Friday, June 29, 2007

Ada Sepatumu di Depan Pintu Ruang Rawat Inap

: Pakcik dan DTR

"ADA masalah dengan ginjalmu," kata teman kita kepadaku.

Aku memastikan bahwa sepatu di depan ruang rawat inap itu
adalah memang sepatumu. "Ya, itu sepatunya," kata sepatuku.

Aku lantas membuka sepatuku, dan kuletakkan di sebelah
sepatumu. Aku pergi musala dulu, salat dan mengambil wudhu.

Sewaktu berzikir sehabis sembahyang, di sebelahku ada seseorang
yang berdoa untuk keselamatan sepatu. Kukira itu adalah kamu.

Aku kembali menjemput sepatuku, dan kata sepatuku, sepatumu
sudah dijemput oleh seseorang. Aku kira ruang rawat inap itu kini
sudah kosong, ada perawat kulihat membereskan ranjang pasien itu.

Chairil Anwar menurut kesaksian Sobron Aidit

1. Chairil Anwar memang agak aneh orangnya. Badannya kurus, matanya merah, pembawaannya kasar, kalau ketawa ngakak keras sekali. Rambutnya tak pernah disisir rapi, berpakaian sangat sederhana. Tetapi daya bacanya luar biasa.

2. Chairil Anwar berbicara dengan "r" seperti orang Prancis menyebut "r". Dia biasa pulang ketika hari hampir jam 01.00 menjelang pagi. Dia tidur pakai tikar dengan sebuah bantal lalu bantal guling yang sudah agak butut.

3. Chairil Anwar punya pancaran mata yang selalu bersinar dengan api yang menyala-nyala, semangat yang selalu segar, banyak bacaannya, pandai serta cerdas.

4. Chairil Anwar suka "jahil-tangan" suka "maling kecil". Chairil terkena penyakit  kleptomani, suka "nyuri kecil" yang menurutnya sendiri, hal itu bukanlah kejahatan pencurian.

5. Chairil Anwar terkadang dibenci kawan-kawannya, tapi selalu dirindukan apabila dia tidak pulang-pulang selama beberapa hari.

Thursday, June 28, 2007

[Ruang Renung # 216] Meraih Anugerah Nobel Sastra

Ini soal Anugerah Nobel Sastra . Saya pernah diskusi dengan  Nurul F Huda, penulis produktif FLP yang kini sekeluarga menetap dan mengepakkan sayap organisasi penulis berjaringan luas itu di Batam.

"Kami menulis bukan untuk dapat Nobel," kata Nurul. Apakah ini mewakili FLP? Saya tak tahu. Ada yang bisa berdiskusi soal ini?

Lewat Wanofri Samri - dosen Sejarah Universitas Andalas yang juga sastrawan - yang baru saja saya dampingi penelitiannya di Batam, saya tahu, ada seorang sastrawan di Sumatera Barat yang meletakkan cita-citanya setinggi Nobel. Dia adalah Gus Tf (bila ia menulis sajak) dan Gus Tf Sakai (bila ia menulis prosa). Gus sejauh ini sudah meraih SEA Write Award dari Kerajaan Thailand. Dan pekerjaannya kini amat fokus pada satu hal: MENULIS.

Saya sendiri, karena mengagumi Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra 1971 (tahun kelahiran saya), maka saya ingin seperti dia yang saya kagumi itu: meraih Nobel Sastra! Pablo Neruda mendapat energi itu dari gurunya Gabriella Mistral, penyair Chile yang juga meraih Nobel. []

Wednesday, June 27, 2007

Televisitis

JANGAN matikan televisiku,
aku sedang menonton diriku.


Keterangan:
- televisitis = penyakit jiwa, semacam ketergantungan  yang ditimbulkan oleh kebiasaan atau kecanduan menonton televisi.

Friday, June 22, 2007

Di Lembarmu, Melingkas Namaku

BILA segala semakin mengasing, aku membuka
lembar-lembar tubuhmu, melingkas namaku,
memastikan yang kau serukan itu, sebenarnya
adalah benar-benar aku: benar-benar aku-Mu.

Keterangan:
- lingkas : melingkas -- mencari makna kata di dalam kamus. 

Siapa Menuisikan Embun di Dedaunan Itu?

ADA yang ingin menemuimu semalam, dia Penyair Malam.
Tapi siapakah yang 'kan sampai hati memandar engkau?

Ia pergi langkah-selangkah, menuisikan embun di dedaunan.


Keterangan:
1. tuisi : menuisi -- menulis puisi.
2. pandar : terpandar -- terkejut lantas terbangun atau tersadar dari tidur.

Saya Ingin Menciptakan Kata Saya Sendiri

Saya merasa kata-kata yang ada tidak cukup untuk puisi-puisi saya. Kemana saya mencari kata kata yang saya perlukan? Ke dalam kamus. Ternyata kamus juga tak menyediakan kata yang saya butuhkan itu. Sekarang, tak ada pilihan lagi, saya harus menciptakan kata sendiri.

Ya, saya harus menciptakan kata sendiri untuk keperluan puisi saya. Adakah larangan seseorang menciptakan kata sendiri? Tak ada. Baiklah, saya akan menciptakan kata yang saya perlukan, sejalan dengan puisi-puisi yang saya ciptakan, puisi yang membutuhkan kata itu. Baiklah, saya menyebut kata-kata yang akan saya ciptakan itu sebagai "cata". Calon kata. Ini kata pertama yang saya ciptakan dalam upaya menciptakan kata untuk puisi-puisi saya.

Saya memerlukan kata "tuisi". Maka saya ciptakan saja cata "tuisi", yang saya ciptakan dari frasa "tulis puisi". Itu kelak menjadi kata kerja. Jadi di puisi saya nanti, Tuan dan Puan akan menemukan kata "menuisi" yang artinya "menulis puisi", dan "dituisikan" yang berarti "dituliskan menjadi puisi".

Ya, saya tentu boleh berharap, kelak cata-cata yang saya ciptakan untuk puisi saya itu akan menjadi kata yang dipakai tidak hanya oleh saya, dan tidak hanya untuk puisi saya. Cata saya itu bila memang diperlukan, saya relakan menjadi kata yang saya sumbangkan untuk Bahasa Indonesia yang saya cintai. Saya kira itulah balas jasa saya atas bahasa negeri saya itu.

Kenapa saya tidak mengusulkannya ke lembaga resmi Balai Bahasa atau Pusat Bahasa? Ah, sudah ada ahli-ahli bahasa di sana, saya tak akan mengganggu kerja mereka. Tujuan saya yang utama sederhana saja, yaitu menyediakan kata untuk puisi saya.

Saya pun berharap kelak akan tersusun kamus cata-cata saya. Bila pun harapan-harapan saya itu tidak terkabul, setidaknya cata itu menjadi kata sekali dalam puisi yang saya ciptakan untuknya, puisi yang menjadi alasan saya untuk menciptakan cata itu sendiri.

21 Juni 2007
Hasan Aspahani




KUCING GARONG

Di jendela
dia melihat wajah kucing garong
besar sekali

Dia dengar meongnya mirip suaranya

Eh, rupanya dia  sedang berdiri
di depan cerminnya sendiri

SAKIT PUISI

Aku sedang sakit puisi
bibirku kering tak bisa menyebut namamu

Aku ingin kau menjenguk dan mengecupku
jangan kau lepas kecupan itu,
sebelum aku bisa membisikan sesuatu ke bibirmu


MAU PERGI KEMANA?

Mau pergi ke mana?
Buat apa kau tahu?

Supaya saya bisa menunggu
dan menyambutmu di sana.

PENA BULU ANGSA

 Aku belajar menulis namamu.

"Tak ada huruf yang cocok untuk
menuliskan namaku," katamu.

Baiklah, bolehkah aku jadi hurufmu?

Thursday, June 21, 2007

Re: Sebagaimana Aku Memanggilmu, Sayang

: dtr

Aku letih mengulur tangan ke bulan, kau gugurkan uban
Aku gigil yang dipelukkan hujan, kau lepas dekapan
Aku mabuk, aku kehilangan, menunggu Siapa menyeru itu

: Pintu, pintu, pulanglah, agar terbuka rumah Kita.


Tuesday, June 19, 2007

Bersastra dengan Asyik dan Santai

APA yang saya simpulkan dari tulisan Ahmadun Yosi Herfanda "Sastra Mutakhir dan Degragasi Peran Sastrawan" (Republika, 3 Juni 2007) adalah ketegangan. Redaktur sastra Republika itu mengutubkan banyak hal lalu memperlihatkan seakan ada tarik-menarik, atau tindih-menindih antara hal-hal yang ia pertentangkan itu.

Ahmadun mempertentangkan apa yang ia sebut fiksi seksual (yang sudah menampakkan tanda-tanda antiklimaks) dengan fiksi Islami (yang terus melahirkan karya best seller).
Ia menghadapkan ragam fiksi dengan puisi. (Eh, bukankah puisi itu fiksi juga, ya?). Mungkin maksud dia fiksi itu adalah prosa. Bukankah fiksi itu adalah lawan dari non-fiksi? Baiklah kita sebut prosa saja. Prosa kata Ahmadun selalu disambut pembicaraan yang cukup gegap gempita, sementara puisi adem-adem saja.

Ahmadun memposisikan para pengamat dan kritisi (maksudnya kritikus mungkin ya?) sebagai sekelompok orang yang tegang menunggu kejutan estetik dan tematik, menanti "pencapaian baru", untuk dipolemikkan dan diperbincangkan dengan seru. Atau sebaliknya, "pencapaian baru" itu sebenarnya ada tapi pengamat dan kritikusnya saja yang kurang jeli. Dengan kata lain, ini semacam ketegangan juga, yaitu menunggu seorang kritikus yang jeli amatannya, yang bisa menemukan dan membesarkan Chairil Anwar dan Taufiq Ismail baru.

Dan penyair, masih kita tafsirkan dari Ahmadun, adalah mereka yang berkarya untuk menarik perhatian para pengamat dan kritikus. Ia mencontohkan Binhad dengan puisi yang "bercitraan seputar selangkangan" yang hanya menghasilkan percikan sesaat.

Dan Joko Pinurbo? Aduh, Ahmadun mungkin tergolong pengamat yang tidak jeli itu. Ia secara mudah melihat Joko Pinurbo sebagai penyair yang bermain-main dengan citraan sederhana seputar sarung dan celana. Diakui Ahmadun Joko Pinurbo berhasil memperoleh perhatian dan menyegarkan kembali "tradisi sastra Indonesia".

Tapi, di mata Ahmadun, Joko Pinurbo (dan Ayu Utami dengan "fiksi seksual"-nya) juga menanggung dosa. Pencapaian keduanya, kata Ahmadun, makin menegaskan berakhirnya 'peran kepujanggaan' sastrawan, dan tidak lagi mengemban peran ideal, memberikan pencerahan dan mewariskan nilai-nilai luhur kepada masyarakat pembaca. Wah!

***

Saya kira, Ahmadun terlalu menyederhanakan persoalan. Bisa dimaklumi, karena ia menulis pengantar untuk sebuah diskusi. Saya tidak tahu seperti apa dikusi yang timbul setelah diantar oleh pengantar seperti itu. Anggaplah tanggapan saya ini adalah sambutan atas tawaran diskusi itu juga.

Penyair sekarang tidak lagi hanya menunggu perintah raja-raja untuk menuliskan sejarah kemenangan pasukan kerajaan dalam perang-perang penaklukan. Penyair sekarang tentu tidak menghadapi soal mencari jati diri bangsa seperti yang dihadapi oleh Amir Hamzah dan sastawan seangkatannya. Penyair sekarang tidak menghadapi sensur Jepang lewat Keimin Bunka Sidosho sebelum menyiarkan sajak-sajaknya. Penyair sekarang tidak lagi ramai-ramai menghambakan diri dan karya pada Revolusi alias politik yang dipanglimakan. Penyair sekarang tidak lagi menghadapi situasi refresif rezim dan lantas merasa menang lantas merayakan kemenangan itu dalam sajak-sajak.

Saya kira sejak angkatan yang disebut H.B Jassin sebagai Angkatan 66 tantangan terbesar penyair adalah mencari pengucapan, mencari tema sendiri-sendiri. Ini tantangan yang amat susah. Ini sebenarnya adalah ciri persajakan modern. Saya kira keberhasilan penyair saat ini adalah apabila tidak lagi terkurung pada keinginan melahirkan angkatan-angkatan, tidak mencocok-cocokkan karya dengan sebuah standar baku yang ditetapkan oleh sebuah kelompok atau gerakan estetika.

Saya kira peran "kepujanggaan" itu harus ditinjau lagi. Masyarakat tidak mencari keteladaan bukan hanya pada karya sastra. Banyak sekali pilihan. Dan apa boleh buat, sastra bukanlah pilihan utama. Tuntutan untuk berkarya dan dengan karya itu kemudian melahirkan pencerahan, mengingatkan pada nilai-nilai luhur, mestinya jangan jadi beban. Beban itu seringkali malah menjauhkan sastra dari masyarakat yang katanya ingin dicerahkan oleh sastra.
Ini zaman bebas. Yang mencemaskan adalah kita, para sastrawan ini, belum memanfaatkan kebebasan ini sebaik-baiknya, dan menghasilkan karya yang meminjam istilah Ahmadun "mengejutkan". Kenapa? Kita mungkin tak cukup bekerja dengan keras. Kita mungkin, meminjam sindiran Budi Darma, bersastra sepintas lalu saja. Jangan-jangan kita perlu semacam sensur yang ketat juga, agar "Chairil Anwar" masa kini menghasilkan sajak semacam "Diponegoro" yang menembus sensur Jepang dan terbit di surat kabar resmi "Asia Raya".
Saya tidak setuju ada sensur. Jika campur tangan dari luar sastra diperlukan, maka yang harus dicampuri adalah kesadaran sastrawan untuk memanfaatkan kebebasan ini sebesar-besarnya untuk menghasilkan karya besar. Masyarakat adalah pembaca yang dewasa dan punya logika sendiri dan tahu bagaimana bersikap terhadap karya.

Jika memang ingin membuat ketegangan, buatlah ketegangan kreatif. Jika memang ingin menindih "fiksi seksual" jangan memaki-maki, tapi gencarkan saja karya-karya lain yang "tidak seksual" yang mutunya lebih baik.

Selalulah, mengembalikan sastra ke ranah bahasa. Memang akhirnya selalu ada juga terseret hal ihwal moral, politik, dan lain-lain ketika bicara soal sastra. Saya kira tidak perlu dihindari. Tapi jangan terseret terlalu jauh oleh hal ihwal itu. Bila boleh mengingatkan, selalulah mengembalikan sastra ke ranah bahasa.

Bersastra saya kira perlu digiatkan dengan santai dan asyik. Agar apa? Agar makin banyak dan lebih banyak lahir peminat dan pelaku baru yang lebih kreatif dan punya energi baru melanjutkan para sastrawan tua yang sudah harus lebih banyak parkir saja. Dengan pemain baru yang lebih banyak, kita tentu boleh berharap lebih besar peluang untuk menghasilkan karya-karya yang "mengejutkan"! []



Monday, June 18, 2007

Dibanding dunia fiksi, lebih sulit untuk merumuskan perkembangan perpuisian Indonesia mutakhir, karena tidak adanya mainstream yang kuat. Yang lebih tampak pada perpuisian Indonesia mutakhir adalah keberagaman tema dan gaya pengucapan. Heterogenitas tema dan gaya itu tampak pada sajak-sajak yang dipublikasikan di surat kabar, majalah sastra, maupun buku-buku antologi puisi dan kumpulan sajak.

Ahmadun Yosi Herfanda
Petikan dari  pengantar untuk Sesi Diskusi Pesta Penyair Indonesia 2007, Sempena The 1st Medan International Poetry Gathering, di Taman Budaya Sumatera Utara, Medan, 26 Mei 2007.


Sepinya perbincangan ataupun polemik tentang puisi, bisa jadi karena secara estetik maupun tematik tidak ada 'pencapaian baru' yang mengejutkan dan mampu menghentak perhatian para pengamat dan kritisi sastra. Para pengamat atau kritisi sastra masih melihat sajak-sajak yang bertebar itu hanya memiliki kualitas estetik yang rata-rata, atau standar layak muat di media massa saja, dengan tema-tema yang cenderung stereotype. Alias, tidak ada 'kejutan estetik' baru, yang menonjol di antara ribuan sajak yang dipublikasikan itu.

Petikan dari:
Sastra Mutakhir dan Degradasi Peran Sastrawan
Ahmadun Yosi Herfanda
Redaktur sastra Republika



Sunday, June 17, 2007

Ia Membaca Kopi, Ia Menyeruput Puisi

DIA terbawa ke lorong waktu yang bercabang di pukul 00:00
selorong terus ke pagi, selorong masuk ke yang lebih malam.

TAHUKAH kau malam yang lebih malam? Ialah waktu yang
mengelupas kulit bumi, lantas lembaran itu melesat lurus,
menjauh dari duduk matahari. Meninggalkan planet terkoyak.

DIA masih berdiri saja di simpang cabang. Jam 00:00 waktu itu.

PAGI sebenarnya begitu sederhana. Ia tinggal pergi selangkah.
Mengikut arah menuju ke cakrawala merekahkan surya merah.

DIA bayangkan sebuah beranda dibentangkan. Dia bayangkan
semangkuk kopi dan sekolom puisi yang ia baca dan ia seruput
berganti. Ia masih juga bertahan di sana, di jam 00:00 waktu itu.

[Ruang Renung # 215] Ihwal Kepengarangan dan Manfaat Kritik Asrul Sani

INI tulisan ihwal sikap kepengarangan dan manfaat kritik. Asrul Sani menulis di Siasat, 4 Oktober 1953. Saya membaca tulisan itu dan menyarikannya dari bukunya yang tebal "Surat-surat Kepercayaan", yang merangkum tulisan-tulisannya. Dari pengarang-pengarang terdahulu, kita sebenarnya mendapat banyak bahan untuk bersikap arif. Kita harus lebih banyak membaca karya-karya mereka. Sekali lagi, ini tulisan tentang sikap pengarang dan manfaat kritik, silakan merenungkan.

1. Menulis tentang kesusasteraan ialah menulis perihal derita, kegembiraan, kepahitan, dan kemanisan yang telah dialami, pengalaman yang telah jadi kesadaran dan kemudian beroleh bentuk dalam kata yang membentuk kalimat dan kalimat yang menjadikan karangan.

2. Kita tidak akan dapat menulis tentang kesusasteraan jika pengarang-pengarang menyelesaikan deritanya dengan sebuah keluh atau ia berurai air mata ataupun mengepalkan tinju. Karena bagaimana murni pun perasaan yang menjadi sumber air mata itu, ia tak akan lebih dari air mata biasa: belum kesusasteraan.

3. Setiap puisi terdiri dari kata, kata yang liar dan kasar, kemudian dijinakkan oleh penyair dan dipatuhkannya kepada kehendaknya.

4. Pengarang baru jadi penting kalau ia mengarang. Jika pekerjaan ini tidak ia lakukan, maka tidaklah ia mencampuri kehidupan orang lain, dan karena itu tidak akan kita campuri.

5. Jika orang menulis perihal kesusasteraan, maka orang dapat menulis untuk dua golongan: untung pengarangnya, dan untuk orang banyak. Untuk pengarang, karena ia dengan tulisannya telah mencampuri kehidupan kita. Dan karena itu, kita menyatakan kepadanya apakah ia telah berlaku sewajarnya, apakah ia jujur, apakah betul dasar kenyataan yang ia kemukakan.

6. Orang banyak itu penting, sebab sebuah karangan belum lagi mencapai tujuannya jika ia baru berbentuk buku belum dibaca. Setiap hasil seni mengandung "beban", dan "bebam" ini dikandungkan untuk dikeluarkan kembali oleh pembaca, dengan cara membaca karangan tersebut.

7. Mengeluarkan isi atau beban hasil seni adalah rahmat karena di dalamnya terkandung keterharuan dan kenikmatan. Ia adalah "nafkah" yang kita dapat waktu kita membaca buku.

8. Kritik kesusasteraan dibenarkan hak hidupnya sebab ia tidak saja menyatakan dan menyebarkan kesusasteraan yang telah dibuat itu, tapi lebih-lebih karena ia adalah semacam pasukan-pasukan yang termaju ke depan yang akan membebaskan daerah-daerah baru bagi kita dan dengan demikian mempertinggi nafkah kita waktu membaca hasil kesusateraan.

9. Majalah-majalah kesusasteraan baru dapat dihalalkan kehidupannya, jika ia mempunyai kecondongan-kecondongan seperti yang dilakukan oleh pasukan-pasukan terkemuka ini. Ia membantu orang banyak membentuk kesusasteraan.[]

Friday, June 15, 2007

Beberapa Kata yang belum Dikamuskan
& Beberapa Kata yang Minta Dibebaskan



APAKAH tugasmu sebenarnya, Tuan Penyair?

Penyair harus teliti membedakan mana kata
yang berjuang sungguh-sungguh menjalankan
tugas sebagai kata, mana kata gadungan yang
hanya ingin tampil bergaya-gaya sebagai kata.

APAKAH tugasmu sebenarnya, Tuan Penyair?

Penyair harus jago membujuk dan mengajak
bermain kata-kata yang belum dikamuskan
agar betah bertahan lama di dalam baris-baris
sajak, dan menyelinap untuk menghasut serta
menolong kata yang ingin sekali dibebaskan
dari belenggu kamus lalu membangun tempat
persembunyian yang nyaman di bait-bait sajak.

APAKAH tugasmu sebenarnya, Tuan Penyair?

Penyair harus terus-menerus berusaha menyusun
kamus-gaibnya sendiri, kamus yang lemanya adalah
sajak-sajak; setiap saat kamus itu ia-tinjau-dan-
ia-ragukan, dan lemanya boleh ia-ganti-ia-perbaiki.

Wednesday, June 13, 2007

[Kelas Puisi] Syair Melayu

Raja Ali Haji menjelaskan kesempurnaan syair Melayu itu ditentukan oleh tiga perkara. 1. Cukup timbangannya; 2. betul sajaknya; 3. tidak cacat dan janggal karena berulang-ulang.

1. Timbangan Syair: Syair Melayu tamam atau sempurna sajaknya empat misra atau dua baris. Misra berarti "daun pintu" adalah istilah untuk separuh baris syair. Dahulu, syair ditulis dua baris. Tiap baris terdiri dari dua misra. Diibaratkan empat keping tudung pintu. Tiap-tiap misra terdiri dari empat kata. "Empat ditimbang empat," kata Raja Ali Haji. Kata itu bisa kata benda, kata kerja atau kata sifat. Jadi satu bait syair terdiri dari enambelas kata. Kata sambung, kata depan kata, kata bantu laiinya kadang-kadang tidak dihitung sebagai kata yang berdiri sendiri, dan dianggap menjadi bagian dari kata yang mengikutinya.

Contoh 1:
dengarkan tuan suatu rencana * dikarang fakir dagang yang hina
barangkali ada yang kurang kena * tuan betulkan jadi sempurna

"yang hina" dan "yang kurang" dianggap satu kata.

2. Persajakan: Sajak adalah bunyi atau huruf yang jatuh pada akhir tiap-tiap misra. Ada dua jenis sajak. Yang pertama adalah sajak yang "terlebih bagus".

Contoh 2:
dengarkan encik dengarkan tuan * dengarkan saudara muda bangsawan
nafsu dan hawa hendaklah lawan * supaya jangan kita tertawan

Bunyi bersajak pada kata "tuan", "bangsawan", "lawan", "tertawan" adalah persajakan yang sempurnya dan tergolong pada kelas yang "terlebih bagus".

Contoh 3:
ayuhai saudaraku yang pilihan * menuntut ilmu janganlah segan
jika tiada ilmu di badan * seperti binatang di dalam hutan

Perhatikan bunyi sajak pada kata "pilihan", "segan", "badan", dan "hutan". Keempatnya sama-sama berakhir dengan bunyi "..an" tetapi keempatnya berbeda pada konsonan yang mendahului bunyi "..an" itu, yaitu "...han", "...gan", "...dan" dan "...tan". Bandingkan dengan syair pada contoh 1. Inilah yang digolongkan oleh Raja Ali Haji sebagai persajakan yang, "kurang sedikit bagusnya, tapi betul juga sajaknya."

3. Syair Cacat: Ada tiga cacat pada syair. Pertama, cacat pada timbangannya, yaitu jumlah katanya lebih dari empat. Kedua, cacat karena mengulang-ulang kata yang sama demi mendapatkan sajak di akhir baris. Ketiga, cacat pada maksud, kata-kata di dalam empat baris itu berlainan mahfumnya, "jadi tiada berketahuan," tulis Raja Ali Haji.

[Sumber bacaan: "Timbangan Syair" lampiran surat Raja Ali Haji kepada Van de Wall bertanggal 21 Juni 1858.]

[Ruang Renung # 214] Penyair?

Saya kira ada dua jenis kata bentukan. Kata benda yang dibentuk dari kata dasar berupa kata kerja. Dan kata kerja yang dibentuk dari kata dasar berupa kata benda. Dengan membedakan kedua jenis kata bentukan itu, saya kira kita bisa menentukan sikap terhadap kata-kata itu.

Kata jenis kedua misalnya "mengapak" dan "kapak". "Kapak" adalah kata dasar asli. Dari kata dasar "kapak" itu kita bisa membentuk kata kerja "mengapak", yang bisa berarti membelah kayu dengan kapak, menebang pohon dengan kapak, atau membunuh orang dengan kapak. Dari kata "kapak" kita bisa pula membentuk kata "pengapak", meskipun ini tidak lazim. Lebih lazim kita menemukan kata "pembelah kayu", atau "penebang pohon", meskipun tidak selalu penebang pohon dan pembelah kayu itu menggunakan kapak.

Bagaimana dengan "penyair"? Ini adalah kata benda bentukan, bukan kata dasar. Kata dasarnya "syair". Bahasa Indonesia punya kata dasar yang bisa juga berarti "orang yang menulis syair". Yaitu "pujangga". Tetapi kata ini maknanya lebih luas daripada "penyair". "Pujangga" sepadan dengan "sastrawan" yang tentu saja bisa berarti penulis puisi, penulis cerita pendek, atau penulis novel atau roman. Sekarang kata "pujangga" jarang dipakai, nyaris menjadi kata yang arkaik: ada, pernah dipakai, tapi kini tak lazim lagi digunakan. Kita nyaman menggunakannya untuk menyebut nama-nama penulis lama saja.

Bagaimana dengan puisi? Nah, ini lebih seru lagi. Kita bahkan tidak lazim membentuk kata pemuisi, meskipun secara tata bahasa itu memungkinkan. Kalau dilacak lagi, kata puisi itu berasal bahasa bahasa Yunani "poesis", berarti "pembuatan" atau "penciptaan". Puisi yang telah nyaman dan sentosa menjadi anggota keluarga kosa kata Bahasa Indonesia itu diambil dari bahasa Inggris Bahasa Inggris "poetry" yang hulunya ya Bahasa Yunani tadi. Tetapi, sementara Bahasa Inggris menyadap kata "poet" yang juga berasal dari kata Yunani tadi, Bahasa Indonesia tidak. Jadi satu-satunya yang bisa kita harapkan adalah kata bentukan "penyair" tadi.

Ya, kita kembali ke "syair". Ini berasal dari Bahasa Arab, yang konon artinya "samar". Jangan bandingkan Tata Bahasa Indonesia dengan Tata bahasa Arab yang luar biasa lincah itu. Dalam Bahasa Arab, sebuah kata misalnya "kataba" yang artinya "membaca" bisa dibentuk sejumlah kata lain (tanpa tambahan awalan dan akhiran). Dari kata "kataba" itu terbentuk kata "kitabun" yang artinya "yang dibaca" atau "kitab" atau "buku" dalam bahasa Indonesia. Dari "kataba" juga terbentuk kata "maktabun" yang berarti "tempat membaca" atau meja dalam bahasa Indonesia, atau "katibun" atau orang yang membaca.

Ah, kita main di Bahasa Indonesia sajalah. Kata "penyair" dibentuk dari kata "syair". Tidak ada kata bentukan "penyair" kalau tidak ada kata dasar "syair". Kata "penyair" berhutang pada kata "syair". Bisa juga kita sebutkan bahwa mestinya tidak ada "penyair" kalau tidak ada "syair". Seseorang tidak pantas menyebut dirinya penyair atau meminta disebut penyair atau menerima sebutan penyair kalau tidak sebaris syair dan sajak pun pernah ia tuliskan. Itulah hakikatnya.

Masalahnya adalah apakah "syair" itu? Apakah "puisi" itu? Apakah semua yang diniatkan ditulis sebagai syair itu adalah "syair" yang mengantar penulisnya kepada sebutan "penyair"? Seperti biasa, Ini bahasannya bisa lebih panjang dan lebih ramai lagi, dan biasanya hanya akan berujung pada debat yang menjemukan dan menguras energi bila tidak diiringi dengan tulus, wawasan luas, dan kecintaan dan perhatian yang dalam kepada "syair" dan "puisi" itu sendiri.

Sementara itu, kita tengoklah saja dahulu pada proses pembentukan kata tadi. Yang penting di sini adalah "menyair" itu, yang penting di sini adalah "syair" itu. Seperti seorang pekerja dengan kapaknya. Yang penting adalah kayu yang terbelah, atau pohon yang tumbang ditebang. Pedulikah dia pada sebutan "penebang pohon"? Atau "pembelah kayu?" Tidak. Kalau pun ada yang menyebutnya dengan sebutan itu, dia toh tidak harus terbebani. Dia toh tidak harus enggan mengayuh dayung dengan alasan "lho, saya ini penebang pohon, bukan pendayung perahu!"

Apalah artinya sebutan. Apatah artinya gelar. Lantas, bagaimana kalau ada orang yang menulis syair atau puisi tetapi menyebut diri "bukan penyair"? Boleh-boleh saja. Asalkan itu jangan jadi alasan untuk menghindar dari tanggung jawab. Misalnya, seorang yang sedang membelah kayu tidak boleh membelah kayu asal-asal dengan dalih, "saya ini kan tidak mau disebut pembelah kayu!" Ketika ia memegang ia memegang kapak maka dia seharus tahu bagaimana cara memegang kapak yang baik, bagaimana mengayun kapak dengan baik, bagaimana memilih di bagian mana dari kayu yang dibelah itu mata kapak harus dijatuhkan, dan dia harus tahu ukuran yang pas dari sepotong kayu bakar agar mudah terbakar di tungku perapian.

Saya tidak mendengar dari penyair lain kecuali Sutardji Calzoum Bachri dalam "Pengantar Kapak"-nya. Dia bilang kurang lebih begini, seorang penyair boleh meninggalkan kepenyairannya kapan saja. Ia tidak harus menyair sampai mati. Tapi ketika dia menyair, maka dia harus menyair dengan sungguh-sungguh, dia harus mengerahkan seluruh perhatiannya pada syair yang ia tulis.[]

Saya penasaran:
1. Sejak kapan kata puisi dipakai dalam Bahasa Indonesia?
2. Siapakah yang pertama kali menerbitkan buku puisi pertama di Indonesia?
3. Buku puisi siapakah yang paling tebal yang pernah terbit di Indonesia?

Tamasya dari Alis Mati ke Alas Mata

BEGITU berat. Takbir yang kau angkat. Seperti magrib pertama
muallaf yang terantuk. Di saf terjauh. Mengejar batas masbuk.

Tiap ayat kau beri sebuah angguk. Kau pun khusuk menunduk.
Di karpet lapuk. Pemeluk yang takluk. Remang menepuk pelupuk.

*

AKU seperti mendengar khatib di mimbar itu berwasiat tentang
sebuah tamasya keluarga. Kita. Dari alis mati ke alas mata.

"Kita akan bertemu di surga, bukan?" Aku tak tahu siapa yang kau
harap akan menjawabnya. Mungkin ya. Ketika waktu dikosongkan
dan sejak saat itu kalender pun abadi. Kalender tak berangka lagi.

Monday, June 11, 2007

Sekali Lagi Ia Menyelaraskan Senar-senar Gitarnya

SEBUAH lagu tak bisa selesai aku nyanyikan. Perahu bimbang
membawamu berdayung ke balik tanjung. Tak ada gelombang.

Tak ada gelombang. Memang. Aku bertiang pasir. Sunyi diam-diam
menghantam. Kukira dadaku kini pun berisi pasir. Sedetik sebutir.

Sedetik sebutir. Batu membongkah kering. Merebak. Aroma kutuk.
Yang kunyanyikan tadi: lagu-badai-lagu-hujan. Semacam ramalan.

Semacam ramalan. Tapi, aku masih terperanjat, ketika dari langit
ada yang menitik. Melintas lekas kawanan itik liar. Konser rintik.

Konser rintik. Dan datang lagi perahu. "Pelayaran terakhir hari
ini," kata juru dayung. Aku melihat sudah ada seorang penumpang.

Seorang penumpang. Ia tersenyum ke wajah cakrawala. Menyenja.
Kulihat lagi. Sekali lagi, ia menyelaraskan senar-senar gitarnya.






[Kelas Puisi] Syair

Syair: Puisi yang umumnya dibacakan secara lisan untuk mengisahkan suatu cerita, lazimnya panjang. Syair lebih mementingkan apa yang dikatakan, dan tak lagi berurusan dengan bagaimana hal itu dikatakan. Cara itu, bentuk itu, sudah tersedia. Puisi ini juga terutama hidup dalam suasana kesusasteraan lisan: bunyi pun punya fungsi instrumental, untuk memudahkan ingatan, dan karena itu musikalitas syair, seperti jumlah kata dalam suatu baris bukanlah sesuatu yang tak terduga-duga.

[Dari "Trisno Sumardjo, Puisi Modern dan Horatio", dalam buku Goenawan Mohamad "Setelah Revolusi Tak Ada Lagi".]

[Ruang Renung # 212] Puisi dan Hasrat untuk Abadi

Mengapa menulis puisi? Salah satu jawaban yang bisa diberikan adalah karena manusia fana, dan manusia berhasrat untuk meninggalkan sesuatu berharga dan abadi. Sesuatu yang tetap ada sampai kelak manusia itu direnggut maut. Hasrat untuk hidup seribu tahun lagi, seperti kita baca dalam bait Chairil Anwar. Ilusi untuk memberi harga pada tanah liat berbentuk poci, sesuatu yang kelak retak, dan kita membuatnya abadi, seperti kita baca dalam bait Goenawan Mohamad.

Subagio Sastrowardoyo ada menguraikan hasrat itu lebih tajam lagi. "Seniman," katanya dalam tulisan penutup kumpulan puisinya 'Keroncong Motinggo' (1992), "hendak menciptakan nilai-nilai seni yang kekal yang sanggup bertahan menghadapi pertimbangan-pertimbangan estetik yang berubah-ubah menurut perbedaan waktu."

Pada Subagio hasrat pada keabadian itu sekaligus menjadi tantangan. Sajak-sajak terbaik dari penyair-penyair hebat telah menjawab tantangan itu. Sebagian besar sajak-sajak Chairil sampai kini, dan saya berani bertaruh hingga sampai kapan pun, akan tetap bernilai tinggi. Ketika Chairil menuliskan sajak-sajaknya, para peninjau kala itu sudah merasakan bahwa bahasa sajaknya itulah kelak yang akan menjadi model dan tenaga bahasa Indonesia.[]



[Ruang Renung # 213] Menyegarkan Bahasa dan Berbagi Renungan

Dari Penyair Sapardi Djoko Damono kita bisa dapat kearifan dan sekaligus peringatan ini. Dalam wawancara dengan Koran Tempo, 5 Mei 2002, ia meyakinkan kita bahwa puisi itu sebenarnya sederhana sekali. Sapardi menyebutkan dua hal yang saya kira keduanya bergandeng erat. Pertama, sajak berjasa menyegarkan bahasa karena bahasa kita sehari-hari sudah lecek. Kedua, lewat sajak seorang penyair itu bisa mengajak orang lain untuk merenungkan sesuatu dan bukan mencari jawaban.

Kita mungkin bisa dengan mudah menerima apa yang ia katakan pada bagian dua. Tapi soal menyegarkan bahasa? Bukankah sekarang bahasa kita menjadi semarak, segar, lucu, menggemaskan di tangan para penulis naskah iklan, dan kalangan penggagas dan pemakai setia bahasa gaul? Sekarang mungkin kita bisa melihat bahwa tugas untuk menyegarkan bahasa itu bukan hanya ada di tangan penyair dan tidak hanya lewat puisi. 

Bila puisi kita sekarang justru merumitkan bahasa, maka saya kira itulah "kegagalan" sajak kita kini.

Kita lupa bahwa dalam berpuisi kita punya tugas untuk menyegarkan bahasa itu. Puisi kita justru melecekkan bahasa sehari-hari yang sudah lecek. Kita mungkin terlalu asyik menawarkan atau seringkali bahkan menjejalkan hasil renungan-renungan kita di dalam puisi-puisi kita. Sebaliknya hasrat untuk menawarkan kesegaran baru dalam puisi, tanpa diisi dengan butir-butir bernas renungan hasil penghayatan atas kehidupan, hanya akan membawa pada jargon-jargon kosong, atau renungan-renungan dangkal dan sok bijak.

Ingat, kita hanya berbagi renungan. Atau mengajak pembaca untuk merenungkan hal yang sama. Kita tidak memaksakan jawaban. Ingat pula, seraya itu kita punya tugas menghadirkan kesegaran-kesegaran bahasa dalam puisi kita. []

Sunday, June 10, 2007

[Ruang Renung # 211] Dia yang Tahu Diri, Dia yang Percaya Diri

Chairil Anwar, penyair besar itu pun meminta pendapat orang lain atas karyanya. Saya kira justru karena itu pulalah, maka dia menjadi besar. Tidak sekedar minta pendapat, dia mempertimbangkan penilaian orang lain itu.

Kenapa ia tak banyak menulis satu sajak "keperwiraan" sejenis "Diponegoro"? Sajak-nya yang menurut saya lumayan tinggi tingkat percobaannya dibandingkan sajak lain? Padahal itu tahun-tahun yang penuh gelora perjuangan membentuk sebuah negeri yang bebas merdeka? Karena, "menurut oom-ku, sajak itu pun tidak baik!" demikian tulisnya dalam sebuah surat, seakan ia mengadu kepada Jassin, sahabatnya.

Pada surat yang sama, tepatnya pada kartu pos bertanggal 10 Maret 1944, ia pun sadar bahwa bila ingin yakin bahwa sajak yang ia tulis adalah sajak yang baik, maka sajak itu harus dilewatkan pada kritik yang tajam. "...dengan kritik yang agak tajam sedikit, hanya beberapa sajak saja yang bisa melewati timbangan." Hanya beberapa sajak! Bila dihitung sejak "Nisan" 1942, hingga kartu pos itu ditulis, Chairil baru menulis 35 sajak!

Sajak "Diponegoro" bertanggal Februari 1943, dan surat itu ia tulis Maret 1944. Jadi lebih dari setahun setelah ia menulis sajak itu, ia masih juga memberi perhatian pada apa yang ia tulis.

Chairil pun terus mengukur diri. "Meneropong jiwa sendiri," katanya. Ia menilai sendiri sajak-sajak yang ia tulis. Dan ia saya kira penyair yang tahu diri, tapi bukan penyair yang tak percaya diri, ketika masih di surat eh kartu pos yang sama menulis "....dari sajak-sajak bermula hingga penghabisan belum ada garis nyata lagi yang bisa dipegang". Ia memberi garis bawah pada enam kata terakhir itu: garis nyata lagi yang bisa dipegang.

Agar bisa membuat garis nyata yang bisa dipegang dalam sajak-sajak kita, mungkin kita perlu belajar tahu diri, seperti Chairil, yang seraya itu dengan angkuh mengukuhkan tekad untuk mengorek-menggali tiap kata hingga ke intinya.

Yang Terlintas Setelah Melepas Sepatu

LALU kaki kiri dan kaki kanan itu bersahut pandang.

Mereka seperti ingin banyak bertukar kisah tentang
jerit-sakit dan keluh-aduh selama tamasya yang jauh.

Mereka ingat pada sepatu yang dilepas dan ditinggal
di tangga dan ingin sepatu itu mendengar cerita mereka.

Sementara itu di sebuah lebak pada jalan mendaki itu,
buah pohon hutan itu menduga-duga, "siapakah kaki
bersepatu yang tadi iseng menyepak-nyepak saya?"

Ada Sesuatu Jassin di Sebuah Buku Lama

KENAPA selalu ada yang menulis sajak di suatu zaman, Tuan?

Aku disergap derap kaki sebarisan heiho. Dan teriak kenpeitai.
Jalan-jalan malam yang digelapkan. Lantas sepi dihantam sepi.

Bertindihan. Keinginan. Rapat-rapat mempersiapkan kemerdekaan.
Pidato radio. Dan hidup penyair: yang dibentak & yang membentak.
Lantas tahu, tangan tak bisa selamanya mengacung---mengepal.

Kenapa selalu ada sajak yang dituliskan di suatu zaman, Tuan?

Saturday, June 9, 2007

Ia Ingin Hujan Ini Turun Lebih Lama Lagi

IA berdiri di setengah lembah. Di samping ransel. Dan
ranum hujan pada momentum yang tak pas. Kabut napas.

ADA perempuan berambut basah. Bermata matahari cerah.
Menawari singgah. Di tangannya payung merah. Merekah.

"Hujan ini ternyata tidak salah," katanya, dan ia ingin
hujan turun lebih lama lagi. "Agar dari cahaya matamu bisa
kuulurkan pelangi: titian tujuh warna, ke tangga rumah."






Friday, June 8, 2007

Sebuah Esei Belum Selesai Dibaca

IA memastikan duduk kacamata, lalu meniarapkan buku itu.

Sebuah esei belum selesai dibaca. Ada saja yang tersangkut
pada jarum jam. Kaburlah angka-angka yang seperti waktu itu.

Ia ingat pada subuh. Ia ingat pada lonceng sepeda. Dan lagu
bocah penjaja kue keliling. Jerit knalpot kendaraan. Bersahutan.

Ia melepaskan kacamata. Lalu ia tindihkan pada buku tebal itu.





Sebuah Sajak tentang Judul Sepuluh Calon Sajak

1. Sekali Lagi, Ia Menyelaraskan Senar-senar Gitarnya
2. Ada Yang Terlintas Setelah Melepas Sepatu
3. Sebuah Tamasya dari Alis Mati ke Alas Mata
4. Ada Beberapa Kata yang Ingin Dikamuskan,
dan Beberapa Kata Lain Ingin Dibebaskan

5. Ia Ingin Hujan Ini Turun Lebih Lama Lagi

6. Seperti Berita Panjang dari Reporter yang Tidak Pulang
7. Pada Sebuah Buku Notes yang Tebal Sekali
8. Ia Membaca Kopi, Ia Menyeruput Puisi
9. Ada Sesuatu Jassin di Sebuah Buku Lama
10. Apa Ini? Oh, Cuma Sertifikat dan Tagihan Pajak!

Saya meniru Joko Pinurbo yang mengumumkan judul-judul calon sajaknya. Ini sekalian juga menjadi pekerjaan rumah buat saya, agar terus menulis sajak. Beberapa judul langsung saya tautkan ke sajak yang sudah saya tuliskan. Beberapa judul berubah mengikuti perkembangan sajak yang dihasilkan. Semacam perubahan kecil-kecilan.

Untuk Seorang Anak yang Berulang Tahun ke-4

IA seorang ayah, Nak. Ia sedang berlatih menyusun kalimat
sederhana, dengan sebuah kata 'jauh', agar nanti, ketika
ia harus menyebutkan kalimat itu, ia tak ditumbuk sepi.

IA seorang ayah, Nak. Ia sedang mencari arti kata 'pergi'
dalam sebuah kamus besar. Tapi, ia tak puas pada semua
lema yang ia temui di kamus itu. "Sepertinya harus kutambah
sebuah uraian atau mesti kubangun sebuah kamus sendiri."

IA seorang ayah, Nak. Ia sedang mencipta sebuah kata,
yang kelak bisa dengan gagah diucapkan oleh anaknya
ketika berkisah tentang dia, dan juga dengan bangga
diucapkan olehnya ketika bercerita tentang anaknya.

Thursday, June 7, 2007

[Ruang Renung # 210] Yang Memancar Dari Sajak

Sutan Takdir Alisjahbana meyakini bahwa puisi hanya dapat dipahami apabila ia kita pandang sebagai pancaran masyarakat. Ia menghimpun sajak dan mengumpulkan sejumlah penanda yang meyakinkan bahwa sajak-sajak lama bisa dianggap sebagai pancaran masyarakat lama, demikian pula puisi baru dapat dipahamkan apabila ia kita pandang sebagai pancaran masyarakat baru.

Sajak adalah pancaran masyarakat? Pasti ada benarnya. Dan tugas memancarkan apa yang ada dalam masyarakat itu bukan hanya diemban oleh sajak. Memahami sajak bisa dilakukan lewat pemahaman atas masyarakat di mana si penyair yang menuliskan sajak itu berada, pun sebaliknya, lewat sajak ada bagian dari suatu masyarakat bisa diteroka. Tapi, saat menulis sajak janganlah dibebani oleh tugas memancarkan itu.


[Jejak Penyair # 002] Pablo Neruda (1904-1973)

NEFTALI Eliezer Ricardo Reyes Basoalto. Siapa itu? Dia orang Cile. Iya siapa? Pemain bola? Bukan, penyair. Penyair? Ya, tapi dia jauh lebih populer dengan nama samaran yang kemudian menjadi nama resminya: Pablo Neruda. Pablo? Neruda? Apanya Pablo Picasso? Ya, ya. Baiklah. Baiklah. Mari kita bicarakan dia, supaya jelas, bahwa dia memang layak dibicarakan. Buru-buru harus disebutkan dia adalah pemenang hadiah Nobel Sastra 1971.

Masa Kecil
Ia lahir di Kota Parral, 300 km di selatan Santiago, 12 Juli 1904. Kota kecil ini dikelilingi lahan subur perkebunan anggur. Ayahnya Jose del Carmen Reyes Morales adalah mandor dinas perkeretaapian yang penghasilannya pas-pasan. Ibunya Rosa Neftali Basoalto Opazo, seorang guru. Ibunya meninggal akibat penyakit tuberkulosa dua bulan setelah melahirkannya. Neruda muda dipanggil "Neftalí", nama almarhumah ibunya.

Tahun 1906 ayahnya membawanya pindah ke selatan Cile, tepatnya ke kota Temuco. Di sana ayahnya menikahi Trinidad Candia Marvedre, seorang perempuan yang sembilan tahun sebelumnya melahirkan anak untuknya, anak lelaki bernama Rodolfo. Ia juga hidup dengan saudara tirinya, Laura, anak ayahnya dari perempuan lain. Di kota inilah ia menghabiskan masa kecil hingga remaja.

Temuco adalah kota yang dikepung hutan lebat dan gunung berapi. Sebuah wilayah dengan keindahan alam yang memukau Neruda cilik kala itu. Kelak dalam pidato Nobelnya Neruda menyebut lagi kenangan itu.

Minatnya dalam tulis-menulis dan sastra ditentang ayahnya, namun ia mendapatkan dorongan dari orang lain, termasuk Gabriela Mistral, kepala sekolah tempatnya belajar yang juga kelak mendapatkan Hadiah Nobel.

Mulai Menulis
Neruda mulai menulis puisi pada usia yang sangat belia: sepuluh tahun. Dan pada usia 13 dengan puisi di tangan, ia mengetuk ruang kerja ibu kepala sekolahnya untuk kembali tiga jam kemudian kembali untuk mendapatkan catatan atas puisi-puisinya.

Neruda cilik bukanlah murid yang bodoh tapi ia murid yang acuh tak acuh pada pelajaran. Semuda itu ia sudah peduli pada kondisi buruk orang-orang miskin di kotanya, atau asyik memperhatikan binatang dan serangga. Ia bahkan pernah merawat angsa yang luka tiga minggu hingga unggas itu mati di pelukannya. Sesekali Neruda kecil juga ikut ayahnya bekerja. Dia tersentuh dengan kehidupan kaum miskin dan itu juga kelak menjadi ilham bagi sajak-sajaknya.

Puisi Pertama
Pada usia 13 tahun pula, tahun 1917 artikel pertamanya "Entusiasmo y Persecerancia" ("Antusiasme dan Kegigihan") di harian La Manana. Puisinya “Mis ojos”, terbit tahun 1918 di Corre-Vuela. Pada tahun 1920, dia pun menjadi kontributor prosa, puisi dan laporan jurnalistik untuk jurnal sastra "Selva Austral" dengan nama pena Pablo Neruda. Nama itu dipungutnya dari penyair Ceko Jan Neruda (1834-1891).

Nama Pablo Neruda ia pakai dengan setengah alasan sebagai penghormatan atas penyair itu dan separonya lagi agar tak pecah tengkar dengan ayahnya yang tetap tidak menyukai cita-citanya menjadi penyair. 20 tahun kemudian, pada tahun 1946, nama Pablo Neruda ia jadikan nama resminya.

Nama boleh ambil dari Ceko tapi selera puisi Neruda lebih terpukau pada Amerika. Ia adalah pengagum dan peminat sajak-sajak penyair besar Amerika Walt Whitman. Potret penyair itu dibingkai dan terpajang di meja belajarnya. Juga dibingkai di lantai dua salah satu rumah besarnya yang kelak dibuka sebagai museum. “Ayahnya ya?” kata tukang saat memasang foto besar Whitman. “Ya, ayah dalam puisi,” jawab Neruda.

"Saya - penyair yang menulis dalam bahasa Spanyol - lebih banyak belajar dari Whitman daripada Cervantes," kata Neruda dalam satu kunjungan ke Amerika di tahun 1972.

Pada tahun berikutnya (1921), Neruda pindah ke Santiago untuk belajar bahasa Prancis di Universidad de Chile dengan maksud menjadi guru, namun ia segera menghabiskan waktunya sepenuhnya untuk menulis puisi.

Buku Puisi Pertama
Puisi-puisinya awalnya bisa dibaca di buku puisi pertamanya "Crepusculario" ("Buku Senja"), 1923. Ini buku yang terbit setelah ia menjual semua barang berharga miliknya yang bisa dijual.

Tahun berikutnya, 1924, Neruda menerbitkan buku "Viente Poemas de Amor y Una Cancion Desesperada" (“Duapuluh Sajak Cinta dan Satu Nyanyian Putus Harapan”). Inilah buku yang melambungkan namanya, hingga kini diterjemahkan ke berbagai bahasa dan terjual berjuta-juta kopi, dan buku itulah yang paling identik dengan kepenyairannya. Mendadak Pablo Neruda jadi pesohor. Tapi waktu itu ia tetaplah seorang penyair miskin.

Menjadi Konsul
Kemashuran Neruda makin berkembang di dalam maupun di luar Cile. Pada 1927, pada usia 23, karena didera putus asa, tersohor tapi kere, ia mau saja menerima jabatan sebagai konsul kehormatan di Rangoon, yang saat itu merupakan bagian dari kolonial Burma, tempat yang belum pernah didengarnya sebelumnya. Neruda kemudian berpindah-pindah Negara dari Kolombo (Sri Lanka), Indonesia – tepatnya di Batavia - yang kala itu masih wilayah kolonial Belanda, dan Singapura.

Di Batavia ia bertemu dan menikahi istrinya yang pertama, seorang Belanda pegawai bank bertubuh jangkung, bernama Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzang.

Selama masa berpindah-pindah itu dia bereksperimen dengan sajak-sajak surealistik yang terbit dalam jilid pertama buku dua jilid "Residencia en La Tierra" (Menetap di Negeri), 1933, yang menandai sebuah terobosan dalam bahasa puisinya. Selama itu pula ia terus menulis di sejumlah majalah sastra dan majalah umum lainnya, di antaranya La Nacio, El Sol, dan Revista de Occidente. Dia pun mulai menjadi editor di majalah sastra Caballo Verde para la Poesia.

Bersahabat dengan Lorca
Kembali ke Cile, Neruda mendapatkan pos diplomatik di Buenos Aires dan kemudian di Barcelona, Spanyol. Ia menggantikan Gabriela Mistral sebagai konsul di Madrid, dan di sana ia bersahabat dengan penulis-penulis seperti Rafael Alberti, Federico García Lorca, dan penyair Peru, César Vallejo.

Seorang anak perempuannya, Malva Marina Trinidad, dilahirkan di Madrid; Anak pertamanya ini mengalami banyak masalah kesehatan sepanjang hidupnya yang singkat. Pada masa ini pula, Neruda perlahan-lahan menjadi kian terasing dari istrinya dan kemudian tinggal dengan Delia del Carril, seorang perempuan Argentina yang dua puluh tahun lebih tua daripadanya dan akhirnya menjadi istri keduanya.

Perang Sipil Spanyol dan terbunuhnya penyair Federico Garcia Lorca, yang dikenal Neruda, kuat sekali pengaruhnya pada penyair itu. Ia kemudian bergabung dengan gerakan Republikan. Pertama di Spanyol lalu di Prancis. Pada masa itu pula ia mulai menggubah puisi-puisi untuk buku "Espana en el Corazon" (1937). Pada tahun yang sama Pablo dipanggil kembali ke Cile dan serta merta setelah tahun-tahun itu puisinya pun berorientasi pada ihwal politik dan sosial.

Pada tahun 1939, Pablo ditugaskan menjadi konsul untuk emigrasi Spanyol, menetap di Paris dan kemudian ia menjadi Konsul Jenderal di Meksiko. Di sanalah ia menulis ulang karyanya "Canto General de Chile", dan mengubahnya menjadi sajak epikal bagi seluruh kawasan Amerika Selatan, alamnya, masyarakatnya, dan takdir sejarahnya. Karya ini yang diberi nama "Canto General", terbit di Meksiko (1950), dan di Chili pun diam-diam terbit dan bereda di bawah tanah. Segera setelah terbit "Canto General" yang berisi hampir 250 sajak diterjemahkan ke sepuluh bahasa lain. Hampir seluruh sajak dalam buku ini ditulis pada masa susah saat Pablo berpindah-pindah kediaman di sejumlah negara.

Bergabung dengan Partai Komunis
Pada tahun 1943, Neruda kembali ke Cile dan dua tahun kemudian dia terpilih menjadi senator, dan bergabung dengan Partai Komunis Cile. Neruda harus hidup dalam persembunyian selama dua tahun di negerinya sendiri setelah melancarkan protes atas kebijakan represif Presiden Gonzalez Videla atas para pekerja tambang pada tahun 1947.

Tahun 1949 dia melarikan diri ke luar negeri dan hidup berpindah negara di Eropa sebelum kembali ke Cile lagi tahun 1952. Hebatnya Neruda, penanya tidak tinggal diam. Selama dalam pelarian itu dia menulis buku puisi “Las Uvas y el Viento” (1954), ini semacam buku harian si penyair semasa pelariannya.

Neruda tidak larut dalam perkara besar saja seperti politik yang menyeretnya ke berbagai konflik. Dia juga sempat merenungi perkara remeh seperti garam dan tumpukan pakaian tak disetrika. Selama tahun 1954-1959 dia menulis "Odas Elementales". Semacam sanjungan atas benda-benda remeh, peristiwa kecil yang disajikan alfabetis.

Sulit menandingi kesuburan karya Neruda. Karya lengkapnya selalu diterbitkan ulang dengan tambahan karya baru. Tahun 1951 "Obras Completas"nya terbit 459 halaman; tahun 1962 menjadi 1.925 halaman; enam tahun kemudian pada tahun 1968 terbit edisi baru dengan jumlah halaman mencapai 3.237 halamn dan karena terlalu tebal harus dibagi dalam dua jilid.

100 Soneta Cinta
Pada beberapa tahun terakhir hidupnya Neruda menerbitkan "Cien Sonetos de Amor" (1959) yang dipersembahkan kepada Matilde Urrutia, isti ketiganya; lalu sebuah karya otobiografi puitis terdiri atas lima jilid "Memorial de Isla Negra", yang terbit saat usianya 60 tahun; Arte de Pajaros (1966); La Barcarola (1967); sejumlah naskah drama Fulgor y Muerte de Joaqin Murieta (1967), Les Piedras del Cielo (1970), dan La Espada Encendida.

Kisah Cintanya
Sebelum bertemu gadis Belanda di Batavia, Neruda dekat dengan Josie Bliss yang amat pencemburu. Segera setelah menyudahi dengan gadis itu, Neruda menikah dengan Maria Antonieta Hagenaar, yang tak bisa berbahasa Spanyol. Pernikahan itu berakhir dengan perceraian pada tahun 1936. Segera setelah itu Neruda tinggal di Paris. Bersama Nancy Cunard ia menerbitkan jurnal Los Poetas del Mundo Defiende al Pueblo Espanol.

Nancy pewaris tunggal perusahan termahsyur kala itu Cunard Shipping Company. Nancy kelak mengikuti Neruda ke Cile. Ibunya tak mewariskan apa-apa pada Nancy karena ia kemudian juga meninggalkan kehidupan kelas atas dan hidup bersama seorang musisi kulit hitam.

Tahun 1930-an dan 1940-an, Neruda hidup bersama pelukis Argentina Delia Del Carril. Wanita inilah yang mengilhami Neruda sehingga akhirnya terjun ke dunia politik. Neruda dan Delia menikah tahun 1943, tetapi pernikahan itu tidak diakui keabsahannya di Cile. Tahun 1955 mereka pun bercerai.

Neruda lalu menikah lagi dengan penyanyi Cile Matilde Urrutia. Inilah wanita yang memberi inspirasi besar bagi Neruda. Sebagian besar sajak dalam "Cien Sonetos de Amor" (1959) diilhami oleh Matilde.

Meninggalnya
Sepanjang riwayat penulisannya dia menghasilkan lebih dari 40 buku puisi, terjemahan dan drama syair. Tak ayal lagi, dia termasuk penyair penting dunia di Abad 20.

Pada tahun 1973, tepatnya pada tanggal 23 September, dua tahun setelah menerima anugerah Nobel Sastra, Neruda meninggal akibat kanker prostat yang diidapnya. Ia meninggal di Santiago Santa Maria Clinic.

Rede de Costa dalam "The Poetry of Pablo Neruda" (1979) menulis, Neruda adalah Pablo Picasso-nya dunia sastra. Sebab kemampuannya untuk selalu berubah. Neruda juga selalu mempertanyakan tradisi personalnya, karena itu dia selalu memerlukan pencarian untuk menemukan kaidah baru dalam setiap buku karyanya.***

[Jejak Penyair # 001] Amir Hamzah (1911-1946)

Amir Hamzah hidupnya tidak panjang. Ia lahir di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara, 28 Februari 1911. Kelak setelah menikah dengan Tengku Kamaliah, putri Sultan Langkat, Amir Hamzah mendapat gelar Tengku Pangeran Indra Putra. Pernikahan ini dilandasi pada rancangan perjodohan yang bila dapat, tentu ditolak olehnya. Ia sendiri mencintai perempuan lain, seorang gadis Sunda. Kisah kasih tak sampai itu saya kira menjiwai sebagian dari sajak-sajaknya yang hanya kita ketahui kini berjumlah 65 sajak itu.

Dia meninggal pada usia 35 tahun, tepatnya 20 Maret 1946, setelah dibunuh oleh sekelompok pemuda dalam sebuah revolusi sosial. Selama hidup yang singkat itu ia menerbitkan dua kumpulan sajak, yaitu "Nyanyi Sunyi" (terbit tahun 1937) dan "Buah Rindu" (1941). Buku lainnya yaitu "Sastra Melayu dan Raja-rajanya" (1942, setahun setelah ia meninggal), dan terjemahan sajak penyair Jepang, India, Persia dan lain-lain, terbit pada tahun 1939, "Setanggi Timur". Amir Hamzah bersama Takdir, Armijn Pane, Achdiat K Mihardja, mendirikan majalah Pujangga Baru (1933).

Saya kira, Amir Hamzah sejak awal sudah merasakan adanya semacam firasat bahwa dia tidak akan lama menghirup udara Indonesia merdeka. Tema-tema maut, ketuhanan, dan kesunyian menjadi tema favoritnya. Ia juga mulai mencoba menulis sajak dalam bentuk bebas. Pilihan tema ini saya kira istimewa, menentang arus, dan "berani", mengingat betapa zaman kala itu tengah gelisah menegaskan identitas Indonesia. Simak sebuah sajaknya yang saya kira amat bertenaga. Seperti ada tekanan atau tarik yang luar biasa yang ia tahankan dalam dirinya, tapi dia sadar bahwa dia akhirnya haus hanyut, dan menyerah mati. Mati dengan gagah, sebab ia telah tahu saat maut itu tiba.
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, tiada
air menolak kelak.
Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.
Tenggelam dalam malam.
Air di atas menindih keras.
Bumi di bawah menolak ke atas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!

(Hanyut Aku)


Saya kira posisi sosialnya yang tinggi dalam masyarakatnya ketika itu menyusahkan dia, selain tentu membuka kesempatan yang tak akan datang pada orang yang tak setingkat dengan dia. Termasuk kesempatan mendapatkan pendidikan resmi. Ia tamat HIS di Tanjungpura (1924), lalu melanjutkan ke Christeljk MULO di Medan setahun, dan tahun kedua serta ketiga diselesaikan pada tahun 1927 di Christelijk MULO Menjangan Jakarta.
Lulusan MULO kala itu mungkin sama dengan orang yang bergelar sarjana saat ini. Bandingkan dengan Chairil Anwar - penyair yang lahir sebelas tahun lebih muda - yang tidak tamat MULO. Amir Hamzah selepas MULO melanjutkan ke AMS-A (Algemeene Middelbare School) Solo, Jurusan Sastra Timur. Kenapa ia tidak memilih hukum atau kedokteran yang pasti amat dibutuhkan oleh masyarat dan bangsa yang hendak menjadi saat itu? Saya kira Amir Hamzah menentukan pilihan menurut gerak hati.

Kitab kecilku ini,
sebagai selampai melambai,
di puncak mercu gunung tersepi,
di lembah puspa melati murni,
selaku menyeru bertalu-talu,
akan adikku-tuan datang memetik,
kuntum kencana sastra Lama.

(Semoga, sajak ini ditulis sebagai pengantar pada "Sastra Melayu Lama dan Raja-rajanya, 1942)


Amir Hamzah memilih menempuh jalan sastra agar dalam singkat hidupnya itu, bisa juga ia sampai pada puncak gunungnya sendiri, lalu di sana meninggalkan kuntum kencana, melati murni yang pantas untuk dipetik kelak oleh "adik-ku tuan". Di puncak itu ia kibarkan bendera berupa "selampai melambai", agar "adik-ku tuan" atau siapa saja yang datang kemudian bisa tertampak bendera itu dan tergoda untuk mendaki dan memetik kesana. Saya kira, Amir Hamzah telah berhasil memenuhi cita-citanya itu. Hasrat untuk menjadi abadi seperti itu kita tahu begitu masyhurnya juga diteriakkan oleh Chairil Anwar yang "mau hidup seribu tahun lagi".

Karena menempuh pendidikan bahasa dan sastra, Amir Hamzah amat tahu bahwa Kesusasteraan Indonesia mengambil pengaruh dari tanah luar. Tanah yang hampir dengan kepulauan Indonesia, yang kaya dengan ilmu sastera.

"Dalam pergaulan antara dua bangsa itu berpinjam-pinjam kebudayaanlah mereka," tulisnya dalam sebuah makalah panjang berjudul "Kesusasteraan", lalu di makalah itu ia paparkanlah pengaruh dan sumbangan sastra India, Cina, Parsi dan Arab bagi sastra Indonesia, yang datang lewat perdagangan dan pemelukan agama.

***

Tapi, zaman itu menuntut lain pada manusia-manusia yang hidup di dalamnya. Amir Hamzah toh tidak bisa menghindar dari gerak sosial politik. Ia harus menjalani kehidupan memimpin masyarakatnya. Setelah menikah ia diangkat menjadi Kepala Luhak Langkat Hilir di Tanjungpira, lantas menjadi Kepala Luhak Teluk Haru di Pangkalan Brandan. Ia lantas kembali ke keraton dan menjadi Kepala Bagian Ekonomi Langkat di Binjai. Setelah proklamasi kemerdekaan Amir Hamzah menjadi wakil Pemerintah RI, kemudian pada tanggal 29 Oktober 1945 ia diangkat menjadi Bupati Langkat di Binjai. Tak ada jejak-jejak sajaknnya lagi pada tahun-tahun itu. Ia telah membuat jejak sejarah lain, yang juga memperoleh pengakuan. Pada tahun 1975 pemerintah mengangkat dan memberinya gelar sebagai Pahlawan Nasional.

***

Dalam pengantar buku kumpulan prosa dan esai yang diterbitkan Dian Rakjat - penerbit milik Takdir - Takdir menyebutkan bahwa Amir Hamzah tak tersangkalkan lagi mendapat tempat yang abadi dalam sastra Indonesia. Takdir - dalam pengantar di tahun 1982 itu - berharap agar bahasa dan gaya yang diperagakan Amir Hamzah "teristimewa yang terjelma dalam prosa liriknya, memberi ilham dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi angkatan muda kita yang sedang mencari-cari sekarang."

Apa yang bisa kita cari dan bisa kita temukan dalam bahasa dan sosok Amir Hamzah? Pertama, ia bisa kita teladani sebab keteguhannya memilih sastra sebagai jalan hidup mengikut rasa hatinya. Ada suatu masa, dia harus mengajar untuk mendapatkan tambahan biaya pendidikan, setelah kedua orangtuanya meninggal. Kedua, bisa kita teladani dari keyakinannya menuliskan sajak-sajak dengan yang mungkin tidak populer pada masa itu. Ia memilih jujur menuliskan kegelisahannya sendiri. Ketiga, dia melakukan percobaan-percobaan berbahasa, misalnya dengan sadar memasukkan kata-kata "aneh" (lihat kumpulan prosanya. Editor atau dia sendiri harus menambahkan banyak catatan kaki untuk memperjelas kata-kata yang dia pakai. Sebagian dari kata-kata itu hingga kini bagi saya masih terasa antiknya) dari khazanah bahasa Melayu yang ia amat kuasai. Saya kira itu ditempuhnya untuk juga dengan sadar memperkaya bahasa Indonesia yang masih amat muda usianya.[]






Tuesday, June 5, 2007

[Ruang Renung # 209] Harapan Jassin, Ada Pilihan Lain?

Pada tahun 1946, HB Jassin menulis begini: ....Kesusasteraan kita masih sangat muda. Muda bukan saja dalam hal sejarah dan isinya, yang boleh dikatakan masih hasil anak puber yang sedih atau gembira dalam bercinta, tapi juga dalam hal umur pengarangnya, yang biasanya berumur antara lima belas dan dua puluh lima tahun. Dan beberapa orang yang sudah beruban dalam kesusasteraan ternyata belum lagi dapat melepaskan diri dari penyakit-penyakit puber, karena penghidupannya yang kurang intens dan pandangan hidupnya yang serba terikat.

Tulisan itu kita petik dari alinea terakhir pengantar Jassin untuk sejumlah sajak dan prosa dalam buku "Kususasteraan Indonesia di masa Jepang" (Balai Pustaka, Cet. I 1948, Cet. IV 1975). Masih dari alinea yang sama Jassin berharap: ....Tapi besarlah harapan bahwa pengarang-pengarang kita yang muda-muda sekarang ini, akan terus bertekun belajar memperkuat tenaga jiwanya dan dengan tenaga jiwa itu mengisap sumber kehidupan sepuas-puasnya, sehingga buah ciptaannya akan masak dan lezat cita rasanya dan gugur dengan sendirinya dari pohon pengalaman yang merimbun rampak.

Pengarang-pengarang yang dihitung Jassin kala itu sebagian besar telah meninggal. Setahu saya, kini di tahun 2007, 61 tahun setelah Jassin menulis kalimat-kalimat di atas, tinggal Rosihan Anwar yang masih sehat, masih menulis di lapangan jurnalistik. Tapi, saya kira, kita, para pengarang yang hidup dan bergiat sekarang mengulangi lagi lingkaran yang disebutkan Jassin.

Sebagian dari kita masih saja anak puber yang sedih atau gembira dalam bercinta.
Masih saja penghidupannya kurang intens.
Masih saja berpandangan hidup yang serba terikat.

Saya kira, kita harus memenuhi harapan Jassin untuk terus bertekun belajar.
Memperkuat tenaga jiwa kita.
Mengisap sumber kehidupan sepuas-puasnya.
Agar buah karya ciptaan kita masa dan lezat citarasanya dan gugur dengan sendirinya dari pohon pengalaman yang merimbun rampak.

Adakah pilihan lain? []

[Ruang Renung # 208] Sastra Kita, Suatu Ketika

ADA suatu masa ketika penyair tidak disikapi sebagai seorang pekerja seni sastra saja, dan puisi tidak dibaca sebagai sebangun teks pembangkit tindak apresiasi saja. Ada suatu mata ketika kritik sastra dipaksa tiarap, dan kemudian diberilah tabik kepada caci maki, kecurigaan, dan tuduhan untuk naik pentas.

Ada suatu masa ketika Chairil Anwar yang sudah meninggal itu dihadapi seperti "hantu" dan digugat, diseret juga namanya ke sana kemari. "Chairil Anwar dengan sadar atau tidak sadar masuk orbit dan perangkap jaringan kontrarevolusi kebudayaan, dalam arti: Chairil Anwar dan sekelompok sastrawan/intelektual lainnya dibuat asing dari revolusi", tulis Sitor Situmorang, dalam Suluh Indonesia, 8 Maret 1965. Tulisan itu disiarkan 16 tahun setelah Chairil meninggal.

Ada suatu masa ketika Subagio Sastrowardoyo dianggap sebagai, "Penyair yang mewakili angkatan yang tengah sekarat dari suatu manifestasi rasa ketakutan yang mencekik, keputusasaan yang merupakan obsesi terakhir sebelum masuk ke liang lahat." Tulisan itu dibuat oleh seorang anggota Lekra di Harian Rakjat, 8 September 1962. Subagio saat itu berusia 38 tahun.

Yang baik dan harus dikangeni dari masa itu adalah kala itu sastra dan sastrawan, seni dan seniman menjadi penting, menjadi perhatian. Yang tidak baik dan harus kita harap tidak terulang lagi adalah seni dan seniman, sastra dan sastawan kala itu hanya menjadi bagian kecil, menjadi alat yang mengabdi pada tuan besar bernama Revolusi.

Dan mungkin itu pula traumanya. Seni dan seniman, sastra dan sastrawan tidak ingin lagi mengulang sejarah yang salah itu. Lantas ia memilih jalan sepi, menjauh, dan tampaknya masih saja tenang dan riang di jalan yang ia pilih setelah masa-masa riuh rendah itu.  


Monday, June 4, 2007



* Bersama Effendi "Dik Pendi" Gazali





* Bersama Butet "SBY" Kertaredjasa.

Alas Telaga

ADA orang bersenapan datang ke sana
memancing darah berumpan peluru.

"Ini telaga kami," kata ikan-ikan kecil
yang telah lama berenang-tenang di sana.

Tapi, para pemancing  itu tak  mendengar
kibas sirip indung ikan yang ingin menjaga
telurnya, membesarkan anak-anaknya. 



Sunday, June 3, 2007

Letter of The Month Rolling Stone Indonesia Juni 2007*



* Sampul RS International, Mei 2007

Dua tahun saya asyik sendiri menebak-nebak siapakah pemusik Indonesia yang diberi kehormatan disampulkan oleh Rolling Stone Indonesia di momentum istimewanya. Dan pilihan jatuh pada Iwan Fals. Saya bilang, "ini pilihan yang cerdas dan tepat".

Iwan dipotret dengan mimik yang seakan berkata, "Inilah musik Indonesia". Iwan memang paling tepat mewakili perjalanan musik Indonesia. Ia mungkin tidak lagi berada di puncak kreativitasnya. Tapi ia masih menghasilkan karya hebat. Ia bermusik dengan total, langkah yang kini ditempuh dengan langkah yakin oleh banyak anak muda Indonesia. Ia jatuh bangun, ditendang kaki raksasa politik penguasa, ia membangun kesetiaan penggemar, ia juga manusia biasa yang lama menahan sakit akibat kematian putra tertuanya. Dan ia baru saja menghasilkan album. 50:50. Album yang diberi bintang 4 oleh RSI.

Saya bayangkan wawancara Editor Senior RSI Adib Hidayat akan lebih lengkap bila disanding dengan tulisan Andreas Harsono (Halo Mas Andreas!) -- yang namanya disebut dalam wawancara itu terkait istilah Indopahit itu --- yang dulu terbit dalam almarhum Pantau. Keinginan itu sedikitnya terpenuhi, karena ada bau Pantau di RSI lewat tulisan tentang grup Koes Plus oleh Budi Setiyono (apakabar Mas Buset?).

RSI Edisi 25 lalu saya kira adalah edisi yang sangat membanggakan pemusik dan musik Indonesia. Saya tadinya cemas RSI tidak menulis soal kepergian Chrisye. Soalnya, apalagi yang mau diberitakan? Chrisye adalah legenda yang kematiannya diiringi pemutaran lagu-lagunya serentak di radio-radio. Ini tidak atas perintah siapa-siapa. Ini adalah bentuk penghormatan paling murni. Tapi, lagi-lagi RSI adalah majalah yang meskipun baru dua tahun ternyata sudah menyatu dengan hati musik Indonesia. Memberitakan kematian Chrisye bukan perkara aktualitas.

Lalu saya baca dengan antusias Special Issue: Editor's Choice '07. Saya tidak bisa lain kecuali berkomentar, "Gila!" Pilihan-pilhan atas nama-nama itu mungkin masih bisa diperdebatkan, tapi RSI punya alasan yang bagus untuk masing-masing pilihan.

Di sebuah milis jurnalisme ada diskusi yang dipicu oleh seorang anggota yang mem-posting tajuk rencana sebuah surat kabar di Malaysia. Tajuk itu isinya caci maki untuk musik Indonesia yang disebut sebagai sampah (!). Musik Malaysia memang sedang cemburu berat atas musik Indonesia. Bacalah laporan RSI soal konser 3 Diva di sana. Konser sebagus itu mungkin belum terbayangkan oleh para pemusik dan penggerak industri musik di sana.

Terakhir, RS Style -- yang mungkin rubrik paling "bermasalah" di RSI -- menampilkan Gigi. Wah! Saya bertamasya mata di 12 halaman itu. Gigi grup yang masih bertahan dan saya kira akan berumur panjang, adalah grup yang saya liput pertam kali di Balikpapan atas perintah redaktur saya waktu itu (Halo Mas Trias Chahyo!). Itulah konser pertama yang saya tonton dan sejak itu saya adalah anggota Gigikita yang tak teregistrasi. Gigi kala itu baru saja meluncurkan
album 3/4. Saya benar-benar menikmati liputan itu bahkan sempat mengajari Armand Maulana cara makan udang di restoran santapan-laut menuju bandara (masih ingat caranya, Kang Armand?).

Ketika usia melampaui 35, saya mulai membiasakan diri untuk dituakan. Tapi saya tak mau cara berpikir saya jadi lamban, tua, dan tidak kreatif. Salah satu caranya adalah dengan membaca RSI. Terima kasih dan salut untuk majalah hebat ini!

Hasan Aspahani


* Ini naskah asli surat yang saya kirim, ada sejumlah penyuntingan pada surat yang termuat. 





ensiklopuisi: Angka

angka : dia seorang gembala, yang menandai
      tiap ekor domba di padang rumput itu,
     dengan sebutir kerikil di kantor baju; di akhir
     senja, dia menuntun gembalaan, pulang,
     ke kandang; kepada Tuan Pemilik Ternak,
     dia serahkan kantung kerikil. "Ambillah,"
     kata-Nya. Dia pun telah menerima kasih.

     "Di rumah, kerikilmu akan berubah menjadi
     apa saja yang kau niatkan." Tetapi, kita tetap
     saja teringat domba-domba yang besok pagi
     akan dia gembalakan lagi.


[kelas puisi] Pada Mulanya Puisi Pada Akhirnya

Puisi (dari bahasa Yunani "poesis"--berarti "pembuatan" atau "penciptaan") adalah sebuah bentuk seni dimana bahasa diberdayakan agar tercapai kualitas estetisnya dengan menambahkan, atau menggantikan, makna nyatanya yang semula ada.

Puisi telah menempuh sejarah yang panjang. Upaya-upaya awal untuk menjelaskan apakah puisi itu, seperti dilakukan oleh Aristoteles dalam risalahnya "Poetics", terpusat pada ihwal pemanfaatan "daya bahasa" dalam retorika, drama, lagu atau komedi.

Pada zaman yang lebih kemudian, puisi mulai ditengok lebih khusus pada bagian-bagian khasnya seperti repetisi, rima, ritme, metrum, pilihan kata, dan mulai lebih ditekankan pula pada pertimbangan estetika bahasa puisi yang sudah mulai dipisahkan atau dibedakan dengan prosa. .

Sejak pertengahan abad ke-20, puisi sudah mulai dipegang dengan longgar pengertiannya, definisi yang baku tidak lagi disakralkan. Sejak itu yang penting bagi puisi adalah ia telah didudukkan sebagai dasar dari kerja kreatif yang menggunakan bahasa sebagai ranahnya.

Puisi kerap menggunakan bentuk-bentuk khusus dan aturan-aturan tertentu untuk memperluas kemungkinan makna literal kata-kata, atau untuk merangsang bangkitnya tanggap rasa dan emosi. Perangkat-perangkat perpuisian seperti, asonansi, aliterasi dan ritme digunakan untuk mencapai efek musikal dan efek jampi-jampi atau mantra.

Pada puisi terkandung ambiguitas, simbol-simbol, ironi, dan pada puisi diberdayakan juga unsur-unsur stilistika diksi puitik lainnya. Akibatnya, makna puisi menjadi multitafsir, puisi membuka dirinya bagi pemaknaan yang berganda-ganda. Dengan cara yang sama, metafora dan simile menciptakan gaunggambar yang bersahut-sahutan antara imaji-imaji yang tidak sama bahkan bertentangan --- serentak tercipta pula pelapisan-pelapisan makna, terbentuk jalinan yang sebelumnya tidak terduga.

Beberapa bentuk puisi yang khas lahir dari kebudayaan tertentu, akibat kekhasan pada bahasa yang digunakan atau dikuasai oleh sang penyair. Dari Italia, kita mengenal soneta, dari Persia kita mengenal ghazal, dan bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia kita mengenal pantun, dari Jepang kita mengenal haiku. Bentuk-bentuk puisi itu kemudian melintasi bahasa-bahasa.

Sekarang, di zaman dunia yang terbuka, mengecil, dan menyatu, penyair amat bebas menjelajah, tidak hanya mencari kemungkinan yang disediakan oleh bahasa utama yang ia pakai. Penyair juga bebas meminjam gaya, teknik, dan bentuk dari budaya dan bahasa lain.

  

Friday, June 1, 2007

[Telaah] Indonesia Digigit Ular Berbisa

H.B. Jassin memilih dan menggabungkan sajak-sajaknya bersama sastrawan lain yakni Rosihan Anwar, Usmar Ismail SMA, BH Lubis, Amal Hamzah, Nursjamsu, Anas Ma'ruf, Maria Amin, dan Idrus, dalam buku "Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang". Namanya kurang terkenal. Tenggelam oleh kebesaran Chairil Anwar. Jassin hanya menyinggung dia dalam bahasan satu alinea. Bandingkan dengan ulasan untuk Chairil yang memakan delapan halaman dari 24 halaman pengantar Jassin pada buku itu.

Jassin mengambil sajaknya dari bukunya "Kersik Berlada". Artinya, dia menyair dengan sungguh-sungguh. Di zaman susah kala itu, tentu menerbitkan puisi bukan perkara mudah. Jassin menampilkan empat belas sajaknya. Ya, saya kira ia memang sungguh-sungguh menyair. Ia mencari tema, dan mencari gaya ucap sendiri. Meskipun, akhirnya tidak semua pilihan yang diambil dalam pencarian itu berujung pada hasil.

Masa pendudukan Jepang bukanlah zaman yang nyaman. Perkumpulan-perkumpulan dibubarkan. Surat-kabar ditutup. Lantas dibentuk perkumpulan baru dan diterbitkan surat kabar baru yang sepenuhnya dikendalikan. Ada sensur yang ketat atas semua tulisan yang hendak disiarkan.

Pujangga, terutama yang muda - seperti ditulis Jassin - diminta agar "...insaf akan artinya bagi masyarakat. Hasil ciptaannya harus dapat membimbing masyarakat, memberikan kepada masyarakat tempat berpegang. Sajak-sajak dan hasil kesusasteraan yang menimbulkan keragu-raguan dan kebimbangan harus dijauhkan, sehingga jangan turut pula "meracuni" jiwa masyarakat!"

Penguasa Jepang tidak memberikan kebebasan berpikir dan berpendapat. Pujangga diminta menulis sajak yang berisi. "....Artinya yang ada mengandung cita-cita yang menimbulkan cinta kepada tanah air, yang mengobarkan semangat kepahlawanan, yang menganjurkan semangat bekerja," tulis Jassin.

Kepeloporan Chairil mungkin disebabkan kehebatannya menembus tebalnya sensur itu. Ketika para penyair digiring menjadi satu kerumunan besar, ia cerdik berkelit meloloskan sajak-sajak individualisnya. Ia berhasil menjadi binatang jalang yang terbuang dari kumpulan itu.

***

Ia pun ada upaya untuk berkelit dari sensur dan keluar kerumunan itu. Ia memilih jalan sinisme. Penyair ini "...memperlihatkan pandangan hidup yang sinis, jiwa mengejek pahit nasib sendiri tapi sudah pula tahu berserah". Sajak-sajak seperti ini hanya kelihatan padanya, "...yang mengejek pahit melihat kegilaan sekeliling, orang-orang berebut pangkat mau tinggi, cakap besar orang-orang yang tidak berbanding dengan kesanggupannya, nasib jelek orang Indonesia dan diri sendiri, ketololan orang-orang sekeliling ...."

Ia penyair yang menyerap fakta dan menjadikannya bahan untuk direnungkan dan dituliskan dalam sajak-sajaknya. Ia menyajakkan soal buruh mogok di Amerika, kelaparan di India, dan gunung meletus di Italia. Ia bandingkan dengan Indonesia kala itu. Hanya pohon kelapa / Pohon kelapa di tepi pantai / melambai-lambai dengan daunnya / memanggil siapa yang baru sampai. // Ah, alangkah indah tanah airku / Indonesia tanah permai / Itu hanya yang kutahu ... // Orang Indonesia di tanah permai. //

Ia memang sinis. Buruh mogok, kelaparan dan gunung meletus kala itu belum kerap terjadi di Indonesia. Ia mengejek. Ia menghantam dengan mengulang-ulangi lagi ihwal kepermaian Indonesia, memaparkan lagi pemandangan nyiur melambai. Pada sajak lain ia menulis: Orang Indonesia aman, / duduk di gubuk berhati nyaman, / terhindar dari siksa zaman. // Kalau tidak ditimpa kelapa, / atau digigit ular berbisa, / orang Indonesia tidak binasa.// Sekarang? Kita, orang Indonesia, sedang ditimpa kelapa "batu" terus-menerus, berulang-ulang, lebat, seperti hujan. Dan ribuan ular berbisa berkeliaran hendak menggigit kita.

***
Penyair itu bernama Bung Usman!

* Bacaan: "Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang", H.B. Jassin, Balai Pustaka. Cet. I 1948, Cet. IV 1975. Jakarta.

Pencarian Sang Ibu Uang

IBU uang sedang mencari anaknya yang
menghilang. Kabarnya, konon ada seorang
makelar uang yang telah menculiknya lalu
menyeludupkannya ke rekening beberapa orang
yang uang, lalu tersekap gelap di rumah uang.

WAKTU itu, memang sedang musim orang
tebar pesona, dan itu berarti juga musim
menghambur-hambur bermacam uang-uang.

"SAYA mungkin tahu di mana anakmu, Ibu,"
kata seseorang. "Saya ada juga menerima uang
dari seseorang. Apakah anak ibu itu bergambar
laut dan ikan?" Orang itu lantas memberi isyarat
tentang sebuah nama dan sebuah alamat.

"APAKAH anakku ada singgah di rekening, Tuan?"
tanya ibu uang, kepada nama dan alamat yang
baru saja dia dapat.

"IBU, tolong jangan memfitnah. Sumpah, aku
berlindung kepada yang Maha Uang, aku tidak
kenal anakmu. Saya memang punya banyak
rekening untuk mengasuh uang-uang saya. Tapi
banyak juga rekening gadungan yang hanya
mengaku-aku sebagai bagian dari komplotan
rekening saya. Jadi, ah, jangan mudah menuduh."

Di dekat sebuah lampu merah, tak jauh dari
sebuah bank uang, ibu uang akhirnya bertanya
pada pengemis uang. "Tuan Pengemis Uang,
apakah Tuan ada bertemu anakku?"

SI pengemis uang malah nangis kencang, airmatanya
bergemerincing di kaleng yang ia tenteng, kaleng
yang telah rombeng dan telah lama hanya kosong.


[kelas puisi] Sajak Lirik

Sajak lirik adalah adalah bentuk sajak yang tidak disusun untuk menyuguhkan sebuah cerita, sebagaimana sajak epik dan sajak dramatik, dan lebih mementingkan perasaan dan sikap pribadi penyairnya.

Dalam sajak lirik, penyair tidak menampilkan sesosok tokoh dan apa yang dilakukan tokoh itu, tetapi langsung menghadapkan pembaca kepada pasang-suruat perasaannya, tegas-ragu sikapnya,  dan gejolak pikirannya sendiri.

Kata "lirik" berasal dari "lyric" (Inggris),  "lyra" (Latin). "Lyra" atau "Lyre" adalah sejenis harpa yang bangsa Yunani, berbentuk huruf "U".

Adalah tepat bila teks lagu disebut "lirik", karena asal kata itu memang menunjukkan sesuatu untuk dinyanyikan.  "Sajak lirik" tidak dekat lagi hubungannya dengan "lirik" untuk lagu itu. Sajak lirik ditulis untuk dibaca, bukan dinyanyikan.

[Petikan] Sari Pati-nya Chairil

Pujangga muda harus pemeriksa yang cermat, pengupas pengikis sampai ke sari pati sesuatu. Segalanya, segalanya sampai ke tangannya dan merasai gores bedahan pisaunya yang berkilat-kilat. Segalanya! Juga pohon-pohon beringin keramat yang hingga kini tidal boleh didekati!

.:. Chairil Anwar dalam buku H.B Jassin, Kesusasteraan Indonesia di Masa Jepang, Balai Pustaka, Cet. I 1948, Cet. IV 1975.

[Surat untuk Sajak # 006] Dari mana Benihmu Tumbuh?

Sajak yang baik,
     Saya tiba-tiba bertanya darimana sebenarnya dulu benih-benihmu tumbuh dalam diriku? Saya mencoba menemukan hal-hal yang bisa jadi jawaban, tapi saya tak pernah yakin. Apakah benih itu tumbuh ketika saya mendengarkan ibu saya menyanyi dengan syair sederhana yang ia ciptakan sendiri ketika mengayun dan membujuk saya, dan juga adik saya yang dalam buaian agar saya segera tidur? Apakah ia tumbuh sejak saya diam-diam suka membuka buku catatan paman saya dan menemukan sajak-sajak yang ia tulis dan juga sajak "Aku" karya Chairil Anwar yang ia salin dengan huruf-huruf kapital? Atau ketika guru kelas satu saya dulu menulis kalimat sederhana di papan tulis setelah melihat langit, pohon dan elang, dan dia tidak menyalin dari buku resmi "ini budi, ini ibu budi..."? Saya sudah bisa membaca ketika mulai duduk di bangku kelas satu SD, tanpa TK, dan saya kira kini guru itu seperti mengajari menulis puisi: itu elang, di langit terbang, di pohon membuat sarang...

Sajak yang baik,
    Di madrasah tsanawiyah, paman yang dulu diam-diam saya curibaca buku catatannya menjadi guru bahasa. Dia mengajarkan sajak dan suka menyuruh murid-murid --- termasuk saya --- memaca puisi di depan kelas. Saya waktu itu mulai berkenalan dengan bergairah pada sajak-sajak di buku pelajaran resmi Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya mulai mengenal nama-nama penyair Indonesia. Ada seorang penyuluh perikanan yang mengisi waktu luangnya dengan mengajar dan dia suka juga membacakan sajak-sajaknya. Sekarang saya ingat, sajak-sajak guru penyuluh itu meniru sajak-sajaknya Kahlil Gibran atau Rabindranath Tagore.

     Di sekolah itulah saya mulai menuliskan sajak-sajak pertama saya. Saya ingat pernah menulis sajak tentang Elias Pical. Petinju Indonesia yang menjadi juara dunia. Sajak itu sepenuhnya meniru gaya ballada sajak "Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo" karya W.S. Rendra itu. Saya terus bertemu lagi dengan beberapa sajak Chairil Anwar dan mengagumi sambil menyadari betapa saya saat itu belum mampu mencapai taraf sajak itu, tapi saya ingin. Saya kira kesadaran itu penting sekali ada pada saya, pada waktu itu. Saya mulai lapar sajak. Tapi bagi anak murid yang sekolah di kampung yang jauh dari kota kecamatan --- di kota kecamatan itulah diselenggarakan satu-satunya SMP negeri --- buku puisi adalah kemewahan. Bahkan mungkin bagai sebuah kemustahilan.

Sajak yang baik,
     Saya kemudian mengikuti abang tertua saya yang berselang setahun usia sekolah. Kami berdua sekolah di SMA Negeri 2  Balikpapan. Saya mulai bekerja sebagai kartunis lepas di sebuah surat kabar harian. Honornya saya belikan buku. Buku penting yang saya beli ketika itu adalah "Mengarang Itu Gampang" karya Arswendo Atmowiloto, "Proses Kreatif I dan II" yang memuat pengakuan-pengakuan sejumlah pengarang yang dieditori oleh Pamusuk Eneste. Dan sebuah buku penting: "DukaMu Abadi" kumpulan sajak Sapardi Djoko Damono. Saya tentu juga membeli buku-buku cerita yang sangat digemari remaja saat itu "Lupus" karya Hilman Hariwijaya dan "Balada Si Roy" karya Gola Gong. Saya anak SMA yang beruntung punya honor dari kerja lepas di surat kabar. Beruntung karena bisa langganan majalah "Hai" dan "Intisari". Dari "Hai" saya belajar menulis. Waktu itu halaman cerpen dan puisi masih ada di majalah itu dan tiap karya yang dimuat diulas dengan baik, ringan dan riang, juga tajam dan penuh pengajaran. Yang mengulas itu, tak lain adalah Arswendo Atmowiloto, si pemimpin redaksi "Hai". Waktu SMA itu, ketika diminta menuliskan 10 nama orang yang dikagumi, saya memasukkan nama Arswendo dalam daftar.
       Dan buku sajak itu adalah satu-satunya buku sajak yang saya beli waktu itu. Sajak-sajak Sapardi tentu saja tak tercerna oleh wawasan seorang anak kelas satu SMA. Tapi saya membacanya dengan girang. Menebak-nebak maknanya, gagal, tapi tidak pernah menyerah. Saya justru semakin bergairah. Saya juga mulai menuliskan lagi sajak-sajak saya. Saya menulis hal-hal ringan. Saya ingat salah satunya adalah tentang seorang murid SMEA tetangga sekolah saya yang sering berpapasan tapi saya tak pernah berani mengajak berkenalan. Saya merasa tidak punya alasan yang bagus untuk itu, dan menikmati saja dia sebagai orang asing yang bisa terus saya tebak-tebak. Saya mengirimkan sajak ke "Hai" dan tidak pernah dimuat. Beberapa sajak saya dimuat di koran tempat saya bekerja sebagai kartunis itu.

Sajak yang baik,
      Demikianlah, saya hanya mengingat-ingat bagaimana dulu saya mulai mengenalmu, dan tanpa sengaja menjaga perkenalan itu tidak putus, dan kita tidak pernah berjauhan.


Terus Ditumbuk Maut

MAUT itu selesai mempersiapkan dirinya di tubuhmu,
hingga hanya tangan kananmu mengangkat gelas susu.

Ketika berdiri di antara jemaah sembahyang jenazah, kami
hanya berpandangan: Dia menunduk, aku terus tertumbuk.