Monday, May 30, 2005

Say It Again, Dylan

"Anything I can sing, I call a song. Anything I can't sing, I call a poem."

Monday, May 23, 2005

Belum Terlambat untuk Bertanya Lagi

Ini karcis pertunjukan. Bukan tiket bepergian.
Lupakan saja perjalanan. Tak akan kau baca stasiun tujuan.
Kita akan menonton kehidupan.
Dari balik jendela kereta. Pangung panjang. Tanpa tirai.
Tak ada sutradara. Kita juga harus bikin lakon sendiri.
Dengan percakapan deru mesin. Suara rel.
Asap rokok. Kursi.

Kau bawa ransel kan? Ayo. Waktu masih tinggal.
Belum terlambat untuk bertanya lagi.

Mulai Itu Telah Dimulaikah?

Aku baru mau jalan.
Dari jauh ada samar suara peluit. Panjang.
Ucapan selamat datang buat badai itukah? Malam.
Aku jadi mau tahu kenapa petang terlalu lekas tadi...
Aku jadi ingin tahu kenapa sepi terlalu keras tadi.

Aku harus mengingat lagi. Bau jejak kaki.
Rumah, kedai minum, dan stasiun. Bau lelaki.
Masih ada. Dalam catatan:
     halaman depan itu bukanlah medan pertempuran.Bukan. Bukan.
     Bukan tepi hutan. Kau pernah singgah bikin tenda. Kemalaman.

Aku baru mau jalan.
Dari jauh, ada, derap kuda dipacu. Makin dekat. Ke satu tuju.
Aku tak ingin lagi tahu sampai itu telah sampaikah?
Aku tak ingin lagi tahu mulai itu telah dimulaikah....

Siapa yang Dulu Mengajariku Bertanya-tanya Seperti Itu

: play, rewind, pause, play...


Siapa yang mengajariku membedakan pagi, siang,
petang dan malam hari? Sehingga aku tahu arti waktu.

Siapa mengajariku membedakan kepak burung malam
dan kelelawar? Sampai aku kenal kelebat panah api itu.

Siapa mengajariku membedakan kerlip di kejauhan
: kunang-kunang atau bintang? Lalu aku jadi pemburu,

lupa menjawab semua pertanyaan rumit itu. Kecuali satu,
: Siapa yang dulu mengajariku bertanya-tanya begitu?

Thursday, May 19, 2005

SMS Kemarin, SMS Pagi Ini

/1/

aku sudah lama putuskan, tidak lagi
berlangganan buletin dari jawatan
kebohongan. Sampai kemarin kuterima
SMS-mu. HEI, APA KABAR? MASIH PUNYA
RAHASIA UNTUK DIDUSTAKAN?

aku tidak me-repply. Hidup sudah terlalu
nyaman, bukan? Dengan kata lain harus
disebutkan, sudah terlalu membosankan.
Pas sekali dengan kalimat favorit yang
dulu pernah saya simpan, tapi tak pernah
saya ucapkan: "Awas, hidup enak bisa
jadi ancaman!"

/2/

SMS-mu datang lagi pagi ini: PAGI-PAGI
BEGINI, SIAPA YANG PALING ENAK KITA BOHONGI.

Aku mau bilang: SIAPA LAGI KALAU BUKAN DIRI
SENDIRI? Tapi aku tidak me-repply. Hanya teringat
pertanyaan lama yang belum juga ketemu jawabannya:
Adakah bahasa yang menolak ketika dipakai untuk
berdusta?

Tuesday, May 10, 2005

[Ruang Renung # 110] Bersiap Menunggu Puisi

MASALAHNYA memang kesiapanmu. Ketika puisi datang seperti wahyu. Bahkan nabi pun pernah dirudung ragu. Puisi akan selalu datang padamu. Mula-mula ia datang hanya untukmu. Eh, dia bahkan selalu ada di sekitarmu. Ketika kau siaga menerima ia akan hinggap begitu saja. Seperti debu. Padahal mungkin saja itu biji pohon besar yang melayang dibawa angin jauh. Mungkin yang harus kau lakukan adalah, kau tak perlu buru-buru menyeka debu itu.

MULA-MULA ia datang hanya untukmu. Dia tidak memaksamu. Kerap kali, kaulah yang memaksa dirimu sendiri untuk bertemu dengannya. Dengan paksaan itu mungkin saja akhirnya kau memang bertemu. Mungkin saja kau yakin bahwa memang dia puisilah yang telah kau temui. Tapi bisa jadi itu sebuah pertemuan palsu. Apalagi kau suka menyombongkan pertemuan-pertemuanmu dengannya kepada orang lain. Kau suka memamer-mamerkan dia yang menampakkan diri di depanmu, seolah dia itu milikmu. .

JADI sebenarnya, apa perlunya berjanji apalagi sampai memaksa ketemu? Saranku, yang penting adalah siapkan dirimu. Tak perlu terlalu tegang menanti pertemuan itu. Santai saja. Ada memang penyair yang menjadi pemburu yang punya banyak peluru, pendaki yang tak gentar walau harus mendaki jauh ke puncak pencarian, ahli bedah yang teliti membongkar hingga ke sel-sel pertanyaan. Saya cuma seorang penunggu. Mungkin dengan secangkir kopi dan sebuah sore yang permai.***

Toni, More Reason!

pada hujan, alir sungai, dan uap laut, ada jejak perjalanan air
         yang bertahan dalam kenangan tentang asal, dan mereka
         tak henti melacak di mana gerangan riwayat dimulakan.

pada hutan, setapak jalan, dan basah hamparan dedaunan, ada
         jejak pemburu yang tak ingin lagi pulang ke kota, tinggal
         satu peluru, dia tahu bila harus membidik: menarik picu.

Menyelinap di Antara Abjadmu

Aku mau jadi sebuah huruf,
sebuah konsonan yang hidup,
menyelinap di antara abjadmu

Aku akan tetap ada di sana,
sampai kau belajar lagi membaca,
: menulis dan mengucap nama.

Wednesday, May 4, 2005

[Tentang Seni] Tradisi dan Inovasi

Tanpa tradisi, seni adalah sekawanan domba tanpa gembala. Tanpa inovasi, seni adalah tubuh tak bernyawa - Winston Churchill

[Ruang Renung # 110] Yakinlah, lalu Ragukan Keyakinan itu Agar Kau Semakin Yakin

PADA seorang Chairil Anwar apa yang bisa kita teladani? Orang bilang vitalitasnya, tenaga hidupnya, totalitasnya pada kesenian, pada sastra, pada puisi. Kartu posnya kepada Jassin.... "Dalam kalangan kita sipat setengah-setengah bersimaharaja benar. Kau tentu tahu itu. Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati..... "

Ia mengamati lingkungannya. Orang-orang di seputarnya. Ia menggugat. Ia bandingkan dengan dirinya sendiri. Tapi, pada kali yang sama, Chairil juga mempertanyakan kepenuhanhatinya. Ia pegang keyakinan. Tapi ia ragukan pula terus keyakinannya itu. Ia ingin yakin bahwa dia benar-benar pegang itu keyakinan.

Pada kartu pos yang sama dia bilang ke Jassin, ..."Tapi hingga kini lahir aku hanya bisa mencampuri dunia kesenian setengah-setengah pula. Tapi untunglah bathin seluruh hasrat dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju pada satu titik saja, kesenian."

Artinya, Chairil pada usia yang bagi kebanyakan kita kini masih gamanglimbung, sudah membuat keputusan. Ia tahu apa yang dia putuskan. Ia tahu pada keputusan itulah ia menuju, mengerahkan tenaga mengikut pada hasrat dan minat yang telah ia ditegarkan di dalam bathinnya.***

[Ruang Renung # 109] Mesin Puisi

DALAM diri penyair itu ada mesin puisi. Bagaimana mesin itu bekerja? Pertama, ada pengalaman yang datang lewat semua indera. Itulah bahan baku yang musti diolah. Kemudian bekerjalah tanggapan rasa hati atas pengalaman itu dipaduatur dengan olahan daya khayal di pikiran maka hasilnya adalah sebuah puisi. Kerjanya mesin itu belum tentu mulus. Tak harus pakai patokan waktu. Dan hasilnya belum tentu bagus, belum tentu memuaskan si penyair selaku operator mesin itu.

AGAR mesin itu tetap berfungsi dengan baik, maka si penyair tentu harus merawatnya. Termasuk menjamin bahwa selalu ada bahan yang bisa diolah oleh si mesin. Sesekali boleh saja mesin itu direhatkan. Sesekali perlu juga suku cadang mesin itu ditinjau, diganti, diperbaharui lagi.

SESEKALI si penyair perlu juga melihat cara kerja mesin puisi lain milik penyair lain. Sesedikitnya dia bisa melihat hasil olahan mesin puisi lain alias membaca puisi-puisi lain. Bukan untuk menghasilkan puisi yang sama, tapi untuk membandingkan seberapa beres mesinnya sudah bekerja selama ini. Sekalian mungkin dari situ dia bisa merancang apakah mesinnya bisa menghasilkan produk lain yang lebih unik. Atau bahkan mungkin mempertimbangkan untuk mengganti mesin baru.***

Sunday, May 1, 2005

Chairil Answer

malamlaknat dan peluketat: beriarti pada perempuan,
tubuhmu ringkihrawan berbara jiwa yang tak tertawan.

Sajak di ujung jarak, kesana kau berkejaran
dengan maut, maki, kutuk waktu dan kehidupan

kesana kau berkejaran, lawan keraguan setiap kata
mengorekmenggali di tubuhmu, rahasia di tubuhkata

kematian pun datang membawa satu-satunya jawaban,
tak lagi pedulikan: sajakmu pertanyaan atau tantangan

"Les Cyberlettres"

Buku antologi puisi cyberpunk "Les Cyberlettres" sudah terbit. 21 Mei, buku ini diluncurkan di PDS HB Jassin, TIM, dengan pembicara Nur Zain Hae dan Saut Situmorang. Saya ada di antara:

Alex R.
Ani Sekarningsih
Anwar
Arisel Ba
Asep Sambodja
Ben Abel
Bintojo
Cecil Mariani
Cunong Nunuk Suraja
Dody Iskandar
Donny Anggoro
Eka Chandrasari
Fati Soewandi
Gita Romadhona
Hadi Susanto
Hasan Aspahani
Henny Purnama Sari
Heri Latief
Ibnu HS
Ibnu Wahyudi
Idaman Andarmosoko
Indah IP
Irman Syah
Kartini Osmara
Katrin Bandel
Kunthi Hastorini
Kuswinarto
Mahanani K Burhan
Medy Loekito
Moch. Ali Syamsuddin
Nanang Suryadi
Nashruddin Yusuf Riza
Nur Wahida Idris
Purwadi Djunaedi
Pulung Amoria Kencana
Qizink La Aziva
Randu Rini
Raudal Tanjung Banua
Rukmi Wisnu Wardhani
Sabar M Haloho
Saeno M Abdi
Samsul Bahri
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
SN Mayasari
TS Pinang
Tulus Widjanarko
Ucu Agustin
Wayan Sunarta
Widodo Arumdono
Winarti
Yono Wardito
Zai Lawang Langit.