PUISI yang baik itu seperti orang yang berjalan di jalanan berkabut. Samar, tapi terasa adanya, terbaca gerak langkahnya. Bila kita terbiasa berada atau melintas di jalanan berkabut itu, atau sering atau sekadar pernah bertemu dengan siapa yang berjalan itu, kita mungkin bisa bersapaan dengannya. Atau kita bisa bertukar salam saja dan terus membiarkan orang itu berlalu, tak perlu berkeras menahannya. Puisi yang buruk itu seperti kabut itu sendiri: hanya menawarkan kesamar-samaran; atau jalan lebar terang yang terlalu nyaman dilalui.
SEDANGKAN apabila di jalanan itu tak ada kabut, lalu ada seoang petugas yang sok mengatur ditambah sejumlah rambu dan penunjuk jalan, maka itu bukan puisi.[hah]