Monday, March 31, 2008

Menyebut Ubud

      : seperti kudengar suaramu

BUKAN begitu, katamu, lalu kau bimbing lidahku
dengan lidahmu membedakan lafal "d" di akhir kata
kota itu, dan bunyi "t" bergetar di bibir balimu.

Aku belum fasih juga, dan ingin lagi kau mengajariku.

Di Kabut Ubud

      : seakan sudah di sana

Persawahan, pagi, perempuan, padi,
dan perkampungan, dan sesaji-sesaji.

Puri, pura, kau di antara para penari,

hati, hari, aku di tengah para pencari.

Jantung Lebah Ratu - Nirwan Dewanto

Segera terbit buku puisi Nirwan Dewanto Jantung Lebah Ratu (Gramedia Pustaka Utama). Sila mendapatkannya di toko-toko buku sejak 22 April 2008. Untuk keterangan lebih lanjut, hubungi Sdri. Asty dan/atau Bagian Pemasaran PT Gramedia Pustaka Utama

Di Ubun-ubun Ubud

       : sebelum sampai ke sana


KURSI di teras, puisi, rindu yang deras,
galeri, angin yang keras, jalanan ke diri.

Di ubun Ubud, aku ingin lihat kau menari.

Saturday, March 29, 2008














Hasan Aspahani: Sepulang dari Mesir, kenapa Anda menulis novel, bukan kitab tafsir?

Habiburrahman El-Shirazy: Kenapa novel? Karena tidak ada yang memilih itu.

Selengkapnya. Tunggu di blog ini.

Thursday, March 27, 2008

Ambulans

SEPERTI setir
kugenggam dadamu

Tapi, itu perjalanan petang
arah tak lagi bisa kita pegang

Jurang mengangkang, di depan
tebing telanjang, di kiri-kanan

       Ah, Pengemudi,
       jangan berhenti.


       Jangan di sini.

Terlanjur dalamkah telah
kuinjak habis pedal gas?

Tanganmu terus menggapai
mencari buas tuas.

Lalu kendaraan seperti tinggi terbang
Aku dan engkau tak tahu lagi
siapa penampung, siapa penumpang.

Monday, March 24, 2008

Ayat-Ayat Bantal

AKU dan engkau bisa siapa saja
pergi dan pulang bisa ke mana saja

Aturannya hanya: jangan gusal gatal
di lembap bantal, di sembap sesal

Aku dan engkau bisa siapa saja
yang abai, mengulang langkah lupa

[Kutipan] Penyair yang Merasa....

PARA penyair yang belum menemukan bahasa, akan kesepian hidup bersama lirisme yang dianutnya. Penyair itu merasa telah menulis puisi-puisi yang indah, tetapi merasa masih ada kata yang tak sampai, yang tak terkatakan.

- Afrizal Malna, "Mata Bahasa", makalah disampaikan dalam diskusi Balai Sastra Kecapi, "Imperium Puisi Liris di Indonesia", Bentara Budaya Jakarta, 19 Maret 2008.

Di Meja Makan Leon

IA sajikan jua dua kerat kata berakhiran resah
selain sebelas tusuk sate kecap dan nasi merah

Meja berputar, dari jendela kamar, angin gemetar

Jauhkan punggung dari situ! Fengshui tak setuju,
katanya, kepada seorang tamu. Kami pun lekas,
mencatat cabikan cemas pada selembar kertas.

"Puisi itu...", katamu, lalu berdiam lama, aku
menunggu, aku menunggu, dan kau bilang, "Puisi
mesti menggelorakan tenaga, memancarkan energi."

Kukira, saat itu aku ingin berpindah, menemui
perempuan penerjemah, menyusun huruf skrabel,
pada selembar panel, mencari padanan dua kerat
kata - yang kau sajikan - dengan akhiran resah.

Saturday, March 22, 2008







Hendra Gunawan,
Three Prostitutes,
1978
oil on canvas,
146 cm x 200 cm.





Di Hotel Ciputra

IA asyik terbawa pada liuk perempuan
di kanvas besar Tuan Hendra Gunawan.

Di sana, tak ada hujan, hanya pantai
dan ikan, pohon kemboja berjuntaian.

Bocah main topeng, menunggang pinggang,
berayun di kaki, aih ah, hari yang riang.

*

IA terpanah terpana pada pesona warna
kebaya dan singkapan batik perempuan.

Kenapa ia bayangkan hujan? Di pantai
bocah berlarian. Dan tak ada bayangan.

"Aku ingin jadi ikan." katanya perahan,
hatinya laut, gelombang yang telanjang.

Dan ia hanyut terbawa oleh liuk perempuan,
bukan di kanvas luas Tuan Hendra Gunawan.

Di Kafe Oh La La

       : bersama dia, dia dan dia.



KAMI berpacu dengan jalan Mahakota Jakarta
dan koki lelaki yang menyiapkan lasagna
menunggu dia yang mengaku officeboy tua

"Aku berutang enam cerita: java jazz,
negeri Belanda, hingga ayat-ayat Cinta."

Cepat sekali, ia telah lapar lagi, lalu
memesan kudapan bertudung roti, aku tak
tahu ia tadi memesannya dengan nama apa.

Kalau si paman datang, itu berarti hari
telah jadi pagi. Ia datang dengan ransel
(berisi meteran) dan celana setengah kaki.

"Jelas, bukan? Mana yang tuan seperti Tuan,
dan mana yang abdi seperti kami," kata kami.

"Ah, saja tjoema ingin bikin hidoep singkat
djadi nikmat, itoe poen bila ingat & sempat."

Di Apartemen Andreas

       IA melihat tiga pasang sandal rumah,
seperti sapaan ramah mempersilakan singgah.
Lalu mereka berkisah, dengan volume suara rendah,
dan mengudap kacang tanah dari Pasar Palmerah.

       "Aku perlu Apartemen Mewah. Ah, tidak,"
ia lekas membantah. Kalimat itu tentu tidak pernah
ia ucapkan kepada si Abang gagah yang datang
dengan 3 ajudan dan jas mewah.


*

       IA mengukur jauh jarak pandang si Tuan Rumah,
jalan tempuh ke sekolah, tebal buku tentang negeri
yang lelah menjaga remah tanah, keping wilayah.

       "Sudahkah engkau baca sajak yang marah?
Penyair berambut panjang yang berteriak gagah,
mengajak menarik parang, menebas arah yang salah."
Di mana-mana orang menyimpan parang. Kenapa, ya?
Ia tahu, mereka berdua tak tahu. Tapi, juga
tak ingin berkata, "Ah, sudahlah. Sudahlah."


*

       MUNGKIn nanti ia akan membaca kisah tentang
negeri yang terancam pecah, di sebuah majalah
yang memuat artikel tentang seribu masalah, sejarah
yang bertubuh penuh luka, dengan bahasa yang mudah.

       "Seperti dulu, aku membaca negeri kecil
di Timur, daerah yang dijajah, di Rolling Stone, ya, itu
nama majalah, bukan kelompok rock and roll dengan
biduan yang gemar menjulurkan lidah, di mulut cawah."

*

       Tapi, musik adalah politik, katanya pada
tamunya, "Kau ingatkah? Lelaki yang menyanyikan lagu
di negeri di wilayah Barat, mengobarkan semangat, para
lelaki yang menyimpan parang yang lain, agar tidak
berkarat, sebab di matanya, merah, belum kering darah."

Sunday, March 16, 2008

[Ruang Renung # 233] Bercintalah, Bersajaklah

Sebagai bajingan
aku telah kauterima.
Engkau telah menyerah.
Sebagai perahu kau bawa aku
mengarungi udara yang gelisah
kerna nafasmu yang resah
dan tubuhmu yang menggelombang.


(Kepada M.G. Rendra dalam Blues untuk Bonie)


RENDRA pernah - suatu saat saya melihatnya dalam acara bincang di televisi - mengaku tidak suka lagi pada sajak-sajak cintanya. Sajak yang dipetik di atas mungkin salah satu sajak yang tidak ia sukai lagi itu. Tapi, tentu saja dia tak bisa menghapuskan jejak, "...dan tidak perlu dihapus, Tuan Rendra".

Cinta, itu tema yang menggoda untuk disajakkan. Sepanjang masa. Adakah penyair yang tidak menyajakkannya? Saya kira, ketidaksukaan Rendra pada sajak-sajak cintanya hanya pengaruh dari perubahan pandangan kehidupan. Ia kini telah sepuh, telah mencapai makrifatnya sendiri. Ia bukannya melarang penyair lain untuk menyajakkan tema itu.

Saya menyukai sajak-sajak cinta Rendra. Termasuk sajaknya yang di atas itu. Kecintaanku tidak berkurang walaupun penyairnya sendiri tidak menyukai sajak-sajaknya lagi. Saya menyukai banyak sajak cinta, saya menulis banyak sajak cinta. Sejauh ini tidak ada sajak cinta yang aku sesali. Saya tidak bisa memaksa orang lain suka atau tidak suka pada sajak-sajakku, juga sajak cintaku.

Nah, kini, bercintalah, bersajaklah!

Wednesday, March 12, 2008

Kartu Nama Lama

DIA bertemu kartu namanya yang lama,
nyelip di buku daftar nomor telepon.

"Masih ingat saya?" kata kartu itu.

"Masih," dia jawab sekenanya, sambil
mengingat-ingat kepada siapa dulu
kartu itu terakhir ia berikan.

"Ada kartu nama baru, tidak? Boleh
saya lihat-lihat supaya saya bisa
banding masa lalumu vs masa kiniku,"
kata kartu nama lamanya itu.

"Silakan," katanya sekenanya, lalu
ia serahkan lembar kartu nama barunya.

*

DUA kartu nama itu lama berpandangan,
kemudian berangkulan, lalu bertangisan,
sambil bergantian membaca huruf-huruf
yang tertulis di tubuh mereka berdua.

Diam-diam dia pun ikut mengucap-ucapkan
namanya sendiri, sambil mengingat-ingat
siapa yang terakhir menyebut-nyebutnya.

Dan Itu Berarti

SUATU malam, sekolah mereka diruntuhkan gempa,
Andrew. Tidak ada yang tertimpa. Tapi kau tahu apa
yang jatuh bersama genteng, gelagar bambu, dinding
dan kaki-kaki kursi yang patah? Mungkin kalimat itu
tak sempat kita baca, tulisan kapur di papan tulis itu.

DI negerimu, nanti, kubayangkan anak-anak kita. Dua,
atau tiga, atau tujuh? Aku ingin mengantarkan mereka
ke sekolah. Memperkenalkan diri pada guru-guru dan
mengajarkan mereka mengucapkan, "Terima kasih,
thank you." Dua bahasa? Ya, bahasamu dan bahasaku.

AKU akan bercerita, tentang anak-anak di sebuah desa,
di Yogya. "Pada suatu pagi, mereka tidak pergi ke sekolah,
karena mereka tak ingin melihat harapan yang runtuh.
Mereka tak ingin menaikkan bendera di halaman tempat
mereka bermain dan upacara, menghormat pada cita-cita."

ANAK lelaki kita yang paling tua bertanya. "Yogya? Di
mana itu, Mommy?" Aku melirik padamu, dan itu berarti
saatnya giliranmu bercerita tentang pertemuan kita.

Sunday, March 9, 2008

Mesin Jahit dan Dua Pasang Sepatu

ISTRIKU dan aku ingin membeli mesin jahit. Tadi ada
perempuan berpayung ingin mencuci dan menyetrika
pakaian kami. Anak-anak kami sudah pergi sekolah.

"Mesin jahit dengan 49 pola jahitan, bisa
dicicil lewat lembaga pembiayaan," kata istriku.
Aku sedang memasang sepatu. Sepatu kantoran.

Ada suara mesin jahit pagi itu. Suara tertinggal
di masa lalu. Ibuku menjahit seragam sekolahku.

Di teras, seperti kulihat benda yang perlahan-lahan
semakin mirip dengan dua pasang sepatu. "Bisa
untuk obras dan memasang kancing," kata kata
Istriku. Ia melihat-lihat brosur mesin jahit itu.

Benda itu bukan sepatu kami yang lama hilang dulu.

"Teleponlah! Minta antar ke rumah," kataku. Istriku
menelepon, "Halo? Apakah ini suara dari masa lalu?"
Teguh Setiawan Pinang
Beranda

-- kepada Hasan Aspahani

1.

di sini mungkin kita perlu singgah sejenak sebelum lewat pintu itu yang telah jutaan kali kita masuki. riuhnya jalanan dan pasar kota masih melekatkan debu ke kerah bajumu, ke lidah sepatuku. perniagaan yang tak pernah sudah, perselingkuhan dengan keringat dan lelah. katakanlah sekali lagi: bersungguhkah kita di jalan ini?

2.

kami terlalu sering menjamu tamu di teras rumah dengan basa-basi, terlalu jarang dengan puisi. negeri kami begitu penuh dengan fiksi, begitu jenuh dengan diksi. dan kami masih berkutat dengan geli resah yang basi: inikah puisi?

negerimu kami lihat, begitu sore. seperti secangkir teh manis dan sepiring biskuit. lalu ayunan pintu tanpa derit engsel, dan mungkin di baliknya sembunyi sebuah ciuman panjang dan jerit ranjang. lihatlah, negeri kami masih saja hujan, langit kami didera batuk yang rejan.

3.

dipan depan rumah. kami sedang mengaji hitamnya kopi. sekental krim gula di kue ulang tahunmu. di negeri kami, hanya ada kerucut nasi berlauk doa dan sayur mantra. biarlah kami titipkan saja di bibir Shiela dan Ikra.

Friday, March 7, 2008

Nepi, Nyepi

Nyaring sekali

sesekali sepi
menyebut sepi.

Kau dengarkan
diam
yang berdiam
di dalam
itu dada
retak redam.

Thursday, March 6, 2008

Memancing

HUJAN yang lebat itu baru berhenti di ujung sore. Kami terburu-buru menyiapkan joran bambu, mengaitkan mata kail, mengikatkan benang nilon dan mengisi air setengah cupak. "Biar aku yang mencari cacing buat umpan," kata salah seorang di antara kami.

SEBELUM magrib kami pulang. Cupak telah penuh ikan. Kami melewati pemakaman tempat seseorang di antara kami tadi menggali tanah mencari cacing untuk umpan pancing di dekat kuburan seorang lelaki. "Dia dulu pemancing yang paling hebat di kampung kita," kata salah seorang di antara kami.

MALAM itu kami makan berlauk ikan yang kami pancing di sungai sehabis hujan lebat itu. Tidak ada seorang pun di antara kami yang bicara tentang lelaki pemancing hebat itu dan tidak ada yang bertanya kenapa di kuburannya banyak sekali cacing yang baik untuk memancing.

Caramu Mengingatkan Aku pada Hujan Itu

AKU tak tahu hujan yang mana
di rambutmu itu membasah-menyejuk,
aku ragu lebih dahulu hendak menawarkan apa:
hangat handuk ataukah rapat peluk.

Ada jarak sebatu, sepadat batu
antara engkau dan aku, yang menahan
tak pernah sampai kita saling ulur tangan.
bahkan bila kau datang, aku ingin tak ingin tahu.

Hanya percik itu yang menyentuh wajahku
ketika kau kibaskan dingin di rambutmu
Eh, begitukah caramu mengingatkanku
pada hujan itu, hujan kita yang dahulu.

Kenapa, Kelapa?

/1/
PANJATLAH aku, kata kelapa itu padamu, kau mengukur jarak antara dua tangkal dengan regangan kaki kecilmu. Ada tupai melompat, serindit hinggap sekejap, lalu bertaburanlah bunga-bunga kelapa, menjatuhi rambutmu.

/2/
PANJATLAH aku, kata kelapa itu padamu, kau memeluk batang kelapa itu dengan dua tangan kecilmu. Ada monyet berayun, lebah-lebah mendengungkan sayapnya, dan tiba-tiba kau dengar ayahmu memanggilmu, "...berteduhlah, nak, hari akan hujan!"

/3/
POHON kelapa itu tak berkata apa-apa lagi padamu. Tak ada tupai, tak ada serindit, tak ada monyet, tak ada lebah. Hanya ada hujan, bunga-bunga kelapa berjatuhan. Tak ada juga suara ayahmu memperingatkan, memanggil namamu.

Wednesday, March 5, 2008

Roman Ramon

/1/
ENGKAU berahim setahun
di ubun-ubun daun
bertembuni padat embun

jeritmu pertama gema
tujuh bar teriak aaaaa,
huruf akhir kata "dunia!"

kau sambung cukuran pertama
menjadi tali baja, bukan pengail ikan rawa,
itu jerat beruang atau buaya.

-------
... bersambung ke /2/ dst.

Saturday, March 1, 2008

Siapakah Namamu, Hujan?

AKU sudah kenal hujan itu sebelum aku kenal nama bulan-bulan. Aku pernah bertanya, "siapakah namamu, Hujan?" Tapi, aku tak pernah bisa mendengar jawaban hujan. Saya tak percaya bahwa hujan itu tidak punya nama. Dia mungkin tak mendengar pertanyaanku, karena ia sibuk mendengarkan suara-suaranya sendiri.

AKU kenal suara hujan. Aku mendengar jawaban atap ketika disapa hujan. Aku mendengar suara tawa pepohonan ketika digelitik hujan. Aku mendengar jejak langkah jalan ketika ia berkejaran dengan hujan. Aku berseru riang ketika hujan dengan lirikan matanya mengajakku bermain bersamanya di halaman, di bawah tatap cemas ibuku yang meningkap di jendela itu. Ah, senangnya, dan pada saat-saat seperti aku selalu lupa untuk bertanya, "siapakah namamu, Hujan?"