang Tertutup

Sajak Tomas Transtromer


SEORANG  lelaki merasa dunia-kerjanya seperti sarung-tangan.
sejenak dia ambil jeda tengah hari berbaring di samping sarung-tangan di rak.
Mereka lalu tiba-tiba membesar, menyebar
dan dari dalam menggelapkan seisi rumah.

Rumah gelap itu ada jauh di sana, di antara angin musim semi.
'Amnesti', merebak bisikan di rerumputan itu: 'amnesti'.
Ada bocah lekas lari pada jalan gaib naik menuju ke langit
di sana mimpi liar hari depannya terbang seperti layang-layang lebih besar dari kota tepi kota.

Menjauh ke utara dari puncak kau bisa lihat karpet biru tak berbatas hutan pinus, di situ bayangan awan
diam berdiri.
Tidak, melayang terbang.






Open and Closed Spaces

A man feels the world with his work like a glove.
He rests for a while at midday having laid aside the gloves on the shelf.
There they suddenly grow, spread
and black-out the whole house from inside.

The blacked-out house is away out among the winds of spring.
'Amnesty,' runs the whisper in the grass: 'amnesty.'
A boy sprints with an invisible line slanting up in the sky
where his wild dream of the future flies like a kite bigger than the suburb.

Further north you can see from a summit the blue endless carpet of pine forest
where the cloud shadows
are standing still.
No, are flying.

Saturday, October 8, 2011

Beberapa Sajak Tomas Transtromer

Tomas Transtromer menerima  Hadiah Nobel Sastra 2011 (Gambar dari Tipops)
KARENA, melalui imajinya yang kental-padat 
dan telus-cahaya, dia memberi kita jalan segar ke kenyataan. 

1. Solitude II
2. Nocturno
3. Jejalur Rel 
4. Lansekap Matahari
5. Setelah Kematian Seseorang
6. Sang Sepasang 

Soneta ke-20

Sajak Pablo Neruda

Kau si-buruk-rupaku, buah berangan yang berantakan
Kau si-manis-parasku, semanis buai angin kelembutan
Kau si-buruk-rupaku, mungkin harusnya dua mulutmu
Kau si-manis-parasku, kecupmu segar seiris semangka

Kau si-buruk-rupaku, dimana sembunyi payudaramu?
hanya segunduk mungil dua mangkok gandum.
Aku ingin melihat terang dua bulan di dada:
Tegar tegak menara raksasa tanda kedaulatanmu.

Kau si-buruk-rupaku, tak ada cakar laut di kedaimu
Kau si-manis-parasku, bunga ke bunga, bintang ke bintang,
gelombang ke gelombang, Kasih, aku katakan pada tubuhmu:

Kau si-buruk-rupaku, Cinta karena emas pinggangmu,
Kau si-manis-parasku, Cinta karena kerut dahimu.
Kasih, aku cinta kau karena terang, dan gelapmu.

Soneto XX

Mi fea, eres una castaña despeinada,
mi bella, eres hermosa como el viento,
mi fea, de tu boca se pueden hacer dos,
mi bella, son tus besos frescos como sandías.

Mi fea, dónde están escondidos tus senos?
Son mínimos como dos copas de trigo.
Me gustaría verte dos lunas en el pecho:
las gigantescas torres de tu soberanía.

Mi fea, el mar no tiene tus uñas en su tienda,
mi bella, flor a flor, estrella por estrella,
ola por ola, amor, he contado tu cuerpo:

mi fea, te amo por tu cintura de oro,
mi bella, te amo por una arruga en tu frente,
amor, te amo por clara y por oscura.

Solitude II

Sajak Tomas Transtromer

Aku sudah jalan, sebentar saja tadi
pada padang beku, padang Swedia
ada aku tak melihat seorang pun ada.

Di lain bagian, lain dunia
manusia lain lahir, hidup dan mati
dalam himpit kerumun yang sama

Berebut tampak sekurun masa, hidup
dalam keriapan mata
meniscaya menjejakkan tanda di wajah.
Raut muka terlapis timbun tanah.

Ada rendah suara naik lalu jatuh lagi
seketika saat bersurai mereka
surga, bayang-bayang, bebutiran pasir.

Aku menjadi menjadi aku
sepuluh menit saja setiap pagi
sepuluh menit lagi setiap malam,
dan tak ada yang mesti dilakukan!

Kita saling menanti ulur tangan dalam baris antri

Berjuta-juta.

Satu.

Longlist Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2011

Panitia KLA, pada  7 Oktober 2011 lalu mengumumkan daftar 10 besar judul karya dan nama-nama penulis yang telah tersaring dari proses penjurian KLA 2011. Urutan ditampilkan secara acak.
Kategori Fiksi: 1. Tantri, Perempuan yang Bercerita (novel) ~ Cok Sawitri, Penerbit Buku Kompas, Mei 2011;  2. Hotel Prodeo (novel) ~ Remy Sylado, Kepustakaan Populer Gramedia, Juli 2010;  3. Matinya Seorang Atheis (kumcer) ~ Zaim Rofiqi, Penerbit Koekoesan, Juni 2011; 4. 86 (novel) ~ Okky Madasari, Gramedia Pustaka Utama, Maret 2011; 5. Lampuki (novel) ~ Arafat Nur, Serambi, Mei 2011; 6. Sampan Zulaiha (kumcer) ~ Hasan Al Banna ~  Penerbit Koekoesan, Maret 2011; 7. Tak Ada Santo dari Sirkus (novel) ~ Seno Joko Suyono, Lamalera, September 2010;  8. Senjakala (novel) ~ Ni Komang Ariani, Penerbit Koekoesan, Oktober 2010;  9. Kereta Tidur (kumcer) ~ Avianti Armand, Gramedia Pustaka Utama, Juni 2011; 10. Anak Arloji (kumcer) ~  Kurnia Effendi , Serambi, Maret 2011

Kategori Puisi: 1. Biar! ~ Nanang Suryadi, Indie Book Corner, Februari 2011; 2. Luka Mata ~ Hasan Aspahani, Penerbit Koekoesan, Juli 2010: 3. Kembang Pitutur ~ Alek Subairi, Amper Media, Maret 2011; 4. Sebait Pantun Bujang ~ Agit Yogi Subandi, Dewan Kesenian Lampung, Desember 2010; 5. Pembuangan Phoenix ~ A Muttaqin, Amper Media, Maret 2011; 6. Segara Anak ~ Sindu Putra, Pustaka Ekspresi, September 2010; 7. Buli-buli Lima Kaki ~ Nirwan Dewanto, Gramedia Pustaka Utama, November 2010, 8. Mencari Pura I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, Penerbit Koekoesan, Juni 2011; 9. Desis Ular ~ Arya Winanda, Dewan Kesenian Lampung, Desember 2010. 10. Perempuan yang Dihapus Namanya ~ Avianti Armand, a publication, November 2010.

Seberapa Menakutkankah Itu Bagimu?

:: Jalan jatuh ke nestapa lebih ringkas daripada jalan menjauhinya ~ Tomas Tranströmer


APIKAH tubuhmu? Duhai, anjing bermata tungku? Seperti telah kau hanguskan aku di situ. Karena akulah darah berdaging itu, sajak segar itu, kusembelih sendiri domba muda di leherku. Karena akulah lapar yang lupa, di buas taring-taringmu, hingga tinggal aku sekoyak tulang, putih telanjang.

*

Marah dan kesepian, adalah sekutu dua pasukan, bersiap pada satu peperangan. Aku lawan yang tak siap dengan pertempuran, cuma sajak pedangku, maka aku akan kalah amat telak - tapi amat berbahagia - karena aku akan mengungsi ke hatimu, wilayah asingku itu.


*

Kau regang busur, memanahkan tangkai mawar, harum luka yang padaku menghambur. Kau liar perdu, meracunkan embun, menyuntikkan getah mentah, ke parah barahku. Kau mekar duri, menyeribukan tajammu, memperparah perih di tiap buka lukaku.

*

Aku disembuhkan oleh kepedihan. Aku terhibur oleh kesedihan. Tapi, hatiku tak sedang pedih dan sedih. Hatiku hanya kosong, bait sajak yang harus berkali-kali harus kurombak lagi, dan seberapa menakutkankah itu bagimu? Duhai, mawar yang gerimis? Duhai, musim yang cengeng?


*

Aku air, menerjunkan waktu, ke bunga-batu. Kau kupu-kupu yang amat terburu-buru , lari dari kepompong, dari mimpi ke mimpi sendiri.  Aku air, mengabutkan sajak, di patahan tanah, kau liar liana, ingin sekali bisa merambatkan angan di gigil udaraku.

Wednesday, October 5, 2011

Apakah yang Kita Harapkan dari Hujan?

Apakah yang kita harapkan dari hujan?

SAYA melihatnya dari jauh saja. Saya sama sekali tak berani mendekatinya. Baju saya basah. Di luar hujan lebat dengan suaranya gemuruh. Saya tak bisa menghindari tempias. Saya memperhatikan mata tua di balik kacamatanya. Siapa tahu dia melihat ke mataku. Siapa tahu dari tatapan matanya ke mataku, saya mendapat keberanian untuk mendekatinya. Hari mulai senja. Masih hujan juga. Hujan yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung. Hujan yang tadi bersama saya sempat berdiri di samping tiang listrik.

Tapi, dia terlalu sibuk melayani orang-orang yang meminta tanda tangannya. Orang-orang menyodorkan buku puisinya untuk ditandatangani olehnya. Dia penyair besar. Peminat karya-karyanya datang dari banyak kalangan. Dia juga seorang profesor sastra. Saya sebenarnya ingin sekali menyapanya, berbicara padanya, dan meminta sesuatu padanya.
            
 Tetapi, ya, sampai orang-orang tak lagi mengerubunginya, dan dia keluar menembus hujan, masuk di mobilnya, saya masih tidak punya keberanian untuk melakukan apa yang tadi sebenarnya ingin sekali saya lakukan. Saya tidak berani menyapanya. Saya tidak berani bicara padanya. Apalagi meminta sesuatu padanya, sebuah permintaan yang sudah lama saya persiapkan. Di dalam mobil yang segera berlalu saya melihat ia seperti di dalam akuarium. Kaca mobilnya basah. Saya seperti mendengar ia menggumamkan. “Aku adalah air,” teriakmu, “adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah….”


Ruang seminar itu pun sepi. Tinggal beberapa orang panitia membereskan kursi, melepas spanduk yang tadi melatari meja pemakalah. Di meja itulah tadi dia duduk menyampaikan makalah. Saya bukan peserta seminar. Saya hanya menunggu di luar ruangan. Menyiasati hujan. Ini bukan seminar gratisan. Saya tak sanggup bayar. Ketika seminar selesai saya baru masuk ke ruangan dan ah saya tak berani juga mendekatinya. Seperti ada yang menyuruh saya berhenti. Sampai dia pergi. Saya seperti kena teluh oleh bait-bait sajaknya. Ketika berhenti di sini ia mengerti, ada yang telah musnah. Beberapa patah kata yang segera dijemput angin begitu diucapkan dan tak sampai ke siapa pun.

Apakah yang kita harapkan dari hujan?

Saya pulang. Hari masih hujan. Hujan turun sepanjang jalan. Hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan kembali berama sunyi. Kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali.

Di kedai saya beli koran dan pisau. Saya tak tahu kenapa saya beli koran dan pisau. Koran sore. Ada berita apa hari ini, koran sore? Saya meskipun jarang juga, biasanya beli koran pagi. Maka, koran sore itu pun saya pakai saja untuk membungkus pisau. Saya masih menyesali kenapa tadi tak juga saya berani menyapanya dan menyampaikan permintaan yang sudah lama saya ingin ajukan padanya. Saya terus berjalan-setengah-bermimpi menembus udara yang semakin tebal asapnya. Sampai di rumah,saya merasa kantuk memberat di kepala. Mengantungi mata. Suara tik tok jam menyaingi gemuruh hujan. Saya ingin sekali bisa menginderai kembali sampai akhirnya: terpisah dari hujan. Tapi, ah, sepertinya hujan akan lama dan saya semakin menyesali kenapa tadi seteleh seminarmu saya tak juga berani mendekatinya dan mengajukan permintaan yang sudah lama saya simpan.
           
Apakah yang kita harapkan dari hujan?

Saya seperti tinggal bertiga kini bersama pisau dan koran. Saya tidak tahu kenapa tadi membeli koran. Saya tidak tahu kenapa tadi saya tiba-tiba juga ingin membeli sebilah pisau. Mata pisau itu seperti tak berkejap menatapku. Ia berkilat seperti membayangkan urat leher saya. Saya membuka map yang tadi saya persiapkan untuk disodorkan padanya. Map berisi puisi-puisi saya. Saya tadinya ingin meminta dia untuk membaca dan membuat kata pengantar untuk puisi-puisi saya itu. Dengan kata pengantarnya mungkin akan ada penerbit yang mau menerbitkan puisi-puisi saya. Tapi, saya ternyata tidak juga punya keberanian. Saya semakin merasa kantuk saya makin hebat. Saya ingin tidur, tetapi puisi-puisi saya mengajak saya berbincang. Begitulah, kami bercakap sepanjang malam: berdialog pada suku kata yang gosok-menggosok dan membara. “Jangan diam, nanti hujan yang mengepung kita dengan kain putih panjang lalu mengunci kita di kamar ini!”

Apakah yang kita harapkan dari hujan?

Saya akhirnya tertidur juga. Darahku berkesiap. Darahku bersikeras bermimpi tentang denyut-denyut air yang membual dari rahim bumi.  Darahku terkesiap oleh mimpi tentang darah yang menggenang di jalanan dicairkan dan didinginkan oleh hujan. Itu darahku. Sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang seorang lelaki penggemar berat seorang penyair yang terlanggar mobil yang membawa si penyair besar waktu menyeberangi hujan dan menembus jalan. Pesuruh kantor itu kemudian bercerita kepada penjaga kedai tentang seorang lelaki penggemar  penyair besar yang terlanggar mobil yang membawa si penyair besar waktu menyeberangi hujan dan menembus jalan membentur aspal lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan. Penjaga kedai itu bercerita kepadaku tentang seorang  penggemar penyair besar yang dilanggar mobil yang membawa si penyair besar waktu menyeberangi hujan dan menembus jalan, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit. Dan aku ingin sekali bercerita padamu tentang peristwa itu.

Apakah yang kita harapkan dari hujan?

Pagi hari saya terbangun. Darahku tak lagi berkesiap meskipun masih hangat jejak mimpi semalam dalam kepalaku. Saya seperti mencium bau yang mengingatkanku akan sesuatu yang kini sudah bukan milikku lagi saat saya membuka jendela. Koran sore di meja masih terhampar di koran bersama pisau. Saya menduga ada berita kecelakaan mobil di koran sore itu. Tapi, ah berita itu tentu sudah sangat basi kalau saya baca pagi ini. Cahaya matahari meloncat ke dalam dan tampak olehku seperti ada yang satu demi satu bangkit dari lantai. Menjelma semacam gas. Namun masih kaudengar engahnya mendaki berkas-berkas sinar matahari. Saya merasa tidak memerlukan kata pengantarnya lagi untuk sajak-sajak saya yang entah kapan akan saya bukukan. Saya berharap sore nanti akan hujan lagi, tapi…..

Apakah yang kita harapkan dari hujan?

* Sebagian besar kalimat dalam kisah ini datang dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Lacaklah! 


Tuesday, October 4, 2011

Soneta ke-15



Sajak Pablo Neruda

Sejak sudah lama bumi tahu siapa engkau
kau bagai sintal-roti, bagai padat-kayu,
tubuhmu, segugus zat yang aman terampu
bagimu semassa akasia, emas leguminosa

Aku tahu kau ada bukan karena nyala matamu
yang membagi cahaya bagai tingkap terbuka
tapi karena kau tempa lumpur dan kau bakar
di Chillán, di kobar api tanur batubata 

Melampiaslah benda bagai udara, air, atau salju
dan mereka samar, musnah saat tersentuh waktu,
mendebu-mengabu, sebelum datang sang ajal itu

Tapi kau lepas bersamaku bagai batu di makam,
terima kasih pada cinta, yang tak pernah terkikis,
dan bumi akan terus ada, meneruskan kehidupan.




Sonnet XV

The earth has known you for a long time now:
you are as firm as bread, or wood,
you are a body, a cluster of absolute substances,
you have an acacia's gravity, the weight of a golden vegetable.

I know you exist, not only because your eyes fly open
and shed their light in things, like an open window,
but also because you were molded in clay, you were fired
in Chillan, in an astounded adobe oven.

Being: they dissolve like the air, or water, or the cold.
And they are vague, they vanish when time touches them,
as if before death they crumbled into dust.

But you will fall with me like a rock into grave
thank to our love, which will never waste away,
the earth will continue to live


Soneto XV

Desde hace mucho tiempo la tierra te conoce:
eres compacta como el pan o la madera,
eres cuerpo, racimo de segura substancia,
tienes peso de acacia, de legumbre dorada.

Sé que existes no sólo porque tus ojos vuelan
y dan luz a las cosas como ventana abierta,
sino porque de barro te hicieron y cocieron
en Chillán, en un horno de adobe estupefacto.

Los seres se derraman como aire o agua o frío
y vagos son, se borran al contacto del tiempo,
como si antes de muertos fueran desmenuzados.

Tú caerás conmigo como piedra en la tumba
y así por nuestro amor que no fue consumido
continuará viviendo con nosotros la tierra.

Monday, October 3, 2011

[Ruang Renung #256] Jarak Makna Antarkatakunci

DALAM sebuah bait, kita menempatkan kata-kata kunci pada posisi yang paling maksimal menyumbangkan makna pada bangunan kalimat.

Kata-kata kunci itu harus dipilih sedemikian rupa sehingga jarak makna antarmereka tidak terlalu jauh, tapi juga tidak terlalu dekat sehingga tak berjarak sama sekali.

Makan nasi, misalnya, ini sama sekali tak berjarak. Makan hati? Sudah berjarak, dan dia sudah menjadi idiom yang tak mengejutkan lagi. Cobalah makan rindu. Atau makan makam? Makan kata? Bisa apa saja, tergantung dari hal apa yang ingin kita ucapkan dalam sajak.

Itu namanya memaksimalkan diksi. Itu yang bikin menulis puisi tidak pernah berhenti menawarkan kewasyikan. []

Suatu Karena, Suatu Maka

KARENA kau guru filsafat cinta terbaikku,
dan aku murid yang terlalu cerdas, maka 
dengan bengal kukatakan aku cinta padamu.

Karena kau fajar menghijaukan dedaunanku,
dan aku cinta yang tumbuh, maka mataku 
kumataharikan, membuka pasti amat perlahan. 

Karena kau embun yang menandai jejak fajar, 
dan aku bayangan mata di tengah danau, maka 
aku jadikan kau airmata di lembab tangisanku.

Karena kau malam yang rapuh, dan aku adalah
jembatan menyambung mimpi ke mimpi, maka 
kubentengkan bentang lengan ke tabah tubuhmu.



Sunday, October 2, 2011

Soneta ke-13

Sajak Pablo Neruda

Cahaya yang bangkit dari kaki ke rambutmu,
kekuatan yang membungkus nikmat kewujudanmu,
bukanlah kerang-mutiara, bukan dingin perak:
kau adalah lembut roti, roti yang dipuja api.

Subur rumpun gandum di musim panen, padamu,
pada hari yang baik, tepung itu mengembang:
seperti adonan yang bangkit, mengganda payudara,
cintaku adalah batu-arang menunggu di bumi.

Oh, rotilah dahimu, tungkai kakimu, mulutmu,
roti yang kulahap, lahir bersama terang pagi,
cintaku, engkau kibar bendera toko roti,

Api menggurui engkau, pelajaran tentang darah,
engkau hayati kesucianmu dari putih tepung,
dari roti, engkau belajar bahasa dan wangi aroma.   


 Sonnet XIII

The light that rises from your feet to your hair,
the strength enfolding your delicate form,
are not mother-of-pearl, not chilly silver:
your are made of bread, a bread the fire adores.

The grain grew high in its harvest, in you,
in good time the flour swelled;
as the dough rose, doubling your breasts,
my love was the coal waiting ready in the earth.

Oh, bread your forehead, your legs, your mouth,
bread I devour, born with the morning light,
my love, beacon-flag of the bakeries:

fire taught you a lesson of the blood;
you learned your holiness from flour,
from bread your language and aroma.

Soneto XIII

La luz que de tus pies sube a tu cabellera,
la turgencia que envuelve tu forma delicada,
no es de nácar marino, nunca de plata fría:
eres de pan, de pan amado por el fuego.

La harina levantó su granero contigo
y creció incrementada por la edad venturosa,
cuando los cereales duplicaron tu pecho
mi amor era el carbón trabajando en la tierra.

Oh, pan tu frente, pan tus piernas, pan tu boca,
pan que devoro y nace con luz cada mañana,
bienamada, bandera de las panaderías,

una lección de sangre te dio el fuego,
de la harina aprendiste a ser sagrada,
y del pan el idioma y el aroma. 

Soneta ke-10

Sajak Pablo Neruda

Kelembutan itu adalah bagai musik, kayu,
permata agatis, gaun, gandum, persik telusmata
lalu mereka membangun patung pelarian,
menghadang gelombang, menentangkan kesegarannya

Jari lautan memercik di kaki legam matahari itu,
meniru jejak telapak, menggambar di pasir itu.
Dan kini dia adalah nyala mawar api betina
buih yang diperdebatkan matahari dan lautan

Semoga tak tersentuh kau kecuali oleh sejuk garam!
Semoga cinta pun tak merusak utuh semi musim itu.
O, Jelita, suara gema buih yang tak tersudahkan,

semoga pinggang pualammu di air itu menjadi
cermin baru bagi angsa dan bunga lili berkaca
dan mendayung patungmu dengan kristal kekal.


Soneto X

Suave es la bella como si música y madera,
ágata, telas, trigo, duraznos transparentes,
hubieran erigido la fugitiva estatua.
Hacia la ola dirige su contraria frescura.

El mar moja bruñidos pies copiados
a la forma recién trabajada en la arena
y es ahora su fuego femenino de rosa
una sola burbuja que el sol y el mar combaten.

Ay, que nada te toque sino la sal del frío!
Que ni el amor destruya la primavera intacta.
Hermosa, reverbero de la indeleble espuma,

deja que tus caderas impongan en el agua
una medida nueva de cisne o de nenúfar
y navegue tu estatua por el cristal eterno.


Sonnet X

This beauty is soft-as if music and wood,
agate, cloth, wheat, peaches the light shine through
had made an aphemeral statue.
And now she sends her freshness out, against the waves.

The sea dabbles at those tanned feet, repeating
their shape, just imprinted in the sand.
And now she is the womanly fire of a rose,
the only bubble the sun and the sea contend against.

Oh, may nothing touch you but the chilly salt!
May not even love disturb that unbroken springtime!
Beautiful woman, echo of the endless foam,

may your statuesque hips in the water make
a new measure - a swan, a lily-, as you float
your form through that eternal crystal. 

[ Ruang Renung # 255] Saat Menulis Sebuah Puisi

APA yang harus ada di kepala saat seseorang menulis puisi? Apakah ia harus menentukan ia hendak menulis sajak liris atau sajak protes? Apakah ia hendak menulis untuk dirinya sendiri atau untuk siapa yang kelak membaca sajaknya? Apakah ia harus menimbang-nimbang apa kelak reaksi pembaca atas sajaknya? Apakah ia harus menimbang apakah sajaknya nanti membuatnya masuk penjara?

Saya bilang, lupakan saja semua itu. Menulislah saja tanpa beban. Ingat, menulis adalah bagian dari upaya kita mencintai puisi. Maka, menulislah seakan hanya ada kau dan puisi. Layanilah kehendak puisi dengan sebaik-baiknya. Puaskanlah puisi. Menulislah tanpa peduli siapa dirimu dan bahkan saat itu lupakan saja apa itu puisi. []