Friday, June 30, 2006

Tulus Widjanarko
Sajak Barangkali

: untuk hasan dan pinang

barangkali aku petani itu, dengan
sawah kerontang dijeram jaman, lalu
ia begitu saja datang, menggeremangkan
rapal doa panjang, meminta
hujan sejenak singgah.

dan engkaukah layang-layang putus benang
tanak perantauan panjang selasar benua
tersangkut batang spurce, dihela sang alkemis
sedang ibu adalah pemilik panggilan
seperti lintang kemukus gandrung fajar.

[Kutipan] Awas, Tergelincir!

DI sekeliling kita bertebaran kata-kata, frase-frase, idiom-idiom yang klise; dan dengan sekadar keterampilan saja seorang penyair bisa menyulapnya menjadi sajak sosial. Ia komunikatif sekali sebab masalah yang ada dalam sajak-sajak semacam itu adalah milik kita bersama. Masalah yang siap pakai semacam itu dengan mudah menjelma menjadi dalam puisi demonstrasi, puisi penyerahdirian kepada Tuhan, puisi protes sosial, dan sebangsanya. Puisi yang sekali baca habis, malah tidak jarang sudah habis sebelum kita membacanya sampai kata akhir.

TETAPI puisi Abdul Hadi bukanlah semacam itu. Ia tidak mencoba untuk mengekspresikan social mind, tetapi personal mind, dan yang saya sebut terakhir it pada hakikatnya tidaklah komunikatif. Di sini kesulitan itu timbul: hal yang pada hakikatnya tidak komunikatif itu harus dinyatakan dengan alat komunikasi, bahasa. Dan di sini pula seorang penyair lirik diuji. Ia mungkin tergelincir ke dalam sajak-sajak gelap, sajak-sajak yang sama sekali kehilangan kontak dengan pembacanya. Dan saya rasa beberapa sajak Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad, serta beberapa stanza Rendra tepat pada garis yang memisahkan kedua kemungkinan tersebut, garis yang harus dicapai oleh penyair lirik yang baik.

[Sapardi Djoko Damono dalam "Keremang-remangan Suatu Gaya", pada buku "Sihir Rendra: Permainan Makna", Pustaka Firdaus, Jakarta, Cetakan Pertama, Mei 1999]

Secara Terset, Stanza Sebuklet

KUTIRU saja, secara matahari memagikan malammu,
Kutunggu saja kau meningkap cahayamu di taman itu,
"Duh, betapa kejam kelam menyembunyikan matamu."

SECARA bunga-bunga, semalaman menata kata mahkota,
kutiru saja. "Adakah cara yang lebih baik daripada ini:
setakzimku menabikmu dengan wangi dan warna?"

Thursday, June 29, 2006

Pelangi Putih

GERIMIS cahaya
matahari memercik-mercikkan tangishari
lalu langit pecah: tujuh warna.

PELANGI putih.

AKU terbang di atas payung.

Anakmu Harimaumu

IBU menyimpan kesetiaan di semua sudut rumah
Bapak menghambur ingkar sampai ke dalam lemari.

Aku selalu sembunyi di bawah meja telepon, bersiasat
menyergap ceceran dusta dari interlokal bapak, tapi
selalu hanya gerimis tangis ibu yang makin kukenali.

AKU ingin mencatat kode wilayah nomor telepon Bapak
tapi ibu selalu merahasiakannya dalam senyuman,
"Bapakmu tahu, kamu selalu rindu padanya, Sayang."
Aku benci pada ketabahan ibu. Pelan-pelan aku jadi
Bapak di rumah. Aku merasa makin pandai berdusta.

MALAM tadi, Bapak menelepon lagi. Dia tanya pada
Ibu, aku minta oleh-oleh apa? "Minggu depan Bapak
mau singgah sebentar di rumah," kata Ibu tabah.

"Bawakan pisau dan perangkap tikus saja," kataku.
"Anakmu minta boneka Superman dan bola," kata Ibu.

Wednesday, June 28, 2006

Young Virgin Auto-Sodomized by Her Own Chastity, Salvador Dali, 1954

Tuesday, June 27, 2006

Secara Puisi, Secara Begini

AKU tak ingin tahu, sebenarnya, kau tak tahu,
wangi tubuh perempuanmu ada pada angin itu.

DI jauh bilik berjendela seribu, kutebak, mana
lampu yang menyala dari pendar air matamu?

KUKIRA dulu, dari situ bisa menjelma hantu,
yang memandu langkahku ke pintu pagarmu.

SEGALA memang telah lama tertunda-tunda,
musim-musim kita tak lagi menyiklus sempurna.

AKU selalu bergetar menatap senja. Mata senja.
"Hangat secangkir kopi, kepada siapa kuminta?"

RINDU, bagaimana dulu sebenarnya kita bisa
menanamnya di tamanmu - meliarkannya di hutanku?

Chaterine: Bukan Kwatrin

ADA yang meragukan gubahan lagu dadamu, Chaterine.

Aku hanya ingin bersunyian di gunung salju kalbuku
Karena kerisauan tak ingin kuperagakan untuk sebuah
sesi pertunjukan. Ini kehidupan siapa punya rancangan?

Ada yang meragukan gubahan lagu dadamu, Chaterine.

Duka Kupeluk sebagai Tembuni

BAPAKKU membuahi ibu di lantai kamar. Tanpa tikar.

"Kelaminmu hambar," kata bapak. Ibu mengidam masam,
hamil di semua trotoar. Ayah nyeleweng dengan malam.

Ketika lahir, tak lagi aku menangis. Duka kepeluk sebagai
tembuni. Aku janin tumbuh dari menghirup ketuban air mata.

Ibuku ingin aku lekas meninggalkannya, sebelum Bapakku
tiba, menggenggam leherku tanpa bertanya, "Ini anak siapa?

Pada ibu aku rindu, pada bapak aku dendam jadi lelaki kasar.

Alangkah Letih Kami Berdekapan

AKU akan lama terperangkap di sini.
Musim yang tak pernah dimengerti
oleh laporan resmi
Badan Geometeorologi.

Ada sisa subuhmu di cangkir kopiku
Aku cicipi juga air matamu. Asin tangismu,
di lidahku mengering juga garam itu.

Aku tak pernah menambahkan susu.

"Aku bukan sapi perahmu," katamu dulu,
sejak itu aku hanya meninggalkan pekat petang untukmu.

(Bagaimana bisa kulupa pertengkaran itu?)

Ada jendela di ujung ranjangku. Terbuka sejak
mulai kuterbaring di situ.

"Kau tidak tahu,
alangkah letih kami berdekapan
: aku dan kesepian."

Bidadari Bersayap Kebaya

/1/
SEJAK itu aku percaya

Bidadari adalah perempuan
dengan sayap kebaya

Aku melihatnya dengan lampu minyak
menciptakan bayang di tirai kelambu.

"Ibu, engkaukah itu?"

"Tidurlah.." dan
senyum itu menembus gelap tidurku.

Terang. Matanya benderang
justru ketika aku memejam.


/2/
SEJAK itu aku pun percaya

Di tungku itu ia menungguku.

Mengapikan kayu.

Ia menyiapkan hidangan surga.
: ketan tape, hingga nagasari.

"Di sana, Ibu,
di surga kita itu,
Aku tak perlu
takut lindu 'kan, Bu?

Monolog Masa Kecil Kurang Berbahagia

AKU mainkan drama di antara kulkas dan kolong ranjang.

"Ambil mistar!" kataku, yang sedang berlagak jadi bapakku.

Lalu kuambil ikat pinggang, "Silakan diukur, Tuan Galak!"
kataku menirukan sepersis-persisnya cara berbicara ibuku,
"Sudah berapa tebal lemak menggelayut di pinggangmu."

Lalu aku berdiri di samping kulkas? "Huh, siapa yang menyeduh
teh hijau kadaluarsa ini lagi?" kataku seperti teriak bapakku.

"Memangnya orang yang sudah mati masih bisa keracunan?"
kataku melakonkan bawelnya suara dan mimik ibuku.

Bapakku dan ibuku bertepuk tangan. Mereka lalu berpelukan.

Layar dan Bikini

GUNUNG dan palung mematangkan magma
Hiu dan gurita menggerakkan diam gelombang

Ada kapal hilang. Berkelok ke teluk jauh.

O laut telanjang, O perempuan telanjang

Apa itu yang berkibar: bikini atau layar?

Pemerah Anggur dan Pembuat Tong

MEREKA jarang bercakap, pada usia yang nyaris lengkap.

Pemerah Anggur: Kau pasti bisa membuat peti kayu
terbaik, kelak untuk kau pakai sendiri ke liang mati.

Pembuat Tong: Dan kau sudah memesan botol, kan?
Tak akan ada yang bisa membedakan bening saritubuhmu
dengan red wine terbaik yang dihasilkan kebun anggur ini.....

Mereka jangan bercanda, senja itu mereka puas tertawa.

Tukang Pos dan Surat Rindu

BEGITU banyak surat, begini banyak alamat,
bagaimana sejauh ini aku bisa tidak tersesat?

Hingga tinggal sesurat rinduku, tanpa alamat,
: sampaikah padamu dengan pos taktercatat?

Monday, June 26, 2006

Melalui puisi kita bisa mengeksplorasi sebuah obyek menjadi banyak kemungkinan ungkapan. "Kata ranjang bisa saya eksplor sebagai suatu imaji yang sangat berwatak perempuan. Seperti ibu misalnya. Ranjang itulah yang menampung kita, sangat keibuan. Ada sekitar 20 puisi ranjang yang saya ciptakan," kata Joko.

Puisi untuk Pembebasan, Kompas, Senin 26 Juni 2006.

Sunday, June 25, 2006

[Ruang Renung # 152] Sejumlah Pertukaran Pikiran

Rose, di 711 West Beaver Avenue Univesity Park, PA 16802, menanggapi Ruang Renung # 150. Berikut petikan tanggapannya (dengan huruf italic) dan tanggapan saya sebagai sebuah pertukaran pikiran.

[....kalau dengan yang diri kita dengan yang transenden itu dibahas diumum maka akan mengarah kepada pembenaran secara pribadi, padahal tiap individual punya pengalaman, struggle sendiri dengan the transcendent.]

INI yang saya jaga dengan pagar peringatan: puisi masturbasi. Pembenaran sepihak atas pendapat pribadi atau diri sendiri. Menolak cahaya dari luar, maka yang dihasilkan adalah sebuah cermin yang buram. Atau mungkin gelap....

[Saya pikir puisi tidak harus merupakan penelanjangan pada diri sendiri dengan ibarat menelanjangi diri sendiri dikamar mandi, mensucikan diri sendiri dan kemudian menjadi cermin pula buat orang lain.]

Ya memang tidak harus. Saya juga tidak menawarkan sebuah laku penyucian. Hanya pada puisi dan saat di kamar mandi, ada kesempatan kita untuk menyadari bahwa kita tidak pernah bisa sempurna, jiwa dan raga. Kamar mandi dan puisi bukan satu-satunya tempat untuk melakukan hal itu. Soal cermin itu pun tidak harus. Itu terserah pembaca nanti. Ibarat sebuah cermin di toilet umum. Tidak ada keharusan siapa pun untuk bercermin di situ.

Cermin seperti apa yang ditawarkan oleh Sapardi Djoko Damono di sajak populernya "Aku Ingin"? Saya bilang, kecintaan yang tulus, tanpa keinginan untuk memiliki. Bercermin pada sajak itu saya jadi boleh bertanya pada diri saya sendiri, "setulus apa saya mencintai istri, anak, atau puisi atau cinta pada apa saja?"

[Apakah kita telah kehilangan hubungan dengan manusia dan alam lagi? Apakah kita tak bisa melihat keindahan di luar diri lagi? Apakah kita tidak bisa menggambarkan bahasa keindahan tanpa mereferensikanya ke pengalaman seksual]

Idiom-idiom seksual hanya salah satu pilihan. Silakan pakai itu atau gali dan kembangkan peristilahan lain untuk puisi-puisi kita. Ini tantangan pengucapan yang selalu terbuka kan?. Idiom sepakbola, kamar mandi, celana, boneka, atau idiom-idiom keruhanian. Dan pada saat menilik diri sendiri jangan hanya terpaku dan terpukau pada organ-organ seksual kita. Saya takut kalau perhatian kita hanya pada wilayah itu maka hasilnya benar-benar cuma sebuah masturbasi dan puisi masturbasi. Pada saat menilik tubuh kita seharusnya bebas dibawa terbang, juga pada alam. Tubuh juga bagian dari alam semesta ini kan? Jangan terlalu diasingkan. []

[Ruang Renung # 151] Meditasi di Kamar Mandi

MENULIS puisi kali ini ingin kita ibaratkan saja seperti meditasi di kamar mandi. Meditasi, bukan sekedar masuk bawa handuk, copot celana dan baju lalu mengguyur, menyabuni dan membilas badan. Di kamar mandi, kita tidak dianggap cabul kalau kita bugil. Kamar mandi adalah teritori pribadi. Mandi di kamar mandi, adalah laku pembersihan badan. Sehabis mandi, kita segar. Orang lain bisa membedakan kita sudah atau belum mandi tanpa harus melihat atau mengintip kita telanjang di kamar mandi.

KETIKA kita menulis puisi, mestinya kita menelanjangi, lalu memandikan ruh. Orang yang berani telanjang hanya orang yang jujur, melihat tubuh dan ruh yang pasti tidak akan pernah sempurna. Di kamar mandi dan di dalam puisilah ketelanjangan itu diberi tempat. Kita tak boleh malas mandi, karena kita harus selalu ingin menjadi lebih bersih. Mandi ruhani dan mandi jasmani.

DAN pembaca puisi bukanlah orang yang mengintip saat kita menelanjangi jiwa kita. Lewat puisi yang dihasilkan dengan mandi ruhani yang tuntas, pembaca mestinya tahu kita telanjang karena ingin jujur melihat dan meninjau diri sendiri. Kejujuran itu semoga bisa dijadikan cermin bagi pembaca, atau setidaknya pembaca puisi kita jadi terdorong untuk meninjau dirinya sendiri dengan cerminnya sendiri.

BANYAK penulis puisi yang keasyikan telanjang di kamar mandi puisi dan tidak sempat jujur meninjau dirinya sendiri. Eh, dia malah tergoda untuk sebuah masturbasi - mengumbar asyik untuk diri sendiri. Puisi masturbasi? Siapakah kira-kira yang sudi bercermin di situ? []

Friday, June 23, 2006

Ikra, Ayo Kita Main Bola!

TANPA liar bola, bisakah kita yakin
sehebat apa mata membidik gawang?

Tanpa laju bola, bisakah kita tahu
secepat apa kaki berlari di lapangan?

Tanpa lapar bola, bisakah kita percaya
ada permainan yang harus kita menangkan?

Kita adalah para penyerang adalah
penjaga gawang adalah penonton adalah
petaruh di luar lapangan. Semua boleh
ikut permainan, bukan? Nah, tendanglah!

Stasiun Idaman Sudah Kelewatan?

TANPA karcis, ia numpang kereta api. Ini gerbong panjang sekali.
"Cuma nekad modal kami!" Masinis pergi. Kereta kencang berlari.

Perjalanan seakan abadi. Menghindari stasiun dan persinggahan.
Mencari lapangan bola. "Ayo gelar pertandingan di dalam kereta!

Kereta tak mau berhenti walau sebentar saja. Ada yang mau dikejar.
Ada yang mutlak tak bisa ditinggalkan. "Jangan lupa kaki dan tangan."

"Tunggu, ada yang mati tertelan bola!" - Lempar saja ke jendela!
"Bolanya?" Tinggalkan kepalanya, kan sama bulat dan bundarnya....

Tapi stasiun tak bisa dielakkan. Lapangan bola tak bisa ditemukan.


SATU per satu gerbong kosong, ditinggalkan penumpang. Ada yang
tiba-tiba ingin segera pulang jauh ke ladang. Ada juga yang bertemu
pasangan sejati. Dan berteriak, "Gol!" Lalu bergandengan pergi.

Dia tinggal sendirian. Kereta mulai tersengal. Menyaingi bengeknya.
Di lokomotif ia menemukan karcis perjalanannya. Dengan harga pas
dan kota tujuan di mana dia harus mengakhiri segala jenis permainan.

"Stasiun idaman, masih jauhkah? Atau sudah lama aku kelewatan?"

Thursday, June 22, 2006

Madrigal

KUKIRA ada tanganmu di sepi itu
yang mengulur ke dadaku, meraba
berapa tebal waktu beku di situ.

AKU membiarkan, agar kau bisa tahu
masih ada debar yang kian tak sabar.

LEKAS kirimkan kabar. Kirimkan kabar.

TELAH kupersiapkan dua kamar. Keranda
atau untuk kita: sebuah ranjang besar.

[Ruang Renung # 150] Puasa Jarak, Puasa Ingat

JANGAN disalahkan, atau jangan merasa bersalah dengan puisi. Menyadari bahwa penyair dan puisinya kadang terasing dengan kenyataan itu perlu. Tapi puisi dan penyair tidak selalu harus terasing dari kehidupan. Puisi itu seharusnya ada di dalam kehidupan. Ia mengambil peran dalam kehidupan. Apa pun yang tengah terjadi dalam kehidupan itu. Termasuk bencana.

Selain harus menghayati - antara lain dengan jalan mengalami - peristiwa sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya, penyair harus sesekali mengambil "jarak aman" dari peristiwa. Pada saat itulah ia bisa melihat dengan cakrawala yang lebih luas. Ada hal yang tidak akan pernah sempurna kita hayati apabila kita terlalu dekat dengan hal itu. Bahkan kita harus meninggalkan kekasih untuk menciptakan rindu yang hebat, bukan? Dengan rindu, kita akan melihat kekasih kita dengan warna, rupa, dan aroma yang berbeda.

Kita harus puasa. Puasa jarak. Puasa ingat. Kita harus menjauh karena kita yakin bahwa kita tak akan pernah sepenuhnya meninggalkan. Kita harus melupakan karena kita tahu pasti bahwa kita tak akan pernah bisa seluruhnya menghapuskan. Apa yang masih kuat menarik dalam jarak yang kita bentang, apa yang masih tertinggal sebagai ingatan setelah kita mencuci otak dengan lupa adalah sesatu atau sedua atau setiga yang boleh kita hadirkan dalam puisi. Kita jadikan alasan untuk melahirkan puisi. []

Wednesday, June 21, 2006

[Kamus Puisi # 012] Madrigal

Madrigal: Sajak cinta liris yang pendek berisi buah fikiran yang sederhana, bernas dan padat.

[Kamus Puisi # 011] Ode

ODE: Sejenis puisi yang dipersembahkan untuk menyanjung seseorang, atau hewan, atau benda. Pada sebuah ode emosi sajak ditata sedemikian hingga terasa meningkat dari bait ke bait, dan dengan demikian terasakan kedalaman perasaan yang mewakili ekspresi dan curahan pemikiran atau perenungan.

Kwatrin Gawang Sebenarnya

DIA pun terbaring sendiri di titik tengah lapangan,
Sebuah bola bulat telanjang tergolek di sampingnya.
Tak ada lagi gawang sendiri, tak ada gawang lawan,
Hanya dengus nafasnya dan detak jantung bola.

"INILAH saatnya menyatukan cinta, sebulat-bulatnya,"
katanya kepada bola. Dibukanya sepatu dan kaus kaki.
"Inilah saatnya kita memahami vonis hati: adu penalti,"
katanya pada diri sendiri. Lalu erat didekapnya tubuh bola.

TELAH dilepaskannya nama dan nomor di punggungnya.
Baru ia sadari, "O, betapa lembut rambut rumput lapangan."
Dan ketika ia telah meringkuk di rahim bola, maka tahulah ia
: kenapa bapak dulu mengajarinya hakikat sebuah tendangan.

BERAPA pertandingan hati ke kaki sudah dikejarnya?
Berapa kartu merah mengusirnya dari lapangan tanya?
Di dalam sunyi bola, rahasia kehidupan membuka terbaca,
Membawanya ke gawang sebenarnya, gol sesungguhnya.

Telah Ia Jinakkan Liar Bola

TELAH ia jinakkan liar bola.

Telah ia taklukkan lapar bola,
Dari tengah lapangan ia tendang
keduanya jauh ke arah hutan.

"Selamat tinggal permainan,"
katanya dengan seringai kemenangan.

TELAH ia tanggalkan belenggu sepatu.

Telah ia lucuti chaos kaus,
Sekarang saatnya mengusut, mengurai
kusut lutut, kembali belajar merangkak.

"Saatnya menggelar lapang hati sendiri,
mengejar tanya bola sendiri."

Gawang Masih Terbuka

DIA telah giring doa bola dari lapangan ke lapangan
Gawang itu terbuka belaka. "Diakah yang berjaga?"

"YA, Akulah." Di hati tinggal satu-satunya tendangan.
Satu-satunya penalti. Dia memohon skor dikosongkan.

"TAPI ini pun cuma satu-satunya doa, satu-satunya bola."
Dia ragukan mata dan kaki yang lama sudah dilatihnya.

DIA pun ingin meyakinkan arah, meletakkan peta Ka'bah.

DIA mengingat kapankah terakhir kali dia berwudhu?
"Ataukah aku sudah tak perlu dipisah lagi dari ibu debu?"

Gawang masih terbuka. Dia ingin masuk bersama doa bola.

Tuesday, June 20, 2006

Kau Tiup Saja Peluit Panjang

KALAU hari sudah siang, rumah itu jadi kosong,
semua penghuni pergi mengejar bola masing-masing.

SI Sulung menggiring bola jauh ke sekolah, melatih
kaki, bagaimana trik menjebol gawang orang lain yang
makin sempit saja. Gawang sendiri? Ah, mana ia punya.

SI Ibu pergi ke pabrik, lalu seharian menimang bola,
meskipun di akhir bulan tidak ada satu pun bola
yang bisa ia bawa pulang. Kadang-kadang kulit tubuhnya
pun harus dikoyak, jadi tambal, agar sempurna tubuh bola.

SI Ayah pergi ke pangkalan kehidupan. Bersiaga sepenuhnya.
Menunggu siapa tahu ada umpan jitu. Tapi tak pernah
ada kesempatan datang. Kalau ada bola, gawangnya hilang,
kalau gawang datang, maka bolanya yang jauh melayang.

SI bungsu, gadis yang masih lugu, tapi sudah lama terpaksa
menjadi penjaja gawang, dijebol lelaki yang suka bikin
gol sembarang tendang. "Ada uang, Tuan bebas menyerang.."

KALAU hari sudah petang, ketika rumah itu lengang,
seperti terdengar remang tembang, "Duh, Yang Mahawasit,
bisakah permainan nasib ini Engkau ulang saja? Kau
tendang lagi bola pertama, dengan skor kosong-kosong,
atau sebaiknya kau tiup saja peluit panjang, saat
pemain kehidupan di rumah ini, satu per satu pulang."

Wednesday, June 14, 2006

Sebuah Karya Biasa dan Sejumlah Apresiasi yang Luar Biasa

Ini komentar-komentarnya:


Temanya menarik dan unik, tapi kesedihan Absurd kurang tergali. Saya tidak begitu paham kenapa tokoh Idrus jadi menangis di akhir cerita. Nilai : 6,9 .[Rini Nurul Badariah]

Cerita si Drusba yang ternyata si Absurd yang absurd. Terus terang saya pingin sekali bikin cerita yang model begini, yang tokohnya tiba-tiba muncul di alam nyata si tokoh. Kelebihan cerita ini adalah cerita yang berada dibalik cerita lengkap dengan carut marut kehidupan sosial yang ada disekitar kita dan mungkin belum banyak yang nggarap. Sayangnya juga saya tak bisa menangkap perbedaan antara Drusba dan Idrus di kalimat berikut.

"Saya memesan kopi susu. Drusba menolak tawaran sepiring lontong sayur atau nasi lemak." Drusbanya kok jadi ikutan ke kafe? Apa yang dimaksud si Idrus disitu?
Juga proses perubahan emosi para lelaki untuk menangis terlalu cepat dan belum mengaduk-aduk emosi saya sebagai pembaca. Nilai : 7.5. [Labibah Zein]


Idenya boleh juga, kreatif dengan memasukkan ide cerita bahwa ada lomba apresiasi prosa di milis apsas. Bang Hasan, cerita ini lebih renyah dari cerita sebelumnya. Kenapa? Karena lebih relax meski masih disisipi bahasa dan aksen melayu kental tapi tak tampak kekakuannya. Hanya pada endingnya tak terlalu menarik pembaca ikut larut dalam kesedihan. Nilai : 6.5. [Mila Duchlun]


Pada alinea pertama tersebutlah tokoh pembuka dan utama, Idrus, sang penulis cerita. Masih dalam alinea pertama, tiba-tiba masuk nama Drusba ( awalnya saya kira ini tokoh yang sangat dekat dengan Idrus dalam kehidupan nyata ) yang ternyata adalah nama tokoh dalam cerita yang ditulis Idrus; alinea pertama sementara agak membingungkan saya. Namun setelah tuntas, saya tak bingung lagi dan bisa mengikuti alur cerita yang ternyata ‘sangat’ menarik ini. ( Dan saya ikut meringis juga tertawa saat membaca bagian paragraf kenapa cerpen Idrus gak jadi menang...ha3x ).
Nilai : 7,5. [Rida Fitria]

Komentar umum: tema “Lelaki yang Meneteskan Airmata” ternyata tidak istimewa.. Tema ini tidak tereksploitir dengan baik (beberapa peserta bahkan mengirimkan cerpen yang sama sekali tidak relevan dengan tema). Mungkin lantaran itu juga – di samping pembatasan karakter yang ditetapkan panitia, membuat nyaris semua cerpen bergerak dalam karakterisasi dan plot yang linier. Tidak ada suspense. Nilai: 7. [Ana Mustamin]


Whei! Bagus! Penulisan dari sudut pandang yang tidak biasa. Bagus!
Nilai: 7.50. MINDO MEINIAR ARRIANY.


Baru kali ini saya menemukan cerpen dengan format yang tidak biasa. Misal dengan cara menjoroknya kalimat langsung dan dengan menggunakan tanda : –, pembeda pembicaraan tokoh satu dan yang lain dengan menggunakan huruf miring dsb. Adalah hak setiap penulis untuk menampilkan ciri khasnya sendiri. Tapi, karena ini dalam konteks lomba dan ada kemungkinan akan lebih dipublikasikan lebih dari sekadar di milis ini, saya melihat cerpen Mas Hasan itu dng kacamata cerpen standar biasa. Nilai 6,5 [Anjar Anastasia]

Kang Hasan kental banget aroma melayunya. Beberapa kata yang jarang digunakan, muncul, seperti jual-jual temberang, nasi lemak, tekak kering, penggunaan kata sedap. Gayanya menarik. Cerita di dalam cerita. Dialog dibuat dengan menarik agak ketengah, dan untuk membedakan dua orang yang berbicara, ditandai dengan font tegak dan miring. Akhir cerita dibuat dengan cepat, karenanya, proses meneteskan air mata dari ketiga pria itu, menurutku, malah terasa lucu. Apalagi membayarkan si petinju yang bersuara keras itu. Nilai: 7,8. [Ita Siregar]


Sebuah atraksi ide cerita. Eksistensialisme. Berani memanipulasi tokoh. Nilai : 8,0. [Fati]


Komentar umum: Maaf terlambat.... Nilai: 6,3. [Anindita]


Komentar umum: Sebagai penikmat cerpen, buatku cerpen yang asyik itu seperti ‘slilit’. Sehabis dikunyah, ada secuil yang tersangkut di hati. Kecil, tapi mengganggu. Tidak peduli hidangan itu sekadar tumis kangkung atau beefsteak. Memaksaku untuk mencari tusuk gigi, atau bolak balik ke toilet menggosok gigi. Melepas slilit tidak mudah bukan? Maksudku, ya.. bikin kepikiran terus, dan berusaha mencari jawaban. Nilai : 7,0. [Rita Achdris]


Oke, jujur saja, selesai membaca cerpen yang satu ini, komentar saya adalah “huh?”. Kenapa? Karena endingnya kok sepertinya menggampangkan segala sesuatunya, ya? Masalahnya, kalau saja penulis pernah membaca sebuah novel berjudul Parfume, ia pasti bisa mengetahui bahwa tokoh utama dalam novel itupun hampir sama dengan tokoh Drusba yang lahir tanpa dikehendaki, dibuang, dan besar tanpa pernah menunjukkan emosi. Tapi, kok tiba-tiba Drusba ini jadi tokoh cerita (seperti dalam Dunia Sophie, atau lebih tepatnya Supernova?) dengan membalikkan namanya menjadi Absurb dan tiba-tiba saja setelah membunuh sekian banyak orang tiba-tiba ia menyesal? Saya rasa sih kurang masuk akal.

Pengulangan juga terjadi, misalnya dalam kalimat: Selesai ketik langsung dicetak, dan langsung masuk amplop, dan langsung dikirim.

Seharusnya: Selesai ketik langsung dicetak, langsung masuk amplop, dan langsung dikirim.

Yang aneh (karena saya perempuan) kok bisa sih seseorang hamil 6 bulan baru ketahuan? Inilah kekurangan riset dan kepekaan kaum lelaki. Dikiranya orang hamil begitu saja tanpa ada tanda-tandany a. Kalau dua/tiga bulan sih masih wajar, tapi kalau sudah enam bulan terlambat datang bulan, apa tidak mencurigakan? Apalagi ibunya Drusba kan seorang PSK, masa dia tidak rutin mengecek siklus datang bulannya?
Selain itu, beberapa kali terjadi kesalahan ketik, Idrus ditulis menjadi Drusba, seperti:

Drusba lupa bila tepatnya. Drusba menolak tawaran sepiring lontong sayur atau nasi lemak. Dia tampak sedang bersemangat cerita.

Hal yang kurang masuk akal lainnya adalah bahwa seorang pengemis merasa kasihan dan membawanya pulang kemudian mendidiknya secara sangat kasar. Kok bisa? Apa pengemis itu sedemikian psycho-nya sehingga ia kegirangan menemukan anak bayi di tong sampah, membawanya pulang, dan membesarkannya hanya demi dididik secara keras (keras di sini saya interpretasikan sebagai kasar, sebab Drusba juga tumbuh menjadi anak yang kasar)?

Mengapa tokoh utama menangis juga tidak memberikan sense yang cukup bagi saya. Rasanya alasannya terlalu mengada-ada. Bagaimanapun, cerpen ini cukup membuat saya tersenyum di beberapa bagian, karena ini adalah cerpen tentang seseorang yang menulis cerpen, walaupun cukup dapat ditebak ke mana arahnya. Judulnya juga cukup unik sebab mencantumkan jumlah kata dalam cerpen itu. Nilai : 6,0. [Melody Muchransyah].

Unik! Dari segi judul dan cara penceritaan. Ada terpeleset sedikit kalau aku tidak salah, ‘Saya memesan kopi susu. Drusba menolak tawaran sepiring lontong sayur atau nasi lemak. Maksudnya Bang Hasan ini bukan Drusba, tapi Idrus kayaknya. Asik! Nilai : 7,2. [Feby Indriani]


Ini Kisahnya:


Kisah 1.021 Kata: Air Mata Tiga Lelaki

Oleh Hasan Aspahani

IDRUS pernah menulis sebuah cerita pendek. Cerita itu dikirimnya ke Panitia Lomba Penulisan Cerpen Dewan Kesenian Riau (DKR). Sudah lama, empat atau lima tahun lalu. Drusba lupa bila tepatnya. Cerita itu tidak menang. Idrus sedikit kecewa, tentu saja. Sebagai peserta dia tentu saja berharap menang. Apalagi waktu dia kirim cerita itu dia sempat juga jual-jual temberang. Dia yakin sekali menang, minimal cerita saya ini juara satu.

Setelah pengumuman Idrus sempat juga bertanya kepada kawannya yang bekerja di DKR, tentang naskahnya itu. Kawannya bukan pengurus cuma tukang urus-urus. Bagian sesuruhanlah. Kata kawannya, naskah itu tidak pernah diterima panitia. Lho? Betulkah? Iya, tidak ada. Saya sudah cek di arsip. Ya, sudahlah. Idrus pun terobati juga kecewanya. Suailah aku tak menang. Macam manalah mau menang, dibaca juri pun tidak.

Idrus tidak punya arsip lain kecuali yang ia kirim. Ia dulu mengetik di warnet dan tidak menyimpannya di disket. Selesai ketik langsung dicetak, dan langsung masuk amplop, dan langsung dikirim.

Idrus bertemu saya di Kedai Kopi Siang Malam. Saya lagi duduk mengopi dan makan lontong sayur. Hari belum terlalu siang. Dia menyebut-nyebut lagi cerita dia yang hilang itu. Dia ingin sekali mendapatkan naskah cerita itu. Saya tanya dia buat apa? Ada lomba di mailing list Apresiasi Sastra, saya rasa cerita saya itu cocok betul dengan temanya.

      - Temanya apa, Drus?
      - Lelaki yang meneteskan air mata.
      - Ceritamu itu, apa judulnya?
      - Eh, sudah lupa aku, San…      - Ceritanya seperti apa? Masih ingat?
     - Masih…

Idrus pun bercerita. Nama tokohnya Drusba. Saat menjadi pemuda dia adalah seorang petinju. Ia lahir, besar dan kelak mati dalam dendam yang terus berbunga besar dan tak terbayar.

Dia anak yang tak dikehendaki. Ibunya pelacur dan entah siapa di antara ratusan lelaki yang membayarnya melepaskan sperma di mulut rahimnya saat ia mengandung sebuah sel telur. Pelacur itu tak tahu bahwa dia hamil hingga usia kandungannya enam bulan. Terlambat untuk digugurkan. Bayi lelaki itu lahir di kamar mandi komplek pelacuran dan dibuang ke tempat sampah bersama kondom bekas. Dikira sudah mati. Mulutnya disumbat dengan celana dalam berdarah. Tapi bayi itu berumur panjang. Ada seorang lelaki pemulung yang membawa pulang bayi itu dan diserahkan kepada perempuan yang hidup bersamanya di gubuk kartonnya.

      - Eh, sedap juga ceritamu, Drus..
      - Sedap sedap juga, tapi tekak kering, San. Pesanlah kopi susu…
      - Ha ha ha. Lupa, Drus.

Saya memesan kopi susu. Idrus menolak tawaran sepiring lontong sayur atau nasi lemak. Dia tampak sedang bersemangat cerita. Lanjut nih ceritanya? Oh, ya lanjutkan. Drusba tumbuh menjadi lelaki yang keras karena ia tumbuh di lingkungan yang sangat keras. Ia tumbuh menjadi anak yang kasar karena lelaki yang dipanggilnya bapak mendidiknya dengan cara yang sangat kasar. Ia menjadi pemulung yang tak bisa membedakan mana batas antara mengambil barang bekas dan mencuri barang orang. Dia hanya tahu barang-barang apa saja yang laku dijual.

Kedai kopi sedang ramai. Makin siang makin banyak orang datang. Ada seorang lelaki berumur setengah abad menggandeng perempuan muda. Ada tiga lelaki yang buru-buru memesan kwetiaw goreng. Ada lelaki letih gondrong, berjanggut, kumis dan cambang liar tak terurus. Ada perempuan berpakaian minim datang bersama tiga rekan dengan dandanan yang seakan berlomba irit.

Suara denting piring kena sendok makin riuh. Idrus tak peduli dia meneruskan cerita. Drusba akhirnya lari dari si lelaki yang dipanggilnya dengan bapak. Dia tak tak pernah takut hidup karena dia sudah pernah hampir mati. Dia tertangkap mengambil sarung tinju di sebuah sasana. Dia lalu jadi karung pasir dijotos tiga petinju yang saat itu sedang berlatih. Drusba tidak menangis. Oh, ya dia memang tidak pernah menangis. Si pelatih tertarik menjadikannya petinju. Maka ia pun jadi petinju besar. Juara dunia. Tiga kelas dikuasainya. Ia membuat orang-orang di sekelilingnya kaya raya. Manajernya, pelatihnya, mitra latihnya, dan Anne, perempuan yang selalu ada di sisi ring setiap kali ia bertanding atau sekedar berlatih. Perempuan yang teriakannya bengis, dan tatapan matanya tak lepas dari mata Drusba. Tatapannya itu seperti menyuntikkan kebengisan yang terus-menerus ke dalam otak dan mematikan fungsi rasa di hati Drusba yang memang selama ini sangat jarang ia fungsikan. Itu yang membuat Drusba tak terkalahkan.

Tapi, tiba-tiba dia menghilang. Dan satu per satu orang terdekatnya hilang kemudian ditemukan jadi mayat. Kecuali Anne, yang juga menghilang. Idrus menyeruput kopi. Meletakkan lagi cangkir.

      - Orang mengira dialah si pembunuh. Tapi kenapa dia membunuh, itu yang tak tahu.
      - Eh, kan engkau yang mengarang cerita. Kenapa tak kau buat saja alasan yang masuk akal.
      - Biar saja, akhir ceritanya terbuka. Biar saja pembaca yang menebak bagaimana ceritanya.
      - Tapi cerita itu persis betul macam cerita si Absurd. Petinju kita yang juga hilang itu.
      - Ya, saya memang dengar cerita dari seorang perempuan tua bekas pelacur, yang mengira Absurd adalah anaknya yang dia buang dulu. Dia ingin sekali bertemu kalau memang si Drusba eh Absurd itu anaknya.

Aku dan Idrus terdiam. Dia habiskan kopi susunya. Saya merenungkan ceritanya. Kenapa tak kau tulis saja lagi ceritamu? Mungkin saya mau tuliskan. Masih ada waktu kirim naskah beberapa hari. Menurutmu bagaimana baiknya akhir cerita itu? Apa baiknya saya ubah saja?

      - TUAN IDRUS, SAYA TAHU BAGAIMANA NANTI AKHIR CERITA ITU!

Aku dan Idrus menoleh ke asal suara. Pria letih berkumis yang sejak tadi duduk sendiri dua meja di belakang kami. Dia berjalan ke meja kami. SAYA ABSURD. ENTAH KENAPA DAN ENTAH SIAPA YANG MEMBERI NAMA ITU PADA SAYA. Suaranya seperti diucapkan dari sebuah teks yang ditulis dengan huruf kapital.

Aku dan Idrus saling pandang dan tak tahu harus bicara apa. TUAN IDRUS, SAYA DENGAR TADI SEMUA CERITAMU. SAYA YANG MEMBUNUH ORANG-ORANG YANG MATI DALAM CERITA ITU. SAYA JUGA YANG MEMBUNUH ANNE. KARENA DIA HAMIL DAN SAYA TAK TAHU BAYI SIAPA YANG DIKANDUNGNYA. SELAMA INI SAYA CARI PEREMPUAN YANG MELAHIRKAN SAYA DAN SAYA JUGA INGIN MEMBUNUH DIA.

      - Maaf saya tidak tahu, dimana sekarang ibumu, eh, maksud saya bekas pelacur itu.

Absurd menunduk. Matanya basah. Mungkin itu tangisan pertamanya. JANGAN SEMBUNYIKAN DIA, TUAN. SAYA TIDAK INgin membunuhnya. Saya justru ingin berterima kasih pada dia. MembUNUH DAN MEMELIHara dendam ternyata tidak menyelesaikan apA_APA. Tolong, Tuan. Antarkan saya padanya. Saya ingin mencium tangannya. Saya sudah memaafkan dia.

Aku dan Idrus berpandangan. Idrus kulihat sudah meneteskan air mata juga. Aku pun buru-buru mengambil kertas tisu. Mengeringkan mata. Jarang-jarang saya menangis.***

Soluliqui Sang Bola Kaki 3

Kenapa semua tentara tidak dilatih menjadi
pemain sepakbola saja?

Bukankah pemain bola tidak perlu sepatu
lars, topi baja, apalagi peluru dan senjata?

Bukankah kostum pemain bola lebih meriah
dan enak dilihat daripada seragam tentara?

Siapa yang meragukan kehebatan seorang
sniper kalau ia dilatih jadi seorang striker?

Dan kehebatan para komandan ditentukan oleh
strategi bertahan dan menjebol gawang lawan?

Mungkinkah dunia akan lebih damai, kalau
wajib militer diganti wajib main bola?

Dan suara-suara tembakan pun berganti
menjadi riuh penonton di lapangan sepakbola?

Pantaskah kalau hari Sabtu ditetapkan
sebagai hari wajib main bola?

Berapa jumlah stadiun bola di satu negara, kalau
anggaran militer dialihkan untuk membangunnya?

Siapa setuju kalau kamp-kamp tentara digusur
dan lahannya dibuat lapangan sepakbola?

Apa ruginya kalau pemenang perang
ditentukan dengan pertandingan sepakbola?

Bukankah dengan demikian, tak ada orang biasa
yang terluka? Atau bahkan jadi korban sia-sia?

Kalau pertempuran berhenti saat siaran bola,
kenapa Piala Dunia tidak digelar tiap hari saja?

Untuk sebuah lapangan sepakbola, apakah
tidak bisa semua ranjau darat dijinakkan?

Bisakah tank-tank diubah jadi traktor, agar
berguna untuk membuat lapangan sepakbola?

Soluliqui Sang Bola Kaki, 2

Haruskah bola berterima kasih pada
pemain yang tak pernah menendangnya?

Siapa yang menghitung berapa kali bola
ditendang selama dua kali 45 menit?

Siapa yang ingin bertanya pada bola,
berapa pertandingan yang ingin diikutinya?

Kenapa tidak ada stasiun televisi yang
pasang kamera pada sebuah bola?

Kenapa di sebuah gawang hanya ada
satu penjaga? Kenapa tidak dua atau tiga?

Bisakah bola membedakan, ia sedang
digocek oleh Ronaldinho atau Zidane?

Kenapa tidak ada juruwarta yang bertanya
kepada bola seusai sebuah pertandingan?

Siapa bisa membayangkan, betapa
menariknya bila bola dibuat menyala?

Siapa kenal Telstar, Tango, Azteca, Etrusco,
Questra, Tricolore, Fevernova, dan Teamgiest?

Apa jadinya sebuah pertandingan, kalau
setiap kali ditendang bola menjerit kesakitan?

Apakah bola memejamkan matanya, ketika
melengkung arah setelah Didi menyepaknya?

Tahukah bola garis batas lapangan? Perlukah
hakim garis terus-menerus memperingatkan?

Siapa yang tahu, betapa rindu bola pada negerinya,
ketika lagu kebangsaan dinyanyikan bergantian?

Bola membayangkan, agar lebih seru pertandingan,
kenapa di lapangan tidak dibuat jebakan-jebakan?

Kalau ini hanya permainan, kenapa Beckham
tak mengajak anak-anaknya ke lapangan?

Kompetisi Musim Hujan

      
DI kursi goyang, bersama encok di pinggang dan gerit
       usia tua: waktu yang dikalkulasi seperti cicilan utang,
       dikenangnya saat-saat main bola bersama hujan.

ANAK-ANAK yang telanjang - hujan yang telanjang,
       telah sempurna menerjemahkan arti kegembiraan:

       bola basah biarlah, nasib bergulir tak pasti biarlah,
       tubuh basah biarlah, kehangatan rumah menunggu biarlah,
       hati basah biarlah, keriangan luruh tumpah biarlah,
       kaki basah biarlah, lumpur melumuri biarlah.

DI kursi goyang, bersama gemetar di lutut dan kabus
       mata tua: terlalu banyak bayang menghalangi pandang,
       disiapkannya hati mendengar tiupan peluit panjang.

Tuesday, June 13, 2006

[*Apresiasi-Sastra*] Pengumuman Pemenang Top 20 Apresiasi Prosa

* APRESIASI Prosa bertema "Lelaki yang Meneteskan Air Mata" [Diusulkan oleh Hasan Aspahani, :-), dan menang voting] yang mulai dibicarakan sejak Maret 2006 akhirnya sampai pada tahap pengumuman.

* "Sebuah kegiatan bernuansa simbiosis mutualisme dari dua gender manusia yang berbeda," demikian tulis kang Sigit di akhir penutupan Apresiasi Prosa Srikandi akhir tahun lalu. Dan hal ini terulang kembali dalam penyelenggaraan Apresiasi Prosa Srikanda, yang melibatkan 40 cerpenis Srikanda dan 14 juriwati

* JURI ke-14 telah menghubungi mbak Fitri sebelum masa penilaian ditutup, hari Sabtu lalu, memberitahukan bahwa lembar penilaian sudah selesai tapi belum sempat dikirim . Karena komunikasi yang kurang lancar antara Jakarta-Belanda dan waktu online yang terbatas, pada saat penutupan, saya belum sempat menuliskannya sebagai salah satu juriwati yang mengirim kembali lembar penilaian. Moga menjadi masukan bagi mereka yang masih punya pertanyaan mengenai hasil penilaian juri terakhir.

* Inilah urutan Top 20 hasil penilaian dari 14 juriwati:

01. Akmal Nasery Basral - Boyon (108,3)
02. Kurnia Effendi - Sepanjang Braga (105,7)
03. Slamat P Sinambela - Aku, Kau dan Sebuah Rahasia (103,6)
04. M. Aan Mansyur - Sehari Setelah Istrinya Dimakamkan (102,8)
05. Y. Wibisono - Dalam Kuyup Gerimis (102,7)
06. Fajri Imanudin - Kulihat Gamma Menangis (102,6)
07. Firman Firdaus - Sengguk (102,3)
08. Rahmat Hidayat - Penantian Mawar Berduri (102,2)
09. Ragil Nugroho - Yang Pecah Di Bawah Purnama (101,5)
10. Setiyo Bardono - Ujian Membaca (101,3)
11. Pandu Ganesa - Malaikat Maut Yang Gagal Menjemput (100,6)
12. The Black Death - Sigit Rais (100,3)
13. Agustinus Onoy Wahyono - Secuil Cinta Ditinggal Kereta - (100,2)
14. Titon Rahmawan - Arman, Sayap Ibu dan Kematian: Mengenang Pramoedya (99,5)
15. Mang Jamal - Menjelang Lebaran (99,1)
16. Hasan Aspahani - Kisah 1.021 kata: Air Mata Tiga Lelaki (99,0)
17. Damhuri Muhammad - Keranda Kerinduan (98,8)
18. Andriansyah B - Kado Istimewa (98,8)
19. Cak Bono - Jembatan Merah (98,4)
20. Adi Toha - Selepas Pulang (98,1)

[Ruang Renung # 149] Kekinian dan Kedalaman

MERENUNG bisa kita ibaratkan sebagai kerja menggali, menggali dan terus menggali. Apa yang dicari? Sesuatu yang bernilai, sesuatu yang bermakna, sesuatu yang tidak sia-sia. Apakah sesuatu itu? Bisa apa saja dan tak penting untuk diberi akta, tak perlu diikat pada sebuah kata. Lagi pula pada kerja menggali itu kedalamanlah yang mestinya lebih memesona.

BERTOLAKPUNGGUNGKAH kedalaman itu dengan kekinian? Mestinya tidak. Pada kedalaman penggalian kita, ada peristiwa kini yang mungkin saja terjebak atau malah sengaja memerosokkan diri. Apa yang kini itu mungkin saja betah di sana, nyaman di sana, dan merasa pas untuk berumah di sana - pada kedalaman penggalian permenungan kita.

KEKINIAN pun mestinya bisa memecut kita untuk melakukan penggalian-penggalian baru. Pecutan yang ikhlas kita terima. Jadi tempuilah jalan waktu dengan enteng, beri senyum pada kehidupan, dan bersiaplah dengan punggung terbuka, punggung yang ikhlas menerima lecutan cambuk kekinian. Bersiaplah dengan tangan yang rindu menggali sedalam-dalamnya. [ ]

Dengan Demikian Sebuah Epitaf Telah Dituliskan

SEHABIS pertandingan final yang tak bisa ia lupakan skornya,
ia mampir di kedai tukang sablon. "Tolong ganti saja segera
nama dan nomor punggung kaos lelah-lecak ini," katanya.

Si tukang sablon tua memandangi kaos bernomor 10 itu, lalu
tiba-tiba disergap kenang dan bayang, matanya pun tergenang.

"Maaf, kaosmu hanya perlu dicuci. Kebetulan aku kehabisan
stok huruf dan angka," katanya, mengemas rapi lagi kaos
lelah-lecak itu. Penyerang itu diserang kesebelasan tanya, lebih
berat dari tim yang baru saja antara hidup dan mati ditarunginya.

SUDAH senja, waktu akhirnya ia tiba di rumah binatu. Kaos
lelah-lecak ia serahkan kepada tukang cuci yang sedang
mengantuk sambil duduk di antara dengkuran mesin cuci.

"Tolong dicuci bekas luka dan bisa atau bawa saja lari,
sampai hilang pedih nama dan perih angka di punggungnya,'
katanya seperti penyair sedang membacakan bait puisi.

Si tukang cuci semula tampak tak peduli. Ia taburkan
deterjen dan ketika hendak menekan saklar tiba-tiba saja
ia seperti dibangunkan dari sebuah mimpi. Mimpi buruk sekali.
"Maaf, Tuan, kami tidak bisa mencuci apa-apa malam ini.
Air sedang mati. Bawalah kemari esok pagi. Siapa tahu kami
bisa lolos dari resesi yang diramal datang tengah malam nanti,"
katanya, lalu buru-buru menyerahkan kaos lelah-lecak itu.

IA tak lagi punya pilihan, selain berlari kembali ke lapangan.
Sambil menghayati luka di kaki, dan duka di hati, ia bertemu
wasit tua yang tak pernah berhenti menyempritkan peluit. "Hei,
belum sampai waktumu. Jangan kembali ke lapangan itu.
Tak akan ada yang merayumu," katanya sambil terus meraba
sesuatu yang berwarna merah di saku baju: sebuah kartu.

Ia tak lagi peduli. Dan terus berlari, berlari ke lapangan. Di sana
ia hapus angka di papan skor, lalu sebuah amanat ia tuliskan:
satukan aku dan bola tembuniku yang entah di mana makamnya,
dan kaos dengan nama dan nomor punggung ini pakaikan saja
di batu nisan. Dengan demikian sebuah epitet telah ditabalkan.
Dengan demikian sebuah epitaf telah dituliskan. Sekian.

[Ruang Renung # 148] Yang Khayal dan Yang Nyata

KENAPA menulis sajak gempa dan sepakbola? Ya, kenapa tidak! Semua semestinya mengandalkan ketajaman dan keligatan mata batin puisi kita. Peristiwa - gempa atau perhelatan besar sepakbola - adalah batuapi yang memantikkan api permenungan untuk kemudian menyala berkobar membawa terang puisi.

Atau sebaliknya, permenungan kita yang sudah lama tersimpan sebagai pijar batubara, tiba-tiba menemukan alasan untuk diucapkan, tersulut oleh peristiwa yang datang kemudian. Hasilnya sama saja, api puisi kita menyala terang dan jika ia api puisi sejati maka nyala itu akan abadi. Terang-menerang terus-menerus.

Cerita - atau kita seratakan saja dengan semua karya sastra, dengan demikian juga termasuk puisi - kata sastrawan Kuntowijoyo, lahir karena kita punya pengalaman, imajinasi dan nilai-nilai. Pengalaman adalah tabung yang kita isi dengan peristiwa, kejadian, yang langsung datang pada kita atau datang lewat berbagai cara tak langsung lainnya. Imajinasi adalah apa yang bebas kita khayalkan, apa yang kita lambung-lambungkan dari pijakan realitas fikiran kita. Jangan terlalu ngotot memisahkan mana pengalaman mana khayalan. Picasso bilang apa yang bisa kita khayalkan berarti itu nyata. Jangan terlalu repot menakar pada karya kita itu berapa persen khayal berapa persen nyata.

Lalu dimana peran nilai-nilai? Ia menjadi semacam rambu-rambu atau papan peringatan yang tampak ataupun tak tampak, yang terpasang di sepanjang jalan penciptaan atau tersimpan di buku manual gaib yang diam-diam kita rujuk ketika kita berkarya. Dengan bahan pengalaman yang sama dan daya khayal yang juga serupa, dua orang akan menghasilkan karya yang berbeda karena masing-masing pasti punya persisi anutan nilai-nilai.

Monday, June 12, 2006

Setelah Sebuah Gol

"Oh, betapa inginnya aku ikut
bersorak-sorak bergembira, tapi
untuk siapa?" kata bola di dalam
gawang. Baru saja ia terjaring jala.

Sunday, June 11, 2006

Pertandingan Penghabisan

SAMBIL berpura-pura menyanyikan lagu kebangsaan,
berjejer di tengah lapangan, kapten kesebelasan itu
bersungguh-sungguh memanjatkan doa kesayangan:
Tuhan, Engkau tidak usah nonton, 'kan? Memang
sebaiknya sejenak kami Engkau tinggalkan. Jangan
pernah lagi Engkau main tangan, bikin gol ke gawang
salah satu dari kami yang sebentar lagi menggelar
pertandingan. Penghabisan. Habis-habisan.

TENDANGAN pertama sudah dilakukan. Bola pun
mulai menelusuri nasibnya dari kaki ke kaki. Peluit
disabdakan. Kartu kuning sesekali dihunuskan,
kartu merah pun ditikamkan. Dan jaring gawang itu -
yang bergetar menahan tembakan - tak juga sempat
menyampaikan kepada bola, sebuah pertanyaan
yang sudah lama bikin ia penasaran. "Engkau duduk
di mana, Tuhan? Kenapa tak ada di bangku cadangan?"

SETELAH dua kali 45 menit, dan waktu perpanjangan,
pertandingan tetap pada kedudukan kosong-kosong,
tak ada gol yang bisa diciptakan. Para bandar taruhan
mulai curiga ada persekongkolan antara bola dan sang
penjaga gawang. Keduanya harus diberi hukuman. Atas
nama Permainan, pertandingan harus diteruskan. Pemain
yang kelelahan makin tidak karuan. Wasit yang tak kenal
kompromi menindak tegas semua kecurangan.
Kartu merah berkelebatan, membabat takdir
pemain - terlempar ke luar lapangan.

HINGGA akhirnya, di padang rumput itu tinggal letih bola
dan dua penjaga gawang yang ingin cepat pulang. Para
penjudi makin meningkatkan angka taruhan. Penonton kian
gila-gilaan, berteriak ke arah tribun penonton kehormatan.
Ada bangku yang tiba-tiba kosong. Kata penyiar televisi,
Dia yang tadi duduk di situ sedang berada di ruang ganti.
"Kita tunggu saja, kostum kesebelasan mana yang akan
Ia kenakan...."

Tanpa Kekalahan Tanpa Kemenangan

      IA pamitan kepada sepatu dan kaos kaki, dengan
pesan singkat: "Jangan ditanya kemana aku pergi."
Dia hanya ingin pulang. Sebentar. Bosan juga setiap
hari berlari-lari mengejar bola kehidupan, ditonton jutaan
pasang mata dan tangan yang mengacungkan kupon
taruhan: kekalahan atau kemenangan.

      IA hanya ingin pulang: ke kampung halaman. Ziarah
ke sawah mati. Tempat dia dulu belajar, pertama kali
menendang bola-bola kehidupan. Tempat dia dulu
belajar membedakan kaki kiri dan kaki kanan. Tempat
dia dulu belajar menjaga gawang bambu dari segala
kemungkinan, ancaman kebobolan dan ancaman
kemasukan.

      IA pulang dan wah masih ada bola-bola yang dulu
ia sebut gol, tersangkut di jaring-jaring gawang.
Dan hei masih ada suara-suara dari pinggir
lapangan dan dari tengah penonton, "tendang!
tendang!" ketika ia berdiri lagi tepat di gawang
lawan. Seperti baru saja dimengertinya kini apa
artinya berlari sambil menggiring bola kehidupan.

      IA telah pulang, dan sepertinya sudah membuat
sebuah keputusan. Ia kayaknya lelah tapi terlihat
puas dengan sebuah kesimpulan: di suatu tempat,
pasti ada sebuah lapangan yang bukan sekedar
tempat permainan, suatu tempat di mana dia
bukan sekedar disoraki karena hebat menggiring
bola-bola kehidupan, suatu tempat di mana ia
bisa bikin gol tanpa ada penjaga gawang yang
merasa kebobolan, suatu tempat di mana dia tak
perlu mencemaskan suara peluit serta kartu kuning
dan merah, suatu tempat di mana ada permainan
tanpa peraturan tanpa pelanggaran tanpa taruhan
tanpa kekalahan dan tanpa kemenangan.

Malaikat Penjaga Gawang

SEHABIS memenangkan pertandingan, malam itu
mereka kemping di lapangan, menyalakan unggun,
menggantung semua yang tegang di palang gawang.

MEREKA gembira sekali, sambil sesekali nenggak
bajigur dan mengudap rebus pisang yang dijajakan
pensiunan hakim garis dari luar lapangan. "Mau tambah
lagi, wahai Para Kapten?" teriaknya, setiap kali dilihatnya
gelas tandas, setiap kali dilihatnya piring melompong.

DI ruang ganti, ada setumpuk kostum dan kaos kaki,
bersekutu dengan keringat yang sudah mendingin.

DI tempat lain ada si kulit bundar yang tertidur pulas
sekali. Ia bermimpi bertemu Malaikat Penjaga Gawang
dan bertanya, "Kenapa engkau halangi aku menyentuh
jaring-jaring gawang itu? Kenapa setiap kali aku ada
di dalam tenteram tanganmu, kau tendang lagi aku
ke tengah-tengah lapangan untuk diperebutkan?"

SI Malaikat Penjaga Gawang tidak menjawab, dia
hanya melirik ke redup lapangan, unggun yang mulai
memadam, dan mereka yang terkapar kelelahan,
seperti anak-anak sawah, letih bermain seharian.

Bola Nasib Warisan Si Jagoan

PULANG dari main bola di sawah, tubuhnya langsung
meradang. Terbaring di katil tak berkasur, sesekali ia
mengigau, "gol, gol, gol!" Suara seraknya seakan ingin
berteriak lantang, kaki kecilnya menyepak tiang ranjang.

IBUNYA pun diam-diam disergap cemas. Dia kompres
dahi bocah lelakinya. Lalu mengatup tingkap, menghalangi
ruh jahat di luar senja yang tak bisa diusir malaikat hujan.
Ia mengingat-ingat pendekar bola, yang sering ia dongengkan
sebelum anaknya tertidur sambil menatap sepatu warisan,
yang tergantung di dinding bersama kostum kebanggaan.

SETELAH empat hari demam, bocah itu kini sudah agak
mendingan. Pagi-pagi ia bangun, mandi di sumur dan
berpakaian seakan hendak berangkat ke pertandingan.
"Ibu, mana bola wasiat yang ditinggalkan Si Jagoan?"

SI Ibu pun terperanjat tak punya jawaban, meskipun
sebenarnya sudah lama kalimat itu ia persiapkan:
"Anakku, engkaulah bola nasib yang kukandung
sembilan hari sembilan bulan, engkaulah bola nasib
yang diwariskan oleh Si Jagoan yang kini entah berada
di mana, mengembara dari lapangan ke lapangan....."

Lengking Peluit yang Lama Tak Ia Perhatikan

DIA kini bandar taruhan, setelah pensiun jadi pemain.

"Main dan pasang taruhan ternyata sama saja. Sama-
sama perlu kelihaian agar tak terkecoh mata. Mata kaki
dan mata kepala," katanya dalam sebuah wawancara.

Dulu dia pemain bola yang rambutnya berkibar-kibar
ketika menggiring bola ke wilayah pertahanan lawan.

Ia gantung sepatu setelah menolak sogokan bandar
taruhan. "Saya yang berjudi nyawa di lapangan,
mereka enak saja adu nasib di meja perjudian."


TAPI, dia kini jadi bandar taruhan yang tak terkalahkan.

"Main bola sungguhan itu lebih mudah daripada main
bola kehidupan. Soalnya siapa lawan dan kawan
mudah kita bedakan. Wasit dan suara peluit pun
jelas apa maunya. Sementara di alam nyata? Nah,
kalian tahu sendirilah, bagaimana kacaunya," katanya.

SORE itu, nafasnya masih ngos-ngosan setelah 45 menit
lari keliling lapangan, ia duduk di bangku cadangan dan
memperhatikan anak-anak yang sedang belajar mengerti
filosofi bola dan pandangannya berhenti pada lelaki tua
yang sedang potong rumput yang seperti pernah ia kenal
namanya. "Anda wasit jujur yang dulu pernah menganulir
gol offside saya, ya?" tanyanya pada lelaki tua itu.

Lelaki tua itu menatapnya sebentar, lalu mengeluarkan
peluit dari saku celana dan meniupnya seperti hendak
mengakhiri sebuah pertandingan. Ia kenal sekali lengking
peluit itu, peringatan yang sudah lama tak ia perhatikan.

Soliloquy Sang Bola Kaki

SIAPA yang pernah mendengar suara
kesunyian di dalam padat udara bola?

Kepada gawang bola bertanya: kenapa lapangan
berbentuk persegi panjang, tidak bundar saja?

Tahukah rumput betapa inginnya bola
membaca nama di punggung pemain itu?

Adakah yang lebih lembut daripada cara
kaki menyentuh tubuh bulat bola?

Basah rumput itu karena keringat pemain
atau ceceran airmata si bola?

Apa yang dibisikkan sarung tangan kepada bola
sesaat sebelum penjaga gawang menendang?

Apakah bola mendengar saat wasit meniup
panjang peluit tanda pertandingan selesai?

Kalau bola harus memakai kostum, berapa
nomor punggung yang cocok untuknya?

Bergembira atau bersedihkah hati bola,
ketika seorang pemain berhasil bikin gol?

Siapa yang tahu betapa inginnya bola kaki
ikut bersorak di antara para penonton itu?

Kepada siapa bola harus meminta, betapa
inginnya ia mengecup piala bagi sang juara?

Siapakah sang pelatih bola, sehingga ia selalu
bermain sempurna dalam setiap pertandingan?

Siapa yang lebih dicintai bola, pemain bertahan,
gelandang, penyerang, atau penjaga gawang?

Kenapa bola selalu kembali lagi ke lapangan,
kenapa ia tidak terbang saja di awang-awang?

Kenapa bola diam saja, ketika dulu Maradona
menyentuhnya, kenapa tak ia beri tahu wasit?

Thursday, June 8, 2006

Tukang Sulap, Tukang Taman

DI tengah taman, berkomplot dengan tanaman,
dia mempertunjukkan berbagai atraksi sulapan!

"Lihat, dari gelap hitam tanah, dari terang udara,
kami ciptakan warna-warna di daun dan bunga!"

Dengar, dia rapal mantra-mantra bahasa latina,
dia hafal doa dan nama-nama kimia unsur hara....

Lalu disentuhkannya tongkat cahaya: jin kecil klorofil
pun main mata dengan matahari nun di langit sana.


Gambar dipinjam dari Songsoupunsea

[Ruang Renung # 147] Pertanyaan dalam Puisi

Apakah puisi dukaderitaku
melihat dengan mataku sendiri?
                                             - Pablo Neruda


PERTANYAAN terbaik dalam puisi adalah pertanyaan yang tidak untuk diselesaikan dengan jawaban. Pertanyaan terbaik dalam puisi - sama seperti kalimat lain - seharusnya menawarkan imaji-imaji yang menggoda, yang mengganggu kediaman fikiran pembaca. Pertanyaan terbaik dalam puisi adalah pertanyaan yang membangkitkan pertanyaan-pertanyaan berikutan.[]

Wednesday, June 7, 2006

Tidur Setelah Dongeng

BOCAH itu pun tertidur tanpa selimut dan bantal
setelah satu dongengan tentang bumi yang gempa.

IA bermimpi: rumahnya yang runtuh menjadi istana,
dan dia jadi tukang kebun di taman luas istana itu.
"Lewat akar bunga-bunga, kusampaikan cinta
yang tak terkata pada Bunda Tanah." Di mana ia
lahir dan di mana nanti digali liang makamnya.

IA bermimpi: rumahnya yang puing jadi kapal layar,
dan di kapal itu dia jadi juru tali, penduga dalam
samudera, penebak badai, dan pemeta arah angin.
"Aku hanya ingin kapal ini sampai di Pelabuhan.
Dermaga paling damai yang ada gambarnya pada
kibaran bendera di tiang tertinggi kapal besar ini."

IA bermimpi: rumahnya menjadi sekolah. Dan dia jadi
guru, mengajarkan siasat puisi dan cara menggambar.
"Gambarlah lelehan lava di gunung itu dalam warna
hijau, biru, kuning atau ungu. Jangan cuma merah,
warna yang kadang sangat suka menipu," katanya sambil
membagi krayon, batang-batang berwarna yang hanya
bisa dia angankan bersama teman-temannya: bocah desa.

BOCAH itu pun tertidur tanpa selimut dan bantal
setelah satu dongengan tentang bumi yang gempa.

Oda bagi Bawang Merah

Sajak Pablo Neruda

     Bawang merah,
botolkaca berkilauan,
bentuk molekmu
kelopak demi kelopak
kau membesar dengan sisik-sisik kristal
dan dalam rahasia gelap bumi
perutmu tumbuh melingkar bersama embun.
Dibawah muka bumi
keajaiban
terjadi
dan ketika tangkai
anehmu menampak,
dan daun-daunmu merecup
seperti pedang-pedang
di kebun itu,
bumi pun mengumpulkan tenaganya
mempertontonkan telanjangmu, tembuspandangmu,
dan seperti laut yang jauh
yang membusungkan payudara Aphrodite,
menyalin rupa magnolia,
maka begitulah pula bumi
menciptakanmu,
bawan merah
jernih sejernih planet
yang menuju
ke pancar cahaya,
konstanta rasi,
air yang diselimuti mawar,
di atas meja
orang jelata.

Kami menangis karenamu, tanpa kau sakiti.
Aku telah bermohon bagi segala yang ada,
tapi bagiku, bawang merah, engkau
lebih indah dari seekor burung
yang bulunya menyilaukan pesona,
bola bumi surgawi, gelas piala platina,
koreografi diam
buang liar anemone salju

dan wangi bumi bernafas hidup
dalam kristalin alamisejatimu.

Sunday, June 4, 2006

Penyair Tua & Jin Hujan Perempuan

/1/

"DI dalam hujan hidup seorang jin perempuan,"
kata penyair tua itu mengakhiri sajaknya.

Aku tertawa, sama sekali tidak percaya.
Soalnya, adakah yang melebihi cintaku pada hujan?
Sahabat masa kecil rinduku padanya tak pernah
selesai kurumuskan, yang selalu mengajak bermain,
dan kami selalu telanjang tanpa pernah khawatir
kedinginan.

"Hujan, petikkan mangga di pohon raksasa itu!"
kataku. Maka hujan pun menggoyangkan dahan
dengan tangan anginnya, mangga pun berguguran.
Aku berebutan dengan tupai, monyet dan hujan.

"Hujan buatkan aku kolam ikan," kataku. Maka,
hujan pun menciptakan genangan dan bah menggiring
ikan-ikan kecil yang mengajariku berbagai cara
berenang, dan menciptakan buih-buih di permukaan,
lalu dipecahkan oleh hujan.

/2/

"DI dalam hujan hidup seorang jin perempuan,"
aku kini teringat akhir sajak penyair tua itu.

Mungkin karena kenangan itu aku tiba-tiba
amat merindukan hujan. Aku pun menelusuri sisa
petang itu. Mengingat-ingat nama awan yang dulu
kukenal dan ingin kupanggil mereka agar menyampaikan
pesan rinduku pada kawan hujan. "Apakah dia sedang
ditawan oleh jin perempuan?" aku menduga-duga,
dan sepertinya mulai percaya pada ramalan pada
baris akhir sajak si penyair tua.


/3/

"AKU juga sangat mencintai hujan..." kata sebuah
suara, tepat ketika aku sampai di sebuah tepian kota,
saya kira dia sedang sembunyi di laut, tapi dia tak ada
di sana, saya kira dia ada di antara lalu lalang orang
yang tak kutahu namanya, tapi dia juga tak ada di sana.

"Saya ada dalam hujan," katanya, tapi saat itu tak ada
hujan. Saya kira dia adalah jin perempuan yang disebutkan
dalam baris terakhir sajak penyair tua yang kini sangat
ingin kutemui.

Aku pun mencari buku telepon lama. Barangkali saja ada
sisa nama dan nomor teleponnya di sana. Aku hanya ingin
bertanya bisakah ia ramalkan dalam sebuah bait sajaknya
kelak aku berubah jadi hujan saja? Agar bisa saling
menawan: aku dan jin perempuan. Atau kembalikan aku
ke masa lalu, kembali menjadi bocah telanjang yang
bermain bebas bersama telanjang hujan. Dan kubayangkan
diam-diam, ada jin perempuan yang mengintip dan iri
pada keriangan aku dan kawan hujan.

























Gambar dipinjam dari Painetworks.

Malam, Kemana Kita Hendak Datang

Sajak Pablo Neruda

Malam, kemana kita hendak datang,
kita hendak datang untuk mencuri
sepetik cabang, cabang kembang.

Kita akan memanjat ke dinding
dalam kegelapan taman keasingan,
dua bayangan dalam bayang bayangan.

Musim dingin belum lagi pergi,
dan pohon apel mendadak menjelma
lalu tiba-tiba saja berubah rupa
menjadi taburan bintang berjatuhan.

Malam, kemana kita hendak datang,
jauh melampaui cakrawala bergeletaran,
dan tanganmu, tangan kecilmu itu,
pun tanganku - mencuri bintang itu.

Dan dalam sesap senyap bagi rumah kita
di malam dan bayang-bayang,
langkah sunyi wewangian,
dan dengan kaki secemerlang bintang,
tubuh jernih musim semi.


In The Night We shall Go In
By Pablo Neruda

In the night we shall go in,
we shall go in to steal
a flowering, flowering branch.

We shall climb over the wall
in the darkness of the alien garden,
two shadows in the shadow.

Winter is not yet gone,
and the apple tree appears
suddenly changed into
a fragment of cascade stars.

In the night we shall go in
up to its trembling firmament,
and your hands, your little hands
and mine will steal the stars.

And silently to our house
in the night and the shadow,
perfume's silent step,
and with starry feet,
the clear body of spring.

Friday, June 2, 2006

Malaikat Pencopet Nyawa

SETELAH lama
tidak pernah lagi kecopetan
saya pun pergi ke pasar
yang dikuasai preman
yang sejak zaman siluman jual menyan
banyak copet tengik iseng berkeliaran.

DI dompetku tersimpan
berbagai jenis kartu
dari ATM, KTP, SIM,
hingga kartu telepon,
juga voucer isi ulang usia.
"Copet yang sedang sekarat,
pasti girang sekali kalau bisa
memindahkantongkannya," gumam saya.

TAK kusangka,
kedatangan saya
disambut luar biasa,
pasar tiba-tiba gegap gempita.


"HALO, Bos, apa kabar?"
kata seorang berwajah
seram menyapa.
Lho, kok dia kenal saya?
"Ah, jangan
pura-pura lupa, Master!"
katanya langsung
mencium tangan saya.


"WAH, pendekar kita
kembali lagi! Ayo, kumpul
di Warung Kopi,
kita ngopi tujuh hati tujuh
malam!" kata seorang
berkaca mata hitam. Dia
pun langsung
mengangkat saya bersama
teman-temannya.

Sambil mengelu-elukan
julukan saya.


DI kedai kopi,
saya disambut
ciuman kembang kedai cewek pelayan,
saya juga dapat rayuan,
"Malam ini menginap
di
sini ya, Tuan?
Saya akan dongengkan lanjutan
Kisah 1001 Malam.
Saya tak berani mengiyakan,
soalnya di ujung pasar
kulihat berdiri
Malaikat Pencopet Nyawa.

Sesekali kupergoki matanya
melirik ubun-ubunku.
Saya yakin dia sedang
mengincar saya.
Tapi takut dia
hanya salah sasaran.

Oda bagi Angka-angka

Sajak Pablo Neruda

         Seperti kehausan
ingin tahu berapa bilangan!
seperti kelaparan
ingin tahu berapa
banyak tebaran bintang di angkasa!

Kita lewatkan
masa kanak-kanak
menghitung bebatuan, tanaman,
jejarian, bebijian pasir, geligi,
Kita lewatkan masa belia menghitung
kelopak bunga, dan rambut.
Kita membilang
warna dan tahun-tahun,
kehidupan dan kecupan-kecupan,
lembu
di padang rerumputan, ombak
di lautan. Kapal-kapal
membuat angka nol dengan perkalian.
Angka-angka berbiak bak telur katak.
Kota-kota
ribuan jumlahnya, jutaan jumlahnya,
dan bebijian gandum datang ratusan
unit tangkainya
di setiapnya
bilangan bulat lainnya

lebih kecil dari biji sebiji.
Waktu pun menjadi angka.
Cahaya menjadi terangkakan
dan sehebat apapun dia berpacu dengan suara
ia tetap pada satu kecepatan, 37.
Angka-angka mengelilingi kita,
ketika malam kita
akan mengunci pintu, dengan sisa tenaga,
menjelang 800;
dibawah
yang bersama kita di ranjang
dalam tidur itu
ada 4.000 dan 77
galah menyagang dari kita
dengan pegas dan palu.
Angka 5
akan menggabung dirinya sendiri
hingga ia menceburi laut atau igauan gila
di mana matahari menyapa dengan bajanya
dan kita bersatu berpacu
ke kantor-kantor,
ke penggilingan,
ke pabrik-pabrik,
untuk memulai segar dengan ketakterhinggan
angka 1 setiap harinya.

Sahabat, kita punya waktu
maka dahaga kita bisa terpuaskan,
dan kerinduan turun temurun
untuk membilang benda-benda
dan menjumlahnya semua,
menguranginya,
hingga menjadikan mereka debu,
biting angka-angka.
Kita mencatat dunia
di kertas
dengan bilangan dan nol,
tapi
benda-benda ada
meskipun, menjauh berlari,
segalanya dengan perhitungan,
menjadi terdehidrasi
dengan semacam jumlah, meninggalkan
keharuman dan kenangan,
dan angka kosong tetap tertinggal.

Dengan alasan itu,
maka untukmu
Aku cinta benda-benda.
Angka-angka
yang pergi ke penjara,
bergerak
di kolom tertutup
bercucu-beranak
hingga mereka memberi kita jumlah
seluruh ketakterhinggaan.
Demi engkau, aku ingin
beberapa
angka, beberapa cara
untuk membela engkau
dan engkau membela mereka.
Semoga gaji mingguanmu bertambah
dan bertumbuh ke dada-terdalam!
Lalu keluar angka 2 yang mengikat
tubuhmu dan tubuh istri terkasihmu
lalu muncul nyala mata anak-anakmu
mencatat yang belum terbilang
bintang-bintang purba
yang tak terangkakan
pasak besar gandum
yang akan tuntas menunaikan
moksa jiwa bumi.

Thursday, June 1, 2006

SMS dari Sahabat di Bogor

Ass, Sajakmu PADA SAJADAH SAWAH apa boleh saya pakai untuk ikon Lembaga Pertanian Sehat Dompet Dhuafa Republika? Barusan dibacakan untuk petani mitra. JODI

Aku Minta Kitab Jawaban

"AKU semakin bodoh," kataku
kepada Kalender Abadi,
sahabat paling sejati,
yang bingkainya waktu,
yang hobi gantung diri,
yang tak juga mati-mati,
di dinding
ruang semedi.

Saat itu aku duduk sendiri.

Lalu berani berdiri lagi.
Tak lagi bisa kubedakan:
ini gempa
atau getar lutut sendiri.

"Sedihkah aku? Tidak.
Telah selesai kesedihan,
tak lagi duka abadi.
Sejak Adam pergi,
sejak Hawa pergi,"
sanggahku sendiri,
sambil mengelap air mata di pipi.
"Duh, ini air mata siapa
kok bisa nyasar kemari?"

LAMA saling diam
si Kalender Abadi
akhirnya bertanya padaku,
- ini pertama kalinya ia ajukan,
setelah sekian lama kami
berkawan.

"Kalau aku pergi,
dan ketemu si Siapa Dia
oleh-oleh apa yang kau minta?"

"Aku minta Kitab Jawaban,
sudah terlalu
banyak dirisaukan
pertanyaan."

LAMA saling diam lagi,
sepertinya dia menyesal
mengajukan tawaran.

Hingga akhirnya
dia mengakhiri percakapan
dengan sebuah pertanyaan
- pertanyaan terakhir
yang pernah ia ajukan:

"Tidak minta
bingkisan lain saja, Kawan?"


Enigmatic Elements in a Landscape























Enigmatic Elements in a Landscape, Salvador Dali
Gambar dipinjam dari 1st Art Gallery