Friday, December 30, 2011

Waktu



WAKTU adalah ombak, tak
akan pernah sampai ke pantai





Kita terima takdir peselancar
Hidup dari gerak ke gerak

Jika diam, kita  tenggelam 

*

Kalau kita jatuh, terbantai,
kitalah yang menjadi pantai,

Di mana ombak kita berakhir,

Kita menyatu menjadi waktu.

Wednesday, December 28, 2011

[Kolom] Berimajinasilah, Jadilah Kreatif


IMAJINASI adalah awal dari penciptaan. Bayangkan apa yang kau dambakan, inginkanlah apa yang kau bayangkan, dan terakhir ciptakanlah apa yang kau inginkan itu ~ George Bernard Shaw (1856-1950), Sastrawan, Kritikus Sastra, Penulis Drama,  Esais, berkebangsaan Irlandia, peraih Nobel Sastra tahun 1925.

*

KREATIVITAS. Apakah kreativitas? Definisi umumnya adalah kemampuan seseorang menciptakan sesuatu yang baru  dan bernilai. Apa yang disebut "baru" merujuk pada penciptaan individual atau sekelompok orang yang belum diciptakan orang lain. Apa yang disebut "bernilai" adalah ciptaan baru itu memberi manfaat dalam cara pandang yang luas.


Kata kreativitas berasal dari bahasa Latin “creatus” yang akar katanya adalah “creare” artinya “membuat, meneruskan, menghasilkan, memperanakkan, membiakkan,” dan berkaitan maknanya dengan “crescere” yang berarti  “bangkit, tumbuh”.

Dari pelacakan asal kata itu, kita tahu, Bahasa Indonesia punya kata dasar yang padan dengan kata itu, yaitu "membuat" atau "mencipta", dan kita menyerap kata bentukan "creative" dan "creativity" menjadi "kreatif" (kata sifat) dan "kreativitas" (kata benda).  Karya adalah wujud dari kreativitas. Kerja adalah jalan mewujudkan kreativitas.

*

Saya percaya wahyu pertama dari Allah yang disampaikan kepada Rasulullah adalah perintah untuk menjadi kreatif. Dalam surat Al-Alaq (Segumpal Darah) yang di Alquran di urutkan sebagai surat ke-96 itu, kita -  lewat Rasulullah diperintahkan mula-mula untuk meng-iqra, membaca, mengkaji: Bacalah. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.

Tuhan - sang pencipta itu - memerintah manusia untuk membaca. Membaca apa? Membaca Dia, membaca alam semesta, membaca diri manusia sendiri.  Tuhan mengingatkan bahwa manusia diciptakan dari segumpal darah, sesuatu yang hina, yang tidak bernilai,  lalu -  dengan membaca, kita memperoleh pengetahuan, lalu kita mampu menciptakan sesuatu -  kita menjadi makhluk yang mulia, yang berharga. 

Menurut saya ini adalah hakikat dari kreativitas, yaitu mula-mula menyadari bahwa kita adalah makhluk yang terbatas, lalu menyadari bahwa kita diberi akal untuk mengatasi keterbatasan itu, memuliakan kemakhlukan diri kita sendiri, dan dengan demikian sekaligus mengagungkan Allah yang Maha-Pencipta itu.

 
*

Saya percaya manusia sekarang hanya bisa bertahan dengan kreativitas. Saya menafsirkan bahwa apa yang dirumuskan sebagai "survival of the fittest" oleh dua orang proponennya yaitu Charles Darwin dan Herbert Spencer, berkaitan dengan kreativitas.  Untuk menjadi individu yang paling pantas untuk bertahan yang diperlukan adalah daya kreatif. 

Seleksi alam adalah tangan Tuhan yang bekerja secara gaib.  Alam berubah, ini adalah sunatullah.  Alam menyeleksi makhluk-makhluk mana yang paling layak untuk bertahan.  Dinosaurus punah bukan karena bencana alam dahsyat. Tapi karena hewan yang berbobot 50 kali gajah itu hanya memiliki otak sebesar kotak korek api. Daya pikir dinosaurus tak memungkinkan mereka untuk menjadi makhluk yang kreatif untuk bertahan. 

Tetapi apakah volume otak manusia yang membuat kita bertahan? Tidak, ikan paus hidup dengan volume otak yang sangat besar, 9 kilogram dengan 200 miliar sel syaraf.  Kita manusia rata-rata punya otak hanya seberat  1,25 hingga 1,45 kologram dengan 85 miliar sel syaraf.  Dan kita tahu, kita manusia lebih cerdas dari ikan paus. Jadi, bukan volume otak yang menjadi ukuran kecerdasan makhluk hidup.

Lalu apa? Mungkin rasio tubuh dan otak ikan paus kecil? Tidak juga. Rasio berat otak dan tubuh yang paling tinggi ada pada tupai.  Jadi, manusia pun tak bisa sombong dengan keunggulan rasio berat otak dan tubuhnya.  Karena lagi-lagi bukan itu yang menentukan kecerdasan dan nilai manusia.  

Dengan kapasitas otaknya, ikan paus, tupai, juga binatang lain, bisa bertahan hidup. Ada perubahan-perubahan kecil yang membuat mereka bisa bertahan, menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan hidup mereka, tapi peradapannya tidak berkembang. Itu yang membedakan kita manusia dengan mereka para binatang.

Ya, kita hidup di alam yang berubah, dan terus-menerus menguji kita. Kita hidup, bertahan, dan menyesuaikan dengan perubahan alam itu. Kita harus berubah. Kita dipaksa untuk berubah. Atau bisa juga kita yang merancang perubahan pada diri dan hidup kita.

Tuhan memerintahkan manusia untuk merancang perubahan hidupnya sendiri. Ada sebuah ayat yang sangat masyhur  berkaitan dengan hal ini yaitu QS Surat Ar-Ra'd (XIII) ayat ke-11: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah. 

Apa artinya? Artinya, Allah mengingatkan bahwa perubahan itu adalah kerja kolektif. Bukan kerja individu.  Kalaupun ikhtiar perubahan itu diandalkan pada kerja individu, tapi perubahan yang berharga itu dampaknya meluas, terasa pada komunitasnya, pada kaumnya.

Perintah untuk mengorganisasi diri, menyusun kekuatan, merapatkan barisan, ambil bagian dalam kerja besar merancang perubahan ke arah yang yang lebih baik harusnya kita dengar sebagai gelegar, sebagai guruh, sebagaimana Ar-Ra’d, nama ayat itu,  yang berarti  “guruh”, suara gelagar nun dari langit sana itu.

*

Daya kreatif, kata penyair besar kita W.S. Rendra, adalah kemampuan untuk beraksi dan beraksi secara unik, penuh kepribadian, tidak sekadar berdasarkan kebiasaan yang umum.

Kenapa kita harus kreatif? Karena manusia punya daya yang terbatas, tetapi Tuhan memberi alam yang membentangkan kemungkinan yang tidak terbatas. Kreativitaslah yang membuat manusia bisa melampaui keterbatasannya dan mempertemukan dengan kemungkinan yang tak terbatas tersebut.

Ya, manusia, kata Rendra, adalah gabungan dari kemungkinan dan keterbatasan. Ada batas untuk cita-cita dan perencanaan manusia. Ada batas kenyataan alam yang harus diperhatikan.
"Manusia yang kreatif justru memperhatikan keterbatasan dan kemungkinan yang ada di dalam dan di luar dirinya," kata Rendra. Berkat kemauan dan kemampuannya, mereka berusaha agar kemungkinan itu bisa ada.
Gairah usaha sangat menentukan dalam dalam mengolah keterbatasan menjadi kemungkinan. "Mempertahankan kepribadian adalah mengolah kemampuan berusaha untuk menjawab tantangan hidup," ujar Rendra.
*
Kita hidup di dunia dengan banyak hal yang dulu dianggap tidak mungkin ada.  Dulu, tak terbayangkan hidup dengan begitu mudahnya kita berpindah tempat. Satu hari saya pernah berada di empat kota: Balikpapan, Jakarta, Batam, dan Kualalumpur.  Pesawat yang bisa membawa manusia terbang, dulu hanyalah ada dalam mimpi besar umat manusia berabad-abad, sampai kemudian Wright Bersaudara, Wilbur dan Oliver mengimajinasikannya, dan menciptakan model pesawat pertama.

Saya mengetik naskah ini di MacBook Air.  Laptop canggih ini, di awal abad ini, tak terbayang akan ada. Komputer tak terbayang akan jadi produk massal seperti sekarang. Bahkan seorang Chairman IBM, dulu, di tahun 1943, pernah berkata, “Saya kira pasar dunia komputer mungkin kira-kira lima komputer!” 

Seorang yang kreatif adalah seorang yang bukan hanya mampu melihat masalah saat ini. Tapi juga mampu melihat masalah apa yang akan dihadapi manusia kelak dan mencarikan jalan keluarnya sekarang. Kita bisa melihat sosok itu pada diri Bill Gates. Ketika memulai Microsoft dia dan mitra pendirinya punya mimpi besar: menghadirkan komputer di setiap meja, di setiap rumah. Dia melawan apa yang diyakini oleh chairman IBM, dan Gates benar.

Saya memulai tulisan ini dengan mengutip George Bernard Shaw. Imajinasi kata pemikir besar itu, adalah awal dari penciptaan, creation.  Tapi imajinasi tak berhenti di situ. Ia harus diwujudkan. Secara sederhana, dengan kutipan itu, saya ingin katakan bahwa menjadi kreatif itu itu mudah. Hanya perlu memulai dengan imajinasi. Dan itu dimiliki oleh semua orang. Berimajinasilah. Kreatiflah![]

Kolom ini adalah naskah Pidato Kebudaan Akhir Tahun yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau Kepulauan (Unrika), Batam.  

Thursday, December 22, 2011

Berkelahilah

BERKELAHILAH, Anakku,  aku tak peduli kau menang atau kalah
Berkelahilah, Anak Lelakiku, dan jangan pulang dengan tangisanmu.

Berkelahilah, Anakku,  jika hanya dengan itu kau bertahan di jalanan
Berkelahilah, dan pulanglah hanya untuk sebentar mengeringkan luka.

Sonny Boy Williamson - Nine Below Zero

Wednesday, December 21, 2011

[Kolom] Berpikir Solutif

 
Gambar dipinjam dari situs ini.
SAYA menyebutnya berpikir dan bertindak solutif.  Tentu saja solusi harus dicari dengan cara yang kreatif.  Kreatif saja tidak cukup kalau tidak membawa ke solusi. Jadi, ini lebih dari berpikir kreatif.  Ini adalah tindakan dan pikiran yang mengarah atau mendekati penyelesaian masalah, mengejar dan mendapatkan solusi.  Bukan justru sebaliknya mencari-cari atau membikin masalah. 

Masalah selalu ada. Masalah sudah banyak. Tak usah sengaja ditambah-tambahi. Setelah menyelesaikan satu masalah, masalah lain pasti sudah menunggu untuk dibereskan. Inilah perlunya sikap solutif itu. Itulah perlunya bertindak dan berpikir solutif.  Pemimpin bisnis, pemimpin organisasi kemasyarakatan, pemimpin di pemerintahan perlu mengembangkan sikap ini. 



Saya merumuskan ini langsung dari seorang guru yang tidak mengajarkan teori.  Dia bahkan tidak pernah merumuskan sendiri teorinya. Dia memberi contoh dengan praktek langsung.  Namanya: Dahlan Iskan.

Bagaimanakah cara berpikir dan bertindak solutif itu?  Pertama, dia harus selalu optimis. Selalu punya harapan. Jika harapan itu tidak ada, dia yang harus menemukan, menumbuhkan dan menularkannya. Tanpa harapan, mustahil seseorang bisa berpikir mencari jalan keluar.

 “Setiap hidup itu harus memiliki harapan atau hope. Sebelum melakukan perubahan pada sesuatu, terlebih dahulu harus menumbuhkan hope. Hope akan menjadi target, target menjadi program yang kemudian menjadi kegiatan,” kata Dahlan Iskan dalam sebuah wawancara (Dahlan Iskan Menteri BUMN – Masih ada Harapan bagi BUMN yang Merugi, Republika Senin 28 November 2011).

Kedua, solusi hanya bisa ditemukan, dicapai, diraih dengan kerja tim.  Orang yang berpikir solutif percaya pada kekuatan tim. Ia bisa mencari, menemukan, dan memberdayakan orang-orang yang hebat, lalu mendudukkannya di posisi kunci, sehingga si tokoh kunci tadi bisa membangun kehebatan timnya.

Itu yang sekarang sedang dilakukan oleh  Menteri Dahlan. “Saya berusaha menciptakan dream team di setiap BUMN,” katanya.  Kunci untuk membentuk dream team, katanya, secara teoritis cari direktur utama yang hebat, cari orang produksi yang hebat, cari orang SDM yang hebat.  Itu yang sudah dilakukannnya di Jawa Pos grup, sehingga jaringan koran ini menjadi yang terbesar di Indonesia.

Ketiga, orang yang solutif adalah orang yang komunikatif. Ia hebat mengomunikasian ide-idenya. Hebat artinya, ia bisa sampaikan dengan sederhana dan mudah dipahami oleh orang-orang lain yang harus mendukungnya, dan orang-orang lain yang harus mengeksekusi ide-idenya. “Saya sangat percaya bahwa komunikasi bisa menyelesaikan berbagai permasalahan,” kata Menteri Dahlan.


Keempat, orang yang solutif adalah orang yang pertama, berani dan berada di depan dalam mempertanggungjawabkan misinya.  Ketika tahu bahwa DPR serong memanggil direktur utama BUMN, dan itu merepotkan, Dahlan mengambil  alih tanggung jawab.  “Saya inginnya DPR Cukup memanggil menteri saja, tidak perlu memanggil juga Dirut BUMN. Dirut itu biarkan bekerja saja. Kalau memang ada kesalahan, ya menteri saja yang dimarahi,” katanya.  


Kelima, orang yang solutif adalah pekerja keras.  Ketika menjadi Dirut PLN Dahlan Iskan pernah menantang  pengusaha Sofjan Wanandi.  PLN berencana mengubah struktur batas tarif listrik untuk industri yang ia nilai selama ini terlalu ringan. Sofyan menilai rencana itu adalah kemalasan PLN mencari jalan keluar agar perusahaan itu efisien, dan hanya memberatkan pengusaha. Dibilang malas, secara terbuka Dahlan menantang Sofyan.

"Seolah dia saja yang bisa kerja keras,” kata Dahlan, “Saya kepingin tahu, apakah dia bisa bekerja keras melebihi saya. Saya tahu bahwa saya ini orang yang lagi sakit dan belum lama operasi ganti hati. Tapi soal kerja keras, saya kepingin tahu siapa yang bekerja lebih keras, saya atau dia,” katanya.

Hanya orang yang benar-benar telah bekerja keras yang tahu apa arti kerja keras dan bagaimana bangganya mengatakan bahwa ia sudah bekerja keras.  Dahlan jelas orang yang tergolong pada kelompok itu.  Ia bukan orang yang asal omong, juga bukan orang yang cuma berani omong. Tantangannya kepada Sofyan Wanandi terlontar karena dia lebih dahulu disalahmengertikan.  Ia harus meluruskan kesalahmengertian itu, dengan balik menantang.  Ini adalah sebuah pertunjukan integritas diri yang memukau, bukan sekadar tindakan sok jagoan yang kosong.


Keenam, orang yang solutif adalah orang yang berpegang teguh pada komitmen.  Karena komitmen adalah janji, dan janji itu harus ditepati.

“Ketika saya sudah berkomitmen, maka saya melihat itu sebagai janji dan janji itu harus saya tepati,” kata Dahlan Iskan dalam seminar kepemimpinan yang digelaroleh QB Leadership dan majalah Warta Ekonomi, yang menghadirkan dia sebagai pembicara.  


Terakir, yang ketujuh, orang yang berpikir solutif, adalah orang yang tidak rumit, ia bisa menyederhakan persoalan, bukan menganggapnya mudah.  Tapi, ya soal yang sudah disederhakan jadi mudah untuk diatasi.  Ia bisa mengurai benang kusut, lalu menyelesaikan persoalan dengan langkah yang tampaknya sederhana.

Ini bisa kita lihat dari bagaimana kinerja Dahlan Iskan ketika menjadi Dirut PLN, dalam waktu yang kurang dari dua tahun.  Bertahun-tahun PLN dicap sebagai produsen yang memonopoli urusan listrik yang citranya buruk.

Dalam sebuah survei konsumen PLN dipersepsikan terutama dengan satu kata: byarpet. Listrik yang mati mendadak tiba-tiba dan bisa kapan saja, pelayanan yang buruk, daya listrik tidak cukup, dan kejam, konsumen telat bayar, aliran diputus.

Akhir tahun 2009, Dahlan Iskan dipercaya pemerintah untuk duduk di kursi Dirut PLN, yang secara harafiah kursi itu jarang atau nyaris tak pernah ia duduki. Dengan cepat ia memetakan apa masalah pabrik listrik plat merah itu dan menyusun langkah mengatasinya.

“Simpel,” kata Dahlan. Ada lima hal yang diinginkan konsumen. Pertama jangan ada krisis listrik. Kedua, jangan sering mati. Ketiga, jangan ada daftar tunggu. Keempat, tegangan harus stabil tidak naik turun. Kelima, listrik harus merata sampai ke pelosok-pelosok.

Dan selama menjadi Dirut PLN ia bekerja fokus pada kelima hal itu. Ia mengunjungi daerah-daerah yang krisis listrik. Ia canangkan dalam enambulan  tak ada lagi pemadaman bergilir, itu artinya kapasitas listrik terpasang cukup untuk menyuplai kebutuhan beban puncak listrik di daerah tersebut, dan akhirnya ketika target itu secara nasional tercapai, presidenlah yang mencanangkan pencapaian itu.

Hasilnya? Jauh lebih besar dari kelima hal itu. “Di PLN saya merasa telah menemukan model transformasi korporasi yang sangat besar yang biasanya sulit berubah,” katanya.

Kita lihat, Dahlan punya visi untuk memetakan masalah, merumuskannya dengan sederhana, menyusun langkah mengatasi hal itu, dan dengan berfokus pada konsumen yang harus dilayani PLN, ia serta-merta memperbaiki kinerja internal PLN.  Ia melakukan transformasi besar-besaran, sesuatu yang tadinya sulit bahkan mustahil dibayangkan bisa terjadi.

Mungkin ada hal lain di luar tujuh hal tadi. Tapi bagi saya itu saja sudah cukup sebagai penanda dari seseorang yang berpikir dan bertindak solutif.  Demikian.***  



  




Tuesday, December 20, 2011

Dan kubacakan, "Bouazizi Namanya, Mohamed Nama Depannya!"










Di Panggung Penyair Kenduri Seni Melayu ke-13, Dataran Engku Putri, Batam, 20 Desember 2011. (Foto oleh Mohammad Noor Kanwa) 

Thursday, December 15, 2011

Dari Forum Pemred Jawa Pos Group di Novotel Jakarta

“Kalau ingin menjadi menteri, caranya tidak sulit. Cukup beli dua buku. Satu dibaca, dan satu dikasih Pak SBY!” kata Hasan yang diikuti tertawa ngakak seluruh audience, termasuk Menparekraf Mari Elka Pangestu.

Mau Jadi Menteri? Cukup Beli Dua Buku!
 

Oleh | Don Kardono

MENTERI Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu lega, bisa menjelaskan detail berbagai program kerjanya di Forum Pemred Jawa Pos Group itu. Sebab, cukup sekali ketuk, 165 media lebih sudah membuka pintu secara otomatis.

Karena itu, dalam pressure skedul yang super mepet, di antara sidang kabinet bersama Presiden SBY, mantan menteri perdagangan ini terus mencari cara untuk bisa melompat ke arena Forum Pemred di Novotel, Mangga Dua itu. Bicara di depan pimpinan redaksi media yang memiliki jaringan media paling besar dan paling luas di Indonesia ini sudah mirip berkeliling tanah air dari satu titik. 




Putri dari ekonom J Panglaykim ini memperoleh gelar Bachelor dan Master of Economics dari The Australian National University, serta gelar Ph.D. di sektor Perdagangan Internasional, Keuangan, dan Ekonomi Moneter dari Universitas California, Davis tahun 1986. Cukup detail, Mari Elka memaparkan istilah baru dalam kementerian pasca reshuffle, 18 Oktober 2011 lalu. Ada 45 slide yang dia jelaskan secara komprehensif. Lagi-lagi, password-nya sama dengan arah dan jalur Jawa Pos Group, yakni: “kreatif!” 


Menurutnya, ekonomi kreatif merupakan era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas, mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumber daya manusia, sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. “Yang dieksplorasi adalah kreativitas manusia, jadi tidak aka nada habisnya!” ucap Mari yang juga peneliti CSIS itu. 


Lalu apa kaitannya dengan Industri Kreatif" Mari menyebut, sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan, dengan menghasilkan dan memberdayakan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. 


“Kontribusi ekonomi kreatif bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, tahun 2010, cukup signifikan, yakni 7,3%. Lalu, kontribusi pada ekspor sampai 9,25%. Dan daya tampung tenaga kerja mencapai angka 8,5 juta 7,76%. Saya pernah membeli 2 buku yang berisi arti penting ekonomi kreatif ini, yang satu saya berikan ke Pak SBY. Karena itu, memberdayakan sektor ini cukup strategis,” ujar Mari, yang kemudian disindir moderator Hasan Aspahani, Pemred Batam Pos.
“Kalau ingin menjadi menteri, caranya tidak sulit. Cukup beli dua buku. Satu dibaca, dan satu dikasih Pak SBY!” kata Hasan yang diikuti tertawa ngakak seluruh audience, termasuk Menparekraf Mari Elka Pangestu. 


Mengapa harus Ekonomi Kreatif" Mari menjelaskan, sedikitnya ada enam alasan penting. Pertama, bisa memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan. Kedua, menciptakan iklim bisnis yang positif dan kondusif. Ketiga, membangun citra dan identitas bangsa. Keempat, berbasis pada sumber daya yang terbarukan, bukan berbahan fosil. Kelima, menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa. Dan keenam, memberikan dampak sosial yang positif. 


Lalu apa tantangannya" “Ya, sumber daya insani yang belum memadai dalam kuantitas dan kualitas. Umumnya mereka belajar otodidak, bukan diciptakan oleh institusi-institusi pendidikan formal/informal. SDM itu umumnya juga terkonsetrasi di kota tertentu saja,” paparnya. 


Selain itu, lanjut dia, iklim belum cukup kondusif dalam hal memulai dan menjalankan usaha, aktivitas ekspor-impor, hak kekayaan intelektual, perpajakan, khususnya pada saat start-up usaha. “Apresiasi public terhadap produk kreatif juga belum cukup tinggi. Termasuk juga apresiasi terhadap insan kreatif, karena itu belum menjadi sesuatu yang memikat,” kata dia. 


Mari berkali-kali menanyakan ke audience, untuk memperoleh kesamaan pemikiran soal hambatan yang paling merepotkan di semua sektor. Apa lagi kalau bukan soal infrastruktur" “Itu keluhan nomor satu. Hambatan infrastruktur. Penetrasi dan regulasi teknologi informasi juga belum mendukung industry,” jelas tokoh yang dulu menjadi pengajar FE UI ini. 


Industri fashion misalnya, kata Mari, juga kerajinan, masih sering terkendala oleh kelangkaan dan fluktuasi bahan baku. Sementara lembaga pembiayaan belum cukup baik menilai bisnis industry kreatif, akibat informasi yang asimetris. “Pelaku-pelaku industri kreatif tidak mudah mendapatkan pinjaman modal,” tutur pengganti Menteri Jero Wacik yang pindah ke Kementerian ESDM itu.


Namun, bukan Mari Elka kalau tidak optimistik. “Saya banyak ditanya, apa focus ekonomi kreatif ini" Banyak yang belum tahu, ini memiliki potensi yang amat besar, dan bisa semakin signifikan untuk menyumbang PDB, lapangan kerja, net trade national, capaian pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat,” jelasnya.[]

Saturday, December 10, 2011

Anganku adalah Sarang

ANGANKU adalah sarang, tempat semua mimpiku bertelur, tapi Cintamu adalah induk liar, yang enggan mengeram, dan dengan demikian apakah mungkin bisa kuharapkan ada kehangatan yang akan menetaskan? 

Aku Tak Akan Menyalahkannya

CINTAKU adalah rasa asin pada lautmu. Matahari mengira ia bisa menguapkan aku dari engkau, mengawankanku di langit yang asing. Ia salah, tapi biar saja, aku tak mau menyalahkannya.

Cintaku adalah hara menyebati di tanah kebunmu. Matahari mengira hanya ia yangmenumbuhkan engkau dan memekarkan bunga-bungamu. Ia salah, tapi biar saja, aku tak akan menyalahkannya.

Tuesday, December 6, 2011

Mungkin

Sajak Carl Sandburg

MUNGKIN dia memercaya padaku, mungkin tidak.
Mungkin aku bisa menikahi dia, mungkin tidak.

Mungkin angin hembus di padang-padang prairi,
Atau hembus angin itu ada di lautan, mungkin,
Seseorang, di satu tempat, yakinkan aku, mungkin.

Aku menyandarkan kepala ke pundaknya, mungkin,
dan ketika dia bertanya, aku bilang ya, mungkin.

Kebahagiaan

 Sajak Carl Sandburg

AKU bertanya para professor, yang mengajar arti kehidupan, beritahu,
        aku apakah bahagia itu.
Dan aku temui dia, eksekutif ternama, dia bos bagi ribuan lelaki
        yang bekerja untuknya.
Mereka menggelengkan kepala dan memberiku senyuman, seperti mau
        berkata, kenapa aku ajukan pertanyaan bodoh itu.
Dan kemudian pada suatu petang Minggu aku berjalan, menyelusuri
        sungai Des Plaines
Dan aku melihat sekelompok lelaki Hungaria di bawah teduh pepohonan,
        bersama para istri dan anak-anak mereka, juga segentong bir,
        dan sebuah akordion.


Monday, December 5, 2011

Sajak Cinta: Karnaval Bisikan



PIKIRAN-pikiran sederhana ini adalah gemerisik dedaunan;
mereka berbisik gembira di hatiku - Rabindranath Tagore


SAYA ingin mengantar sajak-sajak di buku ini dengan sedikit kilas balik. Di awal 2000-an, sebuah situs puisi menarik banyak perhatian. Cybersastra (www.cybersastra.net– jangan cari, dia sudah tak ada) namanya. Ia dikelola dan dimeriahkan oleh sejumlah pencinta puisi. Dari situ terbit satu perdebatan. Tema perdebatannya: apakah  internet telah membawa suatu pembaharuan dalam sastra (khususnya puisi) di Indonesia?  Saya sedikit banyak terlibat meski hanya sebagai figuran dengan peran yang amat tidak penting.


Ada yang bilang, “ya ini adalah jalan baru yang mencerahkan perpuisian kita”. Ada yang mencibir, “Cis, sastra di internet itu seperti tong sampah. Semua bisa tampil. Tak ada seleksi.”   Ada yang dengan militan membela. Ada yang terus menyerang.  Ada juga sebagian dari kami yang terus saja berkarya dengan penuh cinta, tak terlalu hirau pada perdebatan itu.

Bagi saya sendiri, oh si figuran yang punya lakon tak penting ini, perdebatan itu (dengan tetap menyimpan rasa hormat yang amat tinggi kepada para pembela Cybersastra) sedikit agak sia-sia. Sebab bagi saya, media cetak: majalah, buku, surat kabar, dan internet : blog, situsweb, milis, adalah medium.  Ya, itu hanya wadah.  Apa yang diisikan pada wadah itu sama saja: puisi. Ukuran-ukuran untuk menakar mutu puisi itu sama saja dimana pun ia disajikan. 

Tentu ada hal-hal yang bisa dan harus disesuaikan  ketika sesuatu hal diisikan ke satu wadah dan ke wadah lainnya.  Dan tentu juga bahwa tidak ada medium yang sedemikian sempurna mengatasi segala hal dibanding medium lain. Pekarya yang baik mula-mula dia akan menaklukan mediumnya, lalu dia manfaatkan kelebihan dan dia atasi kelemahan-kelemahannya, demi  keunggulan karyanya. 

Lalu kini kita sedemikian akrab dan asyiknya berada di medium baru bernama Twitter.  Jack Dorsey (@jack) pasti tak menyangka bahwa program aplikasi yang ia rancang ini mengubah banyak aspek dalam cara kita berinteraksi dengan teks, dan membuat begitu banyak kemungkinan penjelajahan estetis.  Twitter adalah hadiah  dari kejeniusan seorang manusia bagi  umat manusia. 

Ketika mula-mula membuka akun Twitter, beberapa bulan setelah diperkenalkan, saya  tak tahu apa potensi medium baru ini bagi kegemaran saya berpuisi.  Batasan 140 karakter itu adalah hambatan sekaligus tantangan, yang bagi orang-orang yang kreatif tidak perlu menunggu lama sampai mereka menemukan sesuatu jalan untuk bermain-main di situ.  Peranti telepon cerdas semakin terjangkau dan memungkinkan wilayah ekplorasi di medium bernama Twitter itu semakin luas dan dalam.

Saya kira, kita sekarang  jauh lebih dewasa  menerima  ketika sastra (ah atau sebut saja kepenulisan kreatif) dimainkan di medium baru bernama Twitter. Tak ada perdebatan yang mempermasalahkan apakah ini sebuah pembaharuan, apakah sastra surat kabar akan mati, dan lain-lain. Tapi sejumlah karya dan sejumlah nama telah lahir dan akan terus lahir di sini. 

Akun termoderasi pertama yang saya kenal – dan saya terjerumus dengan sukses di situ - adalah @fiksimini.  Akun yang mengajak pengiringnya berimajinasi dengan karya fiksi menurut  topik yang juga berasal dari pengiring.  Ada satu tim moderator yang bergantian memilih dan karya yang terpilih dan di-retweet.  Di situlah serunya.  Saya kira dari keasyikan bermain-main di situ banyak yang kemudian menyadari bahwa ada potensi kepenulisan dalam dirinya.  Ini baik.  Sangat baik.  Mereka yang sebutlah sudah menjadi penulis yang jadi pun tanpa rikuh bermain di medium ini. 

*

Sajak-sajak yang saya antar di buku ini adalah hasil dari keseriusan, keriangan, bemain-main dengan medium baru bernama Twitter tersebut.  Akun termoderasi @Sajak_Cinta, datang pada saya tak segegap-gempita @fiksimini.  Saya kira tadinya ia hanya akan melesat sebentar lalu perlahan redup seperti meteor.  Jika itu terjadi pun tak ada yang harus disesali. Twitter sebagai medium tidak akan salah. Sebuah gagasan – sebermain-main apapun – dengan teguh menguji  para pengu
sungnya, seberapa kuat mereka bisa mempertahankan gairah untuk terus mencipta. 

 Dan ternyata akun ini dengan segala kerendahhatiannya  bertahan, terus mempertahankan gairah keberadaannya, dan membangkitkan gairah para pengiring  yang terus menghidupinya.  Seribu puisi yang terkumpul di buku ini adalah bukti interaksi itu. Saya dan siapa saja yang mencintai puisi, yang mencintai kerja kreatif, yang mencintai etos penciptaan, saya kira boleh sedikit lebih berharap banyak pada akun ini. 

*

Siapakah para penulis-penulis sajak yang meramaikan akun @sajakcinta dan karyanya terhimpun di buku ini? Sebagian kecil ada yang saya kenal. Sebagian lain sama sekali saya tidak tahu.  Tapi bagi saya, sajak mereka  sampai  utuh kepada saya sebagai dirinya sendiri.  Kenal atau tidak saya dengan penulisnya sama sekali tak menambah atau mengurangi kadar mutu sajak tersebut. 

“Dengan berbagai pertimbangan,” kata Pablo Neruda, “saya kira semua buku harus terbit secara anonim.”  Ya, anonim.  Tanpa nama.  Neruda bicara soal buku puisinya Los versos del Capitan.  Ini adalah buku Neruda terbit tahun 1952, tanpa mencantumkan namanya sebagai penulis, alias anonim.   

Buku ini berisi sajak cinta  yang sederhana, terus-terang, bertenaga, serta membumi.  Sebuah buku yang katakanlah amat jujur dan telanjang.  Neruda mengikuti kata hatinya.  Ia dengan polos menyatakan cinta lewat sajak kepada kekasihnya Mattilda Urrutia,  yang  kelak tiga tahun setelah buku itu terbit, yakni pada tahun 1955, baru mereka menikah resmi.  Kelak baru di tahun 1963, sebelas tahun kemudian barulah Neruda mengakui bahwa Los versos del Capitan itu adalah karyanya. 

Anonimitas bukan topeng. Akun-akun yang tak merujuk langsung ke pribadi yang kita kenal, kecuali kelak dibuka sendiri jatidirinya oleh si pemilik akun bukanlah tabir tempat berlindung dari apapun.  Ada rasa nyaman ketika  sesorang  berkarya di balik ketidaktahuan pembaca tentang siapa kita. Tapi sebaliknya ada nikmat yang luar biasa ketika kita sebagai manusia, sebagai seseorang, dikenali dan dihargai lewat karya-karya kita.  Ini sepenuhnya pilihan bebas.  Karya kita bisa menyesuatukan nama kita.  Tapi, berkaryalah dengan jujur dan nikmat tanpa dibebani dan membebani keinginan harus menjadi sesuatu.

*

APAKAH karya yang termuat di buku ini adalah sajak? Ya. Semuanya. Sajak, kata Sutardji Calzoum Bachri, adalah apa yang diniatkan oleh penulisnya sebagai sajak.  Maka, semua karya di buku ini   adalah sajak, karena saya yakin setiap akun yang menulisnya, kemudian mengirimkannya ke akun @sajak_cinta, dengar sadar meniatkan karyanya sebagai sajak.

Apakah 140 karakter yang dipersyaratkan Twitter hanya menjadi pengerdil ide-ide besar? Ataukah bisa  menjadi jalan untuk dengan bernas menyarikan gagasan besar ke dalam satu bait yang padat berisi?  Kedua hal itu bisa terjadi. Dalam semangkok kecil, bisa tertuang murni air sake atau masam air tapai gagal fermentasi.
 
Keterbatasan wadah, sebagaimana batasan karakter teks, seharusnya tidak menjadi kendala untuk melahirkan karya besar. Aforisme-aforisme pendek sudah lama digarap oleh banyak penyair besar. Kebernasan karya-karya pendek bahkan bisa menjadi tanda kebesaran seorang penyair. Rabindarath Tagore yang karyanya saya kutip di awal pengantar ini, adalah salah satu yang membuktikan hal itu.  Saya mengutip sajak pendek di atas dari Burung-Burung Liar, kumpulan 326 aforisma Tagore. Aforisme-aforisme tersebut dalam terjemahan Bahasa Indonesianya sebagian besar tak lebih dari 140 karakter.

Apakah karya yang dimuat di buku ini adalah sajak yang disukai? Tidak semua orang suka sajak. Tidak semua penyuka sajak menyukai semua sajak. Tapi pasti ada karya di buku ini yang menjadi sajak yang sangat disukai oleh seorang dua orang. Mungkin juga ribuan orang.

Apakah karya di buku ini adalah sajak yang baik? Sajak ketika dia sudah hadir di depan sidang pembaca, terbuka untuk diuji oleh siapa saja. Juga oleh waktu, inilah penguji yang paling teguh, bukan hanya terhadap sajak, tapi juga atas apa saja, bukan?

Cinta adalah satu dari tema besar dan abadi dalam persajakan di dunia ini. Saya kira cinta bukan lagi sekadar godaan untuk disajakkan, tapi sebuah kelaziman, atau sesuatu yang terberi seperti udara, dan menulis sajak adalah seperti bernapas. Yang terhirup dalam napas sajak kita, mau tak mau adalah udara cinta itu. 

Karena itu, menulis sajak cinta yang tidak mengulangi cara ucap sajak terdahulu sesungguhnya bukan perkara mudah, sebab sudah sedemikian banyak jenis sajak ini dituliskan.  Tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin. Ada banyak sajak dalam buku ini menemukan kemungkinan itu, ia tampil sebagai bait yang cemerlang, dan berhasil mengelak dari pengulangan.  Yang mana? Tidak, saya tak akan tunjukkan. Menikmati sajak, kadang harus kita biarkan sebagai pengalaman personal, mari kita biarkan ia menjadi rahasia jejak estetika di hati kita.

Membaca sebuah antologi sajak itu seperti kita berdiri di seruas jalan kota, dan di situ kemudian lewat peserta karnaval, yang bergerak seperti gerak aktor berlari dalam sinema yang diperlahankan. Meriah, ramai, seru, tapi juga hikmat. Kita mungkin tak sempat meneliti rinci setiap hal yang lewat dalam karnaval itu, tapi pasti ada satu dua yang memikat kita.  Itu cukup.

Atau seperti berada di keteduhan sebatang pohon rindang-rimbun. Dengan angin yang lembut, tapi cukup untuk menggemerisikkan dedaunannya. Lalu kita menyimak gemerisik itu seperti bisikan, yang seperti kata Tagore, gembira di hati kita.

Maka, sambutlah karnaval ini. Terimalah kemeriahan ini. Simaklah bisikan ini. Gembirakanlah hati kita.  Dalam hidup yang serba rutin, bukankah jarang kita dapat kesempatan untuk merayakan hal-hal kecil seperti ini? Aduh, saya melihat ada banyak peserta karnaval yang lewat sambil membawa cermin kecil dan saya melihat  wajahku di situ. Ah, aku juga mendengar bisikan yang seperti pernah dibisikkan oleh seseorang untuk mengingatkan aku. Kau melihat dan mendengar apa, Kawan? []


Saturday, December 3, 2011

Analisa The Straits Times: Harapan dari Dahlan Iskan


Dahlan Iskan
KORAN terbesar dan berpengaruh di Singapura The Straits Times (TST), Jumat (2/12) kemarin memberitakan satu analisa menarik tentang Menteri BUMN Dahlan Iskan.

"Untuk kalangan yang mengharapkan Indonesia menjadi baik, sosok Menteri Dahlan (Iskan, red) menawarkan harapan, bahwa sesuatu yang lebih baik akan datang," tulis Bruce Gale, penulis senior TST dalam penutup analisa satu halamannya itu.

Bruce memulai tulisannya dengan situasi berlarut-larut menjelang perombakan kabinet akhir Oktober lalu.  Pengamat menilai perombakan itu lebih banyak memenuhi kepentingan koalisi partai pendukung Presiden Susilo Bambang Yudoyono, ketimbang perubahan nyata yang memperbaiki kinerja para menteri.


Di luar dugaan, tulis Bruce, perombakan itu membawa satu hal yang menarik, yaitu penggantian Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari Mustafa Abubakar kepada Dahlan Iskan. Menteri Mustafa menuai banyak kritik ketika tahun lalu mengeluarkan kebijaksaan yang tak mulus dalam penjualan saham Krakatau Steel, salah satu BUMN milik Indonesia.

Dahlan Iskan, kata Bruce, dikenal berhasil membawa reformasi besar-besaran di tubuh PT PLN, sejak dipercaya menjadi direktur utama-nya, tahun 2009. " Di situ Dahlan menunjukkan kemampuan manajerialnya," kata Bruce.  

Tapi, bukan hanya itu kelebihan Dahlan. Pria 60-tahun ini berani tegas karena sudah cukup kaya dan sama sekali tak menunjukkan ambisi politik apa-apa. Alhasil, selama memimpin PLN Dahlan sama sekali tak bisa dipengaruhi oleh pengusaha dan politisi korup.

"Dahlan juga nyaman bekerja karena didukung oleh kekuatan potensial yaitu jaringan surat-kabar terbesar di Indonesia, yang ternyata ampuh mengatasi kendala ketika upaya reformasinya menghadapi kendala," kata Bruce.

Pengetahuan dan pengalamannya dalam bisnis media membuat Dahlan sangat akrab dengan media. Media melaporkan Dahlan menangis ketika ia mengumumkan penunjukannya sebagai Menteri BUMN. Bruce mengutip kata-kata Dahlan saat itu: "Saya katakan kepada Presiden bahwa saya sedih meninggalkan PLN karena kawan-kawan di sana saya tahu sudah bekerja sangat keras."

Komentar Dahlan itu, kata Bruce, bukanlah pernyataan normal jika dibandingkan para Menteri baru lainnya yang diangkat Presiden saat itu. Dahlan usai pelantikan menyetir sendiri mobil pribadi bersama istrinya dan ditumpangi oleh wakil menteri dan istrinya.

Kebiasaan Dahlan berangkat ke kantor berjalan kaki saat menjadi Dirut PLN, kegemarannya memakai sepatu sneaker ketimbang pantopel kulit hitam (meskipun di perhelatan resmi), juga ditandai oleh Bruce. "Itu diluar kelaziman figur nasional di Indonesia lainnya," kata Bruce.

Dalam analisanya yang berjudul "Minister a Reformer Who Walk The Talk" mengutip analisa Agung Wicaksono, peneliti BUMN dari ITB. Agung mencatat keputusasaan orang melihat gaya hidup politisi di pusat kekuasaan Indonesia. "Dahlan orang yang mampu mendukung perkataannya dengan tindakan," katanya.

Bruce menilai langkah awal Menteri Dahlan tepat, yaitu memangkas birorasi, memangkas rapat hingga 50 persen hingga akhir tahun ini. "Apa yang ingin saya lakukan pertama-tama adalah mengurangi campur tangan pemerintah di BUMN untuk memberi kebebasan dan otoritas kepada para direktur utamanya melakukan aksi-aksi korporasi," kata Dahlan.

BUMN di Indonesia sudah lama dibenani oleh reputasi tak bagus: manajeman yang buruk dan kerap kali menjadi sapi perah politisi korup, dan selama bertahun-tahun sangat resisten terhadap perubahan ke arah yang lebih baik.

Bruce mencatat, ada sejumlah hal yang bisa menjadi kendala langkah Dahlan Iskan.  Pertama, tak seperti saat di PLN, dimana ia punya otoritas yang luas, saat menjadi Menteri ia harus berkoordinasi dengan menteri lain untuk mencapai tujuannya.  Penjualan aset, masuk ke bursa saham, misalnya, harus dengan persetujuan Menteri Keuangan. Mengutip sumber tertentu Bruce mengatakan selama di PLN Dahlan sering mengambil keputusan dengan sangat cepat, dan langkah tersebut kadang tak didukung oleh institusi negara lainnya.

Secara umum, Bruce mencatat, di bawah Presiden Yudoyono, Indonesia menjadi negara yang stabil kondisi makroekonominya, bisa menegakkan disiplin fiskal, dan pertumbuhan GDP yang kuat. Tetapi, untuk mencapai keberhasilan jangka panjang, Indonesia memerlukan menteri yang mampu mewujudkan janji-janji reformasi, meningkatkan efektivitas birokrasi dan melenyapkan korupsi. Harapan seperti itu, kata Bruce, bisa diharapkan dari sosok Menteri Dahlan Iskan.(hah)






 

Friday, December 2, 2011

Setarik Teh

YANG di cangkir ini, hari ini
adalah hari sehari. Datang 
merambang petang,  pergi
mengabut pagi. Kita terima,
hari yang tak akan sempurna.


Dari kuala cangkir, ke muara
bibir. Lidah kita memetik
buah buih. Aku reguk dengan
pejam, kau teguk dengan takzim.

Aku kenang engkau ganih
gading, lemak susu, lembut
dari ambing yang lunak, yang
melembut dan melembutkan 
lidahku: fasih menyebut namamu.

Wednesday, November 30, 2011

Tintin, Herge, Spielberg dan Ruang Antarpanel yang Hilang


MAAF Tuan Steven Spielberg dan Tuan Peter Jackson, saya tidak terlalu suka dengan film Tintin yang sudah dengan sedemikian canggih Anda jadikan, Anda persiapkan sejak 1983, pada tahun kematian Herge – sang kreator komik itu, dan menghabiskan anggaran raksasa itu.



Saya tidak akan kehabisan bahan untuk memuji kehebatan film Tuan itu – teknologi 3D yang nyaris sempurna, sangat canggih tapi tidak meninggalkan “rasa komiknya yang kuno” ,  kecermatan menyusun cerita dengan menggabungkan tiga judul buku komik asli, dan karakter yang hidup persis seperti ketika pembaca membayangkannya saat membuka lembar-demi lembar buku komiknya - tapi biarkan saya untuk tetap mencintai komiknya saja, dan saya harus bilang, film Tuan yang semula saya harap membuat saya lebih mencintai versi komiknya, ternyata mengganggu rasa cinta saya.

Sederhana saja, saya kehilangan ruang antarpanel yang menjadi rahasia sihir dan daya pikat komik Tintin dan komik apa saja. Ya, ruang antarpanel! Jika komik adalah rangkaian gambar yang terjukstaposisi, terdampingkan secara berurutan, maka kunci kehebatannya adalah ruang antarpanel itu.

Terima kasih pada Scott McCloud - eksponen komik yang dengan gigih mempertahankan, merumuskan kembali, menemukan lagi potensi komik, dan mengembalikan komik sebagai seni dengan segala kemungkinan yang bisa dikembangkan dari situ - yang dengan jenius sudah merumuskan hal itu.

Di ruang antarpanel itulah imajinasi saya sebagai pembaca bermain. Dan itulah kunci kenikmatannya. Dua gambar yang berdampingan, adalah tanda, untuk memulai dan mengakhiri imajinasi. Rangkaian gambar dalam komik adalah arus imajinasi yang mengalir dari dan di dalam ruang-ruang kosong antarpanel itu.  Sederhananya begini: misalnya, ada dua panel gambar, satu bergambar bayi, satu bergambar sosok jompo. Maka ruang kosong antar dua panel itu adalah bentangan waktu puluhan tahun, dari bayi hingga tua, imajinasi pembaca bisa mengisi cerita apa saja pada bentangan waktu itu. Itulah, secara sederhana bagaimana mekanisme sebuah cerita dalam komik bekerja., menurut Tuan McCloud.

Bertahun-tahun menikmati komik, dan sempat saya bermimpi kelak menjadi komikus (mungkin mimpi ini masih saya pelihara hingga saat ini),  saya tidak memahami itu. Tapi, untuk menikmati sesuatu kita toh tak harus paham lebih dahulu, seperti halnya puisi, hal lain yang juga memikat saya, dan sebagian waktu hidup saya curahkan untuknya.

Saya kenal Tintin ketika SD. Saya lupa judul apa yang saya baca waktu itu. Saya meminjam baca sebentar kepada anak guru saya yang kebetulan teman sekelas saya. Mereka tinggal di rumah dinas, di seberang sekolah. Dalam ingatan yang rambang, rasanya dari komik itu saya melihat adegan Tintin di padang pasir, naik onta, kejar-kejaran naik jip. Saya tidak puas membacanya, tapi tentu saya tahu diri, saya tidak akan meminjamnya untuk dibawa pulang. Komik itu saya pikir pasti mahal. Saya sangat kecewa, ketika kemudian menemukan robekan komik Tintin di halaman rumah kawan saya itu. Baginya, rupanya komik itu sama sekali tak ada harganya. Saya terpikir kenapa tidak saya minta saja komik itu.

Bertahun-tahun saya hanya memendam penasaran. Waktu itu saya tidak tahu sudah semendunia apakah Tintin. Saat itu, kira-kira tahun 1979, artinya komik Tintin yang mulai diterbitkan tahun 1929 sudah berusia 50 tahun. Satu karakter komik menembus waktu setengah abad, pasti ada yang luar biasa di komik itu.

Kelak ketika SMA di Balikpapan, saya bertemu lagi dengan Tintin. Kawan sekelas saya, anak seorang karyawan Pertamina punya koleksi lengkap. Kami hanya bisa membaca di rumahnya. Dia sangat cermat mengelola koleksi komiknya. Saat itu saya membaca sebagian dari serial Tintin, yang paling saya ingat Penerbangan 714. Ada adegan Tintin dan kawan-kawan mendarat di Bandara Kemayoran, bertemu bekantan, dan komodo.

Bekantan itu salah satu habitatnya ada di hutan Airhitam - National Geographic pernah meliput ini - di kecamatan yang sama dengan kampung kelahiran saya. Pikiran remaja saya yang penuh mimpi petualangan itu menyimpulkan satu hal: Hebat sekali Herge! Dia tidak pernah ke Indonesia. Imajinasi dan riset yang tekunlah yang membuat dia menyampaikan Tintin ke Indonesia.

Saya membaca semua koleksi Tintin saat menjadi mahasiswa. Pacar saya - yang kini jadi istri saya- punya koleksi lengkap. Sebenarnya bukan punya dia. Ada seorang sahabat kecilnya yang menitipkan padanya. Kawan itu tahu, pacar saya adalah penyimpan yang cermat. Tapi, sampai hari ini, koleksi itu tak pernah ia minta kembali.

Membaca komik Tintin saat mahasiswa memang sangat telat. Ketika itu tentu saja waktu sudah sebagian tersita oleh praktikum dan diktat. Tapi, Tintin, saya kira sampai kapanpun tak akan kehabisan daya pikat. Bukankah Tintin adalah komik yang oleh Herge (mungkin dengan selera seloroh yang luar biasa) disebutkan sebagai Jurnal untuk Anak Muda usia 7 hingga 77 tahun? Saya masih punya waktu 36 tahun untuk membacanya, dan pada saat itu saya akan tetap merasa sebagai Anak Muda.

Mudah sekali siapa saja merasukkan diri ke diri Tintin. Ia bukan superhero - saya tak suka, Spiderman, Batman dan Superman, yang semuanya sama-sama lahir dari komik. Lahir dari dunia imajinasi juga.  Maksud saya, kesukaan saya pada karakter-karakter hero itu tak akan pernah mengalahkan kegemaran saya pada Tintin. Tintin hanyalah seorang remaja, tidak jelas berapa persisnya usianya, mungkin di awal 20-an. Dia tidak harus menyamar menjadi sosok lain jika dia harus menyelesaikan sebuah perkara. Ia tampil sebagai dirinya sendiri. Tintin yang lurus, serius, sama sekali tidak jenaka. Tapi kisahnya bisa membuat pembaca terpingkal-pingkal.

Dan yang paling penting, Tintin adalah seorang wartawan. Dalam alam pikir kanak-kanak dan remaja saya - dirangsang oleh Tintin - saya bayangkan, ah, betapa sedapnya menjadi wartawan. Banyak hal yang bisa membawanya mengunjungi berbagai belahan dunia. Tintin juga mengajari pembacanya untuk berani, berpikir solutif, cermat menganalisa persoalan, lekas bertindak, dan tak pernah putus asa.

Bagaimana Herge menciptakan Tintin? Herge adalah lafal Prancis dari RG, kebalikan inisial George Prosper Remi, komikus Belgia kelahiran tahun 1907, dan diberkahi usia panjang. Herge meninggal pada usia 75 tahun, pada tahun 1983. Sepanjang hidupnya, dia menghasilkan 24 serial Petualangan Tintin, sejumlah komik dengan tokoh lain, dan satu konsep coret-coretan komik Tintin yang belum selesai, dan kini sudah diterbitkan juga. Konsep terakhir itu diterbitkan apa adanya, sebagai sebuah komik yang tak selesai. 

Herge bukanlah anak yang cemerlang di sekolah. Ia lebih suka main, dolanan dengan kawan-kawannya di jalanan. Tapi satu hal, dia suka ikut kegiatan kepramukaan, dan dia jago menggambar. Kelebihan yang terakhir itu lekas ditangkap oleh pembinanya, di mana kelak ia dipercaya menjadi illustrator di majalah kepanduan Belgia.

Herge pernah menjadi wartawan foto di suratkabar Le Vingtième Siècle, dengan hasil-hasil jepretan yang memuaskan redaksi. Ia kemudian dipercaya menangani lembaran anak-anak. Di situlah cikal-bakal Tintin lahir.  Seperti dirinya, Herge membuat karakter Tintin sebagai seorang wartawan, meskipun dalam cerita komiknya tidak pernah ada adegan Tintin menulis atau mengirim berita, dan tak jelas pada surat kabar apa dia bekerja.  Apapun, komik Tintin berhasil melejitkan oplah suratkabar Le Vingtième Siècle, hingga enam kali lipat.

Siapakah sebenarnya Tintin? Herge pernah mengakui sosok fisiknya ia ambil dari adiknya Paul Remi. Tapi karakter keseluruhannya adalah dia sendiri.  ”Tintin adalah diri saya sendiri. Dia mencerminkan hal terbaik dan cemerlang dari dalam diri saya; dia itu kesuksesan ganda saya; saya bukan seorang pahlawan. Tapi seperti semua bocah-usia-15-tahun, saya bermimpi menjadi seseorang.... dan saya tak pernah berhenti bermimpi. Tintin melengkapi banyak hal-hal yang ingin saya capai,” kata Herge dalam sebuah wawancara. []




Wednesday, November 23, 2011

[Kolom] Eh, Dia Malah Jadi Menteri!


 

SETIAP tiga bulan saya hadir dalam pertemuan besar para pemimpin redaksi surat kabar grup Jawa Pos sedunia. Karena grup Jawa Pos itu hanya se-Indonesia, maka sedunia itu artinya sama saja dengan se-Indonesia. Dalam pertemuan itu, Dahlan Iskan, selalu menyempatkan ikut hadir, berdiskusi, memberi wawasan tentang tren ekonomi, politik, dan tentu saja menularkan pengalaman dan etos kerja.

Tidak jelas juga, beliau hadir sebagai apa. Sebagi sejak beberapa tahun beliau tidak menjabat apa-apa lagi, dan kalau bisa namanay pun beliau tidak mau dicantumkan di kotak redaksi surat kabar. "Saya tidak usah diberi jabatan apa-apa. Yang penting saya minta satu hal saja, saya masih bisa memecat kalian," katanya, berseloroh, main-main, tapi ini jelas satu ancaman yang tidak main-main.



Dalam satu pertemuan tahun lalu, Pak Dahlan tiba-tiba tampil sangat serius. Ia memulai dengan prolog seakan-akan ingin meyakinkan bahwa beliau sudah sangat sehat. Ia menyebutkan parameter-parameter medical check-up dan angka-angka hasil tesnya. Ia menyimpulkan, "teman-teman, saya sekarang sangat sehat."

Kesehatan memang menjadi perhatian luar biasa penting baginya, sejak ia operasi ganti hati yang bekas operasinya membentang di tubuh bagian depannya seperti lambang Mercy, dan biaya operasinya pun seharga mobil mewah tersebut.

Kami heran dan bertanya-tanya, ada apa tiba-tiba beliau bicara seolah-olah meyakinkan kami bahwa dia sehat? Nah, inilah pembicaraan pokoknya. "Teman-teman, saya sudah dipanggil Pak Presiden SBY dan beliau meminta saya menjadi Dirut PLN," katanya.

Ini permintaan aneh, waktu itu kami anggap begitu. Pengalaman Pak Dahlan mengelola listrik belum banyak. Rasanya waktu itu beliau belum lama berlalu memulai bisnis pembangkit dan tanpa malu-malu beliau mengakui inilah bisnis yang membuat beliau menangis dan menyesali banyak keputusan yang salah. Pokoknya saat itu beliau sangat benci dengan institusi yang bernama PLN.

Apa jawaban Pak Dahlan kepada Pesiden SBY? "Pak Presiden, apa Anda tidak salah menawarkan jabatan ini kepada saya? Kalau salah bisa berbahaya lo, Pak," kata Pak Dahlan mengulang jawaban beliau kepada kami.

Ketika bertemu kami saat itu, Pak Dahlan belum memberi jawaban ke Presiden. "Jadi menurut teman-teman bagaimana? Apa saya terima saja? Kalau saya terima bagaimana sikap koran-koran kita? Saya tahu teman-teman di daerah sangat kritis kepada PLN."

Maka ramailah kami menanggapi, seperti biasa. Bersama beliau, tembok sungkan antara atasan dan bawahan tidak pernah ada. Beliau suka bila siapa saja bebas mengajukan pendapat. Ada yang bilang, Pak Dahlan itu harusnya jadi menteri, bukan kelasnya dirut BUMN. Ada yang bilang, kalau beliau gagal nanti secara grup kita akan menanggung beban, karena begitu parahnya kondisi kelistrikan di negeri ini.  Arus besarnya adalah: terima saja. Tak enak menolak tawaran presiden, karena tidak ada alasan yang masuk akal. "Tapi, saya ingin koran-koran kalian tetap mengkritisi PLN, dengan tingkat kekritisan yang jauh lebih tinggi."

Kepada beliau kami juga meminta satu hal: harus tetap menulis. Ini tadinya dilema bagi beliau. Kalau terus-menerus menulis nanti dikira tidak bekerja membereskan kelistrikan. Kalau tidak menulis, beliau membayangkan alangkah tersiksanya dirinya. "Saya ini tidak punya hobi apa-apa, kecuali menulis. Saya tidak main golf. Saya tak suka karaoke. Masak saya tidak boleh menulis, satu-satunya hobi saya," katanya.

Pembicaraan soal kepantasan beliau jadi menteri saat itu beliau jawab dengan satu penjelasan panjang lebar. "Jadi menteri itu tidak ada kerjanya. Semua sudah dikerjakan oleh Dirjen. Saya tidak mau kalau menjabat sesuatu yang tidak membuat saya bekerja. Saya harus banyak pekerjaan," katanya.

Maka, jadilah Pak Dahlan Dirut PLN. Untuk kalangan internal PLN beliau banyak menulis, disebarkan di milis karyawan dengan judul CEO Notes. Sesekali tulisan itu dibocorkan ke kami dan terbitlah di seluruh koran grup Jawa Pos. Sesekali, ketika berkunjung ke daerah beliau menulis persoalan dan solusi yang beliau ambil mengatasi masalah listrik lokal, dan meminta tulisan itu hanya terbit di koran setempat.

Selama menjadi Dirut PLN, Pak Dahlan tetap menyempatkan hadir di pertemuan besar tiga bulanan kami.  Beliau tampak semakin sehat. Sangat berbeda bila kami bandingkan dengan keadaan beliau saat pamit  berangkat operasi ganti hati di pertemuan di Graha Pena Surabaya.  Saya ingat kira-kira kata-kata beliau saat itu begini:  “Teman-teman saya ini sakit. Saya bisa mati dalam tiga hari. Atau tiga minggu lagi. Atau tiga bulan lagi,” beliau lalu jelaskan apa sakitnya. Lalu dengan risiko bisa mati kapan saja, beliau meyakinkan kami bahwa risiko gagal operasi ganti hati harus diambil, toh sama saja, tanpa operasi beliau juga menghadapi kemungkinan meninggal dalam waktu yang bisa saja hanya hitungan hari.

Tiga hari sebelum dipanggil ke istana negara untuk menerima tawaran menjadi Menteri Negara BUMN, Pak Dahlan hadir dalam rapat besar Jawa Pos grup di sebuah hotel di kawasan Ancol.  Tidak seperti ketika beliau ditawari jadi dirut PLN, kali ini sama sekali tak ada tanda-tanda beliau akan dapat tawaran jadi menteri.  Beliau kembali bicara soal surat kabar, dan kondisi bisnis tahun depan, berkaitan dengan proyeksi yang saat itu sedang kami susun.   

Tak ada yang dirahasiakan. Karena memang tak ada rahasia. Saat itu beliau memang tidak tahu akan ditawari jadi menteri.  Beliau bersama beberapa petinggi grup kami, sedang merancang kunjungan ke beberapa negara Eropa  dan puncaknya menghadiri peristiwa penting yaitu melihat Jawa Pos menerima penghargaan sebagai koran terbaik di dunia dari organisasi surat kabar dunia WAN IFRA.
Saya dapat cerita penegas dari Goenawan Mohamad.  Saya berbicara dengannya suatu malam di kedai Salihara, setelah Pak Dahlan sudah dilantik jadi menteri. Saya singgah di sana mengira malam itu ada acara dalam rangkaian Utan Kayu Literary Bienale, hajatan dua tahunan yang pada tahun 2009 saya ikuti bersama para penyair dari berbagai negara. Rupanya, malam itu agenda bienale sedang kosong, jadilah kami hanya menggelar obrolan hingga lewat tengah malam. Kami bicara macam-macam, dari soal puisi, Chairil Anwar, penyair yang ia kagumi,  hingga Allen Ginsberg, penyair Amerika yang pernah ia temui.  Juga soal Dahlan Iskan.

 “Dua hari sebelum dipanggil ke istana, dia ketemu saya di sini. Saya sibuk menyiapkan pementasan, jadi saya biarkan saja dia lihat-lihat sendiri. Tapi, lama-lama saya tak enak juga, saya temui dia,” kata Goenawan.   Tempo saat itu sedang berduka karena kematian Direktut Keuangan yang handal.  Kepada Goenawan, Dahlan Iskan mengajukan diri untuk menggantikan sang direktur. “Wah, saya senang banget, kalau dia yang jadi direktur beres , eh, dia malah jadi menteri,” kata Goenawan dengan nada bicara bangga, seperti kebanggan seorang kawan, atau abang,  atau bahkan seperti orang tua yang melihat anaknya berhasil.  Saya tentu saja juga ikut bangga.[]





  




Saturday, November 19, 2011

Ulat yang Rakus dan Embun yang Santun

AKU daun dan kau ulat yang rakus. Aku sudah tak ada,ketika kau menjelma menjadi kupu-kupu, mengembangkan warna sayapmu.

Aku malam dan kau embun yang santun. Aku sudah tak ada ketika di ujung daun, pagi dan matahari mencemerlangkanmu 



Ingatan

INGATAN atasmu adalah gulma, kucabuti sesempatnya, lalu kau tumbuh lagi setabah waktu. Setahan itu kau bertahan, padaku yang tak bisa tahan.

Ingatan atasmu adalah benang laba-laba, sarang yang tak pernah selesai, merajut diri sendiri, tapi juga tak pernah bisa habis kubersihkan.

Dijepret Pak Ed

Foto oleh Ed Zoelverdi

DARI milis Jurnalisme saya mendengar kabar Ed Zoelverdi sakit. Beliau dikabarkan terbaring di rumahnya, tak mau makan dan mengigau. Saya teringat kenangan kecil bersama jurnalis foto handal yang pernah dihasilkan oleh Majalah Tempo itu.

Saya bertemu dengan sosok berjulukan akrab Mat Kodak itu di Batam, seingat saya itu tahun 2007 atau 2008. Beliau ikut acara PWI pusat yg lagi punya hajatan nasional di Batam. Rombongan singgah di kantor Batam Pos.

Dari banyak tokoh saya paling 'naksir' mengobrol dengan Pak Ed. Beliau menggenggam satu kamera, dan menenteng kaleng Coca-Cola, yang ternyata kamera juga. Ini kamera rahasia yang katanya bisa berhasil diseludupkan jika masuk ke kawasan yang dilarang memotret. Ah, dasar fotografer lihai.

"Kapan buku Mat Kodak dicetak ulang, Pak? Saya kehilangan buku itu..." Kata saya membuka percakapan. Saya lihat wajah beliau berbinar.

"Kapan kamu baca buku itu?"

Saya bercerita ringkas. Saya kenal buku itu saat SMA, ketika saya mulai jadi reporter anak bawang di Manuntung (sekarang Kaltim Post). Redpel saya saat itu Rizal Effendi (sekarang walikota Balaikpapan) adalah juga koreponden Tempo di Kaltim, yg menyuruh saya membaca buku bersubjudul "Melihat untuk Sejuta Mata" itu. Saya diam-diam memfotokopi buku itu, mau beli susah sekali,  dan buku itu tak ada di toko-toko buku di Balikpapan. Kalau pun ada kala itu saya belum cukup uang.

Saya suka dengan satu cerita di buku itu tentangg fotografer (saya lupa namanya) yg mencopot cerutu dari mulut Churchil, sebelum dijepret. Jadilah potret Churchil yang memble, geram, seperti kalah perang, yang amat terkenal itu.

Pak Ed, lalu bercerita rencana menerbitkan ulang buku itu dan beberapa buku lain. Saya janji akan beli bukunya, jika kelak terbit.

Pak Ed lalu memotret saya. Ia suruh saya duduk di meja kerja saya. Ia juga meminta orang lain memotret kami berdua. Ia sedikit mengoreksi cara saya memegang kamera.  Ia minta e-mail. Beberapa waktu kemudian saya terima foto yang amat saya suka. Di foto itu, saya duduk di meja kerja, dan foto yg sama muncul di layar PC di depan saya. Di monitor laptop saya muncul foto kami berdua. Satu bingkai besar di dinding kantor yg sebenarnya adlah poster basket berubah pula jadi gambar Graha Pena, kantor kami. Inilah hasil jepretan Pak Ed dan utak-atik digital dia.



Terima kasih, Pak Ed, semoga lekas kembali sehat, dan yang terbaiklah yang menghampiri Anda.[]