SAMBIL menulis puisi sebebas-bebasnya, perlu juga menengok bentuk-bentuk baku penulisan puisi. Ya, kita perlu tahu bahwa dalam pantun ada sampiran dan isi, ada ketentuan untuk patuh pada bunyi di akhir tiap baris. Kita perlu menyelidik apa bedanya kuatrin, rubaiat dan pantun yang sama-sama empat baris sebait. Kita perlu mahfum tentang soneta yang empat belas baris dan varian-variannya yang membagi delapan baris paparan dan enam baris kesan perasaan. Kita juga perlu mengenal ghazal, bentuk puisi lama yang banyak ditulis oleh penyair klasik di Persia, India dan Pakistan. Juga haiku, sajak pendek padat dari khazanah sasta Jepang.
YA, kita perlu tahu agar kita bisa bersetia pada bentuk-bentuk itu bila memang kita ingin menulis sajak dalam bentuk-bentuk yang kita pilih. Atau apabila kita ingin mempermainkannya, mengkhianatinya, menjungkirbalikkannya, mengolah bentuk-bentuk itu secara kreatif. Keberhasilan, atau kegagalan sajak-sajak kita bisa juga diukur dari kemahiran kita menyiasati bentuk-bentuk itu. Chairil Anwar, pada sebagian sajak-sajak periode akhirnya, dinilai berhasil mengatasi konvensi-konvensi puisi. Dia menulis sajak bebas dan tak terasakan sajak-sajaknya justru hadir pas dalam bentuk pantun yang ketat. Wing Kardjo (?) juga menulis soneta-soneta yang bukan soneta, sehingga bukunya dia beri judul: Memperkosa Soneta.[hah]