Thursday, August 31, 2006

[Tadarus Puisi # 5] Tentang Sajak, Penyair dan Dua Sajak Sitok

APAKAH sajak? Sajak adalah apa yang diunggun-timbun jadi rumah. Kata Chairil Anwar, "Kaca jernih dari luar segala tampak." Bagi Subagio Sastrowardoyo, sajak adalah apa yang lahir setelah 'malam yang hamil oleh benihku. Adalah bayi yang dicampakkan ke lantai bumi. Sajak seperti anak haram tanpa ibu membawa dosa pertama di keningnya.

APA guna sajak? Mengingatkan kepada kisah dan keabadian. Melupakan kepada pisau dan tali. Melupakan kepada bunuh diri, kata Subagio Sastrowardoyo. Dan, "Kalau aku mampus, tangisku yang menyeruak dari hati akan terdengar abadi dalam sajakku yang tak pernah mati," katanya dalam sajak lain. Sajak bagi Chairil adalah alamat kemana ia menuju setelah lari dari gedong lebar halaman, dan ketika tersesat tak dapat jalan.

SAJAK bagi Goenawan Mohamad adalah catatan kita bagi dingin yang tak tercatat pada termometer. Ketika kota basah, angin mengusir kita di sepanjang sungai tapi kita tetap saja di sana. Mengamati, mencatat. Seakan gerimis raib dan kita saksikan cahaya berenang mempermainkan warna. Sajak adalah ketika kita merasakan bahagia meski tak tahu kenapa.

TEMA tentang sajak, baik tersurat guratnya dalam sajak atau hanya tersirat seratnya, atau bahkan cuma bisa kita tafsirkan saja salah satunya sebagai sajak tentang sajak, hampir selalu ada ditulis oleh setiap penyair. Mungkin ini sebagai wujud kekariban. Atau persembahan untuk sajak itu sendiri. Chairil, Subagio dan Goenawan yang kita jejaki sajaknya di atas hanyalah sebagian contoh. Cobalah jejaki sajak para penyair lain.

KETIKA menggubah sajak tentang sajak, yang terangkut sebenarnya bukan hanya sajak. Tapi juga hidup yang dihayati oleh penyair. Ya, sajak adalah kehidupan. Keduanya sangat dekat. Keduanya saling ada di dalam keduanya: sajak ada dalam kehidupan dan kehidupan ada dalam sajak. Sajak adalah alat yang bisa sangat bermanfaat untuk merumuskan rumit dan samarnya kehidupan.

SITOK Srengenge, pasti bukan kebetulan jika ia menempatkan dua sajak berikut ini di urutan pertama dan kedua dalam buku berisi 45 sajaknya "Anak Jadah" (Garba Budaya dan KITLV, Cetakan Pertama, November 2000). Dua sajak ini juga menerjemahkan apa peran sajak dan penyair bagi hidupnya dan kehidupan manusia. Sebenarnya selalu ada yang puisi dalam segala sesuatu yang bukan puisi. Dan peran luhur kepenyairan bisa dijalankan oleh siapa saja yang bukan penyair. Sebaliknya penyair yang mengaku paling penyair pun bisa saja menempuh jalan lenceng: keluar dari jalur luhurnya, tak lagi menjadi dan menjadikan rahasia dalam kata, tak lagi menjelma dan menjelmakan tanda atas fana.

Sitok Srengenge
KATA PUISI

                   Layang-layang limbung dalam angin
dan angin lalu lalai dalam angan,
                  barangkali abadi dalam puisi
Tapi puisi bukan limbung layang-layang,
                  bukan angan lalai atau angin lalu
Puisi leluasa hinggap atau terbang,
                  kata-kata punya sayap dan pijakan

                  Gamang di kegelapan, tergenang bayang-bayang
dan bayang-bayang menjadi halusinasi,
                  mungkin imaji dalam puisi
Tapi puisi bukan kegelapan,
                  bukan remang bayang-bayang
Puisi bisa samar atau benderang,
                  kata-kata punya mata dan cahaya

                   Batu-batu beku berlumut
dan lumut lumat dalam mulut berkabut,
                   boleh jadi inspirasi bagi puisi
Tapi puisi tak bisu karena takut,
                   tak kabur ketika kalbu kalut
Puisi berani nyanyi atau marah,
                   kata-kata punya nyali, urat dan darah.

                   1986



Sitok Srengenge
SOLILOKUI PENYAIR

                   ke mana kau mengungsi
jika rumah ini tak lagi bisa dihuni

                   Pergi membawa diri
sadar sudah tak ada rumah bikin betah penyair resah

                   Di mana kau singgah
jika tubuh ini tak lagi mampu melangkah

                   Samadi di sunyi puisi
menjadi rahasia dalam kata, menjelma tanda atas fana

                   Ke mana kau bergulir
jika di tanah tempatmu lahir kau dicibir, diusir

                   Takdir penyair tegak di pinggir:
batas laut dan daratan, di mana rindu akhir berdesir


                   1986

Wednesday, August 30, 2006

Segera: Sitok Srengenge!




PERMINTAAN wawancara dengan Sitok Srengenge saya sampaikan lewat SMS. "Kirim lewat email saja," balasnya. Lalu saya kirim enam pertanyaan di bawah ini. Apa jawaban dia? "Tadinya saya akan bercanda dengan meminta Anda bertanya kepada para dosen sastra. Tapi, rupanya, pertanyaan anda memang langsung berkaitan dengan diri saya. Saya akan menjawab semua pertanyaan itu, namun tidak sekarang. Segeralah."

INI pertanyaannya dan mari kita tunggu jawabannya.

1. Puisi Anda "Libido Sangkuriang" diakhiri dengan bait "puisi/di dalam diri/tak seutuhnya/tertampung kata". Saya boleh anggap ini sebagai isyarat atau nasihat, bahwa dalam diri Anda, atau penyair mana saja, atau siapa saja yang merawat "libido Sangkuriang", tersimpan puisi yang lebih dari puisi, yang tak pernah tuntas dipuisikan dengan kata?

2. Dalam puisi-puisi Anda, Anda tampak sangat menikmati permainan bunyi. Anda juga asyik sekali menata tipografi. Pokoknya, semua perangkat sepertinya begitu mahir Anda berdayakan. Apa lagi yang menjadi tantangan Anda ketika menuliskan puisi?

3. Anda tentu tidak terbebani dengan dorongan Sutardji yang bilang tentang Anda, "...ada harapan menjadi penyair besar", kan? Sajak Anda kata beliau telah menemukan kepribadiannya. Sejumlah nama besar lain pun menaruh harapan pada kepenyairan Anda. Anda lebih menganggap itu sebagai hasil atau hak atas kerja menyair Anda selama ini? Atau utang yang harus Anda bayar terus menerus?

4. Dalam puisi "Mosaik Jalan Raya" Anda ada menyebut "penyair melelang puisi", dan "Dan kemanusiaan/jadi kata antik dalam manuskrip sastra yang tak dibaca". Seberapa cemas Anda dengan gejala itu?

5. Anda nyaman dengan kritik yang sudah dibuat atas puisi-puisi dan kepenyairan Anda? Seberapa berpengaruh kritik terhadap puisi-puisi Anda?

6. Terakhir, bisa cerita bagaimana awalnya Anda mengenal puisi? Lalu mencintainya dengan menuliskannya hingga kini? Dan apa artinya menyandang sebutan penyair di negeri Indonesia saat ini? Dan, ini pertanyaan paling merisaukan, menurut Anda, puisi yang baik itu seperti apa atau harus bagaimana?

Tuesday, August 29, 2006

Kisah Kota Darah

TAK pernah ada lagi peta, yang bisa membaca tubuh kota.

SEMUA jalan berubah belokan dan berganti nama setiap kali
ada sekelompok orang bersenjata melintas dan menandai
tiap simpang dengan tombak berhulu tulang dan tengkorak.

TAK ada rambu-rambu, hanya plang kosong berbekas peluru
dan spanduk panjang yang tiap hari seperti dicelup ke darah,
dengan itulah kota ini mendapatkan namanya: Kota Darah.

SAUDAGAR di pasar berbohong soal harga dan asal daging, sebab
pembelanja pun lihai menyulap angka nol di lembaran uang.

DULU pernah ada perang. 24 jam ada yang menabuh gendang.

KINI penduduk belajar berhenti, memasang lagi hati sendiri.

SEMUA kepala telah diserahkan ke Komite Peredam Sengketa
lalu disimpan di Museum Negara, bersama patung para presiden
yang tak lagi diingat namanya. Nanti semua akan dikembalikan
kalau warga kota tahu bagaimana memantaskan otak, dan
faham apa rasanya jadi manusia yang kehilangan muka.

KINI penduduk membiasakan diri berpeluk dan berjabat erat
saling menyentuhkan luka dan menyimak darah berbicara apa
dengan bahasa rasa, saling mengabarkan sakit yang sama.

TAPI, eh masih saja ada sekelompok orang berkepala dua
memberi tanda dengan tombak berhulu tulang dan tengkorak.

Monday, August 28, 2006

Kisah Kota Mimpi

ADA Dinas Permimpian di kota kami: Kota Mimpi.

ADA biro jasa yang menawarkan paket impian. Pesan
saja mimpi instan: jadi manusia penuh kebahagiaan.
Ini mimpi yang paling laris, sepanjang zaman. Para
pelancong pulang bawa oleh-oleh sarimimpi, dalam
botol-botol kemasan, cukup untuk persediaan sampai
mereka datang lagi berwisata melupakan diri ke kota
kami. Kota Mimpi.

SAYA dulu musafir dari kota yang masih terus kulupakan.

DI kota ini semula saya tersesat, tapi lama kelamaan
saya keenakan. Di negeri asal saya miskin, di kota
ini saya kaya: kayamimpi. Di negeri brengsek dulu
saya lajang, di sini saya punya istri paling setia:
istrimimpi. Di negeri kacau dulu saya gelandangan,
di kota ini saya punya rumah: rumahmimpi. Di negeri
nyata dulu ada rambu dilarang bermimpi, di sini
di gerbang kota saya disambut papan imbauan: Selamat
Datang di Kota Mimpi, Anda Memasuki Daerah Bebas
Bermimpi. Oh ya, Anda tak mahir bermimpi? Jangan
takut, ada pegawai kota yang siap mengajari Anda.
Dijamin mimpi Anda tuntas tanpa gangguan terjaga.

YANG paling dicemaskan di sini hanya: Anjing Penjaga!

Sunday, August 27, 2006

Kisah Kota Hujan

POHON-POHON tua, masihkah ia menjaga kota? Masihkah
mengukur musim dan dingin dengan termometer batangnya?

HUJAN telah lama akrab dengan terminal dan angkutan kota.
Para penumpang menempuh perjalanan semalaman. Datang,
dengan ransel, selembar baju, buku, dan bekal sewa kamar
sebulan. Menetap sekejap, hanya untuk sempat bersahabat
dengan bocah pengasong payung. Terlalu banyak pohon tua.

Tangan-tangan yang menanamnya telah keriput dan pergi
bersama usia. Mungkin ada jawaban di perpustakaan balai-balai
penelitian. Tapi, hujan selebat hutan khayalan seharian. Bocah
pengasong payung meringkuk ketiduran, di emperan pusat
perbelanjaan. Bermimpi tentang asrama mahasiswa, ruang kuliah
dan laboratorium kimia, botani, fisika, fisiologi di kampus tua.

POHON-POHON tua, masihkah diam-diam berdoa? Masihkah
menunggu hujan-hujan yang dulu dibisikkan para penanamnya?

OH, itu bayang-bayang mahasiswa dengan jas kerja, meletakkan
cawan di tepi jalan? Menebak apa yang terjebak: spora jamur atau
bakteri? Oh, bukan. Itu rombongan pelancong berburu jajanan!
Bocah pengasong payung tertawa pada rapat hujan. Di jalanan.
Memadatkan jarak dan serak kendaraan. Mencabuti anak rambut
di kening kenangan. Gagang payung-payung gelap disorongkan.

Friday, August 25, 2006

[Ruang Renung # 164] Bicara Biasa, Bicara Puisi

BERPUISI itu adalah berbahasa. Puisi itu adalah bicara kita. Berbicara dengan puisi berbeda dengan berbicara biasa. Puisi bukanlah bicara yang tidak komunikatif. Memang lebih mudah memahami bicara biasa dibandingkan bicara puisi. Bicara biasa tujuannya cuma satu: ia harus dimaknai tunggal, penyimak isi pembicaraan hanya berusaha menerima satu-satunya makna atau pesan dari si pembicara. Jika itu tidak terjadi maka komunikasi gagal.

PUISI tidak begitu. Kata A Teeuw, puisi menjadikan hal yang sederhana menjadi aneh, yang mudah dipahami dirumuskan secara berliku-liku, sehingga mengejutkan, malahan bahkan bisa mengelirukan. Tetapi justru keanehan itu menjadikan puisi mengesankan, sukar dilupakan, terpatri dalam ingatan.

AKAN tetapi bukan berarti puisi harus dirumit-rumitkan, diruwet-ruwetkan agar ia susah dipahami. Pengaturan bicara puisi diupayakan agar pemaknaannya bisa kaya, tidak tunggal. Mungkin hanya ada satu makna pokok seperti dalam bicara biasa, tapi yang pokok itu pun memberikan banyak variasi cara memaknainya.

SI penyimak bicara puisi menemukan kenikmatan dari seluruh sisi bahasa puisi itu. Puisi tidak menuntut kepraktisan komunikasi. Puisi memberi kesempatan pada pengguna bahasa untuk bermain-main lagi dengan kata, membangkitkan lagi kenakalan bahasa, bertamasya ke dalam ruang-ruang bahasa yang jarang dikunjungi dalam kesibukan berbahasa kita sehari-hari.



Sejarah Ringkas Imajisme

GERAKAN Imajis melibatkan para penyair di Inggris dan Amerika pada awal Abad ke-20. Mereka menulis sajak bebas dan mempersembahkannya untuk "kejernihan ekspresi melalui pemakaian ketepatan imaji-imaji visual."

GERAKAN ini disemikan dari ide T.E. Hulme, yang di awal tahun 1908 membahas pada sebuah Klub Puisi di London sebuah puisi yang ditulis berdasarkan penggambaran dengan akurat subyek setepat-tepatnya, tak ada kata-kata berlebihan yang tak berguna. Ezra Pound memproklamasikan gerakan ini pada tahun 1912. Kala itu dia membaca sebuah sajak Hilda Doolittle, dan menyebutnya sebagai "H.D. Imagiste" lalu mengirimnya ke Harriet Monroe di Majalah Poetry.

RUKUN iman pertama dari manifesto gerakan Imajis adalah "Menggunakan bahasa dari percakapan yang umum, tapi selalu memberdayakan kata yang setepatnya kata, bukan kata yang hampir-tepat, bukan kata-kata dekoratif belaka."

CONTOH yang kerap disebut adalah puisi Ezra Pound berikut ini:

Di Stasiun Metro

Di kerumun orang, wajah-wajah menyelinap hilang;
Basah kelopak kembang, di hitam cabang-cabang.


Sajak ini dimulai dari wajah-wajah pemandangan di statiun bawah tanah yang gelap lalu lalu membawa pada pandangan lain dengan menyejajarkan dengan imaji yang lain. Dari situ hadir metafora yang membangkitkan penemuan intutitif yang tajam untuk meraih esensi kehidupan.

EZRA Pound mendefinisikan imaji sebagai "apa yang padanya, dalam waktu sekilas seketika, menghadirkan sebuah kompleksitas emosi dan intelektual". Puisi Imajis, dirumuskannya antara lain sebagai: Puisi dengan memperlakukan langsung "sesuatu", sebagai subyek atau obyek; dan Mutlakiah menggunakan, tak satupun kata yang tak memberikan sumbangan makna.

ANTOLOGI puisi Imajis terbit 1914 berisi karya-karya William Carlos Williams, Richard Aldington, dan James Joyce, serta H.D. dan Pound. Penyair Imajis lainnya adalah F. S. Flint, D. H. Lawrence, dan John Gould Fletcher. Setelah antologi itu terbit, Amy Lowell dipandang sebagai pemimpin gerakan tersebut. Tahun 1917 gerakan imajis dianggap sudah berakhir tetapi idenya terus memberi pengaruh menembus abad 20. Dokrtin puisi imajis, sadar atau tidak banyak mempengaruhi puisi-puisi karya penyair Indonesia.


[Ruang Renung # 163] Juru Bicara Puisi

BOLEHKAH penyair menjadi juru bicara puisinya sendiri? Bolehkah penyair membantu penikmat puisinya dengan menjelas-jelaskan hal iwal puisinya? Eh, bukankah katanya, penyair telah mati setelah melahirkan karyanya? Artinya karyanya itu bukan lagi dalam asuhannya? Artinya penikmat punya hak sepenuhnya untuk berbuat apa saja untuk memberi harga atau memberi makna pada puisi-puisinya?

MESTINYA penyair adalah juru bicara terbaik bagi puisi-puisinya. Dia boleh menuntun penikmat puisinya jalan-jalan ke arah pemaknaan, tetapi dia tidak mengantar ke satu-satunya makna. Tetapi dia bukan juru bicara yang nyinyir merepek. Dia bicara seperlunya saja. Kalau diam saja sudah cukup sebagai isyarat, kenapa harus banyak bicara? Penyair bukan juru bicara yang hanya memanfaatkan puisinya untuk menyampaikan urusan-urusan yang bukan puisi. Dan, yang terpenting penyair tidak menjadi juru bicara bagi puisinya di dalam puisinya.

Tuesday, August 22, 2006

Kisah Kota Lumpur

MAKA lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.

ADA pesan dari gelap lambung bumi yang ingin ia
sampaikan pada terang langit dan matahari. "Kalian tak
akan mengerti. Kalian tak akan mengerti," begitulah
dari sumur itu uap mendengus, seperti ribuan jemaah
haus, setelah berabad-abad berzikir terus-menerus.

MAKA lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang.

SEMULA ada yang mengira mereka memilih jadi ikan,
memasang semacam insang di leher dan sejak itu
menjadi bisu. Tapi telah ada hiu besar yang diam-diam
mengancam di dasar lumpur. Tak ada sekeping pun
sisa sisik dan seruas pun bekas tulang. Lalu sejak itu
muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang
recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.

MAKA lumpur pun dialirkan ke lautan. Tanpa pelabuhan.

ADA kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya
bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian
dati tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian
lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung
dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak
bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam.
Mereka dibayar dengan mata uang yang selembar saja
cukup untuk membeli segalanya, belanja selama-lamanya.
Dari daratan di kapal itu hanya terlihat lampu gemerlapan.

MAKA lumpur pun sampai, mengendap di dasar lautan.

DAN pada suatu pagi, orang tak melihat lagi kapal-kapal
itu. Malam di laut hanya tampak kegelapan. Laut sudah
mati. Warnanya hitam. Kental dan makin lama makin
panas. Mendidih. Garam bubur. Kubur ubur-ubur.
Sementara di kota itu lumpur masih terus menyembur.
Tinggal pengeras suara berkarat di menara-menara. Dulu di
sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya.

Kisah Kota Penjara

KOTA itu tumbuh dari pulau tempat terpidana dibuang.

SEMULA diseberangkan maling-maling muda yang
membunuh orang-orang sekampung untuk merebut
seekor hewan ternak, lalu dibakar tanpa penyembelihan.
Mereka diberi hukuman mati. Tapi seorang ayah yang
selamat mengampuni mereka. "Kami tidak pernah
mengajari mereka mengenal rumput dan air garam.
Bukan salah mereka. Kami orang-orang tua ini terlalu
sibuk menggembala. Padahal akhirnya cuma sesat
bersama, kami kehilangan ternak, anak-anak kehilangan
kami." Di sepanjang penyeberangan anak-anak muda itu
tak henti bernyanyi. "Kami sudah mati. Kami sudah...."

KOTA itu dihidupkan para hukuman, sudah dimatikan.

LALU datang pula, para pahlawan-pahlawan yang tahu
menemukan lawan dan mengobarkan peperangan demi
niat kesucian yang ditempuh pada jalan kebencian dan
api kebencian yang menghunuskan pedang kesucian.
Mereka telah menghapal manual cara membuat bahan
ledakan dari sekantong garam. Mereka telah mengenal
tubuh seperti batang getah yang siap ditatah menoreh
darah, lalu pada luka itu sebuah ancaman ditanamkan.
Kafe, rumah ibadah, kantor duta besar telah diledakkan.

KOTA itu dipimpin oleh pejabat tua yang tak mati-mati.

KITAB hukuman tak menyebutkan vonis paling pantas.
Dia mestinya dihukum mati 40 kali. Dihukum seumur
hidup 40 kali. Dihukum gantung 40 kali. Di persidangan
ia dibela 40 pengacara paling tangguh. Dan setelah 40
hakim terbunuh menjelang vonis jatuh, akhirnya sidang
dihentikan. Dan pejabat itu diam-diam diseludupkan
ke kota para tahanan, dihilangkan ke kota para buangan.

Berita Dari Lampung

Jimmy Maruli Menangkan Krakatau Award 2006

BANDAR LAMPUNG -- Sajak "Tamsil Damar Batu" karya Jimmy Maruli Alfian (Lampung) memenangkan Krakatau Award 2006 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Lampung (DKL). Puisi ini terpilih dari 347 judul puisi yang dikirim setelah menyisihkan 142 penyair dari berbagai daerah di tanah air.

Dewan juri yang terdiri dari Acep Zamzam Noor, Budi P. Hatees, dan Isbedy Stiawan ZS juga menetapkan sajak "Nyanyian tentang Tujuh Anak Tangga Rumah Panggung" karya Anton Kurniawan (Lampung).

Lalu, pemenang ketiga diraih "Dongeng Poyang Sepanjang Sungai" karya Fina Sato (Bandung), dan keempat "Pulau Kampung Pukau Lampung" karya Hasan Aspahani (Batam).

Para pemenang, menurut Ketua Komite Sasta DKL Budi P. Hatees, berhak atas hadiah piagam dan uang. "Masing-masing penerima mendapatkan hadiah piagam dan uang Rp1 juta untuk juara satu, juara ke dua (Rp700 ribu), ke-3 (Rp500 ribu) dan juara ke-4 mendapatkan
hadiah uang snilai Rp300 ribu," katanya.

Ketua Dewan Juri Lomba Puisi Krakatau Award 2006, Acep Zamzam Noor, mengatakan puisi dapat dipergunakan untuk mempromosikan sebuah daerah kepada masyarakat luas.

"Dengan lomba penulisan puisi, hal itu sangat mungkin terwujud," kata penyair asal Cipasung, Jawa Barat, seusai mengumumkan pemenang Lomba Puisi Krakatau Award 2006 di Sekretariat Dewan Kesenian Lampung, Senin (21-8).

Menurut Acep, sebagian besar puisi yang dikirim para penyair ditulis menggunakan idiom-idiom lokal khas Lampung, meskipun banyak dari idiom-idiom itu sifatnya hanya cantelan.

"Puisi para pemenang lomba ini berhasil memanfaatkan idiom dan ikon kelokalan Lampung tanpa terperangkap sebagai cantelan. Hal ini terjadi karena panitia lomba memberikan tema khas Lampung," kata dia.

Membaca puisi-puisi yang dikirim peserta tersebut, Acep yakin setiap peserta sudah berusaha mempelajari dan memahami realitas masyarakat Lampung. Secara tidak langsung, tema yang diberikan panitia telah mempromosikan Provinsi Lampung kepada peserta yang ada di seluruh Nusantara.

"Para penulis puisi butuh literatur yang banyak untuk memahami khas-khas masyarakat Lampung. Tanpa semua itu, mustahil mereka dapat menghasilkan karya puisi yang bagus," ujarnya. AAN/0-1

Monday, August 21, 2006

Mitologi Pena

       APA yang hendak kau katakan nanti adalah juga
apa yang hendak ku katakan dan apa yang ingin kau
kabarkan padaku adalah kabar yang ingin kusampaikan
juga padamu dan apa yang kau tuliskan pada kertas
surat telah kubaca sejak kau gariskan huruf-huruf
pertamanya hingga kau bubuhkan tanda cinta dan
namamu yang juga ingin kutuliskan berulang-ulang
sehingga tiap huruf itu dengan cara sendiri juga menyusun
namaku sementara darinya kau juga masih bisa membaca
namamu demikianlah lelaki itu berpamitan mencium tangan
kekasihnya untuk yang terakhir kalinya di malam yang
paling tidak sempurna saat langit sehitam tinta dan perempuan
itu bergegas lari ke kamarnya segera setelah kekasihnya
tenggelam dalam gelap malam dan subuh itu di mejanya
telah ada sebuah pena yang bercahaya dan serta sebuah
amplop bertuliskan alamat dan ia ingin sekali menulisi
sajak pada kertas itu sambil mengendalikan air matanya.
Pulau Kampung
Pukau Lampung



MAKA, pada ombak di selatmu, aku belajar mengayuh lagi. Biduk tak
    bercadik ini. Ke pulau-pulau di gugus Krakataumu. Dengan
    cemas yang tak lagi kemas: sampailah, sampailah lekas.
    Sampai ke telukmu. Tempat sebuah bandar berpelabuhan rindu.
    Dan aku pelaut hendak menukar layar dengan jubah biksu dan
    kamus rahasia tempat para penyair menyemai benih puisi.

AHAI, di mana nanti kutinggalkan perahu? Sedang di sini sungai-sungai
    mengeruk beluk dengan bait baru, mengeduk seluk dengan larik
    arus laju. Bagaimana nanti kuinginkan badai? Sedang di sini alir
    lurus menuju ke muara yang satu. "Sungai telah kami terjemahkan
    ke dalam puisi, siapa yang berani memaknai kedalaman? Menebak
    apa yang kami tawarkan, mungkin sebuah teteduhan?"

BAIKLAH, di mana aku bisa singgah? Aku ingin sebuah kedai yang ramah.
    Dan segelas kopi kampung beraroma rumah. Para perempuan menemani
    dengan buku antologi dan lelaki dengan kitab sejarah. "Malam nanti
    datanglah. Kita membaca wangi sejarah, dan mungkin bisa kau temukan
    rahasia bagaimana menyuling atsiri ke dalam puisi." Aku termenung.
    Seperti kudengar lirih bebandung.

BARANGKALI, ada situs di pelupukmu tempat para pelaut betah
    membayangkan khayangan, dan aku akan menduga telah menjadi
    dewa, menghafalkan pisaan, lalu memejamkan keinginan, belajar
    mengerti sebisanya betapa di sini manusia mungkin berbahagia.
    Atau menunggu disalin ke remang memmang.

Sunday, August 20, 2006

[Ruang Renung # 161] Garis Nyata yang Bisa Dipegang

PADA mulanya hanya kita yang berhadap-hadapan dengan sajak kita. Pada mulanya kita menyaksikan tayangan gambar-gambar imaji di kepala, dengan menarik-mengulur rasa di hati sebagai akibat dari sentuhan imaji-imaji itu, kita lalu menjemput kata, mengumpulkan kata, menyusun kata, memilih kata. Hasilnya adalah puisi dengan bancuhan baru antara rasa dan imaji. Dan ah mungkin juga pesan yang diam-diam kau sembunyikan.

SEGERA setelah kita menganggap selesai puisi kita, maka kita berganti posisi sebagai pembaca pertama puisi kita. Seharusnya kita adalah pembaca terbaik bagi puisi-puisi kita. Seperti Chairil Anwar terhadap karya-karyanya. Pernah suatu kali, lewat kartu pos, Chairil menulis ke HB Jassin: Yang kuserahkan padamu --- yang kunamakan sajak-sajak! --- itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa "tingkat percobaan" musti dilalui dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya.

KALA lain, Chairil menulis: begini keadaan jiwaku sekarang, untuk menulis sajak keperwiraan seperti "Diponegoro" tidak lagi. Menurut oom-ku sajak itu pun tidak baik! Lagi pula dengan kritik yang agak tajam sedikit, hanya beberapa sajak saja yang bisa melewati timbangan. Tapi tahu kau, apa yang kuketemui dalam meneropong jiwa sendiri? Bahwa dari sajak-sajak bermula hingga penghabisan belum ada garis nyata lagi yang bisa dipegang.

GARIS nyata yang bisa dipegang? Chairil bahkan tak henti-hentinya meninjau perkembangan puisi-puisinya, sejak sajak-sajak bermula hingga penghabisan. Mencari pola hubungan-hubungan antara semua puisinya. Menghadap-hadapkannya dengan kemungkinan kritik dan timbangan sajak. Chairil dengan begitu memberi contoh pada kita bagaimana menjadi pembaca pertama dan paling kejam atas sajak-sajaknya sendiri.

CHAIRIL penyair yang bersungguh itu bahkan kerap meragukan niat masuknya ke rumah kesenian. "Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati. Tapi hingga lahir aku hanya bisa mencampuri kesenian setengah-setengah pula. Tapi ungunglah bathin seluruh hasrat dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian," katanya dalam kartu pos lain, ke sahabat yang sama: HB Jassin.

Friday, August 18, 2006




Soka Gallery
Title: SAPARDI, 2005
Artist: Jeihan Sukmantoro
Media: Oil on Canvas
Dimension: 190 cm x 290 cm x 0 cm

Bendera Kertas

/1/
PAGI menyajikan matahari.
Langit membuka.

Tangannya mengacungkan bendera
Kertas buku, separuh ia merahkan
dengan kesumba.

Sejak hendak tidur semalam,
telah dia bayangkan
Sang Saka Dwiwarna
berkibar selama-lamanya.

"Lihat, Pak.
Benderaku.
Sama warna dengan yang berkibar
dalam upacara di halaman kantor desa.
Lihat, Bapak!"

Sepeda dikayuh lekas menuju sawah.

Keduanya sama berlagu.
Si Bapak menyiul masygul:
Sudahkah bebas negeri kita.....

Si Anak menyelang lantang, "Merdeka!"


/2/
AIR sawah membangunkan tanah.
Hari basah.

Dia menebar pupuk.
Tepungtawar bagi padi.
Di pematang, si anak
belajar naik sepeda lagi.

Dia panggil nama anak,
seperti mengulang-ulang doa:
pematangmu akan sangat panjang, Nak
Sawah kita tetap hanya sepetak.
Kau mau kemana?

"Aku mencari tiang tertinggi,
untuk benderaku ini."

Tapi, bendera kertas itu lepas
dari tiang lidi.
"Bapak, benderaku terbang,
jatuh, lalu hancur di sawah!"

Si anak telah mandi lumpur dan keringat.

Biar saja,
Biar benderamu menjadi sel air
dan darah tanah, Nak.

"Nanti
dia berkibar abadi
di tiang-tiang harimu,
di daun-daun pagimu,
di padang-padang sawahmu,
di butir-butir padimu."

Thursday, August 17, 2006

[Tadarus Puisi # 4] Cemara Menderai Sampai Akhirnya Kita Menyerah

Derai-derai Cemara

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah


PAMUSUK Eneste, editor buku kumpulan puisi Chairil Anwar Aku Ini Binatang Jalang memberi catatan pada sajak di atas. Sajak ini dikutip persis seperti naskah aslinya. Catatan ini penting. Karena ada beberapa sajak Chairil tampil dalam beberapa versi. Sajak mahsyurnya Aku dalam buku itu juga ditampilkan dalam versi lain berjudul Semangat, kedua versi bervariasi pada beberapa pilihan kata dan bait. Perlu kajian dan pendarasan sendiri ihwal beda versi itu.

SAJAK Derai-derai Cemara, kita yakin saja pada kecocokannya sebagaimana naskah asli, menarik untuk menjadi bahan kita mendaras puisi kali ini. Sajak ini ditulis pada tahun 1949, yaitu tahun yang sama saat maut menjemput si penyair pada bulan keempat. Selain sajak ini ada lima sajak lain bertahun sama. Sekilas saja kita lihat, sajak ini ditulis seluruhnya dengan huruf kecil - pun di awal baris, dan sama sekali tanpa tanda baca, berbeda dengan semua sajak Chairil lain. Kita boleh menduga ini sebuah kesengajaan yang sudah diperhitungkan. Bukan sekedar gaya atau sebatas asal beda. Penyair kita ini tampaknya ingin mengalirkan emosi pelan-pelan dan kehadiran tanda baca dan huruf besar terasa memang akan menjadi ganjalan.

BILA sajak Aku adalah gedoran-gedoran yang gawat, maka sajak Derai-derai Cemara adalah belaian-belaian perlahan dengan badan pisau - bukan matanya, tapi kita pun mengkhawatirkan belaian itu bisa juga menyayat. Seperti ancaman yang tidak terucapkan. Kita tidak takut pada ancaman itu, tidak melawan dan menolaknya, tapi kita sadar bakal kalah. Kesadaran ini penting, dan kesadaran itu bukan berarti sebuah kepasrahan yang diam pasif. []

Wednesday, August 16, 2006

[Tadarus Puisi # 3] Api Emosi dan Imaji dalam Resital Piano

Di Sebuah Resital Piano

di sini, denting bertempo cepat patah-patah berdesingan seperti misil di sebuah daratan yang terbakar. di situ, desing kata-kata menderas seperti hujan lembing di kitab-kitab sejarah, membela tuhan dengan darah lalu memuji namanya dalam tudung perisai. di sini, kelincahan jemari terasa begitu surgawi, lebih benderang dibanding teriakan takbir penuh geram. di situ, kelihaian berhujat begitu tinggi seperti galah mengukur dasar sungai dan selatmu. lalu di sini, sebuah rondo memutar biji tasbih dengan suara yang ringkas dan nyaring: membaca ritual pemakaman sebuah kurun masa; sebagaimana telah dituliskan di rajah tulang ekormu.


DEFINISI seperti lampu penerang jalan terpasang terpasang di sepanjang jalan puisi menuju kota puisi. Beberapa rambu, tanda, peringatan, larangan, banyak ditemukan di sepanjang jalan puisi menuju kota puisi. Sebuah peta lengkap dengan petunjuk arah dan mata angin telah lama ada untuk menemani kita menelusuri jalan puisi menuju kota puisi. Ikutilah jalan, patuhilah rambu, dan bacalah dengan patuh peta maka kita akan sampai dengan selamat ke kota puisi.

SI PEMASANG lampu jalan, insinyur sang pembuat jalan dan kartografer perancang peta tentu tidak bisa disalahkan. Semua diperlukan. Tetapi, di luar kota pelancongan puisi itu, ada hutan puisi yang jauh lebih menantang untuk dijejahi. Hutan yang belum berpeta. Saya bayangkan hutan itulah wilayah yang disebut oleh A Teeuw, penelaah sastra Indonesia asal Belanda, ketika dia berkata bahwa tugas penyair adalah mengejutkan pembaca, dengan melakukan penyimpangan dari pemaknaan bahasa yang sudah terbiasa, sudah familiar, usang dan luntur. Tetapi kemungkinan, kelonggaran penyimpangan, selalu ada batasnya, yakni batas kemungkinan komunikasi.

DENGAN kata lain mengajak pembaca puisi berani masuk ke gelap dan semak hutan. Saya bayangkan TS Pinang dengan serangkaian terbarunya di Titik Nol - salah satunya adalah puisi yang sedang kita bahas dalam tadarus ini - sedang mengajak saya sebagai pembaca ke hutannya. Dan TS Pinang adalah pemandu yang baik. Ia berhasil membuat jalan setapak dengan jejaknya sehingga masih dalam batas kemungkinan komunikasi yang digariskan A Teeuw.

PERTANYAAN terkerap diajukan jika menemui sajak yang menyimpang adalah, "bagaimana membaca sajak ini?" Jika kita baca pelan-pelan sajak ini bisa saja disusun dengan bait-bait berlarik normal - senormalnya sajak yang kita tempuh di jalan ke kota puisi yang berlampu penerang, berpeta dan berambu-rambu.

LALU kenapa semua bait "ditabrak" dan semua baris "dirusak"? Saya tak tahu niat awal TS Pinang melakukan itu. Tapi buat saya bentuk bait pepat-padat itu bisa membangkitkan emosi. Saya seakan ikut marah jika saya temukan kemarahan dalam sajak itu, saya bisa ikut geram jika saya temukan kegeraman dalam sajak itu. Marah dan geram itu terasa kuat panasnya, lekas membakar saya, seperti api yang disemburkan dengan lekas.

YA, emosi sajak. Pembaitan salah satu manfaatnya dalam sajak adalah untuk mencicil nyala api emosi dan menggilir lembar-lembar gambar imaji menurut skenario sajak yang kita rancang. Ada emosi sajak yang harus dipanaskan dengan api kecil, diaduk perlahan-lahan, bak menjerang kuah soto agar santannya tidak pecah. Tapi, sajak TS Pinang ini bukan soto. Ia adalah tumis yang dimasak dengan api besar dan disajikan segera setelah pindah dari periuk.

TADARUS ini tidak selesai sampai disini. Kita masih harus masuk jauh ke hutan puisinya TS Pinang mencari buah makna dalam pohon-pohon liar sajaknya. Ada lekuk sungai dan beberapa buah batu. Sedap sekali kalau kita singgah dan duduk dahulu di situ. []

Tuesday, August 15, 2006

Kami Mau Lenganmu Sepanas Senapan

---- Aku suka pada mereka yang berani hidup --- Chairil Anwar

/1/
JANGAN dekati taman
Kami cuma nama di makam-makam

Ketika napas lepas, tinggal tubuh membau membusuk.

Percuma mengingat kematian, kami ingin hirup harum nama-nama muda.

Di sini kami memeluk kesunyian. Sebagai hukuman.
Bendera yang kami perjuangkan, hanya cukup untuk kafan.

Tangan cuma sedepa bentang: kami tak sempat tamat
Memberi zat, pada tiap putik air dan serat tanah.

Waktu akan tetap saja bikin malam, bikin siang, pagi dan petang.
Cuma ombak berganti gelombang. Siapa jaga pantai dari rebutan hilang?

/2/
JANGAN dekati taman
Pun bila ada kau dengar sedu dan sedan.

Mata dan mulut kami memang belum
hampa dari sia-sia, dari kecengengan, dari dendam pada
peluru yang membawa maut ke jantung kami dulu.

Bahkan lumut di udara tak ingin baca nama-nama
ia hapus kami dari batu nisan di makam-makam.

Baiklah mengingat kehidupan, kami ingin jantungmu selekas peluru.

/3/
JANGAN dekati taman.

Terang rumput di padang, menunggu kau ajak ternak
Subur lumpur di sawah, menanti kau turun membajak
Semak di belantara, menantang datang perburuan.

Pergilah menuju ke semua arah.

Ke makam-makam ini jangan pernah ingin singgah.
Ketika habis darah, sudah bukan pahlawan.

Tak guna mengenang pertempuran, kami mau lenganmu sepanas senapan.

Monday, August 14, 2006

[Ruang Renung # 161] Manual Memaknai Sajak

MEMANG saya bukan anggota Majelis Puisi Indonesia, tapi karena saya rasa ini diperlukan maka saya berani mengumumkan sebuah fatwa: Wahai, penikmat puisi - penulis dan pembaca puisi - Anda WAJIB membaca buku Tergantung pada Kata. Buku karangan A Teeuw itu diterbitkan oleh Pustaka Jaya tahun 1980.

BUKU itu mengulas khusus sejumlah puisi beberapa penyair Indonesia yaitu: Chairil Anwar, Abdul Hadi WM, Goenawan Mohamad, Ajib Rosidi, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Toety Herati, dan Sutardji Calzoum Bachri. Teeuw benar-benar membahas sebuah sajak dari masing-masing penyair (kecuali Sapardi yang dikaji dari tiga sajak) yang ia pilih dengan berbagai pertimbangan, bukan kepenyairan si penyairnya. Tetapi secara tak langsung yang terakhir itu terteroka juga dari cukup satu sajaknya.

PAK Teeuw memaksudkan kajiannya sebagai tantangan bagi pembaca puisi Indonesia. Saya tentu tak punya nyali untuk menantang beliau. Saya lebih suka berkomplot saja dengannya dengan catatan belum tentu dia suka dan rela dengan perkomplotan ini. Apa pun, hasil perkomplotan itu adalah sebuah Manual Memaknai Sajak.

MANUAL ini bagi saya sendiri, menjadi semacam pegangan saja ketika meraba-raba di jalan remang-remang untuk memaknai sajak ketika membacanya. Sejauh ini raba-rabaan itu masih membawa kenikmatan, dan dengan berpegang pada manual yang saya sarikan dari telaah A Teeuw ini, tentu buat saya sendiri, membuat "jalan remang" itu semakin nikmat ditempuh.

SELAMAT menempuh jalan remang. Selamat meraba. Silakan berpegangan kalau sudi. []

[Ruang Renung # 160] Kerja Puisi, Petani Puisi

KENAPA menulis puisi? Kalau tidak orang lain, kita mungkin pernah bertanya seperti itu kepada diri kita sendiri. Kalau itu diajukan kepada saya maka saya akan menjawab begini:

BAGI saya membaca dan menulis puisi adalah sebuah kerja. Tapi lekas-lekas harus saya tambahkan bahwa ini adalah sebuah kerja ikhlas tak berpamrih. Sepanjang kerja ini masih mendatangkan kenikmatan maka saya akan terus menjadi pekerja puisi. Tentu ada tujuan dari setiap kerja, maka jika pamrih sudah saya abaikan maka yang ingin saya capai dengan kerja saya itu adalah memuliakan puisi. Memang puisi sama sekali tidak menuntut itu pada siapa pun. Tapi, bagi saya memuliakan puisi berarti memuliakan bahasa dan dengan demikian juga memuliakan manusia.

PADA puisi yang saya dapatkan dari kerja itu saya berharap bahasa saya sendiri menjadi sehat, bernafas panjang, tidak ngos-ngosan dan senantiasa segar. Bila kata-kata adalah udara dan berbahasa biasa itu seperti menarik-hembuskan nafas, maka berpuisi adalah semacam senam pernafasan. Senam itu membuat jantung sehat, paru-paru sehat, dan kehidupan saya sebagai manusia bisa saya jalani dengan lebih wajar, lebih nikmat dan lebih bermakna.

SAYA adalah pekerja puisi yang belajar sendiri, mengikut naluri. Ketika terpegang perkakas bergagang panjang bermata melintang maka naluriah saya akan mengayun-ayunkannya membelah tanah puisi. Kelak saya tahu perkakas itu bernama cangkul puisi. Ketika diberi alat berhulu berputing maka alamiah saya akan menebas-nebaskannya ke semak bahasa, kelak saya tahu alat itu adalah parang puisi.

KERJA puisi saya memang lebih dekat dengan imaji petani. Maka saya sendiri ingin menyebut diri saya sebagai petani puisi saja. Petani yang menyiangi ladang puisi, menyemai benih puisi, merawat anakan puisi, menyiangi gulma di ladang puisi, melawan hama dan penyakit puisi, mengairi dengan hujan atau menimba sumur di ladang puisi, hingga kelak memanen dan menyimpan benih puisi untuk musim tanam berikutnya. Pada tahapan kerja itu saya sedapat mungkin menyadari setiap hembus nafas, mengaturnya seirama dengan ayunan cangkul, parang, dan tugal. Ya, bagi petani, kerja adalah juga senam adalah juga meditasi.[]

Rendra Terima Penghargaan Ahmad Bakrie 2006

PUISI naratifnya adalah jalan lain perpuisian Indonesia yang dikuasai lirisisme. Dengan mendaur-ulang bahasa orang ramai, ia menunjukkan bahwa modernisme artistik bisa memeluk mesra lingkungan budaya-asal. Puisinya embuka kecerdasan kolektif seraya memelihara kewajaran dan kebaruan bahasa Indonesia.

[Kutipan] Bergairah pada Bahasa

SEORANG penyair, sebelum menyebut hal-hal lainnya, adalah sosok yang mencintai bahasa dengan penuh gairah.

* W. H. Auden

[Tadarus Puisi # 2] Tiga Batang Coklat yang Memikat

Ann - Hongkong
DI TIGA BATANG COKELAT RASAKU LEKAT

pagi itu seorang lelaki kembali,
berselimut kabut
sebelum akhirnya turun sebagai salju
atas duka yang tak kusetuju


DUKA di bait pertama ini tidak diumbar. Rasa itu tidak dilebih-lebihkan. Kembali kemanakah lelaki itu? Mungkin meninggalkan si aku. Atau kembali ke Tuhan? Apa saja, semua serba mungkin. Ini keberhasilan pertama sajak ini. Tetapi itu duka yang lengkap. Yang pasrah diterima oleh si aku. Dia yang pergi itu akhirnya turun sebagai salju, ataukah selimut itu yang luruh? Entahlah, keasyikan menebak itu tidak menghalangi saya sebagai pembaca untuk ikut merasa berduka. Tapi, ah, sesak sekali ketika menyadari bahwa aku tidak setuju pada duka itu. Siapakah yang setuju atas duka?

ia lupa akan bingkisan lama
tiga batang cokelat, rasa lekat
pada pembungkus bergambar mawar
di kelopaknya kata-kata ia catat


Dan belum selelsai pukau bait pertama saya sebagai pembaca harus mendapatkan kejutan lagi, mendapat penjelasan kenapa ia si aku tak setuju atas duka yang tak bisa ditolak itu. Dia lupa bingkisan lama: tiga batang cokelat. Kata lama pada bingkisan itu membuat saya simpulkan bingkisan itu bermasalah. Rasa lekat. Lekat? Si aku sudah mencicipi cokelat itu? Tapi tak sanggup menghabiskannya? Mungkin, saya yakin pada keraguan saya itu karena si aku lebih terpesona pada pembungkus, pembungkus bergambar mawar, pembungkus bergambar mawar yang pada kelopaknya ada catatan, ada kata-kata. Ada imaji tiga lapis di sana. Mengasyikkan sekali.

"Terima Kasih. Nikmati cokelat yang kubingkis.
Cecap waktu bersamaku nan manis. Semoga kau catat
dan tak hilang di kernyit pelipis."


NAH, inilah catatan pada kelopak mawar itu. Sementara itu badai imaji yang menyerbu saya reda. Saya bisa ambil nafas sebentar. Menikmati hembusan angin menyegarkan dari bait: tak hilang di kernyit pelipis. Bait yang manis. Mengundang tebak yang tak habis.

ini tiga batang cokelat terakhir
masih utuh hanya sempat kusentuh


Ah, ini dia jawaban tafsir saya atas bait pertama tadi. Si aku memang tak sempat mencicipi. Hanya sempat menyentuh. Itu coklat terakhir rupanya. Pasang imaji itu mulai naik lagi. Gelombang mulai meninggi.

O, begitu keramat untuk kunikmat
Itukah sebabnya si aku tak bisa menikmati sajak itu? Cokelat yang keramat?
pagi itu seorang lelaki benar-benar kembali
membawa aroma kemboja di tubuhnya
padaku meninggal duka juga catatan lama


Ini repetisi-repetisi yang efektif. Seperti ulangan hempas-hempas ombak. Lelaki yang kembali disebut lagi, catatan lama disebut lagi, duka itu disebut lagi.

"Ini pagi yang ingin. Bergegaslah kau nikmat cokelat
sebelum lidah kau rasa dingin."


Inikah lanjutan dari catatan yang terbaca di kelopak mawar itu?

cokelat yang ada kubuka dan kucari nikmatnya
aku dapati ia begitu utuh hanya saja tak sanggup kusentuh

Ann, HK, 8 Agustus 2006


DAN ah, akhir dari sajak ini ditutup dengan utuh. Selesai. Seakan terjawab semua pertanyaan. Dan hempasan ombak itu masih akan terasa lama di pantai kesanan.
Cokelat sudah berhasil dimetaforakan entah sebagai apa bagi pembaca lain. Tapi bagi saya cokelat di sini adalah perlambang keakraban. Mungkin cinta yang tak bisa diterima. Padahal si aku tahu cokelat cinta itu manis tapi ada sesuatu pada cokelat, atau pada si lelaki yang pergi, atau pada si aku yang membuat ketiganya tak bisa saling bersentuhan. Meski hanya lewat cokelat.[]

[Tadarus Puisi # 1] Buah Kebijaksanaan dari Telur Dadar

SAJAK ini terasa sekali nikmatnya. Saya ingin membacanya seperti racikan sebuah masakan. Bahan dan bumbunya: 1. Langit dan matahari, benda angkasa yang menyertainya. Juga antena dan kabel-kabel telepon dan listrik. Sebuah pemandangan yang teramat jamak kita temukan di mana saja. 2. Ada telur dadar beserta perkakas makan, dan rasa lapar. 3. Sedikit saja kenangan masa kecil yang menghadirkan seorang ibu yang mewujudkan cinta dengan sebuah telur.

Dan mari kita tebak bagaimana Aan M Mansyur menyajikannya:

TELUR DADAR

aku sungguh-sungguh lapar


INI kalimat yang sangat biasa. Sajak memang tak harus dibangun dengan kemegahan bahasa atau kerumitan kata-kata. Sajak memang tidak harus langsung menempeleng sejak pertama kita sorongkan muka padanya.

dari bingkai jendela kamar
matahari sore terlihat persis telur dadar
matang sempurna dan besar-lebar


Si penyair mulai bermain. Sudah ia beri tahu bawha Si Aku adalah seorang yang sungguh lapar, karena itu kita pun menerima dan setuju padanya ketika dia mulai menyodorkan fakta-fakta yang mulai ia mainkan untuk kepentingan sajak ini tentu saja: matahari dari jendela kamar ia lihat seperti telur dadar yang matang sempurna, besar dan lebar.

Pada bait kedua ini bagi saya - Aan sudah menguasai pikiran saya. Saya mulai tak bisa berpikir lagi menurut logika wajar saya. Saya rasa inilah yang disebut efek hipnotis dalam puisi. Mula-mula ia menguasai pikiran.

tetapi telur dadar itu sudah terbagi-bagi
dipotong oleh antena-antena tivi tetangga
oleh kabel-kabel listrik dan telepon
dan tak ada sedikit pun untuk perutku

Setelah pikiran dikuasai maka, dibait ini Aan mulai membisikkan mantera untuk menguasai rasa, mengendalikan hati: tentu tujuan buruknya adalah agar saya juga merasakan emosi apa yang ia hidupkan dalam puisinya. Bahkan untuk sebuah telur dadar yang saya bayangkan pun sudah terbagi-bagi pula oleh antena tv tetangga, kabel listrik dan telepon. Habis. Tak ada sedikitpun tersisa untuk perut si aku yang sungguh-sungguh lapar tadi.

aku berusaha menahan airmata tak jatuh
teringat lagi telur dadar ibu
dulu aku selalu dapat satu, utuh
seperti cintanya pada kanak-kanakku

Di bait ini, saya kira bolehlah si penyair beranggapan bahwa rasa hati saya pun telah ia kuasai. Maka makin jauhlah dan makin beranilah ia memainkan rasa itu dengan imaji personalnya: telur dadar ibu. Si aku dulu selalu dapat satu. Utuh. Seperti cintanya. Ini bait berisiko. Tapi si penyair tentu sudah menghitungnya. Tidak semua orang menilai satu telur dadar sama tinggi nilainya dengan yang diinginkan oleh si penyair. Tapi dengan persiapan yang baik di bait-bait sebelumnya, saya rasa perhitungan Aan tepat. Telur dadar - saya setuju sekali - pas disandingkan sebagai lambang cinta ibu.

dengan liur leleh tak lelah
kutatap tanpa kedip telur dadar itu
namun beberapa detik saja kemudian
ia telah lenyap disantaplahap
oleh siapa aku tak tahu
dan lalu tinggallah langit
seperti piring kotor belum dicuci

Permainan dilanjutkan. Siapa yang melahap telur dadar? Pertanyaan yang tak hadir itu berhasil dipakai oleh Aan untuk menghadirkan imaji senja. Matahari tenggelam, sambil terus-menerus mengingatkan akan lapar yang masih berkecamuk di perut si aku. Tinggal langit bagai piring kotor belum dicuci. Utuh sekali imaji lapar yang dibangun dan dihadirkan Aan dari gambar-gambar nyata yang terdiri dari telur, langit, piring hingga selesai bait ini.

sebentar jika gelap melingkup alam
lampu malam satu per satu padam
aku merangkak ke luar kamar
diam-diam menjilat piring langit
sebelum dibersihkan hujan atau embun
sekedar menghibur perut lapar
lalu tidur memimpikan telur dadar


Makassar, 12 Agustus 2006

Bahkan sampai berakhir sajak ini pada bait ini, imaji lapar itu semakin liar dan semakin halus ia mainkan. Si aku merangkak ke luar kamar. Menjilati piring langit. Itu pun harus dilakukan dengan lekas agar tak dibersihkan oleh hujan dan embun.

Hikmah dari sajak ini adalah: saya sejak ini dan seterusnya akan lebih menghargai sepiring telur dadar - lauk yang paling mudah kita dapatkan - kapan dan di manapun serta siapa pun yang menghidangkannya. Sajak yang baik memang harus bisa juga membuat kita menjadi manusia yang lebih bijaksana.[]

Satu Dunia

MUNGKIN
untuk kalian perlu
kami mintakan
satu dunia.

YANG bukan
dunia kita
saat ini yang
kalian buat
makin terasa
kesesakan:
Aku bahkan hanya bisa
menulis larik buruk ini,
setelah membaca catatan
anak-anak
di kota
Beirut yang
dikepung
kabut roketmu,
Tak ada jalan
untuk mengungsi,
sehabis jet
tempurmu
menggerimiskan
butir-butir bom,
meruntuhkan
gedung
dan jembatan.

MUNGKIN
untuk kalian perlu
kami mintakan
satu dunia:
dirikanlah
negera sendiri
seluas-luasnya.

Buatlah
cadangan senjata
sebanyak-banyaknya.

MUNGKIN
untuk kalian
perlu kami
mintakan
satu dunia:
tempat kalian
bisa memuaskan nafsu,
saling bunuh
sesama
kalian
saja.

Tertawa

AKU dengar Amerika tertawa.

Aku dengar Whitman menangis.

Sunday, August 13, 2006

[Ruang Renung # 159] Teman Seperjalanan

JALAN ke puncak itu pasti menanjak. Juga ke puncak sajak. Ketika kita menuju ke sana, mungkin kita berpapasan dengan orang lain yang tidak pernah tahu bawah puncak itu ada. Dia, si orang itu, mungkin saja menganggap perjalanan kita itu sebagai sebuah sia-sia.

Teruslah berjalan, jangan terhalang oleh anggapan. Kita bisa merancang perjalanan itu hanya pada dilakukan malam hari, bukan? Di kamar kita sendiri. Di diri kita sendiri. Di saat sebagian mata lain istirahat, kita lanjutkan perjalanan. Atau diamlah. Menyepilah. Tetapi ciptakanlah langkah-langkah gaib. Tidak setiap langkah harus menghasilkan bunyi hentakan, bukan? Maka, begitu terbentang kesempatan, langkah kegaiban itu tiba-tiba saja melesatkan kita mendekati ke puncak itu, ke Sajak itu.

Setiap perjalanan pasti punya beban, punya risiko. Kadang-kadang beban dan risiko itulah yang turut memberi arti pada perjalanan itu, bukan? Kita tidak selalu sendirian. Mungkin nanti akan ada kawan seiring setujuan. Kita mungkin bisa meminta tangannya bergandengan. Eh, mungkin saja kawan seiring itu adalah Sajak itu, adalah Puisi itu sendiri.

Bayangkan betapa ringan perjalanan itu? Betapa menyenangkan. Bukan?

Friday, August 11, 2006

Aku Bertanya, Engkau Jawablah

UNTUK rakyat dan negerimu berapa luas tanah,
sampai engkau bisa berkata cukuplah sudah?

BERAPA banyak nyawa harus engkau sia-siakan,
agar engkau bisa mengaku telah jadi pahlawan?

SEBERAPA banyak cadangan senjata engkau simpan,
hingga kau rasa telah cukup tertebar ketakutan?

ENGKAU dengarkah semua kutukan beralamat padamu?
Atau lidahmu panjang bercabang menyumbat telingamu?

SEHASUT apa kebencian engkau tumbuh-suburkan,
agar dendam kekal diturunkan, terus diwariskan?

SEBASAH apa darah harus tersiram ke muka bumi,
sampai kau tak lagi merasa darahmu paling suci?

ADA organ lebih di otakmu yang kau sombongkan?
Ada bagian hilang di hatimu yang kau biarkan?
Aan M Mansyur - Kafe Baca Biblioholic
Sebuah Calon Buku yang Bagus

SAYA dapat kiriman satu calon buku yang bagus judulnya Menapak ke Puncak Sajak karya Hasan Aspahani. Sebuah buku yang sangat penting dan bagus untuk orang-orang yang mau belajar mencintai dan menulis puisi.

Sehari setelah calon buku itu tiba di tangan saya, langusng menjadi rebutan 'mahasiswa' University of Writing, sekolah menulis gratis yang saya asuh.

Banyak gadis-gadis yang jatuh cinta pada calon buku itu. Sayang sekali belum ada penerbit yang jatuh cinta pada calon buku itu. Padahal, sungguh, buku itu sangat bagus--dan pasti bakal laku.
Pakcik Ahmad
Gurindam Dihantam Sajak

: Hasan Aspahani


kuteroka sajak sepanjang tapak
terhenti terengah sering tersepak

kutulis sajak seumpama budak
tercekik kata, tangis pun membentak

hamba hirup niranya sajak
raib sadar, khayal bergerak

**pondok indah 090806 14:00*



Johanes Sugianto
Belum Sejuta Puisi

: hasan aspahani


di ujung pulau
kutemui cucuran keringatmu
memanggul keranjang bambu
dan rokok tinggal separuh

kata-kata yang kau pungut
dari langit, pesisir, jalanan
dan yang terdampar di tepian
terserak di pelataran

tak lelah kau taruh di rak
seperti buku rapi tersusun
dibaca orang kota
disimak orang dusun

janganlah henti memulung kata
meski rak sudah penuh
belum tercipta sejuta puisi
juga cucu-cucunya

jkt, 10 08 06

Masih Juga Tak Cukup

KAU memininta sebaris puisi. Aku gugup.
kusangka itu bisik dulu yang kian sayup.

DIAM-DIAM dari namamu kucuri beberapa huruf.
Aku menghitung. Masih juga kata tak cukup.

Thursday, August 10, 2006

[Ruang Renung # 158] Novel-Puisi

NOVEL-Puisi.

PERNAH dengar istilah itu? Pernah bingung dengan istilah itu? Mari kita sama-sama duduk dan bacalah Sang Nabi Kahlil Gibran. Oleh banyak kalangan buku ini disebut novel-puisi.

BUKU ini disebut buku novel karena ada unsur-unsur sebuah novel padanya. Ada tokoh: Almustafa, Almitra, rakyat kota Orphelese, dan para awak kapal yang datang menjemput. Ada lokasi cerita: ya kota Orphalese itu. Ada plot cerita: Almustafa, Sang Nabi, telah dua belas tahun di kota itu dan saatnya ia kembali ke kota kelahirannya.

TETAPI ia juga disebut buku puisi karena yang sebenarnya hendak disampaikan adalah ajaran Sang Nabi yang dituturkan dengan puisi itu. Puisi-puisi itu bisa dinikmati lepas dari alur cerita. Ada puisi tentang anak, kejahatan dan hukuman, pengenalan diri, cinta, perkawinan, rumah dan lain-lain.

JADI? Ah, jangan terlalu terkungkung dengan satu jenis tulisan: puisi saja, cerita pendek saja, atau novel saja. Semua pasti punya kemungkinan untuk dipadukan, digabung, dihibridakan lalu menghasilkan bentuk baru yang khas. Bagaimana?

Wednesday, August 9, 2006

Inez Dikara - Jakarta
Komentar atas Monograf Mitologi dan Risalah Dongeng

Saya hampir kehilangan kata-kata ketika membacanya karena otak saya ini sungguh tidak sampai untuk bisa memikirkan bagaimana Hasan Aspahani bisa menuliskan semua itu. Kedalaman perenungan, kerumitan tapi ada kesederhanaan juga. Pokoknya begitulah mas. Jleb sejleb-jleb-nya.

[Ruang Renung # 157] Senantiasa Menghijau

SAJAK yang sebenarnya sajak adalah dedaunan pada tanaman evergreen: senantiasa menghijau. Dia bukan tanaman plastik yang sedang menggadung, menyaru. Dia hidup dan rajin berfotosintesa. Dia tak akan layu. Dan kuning pucat tidak akan bisa datang mengganti hijau segarnya. Tanaman gadungan tak akan bisa memperlakukan embun dengan sempurna.

JADI rimbunkanlah tanaman kita dengan daun-daun terbaiknya. Dan pada pot terbaik yang mengasuh tanaman hias berdaun rimbun dan anggun itu para pencinta tanaman hias akan membaca nama kita: Si pemulia tanaman itu.
Hendragunawan Sardjan Thayf - Buku Nyanyian
Komentar Atas Monograf Mitologi dan Risalah Dongeng

Mitologi, menurut saya Mitologi adalah sajak-sajak yang mencapai taraf canggih sementara Dongeng lebih bersifat pelik. Canggih, dalam pengertian bahwa pengucapannya telah cukup murni sehingga pada saat bersamaan ia terbuka bagi pembaca yang mencari kesederhanaan dan mereka yang menggemari kerumitan. Sementara tokoh-tokoh misterius dalam Dongeng, hadir melayang-layang membuat tersesat mereka yang mencari kesederhanaan.

Tuesday, August 8, 2006

Aan M Mansyur - Kafe Baca Biblioholic
Sebuah komentar untuk Hasan Aspahani

Kemarin saya dapat kiriman 3 buah buku calon kumpulan sajak dan 1 buku tentang menulis sajak dari Hasan Aspahani di Batam. Semalaman saya membaca 3 calon buku sajak itu dan kemudian berpikir bagaimana saya menuliskan komentar tentang calon-calon buku itu tanpa harus terdengar sangat memujinya? [Satu buku lagi belum sempat saya baca!]

Berikut ini, akhirnya, saya tuliskan komentar saya tentang 3 calon buku kumpulan sajak itu.

Aneh. Betul-betul aneh. Tidak seperti kumpulan-kumpulan sajak yang pernah saya baca sebelumnya. Dalam kumpulan sajak ini, tak ada satu pun sajak yang tidak saya suka. Seberapa tebal pun halaman kumpulan sajak ini nantinya, ia tak akan membosankan untuk dibaca.

Anehnya lagi, meskipun banyak 'bercerita' perihal sederhana yang mungkin oleh sebagian besar orang dianggap tak mungkin jadi sajak, semuanya malah menjadi betul-betul sajak yang dituliskan penuh pertimbangan. Kata-kata dipilah dengan cermat. Bunyi-bunyi dipilih dengan jernih. Beberapa di antaranya, menurut saya melebihi sajak--saya tak tahu harus menyebutnya apa.

Kecurigaan saya bertambah tumbuh, jangan-jangan Hasan Aspahani betul (pernah) tinggal bersama banyak penyair; seperti Neruda, Paz, sampai Sapardi dan Jokpin. Sebab saya berpikir bagaimana mungkin sajak-sajak itu ditulis oleh seorang saja.

Setiap sajak Hasan tak pernah melepaskan diri dari; hal filosofis yang membuat saya merenung; hal jenaka yang membuat saya tersenyum; hal indah yang membuat saya terkagum-kagum--ditambah pula dengan musik kata-kata yang membuat saya bersenandung dan bergoyang. Semuanya itu membuat saya sungguh-sungguh iri?

Aneh. Betul-betul.

Kapan ya kumpulan-kumpulan sajak itu diterbitkan? Saya ingin sekali memilikinya sebagai buku.

Sebelas Gurindam Sajak

INILAH bentuk akhir dari Sebelas Gurindam. Saya putuskan saja begitu. Sejak awal menulis Gurindam Pasal yang Pertama saya sudah mematok akhirnya sajak ini akan menjadi sebelas pasal. Bukan dua belas karena pasti tidak akan bisa mencapai kebesaran magnum opus Raja Ali Haji Gurindam Duabelas.

KEBETULAN, pasal pertama itu terdiri dari sebelas bait. Jadi waktu itu saya pikir kalaupun saya hanya menulis satu pasal itu, nama sebelas masih bisa dipertanggungjawabkan. Lalu saya mulai berkelana mencari pasal-pasal lain. Pada pencarian pertama saya berhasil membuat hingga pasal ketujuh. Dua pasal lain adalah dua sajak yang ikhlas diubahsuai dan menjadi pasal kedelapan dan kesembilan.

AKHIRNYA dua pasal terakhir datang berkunjung. Saya menyusunulang urutannya. Dua pasal baru itu duduk di urutan kesepuluh dan kesebelas. Saya rasa inilah urutan terbaik buat mereka:

1. Gurindam Pasal yang Pertama: Yang Sajak, Yang Kata
2. Gurindam Pasal yang Kedua: Pada Kamus, Pada Kata
3. Gurindam Pasal yang Ketiga: Hakikat Jejak, Hakikat Sajak
4. Gurindam Pasal yang Keempat: Mana Kata, Mana Makna
5. Gurindam Pasal yang Kelima: Kenapa Sepi, Kenapa Sajak
6. Gurindam Pasal yang Keenam: Ketika Cinta, Ketika Sajak
7. Gurindam Pasal yang Ketujuh: Bagi Sajak, Bagi Siapa
8. Gurindam Pasal yang Kedelapan: Cari Sajak, Hilang Sajak
9. Gurindam Pasal yang Kesembilan: Anakmu Sajak, Lepaskan Sajak
10. Gurindam Pasal yang Kesepuluh: Menuju Sajak, Jalan Sajak
11. Gurindam Pasal yang Kesebelas: Ladang Sajak, Ladang Mawar


1. Gurindam Pasal yang Pertama:
Yang Sajak, Yang Kata

Ketika kau tuliskan sajak-sajak suram,
ketika itu pula mata kata memejam.

Apabila tak kau tulis sebait pun sajak,
ada kata yang diam-diam hendak berteriak.

Saat kau lahirkan sajak sebait,
sejak itu kata mengenal jerit sakit.

Walau tak datang sajak yang kau undang,
jangan kau usir kata asing yang datang.

Kau sembunyikan di mana jejak sajakmu?
selalu ada kata rindu memaksa bertemu.

Ada sajak yang kau tuangkan ke gelas,
siapakah yang mereguk kata hingga tandas?

Jika kau paksa juga menulis sajak,
kata memang tiba, tapi makna jauh bertolak.

Jangan ajari sajakmu mengucap dusta,
sebab mulutmu akan dibungkam kata-kata.

Biarkan sajakmu dicela dicaci dinista,
karena maki cuma kata yang cemburu buta.

Di mana kau simpan sajak terbaik?
di hati, lalu biarkan kata mengucap tabik.

Pernahkan sajak meminta lebih darinya?
kata berkata: ah apalah, aku cuma kata...



2. Gurindam Pasal yang Kedua:
Pada Kamus, Pada Kata

Siapa kata yang tahan diam dalam kamus bahasa,
cuma kata hilang, yang ditemukan oleh lain kata.

Adakah kata yang bertahan di luar kamus kata,
Ya, dia kata yang menyebut fasih siapa dirinya.

Buat apa mencari kata dalam kamus yang rimba,
ke dalam sajak paling bijak, jejak kata baka tertera.

Kamus bukan samudera, juga bukan luas angkasa,
kamus cuma peta, menuntun pemburu melacak kata.

Jadilah pemburu yang membebaskan kata-kata,
Jadilah penakluk kamus, pengejar batas bahasa.

Di manakah rumah paling nyaman bagi kata?
Pada sajak, bukan kamus, bukan pada bicara.



3. Gurindam Pasal yang Ketiga:
Hakikat Jejak, Hakikat Sajak

Ketika kau bertanya-tanya apakah yang sajak,
ketika itu pula kau telah banyak hilang jejak.

Dalam sajak-sajak, kau mesti terus jauh melacak,
hanya itu jalan, agar kau dan sajakmu bertemu jejak.

Mulailah sajakmu dari apa yang terbaca pada jejak,
jika tak kau akan kehilangan keduanya: sajak dan jejak.

Telusuri saja jejak kata, ikuti saja jejak sajak,
keduanya membawamu ke bahasa yang puncak.

Kau yang tak tahu kata, tapi ingin mencapai sajak,
kelak hanya membekaskan jejak-jejak yang bengak.

Kau yang tahu kata, tapi jauh meningalkan sajak,
kelak hanya akan ditinggal kata, tak juga berjejak.



4. Gurindam Pasal yang Keempat:
Mana Kata, Mana Makna

Kenapa kau takut hilang jejak di dalam sajak,
bukankah hakikat sajak adalah jauh melacak?

Kenapa kau takut sajakmu kehabisan kata-kata,
bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?

Kenapa sajak kau jejali kata, kau bebani makna?
sajak itu meleluasakan kata, meluaskan makna

Sejak mulai bicara, kau ucapkan jutaan kata,
kenapa tak sebait pun sajak ingin kau cipta?



5. Gurindam Pasal yang Kelima:
Kenapa Sepi, Kenapa Sajak


Jejak sunyi dalam sajak, kenapa selalu terbaca?
sebab sajak: penggema sepi yang tak ingin bicara.

Hanya di jalan sepikah sajak mau melintas lalu,
tak, ia hanya ingin kau mendengar bisik dirimu.

Sajak mencipta sunyi atau sunyi merahimkan sajak?
Apa saja, tapi dalam sunyi sajak ada nyaring teriak.

Lalu kenapa tak berdiam saja dan sebut itu sajak?
Diamlah saja. Sajak tak pernah minta disebut sajak.



6. Gurindam Pasal yang Keenam:
Ketika Cinta, Ketika Sajak

Penghasut besar bagi lahir sajak ialah cinta,
kau mesti pecahkan dia, dapatkan inti sepinya.

Jangan menulis sajak cinta, ketika kau rasa cinta,
yang kau dapatkan hanya sajak penuh pura-pura.

Hingga cinta cukup berjarak, sajakmu tahan saja,
Meski dalam cinta, sajak datang amat ramahnya.

Cinta membenci ada jarak, cinta memusuhi sepi,
jarak menciptakan cukup sepi, sajak menemu diri.

Tapi kenapakah telah begitu banyak ditulis sajak cinta,
tak lihatkah, mereka lahir dari cemas yang teramat ada.

Tapi kenapakah masih saja ditulis sajak-sajak cinta,
tak apa, asal sajak cintamu tak lahir dari cinta itu saja.



7. Gurindam Pasal yang Ketujuh:
Bagi Sajak, Bagi Siapa

Untuk siapakah sebenarnya sajak kau cipta?
sia-sia jika kau tak menulisnya untuk sajak saja.

Kepada siapa bisa kau berikan sajak-sajakmu?
sajak perlu diberi hidup, beri ia pada yang tahu.

Ada penyelinap dalam sajak yang seolah sajak,
Ah, malanglah, ia tak akan mampu jauh bertolak.

Adakah sajak yang kau sebut sesungguh sajak?
sajak hidup dalam kau, kau hidup dalam sajak.

Siapakah kau yang terus rindu mencari sajak,
kau yang menemu diri tapi masih merasa tak berjejak.


8. Gurindam Pasal yang Kedelapan:
Cari Sajak, Hilang Sajak

Orang-orang pergi tinggalkan rumah Sajak,
hendak kemana? "Kami mau berburu sajak!"

Orang bongkar tubuh kamus ke sumsum kata,
mencari apa? "Sajak, kami sedang menjebaknya!"

Orang-orang melompat renggut kalimat-kalimat,
mau apa? "Kami mau sajak, meringkus bila dapat!"

Wah! Orang-orang menelanjangi tubuh sendiri!
ketemu apa? "Sial, malah hilang semua sajak kami!"

Kata penyair itu, "Tolong jangan aku disebut-sebut."
Nah! Lihat, di sajak ini pun dia tak mau terikut-ikut.

9. Gurindam Pasal yang Kesembilan:
Anakmu Sajak, Lepaskan Sajak

Sajakmu anak kandungmu, beri ia lebih dari cinta
lahir dari rahim resahmu, beri rindu yang keras kepala.

Seringlah bertatapan: matamu dan mata sajakmu,
di matanya dia akan kekalkan cahaya matamu.

Beri nama terbaik pada kata-kata sajakmu,
sajakmu nanti fasih menyebut namanya dan namamu.

Sajakmu anak batinmu: ia menyuarakan diammu,
jangan paksakan ia jadi corong kecerewetanmu

Lepaskan saja sajakmu berlari jauh dari pangkuan
biar tangan hatimu dan tangan hatinya berpegangan.

Biarkan sajakmu bertemu hati yang mencintainya
tetap ada darahmu mengalir dalam bait tubuhnya.

10. Gurindam Pasal yang Kesepuluh:
Menuju Sajak, Jalan Sajak

Bila kau berkata, "aku sedang menuju sajak!"
Yakinkah kau? Kau sedang menempuh jalan Sajak?

Bila kau berkata, "aku telah sampai pada sajak!"
Tahukah kau? Selalu ada yang lebih Sajak dari sajak?

Bila kau berkata, "aku telah menemu yang paling sajak!"
Sadarkah kau? Saat itu kau ditinggalkan banyak sajak?

Bila kau berkata, "aku bersajak, ah, percuma saja!"
Padahal sajak adalah pemakna pada yang sia-sia.

Bila kau berkata, "aku tak menemu diri dalam sajakku"
Sajak membawa kau mengenali dirimu dalam dirimu.

11. Gurindam Pasal yang Kesebelas:
Ladang Sajak, Ladang Mawar


Tanah hitam di ladang sajak yang mawar,
menyimpan cinta, mendekap tubuh akar.

Embun mandi di ladang sajak yang mawar,
memanggil, lalu datang pelangi selingkar.

Sinar matahari di ladang sajak yang mawar,
mengecup pipi pagi, rindu semalam terbayar.

Semak gulma di ladang sajak yang mawar,
tanggal gugur duri, tinggal sesulur yang sabar.

Angin datang lalu, di ladang sajak yang mawar,
memetik wangi-wangi, menebar benih kabar.

Diam batu di ladang sajak yang mawar,
menahan-nahan takjub meredam debar.

Siul-siul serunai di ladang sajak yang mawar,
ketika sepi pun ia, alangkah merdu kau dengar.

Burung hinggap di ranting sajak ladang mawar,
bermimpi rajut sarang di mekar kelopak mekar.

Akulah Petani Puisi, di ladang yang mawar,
memetik sajak-sajak di tangkai cahaya fajar.

Komentar untuk janin buku Manapak ke Puncak Sajak

Heran saja kenapa ya gak ada penerbit yang kepincut sama buku sebagus itu? Seandainya saja saya punya banayak modal, sudah lama saya menerbitkan buku itu....

Aan M Mansyur - pendiri kafe baca biblioholic

Monday, August 7, 2006

Steven Kurniawan
Profesorkata

: Hasan Aspahani

Dahulu ada seorang profesorkata
yang tekun melakukan berbagai
penelitian demi kesejahteraan
dunia manusia dan puisi.

Profesor bekerja begitu keras hingga
lelah. Ia pun membutuhkan seorang
rekan lalu diciptakanlah sahabat
dan diberi nama: kataprofesor.
Sejak saat itu setiap hari mereka
berlatih kompak melayani sajak.

Kini pekerjaan jadi terbagi dua:
profesorkata meneliti melahirkan
sajak, kataprofesor mencari
asal-usul dan mencatatnya dalam
mitologi sajak.

Setelah bertahun-tahun profesor
bekerja, berlimpahlah varietas sajak.
Mereka semua nanti akan merangkai
namamu dan sahabatmu itu yang
menulis garis-garis tubuhmu sebagai
mitologi: peristirahatan waktu.

Sepakat Bulat atau Membantah Mentah

Bagai berdiri di tepi pantai dan memandang lautan, sebuah panorama yang lengkap dan berkaitan, kemudian makna-makna yang sungguh bermakna menjelma menjadi mutiara di dalam kelopak tiram termuda begitulah aku melihat kumpulan puisi Hasan Aspahani sampai kadang aku tersesat oleh hembusan angin laut, padahal seharusnya aku segera menyelam. - Dedy Tri Riyadi -

PERCAYA komentar Dedy? Penyair yang setiap harinya disibukkan kerja di biro iklan itu? Jangan termakan omongannya dengan mudah. Anda bisa sepakat bulat-bulat atau membantah mentah-mentah, setelah membaca sendiri janin buku dari blog ini.

1. Monograf Mitologi dan Risalah Dongeng.
2. Skenario Persetubuhan Pertama di Dunia dan Sejumlah Tafsir Lain atas Cinta.
3. Kitab Komik dan Kamus Empat Kata.

Pesan lewat e-mail atau komentar di bawah berita ini.

Sunday, August 6, 2006

Siapa Mau Dami Buku Puisi?

Hasan Aspahani orang yang pandai mengeksplorasi. Tak mudah puas jika hanya berteman dengan beberapa puisi saja. Coba tanya pada puisi: siapa teman terbaik mereka? - Steven Kurniawan.

JANGAN percaya apa yang dikatakan penyair yang baru lepas SMA merantau ke Singapura itu. Soalnya mungkin saja dia mengatakannya ketika dia sedang sekarat puisi. Jadi jika tidak ingin termakan kata-katanya saya menyediakan dua dami buku puisi. Judulnya: Monograf Mitologi & Risalah Dongeng dan Skenario Persetubuhan Pertama di Dunia & Sejumlah Tafsir Lain atas Cinta.

Siapa yang ingin mendapatkan salinannya silakan kirim surat permintaan ke e-mail saya. Percuma eh gratis!

Hasan Aspahani

Thursday, August 3, 2006

Mitologi Hati

     HAMPIR saja pematung itu berkata sempurna dan
tinggal meniupkan kehidupan maka patung tanah itu segera
memiliki nafas sendiri tapi sang pematung merasa harus
menciptakan satu bagian lagi di dalam tubuh patung itu dan ia
memandangi ciptaannya lama sekali lalu dia merasa semakin
cinta pada patung tanah itu dan ia berfikir bahwa satu bagian
yang hendak ia ciptakan sebagai pelengkap itu adalah bagian
yang sangat penting maka ia pun meminta patung cahaya dan
patung api yang lebih dahulu ia ciptakan membisikkan padanya
tentang sesuatu dan setelah menimbang kedua bisikan itu ia
pun menciptakan hati yang hingga kini tak pernah sepenuhnya
dimengerti sendiri oleh patung tanah itu entah apa yang dulu
dibisikkan oleh patung cahaya dan patung api kepada sang
pematung itu.

Mitologi Mata

     MAKA bertanyalah mata kepada telinga kenapa kau
tak pernah memejam dan telinga menjawab aku harus terus
menerus berjaga agar bisa selekasnya membangunkan kau
apabila ada sesuatu yang datang dari balik dinding sesuatu yang
datang dari arah belakang sesuatu yang datang dari kegelapan
dan sesuatu itu penting untuk selekasnya kau beri kesaksian
sebab aku sendiri tak bisa yakin dengan suara yang datang
kepadaku sebelum kau melihatnya dan meyakinkan aku bahwa
sesuatu yang aku dengar itu memang sesuatu yang kau lihat.

Mitologi Layang-layang

     KARENA dua anak lelaki itu berdebat soal
angin maka lelaki itu mengajak mereka ke hutan
bambu dan menebang batang terbaik kemudian
mengajari mereka meraut bilahnya menjadi
layang-layang dan kedua anak lelaki itu
kemudian asyik bermain dengan benang dan
angin dan melupakan perdebatan mereka dan
lelaki tua itu pun tampak tersenyum ke arah
langit seakan-akan ia sedang bertukar pandang
dan berbalas senyum dengan sesorang di atas sana.

Wednesday, August 2, 2006

Mitologi Padi

     KARENA ingin lebih mengenali lagi lumpur yang
memeluk akarnya bulir padi pun menunduk seperti ada
terima kasih yang ingin dia bisikkan tetapi lumpur
terlalu sibuk menjaga rambut-rambut akar dan anak
rumpun padi karena dia tahu dia akan selamanya di
sawah itu dan dia ingin memastikan hara yang ia
persembahkan diteruskan dengan baik oleh jerami
hingga ke daun dan matahari saat itu cerah sekali
membuat bulir-bulir padi itu semakin runduk mendekat
ke tanah tapi semakin tak bisa mengucapkan apa-apa.

Mitologi Sayur

     KEPADA seekor ulat yang baru saja menetas
dari telur kupu-kupu itu sayur berkata lekas
makanlah secukupnya dari daun-daunku lalu
sembunyi ke tangkai teramanku kemudian
berkempomponglah segera lalu menjelma lagi
jadi kupu-kupu sebab ada yang benci pada wajah
burukmu dan dia itu pura-pura tak tahu bahwa
engkaulah yang kelak menjelma jadi kupu-kupu
bersayap indah itu dan aku tak bisa melarang ia
membencimu karena dia adalah dia yang merawat
dan menyiramku setiap pagi itu.

Mitologi Ombak

     PELAUT itu ditenggelamkan badai pertama yang
ia hadapi pada pelayaran pertamanya dan perempuan
kekasihnya menyusul dengan kematian yang tidak
semestinya setelah membasahi pantai dengan tangisnya
dan di pantai itu ada kubur tanpa tanda seperti kubur di
laut yang tak pernah akan ada siapa pun datang berziarah
seperti ingin segera menyelesaikan kisah percintaan yang
ingin lekas dilupakan kisah yang tak ingin pernah dianggap
ada dan hanya ayun ombak yang setia menyampaikan
pesan-pesan rahasia dari laut lelaki dan lantun angin
mengirim jawaban-jawaban rahasia dari pantai perempuan.

Tuesday, August 1, 2006

Mitologi Mimpi

     KEPADA peri mimpi gelandangan itu memesan mimpi
setelah lama tidak bermimpi dan dia minta dikirimi
mimpi tentang dunia tanpa rumah dan tanpa mimpi karena
semua keinginan pasti dikabulkan ah pasti damai sekali
katanya tetapi setelah beberapa malam menunggu
tak ada mimpi yang datang dalam tidurnya lalu
dia datangi lagi peri mimpi dan bertanya apakah dia
sudah mengirimkan mimpi pesanannya ke alamat yang
benar dan si peri menjawab dia sendiri yang mengantar
mimpi yang penting itu tetapi rumah tidurmu gaduh
sekali sampai tak mendengar aku mengetuk pintumu
maka kubawa lagi mimpi pesananmu itu ke puriku sebab
kalau kuletakkan di depan pintu saya takut ada orang
lain yang mencurinya lalu gelandangan itu pun berkata
kepada peri mimpi baiklah nanti malam aku tidur di
luar rumah tidur saja supaya tidurku tenang jangan lupa
datanglah lagi mengantarkan mimpi pesananku itu.


The Mithology of the Dream
Trabslated by Dedy Tri Riyadi

    To the dream’s fairy the vagabond is booking a dream since a long time ago he never dreamt and he is asking for dream delivery about world without home and without a dream at all because every desire will meet it’s destiny ay so peaceful he say but after several night waiting there is no
dream come by in his night sleep so he comes again to the dream fairy and ask to her have she been delivery correctly his booking dream to his own address and the dream fairy say that she herself which deliver the important dream but your sleeping home is very racket to hear me knocking your door so I take it back all of your booking dreams to my castle just because if I put it in front of your door I afraid if somebody steal it and the vagabond say to the dream fairy it’s all right then because tonight I shall sleep out of my house for my conveniently sleep but please don’t be forget to comes again to delivery my booking dream.

Mitologi Tanah

     MENGINJAK tanah ini seperti menginjak tubuh sendiri
kata lelaki itu dia yang mengayun langkah pertama di bumi dan
sebisanya dia mengingat pertengkaran terakhir di surga sana
tentang apa yang kini seperti memegang kakinya seperti
menahan tubuhnya agar tak kembali ke langit sana dan di
depannya pohon-pohon berbuah berjatuhan ke tanah dan
ada yang rekah dan menumbuhkan tunas pertama seperti
isyarat pertama tentang apa yang harus dimakannya tanpa
cemas dan seperti ada desir yang sama di tubuhnya dan
di tubuh bumi yang saat itu mulai banyak membentangkan
tanda tanya ketika luka di kakinya mengeluarkan cairan
darah dan ia biarkan kembali ke tanah seperti firasat
kemana ia kelak juga akan kembali tapi ia tak sempat
bertanya duri apa tadi yang membuat luka di kakinya.