Kenapa buku puisi umumnya tidak laku bak kacang goreng? Kenapa menerbitkan buku jenis ini seperti sebuah pekerjaan yang hanya menuju kepada kematian yang iseng sendiri? Kenapa penyair harus seperti gerilyawan ke sana kemari menawarkan naskah bukunya agar bisa terbit? Kenapa Don Marquis mengibaratkan menulis buku puisi itu seperti menjatuhkan kelopak mawar ke Grand Canyon dan kemudian menunggu gemanya? Buku puisi memang tidak tergolong buku laris. Susah masuk ke daftar best seller. Buku puisi bukanlah buku petunjuk praktis cara merawat tanaman di taman rumah. Bukan buku pendorong motivasi seperti Chicken Soup for The Soul yang terbit berjuta-juta eksemplar, diterjemahkan ke berpuluh bahasa lain, dan serialnya kemudian berjilid-jilid panjang. Meskipun, pada awalnya buku itu juga susah mau terbit. Berpuluh penerbit menolak untuk menerbitkannya.
Tanyakanlah apa saja, soal buku puisi. Soalnya, setelah kita menulis sejumlah puisi, pertanyaan itu berhak datang mengusik. Penyair pun merasa belum lengkap perjalanannya jika tidak menerbitkan buku. Riwayat hidup penyair terasa lebih gagah jika ada sejumlah judul buku terbaca di sana. Sebuah buku yang memuat syair-syairnya, bagi seorang penyair tentu adalah sebuah tanda yang kuat, sebuah jejak yang kelak abadi. Karena itu tidak salah dan bahkan harus seorang penyair menginginkan agar suatu masa syair-syairnya terbit dalam satu dua buah buku. Tapi, ya jangan ngotot. Jangan itu yang dijadikan tujuan akhir berkarya. Bukankah John Donne si pendobrak periode Elizabetharian dalam sasta Inggris itu baru terbit buku pertamanya setelah dua tahun dia meninggal?
Maka di Amerika ada Walt Whitman Award yang berhadiah 5.000 dolar Amerika untuk menerbitkan buku puisi pertama penyair muda. Yang diseleksi memang manuskrip buku penyair yang belum pernah menerbitkan buku. Ada juga penghargaan untuk buku kedua. Di Indonesia? Wah, masih jauh panggang dari api. Penyair muda jangan mimpi dapat hadiah dan kesempatan untuk leluasa menerbitkan buku puisi pertamanya. Sapardi Djoko Damono dapat hadiah Rp100 juta (Ahmad Bakrie Award) setelah berpuluh tahun bergelut dalam sastra. Ada Khatulistiwa Award dengan hadiah Rp75 juta untuk buku sastra yang sudah terbit. Adakah penghargaan lain yang mendorong penyair muda untuk berkarya?
Kembali ke soal buku. Laku dan tidak itu urusan urusan lain. Masuk ke wilayah bisnis penerbitan. Ada urusan promosi yang pelik. Ada masalah distribusi. Ada hitung-hitungan untung rugi. Atau itu bisa juga kita jadikan tantangan. Bagaimana membuat puisi-puisi yang kalau dibukukan kelak laku keras, tetapi tanpa harus mengorbankan mutu dan kandungan sastra dalam karya kita itu? Bukankah ini juga sebuah kesempatan untuk bikin sejarah yang lain, sejarah bahwa ada terbit sebuah buku puisi yang bagus dan laku keras? Dan itu adalah buku puisi kita! [ha]