Friday, April 30, 2004

Nama Kita

Panggung itu kosong,

hanya jiwa melolong.



Kau tak mendengar sakitnya sampai jua,

hingga ia menyebut nama: nama Kita....



Mei 2003

Thursday, April 29, 2004

Sajak Sam Haidy

SCRABBLE



You said, give me some letters

five is enough



Then I give you B, L, A, C, and K

I spell it : BACK...



Yeah, you got it.



But I haven't ask you

why you still keep one

Before you leave

you whispered once

the reason



: I'll bring it as the souvenir

just for God!



I asked, why you pick that one?

Because L, is the initial for Love...





Dari sajak SCRABBLE-nya

Hasan Aspahani, dengan sedikit modifikasi

pada bagian ending-nya)




Dari weblog PENGIGAU RESAH

[Tentang Penyair] Prajurit Pembebas

PENYAIR adalah prajurit yang membebaskan kata-kata dari kekuatan kuasa definisi.



* Eli Khamarov

Enam Haiku Dingin Beku

Sajak Basho



berjalan kaki malam hari;

lampu menggantung rendah

minyaknya nyaris beku.



cukup hujan itu saja;

semak rendah di padang itu

bertukar cerah dengan gelap



hujan musim dingin

jatuh di kandang sapi;

mengokok ayam jantan



baru tumbuh bawang prei

sudah tercuci putih salju, -

uh, betapa dingin gigilnya!



laut mengelam sendiri;

suara-suara bebek liar

pucat lalu melindap.



sakit dalam perjalanan

mimpiku mengambang

di atas tambatan memucat.

Tuesday, April 27, 2004

Kekasih

Sajak Rainer Maria Rilke



Engkau hilang, sejak kita baru memulai,

Kekasih, engkau yang tak pernah sampai,

Aku tak tahu apa lagu, yang membujukmu terbuai.

Aku tak lagi hendak, mencoba mengengenalmu banyak,

sejak masa yang kelak, datang serentak menyentak.

Segalanya, membayang-bayangiku, di jauh jarak itu,

apa yang telah berlaku, lansekap, kota, menara dan

jembatan, dan jalan lintas angin yang tak tertebak

dan pulau-pulau itu, sekali terkembang melesat

tumbuh mahadahsyat bersama dewa-dewa:

tumbuh memberi makna bagiku,

dan bagi engkau yang menghindar dari pandangku.



Ah, engkaulah dulu taman-taman itu,

Ah, aku menatapimu dengan semacam harap.

Ada jendela terbuka di rumah desa - dan engkau

di sana ada: nyaris saja ada. Dekat gapaiku,

engkau yang tafakur termangu.

Jalan-jalan yang ketelusuri, engkau juga ada

di sana, berjalan ke arah lurus,

dan sesekali, di kaca cermin kedai itu

masih berkelebatan engkau, memeranjatkan,

dan serta merta membawa kembali bayangku sendiri.

Siapa juga yang kelak tahu, bila burung yang sama

tak berkicau di sana, terbang di atas kita, kemarin,

lalu memisah, di senja kala?



Beloved



You, lost from the start,

Beloved, never-achieved,

I don't know what melodies might please you.

I no longer try, when the future surges up,

to recognise you. All the vast

images in me, in the far off, experienced, landscape,

towns, and towers and bridges and un-

suspected winding ways

and those lands, once growing

tremendous with gods:

rise to meaning in me,

yours, who escape my seeing.



Ah, you were the gardens,

ah, I saw them with such

hope. An open window

in a country house - and you almost appeared,

near me, and pensive. Streets I discovered -

you'd walked straight through them,

and sometimes the mirror in the tradesman's shop

was still dizzy with you and, startled, gave back

my too-sudden image. - Who knows, if the same

bird did not sound there, through us,

yesterday, apart, in the twilight?

Beberapa Bilah Pisau

/1/



Pulang dari toko berbelanja,

ia batal membeli bingkai,

dia sudah melupakan potret

diri sendiri yang hendak dipajangnya

di garasi dan kamar mandi,

juga foto yang paling lucu,

yang sudah disiapkannya

kelak sebagai pengiring

peti mati berisi jenazah sendiri.



"Buat apa?" katanya kepada

pertanyaannya sendiri.



"Aku sudah ketemu apa

yang benar-benar aku perlu,"

katanya sambil membongkar

tas belanjaannya, mengeluarkan:

Pisau pengusir risau.

Pisau penakluk igau.

Pisau pencincang galau.



/2/



Ada pisau yang luar biasa tajamnya, dia bisa

mendengar jerit kesakitan yang tak bersuara.



"Cocok untuk disimpan di ranjang,

untuk berjaga-jaga, atau dijadikan

teman di tempat tidur saja,"

kata si penjaga toko pisau.



Dia bergidik mendengar penjelasan itu,

lalu terbayang apel yang tak pernah

tuntas ia gerogoti karena selalu didahului

ngantuk, juga leher dan selangkangannya.



"Mau kita coba, Tuan?" tawar si penjaga toko.



"Tidak," jawabnya segera.



/3/



Pisau yang lain adalah sebilah pisau tua,

sudah terasah ribuan kali, sehingga susah

juga dibedakan punggung dan matanya.



"Kalau Tuan tak menghendakinya, kita tukar

saja..."



"Tidak, biarkan saja. Saya tahu pisau seperti

ini, sukanya dipergunakan untuk apa?"



"Oh, ya. Untuk apa ya kira-kira..."



"Dijadikan hiasan dinding saja. Memangnya

ada kegunaan lainnya..."



"Oh, ya ya ya..." kata si penjaga toko,

sambil tak sengaja melihat bayangan dirinya

di bilah tepian pisau yang mungkin sama tua

dengan dirinya.



/4/



"Kalau pisau yang jenaka ini, gunanya apa?"

tanyanya kepada sang penjaga toko.



"Oh, itu pisau sulap. Dia memang suka

melucu. Suka menghilang tiba-tiba,

suka nyanyi sendiri lagu potong bebek angsa

dan lawakannya yang paling lucu adalah

ketika ditikamkan ke jantung seorang

penonton oleh si tukang sulap pemiliknya

dalam satu pertunjukan sirkus. Lalu,

Tuan tahu apa yang terjadi kemudian?"



"Tidak usah," katanya. Lalu dalam hatinya

berkata, "Tak mungkin orang lain lebih

tahu daripada saya. Apalagi dia yang

seorang penjaga toko itu..."



"Sebenarnya, saya sayang sama pisau

itu, sebab waktu itu, si tukang sulap

itu sendiri yang menjualnya ke sini. Masih

dengan dandanan badut, sepulang

pertunjukan terbaiknya. Sayang, katanya,

itu penampilan terakhirnya," kata si

penjaga toko itu.



/4/



Pulang dari toko belanja,

ia menyusun pisau-pisau

yang baru dibelinya.



Sampai dia tertidur di sofa

belum juga terjawab pertanyaan

yang tiba-tiba menggodanya,



"Pisau apa yang paling cocok

ditancapkan di jantung kuburan

sebagai pengganti batu nisan?"



April 2004
Kematian Sang Penyair

Sajak Hasan Aspahani



betapa singkat,

betapa berliku,

jalan menuju-Mu.



betapa dekat,

betapa tak tahu,

jalan menuju-Mu.



padahal, akhirnya

kita toh hanya,

: ingin

menjadi

seorang

Aku.



(yang tertunduk takluk,

terduduk di kaki Waktu)

menyairkan sebait mimpi,

: hidup seribu tahun lagi.



April 2004



KARET (DAERAHKU Y.A.D)

Sajak Sam Haidy



Saat tangan yang jahil

bertutur ajal memanggil

tahukah Chairil

ia 'kan berumur kerdil?



Saat tubuh yang malang

mengumbar nafsu binatang

sadarkah si jalang

sudah dekat saat pulang?

[Panegyric] Huruf n





   Saya tiba-tiba saja bertanya, kenapa saya tidak pernah bertanya tentang huruf ini? Ya, huruf n ini. Huruf ke-14 dalam alfabet ini. Padahal, tiba-tiba saja saya juga menyadari betapa dimanjakannya huruf n ini. Saya ingat pada pelajaran matematika. Persamaan sederhana. Angka yang harus dicari pada sebuah deret bilangan. Bilangan ke-n. 2 + n = 4, n = berapakah?



   Saya tiba-tiba saja bertanya, setelah papan ketik di laptop Twinhead, dengan prosessor Pentium I ini bermasalah pada huruf n. Hanya huruf n. Masalahnya? Dia tidak berfungsi. Tapi, pada kali lain, dia suka muncul sendiri. nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn...terus saja kalau tidak ditahan dengan tombol Enter, barisan huruf itu tak akan berhenti.



   Itu artinya, saya harus membawa laptop yang saya beli di toko komputer bekas ini ke tempat servis. Sementara itu saya masih harus tetap menulis puisi, menyunting tulisan, dan belajar bersama Shiela. Ada dua pilihan untuk mengatasi ulah si huruf n ini. Pertama, pakai papan kunci lain. Tapi, ini tidak saya lakukan karena tempat menghubungkan kabelnya adalah tempat yang sama dengan maus. Padahal, saya sudah sangat terbiasa bekerja dengan si tikus berekor panjang ini.



   Maka, pilihan kedua yang saya lakukan. Termasuk untuk menulis huruf n dalam tulisan ini. Caranya? Cari huruf n di arsip terdahulu, sorot lalu kopi (tekan tombol CTRL+C). Ketika huruf n diperlukan tinggal memunculkannya dengan menekan tombol CTRL+V. [hah]

Sunday, April 25, 2004

Epitaf di Makamnya

Sajak Rainer Maria Rilke



Mawar, oh fakta ditolak makna, bungah rasa,

tak ada seorang pun tidur, di bawah berlapis-lapis,

kelopak mata.



Her Epitaph



Rose, oh pure contradiction, delight,

of being no-one's sleep under so many

eyelids.

Saturday, April 24, 2004

[Kata Pujangga] Penyair adalah Burung





SEORANG penyair adalah burung yang membawa ketakjuban. Dia lari dari kerajaan surga lalu tiba di dunia ini untuk berkicau semerdu-merdunya dengan suara bergetar. Bila kita tidak menanggapi dengan cinta di hati, dia akan kembali mengepakkan sayapnya lalu terbang kembali ke negeri asalnya.



* Kahlil Gibran (1833-1931)

[Kata Pujangga] Pikiran yang tidak Normal

MUNGKIN tak ada orang yang bisa jadi penyair, atau bahkan tak ada yang bisa menikmati puisi tanpa sedikit ketidaknormalan pikiran.



* Thomas B. Macaulay (1800-1859)

Gitar

Sajak Federico Garcia Lorca



Dengar ratap rintih gitar itu

mulai mengiang.

Gelas-gelas fajar pecah

terhempas terbanting.

Ratap rintih gitar itu

terdengar lagi.

Membisukannya?

Ah, tak ada guna.

Dia merintih: menyanyi satu lagu

seperti rintih arus

seperti rintih angin

melintas di padang salju.

Mustahil saja,

membekap mulutnya.

Dia merintih untuk

dia yang jauh di sana.

Padang pasir di selatan kepanasan,

merindukan putih bunga camellia.

Rintih anak panah lepas tanpa sasaran

malam tanpa pagi

dan burung pertama yang mati

di secabang pohon.

Oh, gitar!

Hati yang terbantai sampai mati

ditebas lima mata pedang.







Oldman with Guitar, PICASSO



The Guitar



The weeping of the guitar

begins.

The goblets of dawn

are smashed.

The weeping of the guitar

begins.

Useless

to silence it.

Impossible

to silence it.

It weeps monotonously

as water weeps

as the wind weeps

over snowfields.

Impossible

to silence it.

It weeps for distant

things.

Hot southern sands

yearning for white camellias.

Weeps arrow without target

evening without morning

and the first dead bird

on the branch.

Oh, guitar!

Heart mortally wounded

by five swords


Lorca, Sang Penyair dari Granada
Dibantai di Atas Makam Saudara,
Bukunya Dibakar di depan Umum


LORCA RIWAYAT HIDUP seorang penyair adalah puisi, yang lain hanyalah catatan kaki. Kutipan dari penyair Rusia pasca-Stalin Yevgeny Yevtushenko itu sangat pas dipadankan kepada penyair Spanyol Federico Garcia Lorca. Tak heran bila Steven Spielberg pun tertarik memfilmkannya kisah penyair yang hilang ketika genderang Perang Sipil Spanyol 1930-an itu baru saja ditabuh.

    Lorca selalu disebut sebagai penyair dan dramawan spanyol terpenting di Abad 20. Ia lahir di Fuente Vaqueros, 5 Juni 1899. Ayahnya memiliki tanah pertanian yang subur di sekitar Granada serta rumah peristirahatan yang nyaman di kota itu. Tapi yang diidolakan Lorca adalah ibunya, seorang pemain piano yang berbakat.

    Setelah lulus dari sekolah menengah, Lorca melanjutkan ke Sacred Heart University. Dia mengambil studi hukum di sana sambil juga ikut kursus seni. Buku pertamanya terbit di tahun 1919. Buku itu, Impresiones y Viajes, terilhami perjalanannya bersama kelas seni yang dia ikuti ke sebuah Kastil dua tahun sebelum buku itu terbit. Pada tahun terbitnya buku itu juga, Lorca menggelandang ke Madrid. Di kota itu dia betah tinggal selama limabelas tahun. Lorca tidak menamatkan sekolahnya, dan memilih hidup sepenuhnya untuk seni.

    Dia lalu menjadi pengaggas sejumlah pertunjukan teater, membacakan sajak-sajaknya di depan umum, dan mengumpulkan banyak lagu-lagu rakyat. Di periode padat kegiatan itu dia sempat menerbitka El Maleficio de la Mariposa (1920), sebuah drama yang menyulut skadal besar ketika dipentaskan. Dia juga lalu menerbitkan Libro de Poemas (1921), kompilasi puisi yang ditulis berdasarkan lagu-lagu rakyat Spanyol. Sebagian besar karya Lorca bertema populer yaitu kehidupan kaum Gipsi dan tentang Flamenco.

    Tahun 1922, Lorca meggalang Festival Cante Jondo yan pertama. Inilah pagelan yang menampilkan para penyanyi dan gitaris "Deep Song" paling tersohor di Spanyol saat itu. Sajak-sajaknya yang ditulis di awal tahun 1920 banyak dijadikan syair lagu saat itu. Pada saat itu, Lorca juga bergabung dengan sekelompok seniman yang menamakan kelompoknya Generation del 27 yang juga beranggotakan Salvador Dali dan Luis Bunuel. Kedua nama ini menularkan surealisme kepada Lorca. Pada tahun 1928, Lorca menerbitkan kumpulan sajaknya yang langsung melambungka namanya ke puncak popularitas. Buku itu berjudul: Romancero Gitano (The Gypsy Ballads). Selama hidupnya, Lorca sempat menyaksikan buku itu terbit sampai tujuh kali cetak ulang.

    Tahun 1929, Lorca mengembara ke New York. Dia sangat memfavoritkan kawasan kumuh dan padat bernama Harlem; dia dekat dengan kehidupan kaum Afro-Amerika yang banyak tinggal di kawasan itu karena mengingatkanya pada kehidupan orang Gipsi di Spanyol. Tahun 1930, Lorca kembali ke Spanyol setelah negaranya itu memproklamasikan kemerdekaan. Lorca aktif bergerak bersama Second Ordinary Congress of the Federal Union of Hispanic Students sejak November 1931. Kongres itu setuju dan memutuskan untuk membangun sebuah "Barraca" di tengah kota Madrid yang kemudian menghasilkan sejumlah drama-drama penting. Lalu, "La Barraca" juga menjadi teater keliling yang tampil di tempat terbuka di sejumlah kota dan desa di Spanyol. Sebagian yang ditampilkan adalah karya Lorca sendiri seperti tiga serangkai karya bertema tragedi Bodas de sangre (1933), Yerma (1934), dan La Casa de Bernarda Alba (1936).

    Tahun 1936, Lorca tinggal di Callejoes de Garcia, kota kelahirannya, saat itulah Perang Sipil Spanyol pecah. Hingga pada akhir bulan Juli. Lorca ditangkap oleh tentara Franquist. Setelah beberapa hari di tahanan, Lorca dijemput tentara untuk "menemui" saudara iparnya Manuel Fernandez Montesinos, seorang sosialis bekas Walikota Granada yang dibunuh oleh tentara dan jenazahnya diseret di jalanan. Ketika Lorca tiba di makam sang sepupu Lorca dipaksa turun dari mobil. Saksi mata melihat Lorca dihajar dengan popor senjata dan tubuhnya dihujani peluru. Lorca benar-benar dihabisi. Bukunya dibakar di Plaza del Carmen Granada. Buku itu kemudia diumumkan sebagai barang terlarang.

    Hingga hari ini, tak ada yang tahu dimana tubuh sang penyair dibuang.[hah]

Beberapa karya penting Lorca: Puisi: Impresiones y viajes (1918), Libro de poemas (1921), Canciones (1927), Romancero Gitano ("The Gypsy Ballads") (1928), El poema del Cante Jondo (1932), Llanto por Ignacio Sanchez Mejias (1935), Lament for the Death of a Bullfighter and Other Poems (1937), Poeta en Nueva York ("Poet in New York") (1940) , Selected Poems (1941), In Search of Duende (1998) Prose disunting dan diterjemahkan oleh Christopher Maurer, serta Puisi diterjemahkan oleh Norman di Giovanni dkk. Drama: El malificio de la mariposa (1920), Mariana Pineda (1927), La zapatera prodigiosa ("The Shoemaker's Marvelous Wife") (1930), Amor de Don Perlimplin con Belisa en su jardin (1931), Bodas de sangre ("Blood Wedding") (1933), Yerma (1934), La casa de Bernarda Alba ("The House of Bernarda Alba") (1936), The Comedies (1955) English translations.

Tikungan Sungai

Sajak Federico Garcia Lorca



    

Aku ingin kembali ke masa kanak,

dari sana lalu ke bayang-bayang.



    Burung bul-bul, maukah kau ikut?

        Ayo!



Aku ingin kembali ke bayang-bayang,

dan dari situ lalu ke bunga-bunga.



     Wangi, akankah juga kesana?

        Ayo!



Aku ingin kembali ke bunga-bunga

dan dari sana lalu

ke hati sendiri.



     Cinta, maukah kau turut bersama?

        Ah, Selamat tinggal!



(Bagi hatiku yang terbuang!)



River Bend



I want to return to childhood

and from childhood to the shadows.



     Are you going, nightingale?

        Go!



I want to return to the shadows,

and from the shadows to the flower.



     Are you going, fragrance?

        Go!



I want to return to the flower

and from the flower

to my heart.



     Are you going, love?

        Farewell!



(To my abandoned heart!)


Thursday, April 22, 2004

Nyanyian Kecil tentang

Hasrat yang Pertama




Sajak Federico Garcia Lorca



Pada pagi yang hijau

Aku ingin menjelma jadi hati.

Sebuah hati.



Dan pada malam yang matang

aku ingin menjelma jadi burung bul-bul.

Burung bul-bul.



(Jiwa,

bertukarlah ke warna jingga.

Jiwa

bertukarlah ke warna cinta.)



Pada pagi yang berkehidupan

aku ingin menjelma jadi diri sendiri.

Sebuah hati.



Dan pada malam yang luruh

aku ingin menjelma jadi suara sendiri.

Burung bul-bul.



Jiwa

bertukarlah ke warna jingga.

Jiwa,

bertukarlah ke warna cinta!



Little Song of First Desire



In the green morning

I wanted to be a heart.

Heart.



And in the ripe evening

I wanted to be a nightingale.

Nightingale.



(Soul,

go the colour of oranges.

Soul

go the colour of love.)



In the living morning

I wanted to be me.

Heart.



And at evening's fall

I wanted to be my voice.

Nightingale.



Soul

go the colour of oranges.

Soul,

go the colour of love!

[Tentang Puisi] Puisi = Cahaya

PUISI adalah sebuah mitos kecil tentang kemampuan manusia untuk membuat hidupnya bermakna. Puisi, pada akhirnya, bukan sesuatu yang kita lihat. Yang lebih tepat, puisi adalah cahaya yang membuat kita melihat sesuatu lebih jelas dan sesuatu itu adalah hidup.



PADA akhirnya, seorang penyair mungkin lebih takut kepada seorang dogmatis daripada seorang sentimentalis. Yang pertama, ingin mengekstrak pesan dari puisi lalu mencampakkan puisinya, sedangkan yang kedua adalah orang yang berkata, "Oh, tolong biarkan saja saya menikmati puisi apa adanya."



* Robert Penn Warren

[Tentang Puisi] Catatan Kaki

BIOGRAFI seorang penyair adalah puisinya. Yang lain hanya catatan kaki.



* Yevgeny Yevtushenko

Wednesday, April 21, 2004

Dipisahkan oleh Pagi

Sajak Robert Browning



Laut yang tiba tergesa, dikepung semenanjung,

Matahari menjenguk di balik lingkaran gunung:

Yang lurus: setapak bagi langkah kemenangannya,

Dan dunia yang lelaki, tinggalkan ia untukku saja.



Parting at Morning



Round the cape of a sudden came the sea,

And the sun looked over the mountain's rim:

And straight was a path of gold for him,

And the need of a world of men for me.


Dipertemukan oleh Malam

Sajak Robert Browning



1



Membangunkan ikan-ikan kecil dari lelap pejam

Laut abu-abu dan daratan panjang hitam

Dan kuning sepenggal bulan sepegapaian

Dan ombak kecil melompat mengagetkan



Aku sampai di teluk kecil menghela haluan

Dan laju pun kandas perlahan di pasir banjir.





2



Lalu pantai pun beraroma hangat laut;

Seberang tiga padang sebelum sampai ladang;

Seketukan di jendela, menggores tajam kaca,

Dan sesemburan sinar biru: sebuah korek menyala,

Dan suara yang lebih lirih pekik girang dan gentarnya,

Lebih lirih dari jerit dua jantung bertukar debar.

Penari Spanyol

Sajak Rainer Maria Rilke



Bagai batangan korek di pegangan tangan, putih,

setiap ujungnya terbakar, lidah api menyambar

sebelum berkobar juga dalam debar nyala --: pada

lingkar pertama penyaksi mata, menderu, panas,

terang lepas, gerak tarian di tengah lingkaran itu

pun mulai menebar menyulut mata.



Segalanya terbakar sempurna, tiba-tiba saja.



Lewat kerling, ia sulutkan jua api di rambutnya,

menukar memutar segala: seni tari yang berani,

dia kenakan busana, hasrat hati yang menyala,

kedua lengan bangkit, menggapai, bertepukan

seperti ular yang tegak terperanjat.



Dan kemudian: ketika api kian berkobar menakutkan,

direnggutnya semua lalu membuang ke luar arena,

sepenuh yang ia kuasa, sepenuh bangga, gerak tubuh

angkuh, dan saksikanlah: dia berebah di sana,

menggerigis lantai dasar, masih berkobar menyala,

menyerah ia tak hendak---

Hingga ia percaya telah menaklukkan segalanya,

dan senyum yang mengajak, ditengadahnya wajah,

lalu memberi tanda dengan kaki yang kecil bertenaga.







SPANISH DANCER by Bob Rohm



Spanish Dancer



As a wooden match held in the hand, white,

on all its sides shoots flickering tongues

before it flashes into flame—: within the inner

circle of onlookers, hurried, hot, bright,

her dance in rounds begins to flicker and spread.



And suddenly, everything is completely fire.



One glance and she ignites her hair,

turning all at once with daring art

her entire dress into a passion of flame,

from which, like startled snakes,

the naked arms awake and reach out, clapping.



And then: as if the fire were growing scarce,

she takes it together and throws it off,

masterfully, with proud, imperious gestures,

and watches: it lies there raging on the ground,

still flaring up, refusing to give in—.

Till triumphantly, self-assured and with a sweet

welcoming smile, she raises her face,

then stamps it out with small, powerful feet.


[Kata Pujangga] Puisi tak mengusik Inkuisisi, Thomas Hardy





Andai saja Galileo menyatakan dalam puisi bahwa bumi mengitari matahari, inkuisisi gereja mungkin tidak akan merasa terusik.



* Thomas Hardy, Penyair Amerika
Perlombaan Menulis Puisi

tentang Seorang Presiden






Sang penjaga kamar mayat

menulis sebaris kalimat:

Presiden adalah...(lalu

dia teringat, berpuluh mayat

tersimpan di ruang pendingin

tanpa nama, tak ada yang akan datang

menjemput, kecuali catatan sekadarnya,

sebab-sebab kematiannya). "Mereka

harus dimakamkan segera..."



Seorang penyiar radio digoda oleh

bait-bait puisi di benaknya. Lalu

dia menulis: Presiden adalah ...

(dia pun mengingat-ingat lagi,

kalimat-kalimat analisa para

pengamat yang dia wawancarai, dia

pun membayangkan lagi, wajah mereka

yang enggan menyebut nama sendiri,

yang berkata, "saya hanya menyimpan

satu suara, hanya satu suara, yang hendak

kuberikan nanti ketika kusebut sepasang

nama, nama yang tidak mengenal saya.

Setelah itu aku tak punya apa-apa."



Seorang anak TK, memainkan crayonnya

gambar manusia yang sangat sederhana.

Yang tidak merujuk ke siapa-siapa. Yang

tak bernama, dipenuhi seluruh warna.

Kepada ayahnya dia minta dituliskan

kata-kata: "Ini presiden kita..."

Ayahnya tertawa teringat puisi yang

hendak ditulisnya. Lalu berkata

kepada anakknya, "Aku kirim gambar

ini nanti ke panitia lomba mewarnai.

Semoga jurinya tidak buta warna."



April 2004

Monday, April 19, 2004

Sevilla, Lagu Kecil

Sajak Federico Garcia Lorca



    Ketika hari masih pagi lagi

di kebun jeruk, kebun rimbun.

Sewarna emas, lebah kecil,

terbang mencari sari madu.



    Dimanakah madu? Dimanakah?



    Madu ada di bunga biru,

Isabel.

Di bunga-bunga di sana,

bunga rosemary.



    (Kursi kecil emas

untuk orang Moor.

Kursi berhias kertas

untuk saudara sepupu.)



    Ketika hari masih pagi lagi

di kebun jeruk, kebun rimbun.







Little Song of Seville



    At the dawn of day

in the orange grove.

Little bees of gold

searching for honey.



    Where is the honey

then?



    It's in the flower of blue,

Isabel.

In the flower

there, of rosemary.



    (A little gold chair

for the Moor.

A tinsel chair

for his spouse.)



    At the dawn of day

in the orange grove.

Prelude

Sajak Federico Garcia Lorca



Belukar poplar tengah berluruhan,

menyisakan bagi kita: bayangan.



Belukar poplar tengah berluruhan,

menyisakan buat kita: hembusan



Sepoi yang terbungkus kafan

penuh sepanjang awang surga



Tapi, ada yang tertinggal mengapung

gema-gema suara sepanjang sungai.



Dunia: cacing-cacing yang bercaya

merasuk kepada kenangan masuk.



Dan jantung-jantung terkecil

tumbuh bertunasan di jemariku.



//



Prelude

(From Amor: with wings and arrows)



The poplar groves are going,

but leave us their reflection.



The poplar groves are going,

but leave us the breeze.



The breeze is shrouded

full length below the heavens.



But it has left there, floating,

its echoes on the rivers.



The world of the glow-worms

has pierced my memories.



And the tiniest of hearts

buds from my fingertips.


Bumi

Sajak Federico Garcia Lorca



Kita mengembara

menembus bayang maya

cermin tak berlapis perak,

menerobos cahaya kristal

tanpa gelap mega.

Bila bunga-bunga lili

telah bertumbuhan,

bila seluruh akar-akar

bertatapan dengan bintang

dan jenazah itu tak

memejamkan matanya,

kita tak ubahnya sekawanan angsa.





Lukisan Boo Ehrsam



Earth



We travel

over a mirror

without silver,

over a crystal

without cloud.

If the lilies were to grow

upside down,

is the roses were to grow

upside down,

if all the roots

were to face the stars

and the dead not shut

their eyes,

we would be like swans.




Gambar Sebuah Taman II

Sajak Federico Garcia Lorca



Bulan mendamba lelaki

siapa dia bisa melupa?

Mimpi merasuki bumi

mengeras mengkristal.



Geram dan pucat pasi

mengharap laut jadi lelap

lalu menyisiri rambutnya

dengan tangis batu koral.



Ramput ikalnya bersinar

Siapa dia bisa melupa?

ada di dadanya seratus

bibir: sumber semata air.



Ada lembing raksasa

menderu memperisainya

Ada ombak tanpa gerak

laut datar tak beriak.



Tapi Bulan Sang Bulan

Bilakah dia datang lagi?

Tengok, tirai-tirai angin

gemetar tak juga berhenti.



Bulan mendamba lelaki

Siapa dia bisa melupa?

Mimpi merasuki bumi

mengeras mengkristal.



///



Print of the Garden II



The Moon widow

who could forget her?

Dreaming that Earth

might be crystal.



Furious and pallid

wishing the sea to sleep

combing her long hair

with cries of coral.



Her tresses of glass

who could forget them?

In her breast the hundred

lips of a fountain.



Spears of giant

surges guard her

by the still waves

of sea-flats.



But the Moon Moon

when will she return?

The curtain of wind

trembles without ceasing.



The Moon widow

who could forget her?

Dreaming that Earth

might be crystal.




[Ruang Renung # 73] Sang Mahapenyair





LALU lihatlah laut. Ia tidak sekedar gelora ombak. Tidak sekadar rumah bagi ikan dan hewan laut lainnya. Tidak sekadar tempat bagi kapal-kapal mengarung. Sang pencipta menyerahkannya kepada kita. Juga membebaskan kita memaknainya. Atau mengingkari. Tuhan tidak akan pernah menyesali. Ia sudah menggubah. Dan apa bedanya itu dengan puisi?



LALU lihatlah langit. Angin yang mengarak awan. Ada juga yang tersesat. Menyenggol daun yang memang sudah saatnya lepas dari tangkai. Lalu jatuh. Menyentuh pundak seseorang yang lewat di sana. Ada yang tersentuh dan memberi makna pada peristiwa sederhana itu. Dia menuliskan satu dua bait puisi. Yang dia lakukan sebenarnya adalah kepekaan menyalin sebuah puisi yang ditulis oleh Sang Mahapenyair. Bukankah kata Ralph Waldo Emerson, "hanya puisi yang mengilhami lahirnya puisi"? Bukankah kata Robert Browning, " Tuhan adalah dia yang Mahapenyair"?[hah]

Saturday, April 17, 2004

Habis Terang Terbitlah Silau

Dari Jepara ke Rembang

dia mencari, menapaki bayang

perempuan mati muda,

pada 24 tahun usianya.



Ada setumpuk surat-surat,

tersusun di atas makamnya.



Ada pesan yang harus ia catat

di batu nisannya: amplop dan

secatatan alamat yang dekat.



Mungkin ke sana, kemana

cita-cita akan ia kawatkan.



Dari Jepara ke Rembang

dia hendak melupakannya:

perempuan istri kedua,

yang melepaskan nyawa

ketika melahirkan putra.



Dia tersesat cerlang cahaya.

Silau yang merabunkan mata.



Sesudah kau berziarah

ke makam yang salah.



April 2004

[Kata Pujangga] Penyair Pendusta, Jean Cocteau





SANG penyair adalah pendusta yang selalu berbicara kebenaran.



* Jean Cocteau (July 5, 1889 - October 11, 1963) penyair, novelis, dramawan, desainer dan pekerja film Prancis.

[Kata Pujangga] Kesepakatan dengan Puing Kamus, Gibran

PUISI adalah kesepakatan antara rasa gembira, sakit dan takjub, dengan puing-puing reruntuhan kamus.



* Kahlil Gibran, Penyair Lebanon

Dead Poet Society*

Catatan Pinggir Goenawan Mohamad



SIAPA yang suka mencurigai dan melarang sajak, pergilah nonton Dead Poets Sicoety. Dan jangan tidur. Sebab di sana Tuan akan menyaksikan suatu kekuatan yang ganjil yang bernama puisi.

Dead Poets Society

     Puisi dalam film ini, merupakan tokoh utama yang tidak tampak, tapi dengan cepat bisa menyihir sejumlah anak muda. Semula anak-anak itu hidup dalam tertib. Kini mereka jadi tahu hal-hal yang lebih dahsyat dan asyik: keindahan, kebebsan, permainan, kegembiraan, impian, cinta dan akhirnya kematian.

     Tapi apa itu puisi, jangan minta definisi. Yang jelas, ia bukan hanya serangkaian kata-kata bagus, yang di Indonesia dulu disebut "syair". Konon, Boris Pasternak, penyair Rusia itu, pernah mengatakan apa arti puisi baginya, " Puisi adalah manis kacang kapri yang mencekik mati, air mata dunia di atas bahu." Dengan kata lain: sesuatu yang konkret, juga sesuatu yang intens.

     Tak mudah, memang, untuk memahami itu. Sebab, sebuah sajak yang indah seakan-akan selalu berakhir sebagai sebuah enigma, sebuah sihir, sebuah cerita misteri: penuh daya pukau tapi juga penuh kemungkinan. Di dalamnya rasa, renungan, dan rekaan bergelora, bebas, seperti kata hati yang tidak ditekan.

     Maka, ketika seorang guru muda (demikianlah kita lihat dalam film itu) datang ke sebuah sekolah tua dan memperkenalkan puisi sebagaimana mestinya, yang terjadi adalah sebuah transformasi besar.

     Anak-anak muda di sekolah itu segera menghambur ke alam imajinasi dan kebebasan. Mereka seakan-akan kena sulap dan terbawa masuk ke dalam gelora hati yang terlarang, ke dalam cita-cita yang haram, ke dalam sukacita yang dicemaskan. Mereka berkumpul dalam gelap hutan yang basah, dan membayangkan bahwa mereka adalah anggota Dead Peots Society. Padahal, yang mereka ikuti adalah panggilan keprbadian mereka sendiri: mereka tak takut lagi menjelajah.

     Dalam sejarah kita, kita pun punya Dead Poets Society. Anggota awalnya adalah Rustam Effendi. Pada tahun 1924 penyair lakon Bebasari ini menulis sebuah sajak yang kemudian termahsyur: ia buang dan mungkiri aturan lama karena ia tak ingin mengikuti kekakangan sosial, karena ia hanya ingin mengikuti perasaan hatinya: "sebab laguku menurut sukma."

     Rustam Effendi, kemudian, tak hanya mau membebaskan diri dari aturan syair. Aturan itu adalah sisa tradisi yang membelenggu, cerminan sebuah masyarakat yang terpasung. Rustam Effendi pun kemudian menjadi seorang revolusioner. Ia ingin menggaribawahi pembangkangan itu, yang dimulai dengan puisi.

     Pada tahun 1936, S. Takdir Alisyahbana memproklamasikan pembangkangan yang lain: ia menyatakan akan meninggalkan alam kehidupan yang tenteram. Kehidupan lama itu baginya seperti "tasik yang tenang tiada beriak" yang "diteduhi gunung yang rimbun/dari angin dan topan." Alam yang tak mencekik, memang, tapi tak lagi memuaskan. Di dalam ketenangan itu, jiwa sang penyair justru gelisah. "Gunung pelindung rasa penghalang," katanya dalam sajak Menuju ke Laut. Maka, hatinya pun "berontak", "hendak bebas" dan "menyerang segala apa menghadang". Takdir memulai suatu eksplorasi ke arah Indonesia yang lebih dinamis.

     Dan itu tak berhenti padanya. Di awal 40-an, ada Chairil Anwar. Kita semua tahu bagaimana penyair itu menamakan dirinya "binatang jalang dari kumpulannya terbuang". Kita juga ingat bagaimana dia berseru agar para penulis menggores dan membedah segalanya, sebab tak ada tabu dan tak bisa disentuh, "juga pohon-pohon beringin keramat yang hingga kini tidak boleh didekati!"

     Siapa yang suka mencemaskan puisi, baiklah kita ingatkan: Chairil adalah anggota terkemuka Dead Poets Society. Ia memang berbahaya, tapi siapa yang bisa membantah bahwa ia telah memberi inspirasi kepada banyak orang? Setelah Chairil, tema pembangkangan dan pembebasan tetap kembali, dan inspirasi itu bangkit terus. Rendra mengelu-elukan figur "orang urakan", orang yang menampik konvensi umum. Sutardji Calzhoum Bachri membebaskan kata dari ikatan kebersamaan bahasa --- kebersamaan yang ditentukan kamus.

     Mungkin karena itulah, ada orang mencurigai keberandalan puisi. Ada orang (antara lain Stalin) yang menyensor sajak dan memenjarakan penyair. Ada mereka yang ibarat Khattam-Shud dalam cerita Salman Rushdie, Haroun adn The Sea of Stories.

     Dalam dongeng yang penuh makna ini, Khattam-Shud adalah penguasa Tanah Chud yang kelam, dengan para pengikut yang fanatik yang bersumpah membisu. Mereka menampik kata, memusuhi bahasa, membekukan sastra. Khattam-Shud dan pengikutnya bekerja 24 jam meracuni Lautan Cerita karena ia membenci cerita. "Padahal dunia tidak dimaksudkan untuk kegembiraan.... Dunia adalah untuk Pengontrolan."

     Siapa yang mengontrol puisi.



15 Desember 1990



* Dari buku Catatan Pinggir 4 (Pustaka Utama Grafiti, 1995)

Thursday, April 15, 2004

Lucía Martínez

Sajak Federico Garcia Lorca



Lucia Martinez.

Membayang dalam merah sutra.



Kedua pahanya, seperti senja,

beranjak dari terang ke remang.

Pendar urat darah yang terhalang

Mengelamkan engkau, magnolia



Ini aku disini, Lucia Martinez.

Datang merakusi mulutmu

Dan merengkuhmu seluruh

semula pada rambut sehingga

ke awal waktu serelung hewan samudera.



Sebab aku hendak, sebab aku sanggup.

Membayang dalam merah sutra.





Lucía Martínez



Lucía Martínez.

Shadowy in red silk.



Your thighs, like the evening,

go from light to shadow.

The hidden veins of jet

darken your magnolias.



Here I am, Lucía Martínez.

I come to devour your mouth

and drag you off by the hair

into the dawn of conches.



Because I want to, because I can.

Shadowy in red silk.

Berlari

Sajak Federico Garcia Lorca



Yang pergi mengembara

adalah dia: awan itu juga.



Arus yang berlari menerjang

tak sanggup menemui bintang



Yang pergi mengembara

dirinya sendiri pun terlupa.



Dan yang singgah sementara

adalah dia: mimpi itu juga.





Running



That which travels

clouds itself.



The running water

can see no stars.



That which travels

forgets itself.



And that which halts itself

dreams.

Menjelangmu

Sajak Federico Garcia Lorca



     

      Hati!

      Bertukarlah,

     Ubah arah.



Menembus belantara cinta

tak seorang pun kelak kau jumpa.

Mata air pun hendak kering tak tersisa.

Pada hijau warna-warna

Ada yang Senantiasa ada:

mawar menunggumu, sepadang bunga.



Dan kau akan berkata: 'Cinta! Cinta!

tanpa sayatmu luka

tak ada yang terbuka.



      Hati!

      Bertukarlah,

     Ubah arah.





Towards



      Turn,

     Heart!

     Turn.



Through the woods of love

you will see no one.

You will pour out bright fountains.

In the green

you will find the immense rose

of Always.



And you will say: 'Love! Love!

without your wound

being closed.



     Turn,

     Heart!

     Turn.


Tersebab

Dari Syair Lagu Because

(Lennon/McCartney)




Ah, tersebab berputar dunia

Aku pun terlecut cambuknya

tersebab berputar juga dunia



Ah, tersebab angin meninggi

ini benakku pun terhembusi

tersebab angin itu meninggi



Ah, cinta renta, cinta belia

Cinta segala, engkau juga.



Tersebab langit itu biru

Aku pun menangisimu

tersebab langit itu biru.

Wednesday, April 14, 2004

Pemandu Wisata

/1/



ke kota ini

datanglah sebagai lelaki

dengan kelicikan berdusta

dan keberanian berdosa: keduanya

kau tenteng di tangan kiri saja.



dan



masukkanlah

tangan kananmu ke saku celana

periksa masihkah ada birahi di sana, juga

seberapa banyak kartu kau punya: keduanya

menentukan seberapa busukkah permainan

dan tipuan yang kami bisa tawarkan.



/2/



di kota ini

menangislah di ruang tunggu bandara

sebelum menit-menit berangkat atau

ketika kau baru saja tiba.



setelah itu:

kau tidak akan sempat bertanya,

kami akan menutup mata Anda

dan memandu setiap tamu

ke tempat-tempat yang sudah

menyediakan jawaban pura-pura

(dusta yang instant, tentu saja).



April 2004
Sam Haidy

AKULAH SANG SINGA LAUT



Aku adalah dia,

seperti kamu adalah dia,

seperti kamu adalah aku,

seperti kita bersama-sama.



Lihatlah mereka berlarian,

bagai babi diburu senapan,

lihatlah mereka terbang,

air mataku berlinang.



Duduk diatas serpihan jagung,

menunggu datang sebuah jemputan.

Bersetelan campur aduk,

di selasa berdarah yang terkutuk,

hey bung, kau sudang seperti lelaki jalang,

kau biarkan muka memanjang!



Aku terbungkus cangkang,

mereka terbungkus cangkang,

akulah sang singa laut!



Di kota tuan, kota kebijaksanaan,

polisi cantik nan mungil berdiri di jalan.

Lihatlah mereka terbang,

bagai Lucy di awang-awang*,

lihatlah mereka berlarian,

air mataku berlinang,

air mataku berlinang,

air mataku berlinang,

air mataku berlinang...



Lelehan podeng kuning,

menetes dari mata bangkai seekor anjing.

Umpatan sang istri nelayan,

para nabi kecabulan,

hey bung, kau sudah seperti wanita jalang,

kau biarkan celanamu digerayang!



Aku terbungkus cangkang,

mereka terbungkus cangkang,

akulah sang singa laut!



Duduk di sebuah kebun Inggris Raya,

menunggu matahari tampakkan muka.

Jika dia tak kunjung datang,

kulitmu berganti coklat matang,

berdiri didera hujan Inggris Raya!



Aku terbungkus cangkang,

mereka terbungkus cangkang,

akulah sang singa laut



Penyair licik, perokok tercekik,

kau pikir buat siapa badut bercekikik?

lihatlah mereka tersenyum senang,

bagai babi dalam kandang,

lihatlah mereka menyeringai,

air mataku terurai...



Ikan-ikan semolina,

memanjati eiffel, merayapi menara.

Penguin amatir melagukan HARE KRISHNA,

bung, seharusnya kau lihat mereka sebelumnya,

saat menendang Edgar Allan Poe di pantatnya!



Aku terbungkus cangkang,

mereka terbungkus cangkang,

akulah sang singa laut!





*Langit (bhs.sunda)



(Terjemahan dari lagu I AM THE WALRUS-nya The Beatles, pada

album MAGICAL MYSTERY TOUR)


[Renung # 72] Berkarya = Melawan*

    Kerja kreatif adalah perlawanan yang terus menerus. Pemberontakan yang tidak pernah putus. Perlawanan dan pemberontakan terhadap kemapanan. Jika itu tidak kita lakukan maka hasilnya adalah karya yang terseret arus. Kita tidak akan sampai di mana-mana. Cuma akan mengambang saja nanti di muara. Kita harus melawan kemapanan, juga yang bernama tren. Pilihannya cuma dua, kita lawan arus atau kita ciptakan arus sendiri.



    Kita harus memberontak juga terhadap diri kita sendiri. Juga terhadap pencapaian yang sudah kita dapatkan. Kemapanan adalah jebakan. Rasa puas adalah kuburan. Dan apabila kita kehilangan semangat untuk terus mencari dan menjelajah artinya kreativitas kita telah jadi jompo. Seorang jompo hanya akan duduk di kursi malas mengenang kejayaan masa lalu yang mengelabui. Jangan bangga bila jalan kita diikuti oleh lain yang datang belakangan, banggalah apabila karya kita mengilhami perlawanan-perlawanan, banggalah bila kita berhasil menggoda orang lain untuk memberontak kepada kita.[hah]



* Ringkasan dan pengembangan dari materi saat tampil sebagai narasumber dalam Talk Show Pelantar Gading di Batam TV, Rabu 18.00 hingga 19.00 WIB. Tema: Sastra Perlawanan, pewawancara: Samson Rambahpasir.

[Tentang Puisi] Anak yang tak Beribubapa, Charles Simic





PUISI adalah anak-anak kesunyian yang tak beribubapa. Kata-kata tak pernah bisa sepenuhnya mewakili pengalaman yang hendak diungkapkannya.



* Charles Simic adalah Penyair Amerika kelahiran Yugoslavia.

Semangka

Sajak Charles Simic



Hijau warna Sang Buddha,

di keranjang buah-buahan.

Kita mengunyah senyumnya,

Dan giginya kita ludahkan.

Tuesday, April 13, 2004

Sajak Nanang Suryadi

Seperti Puisi Yang Selalu Merindukanmu



: ha



selalu saja puisi itu merindu,

di sela-sela kepenatan harimu



ia menyelinap

kabarkan kesunyian



seorang penyair

menelusur huruf



pada sayap kupu

pada hening kepompong



pada geliat ulat

dan ketiadaan



* Dari blog seorang sahabat: Nanang Suryadi







Monday, April 12, 2004

Papa... Deja Sortie

RAZIA AGUSTUS



Kepada Sobron Aidit



   SAYA anak negeri Indonesia yang lahir awal 70-an, sedang membaca buku Anda Razia Agustus (Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004). Belum tamat memang. Baru tiga cerita pendek dalam buku itu yang selesai, Razia Agustus, Bang Amat dan Ziarah. Saya merasa sedang membaca sisi lain dari sejarah negeri ini. Sejarah bagi generasi kami diajarkan bukan seperti sebuah pemandangan yang dihamparkan apa adanya. Kami, oleh guru-guru yang sudah dibentuk pola pikirnya oleh kurikulum negara tidak pernah diajari untuk jadi dewasa lalu bisa menjadi bijak ketika menyikapi lanskap sejarah yang apa adanya itu. Sejarah bagi kami diajarkan seperti petunjuk mengemudi, penuh rambu, peringatan dan petunjuk.



   BANG Amat yang Anda ceritakan dalam buku kumpulan cerita pendek itu tidak pernah kami baca sebagai seorang manusia yang utuh. Dia dimonsterkan oleh pelajaran sejarah kami. Dia sampai kepada kami sebagai tokoh yang tidak punya masa lalu. Juga tokoh-tokoh lainnya. Ada bagian dalam ingatan negeri ini yang hendak atau sudah dihapus. Dan upaya itu berhasil. Terutama pada generasi kami. Karena itu cerita Anda membangkitkan simpati saya. Ini juga tidak diajarkan kepada kami. Bagaimana bersimpati kepada manusia pelaku sejarahnya, sambil membaca sejarah dengan apa adanya.



   PAPA Sobron, baiknya aku memanggilmu begitu saja. Seperti dalam salah satu cerita pendekmu dalam buku itu: Papa... Deja Sortie. Seperti itulah juga, aku ingin membuat pengandaian seteleh membaca ceritamu. Seperti ada yang terlepas, sesuatu yang lama kuderita: ketidaktahuan, kebodohan kami yang memang dikehendaki terjadi di negeri ini. Ceritamu, Papa Sobron, bukan sebuah operasi besar memang, hanya sebuah terapi tusuk jarum yang ah... kau sendiri tak yakin apakah memang itu yang menyembuhkan? Tapi, Papa, memang ada yang berubah dalam anatomi ingatanku setelah aku membacanya dan aku berseru:...Deja Sortie!



    Mana yang rekaan dalam cerita-ceritamu? Pertanyaan ini mengusik-usik juga. Jawabku sendiri: dengan hidup yang sedemikian berat, pelik -- dan karenanya teramat menarik dan berharga untuk dituliskan -- kau memang tidak perlu membancuhnya dengan imajinasi. Walaupun, Papa, ada beberapa cerita dalam bukumu itu harus aku baca seperti fragmen tulisan dalam buku best seller A Cup of Chicken Soup for The Soul. Kisah nyata yang menyentuh dan menghangatkan jiwa saya.[hah]

Sunday, April 11, 2004

Dongengan Kenyataan

Mari kulukiskan

alismu adalah jalan

membimbing langkahku

tersesat ke kelam katamu.

Aku setuju, ketika kau

tergesa menyimpulkan:

Ini dongengan kenyataan.



Mari kita selesaikan

kukenang wajahmu muram

semurung degup terkurung

di dalam satu-satunya jantung.

Mengalir ke nadiku sembilan sembilu,

sampai ke hatimu seragut ragu-ragu.

Aku setuju ketika kau

menyebut menyimpulkan:

Ini dongengan kenyataan.



April 2004

[Tentang Puisi] Teks Dasar Puisi, Octavio Paz





SUREALISME bukan aliran dalam sajak, tapi sebuah gerakan kebebasan... Sebuah jalan menemukan kembali bahasa yang polos, pembaharuan kenyataan asali, puisi adalah teks dasar, bangunan dasar dari keberadaan manusia. Surealisme itu revolusioner karena ia membawa kembali ke titik awal: sumber dari seluruh asal mula.

Sajak Mencari Judul

Lalu, hanya ada sebisik kata yang tersisa.



Itupun tak cukup untuk mulai menuliskan,

sekalipun sebuah sajak paling sederhana.

Pena di tangan masih erat. Ia pertahankan.



Semua memang senantiasa meragukan:



peta tanpa arah utara, rambu berdusta,

dan pemandu yang pulang berbalik jalan,

setelah memberi peringatan, "Tidak ada!"



Dia menoleh lagi ke bawah ke kaki sendiri.



Mengingat-ingat ketika langkah pertama.

Perjalanan dari sepatu ke sepatu. Kembali?

Masih jauh. Sebab malam masih 'kan lama....



April 2004

[Tentang Puisi] Walt Whitman di Mata Oscar Wilde





Meski dia kerap dan sangat menolak seni, Walt Whitman adalah seniman. Dia mencoba menghasilkan sebuah pengaruh tertentu dan dengan makna tertentu dan dia berhasil melakukan itu... Dia berdiri terpisah, nilai utama dari karyanya adalah penerawangannya bukan pada penampilannya. Dia sudah memulakan sebuah prelude bagi banyak tema puisi. Dia adalah bentara dari sebuah era. Dia adalah pendahulu sejenis manusia baru. Dia adalah penentu evolusi heroik dan spiritual kemanusiaan. Kalau Puisi mengabaikannya, maka Filosofi yang akan memberinya catatan.

Wednesday, April 7, 2004

[Ruang Renung # 71] Apakah Puisi?

Apakah puisi?



Saya tidak bisa dan tidak ingin menjawabnya. Sebab puisi sendiri bagi saya adalah serangkaian pertanyaan yang tidak berhasrat memburu jawaban. Puisi bagi saya juga adalah sejumlah pertanyaan yang menggugat jawaban-jawaban yang sudah dianggap selesai. Dalam sebuah jawaban yang tuntas, puisi seperti masuk perangkap. Dia tak bisa kemana-mana lagi. Dia terjepit, tak berdaya dan akhirnya mati. Karena itu puisi bagi saya juga upaya untuk membebaskan jawaban tadi dengan pertanyaan-pertanyaan baru.



Apakah puisi?



Saya bisa dan ingin menjawabnya dengan cara ini: menuliskan terus puisi-puisi. Karena, bagi saya, dengan cara itulah puisi sebaiknya diberi jawaban. Setiap puisi yang selesai ditulis adalah jawaban atas pertanyaan 'apakah puisi?'. Karenanya, saya sendiri tak henti menanyakan itu kepada diri saya sendiri, sebab saya tak ingin berhenti menulis puisi.[hah]

Lagu Bocah Berhati Tujuh

Sajak Federico Garcia Lorca



Ada tujuh hati

kupegangi.

Tapi milikku tak menjumpainya.



Di pegunungan tinggi, Ibu,

angin dan aku berlarian bersusulan.

Tujuh perawan berjemari panjang

menarik tanganku ke depan kaca.



Kupersembahkan nyanyi bagi dunia

dengan mulutku tujuh daun bunga.

Kecil perahuku bunga amarant

Jauh sudah hanyut tak berdayung bertali.



Aku tinggal di sini, di pulau

yang lain, ada Rahasia

di seputar rongga tenggorokan,

tanpa kusadari ia, telah terbuka!



Di pegunungan tinggi, Ibu,

(hatiku berkudung gema-gema

dalam ruang kosong sekerlip bintang)

angin dan aku berlarian bersusulan.



Ada tujuh hati

kupegangi.

Tapi milikku tak menjumpainya.



---



Song of the Boy with Seven Hearts



Seven hearts

I hold.

But mine does not encounter them.



In the high mountains, mother,

the wind and I ran into each other.

Seven young girls with long fingers

carried me on their mirrors.



I have sung through the world

with my mouth of seven petals.

My galleys of amaranth

have gone without ropes or oars.



I have lived in the lands

of others, My secrets

round my throat,

without my realising it, were open!



In the high mountains, mother,

(my heart above the echoes

in the album of a star)

the wind and I ran into each other.



Seven hearts

I hold.

But mine does not encounter them.








Venus

(Maka Tampak Kau di Mataku)



Sajak Federico Garcia Lorca



Gadis yang muda itu mati seorang

pada ranjang cangkang kerang,

sepoi angin dan bunga telanjang

mawar kembang, tak habis terang.



Dunia tercampak di belakang,

kapas bunga lili, dan bayang-bayang,

menguak diri pada kristal lulungkang*,

yang tak terhingga singgah datang.



Gadis yang muda itu mati seorang,

tergali tertimbun kasih sayang.

Diantara lembaran busa mengambang

terbasuh basah, rambutnya panjang.



* Lulungkang = Jendela (Bahasa Banjar)



Venus

(So I saw you)



The young girl dead

in the seashell of the bed,

naked of flowers and breezes

rose in the light unending.



The world was left behind,

lily of cotton and shadows,

revealing in crystal panes

the infinite transit's coming.



The young girl dead,

ploughed love inside.

Among the foaming sheets

her hair was wasted.




Tuesday, April 6, 2004





Sebabak Drama

pada Suatu Pagi

di Sebuah Taman

tak Bernama






(Beginilah, sebabak hidup dimulai)



Kupu-kupu:



Selamat pagi,...



Mawar:



Ah, kau lagi, selamat pagi.



Kupu-kupu:



Seperti sejak kukenal kau,

pagi ini kau indah sekali.



Mawar:



Hmm, rayuanmu. Masih

seperti sejak kukenal

Engkau.



Kupu-kupu:



Bolehkah kita bertukar

satu petalmu, dengan

sesobek sayapku?



Mawar:



Jangan, terlalu tak

seimbang tawaranmu itu.



Kupu-kupu:



Tapi, aku rela. Sayap burukku

membuat aku malu. Bayangkan

betapa bangganya aku terbang

dengan menebar aroma wangimu.



Mawar:



Jangan, jangan. Sebaiknya

seperti selama ini saja.

Kau datang ke sini. Kita

bertukar cerita. Kau dengan

petualanganmu, dan aku dengan

perenunganku di taman ini.



Kupu-kupu:



Ah, mungkin aku terlalu memaksa,

tapi toh petal-petalmu kelak luruh,

kenapa tidak kau beri kesempatan

aku mengabarkan indahnya kepada

dunia di luar taman ini?



Mawar:



Jangan.Jangan. Biar begini saja.

Bolehkan aku menawarkan sesuatu

selain yang kau minta?



Kupu-kupu:



Apakah itu?



Mawar:



Ssst, di dadaku, ada madu.

Yang termanis dari yang pernah

kuramu. Ambillah, aku rela

kau habiskan itu untukmu.



Kupu-kupu:



Itu saja?



Mawar:



Apa lagi yang kau minta?



Kupu-kupu:



Izinkan kau meletakkan

telur-telur anak-anakku,

di hangat dedaunanmu.



Mawar:



Silakan saja, kalau kau percaya.



Kupu-kupu:



Terima kasih.

Aku selalu percaya

padamu.



(Begitulah, sebabak hidup dijalani)





April 2004

Sunday, April 4, 2004

Tentang Seorang yang Berjalan

ke Tempat Pemungutan Suara


(Catatan 5 April 2004)



"Tuhan, berikanlah suara-Mu kepadaku." --- Goenawan Mohamad



/1/



Dia mengingat-ingat lagi nama itu.

Sambil terus berkeras melupakan

nama sendiri. Namanya sendiri.



"Aku muara yang tak pernah diberi nama,

tempat singgah dan lalu semua perahu

ke segala tuju, ke semua tipu.

Hanya sementara, sebelum pasang

datang mengapungkan kecewa,"

ujarnya semakin dekat dengan

tempat pemungutan suara.



/2/



Dia terus mengingat lagi nama itu.

Nama yang diingatnya dengan koma,

lalu disebutnya juga nama sendiri dalam

tanda kurung dan sebaris titik yang panjang,

tanpa tanda tanya. Selalu saja,

ada kecewa itu setelah titik dua.



"Adakah tanda baca lain? Yang tidak

berwarna, yang tak ada dalam gambar,

yang bisa diingatnya tanpa mengenang

putus asa yang dulu kerap terbaca,"

ujarnya sambil terus berjalan ke

tempat pemungutan suara.



/3/



Dia terus berjalan ke tempat

pemungutan suara. Pagi. Matahari.

Tanggal tanggung. Iklan kampanye,

disapanya bayang-bayang sendiri,

"Siapa namamu, Saudara?" dan dia

semakin meragukan nama-nama

yang meminta diingat. Nama

yang kerap disebut-sebut sendiri

oleh pemiliknya. Nama mereka yang

mengaku kelak bisa menghapus atau

memberi garis bawah pada namanya

sendiri. Nama yang...



"Ah, padahal aku sudah lama

seperti kau, Bayang-bayangku,

sudah lama tak lagi peduli

pada nama kita sendiri,"

ujarnya sambil terus berjalan

ke tempat pemungutan suara.



April 2004





Friday, April 2, 2004

Pertemuan di Toko Handphone

/1/



"yang kini meringkuk

dalam kepompong itu

dia bukan lagi kupu-kupu,

tentu, tapi apakah dia

sedang rukuk? atau tidur

nyenyak dikutuk kantuk?"

kataku.



"maaf, kau ajukan kepada

siapa pertanyaan itu?"

katamu.



"bukan, bukan untukmu.

aku sedang membaca

pesan di handphone-ku,"

kataku.



/2/



"yang tertulis di kartu

yang kau beri kepadaku itu,

aku kira itu alamatmu,

dan nomor handphone-mu,"

kataku.



"Ya, seperti yang

tertera di situ,"

katamu.



"tapi, apakah itu namamu?"

kataku.



"Cocokkan saja dengan

kartu namamu," katamu,

lalu, "kau lupa, ya? dulu

kau pernah memberiku

sebuah kartu nama?"



"Oh, ya?"

kataku.



/3/



"maaf, rasanya kita

pernah bertemu?"

katamu kepadaku.



"ya, di toko handphone,

kan?" jawabku.



"oh, ya, waktu itu kita

sama-sama hendak

mengisi pulsa,"

katamu.



"ah, aku kira tidak.

aku cuma ingin mencari

ringtone yang merdu,

yang mengingatkanku

pada nyanyi ibuku

ketika dulu dia

menidurkanku,"

kataku.



"Ah, masak sih?"

katamu.



"ya, tapi waktu itu kau

juga menyapaku

dengan kalimat yang sama,

maksud saya dengan 'maaf'

dan dilanjutkan dengan 'rasanya

kita pernah bertemu',"

kataku.



"lalu?"

katamu.



"lalu, Saudara, memang tak

mudah untuk menipuku,"

kataku.



April 2004

Thursday, April 1, 2004

Katamu: 25 Menit Aku Terlambat

Alihbahasa atas lirik

lagu 25 Minutes,

Michael Learn to Rock dalam

Album Paint My Love








Setelah sekian kelebatan waktu,

ada yang segera berganti di benakku.

Sungguh dialah gadis itu,

aku mesti lekas mengejarnya, jadi milikku

aku harus erat mendekapnya, jadi milikku.



Setelah dia hilang, kucari ke segala tuju,

ada yang mesti kukatakan: sebuah maaf,

atas apa yang telah buruk berlaku,

sebab: Aku hanya cinta kepadanya.



Tegak berdiri di teras gereja, ini

bukan tempat bertemu yang semestinya.

Aku tak mencari kesini, hanya kesini.

Lihat! Betapa bahagia dia, baju pengantin

dan tangis yang lain ketika disebutnya jua:



    Hei lelaki, kurindu kecupmu, sekian

    waktu berkelebat, tapi ini sakit

    yang singkat, kau 25 menit terlambat.

    Aku tahu sungguh, telah jauh kau tempuh,

    tapi ini sakit yang teramat aduh,

    kau 25 menit terlambat.



Kutantang hembus angin, aku hanya kembali,

berkhayal waktu mengulangi saat kau dan aku

bukan sekadar dua lelaki dan gadis bertemanan.



Tapi masih saja, kutoleh engkau

yang tegak berdiri di teras gereja.

Aku tak mencari kesini, hanya kesini.

Lihat! Betapa bahagia dia, baju pengantin

dan tangis yang lain ketika disebutnya jua:



    Hei lelaki, kurindu kecupmu, sekian

    waktu berkelebat, tapi ini sakit

    yang singkat, kau 25 menit terlambat.

    Aku tahu sungguh, telah jauh kau tempuh,

    tapi ini sakit yang teramat aduh,

    kau 25 menit terlambat.



Aku menjauh, di telusuran jalanan, hati

yang kelaparan, tak satu pun hendak

mengingat kenangan di kepala berjejalan,

masih saja aku mendengar dia menyebutkan:





    Hei lelaki, kurindu kecupmu, sekian

    waktu berkelebat, tapi ini sakit

    yang singkat, kau 25 menit terlambat.

    Aku tahu sungguh, telah jauh kau tempuh,

    tapi ini sakit yang teramat aduh,

    kau 25 menit terlambat.

Panggilan Kepulangan

Syair Rabindranath Tagore



Malam gelap, dia pergi mengendap, dan mereka terlelap.



Malam juga kini gelap, aku memanggilnya, "Kembalilah,

pulanglah, Kekasih, dunia kita tengah tertidur, dan tak

ada yang bakal tahu kau sejenak datang, sementara

bintang-bintang pun asyik bertatapan sesama bintang."



Dia pergi bertolak, ketika pohon-pohon berkuncupan,

dan musim semi masih sangat dini.



Kini bunga-bunga itu mekar di cabang yang tinggi dan

aku memanggilnya, "Kembalilah, Kekasihku. Anak-anak

bermain liar, memunguti dan menaburkannya lagi. Dan bila

kau datang dan memungut sekuntum kecil, tak akan

ada yang merasa kehilangan."



Yang pernah dipakai bermain masih ingin bermain kan?

Ah, betapa pemborosnya hidup kita, Kekasih.



Aku menyimak perbincangan mereka dan memanggilmu,

"Kembalilah, Kekasihku, selama hati ibumu meluap

penuh cinta, dan bila engkau datang hanya untuk

mencuri satu kecupan kecil, tak akan ada yang dendam."





THE RECALL



The night was dark when she went away, and they slept.



The night is dark now, and I call for her, "Come back, my

darling; the world is asleep; and no one would know, if you came

for a moment while stars are gazing at stars."



She went away when the trees were in bud and the spring was

young.



Now the flowers are in high bloom and I call, "Come back, my

darling. The children gather and scatter flowers in reckless

sport. And if you come and take one little blossom no one will

miss it."



Those that used to play are playing still, so spendthrift is

life.



I listen to their chatter and call, "Come back, my darling, for

mother's heart is full to the brim with love, and if you come to

snatch only one little kiss from her no one will grudge it."