Thursday, October 27, 2005

Notes, 2

untuk sekali ini, masing-masing kita diam
diam yang menyebut kata, dari pertemuan mata

pada memandang yang kelam tiada apa...
yang berkelebat di sana, lain mata yang
memandang pada kita

sekujur gemetar menolak seribu nista
gemetar yang sama, lihat, ia ada pada
bebayang dosa, pada bebayang siksa

tiada yang berani mencuit hilang, tak juga
terjamah seperti apa bayangan

padahal segala mungkin telah lama hilang,
sayang, mungkin karena terlalu lama kita
hanya berpandang tak juga berpegang

tatkala rebah, rindu tak juga ada...
nyata semuanya bukan dan tiada apa-apa

kau tak merasa, rindu itu ada, ketika kau
rebah dia mendekapkan telinga ke dada, mencari
degup itu ada, meyakinkan rindu itu berdetak jua

Notes, 1

aku raba lagi dada, mencari adakah redha
sudah kusematkan di sana, aku raba lagi dada,
menebak apakah badai-badai sudah reda

lalu aku tak mencari apa apa lagi, badai yang
lalu berkunjung, menyinggahkan murung, berdetak
ubun-ubun, sekian rindu semakin membumbun

akhirnya, kita memang tak keliru bukan?
setelah apa yang sempat kau tanya, masihkah
kini perlu juga kuberi jawabnya

Tuesday, October 25, 2005

Ceritakan Padaku dengan Puisi dan Kata

ceritakan padaku tentang kata,

kata yang menyebut kau dan dia; kata yang senantiasa setia menukar kabarmu dan kabarnya; kata yang tak pernah kurang menjadi bunga tumbuh dan dipetik dari hatimu hatinya; kata yang membuat jarak jadi tak lagi tersebutkan lagi berapa pun jauhnya;

ceritakan padaku tentang puisi,

puisi yang kupunguti dari jejak-jejak jenaka katamu dan katanya; puisi yang kucahayai dengan terang dari katamu dan katanya; puisi yang kuterjemahkan dari tari kupu-kupu yang berebut hinggap di bunga-bunga katamu dan katanya; puisi yang bait-baitnya adalah waktu menanti, rindu yang ada walau tak tersebutkan oleh katamu katanya;

[KISAH] Anak Lelaki dan 40 Lembar Kartun, 2

DI Twin Towers Plaza, Kuala Lumpur. Dia menemukan surga itu: Toko Buku Times. Buku-buku yang terpajang semuanya berbahasa Inggris. Dia menyusuri rak demi rak. Ia bertanya kepada pegawai toko, perempuan Melayu berkerudung. Muda dan manis. Walaupun tanpa senyum. Tidak. Tidak sinis. Ia mungkin hanya tidak ingin bermanis-manis. Seolah dengan ekspresi datar saja dia sudah amat sadar bahwa wajahnya memang manis.

"Buku Lat ada?"

"Lat? Buku ape tu?"

Duh, tak bisakah kamu jadi gadis manis yang juga cerdas? Lat itu kartunis besar dari negaramu, Sayang. Dia bergelar Datuk, tahu?

"Kartun. Komik. Lat. Emmmm Kampung Boy. Tahu??"

Si manis tampaknya mulai sadar berhadapan dengan orang yang bukan iseng singgah di toko buku itu. Dia bergegas ke rak buku lain. Melihat menyibak membaca buku-buku yang dipajang. Lalu menyodorkan sebuah buku. Lebih besar sedikir dari ukuran saku.

"Buku ini?"

Lelaki itu membaca: Mat Som. "Ya, ini juga buku Lat. Judul lain tak ada?"

[bersambung]

Monday, October 24, 2005

Mata yang Membendung Mendung

mana yang lebih jujur,
bibirmu yang mengatakan senyum,
atau mata yang membendung mendung?

aku lebih percaya pada pipimu, Sayang

putih yang tabah, melalukan semua air mata
putih yang sabar, mengundang tanganku menyeka

aku lebih percaya pada alis dan bulu mata
teduh yang melindungimu dari tatap kemarau,
gersang yang mengisyaratkan danau itu ada

Percakapan Dua Kekasih Lama

"Di dinding sebelah mana engkau
memajang potretku? Aku sudah lupa.

Hanya kuingat, engkau pernah cerita.

Ajakanmu menyinggahi rumah pun tak
sempat kuiyakan. Ya begitulah, aku
dikunyah kesibukan tak bersudahan..."

"Aku tak memajangnya lagi, sebab
seluruh dinding penuh kulapisi
kertas penghias bergambar senyum dalam
dan kerlingan liar matamu..."

Sunday, October 23, 2005

Rumah Berpagar Bunga-bunga

kalau melewati jalan itu lagi, kau bisa
menyentuhi ujung ranting di kanan dan kiri

jalan ini sampai kemana? sekarang ia menuju
ke rumah berpagar bunga-bunga: rumah kita

seperti dulu, selalu lewat kabut, dingin
mengakukan rumput, di rambut daun sangkut

aku pasang mata di sini, melepas pandang,
ke seberang, ada kabar dikirim gelombang?

gemericik riak, tubuh danau yang bergerak,
perahu di seberang, belum lepas tali kekang

Thursday, October 20, 2005

[KISAH] Anak Lelaki dan 40 Lembar Kartun

ANAK lelaki itu mengenakan kemeja lengan panjang pertama yang ia miliki. Itulah pakaian terbaik yang ia miliki saat itu. Digantungnya seragam pramuka di balik pintu. Semalaman diselesaikannya 40 lembar komik strip. Ya, 40 lembar! Komik itulah yang hendak ia antarkan ke kantor surat kabar di kotanya. Surat kabar itu baru saja terbit.

Dia membayangkan kelak menjadi kartunis setenar Charlie M Schulz. Nama yang tidak dikenal oleh teman-teman sekelasnya. Padahal nama itulah sang kreator Snoopy anjing milik Charlie Brown yang banyak ia dilihat di buku tulis, tas dan pena teman-teman sekelasnya.

Perempuan itu - menurutnya saat itu adalah wanita dewasa paling cantik yang pernah ia temui, yang kelak ia kenal sebagai sekretaris redaksi surat kabar pertama di kotanya itu - menerimanya dengan ramah. Lupakan senyum itu, katanya menenangkan gugupnya sendiri. Ingat 40 lembar komik stripmu!

Amplop tebal itu pun ia sodorkan dengan kalimat pengantar yang kacau. Tapi, perempuan tercantik itu tampaknya mengerti. Mengerti kegugupannya, mengerti maksudnya. Amplop itu pindah tangan. Beberapa komik stripnya ditarik lalu dimasukkan lagi. Satu kalimat pujian didengarnya.

"Hari ini tak ada redpel. Pimpred juga tak ada. Senin besok datang lagi ya..."

Redpel? Pimpred? Jabatan mentereng di surat kabar itu pertama kali didengarnya dari mulut wanita dewasa tercantik yang pernah ia jumpai.

***

"Berapa hari menggambarnya?"
"Satu malam."
"Satu malam?"
"Ya..."

[bersambung]

Wednesday, October 19, 2005

[KISAH] Sebelum Nelayan Melaut

Kue-kue itu harus sampai ke warung sebelum nelayan pergi melaut. Anak lelaki itu berjalan tanpa alas kaki, menjunjung talam besar berisi penuh irisan-irisan kue. Kue itu dibuat oleh ibunya. Sebelum pagi benar-benar sempurna. Artinya tanda-tanda fajar di timur langit masih ada.

Dia tidak berteriak, "kue, kue!". Meskipun selalu saja ada yang memanggilnya sebelum sampai ke warung, memanggilnya untuk singgah lalu memilih dua tiga potong kuenya untuk sarapan.

Tugasnya hanya mengantar kue-kue ke warung. Warung itu tak jauh dari pangkalan kapal-kapal melayan. Sambil berjalan dengan talam berisi penuh kue di kepalanya, dia suka memandangi langit timur. Jingga perlahan menyusut ke biru langit. Menciptakan ciprataan warna serupa di permukaan laut.

Tapi pemandangan yang paling ia suka adalah ketika nelayan-nelayan membungkus kue yang baru diantarkannya ke warung. Dia akan bercerita kepada ibunya tentang peristiwa itu. Bukan, bukan pemandangan jingga fajar yang perlahan menyusut itu. Dia tahu cerita apa yang paling disukai ibunya.

Ketika Doa Itu Berakhir

suara jatuh air seremang zikir

disebutnya jugakah namaku
ketika doa-doa itu berakhir?

Tuesday, October 18, 2005

Abah, Mama, Elus Kepalaku Seperti Dulu

Anakmu seperti kamu dulu, kata Mama
sambil mengelus kepala cucu lelakinya.
Aku seketika ingin sekali merasakan elusan itu.

Jauhkah tempat mengajimu? tanya Abah
ketika cucu perempuannya mencium tangannya.
Aku tiba-tiba ingin lagi mengaji dengannya.

Image hosted by Photobucket.com
Image hosted by Photobucket.com

Hasan Aspahani by Ed Zoelverdi

[PerNIKAN] Abah Mama di Batam

ABAH dan Mama merayakan lebaran Idul Fitri di Batam. Bersama kami: aku, Yana, Shiela cucu pertamanya dan Ikra cucu yang baru mereka lihat. Senin kemarin kami menjemput di Bandara. Ikra langsung mau digendong neneknya. Shiela sudah pernah kami bawa ke kampung, tiga tahun lalu. Dia masih ingat wajah nenek dan kakeknya.

Ini pertama kali Abah dan Mama ke Batam. Saya bermukim di Batam sejak 1999. Terpenuhi satu janji saya untuk mengajak mereka ke sini.

Saturday, October 15, 2005

Image hosted by Photobucket.com

The Average Bureaucrat, SALVADOR DALI

Thursday, October 13, 2005

maukah kau

maukah kau menjadi rahasiaku saja?
kata yang kususun sempurna yang
kelak hanya kubisikkan padamu jua

maukah kau menjadi rahasiaku saja?
katakata yang teramat berharga, yang
kita jaga dan kita maknai bersama

Monday, October 10, 2005

Ucapkan Marhaban Bagi Ramadan

Ghazal Jalaluddin Rumi

Berlimpahlah berkah bersama tiba bulan Berpuasa
Gembiralah perjalananmu, O kawan-pengelana Puasa!

Aku melompat ke atap, dengan bulan bertatap, karena
di hatiku penuh rindu mendamba tiba bulan Puasa.

Lama kutatap hingga jatuh surban di kepala, aku pun
mabuk rindu, tersebab mendamba Sang Raja Puasa.

O, segenap Muslim, sejak itu aku mabuk rindu. Betapa
banyak, keberuntungan, dan keagungan Bulan Puasa.

Di bulan ini, ada Bulan lain sembunyi, tersamarkan
seperti orang Turki di balik kemah-kemah bulan Puasa.

Siapa saja dia yang berjalan di Bulan itu, dia datang
ke bulan terbaik pada lantai penebahan bulan Puasa.

Apabila dia memucatkan wajah seputih satin, dia kelak
mengenakan jubah bersepuh kehormatan bulan Puasa.

Doa-doa dijawab pada bulan ini, dada langit
membuka ditembus isyarat-isyarat bulan Puasa.

Dia kelak menggapai kerajaan Cinta di Negeri Mesir
seperti Yusuf yang amalkan kesabaran sumur Puasa.

Kurangi makan sahurmu. O, mulut yang bicara, diamlah,
demi puasa jua, kelak mereka jadi ahli pemakna Puasa.

Friday, October 7, 2005

[Ruang Renung # 127] Berjarak, Berjarak, Berjarak

Image hosted by Photobucket.com

Meditation on The Harp, Salvador Dali



Berjarak, bukan berarti terpisah, apalagi terasing.

Puisi harus berjarak dari kenyataan. Puisi bukan sekadar potret dari kenyataan. Bukan tidak boleh dia menjadi semacam pemotret situasi, tapi potret yang baik bukan sekadar menampakkan wajah dari kenyataan yang ingin dipotret. Puisi harus menjadi potret yang hidup, yang bisa menampilkan emosi kenyataan, dengus nafas kenyataan, bahkan aroma kenyataan. Puisi, seperti kata Tardji, harus berada di atas kenyataan. Kalau kata sekadar mewakili adalah kenyataan, maka katanya, kata harus dibebaskan supaya tidak sekedar terjebak dalam kenyataan. Susah? Ya, Memang tidak gampang.

Puisi harus berjarak dengan otoritas di luarnya. Termasuk dengan penguasa. Penguasa bukan saja pemerintah. Banyak sekali penguasa-penguasa di luar puisi. Salah satu penguasa itu adalah makna yang membelenggu. Ketika puisi bebas dari penguasa makna, bukan berarti dia hidup dalam dunia tanpa makna. Dia harus bebas dari makna, supaya makna-makna lain bebas datang padanya. Banyak penguasa lain yang mengancam puisi, ingin menguasai puisi, ingin menjerat puisi, yang ingin membunuh puisi. Penguasa-penguasa itu tidak selalu pasang muka bengis. Ia bahkan bisa datang ke hadapan puisi dengan wajah manis. Angkuhkah puisi? Ya, memang di tengah persaingan yang keras, puisi harus berdiri teguh.

Puisi bahkan harus berjarak dengan penyairnya. Puisi yang sudah dilepas penyairnya dari rahim penciptaannya, bebas pergi ke mana saja. Menemui pembaca siapa saja. Oleh pembaca puisi tadi mungkin disukai, dipelihara, disucikan, atau sebaliknya dibenci, direndahkan. Si penyair boleh sesekali diminta penjelasan tentang puisi itu. Tapi, bukan berarti itu adalah satu-satunya penjelasan, juga bukan penjelasan yang paling benar.

Berjarak, bukan berarti terpisah, apalagi terasing.

Wednesday, October 5, 2005

[PErnikaN] Dua Badai

ADA dua badai kecil di rumah kami. Badan Shiela dan Badai Ikra. Kamar tidur, ruang tamu, dapur, dalam sekejap bisa dibuat berantakan. Rumah kami begitu kecil. Ulah kedua badai itu kentara sekali terlihat akibatnya.

Hanya pada saat tidur keduanya terlihat sangat manis.

Tuesday, October 4, 2005

[PernikAN] Shiela Mau Puasa

Mama: Bah, Shiela nanya, kalau dia puasa dikasih hadiah apa?
Abah: Hadiahnya masuk surga...
Shiela: Itu kan hadiah dari Tuhan? Bukan dari Abah...
Abah: Ya, deh. Nanti Abah kasih baju baru dua pasang...
Shiela: Horeee, adek nggak dapat baju, adek kan nggak puasa....