Friday, December 30, 2005

5 W + 1 H


waktu
waktu
waktu
waktu
waktu

habis......

[KUTIPAN] Rumit Versus Kebosanan

SEGALANYA memang rumit, kalau tidak, maka kehidupan dan puisi dan semua hal lainnya akan jadi sebuah kebosanan.

* Wallace Stevens (1879–1955), penyair Amerika.

[KUTIPAN] Puisi adalah Kerangka Hidup

PUISI bukan hanya mimpi dan visi; puisi adalah kerangka arsitektur hidup kita. Puisi menghamparkan fondasi bagi masa depan perubahan, jembatan menyeberangi ketakutan kita terhadap apa yang tak pernah ada sebelumnya.

* Audre Lorde (1934–1992), penyair Afroamerika, Poetry is Not a Luxury, esai yang terbit pertama kali dalam Chrysalis, No 3 (1977).

Wednesday, December 28, 2005

Tiga Tips Mudah Memahami Maut

1. Kita adalah burung-burung kecil terbang
menghinggapi nasib dari cabang ke cabang.

2. Hidup dan dunia adalah pohon rindang,
di teduhnya malaikat kecil bermain riang.

3. Siapa iseng bawa senapan terkokang?
Ada beberapa helai bulu jatuh melayang.

Kamus Empat Kata Berhuruf Awal I

igal: lalu kita menari binal, dengan getar yang tak tunggal,
     dalam gerak yang janggal, bagi berahi yang makin gatal.
     "Siapa yang menyelusupkan nafsu ke tubuhmu?" setelah
     saling memasuki, kita bertukar kata kunci, tak sempat
     mengatur duga, apalagi mengulur tunda...

ilu: dan jauh di ujung, guha paling relung, jiwa hampir hampa,
     kau dengar ada sinandung? "Itu, nada-nada sembilu,
     menusuk pilu, ngilu pada hatiku, terasa hingga ke hulumu."

ilai: maka gelak itu kian memekak, tawa itu ha ha berjuta ha ha,
     tapi kita tak sempat mendengar, debur itu semakin hingar.

indarus: kita senantiasa cuma hewan aduan yang kalah,
     pada pertarungan culas yang tak menyediakan kemenangan.
     mereka bertaruh, kita bertukar peluh. mereka bertepuk,
     kita semakin rasuk. Mereka tertawa, kita baru sadar,
     "ah, betapa bodohnya, betapa bodohnya..."
Tiga Pesan dariku yang Harus Kau
Sampaikan Kalau Kau Bertemu Dia


: Joko Pinurbo

1. Katakan padanya bahwa aku sudah punya mandi,
walaupun belum ketemu kamar mandi. Dulu mandiku
rusuh dan resah, takut kehabisan air. Sekarang mandiku
gundah dan gelisah takut kehilangan badan. Katakan
padanya, aku penasaran dengan kamar mandinya yang
wah mewah, dan mandinya yang ah meriah. Kapan-kapan
aku ingin bertamu, dan ingin duet mandi bersamanya.

2. Sampaikan padanya, lekas selesaikan itu peta. Makin
banyak saja sekarang pelancong kere seperti saya, yang suka
keluyuran, eh kelayapan, yang suka pura-pura singgah di
rumah ibadah, padahal cuma ingin menyelinap ke kamar mandi,
kemudian di sana menuntaskan semedi, berdoa lalu pergi
setelah merasa berhasil mengatasi daya tipu atas diri sendiri.

3. Bilang padanya bahwa aku ini dulu tukang jahit celana
yang pernah menjadi kolektor burung, dan seringkali ragu,
"Saya ini boneka manusia atau manusia boneka..." Oh, ya,
jangan lupa bilang juga padanya aku sedang asyik mengejar
cita-cita menjadi penjaga makam, penduga malam. Nanti,
kita boleh nongkrong sepuasnya di kuburanku.

Tuesday, December 27, 2005

Tiga Hal yang akan Aku Lakukan di Akhir Tahun

1. Aku akan merobek lembar bulan terakhir pada
kalender, dan menyulapnya jadi kaos,buat tidur
yang nyaman di awal tahun depan. Dan bermimpi
basah: Januari yang hujan, kita ini kan sebuah
angka tanggal menunggu dicoret dengan sesal dan
kesal, kita cuma tawanan dengan sederet dakwaan
dan nomor sel tercantum di kaos sebagai pengganti
alamat dan nama yang tak ingin diingat.

2. Aku akan mencari engkau, mengajakmu menginap
barang semalam, di hari terakhir tahun yang lekas
jadi silam. "Biarkan saja, mereka bergesa, kita
di tahun ini saja." Waktu tak pernah jadi rumah,
memang. Tapi, dialah yang sabar menumbuhkan gulma,
di tubuh kita. Aku sudah lama lupa, pada tanganku
yang tangan petani, pada kakiku yang kaki petani,
pada siul, caping, keringat,dan matahari pagi yang
petani. Ya, aku akan mencari engkau, merayumu untuk
menginap barang semalam. "Aku ingin menyiangi gulma,
semak itu, di tubuhmu, sudah lama ada..."

3. Aku akan mencuci sepatu. Semacam wudhu. Aku
akan mencuci baju. Di kota ini, ada tempat
terbaik yang mengenali semua nama debu, semacam
toko binatu. Aku akan jalan-jalan sebentar
mencari penggalan peta yang tak pernah bisa
kutebak, jalan itu berbelok ke mana sebenarnya?
Ada agen perjalanan wisata yang menawarkan jasa,
"Paket murah, semalam di dunia fana". Mahal? Tentu.
Dan masalah nomor satunya: tak ada potongan harga.

[KUTIPAN] Tardji Tidak Coba-coba Asal Jadi

SEORANG Sutardji tidak "ngawur" saja dalam membuat sajak-sajaknya yang lain daripada yang lain. Dia tidak coba-coba asal jadi, lantas kebetulan menemukan. Dia sudah menguasai bentuk-bentuk formal yang sedang berlaku. Dan dia tidak puas. Dan dia mencoba menembus cara baru. Pandangan-pandangan Sutardji terhadap situasi kesusastraan pada zamannya cukup menunjukkan bahwa dia berwawasan dan tahu masalahnya.

[Profesor Drs Jacob Sumardjo, Menulis Cerita Pendek, Pustaka Latifah, 2004]

Ode bagi Laut

Sajak Pablo Neruda


Di sini
Mengepung pulau-pulau.
Di sanalah laut.
Tapi apakah laut?
Dialah yang senantiasa mengalir.
Menyebut ya,
Lalu tidak,
Lalu tidak lagi,
Dan tidak,
Menyebut ya,
Dalam warna biru
dalam percik
amuk ombak,
lalu menyebut tidak,
dan sekali lagi tidak.
Ia yang tak bisa diam.
Ia yang gugup gagap
Namaku adalah laut.

Ia yang menampar keras karang
Dan ketika karang tak teryakinkan,
Laut membentur karang
Dan menenggelamkan karang
Dan mencekik karang dengan kecupan-kecupan.

Dengan tujuh lidah hijau
lidahnya tujuh anjing hijau,
atau lidahnya tujuh harimau hijau,
atau lidahnya lautan hijau,
Menghantam dadanya,
Menyebut gagap namanya.

Oh Lautan,
Inilah namamu.
Oh sahabat samudera,
Jangan buang waktu
Atau airmu akan
jadi amat kecewa
sebaiknya tolonglah kami saja.
Kami nelayan kecil,
Kami lelaki dari pantai,
Kami lapar dan kedinginan
dan engkaulah lawan kami.
Jangan menghantam terlalu keras,
Jangan memekik terlalu nyaring,
Bukalah peti-peti harta hijaumu,
Letakkan hadiah dari perak di tangan kami.
Beri kami, hari ini, ikan segar kami setiap hari.

Sunday, December 25, 2005

Utang Terjamahan

SETIAP penulis kreatif berutang kepada negerinya untuk menerjemahkan sedikitnya satu karya dari negeri asing, yaitu karya yang bersesuaian dengan bakat dan tempramennya, dan itu sekaligus untuk memperkaya perbendaharaan dan wawasan sastranya sendiri.

* Horst Frenz dalam Esai The Art of Translation, kutipan itu berasal dari korespondensinya dengan Andre Gide.

Jembatan

Sajak Octavio Paz


Antara saat ini dan kini,
antara inilah aku dan itulah engkau,
ada jembatan kata.

Ketika kau seberangi ia
engkau menuju diri sendiri:
dan dunia terhubungkan
lalu menyatu bagai utas cincin.

Dari tebing ke seberangan,
ada senantiasa
tubuh mengulurkan:
selekuk bianglala.

Aku akan tidur di lindung lengkungnya.

Pencuri Tidur

Syair Rabindranath Tagore


Tidur di mata bayi, siapa yang mencuri? Aku tahu, mesti.

Ada kendi terdekap di pinggang, ibu pergi mengambil air
tak jauh di luar desa.

Hari telah malam. Anak-anak kehabisan waktu bermain;
itik di kolam tak lagi meriuhkan suara.

Bocah gembala berbaring tertidur di bawah bayang-bayang
rindang pohon banyan.

Burung bangau berdiri muram masih di sana ia di rawa-rawa
di dekat rerumpun pohon mangga.

Sementara itulah, datang sang penuri-tidur, dan merampas
lekas tidur dari mata bayi, lalu berembus pergi.

Ketika ibu telah pulang dia lihat bayinya menjelajah empat
penjuru rumah, semua ruang ia jamah.

Tidr di mata bayi, siapa yang mencuri? Aku tahu, mesti.
Aku harus temukan dia segera, kemudian merantainya.

Aku mesti mencari ke gua-gua gelap, di mana arus kecil
menetes-netes di batu-batu besar dan batu mengerut.

Aku mesti mencari di teduh rumpun bakula yang melenakan,
di mana merpati bersuara di sudutnya, dan gelang kaki peri,
berdentingan dalam sunyi malam yang penuh bintang.

Di malam hari, aku mengintip di bisik senyap hutan bambu,
di mana kunang-kunang menuntaskan cahaya, dan aku
akan bertanya pada semua makhluk yang terjumpa, " Siapa
yang bisa beri aku tahu, di mana tinggalnya pencuri tidur itu?

Harus aku beri pelajaran dia, kalau nanti bisa tertangkap dia!

Akan kubongkar sarangnya dan kucari di mana dia timbun
semua tidur yang telah dia curi.

Aku akan rampas semuanya, dan kubawa pulang ke rumah.

Aku akan ikat saja dua sayapnya, dan tinggalkan dia di tepi
sungai, dan biarkan saja dia bermain dengan pancing batang
bulu di antara arus sungai dan bunga lili air.

Ketika hari pasar berakhir di malam hari, anak-anak desa
duduk di pangkuan ibunya, dan riuh suara burung malam
seakan mengancam:

"Tidur siapakah yang akan kau curi sekarang?"

Kawan Imbangan

Sajak Octavio Paz

Di tubuku engkau mencari pegunungan
bagi matahari yang terkubur di hutannya.
di tubuhmu aku mencari perahu
menetes tepat di pertengahan malam.

Friday, December 23, 2005

Tugas Penyair: Merusak Definisi Puisi

KETIKA ada definisi puisi yang paling sempurna, maka penyair akan segera bisa membuktikan dimana salahnya dengan karya yang menentang definisi itu.

* Henry David Thoreau (1817–1862), filsuf, pengarang Amerika.

Jiwa yang Mencari

SUMBER puisi adalah jiwa yang mencari kelengkapan.

* Muriel Rukeyser (1913–1980), U.S. poet. The Life of Poetry, ch. 13 (1949).

Hidup Lebih Berisi

SAYA menulis puisi agar hidup saya lebih penuh terisi.

* Judith Rodriguez (lahir 1936), penyair Australia.

Tuesday, December 20, 2005

Kamus Empat Kata Berhuruf Awal G

galas: bukan jauh jarak yang menakutkan, bukan? Tapi
        seberat apa kau buat beban, di pundak, dan tak ada
        yang hendak diletak, tak ada yang boleh kau serak.
        Perjalanan sendiri telah kau mulai sejak kaki bergerak,
        Sejak nafas disentak. Sejak kau ukur seberapa tinggikah puncak.
        Jadi bukan jauh jarah yang menakutkan, bukan?

galias: kau belum sampai, ini seperti mulai yang lagi dimulai,
        ada perahu bertiang tiga, ada samudera seluas tujuh wasangka,
        kau belum sampai, pelabuhan ramai memang membuai,
        rumah dikenang rumah dijelang, diantar badai ke badai,

gancang: ada yang mesti lekas kau buat tuntas, sebelum
        tanganmu tak lagi tangkas, sebelum langkah tinggal kulai,
        sebelum nafas sisa sengal, ada yang harus segera kau
        bikin selesai, sebelum waktu habis mengukur umur.

galir: lalu tinggal sisa hari yang cair, kau duduk mengenang
        semua kenang, bentang petang amat lapang, semerbak gelak,
        kau lihat sepasang sepatu tua di rak, jaket koyak, topi lecak,
        "Lihat..." kau tunjukkan tongkat kayu ke kaki langit.

Manusia Salju

Sajak Wallace Stevens

Seseorang harus ada musim dingin di benaknya
agar bisa memberi tabik pada kabut dan cabang
pohon pinus yang mengejang kaku oleh salju

Dan seseorang pernah lama dalam gigil dingin
agar sempat menatap juniperus bersasak es,
rumput-rumput sprus berkerlip di kejauhan

dari matahari Januari; dan tak kau renungkan
nestapa pada suara-suara hembus angin,
pada suara-suara dedaunan yang ranggas,

Manakah suara dari daratan, penuh dengan
angin yang sama, yang berhembus pada
tempat telanjang yang juga sama

Bagi si penyimak, yang mendengarkan salju,
dan, bukan pada dirinya sendiri, menatap
takada yang ada di sana dan itulah yang takada.

Tujuh Gurindam Sajak

Gurindam Pasal yang Pertama: Sajak Kata

Ketika kau tuliskan sajak-sajak suram,
ketika itu pula mata kata memejam.

Apabila tak kau tulis sebait pun sajak,
ada kata yang diam-diam hendak berteriak.

Saat kau lahirkan sajak sebait,
sejak itu kata mengenal jerit sakit.

Walau tak datang sajak yang kau undang,
jangan kau usir kata asing yang datang.

Kau sembunyikan di mana jejak sajakmu?
selalu ada kata rindu memaksa bertemu.

Ada sajak yang kau tuangkan ke gelas,
siapakah yang mereguk kata hingga tandas?

Jika kau paksa juga menulis sajak,
kata memang tiba, tapi makna jauh bertolak.

Jangan ajari sajakmu mengucap dusta,
sebab mulutmu akan dibungkam kata-kata.

Biarkan sajakmu dicela dicaci dinista,
karena maki cuma kata yang cemburu buta.

Di mana kau simpan sajak terbaik?
di hati, lalu biarkan kata mengucap tabik.

Pernahkan sajak meminta lebih darinya?
kata berkata: ah apalah, aku cuma kata...



Gurindam Pasal yang Kedua: Kamus Kata

Siapa kata yang tahan diam dalam kamus bahasa,
cuma kata hilang, yang ditemukan oleh lain kata.

Adakah kata yang bertahan di luar kamus kata,
Ya, dia kata yang menyebut fasih siapa dirinya.

Buat apa mencari kata dalam kamus yang rimba,
ke dalam sajak paling bijak, jejak kata baka tertera.

Kamus bukan samudera, juga bukan luas angkasa,
kamus cuma peta, menuntun pemburu melacak kata.

Jadilah pemburu yang membebaskan kata-kata,
Jadilah penakluk kamus, pengejar batas bahasa.

Di manakah rumah paling nyaman bagi kata?
Pada sajak, bukan kamus, bukan pada bicara.



Gurindam Pasal yang Ketiga: Jejak Sajak


Ketika kau bertanya-tanya apakah yang sajak,
ketika itu pula kau telah banyak hilang jejak.

Dalam sajak-sajak, kau mesti terus jauh melacak,
hanya itu jalan, agar kau dan sajakmu bertemu jejak.

Mulailah sajakmu dari apa yang terbaca pada jejak,
jika tak kau akan kehilangan keduanya: sajak dan jejak.

Telusuri saja jejak kata, ikuti saja jejak sajak,
keduanya membawamu ke bahasa yang puncak.

Kau yang tak tahu kata, tapi ingin mencapai sajak,
kelak hanya membekaskan jejak-jejak yang bengak.

Kau yang tahu kata, tapi jauh meningalkan sajak,
kelak hanya akan ditinggal kata, tak juga berjejak.




Gurindam Pasal yang Keempat: Kata Makna

Kenapa kau takut hilang jejak di dalam sajak,
bukankah hakikat sajak adalah jauh melacak?

Kenapa kau takut sajakmu kehabisan kata-kata,
bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?

Kenapa sajak kau jejali kata, kau bebani makna?
sajak itu meleluasakan kata, meluaskan makna

Sejak mulai bicara, kau ucapkan jutaan kata,
kenapa tak sebait pun sajak ingin kau cipta?



Gurindam Pasal yang Kelima: Sepi Sajak


Jejak sunyi dalam sajak, kenapa selalu terbaca?
sebab sajak: penggema sepi yang tak ingin bicara.

Hanya di jalan sepikah sajak mau melintas lalu,
tak, ia hanya ingin kau mendengar bisik dirimu.

Sajak mencipta sunyi atau sunyi merahimkan sajak?
Apa saja, tapi dalam sunyi sajak ada nyaring teriak.

Lalu kenapa tak berdiam saja dan sebut itu sajak?
Diamlah saja. Sajak tak pernah minta disebut sajak



Gurindam Pasal yang Keenam: Cinta Sajak


Penghasut besar bagi lahir sajak ialah cinta,
kau mesti pecahkan dia, dapatkan inti sepinya.

Jangan menulis sajak cinta, ketika kau rasa cinta,
yang kau dapatkan hanya sajak penuh pura-pura.

Hingga cinta cukup berjarak, sajakmu tahan saja,
Meski dalam cinta, sajak datang amat ramahnya.

Cinta membenci ada jarak, cinta memusuhi sepi,
jarak menciptakan cukup sepi, sajak menemu diri.

Tapi kenapakah telah begitu banyak ditulis sajak cinta,
tak lihatkah, mereka lahir dari cemas yang teramat ada.

Tapi kenapakah masih saja ditulis sajak-sajak cinta,
tak apa, asal sajak cintamu tak lahir dari cinta itu saja.



Gurindam Pasal yang Ketujuh: Sajak Siapa

Untuk siapakah sebenarnya sajak kau cipta?
sia-sia jika kau tak menulisnya untuk sajak saja.

Kepada siapa bisa kau berikan sajak-sajakmu?
Sajak perlu dibela, beri ia pada yang tahu.

Ada penyelinap dalam sajak yang seolah sajak,
Ah, malanglah, ia tak akan mampu jauh bertolak.

Adakah sajak yang kau sebut sesungguh sajak?
sajak hidup dalam kau, kau hidup dalam sajak.

Siapakah kau yang terus rindu mencari sajak,
kau yang menemu diri tapi masih merasa tak berjejak.

Awan Bertebaran di Menara Langit

Soneta ke 24 Pablo Neruda

Amor, Amor, di menara langit bertebaran awan
menjulang menang bagai mata air termurnikan
dan semua berpendar biru, semua serupa bintang:
laut, perahu, siang, melebur hilang dan terbuang.

Kemari dan tengok, pada air ranum ceri menjelang
dan mendekat terbang semesta burung layanglayang
Kemari dan sentuhlah, api biru yang segera datang,
Kemari sebelum kelopak-kelopaknya terbuang.

Tak ada yang kurang cahaya, angka dan tandan,
angkasa terbuka didesak oleh kebijakan angin,
hingga dikirimnya rahasia terakhir buih lautan.

Dan di antara segala yang biru surga, di bawah permukaan,
mata kita nyaris kehilangan, tak bisa lagi menduga
kekuatan udara, juga sumur minyak di dasar samudera.

Sunday, December 18, 2005

Fajar Terakhir

Sajak Octavio Paz

Rambutmu tersesat di hutan,
kakimu-kakiku bersentuhan.
Ketika terlelap kau lebih besar dari sang malam,
tapi mimpimu termuat penuh di ruang ini.
Seberapa banyakkah kita siapakah yang begitu kecilnya!
Di luar ada taksi penuh berlalu
penumpangnya hantu-hantu.
Sungai yang mengarus ke muara
                     selalu saja
kembali menuju hulu.

Kelak esok akankah jadi hari yang tak sama?

Dua Pencinta Berbahagia Mengalis Roti Bersamaan

Soneta ke-48 Pablo Neruda

Dua pencinta berbahagia mengalis roti bersamaan,
seorang bulan menghujankan cahaya di rerumputan,
Melangkah, menjelang dua bayang bersama melayang
Melangkah, tinggalkan matahari kosong di ranjang.

Semua yang mungkin benar, mereka pilih itu hari;
erat menjerat, dengan aroma wangi bukan tali
mereka tak hancurkan remah; tak pecahkan kata-kata;
bahagia yang mereka rasa adalah menara tembus cahaya.

Udara dan anggur bersekutu dengan para pencinta.
Malam menggirangkan mereka dengan kelopak sukacita.
Mereka berhak punya atas semua mekar anyelir berbunga.

Dua pencinta berbahagia, tanpa akhir, tak pernah mati,
mereka lahir, mereka mati, berkali-kali lalu hidup lagi:
mereka berhak punya atas hidup sejati, hidup abadi.

Kamus Empat Kata Berhuruf Awal T

taksis: o, samudera, o samudera. Ombak-ombak tuamu, masih bijak
     menandai musim pelayaranku, walau layar sepenggal tinggal,
     walau peta selipat dapat. Bukankah janji di selasar itu masih
     kubaca seperti mantra? "Tak ada badai bisa membatasi tualang
     kita, para lelaki laut, lelaki kapal, lelaki nakoda."

takma: telah terjalin tali kapal, sekuat badai paling khayal. Kelak,
     dalam pelayaran yang tak pernah kekal, ada saatnya kita
     mengakar jangkar, menambat penat, menabah gelabah. Bukankah
     singgah tak berarti lalai apalagi kalah? " Tak pernah tersisa ada,
     kusut ombak dipuntal amuk badai, di pantai kita segala terjuntai..."

takung: tapi siapa yang dulu mendongengkan dusta. Tapi, dusta itu
     tak pernah sepenuh bisa kita tolakkan saja. "Laut adalah tabah
     tangis langit yang tak dapat tak kecuali terbiar terendap,
     terdiam terdekap, terendam terselinap."

tajalli: o, samudera, o samudera. Badai itu, pintu yang menutup
     ataukah kunci yang menyingkap membuka? Lelah cuma jawab entah.
     Di layar sepenggal tinggal, di peta selipat dapat, kisah tualang kita catat.
     Maka sianglah siang, maka teranglah teranglah,
     maka mataharilah matahari, maka lelakilah lelaki.

Jalan Memintas

Sajak Octavio Paz

lembaran hari aku sibakkan,
apa yang kusebut aku tuliskan
dengan gerak bulu-bulu matamu.

aku masuki engkau,
gelap yang sesungguhnya.
aku inginkan gelap yang membuktikan,
aku ingin meneguk hitam anggur:
dan renggut mataku lalu hancurkan.

Setetes malam
jatuh di puting dadamu:
misteri bunga anyelir.

Maka kupejamkan mata
lalu kubuka di dalam matamu.

Selalu saja terjaga
di ranjang pualam merah:
lidahmu yang basah bergetah.

Ada air berpancuran
di kebun buluh nadimu.

Dengan topeng darah
kupintasi kosong benakmu:
amnesia menuntunku
ke sisi lain kehidupan.

Friday, December 16, 2005

Aku Tak Mencintaimu karena Kau Mawar

Soneta Cinta ke-17 Pablo Neruda

Aku tak mencintaimu karena kau mawar, cempaka
atau anyelir berduri yang luncas dari kobar api.
aku mencintaimu seperti cinta yang tersembunyi,
dalam rahasia, ada di antara malam dan jiwa.

aku mencintaimu seperti tanaman tak berbunga
cahaya bunga-bunga disimpan di dalam diri
dan, tersebab anugerah cintamu, bangkit aroma,
dari dalam bumi, hidup, bersebati di tubuh ini.

aku mencintamu, tanpa tahu bagaimana, darimana dan bilamana
aku mencintamu, sesungguh cinta, tanpa syak, tanpa jumawa,
aku mencintamu, hingga selainnya tak ada lagi cara mencinta.

tak ada kecuali ini cinta, juga tak engkau dan aku
alangkah dekat hingga tanganmu di dadaku adalah tanganku
begitu karib, hingga ketika aku tidur, memejam jua matamu.

Di Bebatu Takbisu, Datang Ombak Berhempasan

Soneta Cinta ke-9 Pablo Neruda

Di bebatu takbisu, datang ombak berhempasan
Sinar terang pecah lalu menjelma mekar mawar
dan cincin riak air menyimpul jadi sebuah tandan
hingga jatuh setetes air garam, biru berpendar

O di apung buih pecah pendar cahaya magnolia
pelayar medan magnet bunga-bunga mati
dan kembali, abadi, pada yang ada dan tiada:
kristal garam pecah, menyambar silau samudera.

Meleburlah, kau dan aku, kasih, mengunci sunyi
ketika laut terus saja merusakkan wujudnya,
runtuhlah menara keliarannya, menara putihnya

karena dalam kibas helai kain yang takkasat ini
air yang gegebah, pasir yang takkenal batas,
kami terakan jejak, yang keras hati, halus budi.

Tuesday, December 13, 2005

[KOLOM] Bangkai Anjing di Seberang Palm Spring

MASALAHNYA memang hanya seekor anjing. Tepatnya, cuma bangkai seekor anjing. Saya melihatnya lima hari lalu di badan jalan raya tepat di depan pertokoan Palm Spring, Batam Centre. Pagi itu, bangkainya masih segar. Punggungnya terkelupas sempurna. Tapi sepintas saya lihat dagingnya masih utuh. Tentu saja merah, berdarah. Sebagian darah itu ada yang tercecer di jalan. Saya perkirakan mungkin tak sampai sejam sebelumnya ada roda mobil yang menggilasnya. Kecelakaan biasa. Korbannya pun hanya seekor anjing.

Hari-hari berikutnya, setiap kali saya memacu motor menuju kantor di Graha Pena, Batam Centre bangkai anjing itu masih di sana. Saya tak sengaja merekamnya sebagai potongan-potongan gambar komik di benak. Tiap panel yang berubah adalah warna merah yang perlahan berganti ke coklat lalu hitam.

Saya tidak tahu apakah sudah ada bau busuk yang tercium. Kalau pun ada pasti tidak ada yang peduli, karena jalan itu dilalui oleh kendaraan yang dikebut tinggi. Itu bukan jalan untuk pejalan kaki. Pasti juga bukan tempat khusus untuk penyeberangan anjing.

Hingga tadi malam saya lihat bangkai anjing itu masih ada di sana. Tidak tepat di tempat semula. Bangkai anjing itu sudah disisihkan ke luar badan jalan. Paling hanya berjarak dua meter dari tempatnya tergilas. Saya tidak tahu apakah sudah mulai ada belatung di bangkai anjing itu. Mestinya ada, paling tidak telurnya sudah ada sebelum menetas jadi larva. Ini proses alamiah bukan? Bakteri pengurai pasti sudah bekerja menyempurnakan siklus kehidupan.

Tapi masalahnya memang hanya seekor anjing. Tepatnya bangkai seekor anjing. Saya, dalam lima hari ini ini, memendam serampaian pertanyaan sendiri: Tidak adakah pejabat Dinas Pasar dan Kebersihan kota ini yang melihat bangkai anjing itu? Lalu ia memerintahkan petugas untuk membuangnya ke tempat yang semestinya? Tidakkah si penabrak risau melihat anjing yang ditabraknya itu masih di sana? Pasti ia lewat di jalan itu lagi, dan pasti ia melihat bangkai anjing itu.

Masalahnya memang hanya seekor anjing. Seandainya ada seribu ekor bangkai anjing yang bertebaran di sepanjang jalan-jalan utama di kota ini, dan setelah lima hari belum juga dibersihkan, maka saya tentu boleh curiga ada yang sangat tidak beres pada instansi bernama Dinas Pasar dan Kebersihan Kota Batam.

Ya, masalahnya memang hanya seekor bangkai anjing. Seandainya bangkai anjing itu adalah manusia, pasti saya tidak harus menulis gerundelan ini.***

Sunday, December 11, 2005

Kota Hantu

siapa semalam yang menebar kata kutuk?
pagi ini kota dikepung cuaca buruk

bukan pelancong, kita cuma lelaki tua
terbungkuk, dengan batuk mendandai usia

Wednesday, December 7, 2005

Antara Agama dan Puisi

ANTARA apa yang disebut agama "ini adalah" dan apa yang dalam puisi disebut "tapi mungkin ini adalah", mesti selalu ada semacam ketegangan, hingga kemungkinan dan kenyataan bertemu pada ketakterhinggaan.

* Northrop Frye (b. 1912), kritikus sastra Kanada. “Anagogic Phase: Symbol as Monad,” Anatomy of Criticism (1957).
MAHKOTA sastra adalah puisi. Puisi adalah akhir dan tujuan. Puisi adalah aktivitas paling sublim pikiran manusia. Puisi adalah pencapaian keindahan dan kesedapan. Pengarang prosa hanya bisa menepi ketika penyair melintas.

W. Somerset Maugham (1874–1966), Pengarang Inggris. Saturday Review (New York, July 20, 1957).

Tuesday, December 6, 2005

Fosil Puisi

Bahasa adalah fosil puisi.

Ralph Waldo Emerson (1803–1882), esais, penyair, filosof Amerika. dalam “The Poet,” Essays, Second Series (1844).

Monday, November 28, 2005

Di Kantor Tuhan

/1/

Di pintu-Nya terbaca:
Dia Selalu Ada.

Tapi kita yang lalu lalang
dan yang sibuk mengetuk
tak mendengar Dia berkata,
"masuklah, tidak dikunci.."

/2/

Di meja-Nya ada tumpukan map-map doa,
dengan disposisi: kabulkan segera!

/3/

Sudah lama kita diberi kartu nama bertulis alamat-Nya,
hanya saja kita memang suka pura-pura lupa.

Friday, November 25, 2005

NUBUAT LABIRIN LUKA

Telah terbit sebuah buku berjudul NUBUAT LABIRIN LUKA - Antologi Puisi untuk Munir - Penerbit : Aceh Working Group dan Sayap Baru 144 halaman

Para Penyair yang menyumbangkan karyanya: Asep Sambodja, Aliyah Purwanti, Anik Sulistya Wati, Azizah Hefni Basilius,Andreas Gas, Bima Dirgantara Putra, Ben Abel, David C. Naingolan, Denny Ardiansyah, Dino F. Umahuk, Djodi B. Sambodo, Donny Anggoro, Eka Budianta, Emil Wahyudianto, Eko Sugiarto (Ugie), Frigidanto Agung, Had! Eko Suwono, Hartono Beny Hidayat, Hasan Aspahani , Henny Purnama Sari, Indrian
Koto, Leo Kelana, Luka Muhamad, M. Amin dr, Mega Vristian, Mila Duchlun, Muhammad Muhar, Naldi Nazir, Nanang Suryadi, Nining Indarti, Rini Fardhiah,S. Yoga,
Saeno M. Abdi, Saut Situmorang, Seto Nur Cahyono,Setiyo Bardono, Sihar Ramses Simatupang, Sobron Aidit,St. Fatimah, Stevi Yean Marie, Sutan Iwan Soekri
Munaf, Titik Kartitiani, Ucup Al-Bandungi, Widzar Al-Ghifary, Viddy AD Daery,
Widia Cahyani, Yonathan Rahardjo.

Penyair yang nama2nya di atas akan kami undang pada acara Launching yang rencananya akan dilaksanakan menjelang peringatan Hari HAM tanggal 10 Desember 2005 mendatang.

Saturday, November 12, 2005

[Ruang Renung # 128] Panjang Pendek Puisi

KEKUATAN puisi adalah kelenteruan panjang pendeknya. Tak ada batasan seberapa harus panjang. Dan seberapa harus pendek. Panjang pendek adalah bagian dari sifat puisi yang bisa diutak-atik. Bisa dimain-mainkan. Ada puisi yang sudah sangat kuat ketika selesai ditulis dalam baris-baris pendek. Kita harus bisa menahan godaan untuk tidak memperpanjang-panjangkannya.

Kita harus bisa mengukur bilakah proses penulisan puisi kita selesai. Bukan panjangnya yang jadi ukuran.

Puisi boleh sangat panjang. Boleh pula sangat pendek. Sutardji Calzoum Bachri tentu kita tahu, dia ada menulis dua puisi yang sangat pendek.

Luka

ha ha


dan satu puisi lagi,

Kalian

pun

Puisikah keduanya? Tentu ya. Puisi yang berhasilkah? Sama saja dengan puisi lain. Bisakah kita memaknainya? Berada dalam buku yang menampilkan puisi-puisi lain, O Amuk Kapak, bagi saya kedua puisi itu sangat berhasil. Bacalah. Rasakanlah kepuisiannya. Maknailah. Bukan karena Tardji yang menulisnya. Tapi karena puisi itu memang puisi. Kita juga bisa menulis puisi seperti itu. Tak dilarang. Tapi belum tentu hasilnya sehebat dua puisi itu.

Bagaimana membaca puisi itu? Saya pernah melihat Tardji membacakan puisi Kalian. Dia memberi semangat pengantar yang agak panjang. Semacam basa-basi yang berisi. Lalu....pun! Selesai.[hah]

Friday, November 11, 2005

[POETTOON # 2] ORANG YANG TEPAT

Image hosted by Photobucket.com

[POETTOON # 1] BAYANG-BAYANG

Image hosted by Photobucket.com

STRIP GENERATOR

Di Bandara

tak tahu siapa sebenarnya juru lelang di sini
yang membuat jarak kita jadi semakin berharga

dan waktu, kita tahu, menawar kian tinggi saja

aku tak tahu di mana sebenarnya mesti menunggu:
di ruang keberangkatanku atau gerbang kedatanganmu

Tuesday, November 8, 2005

Tangan

tangan ini kelak sisa gemetar usia. Tua

masih bisa memijat letih kaki sendiri
dan mengusir pegal pada punggung istri

anak jauh pergi, pulang untuk menciumi

Image hosted by Photobucket.com

Bagian dari patung Michelangelo

Seserigala Serigala

raung itu sampai: ke puncak bukit terujung
aku serigala tak lagi takut lolong sendiri
ini jantung, kutebak bila detaknya berhenti

lengang itu penuh, ada terang mata bertantangan
: sepasang bara mataku, sepasang mata langitmu
aku serigala tak lagi takut datang badaimu

Thursday, October 27, 2005

Notes, 2

untuk sekali ini, masing-masing kita diam
diam yang menyebut kata, dari pertemuan mata

pada memandang yang kelam tiada apa...
yang berkelebat di sana, lain mata yang
memandang pada kita

sekujur gemetar menolak seribu nista
gemetar yang sama, lihat, ia ada pada
bebayang dosa, pada bebayang siksa

tiada yang berani mencuit hilang, tak juga
terjamah seperti apa bayangan

padahal segala mungkin telah lama hilang,
sayang, mungkin karena terlalu lama kita
hanya berpandang tak juga berpegang

tatkala rebah, rindu tak juga ada...
nyata semuanya bukan dan tiada apa-apa

kau tak merasa, rindu itu ada, ketika kau
rebah dia mendekapkan telinga ke dada, mencari
degup itu ada, meyakinkan rindu itu berdetak jua

Notes, 1

aku raba lagi dada, mencari adakah redha
sudah kusematkan di sana, aku raba lagi dada,
menebak apakah badai-badai sudah reda

lalu aku tak mencari apa apa lagi, badai yang
lalu berkunjung, menyinggahkan murung, berdetak
ubun-ubun, sekian rindu semakin membumbun

akhirnya, kita memang tak keliru bukan?
setelah apa yang sempat kau tanya, masihkah
kini perlu juga kuberi jawabnya

Tuesday, October 25, 2005

Ceritakan Padaku dengan Puisi dan Kata

ceritakan padaku tentang kata,

kata yang menyebut kau dan dia; kata yang senantiasa setia menukar kabarmu dan kabarnya; kata yang tak pernah kurang menjadi bunga tumbuh dan dipetik dari hatimu hatinya; kata yang membuat jarak jadi tak lagi tersebutkan lagi berapa pun jauhnya;

ceritakan padaku tentang puisi,

puisi yang kupunguti dari jejak-jejak jenaka katamu dan katanya; puisi yang kucahayai dengan terang dari katamu dan katanya; puisi yang kuterjemahkan dari tari kupu-kupu yang berebut hinggap di bunga-bunga katamu dan katanya; puisi yang bait-baitnya adalah waktu menanti, rindu yang ada walau tak tersebutkan oleh katamu katanya;

[KISAH] Anak Lelaki dan 40 Lembar Kartun, 2

DI Twin Towers Plaza, Kuala Lumpur. Dia menemukan surga itu: Toko Buku Times. Buku-buku yang terpajang semuanya berbahasa Inggris. Dia menyusuri rak demi rak. Ia bertanya kepada pegawai toko, perempuan Melayu berkerudung. Muda dan manis. Walaupun tanpa senyum. Tidak. Tidak sinis. Ia mungkin hanya tidak ingin bermanis-manis. Seolah dengan ekspresi datar saja dia sudah amat sadar bahwa wajahnya memang manis.

"Buku Lat ada?"

"Lat? Buku ape tu?"

Duh, tak bisakah kamu jadi gadis manis yang juga cerdas? Lat itu kartunis besar dari negaramu, Sayang. Dia bergelar Datuk, tahu?

"Kartun. Komik. Lat. Emmmm Kampung Boy. Tahu??"

Si manis tampaknya mulai sadar berhadapan dengan orang yang bukan iseng singgah di toko buku itu. Dia bergegas ke rak buku lain. Melihat menyibak membaca buku-buku yang dipajang. Lalu menyodorkan sebuah buku. Lebih besar sedikir dari ukuran saku.

"Buku ini?"

Lelaki itu membaca: Mat Som. "Ya, ini juga buku Lat. Judul lain tak ada?"

[bersambung]

Monday, October 24, 2005

Mata yang Membendung Mendung

mana yang lebih jujur,
bibirmu yang mengatakan senyum,
atau mata yang membendung mendung?

aku lebih percaya pada pipimu, Sayang

putih yang tabah, melalukan semua air mata
putih yang sabar, mengundang tanganku menyeka

aku lebih percaya pada alis dan bulu mata
teduh yang melindungimu dari tatap kemarau,
gersang yang mengisyaratkan danau itu ada

Percakapan Dua Kekasih Lama

"Di dinding sebelah mana engkau
memajang potretku? Aku sudah lupa.

Hanya kuingat, engkau pernah cerita.

Ajakanmu menyinggahi rumah pun tak
sempat kuiyakan. Ya begitulah, aku
dikunyah kesibukan tak bersudahan..."

"Aku tak memajangnya lagi, sebab
seluruh dinding penuh kulapisi
kertas penghias bergambar senyum dalam
dan kerlingan liar matamu..."

Sunday, October 23, 2005

Rumah Berpagar Bunga-bunga

kalau melewati jalan itu lagi, kau bisa
menyentuhi ujung ranting di kanan dan kiri

jalan ini sampai kemana? sekarang ia menuju
ke rumah berpagar bunga-bunga: rumah kita

seperti dulu, selalu lewat kabut, dingin
mengakukan rumput, di rambut daun sangkut

aku pasang mata di sini, melepas pandang,
ke seberang, ada kabar dikirim gelombang?

gemericik riak, tubuh danau yang bergerak,
perahu di seberang, belum lepas tali kekang

Thursday, October 20, 2005

[KISAH] Anak Lelaki dan 40 Lembar Kartun

ANAK lelaki itu mengenakan kemeja lengan panjang pertama yang ia miliki. Itulah pakaian terbaik yang ia miliki saat itu. Digantungnya seragam pramuka di balik pintu. Semalaman diselesaikannya 40 lembar komik strip. Ya, 40 lembar! Komik itulah yang hendak ia antarkan ke kantor surat kabar di kotanya. Surat kabar itu baru saja terbit.

Dia membayangkan kelak menjadi kartunis setenar Charlie M Schulz. Nama yang tidak dikenal oleh teman-teman sekelasnya. Padahal nama itulah sang kreator Snoopy anjing milik Charlie Brown yang banyak ia dilihat di buku tulis, tas dan pena teman-teman sekelasnya.

Perempuan itu - menurutnya saat itu adalah wanita dewasa paling cantik yang pernah ia temui, yang kelak ia kenal sebagai sekretaris redaksi surat kabar pertama di kotanya itu - menerimanya dengan ramah. Lupakan senyum itu, katanya menenangkan gugupnya sendiri. Ingat 40 lembar komik stripmu!

Amplop tebal itu pun ia sodorkan dengan kalimat pengantar yang kacau. Tapi, perempuan tercantik itu tampaknya mengerti. Mengerti kegugupannya, mengerti maksudnya. Amplop itu pindah tangan. Beberapa komik stripnya ditarik lalu dimasukkan lagi. Satu kalimat pujian didengarnya.

"Hari ini tak ada redpel. Pimpred juga tak ada. Senin besok datang lagi ya..."

Redpel? Pimpred? Jabatan mentereng di surat kabar itu pertama kali didengarnya dari mulut wanita dewasa tercantik yang pernah ia jumpai.

***

"Berapa hari menggambarnya?"
"Satu malam."
"Satu malam?"
"Ya..."

[bersambung]

Wednesday, October 19, 2005

[KISAH] Sebelum Nelayan Melaut

Kue-kue itu harus sampai ke warung sebelum nelayan pergi melaut. Anak lelaki itu berjalan tanpa alas kaki, menjunjung talam besar berisi penuh irisan-irisan kue. Kue itu dibuat oleh ibunya. Sebelum pagi benar-benar sempurna. Artinya tanda-tanda fajar di timur langit masih ada.

Dia tidak berteriak, "kue, kue!". Meskipun selalu saja ada yang memanggilnya sebelum sampai ke warung, memanggilnya untuk singgah lalu memilih dua tiga potong kuenya untuk sarapan.

Tugasnya hanya mengantar kue-kue ke warung. Warung itu tak jauh dari pangkalan kapal-kapal melayan. Sambil berjalan dengan talam berisi penuh kue di kepalanya, dia suka memandangi langit timur. Jingga perlahan menyusut ke biru langit. Menciptakan ciprataan warna serupa di permukaan laut.

Tapi pemandangan yang paling ia suka adalah ketika nelayan-nelayan membungkus kue yang baru diantarkannya ke warung. Dia akan bercerita kepada ibunya tentang peristiwa itu. Bukan, bukan pemandangan jingga fajar yang perlahan menyusut itu. Dia tahu cerita apa yang paling disukai ibunya.

Ketika Doa Itu Berakhir

suara jatuh air seremang zikir

disebutnya jugakah namaku
ketika doa-doa itu berakhir?

Tuesday, October 18, 2005

Abah, Mama, Elus Kepalaku Seperti Dulu

Anakmu seperti kamu dulu, kata Mama
sambil mengelus kepala cucu lelakinya.
Aku seketika ingin sekali merasakan elusan itu.

Jauhkah tempat mengajimu? tanya Abah
ketika cucu perempuannya mencium tangannya.
Aku tiba-tiba ingin lagi mengaji dengannya.

Image hosted by Photobucket.com
Image hosted by Photobucket.com

Hasan Aspahani by Ed Zoelverdi

[PerNIKAN] Abah Mama di Batam

ABAH dan Mama merayakan lebaran Idul Fitri di Batam. Bersama kami: aku, Yana, Shiela cucu pertamanya dan Ikra cucu yang baru mereka lihat. Senin kemarin kami menjemput di Bandara. Ikra langsung mau digendong neneknya. Shiela sudah pernah kami bawa ke kampung, tiga tahun lalu. Dia masih ingat wajah nenek dan kakeknya.

Ini pertama kali Abah dan Mama ke Batam. Saya bermukim di Batam sejak 1999. Terpenuhi satu janji saya untuk mengajak mereka ke sini.

Saturday, October 15, 2005

Image hosted by Photobucket.com

The Average Bureaucrat, SALVADOR DALI

Thursday, October 13, 2005

maukah kau

maukah kau menjadi rahasiaku saja?
kata yang kususun sempurna yang
kelak hanya kubisikkan padamu jua

maukah kau menjadi rahasiaku saja?
katakata yang teramat berharga, yang
kita jaga dan kita maknai bersama

Monday, October 10, 2005

Ucapkan Marhaban Bagi Ramadan

Ghazal Jalaluddin Rumi

Berlimpahlah berkah bersama tiba bulan Berpuasa
Gembiralah perjalananmu, O kawan-pengelana Puasa!

Aku melompat ke atap, dengan bulan bertatap, karena
di hatiku penuh rindu mendamba tiba bulan Puasa.

Lama kutatap hingga jatuh surban di kepala, aku pun
mabuk rindu, tersebab mendamba Sang Raja Puasa.

O, segenap Muslim, sejak itu aku mabuk rindu. Betapa
banyak, keberuntungan, dan keagungan Bulan Puasa.

Di bulan ini, ada Bulan lain sembunyi, tersamarkan
seperti orang Turki di balik kemah-kemah bulan Puasa.

Siapa saja dia yang berjalan di Bulan itu, dia datang
ke bulan terbaik pada lantai penebahan bulan Puasa.

Apabila dia memucatkan wajah seputih satin, dia kelak
mengenakan jubah bersepuh kehormatan bulan Puasa.

Doa-doa dijawab pada bulan ini, dada langit
membuka ditembus isyarat-isyarat bulan Puasa.

Dia kelak menggapai kerajaan Cinta di Negeri Mesir
seperti Yusuf yang amalkan kesabaran sumur Puasa.

Kurangi makan sahurmu. O, mulut yang bicara, diamlah,
demi puasa jua, kelak mereka jadi ahli pemakna Puasa.

Friday, October 7, 2005

[Ruang Renung # 127] Berjarak, Berjarak, Berjarak

Image hosted by Photobucket.com

Meditation on The Harp, Salvador Dali



Berjarak, bukan berarti terpisah, apalagi terasing.

Puisi harus berjarak dari kenyataan. Puisi bukan sekadar potret dari kenyataan. Bukan tidak boleh dia menjadi semacam pemotret situasi, tapi potret yang baik bukan sekadar menampakkan wajah dari kenyataan yang ingin dipotret. Puisi harus menjadi potret yang hidup, yang bisa menampilkan emosi kenyataan, dengus nafas kenyataan, bahkan aroma kenyataan. Puisi, seperti kata Tardji, harus berada di atas kenyataan. Kalau kata sekadar mewakili adalah kenyataan, maka katanya, kata harus dibebaskan supaya tidak sekedar terjebak dalam kenyataan. Susah? Ya, Memang tidak gampang.

Puisi harus berjarak dengan otoritas di luarnya. Termasuk dengan penguasa. Penguasa bukan saja pemerintah. Banyak sekali penguasa-penguasa di luar puisi. Salah satu penguasa itu adalah makna yang membelenggu. Ketika puisi bebas dari penguasa makna, bukan berarti dia hidup dalam dunia tanpa makna. Dia harus bebas dari makna, supaya makna-makna lain bebas datang padanya. Banyak penguasa lain yang mengancam puisi, ingin menguasai puisi, ingin menjerat puisi, yang ingin membunuh puisi. Penguasa-penguasa itu tidak selalu pasang muka bengis. Ia bahkan bisa datang ke hadapan puisi dengan wajah manis. Angkuhkah puisi? Ya, memang di tengah persaingan yang keras, puisi harus berdiri teguh.

Puisi bahkan harus berjarak dengan penyairnya. Puisi yang sudah dilepas penyairnya dari rahim penciptaannya, bebas pergi ke mana saja. Menemui pembaca siapa saja. Oleh pembaca puisi tadi mungkin disukai, dipelihara, disucikan, atau sebaliknya dibenci, direndahkan. Si penyair boleh sesekali diminta penjelasan tentang puisi itu. Tapi, bukan berarti itu adalah satu-satunya penjelasan, juga bukan penjelasan yang paling benar.

Berjarak, bukan berarti terpisah, apalagi terasing.

Wednesday, October 5, 2005

[PErnikaN] Dua Badai

ADA dua badai kecil di rumah kami. Badan Shiela dan Badai Ikra. Kamar tidur, ruang tamu, dapur, dalam sekejap bisa dibuat berantakan. Rumah kami begitu kecil. Ulah kedua badai itu kentara sekali terlihat akibatnya.

Hanya pada saat tidur keduanya terlihat sangat manis.

Tuesday, October 4, 2005

[PernikAN] Shiela Mau Puasa

Mama: Bah, Shiela nanya, kalau dia puasa dikasih hadiah apa?
Abah: Hadiahnya masuk surga...
Shiela: Itu kan hadiah dari Tuhan? Bukan dari Abah...
Abah: Ya, deh. Nanti Abah kasih baju baru dua pasang...
Shiela: Horeee, adek nggak dapat baju, adek kan nggak puasa....

Tuesday, September 27, 2005

Saturday, September 24, 2005

[Ruang Renung # 126] Nasihat Tardji

     Ada pelukis yang menjual lukisannya 2 juta franc. Ada orang kaya yang ingin membeli karena tertarik.
"Berapa lama lukisan ini dibuat?" tanya si orang kaya.
"Cuma lima menit.."
"Hanya lima menit?"
"Ya. Tapi jangan lihat lima menitnya. Saya berproses lama. Bertahun-tahun."

     Begitulah kita menyair. Hidup penyair seperti nelayan dengan kapal dan pukat harimau. Kemana pun berlayar ada yang terjaring. Ikan-ikan itu bisa berupa kegundahan, kesedihan, kemarahan, cinta, kecewa. Semua yang terjaring itu memperkaya bahan kehidupan penyair. Itulah yang muncul dalam ucapan puisi-puisinya.

     Pukat itu tidak harus diangkat selalu. Ketika kita tidak menulis puisi kita sebenarnya mempersiapkan puisi, selama pukat itu terus terawat. Selama kapal nelayan itu terus berlayar.[hah]

Friday, September 23, 2005

sebelum sampai di pintu-Mu

kami berkedipan
: aku dan kegelapan

pulang sembahyang,
wirid yang berulang

siapa yang menyalakan
satu-satunya cahaya?
di ujung kabut,
pucuk musala,

kukira itu bukan bintang ...

tapi tolong beri tanda,
di mana wudhu harus kuambil

bila najis tersentuh
sebelum sampai di pintu-Mu

Tuesday, September 20, 2005

Catatan: Sebuah puisi lama.
Tiba-tiba saya ingin
sekali menampilkannya.
Dengan sedikit utak-atik


UNDANGAN PERNIKAHAN UNTUK BUNDA HAWA

ketika membuka undangan pernikahanmu, Na
bunda Hawa berlinang air mata, bunga-bunga tangis
kasihnya berjatuhan di tanah surga, tumbuh
jadi melati, jadi mawar, jadi kenanga

"aku tak akan bisa datang. kau tahu,
bapak Adam tak suka pesta." Tapi
ia mengirim roncean melati ke sanggul pengantinmu
ia hembuskan sihir mawar di matamu
ia tebarkan bius kenanga di ranjang peraduanmu
: sambil mengenang malam pertama,
ketika tuhan mengusir mereka ke dunia ah, katanya,
"aku malu melihat yang telanjang padaku
di surga kami tak sempat menikmati nafsu."

ketika membaca undangan pernikahanmu, Na
bunda Hawa mengelus dada, "tak ada yang datang
ketika Tuhan menyandingkan kami di surga
: kecuali iblis dan kobra, tapi mereka
tak datang dengan tahniah dan doa.

ketika menyimpan undangan pernikahanmu, Na
bunda Hawa terkenang putranya Habil dan Qabil.

ah, ujarnya, "setidaknya aku masih bisa berbahagia
karena anak-anakku belum jera atas
derita yang masihkah bernama Cinta?"

batam, 5/3/2002

Monday, September 19, 2005

[Ruang Renung # 125] Puisi Perjalanan

Pergilah jauh dari rumah dan carilah puisi di sepanjang perjalanan kepergian kita. Catatlah dengan hati, bukan hanya dengan mata. Catatlah dengan telinga juga. Dengan kulit juga. Biarkan ada yang terdengar dan menyentuh kulitmu tanpa harus diberi nama itu suara dan rasa apa. Kelak mungkin puisi memberi tempat untuk sebuah jawaban ketika kita nyaris saja melupakannya.

Puisi perjalanan itu tak harus menjadi puisi yang mencatat pemandangan apa yang kita lihat di sepanjang perjalanan itu. Ia bisa berupa tinjauan atas percakapan kita dengan teman seperjalanan, dengan orang yang kita temui atau apa yang ingin kita bualkan dengan orang yang ingin kita temui.

Pergilah jauh, juga ketika kita diam saja, tak kemana-mana bepergian. Bukankah pikiran kita bisa kita liarkan untuk mengembara kemana saja? Bukankah seluruh hidup ini sejatinya adalah memang sebuah perjalanan? Bukankah seluruh puisi adalah catatan dari seluruh perjalanan itu?

Wudhu ini Sudah Berhitung Tahun Kupertahankan

namamukah itu, tiba-tiba saja sangat ingin
kusebut dengan getar bibir pantai kesepian

aku ingin berbaring sendiri: ingin menyusun
semacam sembahyang, berkiblat lautan bayang

wudhu ini sudah berhitung tahun kupertahankan,
di asin air yang sama kubasuh tiga kali dosa

Friday, September 16, 2005

Rinai di Ranai

semua akhirnya harus ditinggalkan
agar yang terbawa tak jadi beban

semua akhirnya harus juga dilupakan
agar ada yang bertahan jadi kenangan

semua mungkin kembali lagi, bukan?
atau mungkin tetap akan berjauhan




Pantai Tanjung, Ranai, Natuna

Thursday, September 8, 2005

Tangkap lalu Dekap itu Jiwa

Syair Jalaluddin Rumi

JIKA ada sepuluh lampu di satu tempat,
sepuluh lampu yang tak sama bentuk;
pasti engkau tak bisa membedakan pancar sinarnya
jika engkau memusat tatap pada cahaya.
Di ladang jiwa tak ada yang terbagi-bagikan;
tak ada yang hadir hanya seorang. Yang manis itu
adalah kesatuan Karib dengan kerabat-Nya.
Tangkap lalu dekap itu jiwa.
Bantu si keraskepala ini terberai sendiri;
lalu di sebaliknya engkau temukan keutuhan,
seperti harta karun terkuburkan.

If ten lamps are present in one place,
each differs in form from another;
yet you can't distinguish whose radiance is whose
when you focus on the light.
In the field of spirit there is no division;
no individuals exist.
Sweet is the oneness of the Friend with His friends.
Catch hold of spirit.
Help this headstrong self disintegrate;
that beneath it you may discover unity,
like a buried treasure.

Mathnawi, I:678-683
Version by Camille and Kabir Helminski
"Rumi: Daylight"
Threshold Books, 1994
Persian transliteration courtesy of Yahyá Monastra

Surat untuk Almarhum Datu

Sajak Ted Kooser

Melihat hidupku kini, Datu harus turut bahagia.
Aku sudah diajari menjadi petani kertas.
Mejaku adalah ladang lapang tak bergulma.
Telah kuantar jauh kerumun gagak ketakutanku,
dan kematianku adalah tegak sebatang oak
menghitam dalam jarak. Bulan cemerlang,
- tanda kami cukup uang - mencorong di pundakku,
lewat seperti selama ini ia berlalu. Datu musti menjenguk
rumahku, istriku dan anak-anakku.
Kami cukup makan dan kami tidur nyaman,
jengkerik yang berbahagia bernyanyaian
di taman. Seperti yang Datu ajarkan
kamu saling menjaga diri. Aku bayar pajak;
tiap minggu aku bernyanyi di gereja.
Aku menolak untuk percaya bahwa hidupku
ada tersebab kematian jiwa lainnya.


Letter To Dead Forebears

You would be pleased with my life.
I have been taught the farming of papers.
My desk is a field free of weeds.
I have driven away the crows of my fears,
and my death is a lone oak cackling with blackness
off in the distance. The bright moon
of good money looks over my shoulder,
passing its regular phases. You would approve
of my house, my wife, and my children.
We eat well and sleep peacefully,
the cricket of happiness ticking away
in the garden. As you did,
we keep to ourselves. I pay my taxes;
I give weekly to the church of my choice.
I refuse to believe that my life
is the cause of the murder of others.

Wednesday, September 7, 2005

Organ 21 Gram Beratnya

adegan itu singkat, masih sempat mencatat:
hembus nafas sekarat lelaki bermata pucat,
rahim hangat, perempuan bersuara tersendat,
& sebaris kalimat, "janin ini akan kurawat..."

lalu mengalirlah kita pada sekian plot cerita,
takada peran utama, kecuali organ 21 gram beratnya,
yang berdetak atau berhenti memberi tanda pada nyawa.
Berani kau menebak semua kisah berakhir bahagia?

Monday, September 5, 2005

KEPRIBADIAN adalah segalanya dalam seni dan puisi - Johann Wolfgang von Goethe.

[Catatan Setelah Membaca] Hei, Mana Bisa Kau Tahan Puisi

DI BLOG ini saya pernah mengutip Irving Layton. Kata penyair Kanada itu, "Kalau puisi itu diibaratkan seperti orgasme, maka akademisi yang meneliti puisi tak ubahnya seperti orang yang mempelajari noda-noda gairah yang tercecer di sprei."

Saya ingin mengawali komentar saya atas sajak-sajak "patah hati" Aan M Mansyur dengan kutipan di atas. Ya, saya bukan akademisi, bukan peneliti puisi. Saya adalah pembaca yang juga sering merasakan orgasme yang sama dengan Aan.

Menurut saya, puisi yang baik adalah puisi yang ketika dibaca masih menyisakan rasa nikmat, sehingga si pembaca pun ikut orgasme. Aaaaah. Dan sebaliknya dengan metafora itu maka puisi yang buruk adalah puisi yang hanya sisa ceceran sperma. Kita menganggapnya kotor. Kita jijik. Meskipun sebenarnya, sperma itu menurut ketentuan syariah tergolong air yang suci lagi menyucikan. Artinya kalau nisabnya cukup dia syah dipakai berwudhu.

Dan bersama puisi Aan saya tidak hanya masih merasakan rasa itu, tapi juga merangsang saya untuk menciptakan orgasme-orgasme yang lain. Ya, sebutlah semacam multiorgasme.

Dari emailnya kepada saya, Aan pun membuat saya yakin bahwa puisi itu memang sebuah pilihan lakon. Ia dilakoni, dihidupi, dijalankan sebagai laku hidup. Puisi dan berpuisi bukan sekadar ditulis dan dilakukan ketika si penyair membutuhkan. Pada tingkat yang sangat karib, puisi itu menuliskan dirinya sendiri tanpa bisa ditahan oleh si penyair.

Saya ingin mencuri pembenaran dari penyair lain. "Saya sebenarnya bukan penyair, yang bersyair sebenarnya alam, kemanusiaan, dan jeritan yang secuil sempat singgah ke dalam hati," kata D Zawawi Imron, dalam Madura, Akulah Darahmu, Grasindo, 1999.

Jeritan secuil yang singgah ke dalam hati, kata Zawawi. Dan Aan mendapatkan lebih dari itu. Ia tengah hancur hatinya. Bisakah itu ditahan? Bisa dan sebenarnya harus ditahan. Dan saya tahu ada jarak antara peristiwa dahsyat itu dengan puisi-puisi "sakit hati" yang ia tulis. Saya ingat Rainer Maria Rilke. Penyair harus melupakan semua peristiwa dialaminya. Ketika ia datang sebagai kenangan, kata Rilke, itulah saatnya untuk menuliskannya sebagai puisi.

Saya yakin Aan tidak bisa melupakan "sakit hati" itu. Tapi waktu yang kian berjarak membuat sejumlah kenangan berdatangan padanya. Dan lihat! "....tak bisa kutolak saat kata-kata itu sendiri yang menulis diri. Maka semalam, sesaat setelah mati lampu berhenti (di sana sering mati lampu juga?) saya tak bisa menahan diri untuk tidak duduk di depan notebook untuk menulis!" katanya dalam email pengantar puisi itu pada saya.

Saya tak ingin mengantar terlalu panjang. Karena akan mengganggu kenikmatan orgasme pembacaan saya. Silakan baca sendiri, dan silakan menikmati. Saya yakin syahwat puisi Anda tidak sedang impoten.

Hasan Aspahani


awalnya sangat sederhana
Sajak Aan M Mansyur


awalnya sangat sederhana
hanya bukit dengan hijau rumputnya

lalu kita tiba pada pertanyaan
: bangunan apa sebagai tetanda?

cinta, katamu, adalah hiruk-pikuk kota
lalu kau dirikan restoran dan café dengan musik berbahasa asing,
bioskop dengan film-film eropa dan amerika,
mall dengan etalase-etalase yang mengeringkan kantong,
dan hotel yang kasurnya membuatmu tak pernah lelah bercinta.

tetapi aku lebih suka cinta itu dalam dan sepi,
maka kugali sebuah perigi di kaki bukit
yang meluruhkan gerah
yang membasahi dahaga
dan membuat rumput berbunga

awalnya sangat sederhana
hanya bukit dengan riang ternaknya

tetapi seperti yang kuduga
riuh kota akan membuatmu bosan dan lelah
dan kau runtuhkan semua yang berdiri
semua yang kau bangun sendiri
lalu pergi mencari tanah bukit yang lain
melupakan cinta
dan aku yang tak mengerti

sementara perigi tak bisa dipindahkan
ia akan tetap tinggal meskipun kota telah mati
membuatku terkurung di dasarnya
dan airmataku jadi mataairnya.

biblioholic, 03/09/05

--------

sajak mati lampu
Sajak Aan M Mansyur


empat tembok yang berdiri mengepung
seperti ditumpahi tinta atau cat hitam
lampu pijar matahari kecil itu,
yang lebih senang kau sebut bintang,
tak lagi kulihat bergantung di langit kamar

inilah yang kuminta di setiap doa
kamar gelap dan kau bisa kubayangkan
datang dan telentang di sisiku
mengeluhkan haidmu telat seminggu,
sedikit perih di sekitar payudaramu,
atau sekedar memintaku mengelus rambut
atau punggungmu.

inilah yang kutunggu di setiap malam
alam kelam dan aku bisa menangis
sambil mengulang-ulang namamu
tanpa seorangpun melihat airmataku

di saat yang sama, biar kutebak,
apa yang sedang kau lakukan,
kau menyalakan sebatang lilin
dan membaca ulang puisi
yang kuselip di saku jaket biru tuamu,
sesaat sebelum tangan kita saling melepas,
sambil sesekali menggigit bibir
dan mendongak menahan tangis

atau kau sedang khusyu meminta
agar lelampu segara kembali bercahaya
sebab kau tak mampu menahan kenangan
yang melayang-layang ingin membawamu pulang.

biblioholic, 03/09/05

-----

walau waktu telah jauh, juga kau
Sajak Aan M Mansyur


apa yang paling kau suka dariku?
pertanyaan itu paling sering kau ajukan.

meski sudah tahu jawabannya,
kau merajuk manja jika aku tak mengatakannya

: deretan gigimu, saat kau tersenyum!

lalu kau, dengan malu-malu, tersenyum,
dan setelahnya menawarkan ciuman,
jika kebetulan tak ada orang yang melihat,
sebagai semacam hadiah atau ucapan terima kasih

walau waktu telah jauh, juga kau,
rapat rapi geligi itu adalah penjara
dengan jeruji yang terlalu kuat bagi jemari
aku tak bisa meloloskan diri.

biblioholic, 03/09/05

-------

kepada yang telah beranjak
Sajak Aan M Mansyur


seperti kata buku-buku cinta murahan
satu perempuan datang,
dari rahim lelaki
beribu puisi dilahirkan

kau masuk ke ruang dadaku,
empat tahun lalu, meniupkan roh
pada satu penyair yang tertidur
di bawah nisan batu

lalu hidup mengandung kecemasan
membayangkan kembali mati
jika kau bergerak
memanjangkan jarak

tetapi, anehnya, kini
ada seribu penyair
dalam satu lelaki ini
tak henti menulis puisi
kepadamu yang telah beranjak.

biblioholic, 03/09/05

------
kamar mandi
Sajak Aan M Mansyur


baknya kering oleh kemarau,
pintunya, selalu seperti itu,
tak bisa tertutup penuh

dulu, di sana, setiap pagi
aku bernyanyi atau berpuisi
tentang perempuan bergeligi rapi

kini setiap masuk kamar mandi
aku ingin menangis, sedih,
perempuan itu telah pergi
aku jadi jarang mandi

jeneponto, 28/08/05

Friday, September 2, 2005

Doa Singkat di Ujung Rakaat

: Nurcholis Madjid

aku cuma jamaah masbuk, terlambat datang
sembahyang khusyuk, shaf paling belakang

Thursday, September 1, 2005

[Ruang Renung # 124] Kirimkan Puisimu pada Teman

UJUNG LÉRO
Sajak Jimpe

Ujung Lero, engkau mata
penjemput seluruh luka
sebelum sampai di pelabuhan,
bibir yang selalu membaca kedatangan-kedatangan

[Parepare, Agustus 2005]


KIRIMKAN puisi kita pada teman. Jimpe di Sulawesi mengirim puisi di atas untuk saya. Kami tak pernah bertemu muka. Tapi pertemanan ini begitu terasa.

YA, puisi bisa jadi pertanda pertemanan, atau pengingat pertemanan. Ia bisa jadi pemererat pertemanan. Apalagi kalau puisi itu memang kita tulis khusus untuk teman kita jauh nan di sana. Sebagai penanda bahwa kita mengingat dia.

BANYAK penyair yang menulis puisi seperti itu. Rumi menulis Matsnawi untuk sahabat paling karib yang meninggalkannya. Bukalah buku puisi milik seorang penyair, temukan puisi yang ia tulis untuk kerabatnya. Rasakan kedekatan yang bisa terasa dari puisi itu. Ukur kedekatan pertemanan mereka dari puisi itu.

BERAPA banyak teman yang kita punya? Sudahkan kita menulis puisi untuk teman-teman kita? Mereka tidak meminta. Tapi itulah alasan terbaik untuk menulis puisi untuk mereka. Seperti puisi, pertemanan akan terasa lebih indah jika kita melandasinya dengan keikhlasan.[]

Pintu Belakang

Sajak Ted Kooser

    Pintu yang kita lintasi ketika melangkah keluar
ke masa lalu, begitu mudah ditolak dan terbuka,
seringan udara, pintu berjaring kawat hijau
dengan pegas kendur menjuntai. Ada pengait
yang tak lagi terkaitkan, ada yang sudah
terjadi rupanya: ada yang lebih dahulu tiba
dari masa lalu dan mencuri sesuatu yang baik
dari masa kini. Kita tahu siapakah mereka.
Telah kita coba menggentarkan hatinya,
kita berpindah dari rumah ke rumah,
dari kota ke kota, tapi toh mereka menemukan
kita lagi, menemukan lagi. Kau lihat mereka
datang, terkadang dari jauh yang jauh --
seorang gadis yang molek, jejaka yang elok,
melangkah mendekat di gerbang taman belakang,
berjenak sejenak memetik kuntum-kuntum mawar.


THE BACK DOOR

    The door through which we step out
into the past is an easy push,
light as the air, a green screen door
with a sagging spring. There's a hook
to unhook first, for there have been
incidents: someone has come up
out of the past to steal something good
from the present. We know who they are.
We have tried to discourage them
by moving from house to house,
from city to city, but they find us
again and again. You see them coming
sometimes from a long ways off —
a pretty young woman, a handsome man,
stepping in through the back garden gate,
pausing to pick the few roses.

Hangat Jingga Senja Makin Samar

Aku ingat kau yang mencintai langit setelah selesai hujan.
"Seperti ada puisi menguap dari rumput, mohon dibacakan."

Pada pelangi sebentar, bisikmu gemetar, "langit usai hujan,
bisakah kau ajari aku menertibkan angan. Aku kedinginan."

Aku ingat kau yang seperti enggan mengunci jendela kamar,
sebelum kubacakan puisi, hangat jingga senja makin samar.

Wednesday, August 31, 2005

Ted Kooser: Baca 100 Puisi, Tulis 1 Puisi

T: Ketika menulis puisi, apakah Anda mempertimbangkan bagaimana bunyinya ketika kelak dilisankan? Apakah dibiarkan saja sampai puisi Anda selesai?

J: Ya, saya sangat memperhatikan itu. Saya baca setiap suku kata dan mempertimbangkan hubungannya satu sama lain. Bunyi sebuah kata sama pentingnya dengan arti kata itu.

T: Ketika Anda mengajar, apakah Anda mengharuskan murid-murid Anda membaca dan mempelajari sajak klasik atau sajak kontemporer?

J: Ya, saya mengajak mereka membaca puisi sebanyak-banyaknya, jenis apa saja, puisi lama ataupun puisi baru, sebanyak yang dapat mereka baca. Kita belajar dengan peniruan. Idealnya, murid-murid saya membaca seratus puisi untuk setiap satu puisi yang mereka coba tuliskan.

Sepanjang Jalan ke Kematian

aku abu tubuh yang sempurna terbakar,
pada suci sunyi, pada hitam tembikar.

kautaburkan pada tenang kenangan,
pada sepanjang jalan ke kematian.

Waktu itu tak ada, hanya misteria
melupa pada kita. Untuk Entah apa...

Friday, August 26, 2005

Laut dan Hujan Memandikan Aku
Sajak Hasan Aspahani


kau kira aku benar-benar bisa melupakan
hangat dadamu karena dingin hujan ini?

kau kira aku telah dapat menghapus asin
lidahmu di lidahku karena garam laut ini?

kau kira aku kini dapat membersihkan isi
kepalaku dari bau tubuhmu karena laut
dan hujan memandikanku dalam badai itu?

-----

Kapan Terakhir Aku Mandi di Laut?
Sajak Anggoro Saronto


tak dapat kuingat jelas, kapan terakhir aku mandi di laut

mungkin karena ingatanku tentang laut mulai mengabut

namun ada satu yang kuingat saat burung pecuk ular, melingkar
di bahumu yang landai

bukankah telah kutandai bahumu dengan peluhku?

seperti cemburuku pada butiran pasir di arsir bayang telingamu,

ah butiran pasir menyamarkan wajahmu, seperti sang waktu..


26 agustus 2005

------------

Tadi Pagi Aku Mandi Di Laut
Sajak Yono "Aljibsail" Wardito

pernah suatu hari aku memanggilmu
dan melayang diantara bau asin gelombang.

" lalu siapakah gerangan dia?
menghiraukan sepasang cadik menimpang
sambil sesekali merebahkan jala? "

engkau masih mengingatnya, mungkin
ketika aku begitu sibuk membuat lautku sendiri
atau sekedar menggambarkan wajahmu,
kubuat serupa bulan pagi di atas dermaga

memang tak ada pertunjukan buat kita
kecuali lekuk awan pucat di dinding mata
yang menapak jejak sendiri
dicengkuk sampan igauan nya

"sampai aku tak ingin sekali lagi
untuk beranjak dan memanggilmu "

lalu mengambil banyak kesempatan
untuk belajar memahami
sebuah perselisihan di dalam dadaku.
Pelayaran yang Tak Pernah Sampai
Sajak Hasan Aspahani


    Tetapi pelayaranku tak pernah sampai, kesana
setiap pulau yang tinggal sepenggapai, pasti
berlari menjauh bahkan lebih laju dari kapal
yang kukayuh.

    Di perut kapal memang ada gambar
dermaga, mungkin dulu nenek moyangku pernah
singgah di sana.

    Tetapi pelayaranku tak pernah sampai, padahal
aku ingin melihat ketiakmu ketika kau melambai,
padahal ingin kuceritakan betapa ketat ombak
kupeluk ketika rindu padamu menderu memuncak.

------

PELAYATAN KE TANJUNG ISUI
Sajak Yono "Aljibsail" Wardito

kali ini pelayaranku adalah sebuah pengulangan,
binar ombak menyeracah dimatamu
dan angin samudera menerbangkan bulubulu halus
lenganmu
kemari

geladak kecil dan tua,
sebuah tiang tak berbendera
selingkar kemudi merenta,
tak kukira seberapa tua nya aku
berdekap pada angkasa-angkasa
langit kelam, usang
terkadang memadamkan bulan

kali ini pelayaranku adalah sebuah pengulangan,
percikan cahaya,
terperangkap jemari lentikmu,sampai
tepat dilengkung samudera, pun

angin tak berpihak kepadaku
kecuali pada seutas kenangan,
masa lalu
tak kita miliki lagi

kali ini pelayaranku adalah sebuah pengulangan,
cuaca sore hangat terpendar,
nun jauh,
disana tatapmu
--bisu.
Jam Dinding Hadiah Darimu
Sajak Hasan Aspahani


hidup itu memang tak pernah murah, aku tak
pernah punya rumah, kecuali waktu yang marah

selalu marah, aku belajar untuk jadi sabar,
juga ketika kau memberi jam dinding kamar,
"supaya tidurmu didatangi mimpi besar!"

padahal aku tak punya rumah apalagi kamar,
maka kutitipkan saja hadiahmu itu pada
Pak Tua penjaga kamar rumah penitipan mayat,
aku percaya dia orang yang sangat tahu waktu.

"Aku mau pergi memancing. Ikan besarku pasti
sedang menunggu, entah di samudera mana itu.
Kalau mati kuburkan saja bersama batereinya,"
kataku berpesan. Singkat. Seperti wasiat.
"Di batu nisannya tuliskan kata-kata: di sini
terbaring pengembara tak pernah ke mana-mana..."

bertahun kemudian aku kembali. maksudku ingin
menziarahi kuburan jam hadiah darimu. Tapi
di rumah penitipan mayat itu detaknya masih
keras menumbuk dadaku. Jarumnya tajam, berputar makin
laju. Aku melihat ada bangkai ikan besarku
tertusuk di situ. O, ingin sekali aku....


Batam, 26 Agustus 2005


----------

JAM DINDING PADA DINDING DI DADAKU
Sajak Anggoro Saronto


jam dinding pada dinding di dadaku, telah lama mati

bukankah engkau adalah baterai yang dicuri waktu, energi itu habis
elakmu kala itu

dan waktu yang berhenti, membuat aku leluasa menjelajah hari

tak ada jam makan siang, atau saat rebah malam

tak ada rindu yang perlu kutunggu, atau kuragu

bukankah itu semu? ah, bukankah hidup itu kesemuan, karena

hanya ada satu kepastian dalam kehidupan, seperti kesabaran
tidak pernah berbatas, bagi mereka yang tahu. bagi mereka yang tahu.


26 agustus 2005

-------------

Jam Dinding di Kepalaku
Sajak Yono Aljibsail Wardito


Jam dinding itu masih menggelantung dikepalaku. Sebuah hadiah besar
tabulasi episode masa lalu.Tak kuingin tahu seberapa ingin engkau
mengetahui,Ketika aku disini, menjawab percarianmu; "Aku baik-baik
saja,Sayang. Dan sebuah kebinalan bermain ditelingaku!"

Kemudian hari itu juga aku melepaskan baterai dari dalam jam
dinding
itu,Jarumnya berhenti,namun detaknya masih kencang dikepalaku. Aku
bergegas melarikannya kepada seorang ahli perbaikan jam, lalu dia
menggantikannya dengan sebuah kail tua. Aku pikir dia sedang
bercanda;
sebuah hadiah besar ditukar dengan pemainan usang!

Tapi dia memberikan jawaban kepadaku; selayaknya aku terus bermain
saja, dan jam dinding itu tak perlu gelantungkan dikepalaku.

"Ternyata,jam dinding itu sudah bersarang di dalam otak sebelah
kiri kepalamu", katanya.

Sedalamdalam aku menghela nafas, hanya engkau yang kubisiki; jam
dinding itu masih kepalaku.

[Ruang Renung # 123] Patung Keramik & Tanah Liat

PUISI adalah patung keramik. Patung adalah benda yang proses pembuatannya sudah selesai. Tetapi patung yang baik tidak berhenti sebagai pajangan saja. Dia mengundang arus penafsiran yang tak habis-habisnya. Terus menerus. Tidak selesai. Dia bisa diletakkan di mana saja. Di jendela, di dapur, di ruang tidur, di kamar baca, atau bahkan di kamar mandi, tanpa harus berkurang kadar kepatungannya. Setelah menyelesaikan sebuah patung, seorang pematung boleh saja mencintai atau membenci patungnya. Dia tidak bisa melarang orang untuk menyukai atau membenci patungnya.

KEPENYAIRAN adalah tanah liat. Penyair harus menjaga agar tanah liat itu tetap liat, tetap bisa menggeliat dan mengundang tangan untuk menjamah, membentuk sesuatu, melahirkan patung keramik, tak habis-habisnya. Penyair harus menjaga agar tanah liat itu tidak dikotori, tercampur dengan pasir, lumpur dan batu kerikil. Tanah liat kepenyairan harus dijaga agar tidak jadi becek atau kering membatu.

Tuesday, August 23, 2005

Bejana Rapuh

Syair Jalaluddin Rumi

Matsnawi V; 1884-1920; 1959-64
Poetic version by Coleman Barks
"The Essential Rumi"
HarperSanFrancisco, 1995



Beri aku mulut senganga langit itu
agar bisa kusebutkan hakikat Dia Sesungguhnya,
bahasa yang seluas dendam rindu.

Bejana rapuh di dalam tubuhku sering kali pecah.
Pun ketika aku mabuk dan menghilang tiga hari
setiap bulan ketika purnama rembulan.

Untuk siapa saja yang mencintamu, hari-hari
selalu saja seperti hari tak kasat mata ini.

Aku kehilangan alur kisah yang kuceritakan.
Gajahku menjelajahi mimpinya lagi, di Hindustan.
Narasi, puisi, hancur, tubuhku,
sebuah kehilangan, sebuah kepulangan.

Sahabat, aku menyusut sehelai rambut mencoba menyebutkan kisahmu.
Maukah kau menceritakan kisah untukku?
Sudah kukarang banyak kisah kasih.
Kini aku ingin kisah rekaan.
Beri tahu aku!
Kebenaran adalah, kau bicara, bukan aku.
Akulah Sinai, dan engkaulah Musa yang melangkah.
Puisi ini adalah gema apa yang kau kata.
Sebentang pulau tak bisa bicara, tak tahu apa-apa!
Kalau pun ia bisa, ah alangkah terbatasnya.

Tubuh adalah sebuah perangkat menghitung
astronomi jiwa.
Lihatlah langit dengan astrolabium itu
dan jadilah penghuni samudera.

Kenapa percakapan ini mengacaukan pikiran?
Bukan salahku, bila aku meracau kalimat.
Kau juga bertingkah sama.
kau akuikah kegilaan-cintaku?

Katakan saja, ya!
Dalam bahasa apa kau ingin menyebutnya? Arab?
Ataukah Persia? Atau bahasa apa? Sekali lagi,
Aku mesti diikat ketat.
Bawa kemari temali ikal dari rambutmu.

Nah, kini aku ingat lagi kisah itu.
Manusia Sesungguhnya memandangi sepatu tua
dan jaket kulit domba. Setiap hari
dia naik ke loteng rumahnya dan melihat
sepatu kerja dan jubah lusuh.
Inilah kebijakannya, mengingat liat yang hakikat.
Dan tak meneguk mabuk ego dan kesombongan.

Melihat lagi pada sepatu koyak dan jubah lusuh
adalah doa, adalah ibadah.

Kerja Yang Maha Mutlak, adalah kerja tanpa apa-apa.
Bangsal dan bahan bakunya
adalah apa yang tidak ada.

Cobalah jadikan dirimu selembar kertas tanpa coret apa-apa.
Jadilah sebuah titik di bumi yang tak ditumbuhi apa-apa,
titik yang mungkin saja ada yang bisa ditanam di sana,
mungkin saja itu benih, dari Yang Maha Mutlak.

Thursday, August 18, 2005

Secangkir Kopi dan Eskrim Merahmuda

/1/

     "AKU turun di simpangan terakhir, nanti."
Mungkin saat itu telah ada senja. Kalau hujan,
ah, alangkah lengkapnya.
     Menghabiskan perjalanan dengan sekian
bait puisi. Untuk sekedar ia baca sendiri. Ada
penginapan tua. Kamar tanpa jendela. Dia tak
ingin sembunyi. Dia lelaki dengan hangat
secangkir kopi.
     Gambar di jendela, dikenangnya sebagai
sketsa, warna tua sepia. Anak-anak berlarian,
bermain bendera. Para pekerja merapikan dasi,
blazer dan rok tersetrika rapi di laundry. Masih
ada, bau asap bom rakitan. Juga noktah darah
di dinding kereta. Ulu senapan dan prajurit yang
lelah, minta diletakkan saja. "Selamat ulang tahun..."
tak bisa lagi ia teriakkan. Kecuali lirih bisikan.

/2/

     STASIUN itu tak ada. Tak punya nama. Tentu
tak ada pula dalam peta, bekal dalam ranselnya.
Tapi, ini kereta satu-satunya. Perjalanan satu-satunya.
Riuh napas, langkah gegas, segala dalam rentak mars.

     "Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya perempuan muda,
sejak tadi tak habis dikucupinya eskrim merah muda.
Lalu menawarkan diri sebagai teman perjalanan.
     "Ini cuma sentimentalia revolusia..."

     "Namaku, perlukah kusebutkan?"
     Toh, mereka nanti berpisah tanpa lambai tangan.
     "Kelak kau malah ingin namamu jauh kau
sembunyikan ke dalam bagian kenangan yang
harus dilupakan..."

     "Tuan, apa pendapatmu tentang Indonesia?"
     Pertanyaan itu tak dikutipnya dari tayangan
berita stasiun televisi swasta, siaran langsung
yang tak ada habisnya, Aceh hingga Papua.

     "Karena masih ada yang bertanya. Aku tetap
punya alasan untuk terus bersorak bergembira."

/3/

     KERETA itu terasa mempercepat laju. Angin
di luar terdengar seperti doa. Juga aba-aba. Lelaki
tua menjaga hangat secangkir kopinya dan
perempuan muda eskrim merah muda, masih ingin
bicara tentang negeri berusia 60 tahun, lebih lama.

Wednesday, August 17, 2005

Sonnet LXXXIX: Aku Ingin Tanganmu di Mataku

Sajak Pablo Neruda

Jika aku mati nanti, aku ingin tanganmu di mataku:
aku ingin cahaya dan kuning pucat tangan kasihmu
melalukan kesegeran sekali lagi ke tubuhku:
aku ingin merasakan kelembutan mengubah takdirku

aku ingin tetap hidup, menunggumu dalam terlelap.
aku ingin telingamu masih menyimak angin, aku berharap
kau mencium aroma laut yang dulu sama kita cintai
kau meneruskan, berjalan, di pasir yang kita lalui

aku ingin kau yang kucintai terus bernyawa
dan kau yang aku cinta bernyanyi untuk segalanya
memastikan semuanya baik terjaga, penuh berbunga:

maka kau mampu meraih seluruh cintaku menujumu,
maka bayangku bisa menelusuri panjang rambutmu,
maka segalanya bisa mengerti kenapa aku berlagu.

Sonnet XLVII: Menoleh Engkau Lagi di Cabang Itu

Sajak Pablo Neruda

kuingin menoleh engkau lagi di cabang-cabang itu,
engkau yang perlahan menjelma diri menjadi buah.
lihat, betapa mudahnya engkau bangkit dari akar itu,
menyanyikan lagu suku katamu: cairan getah.

inilah engkau, semula adalah kembang mewangi,
bertukar rupa dari bentuk buruk ke sebuah kecupan,
hingga matahari dan bumi, darah dan langit, mengisi
tubuhmu dengan janji keindahan dan kenikmatan.

Ada cabang-cabang dimana kukenali lagi rambutmu,
bayangmu begitu matang menantang, di dedaunan itu
membawa kelopak bunga semakin dekat ke rasa hausku.

rasa manismu pada mulutku kelak penuh mengisi
kecupan yang bangkit menjelma dari tubuh bumi
dengan darahmu, darah seorang pencinta buah ini.

Tuesday, August 16, 2005

Karena Dikaburkan Kelam Kabut



[Setelah menyimak Pink Floyd dan
sepotong sajak Subagio Sastrowardoyo]


dengung itu kukira jejak berlari kaki cahaya,
dikepung gelap kekal, sebelum waktu diberi nama

pelupuk mataku berkucupan dengan kabut, segala
mengabur, segala menghancur, segala melebur

aku menyalakan api pertama di bumi, tak ada
dengung itu lagi. Tinggal kabut, gelap, dan

waktu yang pincang berpegang pada matahari,
"tak ada lagi yang abadi, tak ada lagi.... "

Monday, August 15, 2005

Adakah Warna yang Memikatmu, Tuan?

(Ketika dan setelah mendengar
Any Colour You Like, Pink Floyd)



/1/

"Adakah warna yang memikatmu, Tuan?"
aku yang hendak mempersiapkan jawaban

Sungguhkah suara engkau itu bertanya?
Sepertinya baru saja kita memulai bicara....

/2/

gemuruh geram, tapi lalu serentak terdiam.

3 menit 24 detik dan sedetak patah jeram.
mengulang lagi, memulai pencarian jawaban

"Adakah warna yang memikatmu, Tuan?"

/3/

di derasarus itu, jejak waktu lalai kauhitung
warna yang dulu kau sebut dengan murung

di riuhudara itu, kelebat hewan & pertanyaan,
"Adakah warna yang memikatmu, Tuan?"

Ada Tombak Raksasa di Angkasa

[The Great Gig in The Sky, Pink Floyd,
saya kira ini semacam komposisi jerit]



/1/

sesungguhnya, Tuan,

siapa yang menjadi nelayan,
dalam ini permainan?

ada tombak raksasa di angkasa,
menikam di punggung malam...

kau kira waktu dan kegelapan ini akan tertahan, Tuan?

o alangkah panjang, o pekikan jeritan,
aku menunggu, subuh, o suara azan.

/2/

yakinkan aku, Tuan,

siapa yang menjadi perahu
dalam ini pelayaran?

memang ada semacam robekan kain layar

kibar kesakitan yang mencatat kesaksian
: penjelajahan ini telah menemukan korban

/3/

beri aku isyarat itu, Tuan,

bila telah sampai tujuan,
kita ingin bertukar peran, bukan?

Thursday, August 11, 2005

ada perasaan yang tak harus kita beri nama

: aan

ada perasaan yang tak harus kita
beri nama, ketika ruang dada sesak
bayangan, dia yang kemarin ada disana
lalu menjauh perlahan melambai tangan.

ada perasaan yang tak harus kita
beri nama, ketika pelupuk adalah
patahan sungai, dan gumpal air mata
terbendung, padahal di hulu hujan badai

Monday, August 8, 2005

[Ruang Renung 122] Mimpi Bahasa

SAYA mulai mengangguk pada apa yang disebut oleh penyair Amerika Adriene Rich (lahir 1929) bahwa puisi adalah mimpi bahasa. Katanya:

yang tinggal di ruang ini, tak seorang pun
yang tidak mempertentangkan putihnya dinding
di belakang puisi, papan penanda buku,
dan foto-foto pahlawan mangkat...
yang tidak merenungkan masa lalu dan kemudian
kebenaran alami dari puisi. Menghela
pada keterhubungan. Mimpi dari bahasa yang biasa...


DAN saya sadar anggukan itu berisiko. Tetapi paling tidak saya tidak perlu risau ketika berselang masa belum juga menuliskan sebait pun puisi. Bukankah kita tidak harus selalu bermimpi? Risikonya adalah kelak akan ada tuduhan bahwa penyair adalah seorang pemimpi belaka. Tetapi, apa salahnya sebuah mimpi? Apa salahnya memuliakan mimpi? Memuliakan puisi? Tanpa mimpi pun tidur sudah amat bermanfaat untuk menenteramkan. Tanpa puisimu bahasa tetaplah sebuah bahasa.

SAYA ingin selalu bermimpi,
tetapi saya bukan pemimpi.
Saya rindu mimpi,
karena itu saya menikmati
setiap tidur saya. [hah]

[Kata Pujangga] Filosof dan Bocah

RUH puisi adalah paduan antara kedalaman seorang filosof dan kegirangan bocah dalam gambar-gambar yang cemerlang.


Franz Grillparzer (1791–1872), Austrian author. Notebooks and Diaries (1837-1838).

[Kata Pujangga] Puisi Anak Gua

TAHUKAH Anda bagaimana sebuah puisi dimulakan? Saya selalu berpikir bahwa puisi dimulai ketika seorang anak dari gua kembali berlari ke gua, lewat padang rumput yang tinggi, berteriak ketika dia berlari, "serigala, serigala!", padahal sama sekali tak ada serigala. Induk semangnya yang biasanya sangat ngotot pada kebenaran, melindungi anak tersebut, tak ragu lagi. Nah seperti itulah puisi lahir, "cerita yang tinggi, lahir dari rumput yang tinggi."


Vladimir Nabokov (1899–1977), Russian-born U.S. novelist, poet. Strong Opinions, ch. 2 (1973)

[Kata Pujangga] Terus Mengada

SAYA tak melihat puisi sebagai sebuah karya yang tertutup. Saya merasa puisi terus-menerus mengada di kepala saya dan sesekali saya potong sekerat panjangnya.

John Ashbery, London Times (23 Aug 1984)

Thursday, August 4, 2005

[Kata Pujangga] Dari Shelley hingga Frost

PUISI menyibak tirai dari keindahan dunia yang tersembunyi, dan sebaliknya membuat obyek-obyek yang kita kenal seakan menjadi asing.

Percy Bysshe Shelley, A Defence of Poetry (1840).

PUISI adalah emosi yang ditata dalam bentuk terukur. Emosi musti bangkit secara alamiah. Ukurannya? Itu yang dicapai dengan seni.

Thomas Hardy The Later Years of Thomas Hardy, Florence Emily Hardy (1930).

SAYA tak pernah memulai puisi yang saya tahu bagaimana akhirnya. Menulis puisi adalah sebuah proses menemukan.

Robert Frost, New York Times (7 Nov. 1955)

[Kata Pujangga] Puisi yang Membakar

DAN ini tentang puisi, keberhasilannya bukan dicapai ketika ia meneduhkan atau memuaskan, tapi ketika ia membuat kita tercengang dan membakar kita dengan ikhtiar-ikhtiar baru setelah (kita menemukan) sesuatu yang taktercapai daripadanya.

Ralph Waldo Emerson (1803 - 1882), U.S. essais, penyair, filosof. "Love,", Essays, First Series (1841, repr. 1847).

[perniKAN] Banyak Alasan untuk Berbahagia

KALAU ada dua anak di rumah kecilmu, maka banyak sekali alasan untuk berbahagia. Seperti saya dan Yana. Saya mencatat beberapa di antaranya yang membuat kami merasakan itu:

1. Kalau mau pipis Ikra yang baru dua tahun dua bulan itu langsung memelorotkan celananya dan lari ke kamar mandi. Artinya disiplin yang kami ajarkan dijalankan dan mulai jadi kebiasaannya.

2. Kalau Ikra tak sempat lagi pipis di kamar mandi, maka dia segera mengambil lap untuk mengeringkan air pipisnya di lantai. Kadang memang harus diingatkan dulu. "Ikra, ambil lap.." Artinya, konsekuensi dari melanggar disiplin sudah bisa dia terima.

3. Lain lagi cerita Shiela. Kalau hari hujan lebat, atau adiknya sakit, dia jadi rajin sholat sunat. Entah sholat apa. Pokoknya katanya dia berdoa supaya rumah tida kebanjiran dan adiknya lekas pulih dari sakit. Artinya kami sudah bisa sejauh ini mendekatkan dia dengan Allah.

4. Ada satu anak tetangga teman TK Shiela yang tak tertampung di SD negeri juga swasta. Ada juga teman SD Shiela yang sudah berumur 9 tahun - dia memanggil Kak Endang - yang belum bisa membaca. Duh, rasanya kami merasa sudah mempersiapkan dia dan mengupayakan dia untuk mendapatkan hak atas pendidikan yang layak.

Wednesday, August 3, 2005

Angel

+ bidadari tak perlu sepasang sayap...
- bagaimana dia bisa terbang ke mimpimu?
+ bukankah dia cahaya tak terimbas gravitasi?

Monday, August 1, 2005

Negeri yang Penggal

: Dzan

kita memungut dua kepal tanah yang sama

aku mencium aroma rempah dan wangi darah
kapal-kapal datang menggambar peta sejarah

semula cuma singgah, lalu berabad lamanya
kita sabar belajar untuk menyimpan amarah

dan di tanganmu kau semaikan cerita serupa
kelak benih itu tumbuh jadi puisi yang kemas

aku membaca sebagai penafsir cacat yang gagap,
"ya, di tubuh kita selalu ada yang tak lengkap.."


Ramdzan Minhat
Re: [sejutaPUISI] Negeri yang Penggal

: hasan

demikian sejarah pernah buat kita bertemu
walau kini angin kencang, ombak ganas
memisah tanah sekilas seteru

kita sama-sama belajar
membeza wanginya rumpun serai dari rebung
membikin batu dari tanah liat jadi rumah.

tidak seindah istana pecah dari pasiran pantai

kita perkemas ungkapan yang sering tak terurai
lalu dua kepal tanah itu menjadi negeri yang satu

waktu itu kita bertemu
serasa kita memperlengkap hala tuju

[perNIKAN] Belahan Jiwa

Image hosted by Photobucket.com


Ikra Bhaktiananda


"Na, NuKLa, balik lagi namanya jadi KLa Project."
"Oh, ya? Kenapa sih dulu pakai NuKLa segala..."

***

PERCAKAPAN saya dan Yana siang itu melintaskan kenangan kami tentang KLa Project. Ya, kami memang KLanis. Kami mengoleksi semua kaset-kaset KLa. Kam memang peminat kelompok musik yang dibentuk oleh Katon, Lilo, Adi, dan Ari. Ari keluar sebelum terbit album ketiga. Lilo pun akhirnya mendirikan XOTC, dan menjadi produser, setelah sempat menyelingi album Lilo SOLO yang sama sekali tidak beraroma KLa.

"Katon terlalu dominan di KLa. Padahal menurut saya, banyak lagu-lagu KLa yang akan lebih bagus kalau dinyanyikan oleh Lilo."

***

Lagu yang paling melekat dalam ingatan kami adalah "Belahan Jiwa" di album "Pasir Putih". Itu album ketiga KLa Project. Membaca lagi surat-suratmu//hatiku jatuh rindu//Tak sadar pada langit kamarku//kulukis kau di situ//...

"Memangnya, belahan jiwamu itu seperti apa? Cewek idealmu itu seperti apa sih? " Yana akhirnya mengajukan juga pertanyaan berat itu. Saya tahu, sejak memulai mengikat janji, 17 Mei 1992, suatu saat dia akan bertanya seperti itu.

Jawaban saya? "Tidak ada. Cewek ideal saya itu adalah orang yang sama persis seperti saya. Suka kartun, suka puisi, cerdas (ehmmm :-), usil, iseng. Pokoknya persis seperti saya. Tanggal lahirnya juga sama. Bedanya, dia perempuan dan saya laki-laki."

"Sudah pernah ketemu orang seperti itu?"

"Nggak akan pernah. Dan nggak akan mencari. Karena saya yakin dia tidak ada."

Sejak itu, Yana tak pernah bertanya lagi tentang itu. Sampai saya ungkit lagi ketika Shiela lahir. Shiela sama sekali tidak mirip Yana. "Dia itu Hasan betina," kata Mama saya waktu kami bawa cucu pertamanya itu ke Handil Baru, Kaltim. Dalam banyak hal, Shiela itu mewarisi sifat-sifat saya.

"Ingat jawaban saya soal perempuan ideal?"

"Ya, kenapa?"

"Sekarang perempuan ideal itu kamu. Saya semakin menemukannya dalam dirimu. Karena darimu saya dapat seorang Shiela yang rasanya banyak sekali kemiripannya dengan saya. Bedanya dia seorang anak yang kelak pasti jadi perempuan yang cantik."

Thursday, July 28, 2005

Dongeng Koral Laut dan Pari Hantu

di dasar dada, jantung laut berdetak,
menghitung saat maut, gemetar ombak

mengukur pantai yang semakin jarak,
juga permukaan yang tak tertebak

"kau koral di palung laut," kataku.

"Ya, seberapa dalam kau berani menyelam,
menemukan aku sebagai kekal cahaya?" katamu.

padahal akulah pari hantu. mengibas sirip,
mendekap, dalam dengus gelap, berburu waktu:

liar birahi laut, kutemukan dalam tubuhmu.

Wednesday, July 27, 2005

[Ruang Renung # 121] Keharuan Puisi: Rumah Bertangga Lumut

BAGAIMANA membuat puisi yang ketika dibaca membangkitkan rasa haru? Itu pertanyaanmu. Pertanyaan saya: Kenapa keharuan bisa bangkit? Ya, kenapa sebuah peristiwa - bukan hanya puisi - bisa membuat orang yang menyaksikannya menjadi haru? Pasti karena ada sesuatu yang mengena, menyentuh atah bahkan 'nendang' pada peristiwa itu. Saya cukupkan nonsens ini sampai di sini, karena saya yakin penjelasan saja tidak akan mengena, tidak menyentuh dan tidak menendang.

PAKAI contoh saja agar tulisan ini lebih me... semua itu tadi. Saya bisa menjelaskan kenapa saya terharu ketika membaca sajak Lirisme Buah Apel yang Jatuh ke Bumi (Aslan Abidin), Pada Sebuah Panti: Interlude (Goenawan Mohamad), Dalam Doaku (Sapardi Djoko Damono), atau Rumah Bertangga Lumut.

SAJAK yang terakhir itu bahkan saya lupa siapa penyair yang menggubahnya. Saya juga tidak hapal bait-baitnya. Keharuan yang timbul dalam diri saya ketika pertama kali membacanya dan ketika terus mengulang-ulang membacanya masih terasa sampai saat ini. Saya membaca sajak itu di Majalah Horison lebih dari sepuluh tahun lalu. Sajak itu berkisah --- ah, ini istilah yang salah, sajak sebenarnya bukan sekadar sebuah kisah, kan? --- tentang seorang 'aku' yang mengibaratkan 'kau' sebagai rumah. 'Aku' ingin pulang setelah sekian lama pergi. Tapi 'kau' adalah rumah yang bertangga lumut. Licin, dan membuat si 'aku' gamang menjejak. Karena pasti tergelincir jatuh.

KISAH yang biasa saja, bukan? Tapi karena saya yakin puisi itu ditulis berdasarkan "peristiwa rasa" dan dengan mengerahkan seluruh perasaan maka yang tersentuh juga adalah perasaan saya. Saya terharu. Keharuan yang panjang. Rasa haru itu yang justru terus bertahan, meskipun sajaknya sendiri detailnya saya tak bisa mempertahankan dalam ingatan.[hah]

NB: Siapa yang bisa mencarikan sajak Rumah Bertangga Lumut itu? Kira-kira terbit di Horison ketika majalah itu berkonflik dan sempat ganti pengelola. Mohon maaf untuk si penyair yang tak bisa saya ingat namanya dengan pantas.

Monday, July 25, 2005

[Ruang Renung # 120] Puisi, Lirik Lagu, Musik Tanpa Lirik, Sajak Berbunyi

Samakah lirik lagu dengan puisi? Maksudnya apa lirik adalah puisi yang di lantunkan dengan irama? Bagaimana caranya bikin puisi yang kalau dibaca terasa haru?

SAYA tidak pernah bikin lagu. Tapi bisa membayangkan kerepotan seorang penggubah lagu ketika membuat lirik untuk lagunya. Saya tidak tahu apa yang lebih dahulu ditulis: irama atau liriknya. Kalau iramanya lebih dahulu, maka lirik yang harus 'mengalah'. Pilihan kata jadi terbatas sekali. Panjang pendek kalimat harus pas dengan jumlah nada. Tema juga jadi terbatas. Saya kira tidak akan cocok irama mendayu-dayu manis ala Yovie Widianto diberi lirik dengan tema dan pilihan kata seenaknya a la Slank.

SAYA penulis puisi. Kerepotan-kerepotan di atas tidak saya alami.

TETAPI ada puisi-puisi yang dinyanyikan. Seperti yang dilakukan oleh kelompok Dua Ibu. Itu pun khusus puisi Sapardai Djoko Damono. Kerepotan di alinea pertama tulisan ini di balik. Irama yang mencocokkan diri dengan syair. Swami juga menyanyikan beberapa sajak Rendra. Bimbo menyanyikan beberapa sajak Taufik Ismail.

JADI apakah lirik lagu itu puisi yang dinyanyikan? Tidak semua lirik lagu adalah puisi. Tidak semua puisi bisa dinyanyikan. Tetapi, ya alangkah berdayanya sebuah puisi apabila dia bisa menjelma jadi sebuah lagu yang indah. Saya membayangkan suatu saat puisi saya ada yang menjadi lirik lagu.

EBIET G Ade, dalam sampul kaset Camellia I mengaku tidak mau disebut penyanyi. "Saya punya cita-cita untuk sukses sebagai Penyair yang senang musik dan nyanyi," katanya. Kalimat itu bertahun-tahun, setelah beralbum-album berlalu diralat sendiri olehnya. Ebiet menerima saja sebutan penyanyi, karena bagaimana pun dia kan memang menyanyi, katanya. Jadi, dia penyanyi atau penyair? Bagi Taufik Ismail Ebiet adalah penyair. Saya menikmati syair-syair Ebiet yang dinyanyikan itu, lebih nikmat rasanya dibandingkan dengan kalau hanya membacanya saja. Tapi saya tidak pernah membayangkan ingin menikmat sajak-sajak Goenawan Mohammad lewat lagu.

SEPERTI halnya juga saya tidak pernah ingin membayangkan ada lirik untuk komposisi simponi-simponinya Beethoven atau lagu-lagunya Kenny G. Biarlah dia utuh sebagai sebuah lagu yang sampai kepada saya tanpa harus ada lirik yang terikut di sana. Dari Goenawan Mohammad saya belajar tentang sajak yang kaya bunyi. Saya lagi belajar masih segan membagi apa yang saya dapat dari pelajaran itu. :-)

SEMOGA tambah bingung, Wahai kau yang bertanya. :-) Bob Dylan bilang, apa yang bisa dilagukan oleh dia, maka disebutnya lagu, apa yang tidak bisa dinyanyikan dia sebut saja puisi. Mau setuju dengan dia? Terserah. Saya tidak.[hah]

NB: Pertanyaan terakhir masih jadi PR buat saya, Ryan. Sabar, ya.

Sunday, July 24, 2005

[pernikAN] Aku Gemuk Lagi!

JAM kerja yang berubah membuat saya tak bisa mengontrol lemak. Dari rumah berangkat jam 15.00 WIB. Makan siang dulu. Di kantor, jam 6 lewat makan lagi. Ini makan diplomatis. Soalnya reporter dan redaktur pesan nasi sama-sama dan makan sama-sama pula. Kesempatan untuk mendengarkan keluhan dan cerita seru mereka saat meliput. Pulang ke rumah pukul 01.00, lapar tak bisa ditahan. Makan lagi. Alhasil, seluruh lemak tak ada semiligram pun yang terbakar jadi energi.

DUA celana tiba-tiba bulan ini sesak. Waktu Ikra sakit semalam, di klinik saya sempat naik ke timbangan. "76!" kata Shiela. Wow. Ini rekor sekaligus ancaman. Saya sekarang merasa sangat lamban. Perut sesak tak dapat menolak lemak dan itu, "Jelek banget," kata Yana. "Abah hamil, ya?" tanya Shiela. Kalau bukan dia yang bertanya, pasti itu sebuah ledekan.

TADI siang saya kepikir beli sepeda. Bersepeda ke kantor bisa membuang alasan tidak ada waktu berolahraga. Kantor tak terlalu jauh, tapi ya tak terlalu dekat. Secara mental saya siap saja kalau di lampu merah ketemu dengan siapa pun. Tapi, Yana meragukan niat ini. Soalnya di belakang rumah ada satu sepeda loakan yang tak sempat dipakai kemana-mana.

WAKTU menulis ini saya teriakkan lagu BIP ketika vokalisnya masih Irang. "Aaaaaku gemuk lagi!"

Saturday, July 23, 2005

[Ruang Renung # 119] Penumpang Gelap dalam Puisi

KADANG-KADANG ada penumpang gelap dalam puisi kita. Namanya juga penumpang gelap, kita tidak tahu kapan dia naik ke perahu puisi kita. Kita juga tidak tahu bahwa dia ada, sejak kita mulai menulis, menyelesaikan, lalu menyimpannya. Kita tidak kenal dia. Mungkin nanti ada pembaca yang memberi tahu kita ihwal keberadaan penumpang gelap itu. Biarkan saja. Malah lebih baik kalau kita bisa membangun banyak ruang gelap dalam puisi kita, agar para penumpang gelap itu semakin banyak menyelinap.

SAYA sering bertemu si penumpang gelap itu setelah membaca kembali puisi-puisi yang sudah saya tuliskan. Itulah justru yang membuat puisi itu jadi asyik untuk dibaca kembali. Saya juga banyak bertemu beberapa penumpang gelap pada puisi-puisi lain yang saya sukai.

SIAPAKAH penumpang gelap itu? Ssst, dia bahkan dalam tulisan ini pun sang penumpang gelap adalah penumpang gelap. Saya juga tidak kenal dia. Saya tak punya alasan untuk bertanya apakah dia punya tiket atau tidak.[hah]

Wednesday, July 20, 2005

Tips: 3 Langkah Mudah Memahami Maut

1. Kita adalah burung-burung terbang,
hinggap di nasib cabang ke cabang.

2. Dunia & hidup adalah pohon rindang,
di teduhnya malaikat kecil bermain riang.

3. Ada yang iseng mengokang senapang,
lalu, beberapa lembar bulu melayang.

Tuesday, July 19, 2005

SAYA datang ke sini untuk berbicara tentang puisi. Puisi yang akan selalu ada di rumput. Penting untuk berlutut mendengarkannya, mendengarkan puisi itu. Dan juga terlalu sederhana untuk didiskusikan dalam sebuah pertemuan.

Boris Pasternak

Monday, July 18, 2005

[Ruang Renung # 118] Memberi Sesuatu pada Sebuah Peristiwa Kecil

PUISI, kadang hadir dalam sebuah peristiwa. Peristiwa itu harus istimewa. Tapi, tak harus dramatis. Bisa saja hanya sebuah peristiwa kecil, sebuah peristiwa yang biasa saja dalam penglihatan mata yang bukan mata penyair. Penyair harus menangkap keistimewaan itu. Dialah yang kadang harus membuatnya menjadi istimewa. Tanpa mengubah peristiwa itu. Hanya menambahkan sesuatu. Ya, menambahkan sesuatu tanpa merusak keutuhan peristiwa kecil itu. Makin banyak 'sesuatu' yang bisa kita tambahkan, makin bagus sajak yang tercipta dari peristiwa kecil tadi.

PERISTIWA kecil? Ya. Misalnya? Banyak. Sebagian sudah menjadi puisi di tangan penyair. Daun jatuh, gemericik air, detak detik jam, saat nyala korek menuju ujung rokok, coretan pada kartu nama, duduk di resotan cepat saji menyantap ayam goreng, memasang kancing baju yang copot, sehelai rambut yang tertinggal di kancing baju, aliran air di selokan, bunga layu gugur mahkota, burung hinggap di sebatang bunga di pot, hembus angin di spanduk, suara klakson mobil di pagi hari, kaus kaki, suara mikropon, gemerisik televisi yang tak dimatikan setelah habis jam siaran, suara gelombang, seprei yang kusut, kabut pada jendela kaca, onggokan sepasang sepatu.

[Renung # 115] Imajinasi Wawancara dengan Subagio Sastrowardoyo

TANYA: Bagaimana Anda melayani ketika ilham puisi datang dan bagaimana Anda mencari kata yang pas untuk memuisikan ilham itu?

JAWAB: Ketika saya mendapat ilham kata-kata dengan sendirinya menetes dari batin saya dan menyusun sendiri menjadi sajak. Kerap kali saya merasa seperti mabuk kata-kata, dan pedoman yang saya pakai dalam menguasai desakan aliran kata-kata itu adalah irama yang melekat padanya.

TANYA: Anda mempedulikan pembaca puisi Anda?
JAWAB: Ketika menerima luapan ilham saya tidak amat peduli adakah apa yang saya katakan di dalam sajak dapat dimengerti oleh pembaca ataupun dapat diterima oleh ukuran, aturan atau teori-teori sastra yang ada. Saya hanya percaya dan yakin akan kejernihan dan kesetian bayangan batin saya dan menyatakannya dalam sajak, Acapkali sajak-sajak saya, saya rasa sebagai monolog, bicaca sendiri, yang tercatat dalam tulisan pada saat kecerahan dan keheningan jiwa. Bayangan-bayangan batin timbul hanya selama sekilas-sekilas, maka harus ditangkap dengan cepat dan dikekalkan dalam tulisan sebelum terlepas dan hilang dari ingatan.

TANYA: Lalu bagaimana makna bisa mengisi ke dalam sajak jika bayangan itu hanya timbul sekilas?

JAWAB: Sajak tercipta pada saat-saat estetis atau saat-saat puitis yang sekilas-sekilas, dan pada saat itulah berkilat bayangan-bayangan batin. Pada saat-saat puitis itu juga segala sesuatu memperjelas pertaliannya yang asasi dengan tugas-tugas serta makna-makna yang pokok. Pertalian-pertalian itu tertangkap dengan sekaligus secara intutitif dan dengan itu imagery atau gatra, yang merupakan unsur yang inti pada bangunan sajak, menjelma dalam batin.

[Jawaban Subagio dalam imajinasi wawancara di atas dipetik dari buku Keroncong Motinggo, Dua Kumpulan Sajak, Balai Pustaka, 1992]