MENARIK untuk melihat bagaimana seorang penyair menilai penyair lain. Pada saat itu, tentu saja, si penyair yang memberi penilaian itu menempatkan dirinya sebagai kritikus. Mari kita lihat apa kata Sapardi Djoko Damono tentang penyair Sutardji Calzoum Bachri. Kita kutip saja beberapa bagian dari tulisan Sapardi dalam buku Sihir Rendra: Permainan Makna (Pustaka Firdaus, 1999).
TENTANG O, AMUK, KAPAK: ...berbeda dengan buku Linus, kumpulan sajak Sutardji itu tampaknya tidak banyak menarik minat pembeli; berbeda dengan Rendra, popularitas penyair Riau ini ternyata tidak bisa menunjang penjualan bukunya. Penyebabnya mungkin karena jenis sajaknya. Bebeda dengan "Pengakuan Pariyem", sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri lebih merupakan hasil eksperimen sastra daripada dokumen sosial; "O, Amuk, Kapak" tentu menarik minat pengamat sastra, tetapi sulit merebut perhatian pembaca yang punya kecenderungan ke ilmu sosial.
TENTANG PEMBACAAN PUISI: Sutardji memikat sebagian penonton karena gaya pembacaannya yang orisinil; sulit membayangkan bahwa rata-rata penonton bisa menangkap "pesan" yang terkandung dalam sajak-sajaknya.... Sutardji boleh dikatakan adalah penyair pertama yang sejak semula menyadari erat hubungan antara penulis dan membaca puisinya, kedua hal itu bisa merupakan faktor-faktor yang saling menunjang dalam usaha menafsirkan sajak-sajaknya.
TENTANG KREDO PUISI: Dalam kredonya, Sutardji bahkan dengan tegas mengaitkan puisinya dengan tradisi lisan; untunglah dia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menunjukkan ketidakpastian ujud visual dan kualitas bunyi puisinya. Puisi Sutardji yang dikembangkannya pada awal tahun 1970-an adalah unik. Di satu pihak sajak-sajak seperti "Ah", "Tragedi Winka dan Sihka", dan "Q" mempertaruhkan keberadaannya sepenuhnya pada tata letak kata dalam tradisi cetak, di pihak lain oleh penyairnya "gambar" itu ditawarkannya sebagai mantra, yang secara konvensional menyandarkannya pada anasir bunyi kelisanan. Dalam banyak sajak yang dikumpulkannya dalam O Amuk Kapak, kata-kata yang oleh penyairnya dikatakan "bukanlah alat menyampaikan pengertian" tetapi "pengertian itu sendiri", benar-benar merupakan pengertian yang jelas, yang meskipun "bebas...meloncat-loncat dan menari di atas kertas", sepenuhnya berada dalam kontrol sang penyair. Itulah sebabnya sajak itu tidak melambung dan tergelincir dalan kecengengan. Tata letak kata dan aksara dalam sajak-sajak itu menunjukkan penguasaan penuh si penyair terhadap kata-kata yang dipilihnya.
TENTANG APA YANG KELAK ABADI PADA SAJAK SUTARDJI: Ia secara tersurat menyatakan akan mengembalikan kata pada asal-usulnya yaitu mantra. Ini dilakukannya dengan konsekuen dalam sebagian besar sajak dalam O, Amuk, Kapak. Aliterasi, asonansi, onomatope, repetisi, paralelisme bunyi, dan berbagai jenis rima merupakan unsur-unsur yang menyebabkan sajak-sajak itu memiliki potensi sangat kuat untuk dilisankan. Namun yang akan lebih lama tinggal dalam khasanah sastra Indonesia adalah pembaruan tipografis, teks tercetak yang merupakan residu, sebab yang disuguhkan secara lisan di hadapan khalayak sudah lenyap begitu selesai dilisankan. [ha]