Tuesday, January 27, 2009

Sebuah Sajak yang Ditulis Terlambat

SEHARUSNYA ini kutulis saat SMA kelas satu,
ketika aku suka meminjam buku catatan matematika-mu
lalu kukembalikan dengan sisipan sajak rindu yang lucu
kubayangkan aku sebagai penyanyi bermata dewa itu

Maka seakan kuamalkan lirik lagunya, dengan begitu,
bukankah di kantin sekolah juga kita bertukar nama? Dan kamu
sejak itu jadi berani menolak supir penjemput, utusan ayahmu?

Dari sekolah ke terminal kota bermeter dua ribu
jarak yang tak cukup lama bagiku untuk menggandengmu,
menggenggam tanganmu, sambil kujelaskan arti sajakku
yang diam-diam seluruhnya kamu salin ke buku harianmu.

"Itu artinya kamu mau bilang cinta padaku?" tanyamu,
"Ayo menyeberang," kataku, pura-pura tak mendengarmu,
dan kuraih pundakmu, di tengah zebra cross kita berhenti dulu,
sambil terus kupeluk kamu, kita menunggu angkot, ojek, truk berlalu,
untungnya, tak ada lewat kepala sekolah atau mobil dinas ayahmu.

"Apa tadi pertanyaanmu?" kataku sambil kuusap keringat di lenganmu,
"Ah, sudah lewat," katamu semakin mendekat padaku.

Lewat pukul satu, tiba di terminal yang memisahkan kau dan aku,
kau ke istana - rumah dinas perusahaan tambang negara -
- yang kamu sebut sebagai penjara - dan aku ke toko buku,
mencari - sesekali mencuri - buku: cerpen Seno, novel Arswendo,
antologi Sapardi, dan kisah petualangan lelaki beransel biru.

Dari Pos Polisi di terminal, kudengar lagi lagu lelaki itu,
"Biar tahu, biar rasa, maka tersenyumlah...." Tapi, aku tahu, sejak
di kantin dulu, Cinta itu, tak pernah jadi milik kamu, atau aku.

Apa yang Kamu Tak Tahu Tentang Balikpapan

: Aan M Mansyur


1. Kantor Redaksi Surat Kabar

KANTOR itu ia capai dengan dua kali berganti
angkutan kota. Tentu tak sempat ia singgah
di tempat kos untuk menukar seragam sekolah.

Pelajaran tambahan di situ ia dapatkan, banyak
guru, satu mata pelajaran: Ilmu Pengetahuan
Kehidupan (langsung praktek, dan langsung ujian,
sejak hari pertama ia mendaftar dengan 40
lembar kartun yang ia gambar sendiri semalaman)


2. Sekretaris Redaksi yang Cantik

IA membuat kantor itu seperti miniatur surga
yang dijaga malaikat-manis, berbibir bak segelas
sirup di kantin sekolah sehabis upacara bendera,
mereka rela berebut demi mengecup merah dan
mengecap manisnya, langsung dari bibir-(gelas)-nya.

3. Dia Ditelepon oleh Seseorang

ITU percakapan lewat telepon pertama dalam hidupnya.
Si malaikat-manis menerima, dan senyum manis di
bibirnya itu menular ke matanya, menular ke pipinya,
menular ke gigi-giginya, "Telepon buatmu (ia
sebut nama adik kelas yang memenuhi otaknya). Ayo,
dia siapa? Cewekmu, ya?" Sebuah pelajaran penting
ia terima: Cinta membuat kemanisan menular ke mana-mana.

"Halo.."
"Ya.." (dia tak tahu arti kata Halo, dan tak tahu
apakah harus menjawab dengan kata itu juga)
"Aku cuma mau tahu apakah kamu sudah sampai
di kantormu..."
"Ya..."
"Sudah, ya..."

Ia serahkan lagi gagang telepon, ke si malaikat-manis,
dengan gemetar yang makin ada. "Kamu grogi, ya?
(katanya, dan senyumnya makin menular ke mana-mana)...

4. Malam Harinya Dia Menulis Sajak

IA menulis sajak tentang seorang lelaki SMA bermimpi
menjadi cupid, menghabiskan semua anak panah, menikam
dadanya sendiri. Sajak itu, esok malam, ia bacakan
bagi si adik kelas yang kemarin meneleponnya.

Orang-orang yang antre heran, kenapa dinding-dinding kaca
telepon umum itu seperti bergetar dan bercahaya.


Tuesday, January 20, 2009

Sajak Pendek untuk Penyair yang Gemar Menulis Sajak Panjang

: Marhalim Zaini


SAJAKMU bak arus sungai kata,
mengalir deras ke jauh muara

malam itu aku susuri sepanjang
kelopak mata air bait sungaimu

aku ikan berenang ke hulu
mencari sumber kata-katamu

ingin aku curi tahu kenapa lancar
sekali sajak mengucur dari situ

"Tak ada rahasia," katamu, "kami
di sini hamil besar selalu. Menunggu
hari lahir arus anak-anak sajak"


Tulis Akhir Postingan Anda

Monday, January 19, 2009

Kartun Waktu

: Furqon Elwe

/1/
KITA bergantian menggambar wajah sendiri,
di panel-panel kosong Waktu, kertas panjang itu.

Ada balon percakapan banyak sekali, balon yang
tak menunjuk pada siapa-siapa, balon yang kosong
karena tak ada kata yang berani berada di sana.

/2/
"Bisakah kalian menggambar aku?" tanya Waktu
kepada kau dan aku: sepasang kartunis yang suka
ditertawakan oleh kehidupan yang tak lucu.

"Bisa," katamu.

Aku tak tahu bagaimana caranya.

"Gampang. Kosongkan saja
kertas itu," bisikmu padaku.

/3/
Kertas kosong. Kartun Waktu.

Gambar wajah kita tadi masih ada di situ
keluar masuk balon-balon percakapan,
membikin Waktu sekarang tampak amat lucu:
kau tiba-tiba seperti mengucapkan aku,
aku pun fasih mengatakan engkau.




Danau Betina

: Hary B Koriun

ASYIK sekali dia menangis,
menangisi tangisnya sendiri

Mata kacanya pecah

Ia bertukar air mata
dengan mata air danau itu

Saat itu kau sedang
mengeringkan matamu
yang seharian kuyup
kehujanan airmatanya

Kau sedang memancing senja

Ada bayangannya,
bayangan senja, dan
bayanganmu
di tabah wajah danau itu

Kau pemancing yang tak mahir
bisa saja kau terpancing
bayanganmu sendiri

Betulkan? Ketika
beriak wajah danau itu
padahal ia tak meminta kau renangi
tiba-tiba saja kau sudah
menggelepar di mata kailmu sendiri

Basah lagi, basah lagi

Senja, seperti biasanya,
selalu lekas, cemas dan rawan

Kelopak matanya segumpal awan

Matanya akuarium,
sinarnya ranum

Kau kini berada di sana
sendiri,
berenang hening,
di bening mata kaca itu.




Tulis Akhir Postingan Anda

Tuesday, January 13, 2009

Penyusup
Denise Levertov


SETELAH kepenggal putus tanganku
dan telah tumbuh tangan yang baru

lalu ada bagian dari tangan lamaku
datang rindu dan minta dihantamkan

Setelah kurogoh lepas mataku yang
memutih-memucat, tumbuh mata baru

lalu ada bagian dari mata lamaku
meratap datang minta belas kasihan



Tulis Akhir Postingan Anda

Monday, January 12, 2009

Palestina, 5

: untuk nelayan di Rafah, pantai Selatan Gaza


Kami tak perlu peluru untuk memburu ikan-ikan
di Laut Mediterania, tapi, kenapa kau arahkan
juga senapan mesin itu ke lampung perahu kami?

Tanpa perahu, haruskah mengemis di jalan Gaza?

Kami cuma menjaring ikan-ikan untuk makan, untuk
lima anak yang kelaparan, untuk membangun lagi
rumah yang kalian hancurkan, tapi, kenapa kapal
patrolimu menghancurkan jaring-jaring kami?

Kalau kami mengemis di jalan-jalan Gaza, tembak saja,
sebab pasti kau sangka kami membawa bom bunuh diri!





Palestina, 1

TANPA nabi, ayat-ayat mati,
di panggung kami, Kau, Tuhan,
kini adalah aktor pantomime

Di Palestina, lelaki Gaza
melepas kuffiyah dari leher
kafan bagi anak lelakinya
yang ditembus serpih mortir

Tuhan, bagaimana kami memahami-Mu
lewat pesawat tempur tentara Israel?

Bila harus Kau utus seorang Nabi lagi,
kami minta jangan ia datang dengan
sebaris laknat dan sejumlah janji.



Palestina, 3

: untuk PM Israel Ehud Olmert

APA yang Tuan bayangkan sebagai neraka?

Jalan-jalan di Kota Gaza terbelah jejak tank
tebal bermantel baja, sehabis menembak mati dua
lelaki Palestina di truk syarikat bangsa-bangsa

Gandum di truk itu sampai juga ke sisa kota,
sudut yang belum kau kirimkan api ke sana.
Mereka tak tahu darah siapa yang menembus
lalu beku menggumpal di serbuk sereal putih itu.

Tuan, apa yang Tuan bayangkan sebagai neraka?



Palestina, 2

APA yang diajarkan pada mereka
anak-anak murid di sekolah Jabalia,
ketika pasukan tempur Israel
menggerimiskan bom di sana?

Mungkin mereka sedang menghafal doa
agar terbentang payung di langit Gaza.





Palestina, 4

: untuk seorang petani di utara Gaza


DI utara Gaza, kami hanya petani biasa
menanam stroberi untuk Eropa, tomat ceri
bagi Turki, kembang krisan untuk Yordan.

Kami tak betah pada Fatah, kami cemas Hamas.

Kami para petani biasa, di Utara Tanah Gaza.
Stroberi kami paling manis se-Palestina!

Dulu, kebun jeruk kami punya. Manis sarinya,
kuning emas kulitnya. Dulu, sebelum datang
buldozer Israel menumbangkan segalanya.

Lalu, kami hanya boleh menanam apa saja
asal jangan menyaingi petani-petani Yahudi.

Maka kami tanam stoberi termanis se-Palestina,
tapi tak kan pernah kami rasakan lagi manisnya.

Dua helikopter Apache Israel melanggar batas
yang mereka gariskan sendiri, menghancurkan
ladang kami, mereka bilang di sana disembunyikan
peluncur roket Qassam, padahal kami hanya
menanam stoberi, tomat ceri dan kembang krisan,

Padahal kami bukan Fatah, bukan Hamas, karena
kami cuma petani, di Utara Gaza, Palestina kami.

Lihat, potret anak kami, teramat muda ketika
ia mati. Dan, dua belas adiknya, tak lagi mau
mendengarkan kami, tak mau lagi belajar mengaru
dan menyiang gulma di ladang stroberi kami.

Kalau kami dengar suara roket diluncurkan,
kami kira seorang anak kami telah merakit
dan meluncurkannya. Kami berharap roket itu
tidak menghantam ladang-ladang jeruk di tanah
subur di seberang batas sana, tanah kami juga.