Thursday, March 31, 2011

Pohon yang Kuat

Sajak Douglas Malloch

Pohon yang tidak pernah berani menantang
matahari dan langit dan angin dan petir
Tapi tumbuh di tanah yang datar terbuka
Selalu saja mendapat limpahan air hujan,

Ia tidak akan pernah meraja di hutan
cuma akan tumbuh dan mati sebagai semak. 
Lelaki yang tak pernah keras bekerja
menggaru dan membajak sepetak tanah,

Yang tak pernah merebut haknya dari
matahari dan langit dan petir dan angin,
tidak akan jadi lelaki yang lelaki
Tapi ia hidup dan mati, seada-adanya

Pohon yang kuat tak tumbuh dengan mudah:
Makin ganas angin, makin kuat cabang,
Makin jauh langit, makin menjulang tajuk,
Makin liar badai, makin kukuh batang

Pada panas dan dingin, hujan dan salju
Di situ pohon dan lelaki, tumbuh kukuh,
Di hamparan lebat, subur tumbuh hutan,
Kita temukan leluhur datu kedua-duanya, 

Dan tetap mereka memohon kepada bintang
Menunjukkan bekas luka pada dahan patah
Tersebab angin dan kerasnya pergesekan,  
Begitulah kaidah wajar dalam kehidupan.
 

 

Good Timber

    by Douglas Malloch
The tree that never had to fight
For sun and sky and air and light,
But stood out in the open plain
And always got its share of rain,

Never became a forest king
But lived and died a scrubby thing.
The man who never had to toil
To gain and farm his patch of soil,

Who never had to win his share
Of sun and sky and light and air,
Never became a manly man
But lived and died as he began.

Good timber does not grow with ease:
The stronger wind, the stronger trees;
The further sky, the greater length;
The more the storm, the more the strength.

By sun and cold, by rain and snow,
In trees and men good timbers grow.
Where thickest lies the forest growth,
We find the patriarchs of both.

And they hold counsel with the stars
Whose broken branches show the scars
Of many winds and much of strife.
This is the common law of life.

Hari Ini, Betapa Indahnya

Sajak Douglas Malloch

SUNGGUH, dunia penuh marabahaya
Aku tak akan membantahnya,
Aku punya alasan, Tuhan, bahkan ada
dua kali banyaknya untuk berkeluh-kesah;
Karena datang hujan dan badai, aku resah
Dan langit seringkali kelabu;
Di jalanan, aku luka
oleh jeruju dan semak berduri, tapi
bukankah, hari ini alangkah indahnya? 

Apa gunanya senantiasa menangis,
berlalukah bahaya karenanya?
Apa gunanya selalu saja memikirkan
masa lalu yang sudah berlalu?
Segalanya pasti pernah sengsara -
Air dengan anggurnya;
Hidup, memang bukan sebuah pesta.
Marabahaya? Aku pernah menanggungnya,
Tapi hari ini, ah, betapa indahnya!

Inilah hari, hari kehidupanku,
Bukan sebulan yang sudah lalu.
Datang; hilang, meraih; memberi;
Begitulah beriring waktu
Kemarin kabut penderitaan
Jatuh di sepanjang jalan,
Mungkin akan hujan lagi esok hari,
Ya, mungkin akan hujan lagi - tapi aku bilang,
Bukankah, ini hari alangkah indah?

Siapapun Engkau, Jadilah yang Terbaik

Sajak Douglas Malloch

JIKA kau bukan pinus di puncak pebukitan,
Jadilah perdu kecil di lembah - tapi kau adalah
perdu kecil yang terbaik di sepanjang bantaran,
Jika kau tak bisa jadi pohon, perdu pun jadilah.

Jika kau tak jadi semak, jadilah rumput saja,
Dan buatlah jalan raya menjadi lebih bahagia,
Jika tak jadi maskinonga jadilah ikan bas saja
Tapi di danau itu kau ikan bas paling bertenaga

Kita tak semua jadi kapten, ada awak kapal saja,
Di sini, bagi masing-masing kita, pasti ada sesuatu
Ada kerja besar, ada juga pernak-pernik kerja,
Tugasmu tunaikan yang teraih di dekat tanganmu

Jika tak bisa jadi jalan raya jadi setapak saja,
Jika tak jadi matahari, jadilah bintang saja,
Bukan dengan angka,  mengukur juara atau binasa
Siapa pun kau, jadilah terbaik yang kau bisa.

Catatan:
- Seperti biasa, saya menerjemahkan dengan suka hati dan suka ria, jangan menuntut pertanggung-jawaban yang tak terganggung dan tak terjawab oleh saya. .

- Sajak asli dalam Bahasa Inggris dan sajak-sajak Malloch lainnya dapat dibaca di situs ini.

Bandingkan Saja Kedua Sajak Ini

Kerendahan Hati
Oleh Taufik Ismail (?)
 
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri







Be The Best of Whatever You Are
by Douglas Malloch

If you can't be a pine on the top of the hill
Be a scrub in the valley--but be
The best little scrub by the side of the rill;
Be a bush if you can't be a tree.

If you can't be a bush be a bit of the grass,
And some highway some happier make;
If you can't be a muskie then just be a bass--
But the liveliest bass in the lake!

We can't all be captains, we've got to be crew,
There's something for all of us here.
There's big work to do and there's lesser to do,
And the task we must do is the near.

If you can't be a highway then just be a trail,
If you can't be the sun be a star;
It isn't by size that you win or you fail--
Be the best of whatever you are!

Entah di Bandara Mana

KITA menunggu hukuman ringan: saling meninggalkan. 
Bagai pengungsi Pakistan, di penjara Afganistan.
 
Aku tiba-tiba tua, di sebuah tidur dalam pesawat 
petang: mimpi tentang kedai pijat dan katil kecil 
di sebelah masjid. Kau jamaah, sebentar singgah.
 
Kita bagai lari dari harapan ke harapan, menumpang 
di bak truk yang mengangkut apa saja: sepatu gurun, 
senapan, karung-karung opium, dan juga Tuhan.
 
Kita menunggu hukuman ringan: saling melupakan.

Tuesday, March 29, 2011

Di Matamu, Pejamku Berlabuh

               : M Aan Mansyur

PADA secawan coto itu,
kita dengar lidah bersabda:
Tuntutlah rasa sampai ke
negeri Mangkasara.

Lalu, kita saling suap,
dengan satu sendok yang
sama, dan saling memejam,
menebak apa yang akan
terjadi di lidah kita, oleh
panas, pedas, kental, dan
keruh kuah.

"Ini sendok yang keberapa?"
kita saling tanya. Aku
berkali-kali menyayangi
sebilah sendok, lalu patah
atau hilang begitu saja.

Sendok itu, di suatu hati
yang membentang laut sendiri,
menjadi pengayuh di tangan
seorang  pelayar yang asing.

*

Pada secawan soto itu,
kita tebak yang tertakung,
di sendok cekung: babat,
usus, paru, hati, dan limpa,
atau jantung? Segalanya
serba sepotong, dan api
di dapur belum padam,
telah menyala berjam-jam.

Engkau sejak semula telah
bilang, "nanti aku akan
menangis," dengan air
mata pedis yang membuat
mataku memar, sememar serai,
hijau seperti taburan daun
seledri, yang semalaman kau
iris tipis-tipis, sangat tipis.

Kita bisa saja lupa pada
kecap, atau perasan jeruk
nipis, pada ayat di kitab,
atau petikan riwayat hadis,
atau pura-pura tak tahu
pada ruap uap lengkuas,
tapi pada saat-saat manis,
setelah bergundah seperti
ini, bisakah kita saling
meniadakan? Menghapus yang
begitu saja ada di sana?

Nama yang membaca kita?
 
*

Rawan, bimbang, mengapung
bagai iris-irisan dari
sebatang: panjang daun bawang,
sendok kita, mengaduk,
seperti dayung perlahan
mengelak rumpun kiambang


Genangan yang mendanaukan
gerimis, sepasang airmata kita.

Di mulutmu, mulutku menepi
Di lidahmu, lidahku bertambat
Di matamu, pejamku berlabuh.


Draf Akhir Sampul "Lelaki yang Dicintai Bidadari"


EDITOR dan saya akhirnya sepakat pada desain ini. Sentuhan akhir sudah diterakan oleh MN Jihad desainer asal Yogyakarta yang menggarap buku ini. Saya rekomendasikan dia kalau Anda ingin menerbitkan buku.

Kata penyagang (endorsment) saya "curi" dari twitter Goenawan Mohammad, dan dari dua kawan baik yang belum pernah temu muka dengan saya: Salman Aristo dan Andrei Aksana. Salman adalah penulis skenario handal. Andrei novelis best seller. Mereka para pemberi kata sagangan itu adalah lelaki-lelaki top yang dicintai bidadari. Terima kasih.  

Oh ya, satu lagi ada stok komentar keren dari kawan Ananda Sukarlan. Komentarnya saya terakan di teks di blog ini, dan aaya simpan untuk buku berikutnya. Terima kasih, Mas Andy. 


Jadi, kawan, tunggu saat buku saya itu meluncur ke toko-toko buku, ya. Ikuti perkembangannya di blog ini dan di twitter saya @haspahani.

Monday, March 28, 2011

Desain Sampul Revisi Pertama (2)


MN Jihad mengganti warna dominan ke ungu. Sangat menarik. Dia juga mengganti jenis huruf subjudul. Bidadari kecil yang jadi pusat perhatian jadi lebih menonjol dibandingkan desain awal.

Alternatif ke-3 Desain Sampul


MN Jihad untuk menafsirkan bidadari dengan cara lain. Dengan sayap kupu-kupu, bukan sayap burung. Dia menyarankan ini. Ini tafsir yang menarik. Saya suka komposisi warnanya.

Desain Sampul Revisi Pertama (1)


SAYA minta desainer MN Jihad mengganti jenis huruf dari desain pertama. Saya suka ini. Huruf judul diambil dari desain kedua. Ready Susanto, bagaimana pun akan membicarakan dengan tim penerbit. Tentu ada pertimbangan lain selain artistik.

Dua Desain Awal Sampul Buku "Lelaki yang Dicintai Bidadari"


INILAH dua desain awal sampul buku Lelaki yang Dicintai Bidadari. Desain dikerjakan oleh MN Jihad, desainer dua buku saya sebelumnya. Saya belum memutuskan mana yang akan dipakai.

Akan ada perubahan jenis huruf dan saya masih menunggu kata penyagang (endorsment) dari beberapa orang untuk diterakan di sampul belakang.

Buku ini akan diterbitkan oleh KIBLAT, Bandung, penerbit milik Ajib Rosidi. Buku ini terbit berkat upaya editor Ready Susanto. Kiblat sudah menerbitkan banyak buku puisi, antara lain penyair yang saya suka Ook Nugroho, Matdon, Soni Farid Maulana, dan lain-lain.

Sunday, March 27, 2011

Restoran Gulai Kelinci

KITA tamu terakhir restoran rugi ini, memesan gulai kelinci. Di genangan kuah itu, duka melompat kian kemari, riang sekali. Bagai lagu dan tari Chica dan Adi.

Pada semangkuk gulai ini, mengapung sepasang mata kelinci, memandangi kita, seperti tatap penjaga gerbang tinggi, memergoki kita mau lari, bolos sekolah lagi.

Sepi sekarang memenuhi semua kursi di restoran ini, menemani kita yang saling menunggu, siapa yang lebih dahulu menangis, dan siapa yang lalu mengikuti.

Saturday, March 26, 2011

Sepenggal Lidah Menyisa

NANTI kita meniti, pada lidi, kosong bilah-bilah sate. Apa yang terpotong dan tertusuk di situ tadi? Aku bertanya, sepenggal lidah menyisa.

Daging lidah kita, pada bilah bambu itu, meneteskan darah. Darah itu tak teruapkan oleh api. Darah itu: kata yang tak sempat kita ucapkan tadi.

Induk Bersayap Hangat

IBUKU penjemput subuh. Matanya selalu lebih lekas terbit daripada matahari. Tangannya cahaya, menyibakkan dingin kelambuku. Ibuku penimba hati.

Rumahku berpagar turus buncis. Perdu sesulur labu. Ibuku separuh petani, separuh penari. Ia pandai menumis, pucuk-pucuk tangis.

HARI kami panjang, harapan kami pendek. Tapi ibuku pemintal handal. Ia jalin doa-doa hingga selalu lebih panjang daripada perigi paling dalam.

Di belakang rumah kami, halaman lapang. Unggas bebas tak berkandang. Ibuku induk bersayap hangat, yang tak mengerami anak-anaknya.

Friday, March 25, 2011

Lenggang Iga Panggang

SAATNYA mengucap cinta dan selamat tinggal kepada iga panggang, sebelum rusuk liar itu, menusuk dan merusak pinggang, membatu dan mengarang.

Ah, sekawah kuah, mengirim salam kepada soto tanpa nama yang sesak dan terus tumpah! Membanjiri ruang kunyah! Ah, lapar yang mewah!

Secawan kuah sup, padanya sesal menyusup, di antara silinder wortel, rampai daun seledri, dan kubusan kentang. Kita tak selesai, saling suap, saling hirup!

Kau sambal mangga, meninggalkan getah yang melepuhkan, jauh di tangkai, jauh di dahan. Di talamku kau terbuka, kubayangkan lidahku luka. Luka yang nyata.

Mulutku mangkok acar, bila diam akan makin masam, dan bila mengunyah makin pedas air ludah. Siapa di antara kita, yang Juru Masak sebenarnya?

Thursday, March 24, 2011

Serawan Kuah Rawon

SEPERTI mendung yang ragu, kelam serawan kuah rawon. "Di langit seperti itu, kami ada sebagai apa?" tanya ganih kecambah dan telur asin, sebelah.

Sepunjung sendok kopi sambal sudah kutambah, memenuhi janji lidah, pedas yang nyaris membuat selera kita murtad dan terus menyembah.

Ah, betapa ingin kukenali menu tua, sarapan ini. Ah, tapi betapa asing laparku sendiri, lapar yang mengoranglainkan aku sendiri.

Thursday, March 17, 2011

[ oase ] Jangan Tunda



KALAU untuk mengerjakan sesuatu kita harus menunggu sampai prasyarat-prasyaratnya tercukupi lebih dahulu, pasti tidak akan banyak yang bisa kita lakukan. Kalau untuk sehat dan berolahraga kita harus menunggu punya sepatu lebih dahulu, kita pasti akan lambat memulainya. Bukankah untuk berolahraga kita bisa lakukan tanpa harus menunggu sepatu? Prasyarat ini dan itu, kadang-kadang hanya kita jadikan alasan untuk menunda.[]

Monday, March 14, 2011

[ oase ] Tinggalkan Jejak


HIDUP adalah perjalanan. Kita menempuh jalan kehidupan kita masing-masing. Kita memulai dari titik sendiri dan kelak berhenti di titik kita sendiri. Banyak panduan yang bisa kita pedomani. Banyak rambu yang harus kita indahkan.

Jika jejak yang kita tinggalkan adalah sejarah maka Ralph Waldo Emerson punya saran. "Jangan menempuh jalan yang sudah ada. Pergilah ke tempat yang di situ bahkan jalan setapak pun tak ada, dan tinggalkan jejakmu," katanya.[]

Sunday, March 13, 2011

Seekor Kodok Bernama Koka


/1/

NAMAKU Koka, kodok mata merah yang lincah dan jenaka.

Aku suka memanjati daun pisang, membuat bayangan dengan
matahari pagi yang hangat dan terang. "Aku tak bisa melihat
bayanganmu, dari balik hijau daun pisang itu," kata matahari.

"Aku juga tidak bisa," kataku, "aku tahu kawanku si kadal
suka  melihat bayanganku dan mungkin dia mau bercerita." 

Tapi, kadal kawanku itu, tidak pandai bercerita. Ia  menggeleng.
Malu-malu. Lalu ia berlari ke balik perdu, sesemak keladi itu.

/2/
DARI ujung pucuk pisang, aku suka melompat ke kolam kecil.

Aku suka mendengar suara yang kubikin bersama air, saat
aku menyentuh dan menyibaknya. "Ulangi lagi, panjat pohon
pisang dan lompati lagi aku. Aku juga suka mendengar suara
sibakan air saat kamu tercemplung padaku," kata Kolam itu.

Aku pun memanjat lagi. Melompat lagi. Tercemplung lagi.

/3/
DI kolam kecil itu ada teratai. Aku suka melompati dari satu
bentang daunnya, ke bentang daun lainnya. "Hati-hati, nanti
lompatanmu merobek dia," kata Ikan Mas kecil yang suka
bernaung di bawah teratai itu, dan kaget karena lompatanku.

"Tak apa-apa," kata Terarai. "Melompat saja, aku suka melihat
riak air yang melingkar, melebar dari tepi-tepi daunku, saat
kamu melompati aku!" Kini, aku dan Ikan Mas suka melompat
bersama, membikin lingkaran riak yang banyak, dan menggoyang-
goyang tangkai teratai. "Melompat lagi. Ayo, melompatlah lagi!"


Wednesday, March 9, 2011

[ KOLOM ] Seandainya Saya di Libya

 SEANDAINYA saya di Libya, seandainya saya penduduk negeri itu, saat ini, maka saya kemungkinan juga akan turun ke jalan.  Berunjuk rasa menuntut pemimpin kami  turun dari kursi kekuasaannya, dengan risiko mati ditembak pasukan sadis yang dipersenjatai khusus oleh Muamar Khadafi, pemimpin kami itu. Kenapa?  Karena inilah puncak kebosanan hidup di negara dengtan penguasa otoriter, dan saya tak punya pilihan.


Umur saya sekarang 40 tahun.  Itu artinya, sejak saya lahir, Khadafi sudah berkuasa lewat kudeta militer menggulingkan Raja Idris I, tahun 1969. Apa yang diberi Khadafi pada negeri ini? Pada mulanya dia adalah harapan.  Ia meniru Mao – pemimpin Cina dengan Buku Merah Kecil - menyebarkan panduan revolusi bernama Buku Hijau, dan kami membaca dengan takzim.  Tapi kemudian dia hanya memperkaya diri dan keluarganya sendiri. Anaknya berpesta di London, mengundang biduan Amerika dengan bayaran yang cukup untuk makan sehari dengan menu sederhana separo orang di Libya ini.

Saya tidak lagi muda. Tapi juga belum tua.  Usia 40 tahun adalah puncak usia produktif.  Anak saya dua. Tapi apa artinya berusia 40 tahun kalau saya menganggur?  Atau kalau saya punya pekerjaan, maka setiap hari saya terancam menjadi lebih miskin karena harga pangan naik terus?  Dan saya lebih cemas lagi dengan masa depan anak-anak? Apakah saya harus biarkan mereka tumbuh empat puluh tahun lagi dengan penguasa yang sama, atau penguasa berganti tapi mewarisi tabiat yang sama? Bersama saya ada 6,5 juta penduduk di negeri ini, 58 persennya anak muda di bawah 30 tahun.  Dan separo dari anak muda itu menganggur.

Anak-anak muda itu, seperti Mohammad Bouazizi, pedagang buah keliling di kota kecil Sidi Bouzid di Tunisia.  Bouazizi membakar diri, setelah gerobak buahnya dirampas polisi karena dia tak sanggup membayar pajak dagang yang mencekik leher. Bouazizi membakar diri setelah seorang polisi perempuan menempeleng dia, dan  lalu dua minggu kemudian tewas dan selebihnya adalah revoluisi yang menggulingkan presiden.

Bouazizi kehabisan harapan. Kami, anak-anak muda penganggur di negeri, juga tidak lagi punya harapan bahwa Khadafi bisa memberikan kehidupan yang lebih baik di negeri ini. Adakah pilihan lain dalam situasi seperti ini selain turun ke jalan?

Kami mungkin pernah bangga dengan Khadafi.  Ia dulu mempertontonkan pada dunia bagaimana ia tinggal di tenda dan dikawal oleh pasukan wanita. Ia selama 40 tahun sudah, berhasil "merukunkan" suku-suku padang pasir yang sejak dulu punya tradisi bermusuhan.

Tapi ternyata rukun di bawah penguasa otoriter dengan hidup yang makin tak jelas masa depannya, dan ancaman pemiskinan yang kian nyata itu tidak nyaman. Benar-benar tidak nyaman. Apalagi kesenjangan kian menganga! Minyak yang berlimpah di bawah gurun-gurun di negeri kami, hanya memperkaya sebagian elit di lingkaran orang dekat Khadafi.

Kami pernah bangga dengan Khadafi karena berani melawan Amerika, negeri yang jadi sasaran kebencian bersama kami.  Karena itu kami pernah mencintai Khadafi. Ia melawan Amerika ketika Libya dihubungkan dengan kelompok teroris - mereka menyebut Agen Libya - yang membajak dan meledakkan pesawat Pan Am dan menewaskan 270 penumpang.

Tidak ada tanda-tanda kapan Khadafi mengundurkan diri.  Juga tidak jelas siapa yang akan menggantikan dan bagaimana menggantikan dia. Kami tidak punya pengalaman untuk mengganti pemimpin. Mungkin inilah pilihan satu-satunya: kami harus turun ke jalan. Dengan cara itu kami melumpuhkan semua mesin kekuasaan Khadafi. Inilah pilihan satu-satunya. Inilah revolusi kami. Revolusi yang merebak di negeri-negeri di jazirah Arab ini.

Revolusi? Itu seperti terdengar datang dan diucapkan dari beberapa abad yang lalu ya?  Ah, dunia sedang memasuki  tahap yang berbeda lagi. Revolusi? Jika ia api kami mungkin terlambat menyalakannya di negeri kami.  Jika ia api, maka kami yakin api itu akan membakar penguasa otoriter dan kami berharap ini adalah pelajaran penting bagi perjalanan negeri kami selanjutnya.  Penguasa otoriter, atas nama apapun dia memimpin rasanya memang tak layak lagi diberi tempat di manapun di dunia yang tua ini.  Dunia yang kian sesak ini.

Sesak? Ya, tahun ini, saya tahu penduduk bumi  mencapai tujuh miliar. Pertambahan penduduk bumi makin cepat!  Perlu tiga puluh tahun untuk mencapai pertambahan satu miliar dari dua milir di tahun 1930 menjadi tiga miliar di tahun 1960. Tapi, sekarang pertambahan satu milir di tahun ini hanya perlu waktu sebelas tahun.  Di tahun 1999 penduduk bumi masih enam miliar.  Di tahun 2045, penduduk bumi akan mencapai sembilan miliar!
 
Kami, di negeri kami, di  Libya ini, ingin juga ikut berbuat sesuatu untuk menciptakan dunia yang nyaman untuk dihuni bersama.  Tapi, dengan penguasa yang lupa pada rakyat, atau sibuk memperkuat persenjataan karena nafsu untuk menjadi tokoh penting di percaturan politik dunia, rasanya tak ada yang bisa kami sumbangkan untuk dunia ini.  Itu sebabnya kami turun ke jalan. Kami menguasai kota-kota.  Kami tak tahu bahwa kami bisa melakukan ini semua.  Sudah 40 tahun sudah lamanya kami diam. Kami takut.  Dan kini kami sampai pada puncak ketakutan itu. Kami sadar tak ada yang harus kami takuti kecuali ketakutan kami sendiri.

Dunia, saksikanlah kami. Kami berhasil mengatasi ketakutan kami.   Peluru yang dibeli dari anggaran militer besar di negeri kami, ternyata hanya bisa membunuhi kami, penduduk yang seharusnya bisa makan dari harga peluru itu. Khadafi, kalian dengar pidatonya? Dia menganggap kami  tikus dan kecoak yang harus diburu sampai ke liang-liang kota.  Dan itu dilakukan oleh tentara yang kami yakin di hatinya juga bersemayam ketakutan akan kemiskinan.

Dunia, saksikanlah betapa berbahayanya penguasa yang lupa, buta dan tuli. Ia tak mendengar jeritan lapar dan putus asa kami, rakyatnya sendiri.  Apa yang terjadi di negeri kami saat ini, kami harap menjadi contoh terakhir bagi dunia, bahwa penguasa lalim bisa hadir dari sosok yang semula datang dengan penuh janji dan harapan.  Kalau selama ini kami diam, kami tidak bodoh.  Ya, kami akui, kami takut, tapi sekarang tidak lagi.
Kalau saya mati, tertembak oleh tentara negeri kami sendiri, rasanya saya tidak akan menyesal. Kalau dengan cara ini pun Khadafi tak juga tumbang, rasanya saya juga tidak akan menyesal. Tapi saya sangat yakin dengan cara apapun penguasa tua itu pasti akan jatuh. Saya berharap sistem terbaik bisa diterapkan di negeri ini. Sistem yang memungkinkan kami memilih pemimpin terbaik, sistem yang membatasi kekuasaannya, dan sistem itu juga menyediakan mekanisme bagaimana kami mengganti pemimpin.  Dunia pasti tidak akan sempurna, tapi kita punya harapan untuk membuatnya menjadi lebih baik. []


Tuesday, March 8, 2011

Paz, Pembaca yang Rakus

Octavio Paz
 
ALFRED MAC ADAM  
Bagaimana dengan buku? Saya ingat Borges yang pernah bilang bahwa dia benar-benar tidak pernah meninggalkan perpustakaan ayahnya.
 
OCTAVIO PAZ
Rasa ingin tahu kami sama. Kakekku punya perpustakaan yang hebat, dan itu sesuatu yang luar biasa ada di sebuah rumah Mixoac. Di situ ada enam atau tujuh ribu judul buku, dan saya punya kebebasan luar biasa untuk membaca di situ. Saya pembaca yang rakus ketika saya kanak-kanak. Saya kadang-kadang membaca buku-buku yang "terlarang" karena tak ada yang pernah memperhatikan di perpustakaan itu saya membaca buku apa. Saya terlalu muda rasanya ketika saya membaca Voltaire. Itu mungkin yang membuat saya kehilangan sisi religius saya. Saya juga membaca novel yang kurang lebih isinya merendahkan wanita, bukan pornografi tapi sedikit cabul. 

:: Dipetik dari Paris Review, The Art of Poetry No. 42

Monday, March 7, 2011

[ oase ] Imajinasi


KETIKA saya menguji diri saya sendiri dan metode berpikir saya, , kata Albert Einstein, saya sampai pada satu kesimpulan bahwa anugerah berupa fantasi lebih berari daripada bakat - untuk menyerap pengetahuan positif.

Masalah datang selalu dengan wajah dan tantangan baru. Maka imajinasi dan kemampuan berfantasi - membayangkan solusi-solusi yang belum pernah ada sebelumnya -  menjadi penting. Jauh lebih penting daripada bakat dan kecerdasan.

Sunday, March 6, 2011

Satu Bait Tegak, Satunya Miring (3)

           TAHUKAH  bulan tentang bait-bait tentangnya yang dituliskan penyair dari zaman ke zaman? Mendengarkan bulan lagu-lagu yang dinadakan penggubah keharuan? Dilantunkan biduan bersuara selentur buaian? Selembut kilau kunang-kunang? 


           BULAN mungkin telah lebih tabah mendengarkan jeritan, dari nganga luka di tubuh si malang, tertebas parang, waktu yang tajam dan panjang, pangkal ke hulu, perjalanan telah jauh meninggal asal. Julur lidahnya alir darah, masin dan kental, menjilati duka sendiri.  

20. Dengan Dua Kaki dan Sepundak Beban

YANG oleh dingin didekapan, ia lingkup di lengan, ia rapatkan
Yang angin bisikkan, ia tak mengerti, tapi tetap rapi ia simpan
Yang ingin kusampirkan, menyusup ke lain, ke bait pesan
Yang ingin kurahasiakan, sendiri mengucap-mengungkapkan
 
Batu basah disirami hujan, lalu licin lumut menebal perlahan
Batu tabah dipanasi kemarau, dijatuhi daun yang dulu hijau
Aku harus berjalan, dengan dua kaki dan sepundak beban
Aku tak menuju pada engkau, tapi aku tak melupakan engkau

Saturday, March 5, 2011

[ oase ] Sabar dan Waktu


DI Cina, jika seorang sahabat ingin menyabarkan dan menyemangati sahabatnya mereka akan kutipkan peribahasa: Dengan waktu dan kesabaran daun murbai menjadi gaun sutera.

Ada proses yang tak bisa dilangkahi, tak bisa dipercepat. Waktu dan kesabaran itulah kuncinya. Waktu membuat pasti, kesabaran memperteguh kita yang menunggu.

DI benua Amerika lahir seorang penyair dan pemikir yang menuliskan nasihat: Tirulah langkah alam, rahasianya adalah kesabaran. Nasihat itu dituliskan oleh Ralph Waldo Emerson. []

Sajakku di Kompas Minggu

Sajak Hasan Aspahani di Kompas Minggu, 6 Maret 2011

Friday, March 4, 2011

Sebagai Petani, Sebagai Nelayan

                           : dhiana daharimanoza

AKU mencintai engkau sebagai lelaki yang petani
Tekun mengaji dengan dua tangan dan dua kaki
Menyemaikan benih ayat-ayat di Bumi yang suci

Aku mencintai engkau sebagai lelaki yang nelayan
Mengayuhkan dayung di halaman-halaman gelombang
Memungut ikan di jaring yang ditangkapkan Tuhan

Thursday, March 3, 2011

Rumah Kami #001 - Pada Mulanya


FOTO ini saya ambil November tahun lalu. Inilah fasad rumah kami di Batam Center.  "Buat kenang-kenangan," kata Yana, istri saya. Waktu itu, kami bersama Shiela dan Ikra, anak-anak kami, serta Salimin, kepala tukang yang akan jadi pemborong yang merombak habis rumah kami itu.

Salimin tukang yang kerjanya memuaskan kami. Kami kenal dia lewat rekan kantor. Salimin selalu bekerja berdua dengan Suroto. Mereka tukang yang telaten. Hasil kerjanya rapi. Mereka pernah dua kali bekerja merenovasi rumah di Tiban Center, yang sekarang kami tempati, sebuah rumah tipe 27 dengan luas tanah 60 meter persegi.


Kami membeli rumah tipe 45 dengan luas tanah 112 meter persegi, lima tahun lalu. Uang muka dan cicilannya masih sangat murah. Uang mukanya kami cicil sepuluh kali. Kami tergolong pembeli pertama di perumahan yang kala itu baru baru mengembangkan proyek perumahan pertamanya di Batam. Mereka berpameran di DC Mall. Kualitas bangunan aslinya mengecewakan. Beberapa kali saya minta perbaikan atap yang bocor kepada pengembang.


Pondasi Rumah Kami
Sejak kami beli, rumah ini sudah dua kali berganti pengontrak. Kami belum pernah menempatinya. Beberapa kali rencana merombak batal karena berbagai hal. Hal paling berat adalah sekolah anak-anak. Mereka nyaman di sekolah sekarang, SD 02 Sekupang. Akhirnya, kami putuskan kami pindah nanti kalau Shiela sudah tamat SD. Di komplek perumahan baru itu, persis di depan gerbang keluar-masuknya ada SMP 12. Ini tergolong SMP yang bagus kualitasnya. 


Shiela tamat tahun ini. Itu sebabnya sejak November lalu kami sudah mulai merombak, dengan harapan April 2011 ini selesai. Kami rasa, tabungan kami dari bonus dan bagi laba perusahaan sudah cukup. Ternyata tidak. Kami pun mengajukan penambahan kredit dari Bank BTN. Rumah kami ini kami cicil lewat KPR di bank tersebut.(bersambung)





Tuesday, March 1, 2011

Mengemban Amanah dengan “Sebaik-baiknya”


GUBERNUR Kepri  Drs H.M. Sani meminta Walikota Drs H Ahmad Dahlan dan Wakilnya H Rudi SE MM untuk mengulangi frasa itu, karena mereka mengucapkannya  tidak serempak. “Ulangi, ‘sebaik-baiknya’…!”  Pasangan pemimpin Batam yang akan mengemban amanah kepemimpinan 2011-2016 itu pun mengulangi:  “Sebaik-baiknya!”  Dari balkon kanan atas, saya menyaksikan prosesi pengambilan sumpah jabatan dan pelantikan di ruang sidang utama DPRD Kota Batam itu. Selasa (1/3),  ini sidang paripurna ketiga yang pernah saya ikuti di gedung itu. Yang pertama Pelantikan Dahlan-Ria oleh Gubernur Kepri Ismeth Abdullah; yang kedua serah terima Ketua DPRD dari Soeryo Respationo ke Surya Sardi.






Tata Bahasa Indonesia mempunyai satu  proses morfologis unik terhadap kata sifat.  Kata “baik”, misalnya, jika diulang, lalu ditambah imbuhan “se” dan “nya”, maka tercipta sebuah kata bentukan baru: “sebaik-baiknya”. Kata baru ini bermakna superlatif: mengupayakan, mengerjakan atau mencapai sesuatu yang diemban dengan hasil  terbaik yang  mungkin bisa dicapai.   Se +kata ulang +nya, kata guru Bahasa Indonesia saya di SD dulu, bisa jadi alat untuk menguji apakah sebuah kata itu kata sifat atau bukan.  Ucapkan “sebangku-bangkunya”.  Tidak morfologis bukan?  Berarti “bangku” bukan kata sifat. Dan memang itu adalah kata benda.

Dalam teks proklamasi kita temukan juga morfologi kata seperti itu: “…diselengarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Sesingkat-singkatnya berarti sesingkat mungkin, atau tempo tersingkat yang bisa ditempuh.

“Sesingkat-singkatnya”,  “sebaik-baiknya”, - atau dalam sajak Sutardji pernah dia mengulang-ulang kata  “sedap” menjadi “sesedap-sedapnya”, adalah kata dengan kandungan makna kualitatif, bukan kuantitatif.  Tidak ada ukurannya, tapi dia bisa diukur dan dirasakan.

Kita hingga lima tahun nanti, mulai saat pasangan pemimpin baru kita itu memimpin  pada hari dia dilantik dan diambil sumpah, bisa menilai dan merasakan apakah mereka berdua sudah memimpin dan mengemban amanah dengan “sebaik-baiknya”.  Dan itu tidak mudah! Mengucapkannya saja bisa bikin gugup dan harus berulang-ulang sampai terdengar fasih, yakin, dan mantap.

*
    Bagaimana kita melihat kepemimpinan duet Dahlan-Rudi  ini?  Sebagai orang biasa, bersama sejuta lebih rakyat Batam lainnya, pada dasarnya saya pada posisi “konsumen” dari apapun kebijakan yang dihasilkan oleh kepemimpinan mereka.  Merekalah “produsen” kebijakan tersebut.  Produksi kebijakan itu tentu tidak lahir dari ruang steril. Ada kelompok-kelompok pembisik dan penekan. Ada orang dan kelompok oportunis yang datang dengan  kepentingan pribadi dan kelompoknya. Ini lumrah dalam politik sekuno dan semodern apapun.

Kenapa?  Karena keikhlasan adalah barang mahal. Tak banyak orang seperti Chairul Tanjung yang menolak ditawari jabatan menteri , dan memilih pelesiran keluar negeri saat presiden terpilih yang ia bantu – “saya menanam ‘saham’ di semua parpol,” katanya -  sedang sibuk menyusun kabinet.  Tak selalu lahir pemimpin yang tegas seperti Barack Obama yang ketika memulai kampanyenya dengan lantang berteriak, “hei kelompok pelobi  jangan dekati saya!” . Lalu tim Obama – yang sebagian besar adalah relawan yang digerakkan oleh hati karena mereka dipersatukan oleh satu kepentingan: Perubahan - bergerak dari pintu ke pintu warga pemilih.

Pilwako di Batam tidak berjalan seperti Pilpres di Amerika yang dimenangkan Obama itu. Dan itu tidak buruk. Kita hanya harus memakluminya.  Sebagian dari kita mungkin sudah tidak puas dan kecewa. Usulan kenaikan beberapa pajak daerah  oleh asosiasi pengusaha ditolak. Walikota diingatkan soal janji lisan – yang kemudian dibantah, ah, tentu saja kita tak perlu habiskan energi dengan saling bantah – tidak akan menaikkan pajak selama dua tahun ke depan.

 Tapi, begitulah seharusnya komunikasi antara “produsen kebijakan” dan “konsumen kebijakan“  terjadi.  Ada tawar-menawar.  Perda bukanlah titah raja.  Inilah sisi indah dari demokrasi. Ya, demokrasi.  Sistem ini baik, dan harus disadari sesadar-sadarnya bahwa ini bukan jalan terbaik. Kita tidak boleh meyakini sistem ini sempurna, karena itu selalu ada ikhtiar untuk memperbaikinya.  Dan itu bisa sangat melelahkan dan bikin putus asa.

Buat saya, setiap proses politik memilih pemimpin daerah adalah sebuah eksperimen. Segala perlakuan dicobakan di situ. Ada yang gagal dan berhasil.  Yang berhasil pun sebenarnya hanya melanjutkan serangkaian percobaan, serangkaian pengujian lain, sampai kelak masa bekuasanya habis. Ini sisi indah lain dari demokrasi:  kekuasaan yang diberikan lewat pemilihan kepada siapapun,  terbatas dan dibatasi  oleh waktu.  Kalau si penerima kekuasaan ternyata lancung,c ara paling nyaman untuk menyikapinya adalah dengan mengatakan: jangan pilih dia lagi. Ya, demokrasi membutuhkan kedewasaan dan kewarasan seperti itu.

*
     Sehari sebelum pelantikan, Ahmad Dahlan mengatakan dia ingin agar orang Batam menjadikan Batam sebagai kampung halaman pertama.  Saya ingin mengembalikan seruan itu ke beliau. Suatu tempat – buat saya - akan menjadi “kampung halaman” saya kalau tempat itu membuat saya “nyaman” dan “bangga”.  Apa yang disampaikan Huzrin Hood, di malam pengantar tugas, di Hotel Pacific adalah contoh nyata bagaimana sebuah kota bisa membuat warganya nyaman dan bangga.

    “Batam ini seperti Makassar, kampung leluhur Pak Walikota kita ini. Jumlah penduduknya dan APBD-nya hampir sama. Tapi, di sana pemerintahnya punya program bagus, orang melahirkan bisa gratis, orang berobat murah. Batam harus bisa buat program seperti itu,” kata Huzrin. Dan jika itu terjadi, inilah salah satu jalan untuk menciptakan rasa nyaman dan bangga itu.  Banyak program hebat dan menyentuh orang banyak yang bisa dibuat dengan APBD  Rp1,4 triliun. 

    Ada walikota yang dibanggakan warganya karena dia punya cara berbudaya ketika memindahkan pedangan kakilima, sementara pemimpin di kota lain mengerahkan satpol PP dengan pentungan dan kekerasan. Ada walikota yang dicintai warganya karena mencadangkan ruang terbuka hijau, fasilitas umum yang cukup dan nyaman buat warganya, sementara pemimpin lain jor-joran membangun pusat belanja dan “membiarkan” anak-anak bermain di kolam-kolam liar dan tewas tenggelam.  Ada walikota yang disebut-sebut dengan takzim oleh warganya  karena dengan tegas mengharamkan peritel besar  berdiri  di kota itu.  Dan, sementara itu, ada ratusan walikota dan bupati yang bermasalah dengan hukum akibat pengelolaan keuangan yang tak beres. Ada yang sudah menjalani hukuman penjara, ada yang sudah menyerempet  pintu penjara.

“Demokrasi sudah gagal!” kata kawan saya yang percaya ada sistem alternatif yang ia yakini jauh lebih baik daripada demokrasi.  Ya, demokrasi, sebagai percobaan bisa gagal dan bisa berhasil. Haruskah sistem demokrasi diganti?  Boleh. Inilah sisi indah lain dari demokrasi: dia bahkan memungkinkan siapa saja yang hidup dan berpikir di bawah naungan sistem itu mengoreksi, memperbaiki , bahkan menggantinya dengan sistem lain.  Termasuk sistem yang diyakini oleh kawan saya itu.


Kepada pemimpin baru kita, mari kita ucapkan selamat bekerja, sebaik-baiknya. Kepada kita saya ajak mari kita awasi, ikuti, tanggapi, sikapi, kritisi dan dengan sedewasa-dewasanya. Masyarakat yang aktif, tidak pasif adalah ciri khas dari masyarakat yang madani. Masyarakat madani adalah bagian dari Bandar Dunia yang Madani, cita-cita besar yang dicanangkan dulu oleh Nyat Kadir, Walikota Batam pertama di era otonomi daerah.  Visi itu terus dipertahankan – dan itu memang sangat layak dipertahankan oleh siapapun yang kelak menjadi walikota Batam – juga  Ahmad Dahlan dalam dua masa kepemimpinannya. ***

Seandainya di Salah Satu Sudut Rumah Kami Ada Bagian Seperti Ini...

Gambar dipinjam dari situs ini