Wednesday, December 30, 2009

formspring.me

Apa yang paling Anda sukai & tidak sukai dari penyair pemula?

Setiap penyair pasti dulu adalah penyair pemula. Saya suka melihat mereka yang dengan tekun dan sabar belajar, menggali potensi, tidak lekas merasa bisa dan besar. Saya suka mereka yang menulis puisi karena mencintainya, bukan karena ingin jadi penyair apatah lagi ingin menjadi terkenal karena puisi.

Saya tidak suka yang sebaliknya dari itu-itu tadi.

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

Bang, sajak bisa digunakan sebagai obat apa saja?

obat? sajak itu juga bisa jadi virus, bakteri, jamur yang juga bisa bikin penyakit kok :-)...

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

Maaf, belum ada pilihan komentar jadi belum bisa mengucapkan terima kasih atas jawaban-jawaban bung HAH. Hmm, bagaimana ya cara memupuk cinta yang dalam -seperti anda- untuk komitmen terhadap karir kepenulisan? :)

Menulislah, seolah-olah kamu akan mati kalau tidak menulis. Itu kata Rilke. Saya tidak akan mati kalau saya tidak menulis. Sejak SMA saya bekerja di surat kabar. Selepas kuliah, saya pernah mencoba kerja bukan di media. Saya kerja di hutan. Eh, di sana saya masih menulis juga. Selebihnya, hingga sekarang saya selalu kerja di media.

Untuk menjadi penulis, kata para penulis besar, kita harus jadi pembaca yang lahap. Saya pembaca yang rakus. Itu yang membuat saya selalu merasa punya sesuatu di kepala untuk jadi bahan tulisan.

Karir? Saya belum hidup dari tulisan-tulisan saya. Saya hidup dari gaji saya sebagai wartawan. Honor dari puisi impas untuk beli buku saja. Kelak, saya ingin hidup dari buku-buku yang saya tulis.

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

contohnya? (terkait dng pertanyaan sebelumnya)

nanti dibukukan khusus tema ini...

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

adakah karya anda yang membahas tentang waktu ?

ada banyak. dulu saya ada bikin serial Kalender yang Terbakar.

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

sy selalu membandingkan puisi dgn bentuk seni yg lain, khususnya musik... bagaimana menurut Om?

bagus. saya selalu membandingkan puisi dengan apa saja. bukan hanya seni yang lain. tapi juga hal ihwal lain.....

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

apa pendapat Om HAH, tentang puisi2 yg ada di FB?

Ada yang bagus, ada yang buruk. FB, blog, koran, majalah, itu kan media. Cuma tempat untuk menampilkan puisi.

Sesat tak sesat, bertanyalah!

Amsal Selembar Kertas

"DAN kau telah melipatnya jadi kapal terbang,"
katamu. Ini tentang kelahiran yang kau bilang,
seperti selembar kertas, putih dan cemerlang.

Dulu, kertas ini hampir saja kubuang. Terlalu
tipis dan sempit. Dan aku tak bisa menggambar.


formspring.me

Siapakah anda di masa lalu?

berbagai-bagai. ada macam-macam saya. selalu berkembang. jatuh-bangun. ini perlu berjilid-jilid novel untuk menjawabnya. saya sedang menulis novel itu. tapi, uh, saya tak buru-buru.

Sesat tak sesat, bertanyalah!

Tuesday, December 29, 2009

formspring.me

1. Apa yang membuat Anda merasa paling bahagia di bumi ini?a. sebagai jurnalis b. sebagai pengrajin syairc. a dan b benard. a dan b salah2. Tadi pagi di sebuah harian pagi mengabarkan seorang anak dari Batam kakak beradik bernama Guli dan Geni, bocah 14 dan 11 tahun nekat menghadang eksekusi kolam ikan milik orang tua mereka di Batu Aji, tidakkah Anda kabar-kaburkan lewat puisi?

1. C! (tapi sebenarnya menjadi jurnalis itu juga pekerjaan yang merisaukan. Dan menyair? Itu juga kadang membikin gundah) 2. Sejauh ini saya bisa menyairkan apa saja... termasuk berita itu. Tunggu!

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

Bersediakah anda jika anda membaca salah satu catatan facebook saya, kemudian anda memilih salah satunya kemudian memposting ulang di facebook anda dengan mengomentari dan mengulasnya habis-habisan. hehe. http://www.facebook.com/nafi.kenothecaster?ref=profile

kalau yang engkau maksud adalah puisi, maka itu selalu kulakukan. tanpa diminta. di blog saya ada rubrik TADARUS PUISI. saya tak pilih-pilih penyair, tapi pasti pilih-pilih puisi...

Sesat tak sesat, bertanyalah!

formspring.me

1.Buatlah satu baris puisi dengan menggunakan kata Relikui!2.Superhero favoritmu?3.Tolong buat satu mantra sihir beserta fungsinya!4.Apa prediksimu tentang dunia puisi di tahun 2010?5.Kunanti puisimu di Horison!

1. sudah pernah. 2. superhero? tidak ada. kalau tokoh kartun saya pernah (dan masih) sangat suka pada kertmit dan snoopy. 3. saya tak percaya sihir. 4. prediksi puisi di tahun 2010? tak ada, saya mencintai (dan merindukan) kejutan! 5. saya tak mengirim puisi ke horison. tak usah menanti... kalau kangen baca di blog saya saja.

Situ Mau Tanya Apa?

formspring.me

kalau berada diantara dua pilihan jadi penulis tapi miskin atau orang kaya tapi tidak boleh menulis (tidak ada pilihan lain) mana yg anda pilih?

saya pilih jadi penulis. benar-benar penulis. kaya dan miskin, bagi saya batasan dan pengertiannya bisa kabur.

Situ Mau Tanya Apa?

formspring.me

maunya nanya, tapi cuma sanggup komentar : ini blog beserta isinya BAGUS!

ah, ini cuma kamar kerja pengrajin yang berantakan, kok... terima kasih.

Situ Mau Tanya Apa?

formspring.me

Wah... terdapat juga HASAN ASPAHANI di sini!

Ya dia (yaitu saya) terdapat di sini. Pertanyaannya? Hehe...

Situ Mau Tanya Apa?

formspring.me

rindu apa yang menyakitkan bagi anda

semua rindu bagi saya menyakitkan... rindu itu kan sejenis sakit? sejenis penyakit juga...

Situ Mau Tanya Apa?

Sunday, December 27, 2009

Apakah Penguasa di Kotamu Suka Memperdagangkan Kekuasaannya?

DI kotaku mula-mula mereka adalah pendusta. Dan dusta mula-mula memang terasa murah dan mudah. Tapi, dusta adalah semacam hewan karnivora, memakan daging sendiri dan itu ongkosnya mahal sekali.

Mereka tak bisa berhenti. Dusta harus dibenarkan dengan dusta. Begitu seterusnya, mereka pun harus terus berdusta. Dari mana mereka menambal ongkosnya? Mula-mula dari harta rakyat yang diamanahkan pada mereka. Nanti, harta itupun tak akan cukup dan mulailah mereka berdagang. Mereka tak bisa berdagang sebenarnya. Mereka miskin, tak punya barang dan jasa, kecuali kekuasaan, dan mulailah mereka memperdagangkan apa yang mereka punya itu.

Mereka berlagak melayani rakyat. Mereka berlakon peduli pada rakyat. Mereka bertopeng senyum palsu, senyum yang paling ramah di di khalayak rakyat. Padahal mereka sedang mengincar apa lagi yang tersisa pada rakyat yang bisa mereka minta, atau ambil dengan paksa.

Untuk semua itu, mereka membayarnya dengan dusta. Itulah satu-satunya yang paling lihai mereka perankan, sejak mereka mulai menipu kami, meminta agar kekuasaan dari kami diamanahkan pada mereka, kekuasaan yang kemudian mereka perdagangkan untuk mengongkosi dusta-dusta mereka, dan untuk mengatur strategi berdusta yang baru.

Ah, apakah kamu juga seperti kami? Kami, rakyat yang terlalu sering didustai.



Thursday, December 24, 2009

Kau Benci pada Kotamu yang Suka Mematikan Lampu

CAHAYA tak pernah cukup di kotamu. Pabriknya yang selalu kegelapan tenaga, tak pernah bisa memproduksi cahaya cukup, secukup yang dibutuhkan malam, dan yang dibutuhkan orang-orang yang membutuhkan malam di kotamu itu.

Kotamu suka mematikan cahayanya sesuka maunya. Padahal, orang-orang di kotamu sudah tak lagi akrab dengan gelap. Mereka mata gelap, memuja cahaya.

"Kalau kamu mau berdagang di kotaku, datanglah sebagai pedagang cahaya," katamu, padaku, pada suatu malam yang katamu sedang gemerlap gelapnya.

Kotamu, terlanjur suka meniru kota lain yang gemar bergincu cahaya, suka menghambur-hamburkan cahaya, doyan memandikan tubuh dengan cahaya. "Aku silau melihat cahaya kotaku, tapi sekarang risau karena sudah lupa bagaimana dulu aku nikmat sekali menikmati gelap kotaku ini," katamu.

Aku punya cahaya. Tapi, aku bukan pedagang. Kalau pun aku mau berdagang, aku tak akan memperdagangkan cahaya yang aku punya itu. Aku tak mengatakan itu padamu. Padamu aku cuma bilang, "Cahaya yang diperdagangkan di kotamu, di kotaku, dan di kota yang bukan kotamu dan bukan kotaku itu adalah cahaya palsu. Kita membelinya mahal sekali, tapi itu tak semahal harga kehilangan gelap sejati yang hilang dari kotamu, kotaku, dan kota yang bukan kotamu dan bukan kotaku....."


Apakah Rumah Sakit di Kotamu Suka Memakan Pasiennya Juga?

APAKAH rumah sakit di kotamu suka
memakan pasiennya juga? Apakah
pengadilan di kotamu menjual sisa
keadilan dengan harga mahal karena
telah dibeli habis oleh rumah sakit
supaya dia merasa tidak
bersalah ketika memakan pasiennya?

Apakah rumah sakit di kotamu sama
seperti gedung pengadilan itu? Keduanya
sakit payah, lapar parah, dan menularkan
penyakitnya ke pada para pasien:
pasien rumah sakit, pasien pengadilan.
Lalu, lahap memakan pasien itu.

Keadilan sedang sakit. Sakit bersama
kami, para pasien yang tak tahu harus
berobat ke mana. Ke rumah sakit? Aduh,
kami akan tambah sakit, dan kami tak
boleh mengeluh, karena keluhan hanya
akan membawa kami ke gedung sakit lain
bernama pengadilan, dan di sana dengan
hakim yang sakit, keadilan yang sakit,
kami tak akan pernah bisa sembuh.

Apakah para pasien di kotamu suka
mengumpulkan koin juga? Koin-koin itu
sebenarnya adalah sunyi kata yang tak
berdaya, yang terbisukan dan bahkan
tak mampu membeli sekeping pun permen.

Kenapa rumah sakit, dan pengadilan
suka merecehkan pasien? Kenapa pasien
cuma dikoinkan lalu sembarang dibuang?

Koin itu adalah sisa yang tak termakan
oleh rakus dan lapar rumah sakit dan
pengadilan. Koin itu adalah kami para
pasien yang bermimpi hendak menyembuhkan
sakit rumah sakit dan gedung pengadilan.



Tuesday, December 22, 2009

Ke Kotamu Aku Ingin Datang dan Membeli Senjata

"AKU akan mengajakmu menyusuri gang-gang kumuh,
tempat kami mengolah lempeng baja jadi senjata,"
katamu di suratmu, mengabarkan undangan itu padaku,
membalas suratku padamu.

Aku tak menemukan lagi rasa takut dalam kalimatmu,
padahal itulah yang membesarkanmu sejak di rahim ibu.

"Ayahku penembak jitu. Dia tewas dalam sebuah perang
antargang, dahinya ditembus peluru yang dijualnya sendiri,
senjata api yang dirakitnya sendiri, oleh penambak yang
dia ajari sendiri," katamu bercerita sedikit tentang ayahmu.

Sejak kepergian Ayahmu, ibumu bertahan dengan sebuah
senjata di bawah bantal, senjata peninggalan Ayahmu.
Kau sangat mengenal suara letusannya, sebab beberapa
kali ibumu harus menarik pelatuk picu, membunuh lelaki
yang ingin menyempurnakan kemenangan setelah
membunuh ayahmu. Kau sangat kenal bau mesiunya.

"Aku tak akan membawamu menziarahi makam ayahku,"
katamu, "karena aku sendiri pun tak tahu di mana itu."

*

KAU kini adalah pembuat senjata bermutu dan penembak
jitu. Mungkin itulah yang diinginkan mendiang ayahmu.

Bagimu, senjata itu seperti organ tubuhmu. Senjatamu tahu
kapan dan kepada siapa harus melepaskan peluru, seperti
ada syaraf yang menghubungkan dengan otak dan hatimu.

*

KE kotamu, aku datang dan ingin membeli senjata. Tadinya,
begitu. Tapi, kembali dari kotamu aku tak membawa apa-apa.

Bukannya aku lupa. Aku - teman lamamu ini - sebenarnya
hanya ingin bertemu engkau, dan membeli senjata untuk
tanda mata yang kelak kupajang di ruang tamu. Tapi,
aku ternyata tak banyak mengenal engkau, tak tahu
seluk-belum bisnismu. "Aku hanya menjual senjata yang
setidaknya pernah membunuh satu orang. Dan aku hanya
akan menjual senjata pada orang yang hendak membunuh
seseorang dengan senjata itu. Siapa yang kau ingin kau
bunuh dengan senjataku?" katamu, menerangkan azas-azas
bisnis senjatamu. Aku ternyata sungguh tak mengenal engkau.




Monday, December 14, 2009

[Fiksimini] Penyair dan Kartunis

"MAUKAH kamu kita bertukar diri?" tanya Kartunis kawanku, kepada Penyair, yang juga kawanku. "Boleh. Kita coba. 24 jam lamanya. Nanti setelah itu kita saling mengembalikan," kata Penyair.

24 jam kemudian, mereka pun saling mengembalikan. Diam-diam, sebenarnya ada sedikit bagian dari masing-masing mereka yang tak mereka kembalikan. Si Kartunis menyimpan cara merasakan Si Penyair. Si Penyair mengambil cara memandang Si Kartunis.

Karena itu kemudian, Si Penyair bisa menertawakan sajaknya sendiri. Dan Si Kartunis menangis karena kartunnya. Kepada mereka berdua aku bilang, "kapan kalian menulis sajak tentang aku dan menggambar kartunku?"

Mereka terdiam, dan sejak itu, aku tak pernah lagi bertemu mereka. Mereka seperti menghindar, takut atau tidak enak kalau aku menagih. Ah, memangnya, mereka pikir, aku ini siapa, ya? Aku ini kan cuma calon mayat yang biasa saja yang sedang menikmati hidup juga. Memangnya aku tidak boleh membuat orang lain menangis atau tertawa?***


Sunday, December 13, 2009

Dimanakah Puisi Itu di Tubuhmu?

MUNGKIN di bibir? Sebab di situ aku gemar menafsir getar getir.

Atau di lengan? Sepasang yang tak cukup panjang, tapi cukup
untuk senantiasa merangkul, membuat redup, gugup degup.

Atau di leher? Yang melingkar jenjang, bagai batang getah, dan
aku penyadap yang tak sampai hati menorehkan luka di sana.

Atau di kening? Sebaris bulu tipis, yang senantiasa menghening.

"Ah, tak usah banyak menebak," katamu, "mari kubacakan,
bait-bait sajak, yang sekian lama di sini rapat kurahasiakan..."


Tentang Kalimat yang Kubenci dan Apa Sebabnya

AKU benci kalimat yang dimulai dengan kata 'kadang',
- kau tahu, bukan? - Tapi, kita harus mengucapkan, sebab
pada waktu kita rugi, ingin menawar dengan harga tinggi.

Aku benci kalimat yang disusun dengan kata 'angan',
'terbang', 'jauh', dan 'melayang'. Betapa, kita memang
tak berpijak pada nyata. Tapi, karena itulah kita ada...

Aku benci pada kalimat yang hanya bisa kita ucap dalam
rapat rahasia. Aku benci karena - kau tahu, bukan? -
betapa ingin aku meneriakkannya, membuka mata dunia!






Friday, December 11, 2009

Di Galeri Salihara




:: Tri Suharyanto, "Pemeluk Liar", 2009, arkilik pada kanvas, 200cm x 150 cm. Lukisan itu dilukis berdasarkan tafsir atas sajak saya "Leherku Batang Getah Aku Menoreh Darah".


Obituari Galuh

PULANG sekolah, kemarin, Ikra masih sempat memandikannya. Ikra membersihkan matanya dengan korek kuping. Menganduki basah bulunya. Ikra juga menyuapinya telur dadar. Tapi Si Galuh tidak juga mau makan.

Galuh adalah nama terakhir yang dipilih Ikra untuk kucing yang dipeliharanya. Sebelumnya dia menamai Alex. Setelah tahu bahwa kucingnya adalah betina dia mengganti namanya menjadi Alexi, dengan panggilan tetap saja Alex.

Di FB, kawan SMA saya mengusulkan nama Galuh. Ini nama panggilan orang Banjar kepada anak perempuan. Ikra membaca usulan itu waktu dia main Farmville dan nyasar ke FB saya. "Mama, nama kucing Ikra ganti aja. Sekarang namanya Galah!"

"Galah?"

"Iya, ini, Abang baca di fa-ce-bo-ok (beginilah Ikra melafalkan FB) Abah."

"Bukan Galah. Galuh..."

"Iya, Galuh..." kata Ikra, nyengir, menampakkan dua gigi serinya yang sudah tumbuh setengah. Besar sekali.

Anak kucing itu tiba-tiba saja muncul di teras depan kami suatu pagi. Pasti semalam, ada yang membuangnya begitu saja. Ikra yang siap-siap berangkat sekolah meminta kepada Mamanya agar anak kucing itu jangan diusir. Dia ingin merawatnya.

Sejak hari itu, Ikra disibukkan dengan Si Galuh. Ikra sayang sekali sama kucingnya. Sehabis belajar, Si Galuh diajaknya bermain, dipangku, diajari berjalan dengan dua kaki, diberi minum susu, disuapi. Suatu malam Si Galuh tidur sekamar dengan kami. Paginya, entah di mana dia buang kotoran, sepanjang hari hanya bau tak sedapnya yang menyemerbak.

Siang sebelum mati kemarin, Si Galuh keluar darah dari duburnya. Sejak ditemukan di teras, anak kucing berbulu belang dengan dominasi hitam itu sudah tampak sakit. Sore harinya, Ikra membawanya jalan-jalan naik sepeda. Pulang main Ikra menangis sambil menggendong Galuh yang tak bernafas lagi.

***

"Ikra nangis. Galuh mati," kata istri saya lewat telepon. Sepulang dari kantor, di rumah Ikra masih menangis. Mayat si Galuh diletakkan di kotak mie instan (Ikra mencari sendiri kotak itu di Pasar), beralas kain. Ikra langsung memeluk saya, tanpa berkata apa-apa. Dia terus menangis.

"Nanti kita kuburkan dia, ya. Dia pasti masuk surga. Nanti di sana dia menunggu dan mendoakan Ikra supaya masuk surga juga. Soalnya Ikra kan baik sama dia," kata saya. Dalam gendongan saya, Ikra mengangguk.

Sehabis salat magrib, aku dan Ikra menggali lubang di halaman. Ikra membawa mayat Galuh dengan tangan telanjang, memasukkannya ke lubang. Aku menimbunnya.

Di tempat tidur Ikra menggambar kucing dan seorang anak laki-laki. "Ini si galuh sama Abang," katanya. Aku dan istriku berpandangan. Kami terharu. Sekecil itu, anak kami Ikra, sudah tahu apa artinya mencintai dan apa rasanya kehilangan apa yang dicintai.***




Yang Kau Baca, Kau Gubah dan Kau Benci

KAU sekarang menjadi pembaca cerita,
untuk seorang anak yang terbaring,
dengan luka di perut belum kering.

Kau sekarang adalah penggubah cerita,
karena rindu pada Kekasih yang jauh,
dengan murung di kening belum teduh.

Kau sekarang adalah pembenci cerita,
tentang siasat sesat para pesilat-lidah,
yang terus-menerus dirayakan televisi.




Wednesday, December 9, 2009

[Kolom Kamisan] Darwin Kafe

DIA bilang dirinya seorang sekuler yang parah. Kami bertemu di sebuah kafe yang borjuis di kota besar itu. Kota kampung halamannya dan tanah kelaharinnya yang hanya bisa dia nikmati saat hari raya. "Saya orang yang tidak pernah mudik," katanya, pada suatu pertemuan kami, "Mau mudik kemana? Kampung saya di sini..."




Di kota itu, dia membagi dua jenis tempat nongkrong: satu borjuis, satu lagi proletar. Baginya keduanya adalah pilihan yang sama asyiknya. Angkringan di tepi jalan yang memindahkan kultur tradisional kota-kota di Pulau Jawa, atau kafe dengan konsep adopsi luar negeri baginya sama saja.

"Bukan tempatnya yang menentukan apakah nongkrong jadi asyik atau tidak, tapi siapa teman ngobrolnya," katanya, dan saya suka kalimat itu. Bikin saya sedikit besar kepala. Nyaris setiap singgah ke kota itu saya selalu menyempatkan diri bertemu dia.

Mengobrol dengannya kadang seperti kuliah atau kursus filsafat singkat. Kadang seperti menggoyang bangunan dasar pemikiran mapan yang kaku dan melihat kemungkinan menyegarkannya dengan sesuatu yang lebih kreatif. Kadang seperti tertular pemikiran-pemikiran subversif, mempertanyakan banyak hal yang selama ini seakan-akan nyaman diterima sebagai kebenaran.

"Kamu percaya Teori Darwin?" katanya malam itu, beberapa waktu lalu. "Saya percaya, karena itu saya tidak percaya visualisasi kiamat dalam film 2012 itu." Ia tak menunggu jawaban saya.

"Menurut saya kiamat itu sudah mulai dari sekarang prosesnya," kata dia. Lalu dia bicara soal memanasnya suhu di bumi, akibat emisi karbon yang tak terkendali, bolongnya lapisan ozon, mencairnya es di kutub bumi, naiknya permukaan laut, berkurangnya daratan, dan kelak manusia terus saja saling bunuh memperebutkan sumber daya alam yang makin langka.

"Itu sudah terjadi di depan mata kita sekarang. Kita ini sudah saling bunuh pelan-pelan," kata dia.

Kita ini, katanya, cuma bicara saja soal Hak Azasi Manusia, kesetaraan, keadilan, tapi pada dasarnya kita cuma mengamankan kepentingan kita masing-masing. "Amerika yang katanya paling jago demokrasi, paling peduli pada Hak Azasi Manusia, nyatanya dengan penduduk yang hanya lima persen dari populasi dunia, mereka menghabiskan dan menguasai 23 persen sumber energi di dunia. Adilkah itu?" katanya.

Saya menyimak saja. Mencoba menghubung-hubungkan arah pembicaraannya dengan Teori Darwin. Dia seperti tahu apa yang saya pikirkan.

"Kamu jangan menghubungkan apa yang saya jelaskan ini dengan Teori Darwin bahwa manusia berasal dari kera. Buat saya bukan itu yang esensial. Yang penting adalah teori evolusinya itu, bahwa yang bisa bertahan adalah makhluk yang paling bisa menyesuaikan dengan perubahan kondisi bumi. Teori survival of the fittest!"

Lagipula, katanya, Darwin setahu saya tidak bilang manusia itu adalah keturunan kera, cuma seketurunan dengan satu makhluk di masa lalu yang kemudian berevolusi sehingga menghasilkan berbagai primata, termasuk kera dan manusia.

"Saya kira tak ada yang salah dengan teori itu. Buat saya itu sama sekali tak bertentangan dengan keyakinan saya. Ah, tapi kamu kan tahu saya ini memang sekuler. Keyakinan agama saya itu urusan saya dengan Tuhan saya, tidak pernah saya campurkan dengan bagaimana saya memikirkan dunia tempat saya hidup ini. Tuhan juga bilang begitu kan? Pikirkanlah duniamu, jangan pikirkan zatku. Kalau tidak salah, ada kan ayat yang bunyinya begitu?" katanya.

Kawan saya ini membayangkan kelak yang bertahan di bumi adalah manusia yang sudah berubah, menyesuaikan diri dengan keadaan bumi yang juga sudah sangat berubah. Evolusi itu, katanya, tidak berhenti.

Kita sekarang ini sedang meneruskan evolusi. Manusia punya kemampuan adaptasi yang luar biasa. Lagi pula bumi ini toh berubah pelan-pelan. Perubahan yang seiring: manusia dan bumi.

"Mungkinkah ada peristiwa luar biasa yang membuat manusia punah seperti dinosaurus?" tanya saya.

"Saya yakin kalaupun peristiwa itu terjadi, akan ada sisa manusia yang hidup, sebab populasi manusia sekarang jauh lebih banyak daripada dinosaurus yang waktu itu sedikit sekali. Secara anatomi, dengan badan limapuluh kali gajah dan otak hanya sebesar kotak korek api, dinosaurus memang bukan makhluk yang hendak dipertahankan oleh alam. Dinosaurus tidak adaptif. Manusia tidak. Manusia malah mengubah alam agar beradaptasi dengan kebutuhan manusia," katanya.

"Ini pada awalnya adalah anugerah. Tapi, kelak ketika perubahan alam yang dibuat oleh manusia itu semakin jauh mengganggu keseimbangan itulah saatnya alam berbalik menolak keinginan manusia," katanya.

Malam itu, kota itu sedikit sejuk. Hujan beberapa kali terjadi sepanjang siang hingga sore. Basahnya masih tersisa di udarakota. Pelayan kafe minta izin untuk mematikan lampu. Kami sejak awal memilih duduk di teras agar bisa meneruskan perbincangan sampai kapan saja kami mau. Kami memang terus mengobrol tentang banyak hal. Kami membayangkan bagaimana bentuk kehidupan manusia dan bagaimana kondisi bumi nanti.***

Kerja Cinta

: d


CINTAKU padamu adalah kerja. Aku ikhlas mengerahkan dan mengarahkan pikiran dan tenaga. Aku tak berharap upah apa-apa, kecuali bahwa aku bangga karena telah mengabdikan diri padamu, pada cinta itu.

Ketika kucium kamu saat bangun tidur di subuh hari, aku seperti memindai kartu karyawan di mesin absensi. Tak ada jadwal kerja. Tapi, dengan ciuman itu aku ingin meyakinkan kamu bahwa aku masih setia bekerja untuk cintaku, mengerjakan cintaku, menghasilkan cinta untukmu.

Aku tak tahu apakah aku harus menandatangani kontrak mati bagi kerja cinta ini, aku bukan pekerja abadi, tapi aku tak pernah ingin berhenti, pensiun atau memecat diri.

Ketika kupeluk kamu, kapan saja sempat kulakukan itu, dan itu bisa berkali-kali dalam sehari, aku sebenarnya hanya ingin memulihkan tenaga hati, menghangatkan suhu jantung lagi. Tidak, aku tidak lelah, aku tidak pernah lelah, sebab mencintaimu adalah kerja seperti jantung berdetak. Jantung mencintai detaknya itu. Aku mencintai cintaku, cintaku padamu itu.

Jantung hanya tahu bahwa dia masih ada ketika dia rasakan detaknya. Seperti itulah aku, yang merasa masih tetap ada selama aku masih mencintai kamu.




Tuesday, December 8, 2009

Sesayup Saujana

PADA sepasang kaki yang telah sejauh lelah melangkah, apa kenangan yang kau bisa ingatkan padaku? Kota-kota yang kita tamui, kita rumahi, lalu kita tinggalkan?

Mungkin kota kecil itu. Bandara kecil hanya disinggahi sekali sehari, toko sepatu, kedai buku, gerai kaset, dan pasar ikan yang bila sore hari di sana kita belanja, membeli beberapa peristiwa remeh, yang tak akan repot kita mengemasnya. "Waktu adalah ruang yang akan kian sempit dan panjang," kataku, mengatasi ketakmampuanku sendiri, menata risau hati. Dan kita sibuk menghapal refrain lagu itu, lagu tentang sesayup saujana.

Atau komplek perumahan yang tak dilalui pipa air? Dan kita amat rajin menampung hujan di mata, menyimpannya tabah dan lama sebagai tangis bersama, tangis rahasia.

Atau laut itu. Laut yang tahu apa yang tak kita katakan padanya: kamu (katanya, menunjuk padaku) dan kamu (kemudian ia tatap kamu), maukah kuberitahu sesuatu yang lebih tangis, yang lebih rahasia? Laut itu lalu bersenandung senada, semurung mendung, tapi kita seperti diingatkan pada sebuah merdu lagu, lirik sendu, dengan sejumlah kata yang kukira itu adalah perahu, kayuh, atau sauh. Ya, semacam itu.

Dan kita ingat - sekelebat - pada refrain lagu itu, lagu tentang ragu dan gugup dekap kita: tentang sesayup saujana.



[Ruang Renung # 245] Meraih Hikmah

MENYAIR itu adalah kerja memburu hikmah. Penyair adalah dia yang tak berhenti pada pesona permukaan. Dia berusaha menyelinap ke balik setiap peristiwa, menemukan hakikat peristiwa itu. Ia menyelami ruh di dalam jasad benda-benda. Penyair adalah dia yang penasaran pada rahasia-rahasia di balik kejadian dan sedapat mungkin membongkar rahasia itu.[]


Sunday, December 6, 2009

Menyepertikan Cintaku dengan Beberapa Hal yang Mungkin Tidak Lazim

1. Kecoa

KECOA itu seperti cintaku. Walaupun kau putuskan kepalanya, dia akan bertahan hidup seminggu lamanya. (Ini tak kudapatkan dalam pelajaran biologi yang diajarkan guru SMA kita, yang senyumnya sipu saat menjelaskan bab reproduksi manusia).

Kunikmati perih hidup tanpa otak, tanpa mulut dan telinga. Dan begitulah kuyakini hakikat mencintai: Aku tak perlu berpikir kenapa, tak perlu mengatakannya, tak perlu mendengar apakah kamu mengucap kata yang sama.

2. Cacing Tanah

CACING tanah itu seperti cintaku. Kau hanya bisa menemuiku jika kau menggali di tanah yang subur. Tanah itu subur karena aku: makhluk yang lemah, yang sepanjang tahun mengunyah ribuan ton tanah.(Aku pernah membaca tentang hal itu - dan sejak itu aku tak jijik lagi pada cacing tanah - di sebuah majalah ilmiah).

Cintaku tak mati karena dia tersembunyi. Dia justru terasa ada pada subur tumbuh bunga di tanah yang di sana ia sembunyikan dirinya.

3. Bakteri Pengurai

BAKTERI pengurai itu seperti cintaku. Cinta yang tak abadi tapi terus-menerus ada. Cinta yang bisa mati tapi terus-menerus memperbanyak diri.

Di sampahmu, di bangkaimu, di serasahmu, bahkan di kotoranmu, aku mencari dan pasti menemukan kesejatian dan segalanya hanya kukembalikan lagi padamu.

(Aku merasa beruntung kini karena tak membolos saat kuliah mikrobiologi membahas tabiat jasad renik ini)



Dengan Ini Menyatakan bahwa "Cinta yang Marah" Karya M Aan Manyur adalah Buku Puisi Terbaik Indonesia 2009 Versi Saya Sendiri



M Aan Mansyur

Oleh Hasan Aspahani*


KEPEDIHAN itu disampaikan lewat kisah Si Aku dengan cara yang cerdas: menyatakan mimpi-mimpi. Si Aku punya tiga mimpi, yaitu menjadi pemain biola, perancang busana, dan penulis obituari. Dua cita-cita pertama adalah mimpi yang lazim. Tapi, penulis obituari? Ini sungguh tidak wajar. Dan inilah kehebatan penyair kita ini. Ia jeli. Ia seolah tanpa beban mencomot imaji-imaji dari sana-sini. Ia memerlukan ketiga cita-cita itu sebagai strategi puitik menyairnya: menggarap tema puisinya.



Lantas sajak itu mengalir lekas tapi sungguh tidak cair, lancar tapi sungguh jalannya tidak sederhana, penuh kelok, tanjakan, simpang, dan ibarat kendaraan kita sebagai pembaca akan berpapasan dengan banyak hal di sepanjang jalan puisi enam bait (atau paragraf) itu.

Tiga cita-cita tadi berkembang atau dikembangkan untuk memaparkan kepedihan dengan cara yang wajar. Kita percaya bahwa Si Aku kita ini amat mahir bersedih, amat lihai berduka. Tapi, dia sedang tidak dikasihani. Dia juga tidak sedang mengasihani diri sendiri.

suara biola yang mengantar mayat kau ke pemakaman: tangis aku // juga tentu saja aku menuliskan obituari singkat untuk kau yang dimuat di koran persis obituari aku sendiri.

Dua bait terakhir yang menutup sajak pertama di buku "Cinta yang Marah" itu sudah cukup menunjukkan kematangan penyair kita M Aan Mansyur. Ia dengan baik menghamparkan sebuah bentang imaji sajak yang kompleks, dan sementara itu menjaga keutuhan komponen-komponen pembangunnya. Di hadapan sajak Aan, kita tidak merasa terlempar ke tengah laut di tengah malam: gelap sehingga tak tampak apa-apa, dan dalam sehingga sekuat apapun kita menyelam tak akan menemukan apa-apa, dan karena itu kita ketakutan, lemas, tak bisa berenang ke mana-mana.

Rangkaian sajak-sajak Aan di buku ini adalah sebuah sungai meander. Penuh kelok tajam dan dalam. Di satu bagian kita menemukan ketenangan arus, terlindung - tapi tak terpisah - dari arus deras itu; di bagian lain kita terseret aliran kencang; di bagian lain kita terpaksa menyelam sejenak untuk kemudian muncul lagi di bagian lain dan merasakan sensasi luar biasa. Megap-megap kita dibuatnya, tapi kita puas karena tahu sedalam apa sungai sajak itu adanya.


***

Di buku ini, Aan melakuan apa saja yang bisa diperankan oleh sebuah teks dengan puisi-puisinya. Ia bercerita: misalnya tentang sepasang kekasih yang merayakan ulang tahun di perpustakaan, dengan serangkaian adegan-adegan indah (seperti mencium pucuk hidung, dengan mata yang memejam) yang saya kira di tangan seorang sutradara handal dan pelakon dengan akting hebat akan menjadi adegan cinta yang membuat dada penonton sesak.

Di buku ini, Aan dengan jenial menyampaikan pendapatnya tentang banyak hal (sambil dengan halus melancarkan gugatan). Tentang panti jompo, misalnya, dia berpendapat bahwa itu adalah tempat orang-orang yang punya anak terlalu sibuk, merasa dekat dengan makam, dan susah mengingat cara tersenyum. Tetapi, ia tidak pernah lupa bahwa ia menulis sajak. Pendapatnya itu selalu saja hanya menjadi cantolan, atau kaitan, atau dasar berpijak untuk melompatkan imaji puisinya pada ketinggian rasa yang hendak dicapainya dalam sajaknya.

Di buku ini, Aan juga melucu. Huh, kenapa sih tak banyak penyair Indonesia melakukan hal ini. Kenapa sih banyak penyair Indonesia saat-saat ini terlalu serius dengan puisi mereka, tetapi hasilnya adalah sajak-sajak yang sungguh terlihat sangat lucu karena keseriusannya itu. Kelucuan sajak Aan tidak sekadar plesetan. Kelucuannya terbangun utuh untuk bersama sajaknya. Di sebuah sajak misalnya, dia merenungkan arti kesetiaan, kebahagiaan lewat adegan sepasang kakek dan nenek yang mengamati uban, dan gigi, serta menjawab pertanyaan cucu. Amat jenaka.

Di buku ini, Aan melancarkan kritik sosial. Yang disorotnya bukanlah hal-hal yang baru: ia misalnya menyiratkan bagaimana tidak adilnya pembangunan, yang atas nama modernisasi maka habislah tersingkir becak oleh mobil mewah. Ia menyindir korupsi, ia menyadarkan betapa lahan bermain semakin menyempit dikuasai oleh gedung-gedung milik orang kaya, ia dengan ringan menyebut dan menyabet soal kenaikan harga, perceraian dan perselingkuhan artis, dan kekakuan lembaga-lembaga agama.

Tapi yang paling penting adalah di buku ini Aan dengan mahir menyairkan soal cinta, kasih, kehidupan, kematian dengan butir-butir permenungan yang bernas, orisinal dan dengan cara yang sejauh ini hanya dia yang bisa menggarap semenarik itu hasilnya.

***

Buku ini adalah buku puisi ketiga Aan, setelah "Hujan Rintih-Rintih" (Ininnawa, 2005) dan "Aku Ingin Pindah Rumah" (Nala Cipta Litera, 2008). Mengikuti kepenyairan dan perkembangan sajak-sajaknya dari buku pertama itu, saya harus menyebut bahwa di buku ketiganya ini Aan tidak lagi hendak meraba-raba hendak kemana membawa sajak-sajaknya, pun tidak lagi dia sedang mengepas-ngepaskan posisi kepenyairannya. Dia telah dapat tempat, tetapi sekaligus nyaman saja kemudian dia seakan-akan mengubah-ubah posisinya di situ. Baginya, yang penting adalah tempat yang khas dan tak akan pernah tergantikan, bukan sekadar posisi.

Buku ini adalah sebuah kerja menyair yang hanya bisa dilakukan oleh penyair yang punya sikap seperti saya sebutkan di atas dan sadar pula bahwa ia telah amat menguasai teknik-teknik menyair. Diksi Aan luar biasa kaya dan lincahlah dia memadu-padankan kata. Ironi-ironi dibangun dan ditabrakkan di sana-sini menghasilkan kejutan-kejutan, dan karena itu tidak membosankan.

Dan buku ini, dengan 21 sajak, ditulis dengan kesadaran sejak awal akan terangkai dengan satu tema, satu benang merah yang terbentang jelas yang kemudian dengan tepat ditandai sesuai judulnya: Cinta yang Marah. Ini juga sebuah tema yang unik, yang memungkinkan sajak-sajak ini diberi tafsir yang kaya.

Seakan hendak melengkapi kebaruan sajak-sajaknya, Aan dengan sadar memberi judul sajak-sajaknya dengan judul yang khas: panjang sekali, seakan-akan itu adalah sebuah bait sajak sendiri. Pasti ada penyair lain yang melakukan hal yang sama sebelumnya, tapi kelak, ketika saya menemukan sajak dengan judul berupa kalimat panjang, maka saya serta merta hanya akan teringat pada M Aan Mansyur dengan sajak-sajaknya di buku ini.

***

Saya ingin membuat kesimpulan terakhir. Buku ini istimewa karena ia lahir dari kerja menyair yang sungguh-sungguh. Si Penyair kita ini seperti menggarap sebuah proyek besar dan dengan sadar dan sungguh-sungguh menggarap dengan penuh tanggung-jawab. Ia tidak sekadar mengumpulkan ceceran-ceceran sajak yang ditulis bak kerja iseng bertahun-tahun dengan produktivitas amat rendah. Aan mula-mula menetapkan sebuah tujuan, lalu dengan pengalaman dan penguasaannya atas jurus-jurus puisi dia menuntaskan pekerjaannya itu. Hasilnya? Sebuah karya penting dan besar, tidak hanya untuk Aan, tapi untuk Sastra Indonesia!

* Hasan Aspahani adalah pegunjing puisi yang bertanggung jawab penuh atas pergunjingannya.