Saya bertemu seorang teman lama. Seingat saya dia dulu menyukai puisi. Dia menulis puisi. Beberapa puisinya disiarkan di media. Saya memancing pembicaraan tentang puisi. Saya tidak tahu apakah dia masih menyukai puisi atau tidak lagi. Ternyata masih. Pembicaraan kami tentang puisi mengesankan saya.
"Orang bicara soal memaknai puisi. Orang bilang tentang menelaah puisi. Saya hanya ingin menikmati puisi. Tentu ada puisi yang bisa saya nikmati, ada puisi yang tidak bisa saya nikmati. Ada puisi yang bagi saya menawarkan kenikmatan, ada yang menawarkan kemuakan," katanya. Saya diam-diam menyetujui teman lama itu.
"Kalau saya mendapatkan makna dari puisi yang saya nikmati itu, saya menganggapnya sebagai hadiah. Kalau saya menjadi manusia yang lebih bijak dan lebih bisa menghargai hidup setelah menikmati puisi, saya menganggap itu sebagai berkah," katanya. Saya mengangguk-angguk saja buatnya.
"Kalau saya bertemu sajak yang tidak bisa membuat saya dapat nikmat, saya tidak akan menyalahkan penyairnya. Kalau saya mendapatkan kenikmatan dari sajak seorang penyair, saya akan berterima kasih kepada penyairnya," kata teman saya. Saya semakin setuju dengan dia.
Saya akhirnya bertanya padanya, "bagaimanakah cara membuat sajak yang enak buat Anda?"
Teman saya marah. Dia pergi dan mengakhiri pembicaraan setelah berkata panjang lebar: "Kenapa kau tanyakan itu? Jangan membuat sajak hanya untuk menyenangkan saya. Buat apa? Saya sangat tidak senang kalau bertemu dengan sajak yang nikmat, tapi saya tahu penyairnya tidak nikmat ketika menulis sajak itu."