Tuesday, June 30, 2009

Relikui

APA yang tak mengenangkan aku padamu? Segala seperti relikui
Layangan putus, menyerahkan ujung benang, menyentak relikui

Jalan-jalan mengatur simpang, menembus rimba, menebas rambu
Aku mencari, pada sebongkah batu, nama kita merenik merelikui

Di mana dulu kusandarkan sepeda? Lalu kucari engkau di bukit itu?
Kau membuat isyarat di koyak kulit kayu, kubaca kini tanda relikui

Aku memetik bunga yang tak bercerita padaku kelas taksonominya
Aku kelak malu sebab kau berbunda bunga itu: mengekalkan relikui

Bila aku temukan sembunyianmu, ketika itu aku kehilangan engkau
Benang lepas pegang, Jiwaku, di tangan, yang sisa: segulung relikui



Friday, June 26, 2009

Berjalan di Bulan




: Michael Jackson (29 Agustus 1958 – 25 Juni 2009)

KAU yang telah lama percaya kepada keajaiban, dan
kematian, kau tahu, juga sebuah keajaiban, bukan?

Kau sendiri kini, tapi juga tak lagi sendiri, siapa yang
kau mau, menggandeng tanganmu berjalan di bulan?

Sejak kanak kau menyanyi sebab kau takut dipukul ayah,
Kau telah habis lelah, tapi setelah ini tak lagi akan lelah...

Aku kini lebih mengerti, saat dalam lagu berirama gegas,
kau bicara ekualitas: dan kamu benar, lepas dari soal
kau tepat, atau kau sesat. Maka, kubaca kau esok pagi, di
edisi akhir pekan koran, di sana, lama sudah kita tak jumpa.

Kau yang pernah bilang, "aku letih di bumi sekarat ini!"
Tapi, kau bukan sendiri yang ingin menyembuhkan sakitnya,
memulihkan harapan-harapannya: harapan kau dan aku - kita.

Kau kini tak perlu lagi peduli pada bentuk hidung, dan warna kulit
wajahmu, kukira kau pilih saja warna ungu, biru, atau jingga itu...




Wednesday, June 24, 2009

[FIKSIMINI] Huruf Rahasia

ADA satu huruf yang tidak pernah ada dalam alfabet. Dia pada suatu hari bertemu dengan huruf lain yang tidak ia kenal dan tidak mengenali dia.

"Kamu benar-benar huruf? Kamu benar-benar bagian dari kami?" tanya huruf X pada huruf itu. "Itulah yang ingin saya pastikan..." kata huruf itu.



"Kamu bisa aja bergabung, tapi kamu itu vokal atau konsonan?" tanya huruf A, yang paling vokal di antara huruf lain itu. "Itulah yang ingin saya pastikan..." kata huruf itu.

"Kamu harus berada di mana? Sebelum A? Atau sesudah aku? Orang kan sudah terbiasa menyebut dari A-Z. Anehkan kalau harus diubah menjadi dari kamu-Z atau dari A-kamu...?" tanya Z. "Itulah yang ingin saya pastikan..." kata huruf itu.

Tetapi, tak ada yang bisa memberi kepastian. Huruf itu akhirnya ikhlas menjadi rahasia. Dari A sampai Z selamanya tutup mulut jika ada yang bertanya soal huruf rahasia itu. []

[Ruang Renung # 236] Cara Puisi

FRASA kita adalah ‘menulis puisi’. Perhatikan lebih dahulu kata ‘menulis’ pada frasa itu. Bedakah menulis puisi dengan menulis hal lain yang bukan puisi? Ada sama, ada juga bedanya.



Menulis berarti menghasilkan tulisan, sesuatu yang tertulis. Tulisan itu bisa – dan tentu kita harapkan – dibaca oleh orang lain.

Tentu saja Anda bisa bilang, “saya menulis untuk diri saya sendiri. Bukan untuk orang lain.” Nah, sadarilah, bahwa untuk siapa pun Anda menulis – aturannya akan sama saja. Bukankah bisa juga dianggap, bahwa kita yang menulis, dan kita yang membaca adalah dua pihak yang berbeda?

Jadi, kita menulis menghasilkan tulisan untuk dibaca pihak lain. Menulis – dengan demikian – adalah sebuah tindakan komunikasi. Sebuah ikhtiar percakapan. Ada pesan yang ingin disampaikan. Ada kita yang menyampaikan, dan ada pembaca kemana pesan kita hendak menyampai. Ada medium yang menyampaikan pesan itu. Ada cara menyampaikan pesan itu.

Puisi – ingat selalu ini – adalah juga seni. Seni Puisi. Maka, yang mengasyikkan ketika menuliskannya adalah bagaimana cara menyampaikan pesan itu. Sebab isi pesannya bisa saja sama, walaupun, dari pilihan isi pesan ini seorang penyair bisa menunjukkan kekhasan atau kehebatannya.

Isi pesan itu bisa saja disampaikan dengan cara lain – cara yang bukan puisi. Maka ketika isi pesan itu telah kita pilih untuk disampaikan lewat puisi – maka perhatikanlah bagaimana cara menyampaikannya, cara yang puisi, cara Puisi.[]

Saturday, June 20, 2009

Keroncong Kemiskinan

INI keroncong kami. Nada rendah sekali. Jatuh selalu ke sunyi. Yang mendengar hanya telinga hati. Tak sampai akhir kami sudah mati, tapi kami tak mati-mati.

Ini keroncong kami. Tuan tak pernah simak lagu ini, sejak lama sekali, kami sudah menyanyi. "Mengenang susah, hidup payah...." Tuan tutup hidung, mulut, dan mata. Tuan cuma ingin lekas datang zaman tubuh dan napas kami berpisah lagi.

Ini keroncong kami. Kami tak bisa pandang indah lukisan nasib negeri. Kala hidup menjelang pelukan mati. Tak ada yang menanti, tak ada kami ingin bertemu lagi.




Friday, June 19, 2009

Sajak yang saya tulis setelah menonton Debat Capres di Televisi

Tiga Pertanyaan Ujian dengan
Beberapa Pilihan Jawaban untuk Calon
Presiden yang Berdebat di Televisi


1. Bisakah engkau urutkan penggalan
lirik lagu wajib berikut ini? Dan kemudian
maukah engkau menyanyikan bersama kami?

a. ... sampai akhir menutup mata (engkau
menangis di bagian ini, hingga berdarah mata?)
b. dibuai dibesarkan bunda... (bunda yang
tubuhnya menyimpan banyak luka)
c. ... di sana tempat lahir beta... (engkau
lahir bersama darah yang lekas jadi tanah,
dan kau masih mengenalinya?)
d. tempat berlindung di hari tua (tapi,
tidak di penjara negara? Sebab engkau harus
membayar lumur kotor darah dosa?)

2. Kapankah engkau pernah melihat
linang air mata ibu pertiwi dan engkau
bersamanya ikut bersusah hati?

a. yaitu ketika genangan lumpur tekenang?
b. atau ketika emas dan intan dirampok dan
dibawa ke negeri orang?
c. atau saat anak-anak negeri ini disiram
nasib buruk di negeri seberang?
d. atau ketika hujan batu di negeri sendiri
menjadi musim yang makin panjang?

3. Berkibarkah banggamu, bersama kibar
bendera di seluruh pantai Indonesia itu?

a. Oh, aku melihat kibaran lain pada
bendera itu. Kibaran angka-angka murah,
kekayaan negeri yang tak juga bisa
memelihara fakir miskin dan anak telantar
di negeri ini...
b. Ah, aku melihat ada yang lebih meriah,
adalah bendera partai-partai yang
mengusungku, meminta jatah kursi menteri
di kabinetku...
c. Ya, tapi aku tak tahu, sudah berapa lama
bendera itu tertahan di setengah tiang,
seakan merayakan duka yang panjang...
d. Aku tidak kenal siapa pemuda yang
bergelimpangan tanpa harapan di sekitar
tiang bendera itu. Bukankah mereka harus
bersedia setiap masa? Mencurahkan
segala tenaga?


Tuesday, June 16, 2009

Lari, Lari Manohara!

MALAM belum akan tua, di tubuh Manohara,
lilin menyala, pada redup meja-meja pesta

Masih ada ya istana, yang bisa percaya,
pangeran, gelaran bangsawan, kisah lama:
penculikan & gadis manis tak berbahagia!

Lari, lari Manohara! Sayat di dalam dan
di luar dada, bawa saja, juga darah yang
membercaki ungu sutera, rayu dada dara!

Lari, lari Manohara! Lari, lari Manohara!



Bulan Memar Rindu

: Cici Paramida


Tuhan tidak ikut bernyanyi, Cici

Bulan suatu malam pasti akan mati
Kau bertanya kenapa bisa sendiri?

Bersentuh dengan jari-jari sepi,
apapun yang kau undang, yang datang
sejauh - sedekat - ini: cuma bayang.

Tuhan tidak akan ikut menari, Cici

Kau, lagu & bulan: rindu yang memar,
nada yang tawar, hanya sama menduga.

Selamanya. Suara tawa, mungkin itu
tidak dari surga. Tidak dari surga.

Dia - kau kira - ikut menangis, Cici?