Tuesday, July 31, 2007

Hanya Sebuah Sajak Cabul

"HEI, kelamin siapa ini tertinggal di kelaminku?"

Dari jendela kamar yang telanjang, seorang
pelacur berteriak kepada pejajan lalu lalang.

Seseorang menyahut saja dengan sebuah mungkin.
Seseorang memeriksa ke dalam celana dalamnya.

"Hei, Tuan Bajingan, aku tidak perlu kelamin kalian!"

Di lain jendela, erang bertangkis-tindih dengan erang.

*

"INI kebun pelacuran, Tuan tahu, bukan? Kalau Tuan 
datang ingin duduk di pematang , yang  Tuan dapat hanya
cocoktanam cabul, di lahan berbatu, terserang wereng."

Seorang germo tua memuntahkan asap tembakau dari 
mulut dan hidungnya, menghitung uang dari ongkos
persetubuhan perempuan yang buka ladang pada tubuh
dan kelaminnya. "Mau pakai kondom atau tidak, Tuan?"

"Ah, sajak cabul. Hanya kelaminkah yang bisa kutuliskan?"


[Ruang Renung # 221] Goenawan Mohamad Masih Menulis Puisi

APA kesibukan Goenawan Mohamad saat ini? Ini jawaban dari wawancara terbarunya. Di samping menulis Catatan Pinggir tiap minggu untuk majalah Tempo, kata dia, dia sedang  sedang menuliskan kembali ceramahnya tentang "estetika jeda" dan satu telaah tentang Pramoedya.

"Saya juga sedang menyelesaikan serangkaian sajak dengan mengambil dasar novel Cervantes, Don Quixote. Sebentar lagi saya harus menuliskan satu libretto, Tan Malaka," katanya.

Hei, orang tua yang sibuk itu terus menulis puisi. Juga menulis hal-hal lain.  Di tahun 1994, Goenawan, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono, Taufik Ismail, diberi salut oleh Sutardji Calzoum Bachri karena di usia melampaui 50 tahun masih rajin menulis puisi. "Saya kira ini satu hal yang fenomenal dalam sejarah puisi Indonesia," kata Sutardji. Salut kita tentu harus pula kita berikan pada Sutardji sendiri. Salut Sutardji dan salut kita tentu semakin takzim kini, karena usia mereka sudah melampaui 60 tahun dan mereka masih menulis puisi.

Usia saya 36 tahun. Berapa usia Anda? Saya masih akan terus menulis. Anda masih menulis? Saya masih ingin menemukan sesuatu dalam puisi saya. Anda ingin berhenti menulis? Hei, berapa usia Anda sekarang?



Monday, July 30, 2007

Isyarat Sutardji yang Wajib Ditangkap



* Saya sedang membaca "Isyarat" Sutardji Calzoum Bachri [Foto oleh Sultan Yohana]

Petikan Pidato Sutardji saat Menerima
Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998

Para penyair, jadikan karyamu melimpah. Agar engkau tidak memberi hanya untuk kotakmu saja, untuk tempurungmu saja. Jadilah melimpah agar engkau bisa memberi pada kotak-kotak lain pada banyak orang. 


Pidato Sutardji itu selengkapnya dapat dibaca di buku "Isyarat", Indonesiatera, Juli 2007.  Saya sedang menunggu resensi saya atas buku itu diterbitkan di sebuah majalah mingguan. Anda tak usah menunggu. Lekas beli saja buku itu!

Hasan Aspahani




Sunday, July 29, 2007

Di Antara Sampiran dan Isi Pantun Tua

          kalau ada sumur di ladang
          boleh kita menumpang mandi


TAPI ladang-ladang mati,  mengubur para petani
dalam sumur-sumur dangkal, meninggal isak sesal:
mataair berairmata lumpur, pasir dan batu koral.

"Itulah sumur yang kau gali dahulu, dari ladang
ke ladang," kata bocah lelaki kurus yang tak henti
memandangi langitnya, menunggu layang-layang
yang mungkin bisa ia  kejar, karena bambu
panjang telah lama patah, kail pun tak berumpan.

*

IA telah lama ingin mandi. Keringat kemarau
mengubah warna dan bau tubuhnya jadi asing.

Ia bayangkan para penebang datang dengan mesin
gergaji. Salah mengira tubuhnya, rebah batang tua
yang hendak dibelah jadi sembilan belah.

Tak terjawab bilakah pertama kali ladang yang pernah
subur ini berangsur kehilangan sumur-sumur, dan para
petani kalah lekas dengan umur, mati atau tersiksa uzur.

Pantun Tua, Pantun Tua,  siapa bisa mengingatkan
isimu pada bocah lelaki itu? Setelah sampiran itu tak lagi
bisa kami lagukan bersama. Panen batal,  hari tenggelam,
tak ada lagi padi yang bisa ditugal. Apalagi diketam.
 
           kalau ada umur panjang
           boleh kita berjumpa lagi?


Friday, July 27, 2007

Aku Ingin Membunuh Penyair Asing Itu

AKU ingin menggali lubang kubur untukmu di puncak itu
      agar aku tak pernah ingin berziarah lagi, setelah
            kematianmu yang sederhana: terbunuh sajakmu sendiri.

Di Kios Arloji Kubawa Jam Otomatis

TUAN Tukang Jam, bisakah
      Tuan memperbaiki waktuku
            yang pernah kurusak sendiri?

Swatoe Tjerita Jang Amat Bagoes dan Betoel Seoda Kedjadian

        MAUKAH kau mendengar sepotong cerita
        tentang gadis budak yang kecantikannya
        niscaya menimbulkan birahi di dalam hati?

        MAKA bagaimana tjakepnja Rossinna dalem pakaean boedak
itoe, tiada perloe di tjeritaken lagi, dan tjoekoeplah kaloe di bilang bahoewa
siapa djoega, toea dan moeda, miskin dan kaja, jang melihat Rossinna,
nistjaja timboel birahi di dalem hatinja.


        MAUKAH kau menyimak sepenggal cerita
        tentang bibir tipis yang memerah karena
        makan sirih, merah seperti biji delima?

        APA lagi kaloe Rossinna, soeda makan sirih. Bibirnja jang tipis
djadi seperti bidji delima warnanja dan bikin moekanja terlebi bertjahaja lagi.
Soenggoeh djarang sekali antara bangsanya sendiri ada jang begitoe
cantik dan begitoe elok seperti Rossinna.


        MAUKAH kau membaca sekerat cerita
        tentang hidung, alis dan kulit yang membangkitkan
        duga dan perkara?

        MAKA kaloe di pandang, idoengnja mantjoeng, alisnja kereng
dan koelitnja bening, betoel banjak tiada, tetapi sedikitpoen tentoe bole
didoega. Rossinna ini ada toeroenannja orang koelit poetih. Siapakan
taoe itoe perkara!


        MAUKAH kau melengkapkan potongan cerita itu?
        Maukah kau menyatukan penggalan cerita itu?
        Maukah kau merekatkan keratan cerita itu?
        Maukah kau bila nanti kita bertemu lagi
                        maka kau akan bertanya padaku,
        "Maukah kau mendengar petikan ceritaku?"

        IAITOE swatoe tjerita jang amat bagoes dan betoel soeda
kedjadian ... Tjerita yang baik di boeat toeladan pada sekalian orang
jang berhati kedjem.


* Teks miring dikutip dari "Tjerita Rossinna" oleh F.D.J. Pangemanann dalam buku "Tempo Doeloe", Antologi Sastra Pra-Indonesia, dikumpulkan oleh Pramoedya Ananta Toer, Lentera Dipantara, Cet. 2, 2003. Bagian awal cerita itu disadur oleh pengarangnya dari H.F.R Kommer, dicetak di percetakan Bataviasche Snelpersdrukkeij Kho Tjeng Bie & Co, Pantjoran Batavia (Java), 1910.

Thursday, July 26, 2007

Ia Tersesat di Larik-larik Penyair Asing Itu

        IA berjanji denganmu bertemu di sebuah judul puisimu. "Alamatku di sana," katamu. Lantas di judul sajakmu itu ia menunggumu. Ada sebuah kata menemuinya, kata yang ada di larik pertama baris puisi yang tak jauh dari judul itu. "Dia ada di dalam puisinya, masuk saja," kata kata itu.
       IA ragu-ragu, apakah harus masuk ke bait itu, atau tetap saja di luar judul di mana sejak tadi ia menunggu. "Cepatlah," kata kata itu. "Nanti dia tak punya waktu untuk menemuimu lagi." Maka, ia pun melangkah ke arah bait yang diisyaratkan oleh kata pertama tadi.
       DIA  tidak bertemu denganmu. Di akhir puisi itu dia hanya bertemu bait akhir sajakmu: nah, aku sudah menyesatkanmu!




Paragraf yang Ia Curi dari Penyair Asing Itu

         IA berjalan dan ia merasa matahari itu sedang mengikutinya. Kenapa kau ikuti aku, matahari? Begitu ingin ia bertanya begitu. Tapi ia terus saja berjalan tanpa mengikuti keinginannya sendiri agar bertanya kepada matahari yang terus saja ia rasa terus mengikutinya. Ia curiga pada matahari itu, ia ikut curiga pada Engkau, ia curiga Engkaulah yang menyuruh matahari itu mengikutinya. Semakin jauh ia berjalan, semakin ia merasa matahari itu semakin dekat saja seperti dekatnya dia dengan jalan yang sedang ia jalani. Hei, sekarang, matahari itu ada di depannya, dan ia curiga jangan-jangan matahari itu curiga ia sedang mengikuti matahari. Ia curiga jangan-jangan matahari juga ingin sekali bertanya padanya kenapa ia mengikuti matahari itu. "Jangan!" tiba-tiba saja ia dengar seruan seru itu. Ia tak tahu siapa tadi yang berseru, diakah atau matahari itu? Atau jangan-jangan....


Sajak lain tentang penyair asing itu: 
* Terjemah untuk Sajak-Sajak Kecil yang Tak
Pernah Selesai Dituliskan Penyair Asing Itu



Wednesday, July 25, 2007

Aku Bilang Aku Mencari Seseorang

yang menikmati waktu berdengan-dengan denganku
yang menikmati waktu bertanpa-tanpa tanpaku
yang menikmati waktu menanti-nanti menantiku
yang menikmati waktu
                             yang ada denganku
                                       yang ada tanpaku
                                                yang aku dengan atau tanpa
 
aku bilang aku mencari Waktu yang menikmati kau & aku

Tuesday, July 24, 2007

Hasan Aspahani di FKY 2007

Festival Puisi Nasional salah satu agenda Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2007. Acaranya berupa diskusi dan Baca Puisi 30 Penyair Indonesia, 23-24 Agustus 2007, pkl. 19.00-22.00 WIB (malam), tempat Sasono Hinggil, Kraton Yogya. Alternatif: Benteng Verdeburg, Jl. Malioboro.

Materi pertunjukan berupa pembacaan puisi oleh para penyair Indonesia terpilih, yang memiliki konsistensi dan pencapaian estetik. Para penyair diundang dari sejumlah kota di Indonesia, termasuk dari Yogyakarta. Sebelumnya, penyair diminta mengirimkan karya-karya mereka terutama yang bertema “keberagaman”.

Karya-karya tersebut akan diseleksi dan dijadikan bahan penerbitan (editor: Saut Situmorang dan Raudal Tanjung Banua) . Jika pada FKY 2005 kami sudah mengundang khusus penyair perempuan Indonesia, maka FKY 2007 ini--sebagai kelanjutannya--kami sengaja mengundang yang sebaliknya. Berikut adalah para penyair yang diundang:

Peserta dari Yogya: Faisal Kamandobat - Afrizal Malna - Bustan Basir Maras - Hasta Indriyana - T.S. Pinang - Iman Budhi Santoso - Joko Pinurbo - Hamdy Salad.

Peserta luar Yogya: Aslan A. Abidin, Makasar - Agus Hernawan, Padang - Riki Dhamparan Putra, Denpasar - Jamal T. Suryanata, Banjarmasin - Irmansyah, Jakarta - Mardi Luhung, Gresik - Zen Hae, Jakarta - Gus tf, Payakumbuh - Iyut Fitra, Payakumbuh - Hasan Aspahani, Batam - Marhalim Zaini, Pakanbaru - Wowok Hesti Prabowo, Tangerang - Toto ST Radik, Banten - Tan Lioe Ie, Denpasar - Wayan Sunarta, Karangasem - Acep Zamzam Noor, Tasikmalaya - Ahda Imran, Bandung - Sindu Putra, Mataram - S. Yoga, Surabaya/Madura - Thompson HS, Medan - Sihar Ramses Simatupang, Jakarta - Badaruddin Emce, Cilacap.

[Ruang Renung # 220] Ihwal Penyair Cilik dan Lukisan Gajah

ADA penyair anak-anak yang sudah menerbitkan lima buku. Dan konon bukunya laku keras. Lima buku dalam usia yang masih kanak-kanak sudah cukup membuktikan bahwa memang penerbit punya alasan untuk menerbitkan buku-bukunya, yaitu laris. Tapi, tentu saja ini tidak membuktikan mutu dari sajak-sajak si penyair anak-anak tersebut. 

Eh, tapi, di bukunya itu ada kata-kata pujian dari sastrawan-sastrawan besar, lho. Nah, itupun tak menunjuk pada kualitas sajak. Ini hanya semacam perayaan atas bakat besar dan sekaligus taktik dagang yang manjur. Kita bukannya meragukan ketulusan pujian si sastrawan besar, pun jauh dari tudingan bahwa sang sastrawan besar itu secara tak sadar dimanfaatkan namanya. Tidak, sama sekali tidak. Kita hanya ingin mengatakan bahwa pujian itu tidak serta merta merujuk ke kualitas sajak si penyair anak-anak itu.

Bila ingin menguji kualitas sajak si penyair cilik, juga penyair yang tidak cilik, tidak ada jalan lain kecuali harus mengenakan sajak-sajaknya kepada kritik yang baik dan benar oleh kritikus yang baik dan benar pula. Tak usah berburuk sangka dan berpendek harap terhadap kritik dan kritikus. Harapan pada kritik yang baik tidak harus dihentikan hanya karena saat ini tidak ada atau belum ada kritikus yang baik dan benar itu.

Saya kira, kritik harus tegas. Ia tidak membedakan sebuah karya ditulis oleh anak-anak ataukah oleh orang dewasa. Kritik harus kejam. Bila tidak, maka pengukuran kualitas sastra menjadi kacau. Kritikus tidak harus menunduk-nunduk segan atau menurunkan kadar kritiknya di hadapan karya hanya karena tak enak hati adan kasihan dengan penyairnya.

Kelarisan buku bisa dibaca dari sisi lain. Apalagi mengingat si anak beruntung punya orang tua yang paham seluk-beluk penerbitan dan punya kontak yang baik ke penerbit. Apakah orang tua si anak itu berperan juga di dalam karya si anak? Sebaiknya jangan. Tapi bila ini tuduhan, maka yang kelak membuktikan adalah waktu. Si anak tak bisa tidak pasti akan tumbuh dewasa. Ia boleh memilih tetap menjadi penyair atau memilih profesi lain. Bakat besar di masa kanak bisa saja kuncup dan layu atau tambah tumbuh dan semerbak mekar. Sama saja, penyair dewasa pun boleh terus menyair atau berhenti kapan saja.

Saya ingin membuat perbandingan tentang lukisan gajah. Gajah yang dilatih dengan baik bisa memainkan kuas dan cat di atas kanvas. Hasilnya bisa serupa dengan lukisan abstrak Amri Yahya. Amri Yahya amat gemar melukis obyek lebak. Sepintas lukisannya hanya berupa cipratan-cipratan cat warna-warni yang menimpa kanvas. Apa bedanya dengan "lukisan" gajah?

Amri Yahya amat sadar bahwa pekerjaan yang ia lakukan adalah melukis dan karya yang ia hasilkan adalah sebuah lukisan. Sementara gajah itu saya yakin tidak pernah sadar dan tidak pernah tahu bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah kerja melukis, dan karyanya adalah karya lukisan.

Kesadaran ini penting walaupun tidak pernah ada paramater yang bisa mengukurnya. Tapi, itulah yang menentukan harkat sebuah karya. Ibarat niat dalam sebuah ibadah. Tanpa niat, meskipun bacaan ayatnya fasih, meskipun rukun dan syarat lainnya sempurna, sebuah ibadah tak bernilai pahala apa-apa.

Sajak anak-anak yang amat berbakat sekalipun bisa dibaca seperti melihat lukisan gajah. Saya pertama-tama merasa harus mencurigai kesadaran si anak ketika menggubah sajak-sajaknya. Semakin baik hasilnya, saya harus semakin curiga. Saya sama sekali tidak melarang anak-anak menulis sajak. Mereka harus dikenalkan pada sajak, dan diajari menulis sajak sejak dini.

Saya percaya bahwa lebih baik orang tua tidak menempatkan dirinya sebagai pelatih gajah dan tidak menganggap anaknya sebagai anak gajah, walaupun ia adalah seorang pelukis yang handal dan anaknya amat berbakat melukis. Saya lebih mudah kagum pada anak-anak yang menganggap syair adalah sarana bermain yang menggembirakan hatinya, yang tampak pada kegembiraan yang bisa terbaca dalam karya sajaknya. Sebutan penyair cilik bukannya tak boleh disandangkan padanya, tetapi hendaknya tidak menjadi beban baginya.



Pernyataan Sikap Sastrawan Ode Kampung

Serang, Banten, 20-22 Juli 2007:

     Kondisi Sastra Indonesia saat ini memperlihatkan gejala berlangsungnya dominasi sebuah komunitas dan azas yang dianutnya terhadap komunitas-komunitas sastra lainnya. Dominasi itu bahkan tampil dalam bentuknya yang paling arogan, yaitu merasa berhak merumuskan dan memetakan perkembangan sastra menurut standar estetika dan ideologi yang dianutnya. Kondisi ini jelas meresahkan komunitas-komunitas sastra yang ada di Indonesia karena kontraproduktif dan destruktif bagi perkembangan sastra Indonesia yang sehat, setara, dan bermartabat.
     Dalam menyikapi kondisi ini, kami sastrawan dan penggiat komunitas-komunitas sastra memaklumatkan Pernyataan Sikap sebagai berikut:
     1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya.
     2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika.
     3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.
     Bagi kami sastra adalah ekspresi seni yang merefleksikan keindonesiaan kebudayaan kita di mana moralitas merupakan salah satu pilar utamanya. Terkait dengan itu sudah tentu sastrawan memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat (pembaca). Oleh karena itu kami menentang sikap ketidakpedulian pemerintah terhadap musibah-musibah yang disebabkan baik oleh perusahaan, individu, maupunkebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, misalnya tragedilumpur gas Lapindo di Sidoarjo. Kami juga mengecam keras sastrawan yang nyata-nyata tidak mempedulikan musibah-musibah tersebut, bahkan berafiliasi dengan pengusaha yang mengakibatkan musibah tersebut.
     Demikianlah Pernyataan Sikap ini kami buat sebagai pendirian kami terhadap kondisi sastra Indonesia saat ini, sekaligus solidaritas terhadap korban-korban musibah kejahatan kapitalisme di seluruh Indonesia.

     Kami yang menyuarakan dan mendukung pernyataan ini:

01. Wowok Hesti Prabowo (Tangerang), 02. Saut Situmorang (Yogyakarta), 03. Kusprihyanto Namma (Ngawi), 04. Wan Anwar (Serang), 05. Hasan Bisri BFC (Bekasi), 06. Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta), 07. Helvy Tiana Rosa (Jakarta), 08. Viddy AD Daeri (Lamongan), 09. Yanusa Nugroho (Ciputat), 10. Raudal Tanjung Banua (Yogya), 11. Gola Gong (Serang), 12. Maman S. Mahayana (Jakarta), 13. Diah Hadaning (Bogor), 14. Jumari Hs (Kudus), 15. Chavcay Saefullah (Lebak), 16. Toto St. Radik (Serang),  17. Ruby Ach. Baedhawy (Serang), 18. Firman Venayaksa (Serang), 19. Slamet Raharjo Rais (Jakarta), 20. Arie MP.Tamba (Jakarta), 21. Ahmad Nurullah (Jakarta), 22. Bonnie Triyana (Jakarta), 23. Dwi Fitria (Jakarta), 24. Doddi Ahmad Fauzi (Jakarta), 25. Mat Don (Bandung), 26. Ahmad Supena (Pandeglang), 27. Mahdi Duri (Tangerang),  28. Bonari Nabonenar (Malang),  29. Asma Nadia (Depok), 30. Nur Wahida Idris (Yogyakarta), 31. Y. Thendra BP (Yogyakarta),  32. Damhuri Muhammad, 33. Katrin Bandell (Yogya),  34. Din Sadja (Banda Aceh),  35. Fahmi Faqih (Surabaya), 36. Idris Pasaribu (Medan), 37. Indriyan Koto (Medan),  38. Muda Wijaya (Bali), 39. Pranita Dewi (Bali),  40. Sindu Putra (Lombok),  41. Suharyoto Sastrosuwignyo (Riau), 42. Asep Semboja (Depok),  43. M. Arman AZ (Lampung), 44. Bilven Ultimus (Bandung), 45. Pramita Gayatri (Serang),  46. Ayuni Hasna (Bandung),  47. Sri Alhidayati (Bandung), 48. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung),  49. Riksariote M. Padl (bandung), 50. Solmah (Bekasi), 51. Herti (Bekasi),  52. Hayyu (Bekasi),  53. Endah Hamasah (Thullabi),  54. Nabila (DKI), 55. Manik Susanti 56. Nurfahmi Taufik el-Sha'b,  57. Benny Rhamdani (Bandung),  58. Selvy (Bandung), 59. Azura Dayana (Palembang),  60. Dani Ardiansyah (Bogor),  61. Uryati zulkifli (DKI),  62. Ervan ( DKI), 63. Andi Tenri Dala (DKI),  64. Azimah Rahayu (DKI),  65. Habiburrahman el-Shirazy, 66. Elili al-Maliky,  67. Wahyu Heriyadi,  68. Lusiana Monohevita, 69. Asma Sembiring (Bogor), 70. Yeli Sarvina (Bogor),  71. Dwi Ferriyati (Bekasi),  72. Hayyu Alynda (Bekasi),  73. herti Windya (Bekasi),  74. Nadiah Abidin (Bekasi) , 75. Ima Akip (Bekasi), 76. Lina M (Ciputat), 77. Murni (Ciputat),  78. Giyanto Subagio (Jakarta),  79. Santo (Cilegon),  80. Meiliana (DKI),  81. Ambhita Dhyaningrum (Solo), 82. Lia Oktavia (DKI), 83. Endah (Bandung),  84. Ahmad Lamuna (DKI), 85. Billy Antoro (DKI), 86. Wildan Nugraha (DKI), 87. M. Rhadyal Wilson (Bukitingi),  88. Asril Novian Alifi (Surabaya), 89. Jairi Irawan ( Surabaya) 90......  91. Langlang Randhawa (Serang) , 92. Muhzen Den (Serang), 93. Renhard Renn (Serang), 94. Fikar W. Eda (Aceh),  95. Acep Iwan Saidi (Bandung), 96. Usman Didi Hamdani (Brebes), 97. Diah S. (Tegal), 98. Cunong Suraja (Bogor),  99. Muhamad Husen (Jambi),  100. Leonowen (Jakarta), 101. Rahmat Ali (Jakarta), 102. Makanudin RS (Bekasi), 103. Ali Ibnu Anwar ( Jawa Timur), 104. Syarif Hidayatullah (Depok), 105. Moh Hamzah Arsa (Madura), 106. Mita Indrawati (Padang),  107. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung), 108. Sri al-Hidayati (Bandung), 109. Nabilah (DKI),  110. Siti Sarah (DKI),  111. Rina Yulian (DKI), 112. Lilyani Taurisia WM (DKI)  113. Rina Prihatin (DKI),  114. Dwi Hariyanto (Serang),  115. Rachmat Nugraha (Jakarta), 116. Ressa Novita (Jakarta),  117. Sokat (DKI),  118. Koko Nata Kusuma (DKI),  119. Ali Muakhir (bandung), 120. M. Ifan Hidayatullah (Bandung), 121. Denny Prabowo (Depok), 122. Ratono Fadillah (Depok), 123. Sulistami Prihandini (Depok), 124. Nurhadiansyah (Depok), 125. Trimanto (Depok),  126. Birulaut (DKI), 127. Rahmadiyanti (DKI), 128. Riki Cahya (Jabar),  129. Aswi (Bandung), 130. Lian Kagura (Bandung), 131. Duddy Fachruddin (Bandung), 132. Alang Nemo (Bandung), 133. Epri Tsaqib Adew Habtsa (Bandung),  134. Tena Avragnai (Bandung),  135. Gatot Aryo (Bogor),  136. Andika (Jambi), 137. Widzar al-Ghiffary (Bandung), 138. Azizi Irawan Dwi Poetra (Serang).



Gerakan Simbolisme dan Bunyi Sajak

SIMBOLISME tumbuh di Prancis. Penyair yang paling berpengaruh menggerakkan estetika ini adalah Charles Baudelaire (1821-1867). Nama-nama penyair lain, kawan sejawat Baudelaire yang mengikut dan menguatkan pengaruh simbolisme, adalah Stéphane Mallarmé (1842-1898) , Paul Verlaine (18-44-1896), dan Arthur Rimbaud (1854-1891). Mereka menyebut kelompok mereka sebagai The Decadents. Mereka hidup tak beraturan, luntang-lantung, bohemian.

Ada pula affair antara Verlaine dan Rimbaud yang menjadi mata air lahirnya legenda dan dramatisasi kisah-kisah kelompok. Kisah yang tak berhubungan langsung dengan gerakan simbolis tapi membuat gerakan itu menjadi lebih menarik perhatian.

Simbolisme dianggap sebagai penghubung antara gerakan Romantisme yang mendahului mereka, dan Surealisme yang tumbuh kemudian. Para kritikus kala itu hingga kini bersepakat pada satu hal: pengaruh gerakan ini dan para penyair penggeraknya tidak terbantahkan. Sadar atau tidak, saat ini kita menulis sajak ada memakai apa yang dirumuskan oleh para penggerak gerakan simbolisme.

Rahmat Djoko Pradopo dalam buku "Pengkajian Puisi" (Gajah Mada University Press, Cet. 9, 2005) pada saat menjelaskan ihwal "Bunyi" ada menjelaskan soal gerakan Simbolisme, karena gerakan ini memang mengagung-agungkan bunyi.

"Musiklah yang paling utama dalam puisi," kata Paul Verlaine. Maka, sebagaimana penyair Romantik, pada penyair Simbolis menciptakan puisi yang mendekati musik, merdu bunyinya dan berirama kuat. Mereka ingin mengubah kata menjadi gaya suara. Bahkan, mereka menginginkan agar kata-kata puisi adalah suara belaka. Ini tentu saja berlebihan. Suara, dalam sajak, tidak akan pernah bisa menyamai suara dalam seni musik. Sumbangan terpenting bagi gerakan Simbolisme, bagi kita saat ini adalah perhatian pada bunyi, yang tentu bisa dimanfaatkan menguatkan makna, memperindah pengucapan sajak.

Kata "simbol" dari mana gerakan ini diberi nama berarti lambang dari dunia nyata. Maka, gerakan ini menyusun sebuah teori bahwa tiap kata itu menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. Jalannya ialah dengan mengarahkan puisi sedekat-dekatnya kepada rasa saja. Maka, dalam sajak-sajak simbolis, narasi absen, dan tak ada penyebutan lokasi. Apa yang bisa ditangkap panca indera hanyalah lambang atau simbol atau bayangan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan sebenarnya itu tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Benda-benda hanya dapat memberi saran kepada manusia tentang kenyataan yang sebenarnya.

Jadi menurut para Simbolis, tugas puisi adalah mendekati kenyataan, dengan cara tak usah memikirkan arti katanya, melainkan mengutamakan suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul karenanya dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkitkannya. Telah disebutkan tadi, bahwa simbolisme adalah penguhubung antara gerakan Romantik yang mendahuluinya, dan gerakan Surealis yang mengemudianinya. Kesamaan gerakan romantik dan simbolisme adalah pengagungan pada bunyi. Arti kata terdesak oleh bunyi.

Para penyair Pujangga Baru menulis sajak-sajak yang amat menaruh perhatian pada bunyi. Apakah ini pengaruh dari gerakan Simbolisme? Bukan. Menurut Rahmat Djoko Pradopo para penyair Pujangga Baru mengambil pengaruh dari gerakan Romantisme, tepatnya sebuah angkatan di negeri Belanda yang bernama Gerakan '80. Itu pula yang disebut Chairil Anwar dalam kartu posnya bertanggal 11 Maret 1944, kepada Jassin. "...orang "Pujangga Baru" kebanyakan epigones dari '80...," katanya.

Tulisan terkait:
- Sejarah Ringkas Imajisme
- Futurisme, Dada, Puisi Konkret
 

SAYEMBARA KRITIK SASTRA
DEWAN KESENIAN JAKARTA 2007


Sastra Indonesia menunjukkan perkembangan yang menarik dalam beberapa tahun terakhir. Penerbitan buku-buku sastra mencapai taraf kesuburan yang lebih jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Penulis-penulis sastra terbaru hadir susul-menyusul. Pelbagai komunitas sastra juga bertumbuhan, baik dalam penciptaan atau pun apresiasi.

Namun, kritik sastra belum menampakkan gejala yang sama menggembirakan. Kritik sastra, terutama yang bagus dan inspiratif, masih menjadi barang langka. Jika pun tumbuh, ia hanya menjadi kegiatan akademis yang sangat terbatas jangkauannya. Suburnya penciptaan dan apresiasi sastra mutakhir ini ternyata belum dapat diimbangi dengan kritik sastra yang baik dan sehat, apalagi untuk dapat berkembang menjadi tradisi pemikiran pelbagai wacana sastra.

Karena itulah Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta menggelar “Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007”. Mengambil tema “Sastra Indonesia Memasuki Abad Ke-21”, sejumlah pertanyaan ingin kami ajukan di dalamnya sebagai bahan telaah kritis:
Adakah kebaruan dalam sastra Indonesia setelah tahun 2000? Ataukah yang terlihat dalah keberlanjutan dari tradisi penulisan sastra sebelumnya? Bagaimana sastra Indonesia berdialog dengan sastra dunia? Apakah konteks kekinian semisal globalisasi, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, mempengaruhi proses penciptaan sastra Indonesia mutakhir? Bagaimana eskplorasi bentuk, genre, gaya, tema, gagasan dan kecenderungan dalam karya sastra Indonesia mutakhir?

Kritik dapat membahas satu atau beberapa pertanyaan di atas, satu atau beberapa karya, satu atau beberapa pengarang.


Syarat-syarat:
- Ditulis dalam Bahasa Indonesia
- Bentuk esai mengalir (bukan format artikel akademis)
- Panjang 15—20 halaman, spasi 1,5, huruf Times New Roman 12
- Tulisan merupakan karya asli, bukan jiplakan
- Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah kritik
- Naskah kritik hanya berisi judul dan isi. Biodata dan alamat lengkap penulis di lembar tersendiri.
- Naskah kritik tidak sedang diikutkan dalam sayembara serupa
- Lima salinan naskah kritik dikirim ke alamat panitia Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007:
Dewan Kesenian Jakarta
Jalan Cikini Raya 73
Jakarta 10330
- Batas akhir penyerahan naskah 30 September 2007 (cap pos atau diantar langsung)
- Para pemenang akan diumumkan dalam sebuah acara di Taman Ismail Marzuki, 7 Desember 2007
- Keputusan Dewan Juri tidak bisa diganggu-gugat dan tidak diadakan surat-menyurat.

Kriteria Penjurian:
- Ketajaman dalam menggali kekhasan karya
- Telaah yang inspiratif dan orisinal
- Argumentasi yang meyakinkan
- Keberanian menafsir dan kesegaran perspektif

Hadiah
- Juara I : Rp 10.000.000
- Juara II : Rp 7.500.000
- Juara III : Rp 5.000.000
- Tujuh besar : Rp 1.500.000
- Jumlah hadiah tersebut sudah termasuk honor pemuatan di jurnal online Cipta dan buku antologi kritik yang akan diterbitkan
- Pajak ditanggung pemenang

Monday, July 23, 2007

[Belajar Puisi 002] Puisi yang Minta Diubah

Puisi - seperti halnya banyak hal dalam kehidupan ini, apatah lagi di ranah kesenian - berjodoh dengan perubahan. Puisi minta dirinya diubah oleh penyair. Puisi menantang penyair untuk mengubah dirinya. Puisi menantang penyair agar menemukan sisi-sisi lain dari diri puisi, sisi yang baru, yang segar, yang belum ditemui oleh penyair yang sudah menuliskan puisi sebelumnya.

Kerja menyair yang bersungguh dan bertekun adalah kerja menjelajah kemungkinan untuk mengubah puisi, atau sama sekali membuat sesuatu yang baru. Jangan bayangkan kerja itu sebagai sesuatu yang tegang. Menemukan sesuatu yang baru, atau menawarkan perubahan pada puisi, bisa dilakukan dengan riang-gembira.

Bila dihadap-hadapkan dengan prosa, maka puisi berbeda karena ia lahir dari upaya memadatkan. Segala unsur bahasa yang mungkin dipadatkan, mesti dipadatkan dalam puisi. Pemadatan itu berhasil dan bermanfaat bila ia bisa memperluas dan memperkaya peristiwa, imaji, dan makna sampai pada batas yang tak terhingga. Pemadatan itu bukan sekadar upaya penjarakan, atau pembelokan. Bukan sekadar upaya menyampaikan sesuatu secara tidak langsung. Bukan sekadar menyatakan suatu hal tetapi memaksudkan ihwal yang lain. Bukan. Bukan itu.

Dari sini kita mengenal istilah puisi yang prosais, dan prosa yang puitis. Bila ada upaya-upaya pemadatan di dalam prosa maka kita sah menyebutnya sebagai prosa yang puitis. Jika pemadatan itu dilonggarkan, bahan yang hendak dipuisikan itu sengaja dilonggarkan dengan sadar, maka yang lahir adalah puisi yang prosais.

Pemadatan, akhirnya memang melahirkan penjarakan, pembelokan dan ketidaklangsungan. Bila yang dimaksud adalah pemadatan makna saja maka kloplah apa yang dirumuskan oleh kritikus sastra Prancis Michael Riffaterre sebagai mana yang dijelaskan oleh Rahmat Djoko Pradopo dalam "Pengkajian Puisi" (Gajah Mada University Pers, Cet. 9, 2005). Makna dalam puisi memadat karena penyair menempuh upaya: 1. "Displacing" atau penggantian arti; 2. "Distorting" atau penyimpangan arti; dan 3. "Creating" atau penciptaan arti.

Tiga jurus yang dirumuskan Riffaterre itu mutlak tapi tidak harus digunakan serentak. Rahmat Djoko Pradopo menjelaskan penggantian arti terjadi pada metafora dan metonimi; penyimpangan arti terjadi pada ambiguitas, kontradiksi, dan nonsens; dan penciptaan arti terjadi pada pengorganisasian ruang teks seperti persejajaran tempat homolog, pemenggalan bait atau enjambemen, dan tipografi. Nah, nanti saja. Kita akan tinjau dan pelajari jurus-jurus itu satu per satu.


[Belajar Puisi 001] Pada Mulanya Puisi Pada Akhirnya

Puisi (dari bahasa Yunani "poesis"--berarti "pembuatan" atau "penciptaan") adalah sebuah bentuk seni dimana bahasa diberdayakan agar tercapai kualitas estetisnya dengan menambahkan, atau menggantikan, makna nyatanya yang semula ada.

Puisi telah menempuh sejarah yang panjang. Upaya-upaya awal untuk menjelaskan apakah puisi itu, seperti dilakukan oleh Aristoteles dalam risalahnya "Poetics", terpusat pada ihwal pemanfaatan "daya bahasa" dalam retorika, drama, lagu atau komedi.

Pada zaman yang lebih kemudian, puisi mulai ditengok lebih khusus pada bagian-bagian khasnya seperti repetisi, rima, ritme, metrum, pilihan kata, dan mulai lebih ditekankan pula pada pertimbangan estetika bahasa puisi yang sudah mulai dipisahkan atau dibedakan dengan prosa.

Sejak pertengahan abad ke-20, puisi sudah mulai dipegang dengan longgar pengertiannya, definisi yang baku tidak lagi disakralkan. Sejak itu yang penting bagi puisi adalah ia telah didudukkan sebagai dasar dari kerja kreatif yang menggunakan bahasa sebagai ranahnya.

Puisi kerap menggunakan bentuk-bentuk khusus dan aturan-aturan tertentu untuk memperluas kemungkinan makna literal kata-kata, atau untuk merangsang bangkitnya tanggap rasa dan emosi. Perangkat-perangkat perpuisian seperti, asonansi, aliterasi dan ritme digunakan untuk mencapai efek musikal dan efek jampi-jampi atau mantra.

Pada puisi terkandung ambiguitas, simbol-simbol, ironi, dan pada puisi diberdayakan juga unsur-unsur stilistika diksi puitik lainnya. Akibatnya, makna puisi menjadi multitafsir, puisi membuka dirinya bagi pemaknaan yang berganda-ganda. Dengan cara yang sama, metafora dan simile menciptakan gaunggambar yang bersahut-sahutan antara imaji-imaji yang tidak sama bahkan bertentangan --- serentak tercipta pula pelapisan-pelapisan makna, terbentuk jalinan yang sebelumnya tidak terduga.

Beberapa bentuk puisi yang khas lahir dari kebudayaan tertentu, akibat kekhasan pada bahasa yang digunakan atau dikuasai oleh sang penyair. Dari Italia, kita mengenal soneta, dari Persia kita mengenal ghazal, dan bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia kita mengenal pantun, dari Jepang kita mengenal haiku. Bentuk-bentuk puisi itu kemudian melintasi bahasa-bahasa.

Sekarang, di zaman dunia yang terbuka, mengecil, dan menyatu, penyair amat bebas menjelajah, tidak hanya mencari kemungkinan yang disediakan oleh bahasa utama yang ia pakai. Penyair juga bebas meminjam gaya, teknik, dan bentuk dari budaya dan bahasa lain.***




Saturday, July 21, 2007

Sebuah Kanvas Terbiar Telanjang

KAU suka melukis segala yang berleher panjang,
angsa, jerapah, dinosaurus dan juga seseorang.

"Itu kamu," katamu. Sebab terlalu lama melongok
dari tingkap tinggi itu, setelah jauh kepergianmu.

Dan kita tak lagi pernah bertemu. Aku tak sempat
melukismu, sebuah kanvas lama terbiar telanjang.

Sekarang aku kerap terbayang belalang sembah, yang
berleher lemah, nyaris patah. Sembahyang panjang.

[Tadarus Puisi # 029] Sajak-sajak yang Tidak Berutang

metamorfosis bibirmu dan telingaku
Sajak Aan M Mansyur

Di bibirmu dulu mekar bunga belukar dan rumput liar,
oleh bisikanmu, daun telingaku menjelma kupu-kupu.

Kini engkau pandai mengubah diri jadi orang lain,
mencium, memagut dan berbisik dengan bibir asing,
bibir yang ditumbuhi buku psikologi, layar televisi,
dan kutipan-kutipan yang penuh kosakata ayah-ibumu.

Maka untuk bibirmu kukutuk telingaku jadi kepompong,
menunggu lagi belukar dan rumput-rumput liar itu mekar,
yang dari dadamu sendiri seluruhnya berhulu dan berakar.



AAN M Mansyur - salah seorang dari penyair mutakhir yang saya sukai - amat pandai menjaga keutuhan sajak-sajaknya, seraya itu menebarkan kompleksitas di sekujur sajak itu. Hal itu ia pertontonkan terutama sajak-sajak yang saya sukai. Termasuk sajak yang hendak kita bahas kali ini.  Saya menyebutnya sajak yang tidak berutang. Tapi bukan berarti urusan beres setelah pembacaan selesai. Sajak di atas sekilas saya tangkap hanya menyajikan tiga tiga hal.

Pertama, imaji-imaji lewat kelomppok kata yang berkolokasi dengan bibir. Ia hadirkan bibir itu sendiri, bisikan, telinga, mencium, memagut.  Lantas ia bancuh dengan kelompok kata kedua yang mempermanaikan imaji-imaji hutan liar. Ia hadirkan bunga belukar, rumput liar, kupu-kupu, kepompong, belukar, mekar, berhulu, berakar.

Dan kelompok kata ketiga yang tidak berkolokasi apa-apa, tapi ketika berhadapan-hadapan dengan dua kelompok sebelumnya maka merkea membuat sajak ini menjadi kompleks: asing, buku psikologi, layar televisi, kosa kata ayah-ibumu.

Kata-kata itu bergerak, digerakkan, menggerak-gerakkan bermacam gambar. Sajak menjadi seperti layar teater. Ibarat film, plotnya tidak linier, dan asyiknya memang di situ. Ada adegan daun telinga yang menjadi kupu-kupu setelah bibir itu membisikkan sesuatu di bait pertama. Ini bermakna apa? Saya memaknainya, bisikan itu adalah semacam janji yang membahagiakan. Kupu-kupu menjadi metafora yang pas. Lantas, di bait terakhir, bait ketiga itu, adegan itu disambung dan diselesaikan dengan kutukan terhadap telinga itu menjadi kepompong saja. Bukan kupu-kupu.

Artinya? Si aku masih berharap ada bisikan dari bibir itu yang bisa membuat telinganya menjadi kupu-kupu. Inilah isi dari plot seluruh sajak ini: Harapan itu masih ada, meskipun terasa harapan itu sebagai siksa yang pedih. Dan Aan M Mansyur menuntaskan tugasnya sebagai penyair dengan sangat baik. Ia mengolah apa yang disediakan bahasa. Ia memilih kata, ia mambangun imaji, dan ia dengan tertib menyerasikan perasaannya ke dalam sajaknya itu.[]






Friday, July 20, 2007

[Ruang Renung # 219] Psikopuisi

 KETIKA bencana alam tsunami melanda sejumlah kawasan, korban yang selamat sebagian besar jiwanya dilanda trauma. Di India, trauma itu dihilangkan, antara lain dengan membacakan sajak-sajak Rabindranath Tagore kepada para korban itu. Di Aceh pun, kepada para korban diperdengarkan syair-syair kepada kelompok-kelompok korban dengan tujuan yang sama.

Keampuhan puisi sebagai alat terapi jiwa telah diterokakan oleh Gilbert A Schloss, pada tahun 1976. Ia menyusun buku berjudul "Psychopoetry, a new approach to selfawareness through poetry therapy" (Gosset & Dunlap, New York).

Subagio Sastrowardoyo ada merangkum buku itu dalam sebuah artikel pendek dalam bukunya "Sekilas Soal Sastra dan Budaya" (Balai Pustaka, 1999). Psychopoetry alias psikopuisi diterapkan dalam kelompok-kelompok di tengah masyarakat yang bergerak di bawah ahli jiwa. Tujuannya yaitu mengusahakan penyembuhan atau pemulihan gangguan kejiwaan para anggora-anggotanya itu.

Puisi tentu saja bukan satu-satunya cabang seni yang punya sisi praktis yang bisa diterapkan dalam praktik penyembuhan kejiwaan. Telah pula luas diketahui bahwa cabang seni musik, seni rupa, drama, dan fotografi pun dikembangkan dalam ilmu jiwa. Prinsipnya sama: orang dilibatkan dalam kerja seni, agar memperoleh kembali kepercayaan dan harga diri, bersedia menyesuaikan diri dalam masyarakat, dan mampu melihat kenyataan dan berpikir normal.

Di dalam kelompok terapi puisi ini yang diperbincangkan adalah puisi yang dikarang oleh ahli jiwa atau terapis, atau sajak-sajak karangan penyair yang sudah ternama, atau sajak-sajak yang dibuat sendiri oleh si terganggu keseimbangan jiwanya - yaitu para anggota kelompok terapi itu sendiri. Masing-masing sajak itu punya efek penyembuhan yang berbeda.

Demikianlah, setidaknya bagi kita sendiri, tanpa arahan ahli jiwa, puisi yang kita baca dan kita tulis, dengan cinta atau sekadar iseng, pasti telah pula membuat jiwa kita lebih sehat. Puisi yang kita tulis, suatu saat mungkin bisa pula menjadi bahan bacaan dalam kelompok-kelompok psikopuisi untuk membantu memulihkan ketakseimbangan jiwa mereka.



Thursday, July 19, 2007

Terjemah untuk Sajak-Sajak Kecil  yang Tak
Pernah Selesai Dituliskan  Penyair Asing Itu



/1/
IA ingin sekali
sembunyi
di dalam payung kuncupan
melupakan sisa-sisa hujan

membiar
di luar
mendung yang memadat
mendekat.

/2/
IA ingin sekali
menulis sajak kecil
yang nanti
merimbun, memencil
matahari-matahari
mungil.

Sajak yang kelak
tumbuh seperti pohon ketapang
di halaman taman kanak-kanak

tak ada yang hendak menebak
siapa yang dulu menanamnya
di sana.

/3/
IA ingin sekali
mengintip di jendela hutan
menyaksikan
jejak sunyi
dan nyanyian

mengingat lagu
yang dulu
diajarkan
hujan

menduga-duga
huruf apa yang ditulis di daun ketapang itu
bisu yang tak sempat diselesaikan
oleh ulat yang terburu-buru
menyamar jadi kupu-kupu.

/4/
IA ingin sekali
mendengarkan
rahasia tentang rahasia
yang disimpan jatuhan hujan
yang disimpan batang ketapang
yang disimpan penyair asing
     dalam sajak kecil yang tak
     pernah selesai dituliskan.

Wednesday, July 18, 2007

Ia Teringat pada Sepetak Tomat

"HUJAN ini akan lama dan lebat," kataku. Kau melihat
ke langit yang kian mendekat-memberat. Aku tumbukkan
hampa mata ke kosong keranjang. Ke lengang ranjang.

"Ah, panen yang terlambat. Panen yang tak akan sempat,"
kataku. Rabun mengingat kebun, mengingat ranum tomat.


Tuesday, July 17, 2007

Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah

"NANTI akan ada pelajaran menari,"  kata
Ibu Guru  di taman kanak-kanak itu. 

Kulihat di depan kelas itu, ada gambar presiden
dan wakilnya  mengapit lambang negara. 

"Tari Cakalele, ya, Bu?"  tanya anakku.

"Ah, memangnya kita punya bendera apa?" tanyaku
pada anakku ketika kami bergandengan pulang. 


Monday, July 16, 2007



Goenawan Mohamad:
Informasi Membuat Kita Lebih Sabar

Oleh Hasan Aspahani

Kesenian dan jurnalistik. Goenawan Mohamad tak bisa lepas dari dua lapangan itu, kemanapun ia menjejakkan kaki. Bila kini dia memilih memaksimalkan diri di satu bidang itu, maka bukan berarti bidang yang lain sama sekali ia tinggalkan.

“Sekarang saya memilih kesenian,” kata tokoh kelahiran Batang, 26 Juli 1941 itu. Kenapa memilih bidang itu? “Karena ketika Tempo dibredel, pembelaan yang paling besar justru datang dari kalangan seniman,” katanya di depan para pemimpin redaksi dan pimpinan perusahaan surat kabar Jawa Pos Grup, Minggu (15/7) di markas besar kelompok surat kabar paling luas di Indonesia Graha Pena, Surabaya.

Itu sebabnya ia pun merintis sebuah sebuah wadah kesenian Komunitas Utan Kayu yang kini semakin berkembang organisasinya, semakin kuat posisinya, semakin luas pengaruhnya, dan semakin besar sumbangan bagi kesemarakan kesenian di Indonesia.

Minggu petang itu, di Graha Pena, Goenawan tentu lebih banyak bercerita soal jurnalistik. Ia menegaskan pentingnya organisasi redaksi. Satu hal yang sering diabaikan oleh investor yang kini ramai tanam modal bikin surat kabar.

“Waktu mendirikan Tempo dulu, kami sama sekali tidak mengerti bagaimana organisasi redaksi diatur. Rapat saja tidak tahu,” katanya. Baru pada tahun 1980-an, Goenawan berkunjung ke Time dan belajar menata organisasi redaksi di sana. Alhasil, Goenawan berkesimpulan, bagi pemimpin redaksi, katanya, kerja yang paling utama bukanlah mengurus berita, tapi mengurus orang-orang.

“Hidup saya membangun Tempo adalah membangun sistem organisasi,” katanya tegas. Itu artinya mengelola orang. Pelatihan-pelatihan yang baik tidak akan ada kalau organisasinya tidak dibangun lebih dahulu.

Saya ingat, kisah mantan wartawan Tempo yang menulis tentang seseorang awak redaksi majalah itu pernah melempar gelas kopi ke arah Goenawan. Lemparan itu tak kena. Gelas pecah dan kopi mengotori dinding. Saya tanyakan itu padanya.

“Saya sudah dua tahun hampir jadi Pemred. Syukurlah, saya tak pernah atau belum dilempar gelas kopi,” kata saya. Saya bertanya, itukah contoh sulitnya mengelola orang-orang di redaksi Tempo? Pernahkah ia dilempar dengan benda lain selan gelas kopi?

Pertanyaan itu tak dijawab, sebelum diingatkan oleh Pemred Jawa Pos Rohman Budijanto yang menjadi pemandu diskusi. “Tak perlu dijawab ya,” kata Goenawan. “Soalnya nanti jawaban saya hanya menjelek-jelekkan orang yang tidak pandai melempar”.

Tapi, toh dia akhirnya menambahkan juga. “Bila wartawan Anda galak, maka pertama Anda harus menulis lebih hebat dari mereka supaya dihormati. Kedua Anda harus belajar silat,” katanya. Silat? Tentu maksudnya agar bisa mengelak kalau dilempar.

***

Pers saat Indonesia saat ini, kata Goenawan, sedang menikmati kebebasan. Dan itu baik. Ia menyebut Malaysia dan Singapura punya sistem pers yang buruk: tidak bebas. Filipina punya pers yang bebas, tapi mutu pers di negara itu juga buruk, katanya. “Kolomnis-kolomnis di sana banyak yang dibeli oleh politikus,” katanya.

Pers memang berkelindan dengan kondisi negara. Karena itu, katanya, pers harus menyadari bahwa sekarang ada sebuah revolusi diam-diam di Indonesia. Revolusi itu bernama Otonomi Daerah. Apakah ini lebih baik? “Tiap erah ada baik dan ada buruknya,” kata dia. Pers harus mengawal hal-hal yang baik dalam revolusi diam-diam ini. Pers di era ini, katanya, harus membiasakan keterbukaan pada orang-orang yang berbeda. “Tak ada negara yang selesai dirumuskan. Itulah kekuatan negara itu. Selalu ada yang bisa diperbaiki dengan damai,” katanya.

Goenawan adalah orang optimistis. Ia tidak suka bila disebut Indonesia sedang terpuruk. Pers jangan ikut menyebut-nyebut hal itu. “Kalau itu yang selalu disebut-sebut terus, itu bisa jadi seperti ramalan yang seolah-olah diinginkan dan menjadi ramalan yang benar,” katanya.
Memang, katanya, ini adalah sebuah proses belajar yang sakit. “Tapi pers tidak boleh tidak, harus menciptakan harapan,” katanya. Pers yang bekerja mengolah dan menyajikan informasi harus sadar bahwa informasi yang benar itu membuat kita lebih sabar. Tapi sabar, tegasnya, bukan berarti kita memberi konsesi pada kezaliman.

“Kita harus bersyukur karena bekerja di bidang informasi, karena kita bisa membantu membuat yang mutlak itu menjadi tidak mutlak, memberi kesempatan pada nalar untuk bekerja,” katanya.[]



Kali Ini Kau Tidak Sedang Mengajak Tertawa

KAU dan mautmu tak lagi saling menunggu.  




(Alm) Taufik Savalas dan Ucup Kelik.


Thursday, July 12, 2007

Kebun Mentimun & Dusta yang Mentah

AKU sudah lama tak ke sana. Tinggal turus agaknya, ya?
Mentimun kita pernah melanjar dan berbuah lebat sekali.

Anak-anak sekolah sering mengendap. Mencuri, meski tak lagi
pernah mendengar dongeng tentang kancil dan boneka bergetah.

Kenangan pun menggulma: Tanah yang lembab, kipas kupu-kupu,
bunga-bunga kuning, sulur-sulur yang menyentuh ujung bajumu.

Aku kini mengendap entah di kebun siapa. Menunggu diusir
keluar atau terlekat pada buah bergetah, dusta yang mentah.

Wednesday, July 11, 2007

Matamu Nenas yang Manis

"Matamu nenas manis," katanya pada perempuan itu,
"aku lelaki tak pandai menggerus garam dan cabai."

Dia ingat masam yang tajam dari air tangis yang
terkecap dari kecup yang luput. Bibir yang recup.

Dia ingat, pernah bercerita tentang satu cita-cita:
"Aku ingin jadi petani nenas, berparang sejengkal,
menikmati tiap tusukan ujung duri, tabah menunggu
apa yang akhirnya berbunga di pucukan-pucukan rindu."







Tuesday, July 10, 2007



Foto dipinjam dari Kompas

Penyair Sutardji Calzoum Bachri menilai bahwa sastrawan Indonesia saat ini selalu tenggelam dalam teriakan massa. Akibatnya, apa yang diungkapkan dalam karya-karyanya tidak jauh berbeda dengan teriakan massa. Sepertinya sastrawan telah kehilangan daya ucap, sehinggga karya yang dihasilkan tidak lagi memiliki daya tarik untuk direnungkan.

Sebagai contoh, ia menunjukkan tidak sedikit sajak yang lahir bersamaan dengan gerakan massa yang menumbangkan Orde Baru dan Orde Lama. "Kita dapat menyaksikan, boleh dikatakan tidak ada sajak-sajak monumental dari kedua peristiwa itu, dan ini amat disayangkan," katanya seraya menambahkan bahwa penyair yang selalu tenggelam dalam teriakan massa tidak akan mampu menciptakan sejarah.

Sutardji mengakui bahwa seorang penyair tidak bisa menghindarkan diri dari teriakan massa. Kendati begitu, seharusnya, penyair dapat mengambil jarak dengan peristiwa, kemudian mengendapkannya dalam pengucapan baru. "Kenyataan akhir inilah yang memungkinkan melahirkan suatu pemikiran baru bahkan melahirkan sejarah," katanya.

.:. Dari Kompas

Monday, July 9, 2007

Syair adalah Kumpulan Liur dan Peraman Darah

        AEGIR, sang raksasa samudera, bertanya, "Bagaimanakah gerangan kerajinan yang engkau sebut syair itu bermula?"
        Bragi, sang dewa syair, menjawab, "Syahdan, para dewata bertikai dengan bangsa Vanir, tetapi kemudian mereka mengadakan suatu pertemuan dan akhirnya sepakat berdamai dengan cara ini: wakil masing-masing pihak berdiri di depan sebuah tong minuman dan meludahkan liur ke dalamnya."
         Setelah mereka berpisah, para dewa memutuskan hendak mengabadikan lambang perdamaian itu, tak ingin membiarkannya mubazir, dan dari tumpahan lendir itu mereka menciptakan seorang manusia: Kvasir. Ia seorang arif tanpa tara. Tak ada satu pun soal yang ia tak tahu jawabnya. Ia hidup berkelana mengarungi dunia, mengajarkan ilmu kepada orang-orang. Suatu malam ia dijamu di rumah sepasang orang kerdil, Fialar dan Galar. Di tengah cengkerama tiba-tiba si tuan rumah mengeluarkan sepucuk senjata dan membunuh tamu termasyhur itu. Mereka menuangkan darah korban ke dalam tong, mencampurnya dengan madu, dan memeramnya dengan ragi hingga menjadi minuman keras yang sakti. Barangsiapa meneguknya akan jadi penyair atau cerdik-cendekia.

.:. Selengkapnya baca Hasif Amini dalam EsKompas Minggu 7 Januari 2004

Sunday, July 8, 2007



Gambar dipinjam dari Media Indonesia

Tardji: Sang Ikan Paus Biru
Oleh Hasan Aspahani


"Saya akan membacakan 'Tanah Air Mata” dan sajak-sajak lain, kau tulis saja sajak-sajak eksistensialis," kata Sutardji Calzoum Bachri. Kala itu, suatu hari di tahun 2000. Ini wawancara pertama saya dengannya. Saya mewawancarai dia lewat telepon, malam hari, untuk dibuatkan berita pendek sebelum dia tampil esok malamnya. Selesai mengetik berita saya pun menyusul ke akau atau pujasera di kawasan Nagoya, Batam. Itulah pertemuan pertama saya dengan sang Presiden Penyair itu. Ia diundang untuk tampil baca puisi di sebuah helat bernama "Membaca Batam".

Bersama Bang Tardji – begitu kami menyapanya - malam itu sudah ada Tommy F Awuy, dan seniman lain. Sambil kami makan-minum, Tommy memanggil kelompok pengamen, dua lelaki - pemain gitar dan satu pembetot bas besar - tambah satu penyanyi perempuan. Bang Tardji - begitulah kami mengakrabi dia - meminta lagu-lagu blues. Ia sedang senang lagu-lagu blues. Kelak, esok malam, ia menyanyi lagu dalam irama blues sambil baca puisi, diiringi Tommy pada piano. Secara serampangan saya juga minta lagu "Besame Mucho" kepada pengamen yang lumayan enak mainnya. Bang Tardji ikut menyanyi pelan pada beberapa bagian lagu itu. Akhirnya Tommy yang bayar, tiga pengamen itu tampak senang. "Saya kasih terlalu besar ya?" tanya Tommy. Tardji tertawa. Malam itu riangnya lepas sekali. Malam itu saya tak melihat ia menenggak bir. Sesuatu yang pernah sangat dan mungkin masih agak lekat dengan sosok dia di podium resitasi puisi.

***

Panggung di Ballroom Hotel Goodway (dulu Hotel Mandarin) itu tidak besar. Di kiri belakang ada piano. Di tengah panggung agak ke depan ke arah penonton ada tiang mikropon dan tempat meletakkan naskah. Sejumlah pejabat naik panggung, juga pidato sekedarnya. Pertunjukan sesungguhnya sedang ditunggu.

Yaitu ketika dengan hikmat diucapkan, "Inilah Sutardji Calzoum Bachri," oleh Alazhar, budayawan yang bersama Hoesnizar menggagas acara yang mereka niatkan sebagai upaya “mengencingi” Batam. Pada tahun-tahun itu, Batam amat kering kegiatan budaya.

Sebelum naik panggung, Tardji duduk berdekat-dekat dengan meja saya. Shiela, putri pertama saya belum genap setahun. Dia sempat memperhatikan Shiela yang sedang tidur di pangkuan Yana, istri saya. "Kasihan, dia kedinginan. Kasih selimut," kata Tardji. Saya lihat, Tardji gelisah. Saya gelisah melihat dia gelisah. Bukankah dia sudah terbiasa naik panggung? Kenapa dia seperti masih demam panggung juga? Tardji di mejanya ditemani penyair Tanjungpinang Lawen Legespun. Lawen yang mencari nafkah sebagai tukang ojek dan saat itu sudah menerbitkan buku "Batu Api", kemana-mana menyandangkan tas Tardji.

"Saya sementara jadi Ajudan Presiden Penyair," kata Lawen berseloroh. Tas itu berisi buku puisi dan buku notes. Di buku notes itulah Tardji menuliskan urutan puisi dan selingan lagu yang hendak ia baca. Tulisan itu kelak saya curi, karena saya tak sempat menyalin, sementara tenggat halaman satu tak bisa ditawar. Di kertas itu ia menulis:

Hello Dolly
Sejak Kapan Sungai
Summer Time
Denyut
Donna (Tapi)
Tapi
Batu Mawar
Around The World
Kucing
Tommy Nyanyi: Love is A Many Splendor Thing
Sembari SCB: Perjalanan Kubur
Asal Sebab Kembali Sebab
lantas Tommy Nanyi (Somewhere Out There)
SCB Dukaku Dukaku Duka Risau
lantas Hamparan
What A Wonderfull Word
Tanah Air Mata
Summertime
Herman


Begitulah ia mengatur pertunjukannya. Lagu diselingi dengan puisi. Ia bersajak, ia bernyanyi. Lantas Tommy main piano setelah diberi komando, "Come on Tommy, it's show time!" Lantas lagu itu pun berkumandang dari suara yang melengking merdu Tommy, " Looooove is a many splendor thing!" Lantas Tardji meningkahinya dengan, "....luka ngucap dalam badan / kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung / ke bintang bintang.../
Saya terpukau. Kamera saya jepretkan berkali-kali tanpa perhitungan lagi. Satu rol film 36 bingkai nyaris habis. Tardji bertopang pada tiang mikropon. Klik! Ia menendang-nendang udara. Klik! Ia membentangkan kedua tangannya. Klik! Ia menengadahkan dadanya. Klik! Ia melebarkan jaketnya. Klik! Ia meraung. Klik! Ia menggeram. Klik! Ia menari mengiringi dentingan piano Tommy. Klik! Ia berjingkrak-jingkrak. Klik! Ia melompat. Klik! Ia berputar-putar. Klik!
Saya lantas duduk di bawah panggung itu. Menuntaskan keterpukauan saya. Di belakang saya, para penonton yang juga dalam keterpukauan yang sama. Mungkin mereka seperti saya juga, diam, semaksimal mungkin menikmati sensasi peristiwa panggung yang tengah disuguhkan oleh Sutardji Calzoum Bachri. Di podium itu, hanya ada sebotol air mineral.

***

Dia menenggak bir. Selapis busa menyangkut pada misai yang tak rapi itu. Dia baca sajak. Lampu menyorot ke mimbar, dan hadirin terpukau. Begitulah Goenawan Mohamad menggunakan kesaksiannya menonton Bang Tardji, dalam pembuka Catatan Pinggir, 30 Januari 1982. Catatan Pinggir itu berjudul "Tuhan".

"Sutardji Calzoum Bachri, tentu. Yang gondrong rambutnya, yang tak jelas sopan-santunnya, yang cepat cemoohnya, yang keras ketawanya -- dan mengejutkan puisinya. Penyair yang kena serapah? Orang yang berantakan?...." demikian tulis Goenawan pada alinea berikutnya.
Goenawan mungkin pernah juga kena sasaran cemooh Tardji. Tapi, yang kita kutip tadi bukan sebuah cemooh balasan. Goenawan justru melihat sisi yang amat religius pada Tardji. Bait-bait pencarian, dan kerinduan pada Tuhan berulang dalam O, Amuk, Kapak (Penerit Sinar Harapan, 1981). Goenawan menemukan itu dan ia yakin Tardji tidak sedang iseng. "Seolah Tardji tengah membaca semacam zikir yang intens, untuk menemui Tuhan. Dia mencari, karena dia rindu," tulis Goenawan.

Tapi kenapa mencari dengan puisi? Dan mabuk pula? "Itulah, saya mencari Tuhan sampai saya mabuk," kata Tardji, seperti pernah didengar oleh Hoesnizar Hood penyair mukim di Tanjungpinang yang amat dekat dengan Tardji. Hoesnizarlah yang menggagas acara tahun 2000 itu. Jawaban itu terdengar seperti diucapkan seenaknya saja. "Bang Tardji itu orang yang pernah nyaris tidak bertuhan," kata Hoesnizar.

Di lain waktu. Penyair Agus R Sardjono suatu ketika pernah diundang ke sebuah festival puisi di Jerman. Ia datang bersama Goenawan Mohamad dan Sutardji. Agus jelas termuda di antara tiga penyair itu. Dan dari Agus kita bisa dapat sisi lain dari hubungan unik kedua penyair senior itu. "Pada saat diskusi Tardji tak mau ikut. Katanya, puisi itu untuk dibacakan bukan dibacakan. Pada saat baca puisi, Goenawan tak mau baca. Katanya puisi itu ditulis untuk dibaca langsung oleh pembaca bukan untuk dibacakan oleh si penyairnya," kata Agus, tergelak mengenang kejadian itu. Panitia Jerman mungkin bingung melihat keduanya.

***

Pada tahun 1998, Sutardji Calzoum Bachri meraih Anugerah Chairil Anwar. Atas anugerah itu dua kali perhelatan untuknya digelar: di Pekanbaru dan Mei tahun itu di Tanjungpinang. Sastrawan dan masyarakat di kedua kota itu mencintai dan memiliki Tardji dengan kadar yang sama. Ia lahir 24 Juni 1941, di Rengat, Riau daratan. Dan di Tanjungpinang, Riau Kepulauan, masa kanaknya ia lalui. Di masa kanak itulah ia menggemari komik-komik Amerika dari koran bekas seperti Flash Gordon, Donald Duck, Mickey Mouse, dan The Lone Ranger. Di Tanjungpinang kala itu, koran-koran bekas dari pantai Barat Amerika masuk bebas lewat Singapura. Tardji kecil menyukai bunyi bahasa Inggris dalam teks komik itu ketika ia lisankan, walau belum mengerti apa artinya. Kepekaan pada bunyi bahasa itulah mungkin yang menjadi cikal bakal penggaliannya yang tunak di dunia puisi.

Jika kelak kisah hidup Sutardji hendak disusun dengan lengkap, ada seorang yang harus dimintai cerita. Dialah Hasan Junus. Sastrawan kelahiran Pulau Penyengat yang mukim di Pekanbaru. Tommy F Awuy menyebut Hassan Junus adalah penimbang karya sastra sehebat dari H.B Jassin. Saya kira Hasan menyimpan banyak cerita tentang "Si Ikan Paus Biru". Begitulah Hasan Junus memberi gelar pada sahabatnya Tardji.

"Tumbuh engkau terus-menerus seperti ikan paus biru, Sutardji Calzoum Bachri, ciptakanlah karya-karyamu yang baru dan yang terus membaru, selagi hayat dikandung badan, karena kami mengharapkanmu," tulis Hasan Junus dalam pidato sambutan atas kemenangan Tardji di Tanjungpinang.

Naskah pidato Hasan Junus itu ada diterbitkan lengkap di Majalah Sastra Suara yang terbit di dua kota pula: Pekanbaru dan Tanjungpinang. Ada banyak hal menarik tentang Tardji bisa didapat dari tulisan itu. Pada tahun 1950-an, sekolah menengah atas dijuruskan tiga. Bagian A untuk sastra dan budaya, bagian B untuk pasti alam dan C untuk ekonomi. Sutardji memilih jurusan bahasa yang lebih banyak mengajarkan bahasa asing (Inggris dan Prancis) serta sastra khususnya kesusasteraan Melayu dengan baik.

"Namun proses pematangan manusia Sutardji Calzoum Bachri sebagai penyair terjadi di Bandung," kata Hasan Junus. Tardji mengambil kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjajaran. Puisi-puisi yang memberi kesan mendalam setelah ia kaji justru karya kelompok Imajis Inggris. Gerakan ini dipenghului Ezra Pound. Kelompok Imajis ini diilhami oleh sajak-sajak Cina dan haiku Jepang. Tersebab persentuhan dengan sajak Pound pula, Tardji sampai mempelajari huruf kanji. Begitulah keinginannya untuk menggali dan memahami sajak kala itu. Tidak berhenti pada sajak Imajis, Tardji pun menceburkan diri pada karya-karya penyair beraliran surealis, termasuk sajak-sajak kelompok dadaisme. Ia juga memetik pelajaran dari kemerduan bunyi sajak-sajak berbahasa Spanyol. \ Maka, "Simaklah dengan seksama makna yang terlindung dan terkandung di balik rangkaian kata-kata dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri, dan dengarkan dengan teliti bacaannya pada sajak-sajaknya sendiri. Coba masuk di dalam pesona bunyi yang dapat memabukkan itu. Tidakkah semua itu membenarkan ucapan orang Spanyol di masa lampau yang mengatakan bahwa seorang penyair berbicara lewat ngangaan luka? El poeta habla por la boca de su derida!" kata Hasan Junus.

Jarang diketahui, Tardji ada menulis buku anak-anak berjudul "Lumba-Lumba Ungu". Sesungguhnya debut Tardji di gelanggang sastra dimulainya dari panggung cerita pendek. Cerita-cerita pendeknya, sepenilaian Arif B Prasetyo dalam buku “Epifenomenon”, mestinya telah menampar harga diri para pengarang cerita pendek lainnya. Dan Tardji telah memilih puisi. Pilihan yang ia pertanggungjawabkan.

"Ia lalu membuat pilihan berlapis-lapis sampai-sampai memansuhkan cukup banyak sajak-sajak awal yang meskipun orang lain berpendapat sajak-sajak itu bagus, Sutardji Calzoum Bachri tetap memusnahkannya," kata Hasan. Dengan demikian, lanjut Hasan, ia telah melakukan otokritik yang amat keras terhadap karya-karyanya sendiri.

***

Peneliti dan pengamat sastra Indonesia paling tunak A. Teeuw ada menulis buku telaah "Tergantung pada Kata". Itu buku berisi telaah dan kajian rinci atas sepuluh puisi karya sepuluh penyair Indonesia. Sutardji Calzoum Bachri ada dalam buku itu. Teeuw mengulas penggalan sajak "Amuk". Saya kira Teeuw termasuk kalangan yang terpesona --- atau terjebak? --- dengan kredo Sutardji. Kenapa terjebak?

Kredo Sutardji ditulis pada tahun 1973, sebagai pengantar untuk sajak-sajak di buku "O" yang ia tulis sepanjang 1966-1973. "Amuk" ditulis sepanjang tahun 1973-1976. Untuk kumpulan sajak-sajak berikutnya yaitu "Kapak" (1976-1979), Tardji menulis lagi "Pengantar Kapak" (1979) yang saya pandang sebagai kredo untuk sajak-sajak "Kapak".

Ada yang luput dalam pembacaan kita. Tengoklah, dua kredo itu ditulis di akhir masa penulisan. Kredo ditulis atau dirumuskan setelah ia menganggap ekplorasi pada suatu hal selesai. Artinya tak ada kredo khusus untuk kumpulan "Amuk". Pilihan kita sebagai pembaca adalah menggolongkannya saja ke kumpulan "O" dengan kredo yang terkenal itu, atau melepaskannya saja mandiri tanpa kredo. Sebab, amat tidak mungkinlah kalau dimasukkan ke "Kapak". Saya memilih membaca "Amuk" tanpa petunjuk apa-apa. Saya kira disinilah keterpesonaan atau keterjebakan Teeuw. Ia mengulas sajak Tardji dari "Amuk" itu, bahkan dari alinea pertama ulasannya, dengan mengacu pada kredo itu.

Maka tak heran kalau ulasan itu berakhir pada kesimpulan yang ragu-ragu. Teeuw menyerahkan pada waktu. Teeuw tidak membuat kesimpulan yang yakin: Hanya waktu yang akan dapat membuktikan apakah Sutardji menjadi seorang perombak dan pembaharu yang pembaharuannya akan dicernakan oleh Bahasa Indonesia --- ataukah dia hilang sebagai angin lalu, memberi kesegaran untuk sebentar, barangkali malahan akan mengadakan lingkungan epigon, tetapi yang nanti tidak ada bekasnya lagi.

Sebelum sampai pada kesimpulan yang tidak simpul itu ia menawarkan dua kemungkinan: kalau puisinya ternyata mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia, mak konvensi akan ditelan dan dicernakan oleh Bahasa Indonesia menadi unsur bahasa itu, atau puisinya hanya akan tinggal sebuah fashion sastra, gejala pinggiran yang dengan sendirinya akan menghilang.
Setelah 27 tahun berlalu, cukupkah waktu yang dicadangkan oleh Teeuw untuk memastikan manakah ramalan yang mewujud? Saya kira ramalan Teeuw menjadi tak relevan kini. Penyair seangkatan dan setelah Tardji tidak cukup percaya diri mengikuti jejaknya, atau sebaliknya mereka sadar Tardji telah membina puncaknya sendiri. Tak guna mengejar atau mencuil-cuil kaki gunung itu. Sajak Tardji juga bukan sekadar fashion, trend mode sesaat dalam sastra. Ia memang tidak hendak menjual atau menularkan suatu gaya. Ia hanya menunjukkan jenis dan potongan pakaiannya sendiri. Ia tunjukkan bagaimana cara memakainya. Dan ia yakinkan bahwa pakaian itu pun boleh saja tidak dipakai sesekali.

Saya kira sumbangan sikap terpenting Tardji pada penyair Indonesia adalah bagaimana bersikap terhadap puisi dan kata. Tengoklah alinea kelima kredo puisinya: Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.

Kata-kata dalam sajak Tardji ia bebaskan dari tiga hal: 1. kamus, 2. moral kata, 3. penjajahan gramatika. Jadi bukan hanya kamus. Dan yang terpenting dari upaya pembebasan itu adalah hasilnya. Apa itu? Bila kata telah dibebaskan maka kreativitas dimungkinkan. Intinya adalah ini: bagaimana penyair bersikap terhadap kata dan sikap itu kemudian memungkinkan kreativitas pesajakannya.

***

Suatu malam lain, di sebuah hotel lain di Batam. Kami berempat. Tiga penyair muda: Saya, Marhalim Zaini, dan Hang Kafrawi menemani Bang Tardji. Di depan kami gelas dan teko kopi yang sudah tiga-empat kali diisi.

“Penyair itu melihat ke atas kenyataan,” katanya berpetuah. “Bukan pada kenyataan itu,” katanya. “Puisi itu bukan menyalin kenyataan. Tetapi menangkap apa yang ada di atas kenyataan itu.” Ia seperti berbaring di kursi. Kedua kakinya ditumpangkan ke sandaran. Malam makin larut. Saya pun melihat Tardji tidak lagi sebagai Tardji sebagai sebuah kenyataan. Ia tampak seperti ikan paus biru yang terus membesar selama ia masih mengandung hayat dalam badannya yang kecil tapi seakan menyimpan gelegak energi puisi yang tak habis-habis….

Batam, Juli 2007


Maka Kau pun Diberi Nama

KARENA Adam tak juga bisa menangis, maka ia minta
setiap anak yang lahir membawa tangis sendiri ke dunia,
agar sesal yang harus kekal itu tak ia terlepas-terlupa.

KARENA tangisanmu bukan kata, maka mereka
memberimu nama: 2-3 kata yang semoga tak sia-sia
sebab kau kelak memberinya makna pada tiap hurufnya.

KARENA tangisanmu bukan bicara, maka mereka
mengajari kau menyusun kata, sesungguhnya mereka
hanya tak ingin kau mengingatkan pada duka lama.


Sejak Itu Banyak yang Hanya Bisa Ia Tunggu

JARI-JARI hujan mencubitinya di bumi. Ia yang belum tahu
lagi apa arti basah dan dingin pada telanjang tubuhnya.

Ia mengira hujan itu terus saja, ia mengira memang hujanlah
selalu pada tanah asing yang bukan surganya itu. Ia sendiri.

Ada matahari yang ingin sekali menegurkan cahayanya di balik
awan itu, awan berlapis awan, yang seakan ingin menolaknya

agar tak pernah sampai jatuh ke bumi, tempat yang baru yang
bukan surganya itu. Sejak itu banyak yang hanya bisa ia tunggu.

Thursday, July 5, 2007

Kau Titip Sebuah Kata

"Ucapkanlah kata ini, hanya kepada-Ku nanti, ketika
kita berjumpa, dan kau telah fasih melafalkannya."

Lantas aku pun pulang ke jalanan, dari kota ke kota
mengarak jarak, memperbanyak kosakata, mengasah
langkah, mengecap seberapa hidup masih bisa kulahap.

Dari mimbar-mimbar rumah ibadah, kudengar kata-Mu
diperjualbelikan, didagangkan, dilelang, seakan hendak
diselamatkan dari harga yang ah malahan makin murahan.

Aku ingin sekali mengucapkan kata yang Kau titipkan itu.
Tapi entah bila agaknya, Kau perkenankan kita berjumpa.













Tuesday, July 3, 2007



Sutardji Calzoum Bachri saat tampil spektakuler di Tradewinds Festival Cape Town, Afrika Selatan, 2004.

Monday, July 2, 2007

[Ruang Renung # 218] Perkara Emosi dan Puisi Gigantis

PADA suatu ketika Asrul Sani pernah mencemaskan perkembangan puisi di Indonesia, puisi yang ia sebut dihasilkan oleh angkatannya sendiri. Ia mengatakan --- seraya meragukan apa yang ia katakan --- bahwa puisi-puisi pada masa itu buntu alias deadlock pada puisi emosi-semata. Emosi, katanya, adalah suatu anasir yang kuat dan langsung bisa dilihat sebagai cap puisi-puisi kala itu.

Emosi tidak salah. Sebab emosi tidak bisa diceraikan dari puisi. Emosi, kata Asrul, adalah tenaga pendorong dalam penciptaan dan keras-tidaknya tekanan suara yang dikeluarkan syair itu tergantung kuat-tidaknya emosi yang diterima penyair untuk menolong dia mentransmitir perasaan.

Emosi menjadi salah kalau ia telah dianggap sebagai wujud. Emosi hanyalah pendorong kehadiran wujud puisi, atau pada puisi emosi itu diberi wujud, sekali lagi ia bukan atau belum wujud. Emosi adalah penglihatan sekilas, ia bukan atau belum sampai pada subtansi. Emosi adalah pendorong perasaan agar penyair terbawa atau tersampai pada esensi, pada sari-inti. Substansi, esensi dan sari-inti itulah yang diwujudkan dalam puisi.

Asrul akhirnya menulis, bahwa penyair Indonesia harus sampai pada puisi "gigantis" yang menyeluruh --- sebagai imbangan dari robekan-robekan sepintas lalu yang diberikan emosi --- yang mempunyai sumber pada serba manusia, serba hidup yang tak terbatas pada dunia. "Dalam puisi itu emosi hanya pendorong "perasaan" yang dialami penyair untuk dirasakan oleh penikmat," kata Asrul.

Saya kira, kerisauan Asrul bisa kita jadikan bahan untuk mencemaskan puisi kita sendiri. Apakah kita telah berhenti atau baru sampai pada puisi dangkal yang hanya memuntahkan emosi kita sendiri? Tertantangkah kita untuk menulis puisi "gitantis" seperti tantangan yang digencarkan Asrul - seorang dari tokoh serangkai "Tiga Menguak Takdir" itu?

Bacaan:
- Asrul Sani, "Deadlock pada Puisi Emosi-Semata", dalam buku "Surat-surat Kepercayaan", Pustaka Jaya. Cet. I 1997, Cet. II 2000.

[Ruang Renung # 218] Kenapa Menulis Puisi?

YA, kenapa menulis puisi? Kesadaran penting yang harus hadir di kepala dan hati seseorang sebelum ia menulis puisi adalah bahwa menulis puisi itu adalah ihwal mengucap. Sebelum mengucap maka seseorang tentu harus tahu benar apa yang hendak ia ucapkan dan bagaimana dia mengucapkannya.

Ketika seseorang sakit kepala misalnya dia mungkin akan mengucapkan di dalam hatinya, "aduh kumat lagi." Kepada istri atau suaminya dia akan mengucapkan, "jangan ganggu saya dulu ya, saya lagi sakit kepala." Atau, "ada obat sakit kepala, gak ya?" Dan bermacam kemungkinan pengucapan lain. Atau dia diam saja sampai ditanyai dan jawabannya pun bisa bermacam-macam, termasuk berbohong karena ia tak mau sakit kepalanya itu diketahui.

Begitulah puisi. Sebelum mengucapkan eh menulis puisi seseorang harus tahu benar apa yang hendak ia tulis. Pertanyaannya kemudian, kenapa ia harus menuliskan itu ke dalam puisi? Bukankah banyak pilihan lain untuk mengucapkannya? Atau bahkan dia punya pilihan untuk tidak mengucapkannya alias tidak menuliskannya ke dalam puisi?

Jadi, kenapa harus menuliskannya ke dalam puisi? Jawabannya bisa macam-macam. Bila tetap saja pilihannya adalah diucapkan lewat puisi, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menuliskan atau mengucapkan dengan puisi?

Puisi. Ya. Ada aturan-aturan di wilayah itu yang harus diketahui agar pilihan pengucapan lewat puisi tidak sia-sia. Repot? Memang, tapi ingat, kalau tidak mau repot, toh tadi sudah diingatkan, ada pilihan lain selain puisi yang mungkin tidak merepotkan.[]



Pantun belum mati gaya. Dia bisa keluar dari kejadulannya.  Saya menjajal jurus untuk itu. Sebagian dari hasil percobaan saya itu bisa dibaca di Kompas, Minggu 1 Juli 2007.

Di Langit Paling Langit
Sampiran Elang, Pesanan Kenang
Sampirkan Namaku pada Pantun Cintamu
Sepantun Bunga, Sepantun Dingin



Sunday, July 1, 2007

[Ruang Renung # 217] 10 Butir Pidato Takdir: Kegairahan Pemberontakan dan Perluasan Tangung Jawab

Sutan Takdir Alisjahbana punya harapan kepada dunia sastra dan bahasa yang membesarkan dia dan yang dihidupinya itu, sekaligus tantangan bagi penyair-penyair setelah dia. "Siapa tahu, mungkin masih ada penyair yang lebih besar dari Dante, Shakespeare dan Goethe yang akan lahir," ujarnya. Itulah kalimat penutup pidatonya yang berjudul "Kedudukan dan Tugas Puisi di Zaman Kita" dalam Pertemuan Penyair ASEAN I di Bali tahun 1983.

Pidatonya itu kemudian dibukukan bersama sejumlah sajak yang ia bacakan di American Cultural Center, Wisma Metropolitan II, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta dalam program "History, Literature and Nationalism." Sajak yang ia bacakan itu direkam dan merupakan sumbangan Indonesia pertama bagi kumpulan Library of Congress "Archive of World Literature on Tape."

Saya membaca buku itu dan kemudian menyarikan dan mengolah sejumlah hal yang saya rasa berguna bagi perpuisian kita, dan terutama bagi keasyikan saya sendiri menceburi dan merenungi lautan puisi ini. Inilah butir-butir itu:

1. Hidup tidak bisa tidak mesti merupakan keseimbangan antara pikiran akal yang menganalisis dan memecah-mecah dengan perasaan yang berpokok pada hati dan dengan fantasi yang kreatif yang memberikan kepada kita kesempatan untuk melepaskan diri dari himpitan kenyataan sehari-hari yang berat dalam ciptaan-ciptaan yang mengandung keindahan dan menyayakan rohani.

2. Kegairahan dan kegirangan berpuisi yang kelihatan di mana-mana, adalah suatu reaksi yang sehat dalam suasana rasionalisme dan materialisme yang tandus itu.

3. Kegairahan itu membawa manusia kembali ke kebulatan jiwanya yang penuh kepekaan dan kemesraan menghadapi sesama manusia, alam sekitar maupun kegaiban dan kekudusan yang melingkupi alam semesta.

4. Kegairahan berpuisi itu membawa manusia kembali merasakan hidupnya dalam sedih dan senangnya, dalam kecewa dan harapannya, dalam kesepiannya maupun solidaritasnya, malahn rindu hatinya kepada Tuhannya.

5. Penyair tidak bisa mengelakkan diri dari pengaruh pikiran modern dan perkembangan sastra yang berasal dari berbagai-bagai bahasa di dunia yang berujung pada uluran gagang pedang individualisme yang mesti ia sambut-terima.

6. Dengan pedang individualisme di tangan maka penyair tertantang untuk memberontak terhadap pencapaian-pencapaian sastra yang mentradisi yang mendahului dia.

7. Keberhasilan pemberontakan itu adalah sesuatu yang membanggakan, sebuah prestasi yang membarukan dan menyegarkan kembali dunia sastra dan memberikan kesempatan untuk membebaskan diri dari berbagai ikatan dan kebiasaan yang mati, untuk mendengarkan suara hati kita yang dalam.

8. Keberhasilan pemberontakan itu membawa pikiran dan perasaan lahir kembali dari sumbernya yang murni dan dapat memandang orang, masyarakat dan alam sekitar kita dengan hati dan mata yang baru, yang lebih segar dan penuh tenaga asli.

9. Tetapi kita tak mungkin terus berontak untuk kegirangan pemberontakan. Sastra yang tumbuh menjadi dewasa tak boleh tidak meluaskan tanggung jawab, dan bersama itu pikiran, perasaan dan fantasi terhadap sesama, alam sekitar, malah keseluruhan jagat yang besar yang mengandung kegaiban dan kekudusan.

10. Kita tidak mengharapkan puisi dekaden, anarkis atau pesimis, tetapi puisi yang membuka hati untuk tanggung jawab dan solidaritas dan perjuangan untuk perdamaian dan kebahagiaan manusia.

Bacaan:
- Sutan Takdir Alisjahbana, Sajak-sajak dan Renungan, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, Cet. Pertama 1986, Cet. Ketiga 2004.