Banyak pembaca yang tidak sabar dengan puisi. Ada juga yang putus asa ketika mencoba mengerti sebuah puisi. Lebih banyak lagi yang akhirnya tak peduli dengan puisi. Kenapa? Bisa jadi karena memang sang puisi yang tidak bermuatan apa-apa, egois, asyik sendiri, hanya sekadar berindah-indah, asal aneh dan rumit.
Ya, rumit. Puisi memang bukan kalimat-kalimat dalam pengumuman, poster atau selebaran. Pada yang tiga itu kata-kata harus mudah dimengerti. Siapapun yang membaca harus mendapatkan pengertian yang sama. Kalau tidak maka dia bukan pengumuman yang baik. Sebaliknya, puisi yang baik harus bisa membuat dirinya sedemikian rupa, sehingga setiap orang yang berbeda bisa memaknainya dengan makna yang berbeda. Dia mestinya hanya merangsang pembaca, membuat pembaca bangkit kenangannya, tergugah semangatnya, tersentuh perasaannya, sementara itu kita sendiri yang menuliskannya mestinya juga seperti sudah menuntaskan sebuah "tugas rahasia". Sudah selesai menyusun kode yang kompleks sehingga kita sendiri dan pembaca lain kemudian tergoda untuk menebak-nebak kode itu.
Ya, antara rumit dan kompleks. Yang rumit adalah puisi yang buruk. Puisi yang baik adalah dia yang menawarkan kompleksitas. "Semuanya kompleks; kalau tidak begitu, maka hidup dan puisi dan segala sesuatu yang lainnya akan jadi membosankan, " ujar penyair Wallace Stevens. [ha]