Tuesday, December 30, 2008

9 Pertanyaan untuk Richard Oh: Menggenggam Dunia lewat Buku




dari Jurnal Nasional

DEMI kecintaannya pada buku, Richard Oh rela meninggalkan bisnis periklanan yang sudah ia tekuni selama belasan tahun. Kemudian lelaki kelahiran Tebingtinggi, 30 Oktober 1959, ini mendirikan sebuah toko buku. Sebuah impian lama yang masih tersimpan rapi di dalam benaknya.



Tak hanya itu, sebagai bukti kecintaannya pada dunia kesusasteraan, pemilik toko buku Quality Buyers (QB) World ini menyelenggarakan Khatulistiwa Literary Award (KLA). Sebuah ajang yang bertujuan mendukung proses kreatif para penulis. Sayangnya langkah Richard tersebut tidak hanya menuai pujian, sejumlah kecaman terhadap KLA juga dialamatkan kepada ayah tiga orang anak ini. Berikut petikan obrolan Richard dengan Jurnal Nasional di Galeri Cemara, Jakarta, beberapa waktu lalu.

1. Apa yang menarik Anda ke dunia sastra, bukankah Anda sudah punya bisnis yang mapan?

Sejak kecil saya gemar membaca. Bagi seorang anak yang hidup di kota kecil seperti saya, buku menjadi sebuah jendela untuk melihat dunia luar. Saya selalu menyisihkan uang jajan supaya dapat membeli buku.

Saya memiliki pengalaman berkesan ketika masih kecil. Waktu itu saya menyukai buku Tuanku Rao. Buku itu termasuk langka, diterbitkan tahun 1965 dan bercerita mengenai masuknya Islam ke Tanah Batak. Suatu saat di sebuah bazar buku, saya melihat buku tersebut. Kemudian saya masuk dan bertanya pada penjaganya berapa harga buku itu. Kemudian ia memberikan buku itu pada saya dan berkata, "Aku kenal kau, kau amat mencintai buku. Ini adalah dari aku untukmu."

2. Apa keluarga Anda waktu itu mendukung minat Anda akan kesusasteraan?

Seperti orang keturunan pada umumnya, keluarga tidak terlalu mendukung saya untuk aktif di dunia kesenian. Mereka lebih senang jika saya menggeluti bisnis dan mencari kesuksesan secara materi.

Kemudian setelah menikah, saya melanjutkan pendidikan saya di Sastra Inggris dan Pengarangan dari Universitas Wisconsin, Madison, Amerika Serikat. Ketika itu keluarga saya setuju-setuju saja, meski pasti ada kompleksitas yang harus dihadapi.

3. Sepulangnya Anda dari Amerika, Anda langsung berkecimpung di dunia sastra?

Tidak. Pulang dari Amerika saya bekerja di beberapa perusahaan periklanan. Beberapa tahun kemudian saya mendirikan perusahaan sendiri. Cukup sukses, kami memiliki ge-dung sendiri dan berhasil memenangkan beberapa penghargaan.

Dunia periklanan cukup menarik karena di sana saya dituntut untuk kreatif dan bermain-main dengan imajinasi. Tetapi, entah kenapa, setelah menjalaninya selama 15 tahun saya mulai merasa jenuh.

Puncaknya pada kerusuhan 1998, saya berpikir untuk mengubah hidup saya. Saya ingin mengisi hidup dengan hal-hal yang saya senangi, yaitu buku. Kemudian saya membuka Quality Buyers (QB) World dan memilih untuk menghabiskan waktu dengan teman-teman sastrawan dan film maker.

4. Apa pasar QB World cukup menjanjikan?

Tidak juga. Pasar buku-buku impor kecil, saya sudah buktikan, sebesar apa pun toko yang didirikan penghasilannya tetap sama. Meski secara ekonomi tidak menghasilkan banyak uang, saya cukup senang karena bisa memuaskan obsesi lama saya.

Saat ini banyak pemodal besar seperti Gajah Tunggal (Kinokuniya), Aksara dan nggak lama lagi grupnya Lippo bermain di ranah yang sama. Saya senang karena pencinta buku akan memiliki banyak pilihan. Tetapi, saya sedikit kecewa dengan pemilihan buku mereka yang kurang selektif dan hanya memenuhi kebutuhan kalangan itu-itu saja.

5. Apa yang melatarbelakangi Anda membuat Khatulistiwa Literary Award (KLA)?

Konsep awal yang saya bicarakan bersama Sutardji Calzoum Bahri, Danarto, dan seorang teman dari Jepang adalah membuat penghargaan sastra yang diberikan oleh kalangan sastrawan itu sendiri. Tujuannya mendorong para penulis untuk tetap berkarya.

Hadiah yang kami berikan juga cukup besar yaitu Rp100 juta untuk kategori puisi dan prosa, serta hadiah Rp25 juta untuk penulis pemula. Hadiah tersebut cukup bagi teman-teman agar setidaknya dapat berkonsentrasi selama setahun untuk menghasilkan karya.

Saya sering mendengar dari teman-teman tentang award ini dan award itu yang seringkali hadiahnya dipotong. Umpamanya hadiahnya Rp50 juta, tapi ternyata yang turun cuma Rp5 juta.

6. Bagaimana mekanisme penilaiannya?

KLA memiliki mekanisme penilaian sendiri. Karya-karya dinilai secara bertahap oleh beberapa dewan juri yang berasal dari kalangan sastrawan yang karyanya tidak menjadi peserta, akademisi serta wartawan yang medianya memiliki rubrik budaya.

Kalau panitia sudah memilih ketua juri, ketua terpilih bertanggung jawab untuk memilih anggota juri. Kemudian ada tiga tahap pemilihan, tahap pertama sekian orang juri memilih sekian buku yang telah diterbitkan dalam kurun waktu 12 bulan, mulai dari Juni tahun lalu sampai Juni tahun sekarang.

Semua karya harus orisinal belum pernah diterbitkan di mana-mana, dalam bentuk sastra, kategori sastra dan tidak merupakan terjemahan, atau perkembangan dari cerita lain. Setelah tahap pertama sepuluh karya dipilih, tahap kedua penilaian dilakukan oleh kelompok juri yang berbeda lagi dan mereka akan memilih lima dari sepuluh karya di tahap pertama. Pada tahap ketiga akan ditentukan siapa pemenangnya, juga oleh juri berbeda dan diumumkan pada akhir tahun.

7. Bagaimana tanggapan Anda terhadap pihak-pihak yang mengecam diselenggara-kannya KLA?

Saya pikir pihak-pihak yang mengecam penyelenggaraan KLA tidak mengerti mengenai apa yang ingin kita ciptakan. Tetapi, saya sadar tidak ada penghargaan yang pemenangnya disepakati oleh semua pihak.

Banyak yang mengkritik macam-macam, komentar macam-macam tetapi itu semua saya anggap seperti animo yang belum tersalurkan. Kami hanya ingin memberikan hadiah yang cukup besar pada penulis, sehingga dengan hadiah itu mereka bisa berkonsentrasi pada karyanya.

8. Apakah kritikan itu berpengaruh pada Anda?

Iyalah. Capek juga delapan tahun bikin penghargaan nggak dihargain. Dikritik ini itu, yang menang juga sama komentarnya nyinyir. Padahal, saya sudah berusaha untuk terbu-ka.

Tahun depan saya mau mengubah sistem penilaian. Saya mau meniru penghargaan Goncourt yang ada di Prancis, di mana saya mengundang beberapa seniman yang capable untuk menilai sejumlah karya. Lalu mereka menentukan pemenangnya. Anggota dewan juri tidak dipublikasikan, yang dipublikasikan hanya ketuanya.

9. Apakah Anda sendiri seorang penulis sejati?

Apa yang saya lakukan selalu berkaitan dengan kreativitas terutama di bidang kepenu-lisan. Karena, sejak dulu saat sekolah di Amerika saya belajar sastra dan kepengarangan. Saya sendiri menulis tiga novel dalam bahasa Inggris. Kecenderungan saya selalu mengarah kepada kreasi yang menggunakan kata-kata, menciptakan sesuatu dengan medium penulisan.

Sajak yang Ingin Saya Baca di Tahun 2009

1. Saya ingin membaca sajakmu, sajaknya, sajakku, sajak siapa saja, yang bukan penyair pun boleh turut. Artinya, kamu, dia, saya, dan siapa saja harus terus menulis sajak di tahun 2009. Jangan berhenti menulis sajak. Sajak tidak akan ada kalau kita tidak menuliskannya. Tulislah sajak yang banyak dan syukur-syukur sajak banyak itu baik.

2. Saya ingin membaca sajak yang peduli pada bahasa. Bukan sajak yang diperalat oleh penyairnya. Banyak penyair yang menunggangi bahasa lewat sajak, seolah itu ia lakukan untuk sajak, padahal dia melakukan itu untuk dirinya sendiri. Dari sajak-sajak yang demikian itu sajak dan bahasa tak dapat apa-apa. Hanya tertimpa beban saja.

3. Saya ingin membaca sajak yang lahir dari keasyikan penyairnya mencari bagaimana sesuatu diucapkan dalam sajaknya. Saya ingin penyair tidak hanya asyik pada apa yang dia ucapkan lewat sajaknya. Segala sesuatu di luar sajak sudah menyediakan bahan untuk diucapkan lewat sajak. Tugas penyair adalah mengucapkan hal itu dengan caranya sendiri, maka dia harus mencari cara yang khas, cara yang unik, cara yang asyik, cara yang Sajak.

4. Saya ingin membaca sajak yang membangkitkan gairah para kritikus. Saya percaya bahwa selama ini ketika kita merisaukan ketiadaan kritikus, maka yang pertama harus disalahkan adalah penyair sendiri. Penyair harus bertanya kenapa dia tidak bisa melahirkan karya yang menggoda kritikus, yang menggairahkan kerja-kerja kritik sastra.

5. Saya ingin membaca sajak yang memperkaya batin saya, bukan sajak yang membuat batin saya bangkrut. Saya ingin membaca sajak yang membuat saya pandai memaknainya, bukan membuat saya menyerah karena saya dibikin merasa bodoh.




Sajak Khrisna Pabichara
belajar menapak sajak

       —untuk hasan aspahani

sebagai janin, aku enggan kembali ke rahim kata. aku ingin menjadi bayi. belajar duduk, belajar bersila. belajar berdiri, belajar berlari. belajar menapak sajak

sebagai bayi, aku enggan kembali ke masa kanak. aku ingin menjadi dewasa. bisa duduk, bisa bersila. bisa berdiri, bisa berlari. bisa menapak sajak

sebagai dewasa, aku enggan kembali ke dunia remaja. aku ingin menjadi renta. belajar duduk, belajar bersila. belajar berdiri, belajar berlari. menanggalkan jejak sajak

jakarta, desember 2008



Monday, December 29, 2008

Sajak Steven Kurniawan
Dalam Komik

       untuk Hasan Aspahani

entah mengapa ketika
ingin ucapkan sayang
tulus dari sanubari
namun hanya terucap
kata-kata tertera di
dalam balon percakapan

entah mengapa sebelum
sempat ucapkan sayang
kau sudah terlanjur
membacanya lebih dulu
kata-kata tertera di
dalam balon percakapan


30 Desember 2008






Saturday, December 27, 2008

NASIB SANG PENEBUS KATA

DI tiang salibnya sendiri Sang Puisi berkata,
"Penyair, penyair kenapa kau tinggalkan aku?"





Thursday, December 25, 2008

Pangram Berbahasa Indonesia

Saya memperkenalkan pangram berbahasa Indonesia:

Keledai bodoh tak bisa mencongak berapa v + w = z x q? Kata babi, "fyuh, pakai komputer saja, beres!

Pangram adalah frasa yang mengandung semua huruf dalam deret alfabet. Dalam Bahasa Inggris pangram yang paling tersohor adalah ini: A quick brown fox jumps over the lazy dog.

Di Wikipedia ada sederet contoh lagi. Misalnya ini:

Big fjords vex quick waltz nymph.
Junk MTV quiz graced by fox whelps.
Bawds jog, flick quartz, vex nymphs.
Waltz, bad nymph, for quick jigs vex!
Fox nymphs grab quick-jived waltz.
Brick quiz whangs jumpy veldt fox.
Glib jocks quiz nymph to vex dwarf.
Bright vixens jump; dozy fowl quack
Quick wafting zephyrs vex bold Jim.
Quick zephyrs blow, vexing daft Jim.
Sphinx of black quartz, judge my vow.
Sex-charged fop blew my junk TV quiz


Nah, Anda berminat menyusun versi Anda juga? Berbagilah!



Wednesday, December 24, 2008

Acep Tersesat di Hamparan Estetika Nirwan

Oleh Hasan Aspahani

Acep Iwan Saidi pasti bukan sembarang orang. Dia pasti bukan juru peta gadungan, dan pasti bukan tukang sulap pinggir jalan. Ia dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Ia juga anggota Forum Studi Kebudayaan ITB. Itulah keterangan di bawah namanya, tercantum di tulisannya.



Tetapi, lihatlah, orang sekualifikasi dia pun tak sanggup memahami sajak-sajak Nirwan Dewanto. Bacalah tulisannya di Kompas, Minggu, 14 Desemper 2008 "Mitos Bara Biru Nirwan Dewanto". Acep menutup tulisannya dengan kalimat begini: ...Kapankah pembaca seperti saya bisa memahami hamparan estetika tersebut? Barangkali kelak (HAH: Artinya sekarang belum!), setelah ujaran ND itu menjadi penanda yang menancap di sebuah anak tangga (HAH: Kapankah itu?).

Acep melanjutkan kesimpulannya, ... melalui Jantung Lebah Ratu ND tampak tengah mencipta mitos lain pada bahasa. Karena itu, dibutuhkan pengujaran yang terus-menerus (HAH: Oleh siapa? Dan bagaimana caranya, serta untuk apa?) sehingga menjadi seperangkat linguistik yang socialized. Dengannya kemudian kita tidak perlu lagi bertanya, mengapa bara itu biru, tak lagi merah menyala api!

Kalaulah itu syarat untuk sampai pada pemahaman atas sajak Nirwan, maka menurut saya, siapapun tidak akan pernah sampai, artinya sajak Nirwan "yang polos itu" tidak akan pernah terpahami. Kenapa?

Sebentar saya akan jelaskan, setelah saya lari sebentar ke hal lain. Cara Acep menyimpulkan bacaannya atas sajak Nirwan mengingatkan saya kesimpulan A. Teeuw atas sajak mantera Sutardji Calzoum Bachri ("Tergantung pada Kata", Pustaka Jaya, 1980). Bila Nirwan di mata Acep sedang menawarkan mitos lain pada bahasa, Sutardji kata Teeuw sedang merombak konvensi bahasa. Sampai akhirnya, Teeuw pun pasrah, baginya konvensi pribadi Sutardji akan sampai pada dua kemungkinan: diterima dan diwajarkan menjadi unsur bahasa, atau akan hilang sebagai angin lalu, setelah memberi kesegaran sebentar sebagai apa yang ia sebut fashion sastra!

Apa yang terjadi kini atas sajak-sajak Sutardji setelah 28 tahun "ramalan" Teeuw itu? Kedua kemungkinan yang ia sebutkan tidak terjadi. Bak pakaian, sajak Sutardji tidak menjadi pakaian kita sehari-hari, karena memang bukan untuk itu ia dirancang oleh si penyair. Sutardji menurut saya merancang dan membuat pakaian penobatannya sendiri, pakaian kebesaran.

Tetapi sajak Sutardji juga tidak berlalu sebagai fashion sastra, hanya sedap dipandang saat dilenggak-lenggokkan di panggung, lalu berlalu begitu saja. Sutardji tidak hendak bikin tren sesaat untuk ramai-ramai diekori, tetapi dengan amat sadar - baca kredonya yang jelas tegas itu - ia telah menawarkan sebuah karya puncak.

Saya tak dapat membayangkan bagaimana caranya "mitos-mitos" (seperti ditemukan Acep) yang ditawarkan Nirwan dalam sajak-sajaknya dipakai terus-menerus lalu menjadi sebuah kewajaran.

Apa yang ditawarkan Nirwan sejak awal sudah ditolak. Ia tidak percaya pada kemampuan pembaca sajak-sajaknya (baca tulisan saya 13 Cara Membaca Sajak Nirwan). Lagi pula siapa dan bagaimana caranya "mewajarkan" bahwa "bara itu biru"? Dengan cara menyebutnya terus-menerus? Aneh, sungguh aneh. Kita kelak mungkin tidak akan bertanya lagi tentangnya, bukan karena kita menerima, tapi karena kita sudah lupa. Artinya, sajak Nirwan tidak akan pernah dipahami. Untuk itu saya berani mempertaruhkan reputasi saya sebagai Juru Peta Gadungan, Tukang Sulap Tepi Jalan, dan (Aha! Ada satu lagi gelar kebanggaan saya) Penyebar Kebodohan di Milis-milis!

Dalam tulisannya di halaman Facebook-nya, Nirwan menegur orang yang entah siapa yang berkecenderungan melakukan - apa yang baru saya dengar dari dia - "name dropping", yakni mengutip sejumlah pendapat dari sejumlah nama untuk menguliti sajak-sajak - atau apapun namanya - di buku Nirwan.

Tapi apa daya, dengan tujuan yang beda, Acep, di tulisannya, pun melakukan hal yang sama. Baiklah, kita hargai upayanya untuk menempuh jalan berliku agar bisa memahami sajak Nirwan. Di enam alinea pertama Acep sudah mengutip Barthes, Berg, dan Louis Althusser. Dan di ujung tulisan Umberto Eco pun hadir. Itulah jalan yang disebut Acep ia pakai untuk mendekati sajak-sajak Nirwan. Meskipun hasilnya, Acep akhirnya sadar ia tak kunjung bisa mendekat. Ia sadar ia telah gagal. Satu-satunya hal yang bisa saya simpulkan dari tulisan Acep adalah betapa beban bayang-bayang Nirwan akan semakin panjang dan berat.

Gemar Mengumbar Gambar



Gambar Bagus yang Tak Sempat Dikirim ke Acara Gemar Menggambar di TVRI Asuhan Pak Tino Sidin


Tulis Akhir Postingan Anda

Tuesday, December 23, 2008

Bagaimana Mengukur Hidup dengan Mati?

Aku hitung nyawa, hidup, waktu, tubuh
dan yang kelak lunas dengan harga mati



Nyoman Masriadi, "Kena Gigi Uang Kembali" (2006), acrylic on canvas, 140 x 190 cm.



Monday, December 22, 2008

Kepada Dino Pati Djalal

Apa bisa? Selalu termulai dengan bertanya,
buat Tuan, yang sejengkal selalu dari dia.

Apa bisa? Ini negeri anak-anak mengemiskan
apa saja, sebab kemiskinan cuma angka-angka
di rapat kabinet kita, dan serakan notes,
yang kau rapikan di laci meja Istana Negara.

Semalam di Jakarta, aku tak tahu apa lagu,
seperti sama saja syair dan nada: luka, luka,
luka. Perban tak pernah sampai membalut,
darah netes, darah netes, ah negeri cedera!

Apa bisa? Tuan, aku belum jauh jalan, sebab
pincang ini sudah lama, sejak langkah pertama.







Cerita Buat Johani Mikaela

(Maaf, Chairil, Aku tak Kenal Dien Tamaela-mu itu)


Beta Heraldrawungwaraney
Mengusik tapa dewa datu di nirwana itu
cuma mau satu: kau tahu apa kami mau.

Beta Heraldrawungwaraney
Perangkap aku di facebook-ku
Tangkap aku di multiply-ku

Beta Heraldrawungwaraney
Lepas dari kampus, kerja as a consultant,
gadget pertama beli, laptop paten ini.

Beta Heraldrawungwaraney
Jaga mailing-list, terang bunga,
mekar matahari, di mana-mana
memantik nyala puisi.

Beta online di kafe-kafe
buzz beta punya Y!M ID...

Bangun teramat pagi, di kantor
hingga 12 nanti, beta menari ikut
irama Jakarta tabuh tifa, petikan raggae
Tony Q di BB's Kafe,
buntu jalan raya,
suara tawa entah siapa: hantu
atau manusia-manusia!

Mari ikut tawa!
Mari bikin fun hari kita!
Mari berlepas-berlupa!

Beta suka bikin dewa datu marah
beta bilang: go to your own surga with your own poetry!
Datu yang terpenjara di balai-balai tua,
di pustaka-pustaka lama,
Datu tak bisa ikut beta punya tawa!

Beta online kapan beta suka
Siang, OK! Malam, that's the time.
Beta bawa puisi ke Stasiun Gambir,
ke Blizt Megaplex, ke kedai Wetiga.

Beta Heraldrawungwaraney
yang mengusik tapa dewa datu di nirwana itu
cuma tahu satu: kau tak tahu apa kami mau.



Di Luar Dada Kereta

KAU kereta, tidak bawa siapa-siapa,
mengejar waktu yang makin berjarak

Segalanya menjauh, nama-nama kota,
kilometer yang tak terangka angka

Di jendela kau cuma bisa kenali senja,
malam masam, sinar bulan yang enggan,
singsing pagi, matahari tak lagi berarti.

Aku, cuma penumpang amat gelap, tak
berkarcis tak bertuju: tak tahu sejak
bila, telah buta mulut, telah bisu mata

Menyanyat diri, duga kini: Ini kereta
apa di sini juga sekubur sehidup umur?




Rumahku dan Kuburku

Rumahku dan kuburku, dari
unggun-kobar nyala sajak

Aku terbakar dan mengabu,
hidup dan mati di panas itu

Dari hutan-Mu aku tebang
pohon kata: Kayu yang amat
tahu betapa tajam kapakku.

Nyala yang kujaga, kupercikkan
dari jemariku yang api-batu

Tak ada Waktu, di rumahku,
segalanya adalah ini yang sekarang,
itu yang kemarin, dan yang mau datang,

Segalanya fana, segalanya baka

Rumahku dan kuburku, dari
unggun-kobar nyala sajak

Aku mengasap dan menguap,
melangit menuju panas-Mu



Sunday, December 14, 2008

Nirwan, Nirwan Jangan Menangis....

Salam sejahtera, Tuan Nirwan. Jangan terkejut atas surat ini. Saya merasa perlu membalas surat kertas hijau lumut yang Tuan tulis itu. Meskipun saya tahu itu tidak ditujukan pada saya. Saya merasa ada beberapa bagian yang ada kena mengena dengan saya, dan karena itu saya harus membalasnya. Anggap saja saya ini kegeeran saja. Besar kepala.


Di surat itu Tuan bilang agar diri Tuan dan tulisan-tulisan Tuan jangan dilebih-lebihkan. Tuan tampaknya jengkel diberi julukan macam-macam. Tuan merasa aneh sebab Tuan mengaku Tuan sendiri suka meremehkan diri-sendiri, tetapi orang lain menganggap diri Tuan begitu penting. Saya termasuk orang yang menganggap Tuan adalah orang penting. Nama Tuan dulu melejit bak komet, dan saya membaca kabar Tuan dengan kagum campur bangga. Intelektual muda, itulah dulu yang kami bayangkan tentang Tuan. Dan itulah kenyataannya bukan? Baru-baru ini Majalah Tempo mendaftar makalah Tuan sebagai salah satu dari 100 naskah penting dalam sejarah negeri ini. Wah, itu luar biasa, lo, TUan. Cemerlang, dan saya yang masih amat muda kala itu jadi punya harapan dan semangat untuk menggosok diri juga agar bisa secemerlang Tuan.

Tuan kok mengelak dari sebuan kritikus sastra? Saya termasuk orang yang menganggap Tuan begitu. Saya mengikuti analisa-analisa tuan di surat kabar dan majalah. Seringkali Tuan menulis di edisi akhir tahun Kompas atau majalah Tempo. Saya menjadikan analisa Tuan itu sebagai rujukan. Apakah kini sebutan itu jadi beban? Kenapa Tuan menolak sebutan itu sekarang?

Nama Tuan memang menjulang tinggi. Dan karena tuan berada di pentas utama sastra di negeri ini, lalu disorot oleh puluhan lampu, maka bayang-bayang Tuan pun menjadi panjang, amat panjang, bahkan bercabang-cabang, membayang ke berbagai arah. Ini risiko Tuan. Saya kira Kompas dan Tempo tidak sedang mengejek Tuan ketika mereka meminta Tuan menulis tinjauan untuk diterbitkan, kan?

Tuan, bahkan di surat Tuan itu saya masih menemukan banyak hal untuk saya jadikan pedoman. Misalnya di situ Tuan bilang., "...Sebab puisi itu kerap menjadi topeng belaka bagi ketidakmampuan menulis." Nah, bagaimana Tuan mau mengelak dari kenyataan bahwa Tuan adalah nama penting, menjulang dan berbayang-bayang panjang di negeri ini? Tapi, baiklah, saya menunggu saja bila Tuan jelaskan kenapa Tuan mengelak dari sebutan kritikus.


Saya, hakkulyakin, adalah dua jenis pembaca yang Tuan sebut itu. Saya adalah juru peta gadungan sekaligus tukang sulap pinggir jalan. Maka, kitab sajak Tuan yang Tuan bilang polos itu pun tak sanggup saya baca. Nyatanya, kitab itu kita tahu nasibnya cemerlang, dan saya jadi belajar membacanya lagi. Jangan-jangan ada yang tak betul dalam proses belajar saya mendalami puisi selama ini. Jangan-jangan saya cuma sok tahu, dan Tuan, saya bahkan sedang berusaha menolkan pengetahuan saya lalu mulai belajar ladi. Sungguh. Sebelumnya entah kenapa dengan serta-merta saya teringat dengan apa-apa yang Tuan tuliskan dulu di tulisan-tulisan penting itu, saat membaca sajak di buku Tuan yang polos itu.

Saya menemukan petuah penting lagi di surat Tuan. Tuan bilang, "Jangan meliuk-liuk, kalau Tuan belum bisa nulis kalimat yang biasa-biasa saja." Nah, bagaimana saya tidak menganggap Tuan penting?

Sesungguhnya saya sedih membaca surat Tuan. Tuan tampak sedih di surat itu. Tuan seperti menyandang beban berat dan ingin lepas dari beban itu. Saya jadi seperti membaca sambil diiringi lagu Slank "Bimbim, Bimbim Jangan Menangis". Dengan maaf pada mereka saya ingin juga mengutip judul itu seraya menggantikan dengan nama Tuan: "Nirwan, Nirwan Jangan Menangis". Jangan menangis, ya, Tuan...


Salam dari Batam,
Hasan Aspahani

Ajalmu Jauh di Pulau

Angin, air, pulau, kau dan jauh pacarmu
Terang, laut, bulan, kau dan manis cintamu
Perahu, jalan, ole-ole, kau dan leher gadismu
Waktu, sampai, iseng, kau dan rapuh tahunmu

Dia, peluk, pangku. Aku, kau, dan sendiri ajalmu



Sajak yang Tak Putih

Kenapa jua kita mesti teringat pada mati?
Langit menari, tujuh warna dibelah pelangi
Basah rambut wangi tubuh dibasuh hujan tadi
Aku minta pandangmu saja, mata nyatu hati

Kenapa masih kita mesti menyanyi berdoa?
Tanganmu tanganku menutup luka menganga
Pelangi tak sempat tanya: itu merah apa?
Langit tiba-tiba telah pula menutup mata

Tadi senja mau tiraikan kelambu telus sutra
Belum kita rebahkan lelah sepasang koyak ia
Kau tarik aku, aku tarik kau, kita telah sama:
Ini seperti tarian akhir, sebelum Mati tiba...



Keris Berkarat

Di ranjang, di ranjang, ini pergumulan panjang
aku sudah terlempar dari mimpi dibanting bayang

Bulan kacau, terang kerontang, bantal koyak,
tadi kutikam keris, kukira dadamu yang kuiris!

Bulan kacau, cahaya bertukar redup ke kerlip,
ini di sepuluh jariku darah siapa melumuri?

Keris tak ada lagi, cuma serbuk karat menyeri di
enam, tujuh, sembilan luka di punggung di dada...





Sudah Setajam Pedang

Kami masuk ke malam, duduk di gardu,
menjaga daerah mati, samakan saja
bersamamu atau tidak bersamamu

Bukan mau bilang: aku berani hidup,
pandang terasah, sudah setajam pedang

Tak susah impikan merdeka, tetapi
kepastian itu bintang redup cuma!

Ya, sejak itu, waktu jalan. Tapi
jangankan nasib waktu, nasib sendiri
pun kami kini tak ada yang bisa tahu.




Lain Kabar dari Lain Laut

Empat belas baris sesal dalam sesoneta
Tentang ketololan penyair dan pacarnya
Padahal apakah ada yang bisa dipercaya,
kelasi kapal bersauh pembenci dermaga?

Ia ngaku luka, pada bekas kecup tubuhnya,
tahukah pula, ia pun tinggal luka di situ,
Di tubuh pacarnya? Sama luka, darah sewarna
Ke laut dan langit biru, menujukan segala tuju

Kaukenang ia kemudi, kemudian bujur buritan,
Berbuih nafasmu di antara ombak berdustaan
Ini pelayaran menyatukan waktu dan pertanyaan
Yang tinggal di pelabuhan jiwa tak berjawaban



Tak Ada yang Berhenti di Sini

Mana mereka yang mau tuak berkendi-kendi?
Cuma seregu pengecut dan badut lalu tadi...

Pemeta gadungan dan tukang sirkus tepi jalan

Para pelayan perempuan minta lekas pulang,
Menghapus gumpal gincu di sudut-sudut bibir...

Tak tahu ada Mati mengulur tangan ke leher,
Tak singgah di ruang berbaris botol tuak,
Cuma penyair pinggir, sembunyi di larik sajak!

Mana mereka yang mau tuak berkendi-kendi?


Sajak yang juga Sia-sia

Sajak yang sia-sia, tak kan kutuliskan lagi
Tentang kau yang datang pada penghabisan kali
Tak bermetafora warna kembang: mawar dan melati

Sajak yang sia-sia, yaitu padanya kita saling
Menimbang cinta, dan akhirnya membimbangkannya,

Pada sajak yang sia-sia, hati berjeruji besi
Dikurung dan mengurung sepi, 'nunggu vonis mati



Wednesday, December 10, 2008

Linda, Linda, Linda: Kau Tahu Siapa Juaranya?

(Tanggapan atas Linda Christanty "Pembunuhan Sultan dan Sisir George Bush dalam Sastra Kita" di Kompas, Minggu, 7 Desember 2008)

Oleh Hasan Aspahani

PELAJARAN penting kartografi: dalam sebuah peta wajib ada tanda utara dan skala. Tanpa tanda arah utara, secarik peta tak ada gunanya, tak bisa menunjuk ke arah lain-lainnya. Tanpa skala, maka jarak tak tertebak.



Saya suka bilang, tulisan-tulisan akhir tahun tentang sastra, pada beberapa tahun belakangan yang saya ikuti seperti peta yang tak lengkap. Selalu begitu. Padahal, orang seperti saya amat memerlukan peta itu. Orang lain - di negeri sastra ini - mungkin saja tak peduli, tapi saya tidak. Bila peta yang saya dapatkan mengecewakan, maka saya pintar-pintar sendiri membuat peta sendiri. Tentu itu untuk perjalanan saya saja. Saya bukanlah seorang juru peta itu.

Bagaimana dengan tulisan Linda Christanty "Pembunuhan Sultan dan Sisir George Bush dalam Sastra Kita" di Kompas, Minggu, 7 Desember 2008? Buat saya sama saja, peta itu tidak lengkap, skalanya terlalu kecil, bahkan ini kali sepertinya tanpa arah utara, terutama ketika ia membahas puisi - ini ranah yang paling menggairahkan saya. Saya tidak perlu minta maaf pada siapa-siapa bukan bila tak terlalu mengikuti perkembangan prosa.

Linda menulis begini: Bagaimana dengan puisi? Penyair Joko Pinurbo, dalam sebuah perbincangan kami, berujar bahwa masa depan puisi kita suram. Penyair bagai kehabisan ide kreatif. Pola berulang. Epigonisme masih terjadi.

Dari mana konteks ini dan hendak dibawa kemana? Kenapa Linda meminjam mulut Joko Pinurbo? Saya kira, sebagai pemeta dia kurang survei lapangan. Sebagai sarjana sastra mungkin dia sudah punya bekal peta dasar yang baik. Tapi, untuk menghasilkan sebuah peta baru yang lebih baik survei lapangan adalah mutlak. Sebab bentang alam itu dinamis. Ada lembah yang dikeruk, sungai yang berubah belokan, bukit yang runtuh, hutan yang jadi sawah, sawah jadi jalan tol, perumahan, pabrik. Dan semua perubahan itu harus dipetakan.

Saya meng-SMS Joko Pinurbo dan mengajak diskusi soal kesuraman itu. Dia bilang, konteks ucapannya itu adalah untuk sajak-sajak yang dia nilai sebagai juri Anugerah Pena Kencana. Bersama Linda, dan Sitok Srengenge, Joko Pinurbo tahun ini menjadi juri (lagi). Juri, katanya dan juga kata Sitok kesulitan mendapatkan 100 puisi terbaik sebagai mana ditargetkan panitia. "Mungkin hanya 66 sajak saja yang pantas hingga akhir penjurian," kata Joko Pinurbo.

Nah, kenapa Linda tidak memaparkan saja secara baik hasil penjurian itu? Kenapa dia mengutip Joko Pinurbo? Setujukah dia dengan Pinurbo? Lalu kenapa pula di akhir tulisannya ia bilang: kesusasteraan kita justru mengyisaratkan masa depan yang lebih baik, unik, segar dan bermutu? Saya sampai di sini mulai menyimpulkan peta Linda kehilangan arah utara.

Saya mencoba melupakan hal itu, dan ingin mendapatkan pelajaran dari hasil bacaannya atas Afrizal, satu dari empat nama yang ia bilang bersinar sepanjang tahun ini. Tentang sajak Afrizal Linda mengatakan: ... Dulu saya tak berminat pada sajak-sajaknya. Seperti ada lubang gelap di situ. Barangkali disengaja. Barangkali akibat kegagalan berbahasa.

Lantas dia bilang, "belum lama ini saya membaca buku puisinya, "Teman-temanku dari Atap Bahasa". Lihat kalimat itu, "belum lama ini...." Dia surveyor yang sambil lalu rupanya. Jangan-jangan dia membaca Afrizal cuma karena dia menjadi juri Khatulistiwa Literary Award 2008 di tahap kedua. Artinya dia hanya membaca lima buku puisi yang masuk short list.

Bila di matanya tahun ini sajak Afrizal bersinar, dan dia bisa memahami (tidak lagi gelap, atau gagal berbahasa) maka Linda percaya bahwa itu bukan karena sajak-sajak Afrizal kini semakin mudah. "... tetapi karena pengalaman hidup saya kini berdekatan dengan sajak-sajak itu" Aha, Linda, Linda, Linda (Eros Chandra, saya pinjam plesetkan judul lagumu, ya), kenapa kekuatan struktur teks tidak menjadi faktor utama penilaianmu? Kenapa justru perubahan dalam dirimu yang menjadikan karya seorang penyair berubah menjadi bermutu?

Bila Linda membaca buku M Aan Mansyur "Aku Hendak Pindah Rumah" (maaf, ini bukan karena saya editornya) maka masihkah Linda bertahan pada empat nama itu? Aan, sayangnya tertahan di sepuluh besar, dan besar curiga saya Linda belum membaca buku itu. Padahal menurut saya dia amat berhasil menyederhanakan pengucapan seraya memerdalam pemaknaan. Ini kerja menyair yang luar biasa menurut saya, di tengah kecenderungan lama yang masih dilanjutkan banyak penyair yakni merumit-rumitkan pengucapan dan menggelapkan makna.

Atau sudahkah Linda membaca sajak-sajak TS Pinang? Beberapa sajaknya yang di Horison, Kompas, dan Jurnal Nasional (ah, semuanya ada di "tempat sampah" bernama situs www.titiknol.com, sebelum terbit di koran-koran itu) menunjukkan sebuah perkembangan baru: subyek sajak adalah kami - dua orang yang baru saja menikah - dan karena itu caranya merenungi dunia dan menghayati hidup menjadi amat unik.

Saya kira saya belum pernah melihat ada tendensi semacam itu di peta kepenyairan Indonesia sebelumnya. Hmm, jangan-jangan pengalaman hidup Linda belum mendekat ke sana. Entahlah. Jadi, (meminjam judul lagu Dee) tak seperti malaikat, Linda saya kira tidak tahu persis siapa juaranya. Maaf. Tentu saja, dia berhak menawarkan peta seperti itu. Dia juga bisa bilang, kertas gambar yang disediakan Kompas ya cuma sesobek itu. Dan, tak apalah kalau begitu, saya tidak bisa ambil manfaat banyak dari peta karyanya tersebut.

Permisi, saya ditunggu Chairil Anwar. Kami mau berpetualang lagi.[]

Amsal Lain Penghidupan

Memang, Bung, tak setimbang tak berimbang
gelung gelombang dari maha lautan datang,
tak terhadang ladang dibentang pagi tenang.

Memang, Bung, hidup cuma pematang, kaki
petani telanjang, meniti petang pulang,
telah ia beri pupuk pada harap dan bujuk.

Tapi, Bung, tak ada yang sia-sia ketika
di sumur yang tak berpantun dengan umur,
petani mandi sendiri membasuh lumur lumpur.


Nisan yang Lain

Benar, Bung, benar! Kematian kan
datang sendiri, ia asah belati lalu
tikam ke kalbu. Pedih memadu perih.

Apabila menangkis, itu belati sudah
sampai di leher, tersembelihlah kau!

Apabila meronta, itu belati sudah pun
datang ke jantung ruang jantung!

Apa yang kita tahu, Bung? Bubuk debu,
terembus ke muka, mengotorkan mata,
mengelabukan airmata, dan kita cuma
raja atas duka, mahaduka, pada rapuh
tahta, usia tak jua menabalkan kita.



Penangkapan Diponegoro

Kuda yang habis ringkik, menerjang ke kosong,
terperangkap senyap cuma ada di kulit kanvas.

Tuan, kuburmu kenapa lagi musti kami gali?

Bila hidupmu kembali di masa kacau balau ini
hanya membuat sesal telah kau selempangkan
semangat: gamang di kanan, tangis di kiri.

Barisan kini tak tentu tuju. Kepercayaan tumpas,
mengabu, mendebu. MAJU. Tapi, kemanakah MAJU?

Umur pun tak lunas, tak terbayar seharga ajal.

Kami telah mati, berkali-mati, sebelum berarti.
Nyala enggan negeri, antara padam dan habis api.



Kita: Aku dan Kamu!

Tak. Tak akan pernah sampai,
mungkin telah lama itu berlalu.

Tak waktuku, tak juga waktumu.

Aku mau kita ada yang merayu,
dia yang bilang, Tuan-tuan,
jeratkan aku di haluan hatimu.

Diakah itu? Tak. Aku tak tahu.

Aku makin rindu sedu sedan itu.

Walau lama, walau jauh terbuang,
kita tak sejalang, tak sebinatang.

Takluk bahaya bisa dan cuka luka.

Makin berlari, makin nyebar perih,
tapi sepori terbiar tak memedih.

Waktu kau minta waktu pada waktu
kau bilang mau hidup seribu dan seribu
dan seribu tahun lagi...

ha ha, aku yang waktu itu tak peduli.



Ajalmu Jauh di Pulau

Angin, air, pulau, kau dan jauh pacarmu
Terang, laut, bulan, kau dan manis cintamu
Perahu, jalan, ole-ole, kau dan leher gadismu
Waktu, sampai, iseng, kau dan rapuh tahunmu

Dia, peluk, pangku. Aku, kau, dan sendiri ajalmu


Dengar Itu Gadis Menyanyi

Sambil jejaki tapak di pasir ia menyanyi
Ikut apa mau angin dan suara laut padu
Bagai ia memanggil lelaki pembajak hati
Ia tunda sampai ke nada akhir sendu lagu

Para pelaut menunggu, meninggikan cemas,
Si gadis kini berpeluk dengan pantai gelap
Malam mendesak senja, kelam teramat lekas
bergandeng dengan bayang, lagu belum senyap

Siapa meluk pelabuhan? Gandeng tambatan?
Perahu singgah, tak pedulikan camar berpekikan
Itu lagu kini untuk gelap saja dinyanyikan
Para pelaut karam dalam kedalaman kecemasan

Di pantai itu nanti pagi tak ada jejak lagi
Nyanyi dan sisa lagu disapu ombak habis
Tapi, jangan kira surya tak pernah kembali
Ia hanya buta tuli dari lambai segala tangis



Wednesday, December 3, 2008

Proyek Poster



Poster # 09 - Menjadi Asbak di Nasib Sendiri atawa Biar Miskin Asal Merokok



Poster # 10 - The Real Unreallity Show!



Poster # 11 - Kata Kaki Kiri Mana Bisa Kaki Kanan Memaksimalkan Otak Kanan.


Tulis Akhir Postingan Anda